1 ASPEK STRATEGIS PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM RTH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA (SUATU PEMIKIRAN) *) Oleh: Tarsoen Waryono **)
Abstrak Sumber lingkungan fisik kritis terbesar selain kendaraan bermotor karena terkait langsung dengan pengguna bahan bakar gas (BBG), juga sumber-sumber polutan industri, serta bangunan tinggi berdinding kaca. Keterpaduan bagi semua pihak dalam hal; memahami, peduli dan perlunya pengelolaan lingkungan, tampaknya merupakan langkah awal terciptanya kenyamanan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Aspek strategis pembangunan hutan kota dan peranannya dalam RTH DKI Jakarta, secara konseptual memberikan pengertian atas aspek konservasi, untuk tujuan penyelamatan, pelestarian dan pemanfaatan secara optimal berkelanjutan, dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan fisik kritis perkotaan.
Pendahuluan Daerah khusus Ibukota (DKI) Jakarta, seperti halnya kota-kota besar di negaranegara lain, dalam pertumbuhannya menghadapi dua fenomena yaitu; (a) menurunnya lingkungan fisik kritis perkotaan, dan (b) masalah sosial seperti urbanisasi, tumbuh berkembangnya permukiman kumuh, lunturnya budaya asli serta gejala sosial lainnya. Menurunnya daya dukung lingkungan hidup kota Jakarta, cenderung disebabkan oleh (a) jumlah dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu ± 11,5 juta jiwa atau 175,6 jiwa/ha, (b) meningkatnya jumlah kendaraan bermotor ± 7,1 juta buah, hingga menyebabkan meningkatnya tingkat polusi udara. Pencemaran udara selama jangka waktu 5 tahun (19921997) seperti Karbon dioksida (Co2) meningkat dari 187,4 mg/m2 menjadi 300,0 mg/m2; kadar debu rata-rata dari 186,2 mg/m2 meningkat menjadi 433,0 mg/m2; Kadar timbal (Pb) dari rata-rata 241,3 mg/m2 meningkat menjadi 400 mg/m2; demikian halnya dengan kebisingan dari rata-rata 32,9 dB meningkat menjadi 43,0 dB; (c) meningkatnya luas bangunan beton dan aspal ± 1.879,5 ha atau 2,8% luas daratan DKI Jakarta, menyebabkan tingginya laju limpasan air hujan, tingginya tingkat laju erosi pada wilayah kikisan (152,7 ton/ha/tahun), meluasnya wilayah pengendapan sebagai akibat hasil sedimentasi yang berpengaruh bahkan memberikan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman dan kawasan kumuh perkotaan ± 11.340 ha, atau 29,8% dari luas daratan DKI Jakarta: (d) meningkatnya bangunan berdinding kaca ± 4.061 ha (1,6% dari luas daratan DKI Jakarta), menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota, dari suhu udara rata-rata dari 26,2 menjadi 27,1 oC; (e) terdesaknya luasan kawasan hijau, baik *). Diskusi Panel Ahli Kehutanan di Lingkungan Pemda DKI Jakarta, Gunung Sahari, 12 Juni 2002. Dinas Kehutanan Propinsi DKI Jakarta. **). Stanf Pengajar Geografi FMIPA UI dan Ketua Forum Komunikasi Hutan Kota DKI Jakarta. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2 untuk kepentingan permukiman maupun pembangunan pusat-pusat fasilitas kegiatan kota ± 5.765 ha, hingga menyebabkan terganggunya habitat dan sangtuari satwa liar; (f) lajunya pemanfaatan air tanah dangkal dan penerapan teknologi pancang bangunan tinggi, menyebabkan terganggu-nya sirkulasi dan sistem tata air tanah (hidrologis), serta menyusupnya intrusi air laut yang kini telah mencapai 7.210 ha (11% dari luas daratan DKI Jakarta). Kesadaran Pemerintah DKI Jakarta untuk mengendalikan lingkungan fisik kritis perkotaan dan kecenderungannya, telah diupayakan sejak tahun 1981. Langkah awal yang dilakukan, dengan diterbitkannya Perda No. 8 tahun 1981, tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja Dinas Kehutanan. Dalam Perda tersebut, di antaranya dijelaskan salah satu tugas pokoknya adalah melaksanakan pemangkuan hutan yang ada, membangun dan mengelola kawasan hijau dalam wujud hutan kota. Kesadaran tersebut muncul atas dasar pertimbangan hasil-hasil kajian peranan fungsi dan jasa biologi pepohonan yang terbukti dan dinilai mampu melerai dan mengendalikan berbagai bentuk cemaran. Hal ini mengingat bahwa kawasan hijau perkotaan berfungsi sebagai paru-paru kota dan kenyamanan lingkungan; pereda unsur-unsur iklim mikro, penghalau angin dan pelerai silau cahaya, pengatur tata air tanah dan laju erosi, sebagai habitat dan sumber pakan satwa liar, pelestarian plasma nutfah dan sumber genetik, wahana dunia ilmu pengetahuan alam, penunjang keindahan kota; pusat kesegaran jasmani, rekreasi alam dan sumber produksi terbatas. Hasil inventarisasi Dinas Kehutanan DKI Jakarta tahun 1997, luas kawasan hijau binaan tercatat 7.246,63 ha. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2010 (Perda DKI Jakarta No. 6 tahun 1999), atas pertimbangan jumlah penduduk tahun 2010 (± 12,5 juta jiwa), kawasan hijau DKI Jakarta ditetapkan ± 9.544,79 ha (13,94% dari luas daratan DKI Jakarta); dengan demikian, permasalahan kekurangan areal 2.298,16 ha, untuk kepentingan kawasan hijau menjadi faktor penyebab dominan berikutnya.
Tinjauan Pembangunan Kawasan Hijau di DKI Jakarta Realisasi Pembangunan Kawasan Hijau Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta tahun 1985-2005, peruntukan lahan untuk kepentingan pembangunan kawasan hijau, ditetapkan 16.908 ha (25,82% dari wilayah DKI Jakarta); terdiri atas RTH Pertamanan termasuk kawasan hijau olah raga 3.553 ha (21,01%); RTH Kehutanan termasuk hijau lindung 2.660 ha (15,73%), RTH Pemakaman 570 ha (3,37%) dan RTH Pertanian 10.125 ha (59,92%). Berdasarkan telaah Peta Potensi Wilayah tahun 1995, hamparan 50.718 ha merupakan kawasan terbangun, terdiri atas perumahan 38.785 ha; bangunan jasa perkantoran 5.367 ha, bangunan jasa perdagangan dan pusat-pusat kegiatan ekonomi 3.730 Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
3 ha, dan tapak kawasan industri 2.836 ha; sedangkan sisanya 14.782 ha, merupakan hamparan penggunaan lain, terdiri atas RTH (9.447 ha), sarana olah raga 453 ha, situ-situ 478 ha, dan penggunaan lainnya 4.404 ha. Realisasi hasil pembangunan kawasan hijau binaan dalam RTH DKI Jakarta tahun 2000 tercatat 7.246,63 ha, terdiri atas RTH Lindung 340,8 ha, dan RTH Binaan yang terdiri atas hutan kota, taman kota dan taman lingkungan (1.251,08 ha), lapangan olah raga (498,55 ha), hijau pemakaman (666,48 ha), RTH fungsi pengaman tegangan tinggi (23,70 ha), hijau jalan tol dan median jalan (699,09 ha), hijau pengaman sungai dan perairan (95,02 ha), penghijauan pulau pesisir dan pantai (15,0 ha), dan RTH budidaya pertanian 3.656,91 ha, terdiri atas kebun bibit (97,82 ha, lahan basah/sawah (843,91 ha, dan pertanian darat 2.715,18 ha). Kebutuhan Luas Kawasan Hijau DKI Jakarta Konsepsi dasar penghitungan kebutuhan RTH DKI Jakarta, seperti yang tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Hutan Kota, atas dasar acuan pemaduserasian keseimbangan sumber-sumber penyebab lingkungan fisik kritis (penghasil polutan) dengan kebutuhan oksigen, yang dilustrasikan melalui proses fotosintesa. sm 6CO2
+ 6H2O --------------> C6 H12 O6 + 6O2.
Sumber-sumber polutan (CO2) dilustrasikan dengan banyaknya jumlah kendaraan bermotor; (O2) diilustrasikan sebagai kebutuhan riil oksigen yang diperlukan bagi kehidupan manusia (jumlah penduduk); sedangkan karbohidrat yang dihasilkan, diilustrasikan sebagai sumber pemroses dalam bentuk hijau daun (kawasan hutan). Patokan perhitungan menurut Wirakusumah (1978), untuk setiap 1.000 jiwa penduduk diperlukan luas hijau daun (indek luas permukaan daun 1,250 ha) atau setara dengan kawasan hijau seluas 0,825 ha. DKI Jakarta dengan prediksi jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 12,5 juta jiwa; untuk itu luas RTH yang diperlukan sebesar (12,5 juta/1.000) X 0,825 = 10.312,5 ha (15,86% dari luas daratan DKI Jakarta); dalam bentuk kawasan hijau tumbuh rapat dan bervegetasi dasar, beranekaragam jenis, berstrata tajuk, mempunyai perakaran dalam, serta terdiri atas tetumbuhan yang mampu sebagai habitat dan sumber pakan satwa liar. Mercermati atas hasil perhitungan di atas (10.312,5 ha); realisasi RTH eksis tahun 2000 (7.246,63 ha), dan target RTH berdasarkan RTRW 2010 (9.544,79 ha), tampaknya kebutuhan kawasan untuk pemenuhan RTH target RTRW 2010, kini menjadi jelas permasalahannya, dan bukan kekurangan sebesar 2.298,16 ha, akan tetapi sebesar 3.065,87 ha.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4 Penelusuran Kawasan Upaya Pemenuhan Target RTH Antisipasi terhadap hasil evaluasi RTH eksis tahun 2000, dan kebutuhan lahan untuk pemenuhan target berdasarkan RTRW 2010; Dinas Kehutanan DKI Jakarta telah berupaya untuk menelusuri kawasan-kawasan peluang yang dinilai potensial sebagai wahana pengembangan RTH khususnya dalam bentuk hutan kota. Kepres 32 Tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, bagi Pemda DKI Jakarta nampaknya merupakan jalan keluar untuk memecahkan permasalahan lingkungan fisik kritis perkotaan melalui jasa biologis pepohonan. Bantaran sungai (sempadan sungai) dan sempadan pantai, merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, dan berdasarkan hasil pendataan tercatat seluas 869,5 ha, terdiri atas 853,6 ha kawasan sempadan sungai dan 16,5 ha kawasan sempadan pantai. Wilayah daratan DKI Jakarta 65.500 ha, secara fisik berada pada hamparan kipas alluvial, di lintasi oleh 13 aliran sungai (± 409,9 kilometer) yang merupakan bagian hilir dari beberapa DAS di bagian hulunya. Bantaran sungai merupakan kawasan (buffer) dan atau tanggul, berada pada kanan dan kiri badan sungai, menyatu dengan kawasan sempadan pantai, sebagai wilayah penyangga suatu DAS di bagian hilirnya. Kawasan hijau bantaran sungai dicirikan oleh penutupan vegetasi yang spesifik “riparian” dan membentuk satuan ekologik terkecil, dipengaruhi oleh ketinggian tempat, dan jenis batuan dasar yang keras. Peranan fungsi utamanya sebagai perlindungan dan penyangga pelestarian daerah pengaliran air, sebagai penyaring air limpasan, penahan nutrien dan sedimen, serta membentuk jalur koridor hijau menyatu dengan kawasan sempadan pantai, sebagai habitat bagi kehidupan beberapa jenis satwa liar seperti biota perairan, mamalia terbang, binatang melata dan beberapa jenis burung. Mencermati semakin meningkatnya kondisi lingkungan fisik kritis, permasalahan kebutuhan areal RTH dan peranan fungsi jasa pepohonan, tampaknya bantaran sungai dan kawasan sempadan pantai di DKI Jakarta dinilai strategis untuk dikembangkan sebagai kawasan pembangunan hutan kota. Realisasi pembangunan RTH (eksis 2000), baik hijau lindung maupun hijau binaan (tanggung jawab Dinas Kehutanan DKI Jakarta) tercatat 729,62 ha. Pemenuhan RTH target RTRW 2010 sebesar 1.938,62 ha, dan tersedia kawasan peluang 869,5 ha, untuk itu kebutuhan areal yang kini menjadi beban Dinas Kehutanan sebesar (1.938,62 – 729,62 – 869,5 = 339,5 ha). Agar program pembangunan hutan kota dapat terwujud sesuai dengan peranan fungsinya, aspek strategis yang ingin diungkapkan melalui gagasan pemikiran menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh. Ungkapan yang diawali dengan tinjauan pembangunan kawasan hijau di DKI Jakarta dan prediksi kebutuhan luas ideal perlunya RTH DKI Jakarta, seperti uraian di atas, kini menjadi acuan dasar telaah faktor dominan penunjang pengembangan dan aspek strategis pembangunan hutan kota, termasuk aspek pemberdayaan kemitraan pembangunannya.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5 Faktor Dominan Perlunya Pengembangan Hutan Kota di DKI Jakarta Tuntutan ideologik dan Perundang-undangan Secara ideologik, keberadaan hutan-hutan kota dituntut secara nasional, karena kehadirannya pembangunan hutan kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian usaha pembangunan nasional dalam mewujudkan kemakmuran rakyat, seperti yang diamanatkan dalam falsafat dan tujuan hidup bangsa Indonesia (Pancasila). Pegangan pemanfaatan hutan seperti halnya hutan kota, diliput dalam Undang-Undang (U.U) Dasar 1945 terutama dalam pasal 33 dan landasan konsepsionalnya dicakup dalam Garis-garis Besar Halauan Negara. Dasar legalitas yang mendukung pembangunan hutan kota antara lain: U.U. No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; U. U No. 5 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; U.U No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, dan U.U No. 4 tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup: karena memuat ketetapan-ketetapan: (a) kewajiban stiap insan untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya, (b) melindungi hutan adalah kewajiban pemerintah dan rakyatnya, karena peranan fungsinya yang menguasai hajat hidup orang banyak dan kepentingan untuk pengaturan tata air, serta perlindungan dan pelestarian alam hayati, (c) air, sumber-sumber air beserta bangunan-bangunannya harus dilindungi serta diamankan, dipertahankan dan dijaga kelestariannya, dalam kaitannya dengan konservasi tanah dan air, dan (d) setiap insan berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. DKI Jakarta dapat dinilai sebagai daerah yang telah melangkah jauh kedepan, dalam usaha-usaha mendukung program pembangunan hutan kota, seperti tertuang dalam Perda No. 3 tahun 1972 (menampung aspirasi-aspirasi atas persyaratan pengelolaan lingkungan hidup perkotaan), Perda No. 5 tahun 1984 (Rencana Umum Tata Ruang). Dengan demikian DKI Jakarta secara ideologik dan per-undangan pada dasarnya telah siap mengembangkan gagasan pembangunan hutan kota.
Acuan dan Kegunaan Azas kelestarian dan tujuan manfaat serba guna secara optimal pada hakekatnya merupakan acuan program pembangunan hutan kota. Azas dan tujuan yang dimaksud bersifat universil dan merupakan azas dan tujuan pembangunan nasional, menjadi acuan dalam pembangunan hutan kota di DKI Jakarta. Ditinjau dari pernan fungsinya, hutan-hutan kota dapat memberikan jasa baik (a) secara tangibel dengan memberikan manfaat ameliorasi iklim dan manfaat arsitektural, maupun (b) tak tangibel dengan memberikan manfaat kesegaran, kesehatan dan keindahan. Dari potensi fungsi-fungsinya, hutan-hutan kota dapat memberikan kegunaan untuk Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6 keindahan dan kesegaran, penangkal angin dan gangguan lainnya, penangkal polusi, sarana kesehatan dan sarana olah raga, wadah rekreasi dan wisata, instrumen kelestarian tanah dan tata air, sarana pendidikan dan habitat kehidupan satwa liar. Faktor Penunjang Dominan Gagasan pengembangan hutan kota di DKI Jakarta, dapat dikatakan disebabkan oleh dua dorongan utama yaitu: (a) kebutuhan akan manfaat multiguna hutan kota yang terasa semakin meningkat, dan (b) semakin terdesaknya kawasan hijau oleh tumbuh berkembangnya wilayah perkotaan. Faktor penunjang dominan urgensi terwujudnya pembangunan hutan kota di DKI Jakarta, terlihat jelas dari kesinambungan pembangunan kawasan tata hijau, keyakinan dan tekat Pemda, tumbuh berkembangnya kesadaran masyarakat dan kesadaran institusional yang secara rinci diuraikan sebagai berikut: Kesinambungan Pembangunan Kawasan Hijau Berbagai upaya Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan pembangunan kawasan hijau, telah dimulai sejak dekade tahun 1970-an. Awal kegiatannya dikenal dengan nama “Gerakan Penghijauan Kota”. Dalam kiprahnya memprioritaskan Jakarta Hijau, melalui pembudidayaan jenis-jenis cepat tumbuh seperti angsana (Pterocarpus sp) dan pilang (Acacia auriculiformis). Periode tahun 1975-an, dikenal dengan “Program Hijau Pertamanan Kota” dan diteruskan engan “Gerakan Memasyarakatkan Keindahan, Kebersihan, dan Keteduhan Lingkungan Hidup” (GMK3LH), pada tahun 1980-an. Gerakan ini diperdayakan melalui bentuk-bentuk perlombaan pertamanan kota, pameran hortikultura, dan anjuran kepada masyarakat untuk menggalakan budidaya tanaman bunga. Pada periode tahun 1984, upaya pembangunan kawasan hijau muncul dengan istilah “Pembangunan Kota Jakarta Berwawasan Lingkungan”. Salah satu programnya yang cukup menonjol adalah pembangunan tata hijau dalam bentuk Hutan Kota. Pada periode tahun 1988 dikenal dengan “Program Penghijauan Prokasih”, yang digalakan secara spesifik untuk menghijaukan kawasan-kawasan dengan tujuan mengembalikan peranan fungsi jalur hijau bantaran sungai. Langkah lebih jauh pada periode tahun 1992, muncul dengan istilah “Program Penghijauan Sejuta Pohon”. Kegiatan ini memberdayakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun lingkungan dan kawasan hijau di seluruh pelosok DKI Jakarta. Dalam periode yang sama, atas dasar kesadaran perlunya pembangunan kawasan hijau secara terpadu, muncul dengan istilah “Program Penghijauan Sad-Praja” yaitu keterpaduan program pembangunan kawasan hijau tanpa memperhatikan batas wilayah administrasi pemerintahan, khususnya dalam penanganan kawasan bantaran sungai. Sebagai tindak lanjut kesinambungan program pembangunan berwawasan lingkungan, slogan/motto tahun 2000 muncul dengan istilah “Jakarta Teduh, Hijau Royo-royo Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
7 dan Berkicau”. Program ini pada hakekatnya ingin mengembalikan peranan fungsi dan jasa biologis pepohonan sebagai penopang daya dukung kota Jakarta sebagai ibu kota negara, kota metropolitan, kota jasa dan kota tropis dunia. Keyakinan dan tekat Pemda DKI Urain gerakan-gerakan penghijauan di DKI Jakarta dimuka mengungkapkan betapa besar keyakinan Pemerintah DKI Jakarta akan perlunya usaha-usaha pembangunan kawasan hijau. Keyakinan itu tercermin dalam banyak langkah yang mengusahakan agar penghijauan senantiasa tidak diabaikan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut tanah dan air. Disandangnya gelar Jakarta sebagai kota tropis dunia, menjadi tantangan baik bagi pemerintah pusat maupun daerah, untuk lebih berperan dalam mewujudkan pembangunan hutan-hutan kota. Dalam Rencana Induk Kota Jakarta 1975-1985, mengarahkan usaha-usaha penghijauan kota melalui dua komponen, yaitu jalur hijau dan ruang-ruang terbuka hijau, sehingga akan dicapai sasaran agar kota Jakarta sekurang-kurangnya 20% hijau. Proyeksi pertama mewujudkan jalur-jalur hijau selebar 3-4 meter sepanjang perbatasan DKI Jakarta dengan wilayah sekitarnya, dilajutkan dengan jalur-jalur hijau yang menyekat kota sepanjang jalan-jalan penting dan utama, tepian sungai dan jalur rel kereta api, lalu diteruskan ke jalan-jalan yang lebih kecil. Pencadangan tempat-tempat khusus sebagai “kantong-kantong hijau” seperti cagar buah “Condet” dan cagar budaya “perkampungan betawi”. Akhirnya gedung-gedung penting seperti asrama, wisma perkantoran dan lain-lain, baik milik pemerintah maupun swasta dihimbau untuk aktif berpartisipasi dalam program ini, tidak terkecuali juga perumahan-perumahan. Pemerintah sendiri memproyeksikan kegiatannya dengan menangani ruang-ruang terbuka dalam bentuk taman-taman kota, tempat-tempat rekreasi dan penyangga sarana olah raga. Walaupun dapat dipahami bahwa program itu tentu banyak menemui hambatanhambatan dan kesulitan-kesulitan, namun demikian kini telah dapat dilihat secara nyata atas hasil-hasil yang telah dicapai meskipun belum sempurna. Bagaimanapun juga ruang-ruang terbuka hijau, jalur-jalur hijau dan bentuk-bentuk hijau lainnya, pada hakekatnya merupakan sumber sangat berharga sebagai modal pengembangan hutan kota di DKI Jakarta. Beberapa kegiatan dari upaya-upaya di atas, didasarkan atas keputusan baik DPR maupun Gubernur, termasuk langkah konkrit dalam upaya pembebasan jalur-jalur pengaman sepanjang kanan kiri sungai, pembebasan jalur-jalur sepanjang rel kereta api, tindakan relokasi kawasan industri dan peningkatan kawasan-kawasan kumuh, yang secara keseluruhan memberikan gambaran atas kesungguhan DKI Jakarta dalam pembenahan kawasan-kawasan hijau strategis. Tumbuh berkembangnya kesadaran masyarakat Terbentuknya institusi Kantor Menteri Lingkungan Hidup, mulai muncul di tengahtengah masyarakat kelompok-kelompok yang menaruh perhatian kepada penghijauan dan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
8 masalah-masalah lingkungan pada umumnya. Kelompok-kelompok itu yang kini dikenal sebagai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), walaupun sebelumnya telah dikenal seperti misalnya Wanadri (Bandung), Mapala UI (Jakarta) dan Dian Desa (Yogyakarta). Dalam catatan Kantor Menteri Lingkungan Hidup jumlah LSM di Indonesia pada saat itu tercatat lebih dari 700, dan sekurang-kurangnya 120 buah berada di DKI Jakarta. Selain kelembagaan swadaya masyarakat dalam bentuk organisasi, minat, hobi dan atau profesi perorangan yang peduli terhadap kenyamanan lingkungan, pada saat itu juga mulai tumbuh dan berkembang. Kepedulian masyarakat sering diartikan sebagai pencinta alam dan lingkungan yang menginginkan hadirnya kenyamanan lingkungan di DKI Jakarta. Kehadiran organisasi-organisasi baik LSM maupun profesi perorangan beragam dengan kegiatan-kegiatan yang berbeda di tengah-tengah masyarakat, tampaknya merupakan potensi yang sangat berharga dalam memasyarakatkan gagasan pembangunan hutan kota di DKI Jakarta. Kesadaran institusional Kesadaran akan program hutan kota telah tumbuh dan berkembang juga di antara banyak lembaga. Kantor Departemen Kehutanan dan Perkebunan “Manggala Wanabhakti” memulai pembangunan gedung perkantorannya dengan menciptakan hutan kota ± 8 ha yang kini menjadi kenyataan. Kehadiran Puspitek di Serpong juga membangun kebun koleksi plasma nutfah hutan tropis basah ± 25 ha, demikian halnya dengan Bumi Perkemahan Cibubur yang telah membangun arboretum ± 25 ha. Dibangunnya kampus baru Universitas Indonesia di Jakarta Selatan dan Depok ± 90 ha, Gedung Mako Hankam Cilangkap ± 10 ha, pengembangan Lanut Halim Perdana Kesumah ± 52 ha, dan kawasan industri Pulau Gadung ± 15 ha, telah menyisihkan sebagian lahannya untuk kepentingan kawasan hijau yang diwujudkan dalam bentuk hutan hutan kota. Pembangunan hutan kota di DKI Jakarta yang telah dikukuhkan pemangkuannya oleh Gubenur di Srengseng (Jakarta Barat) seluas 15 ha, sebagai kawasan hutan kota konservasi; sedangkan pembangunan hutan kota lainnya yang kini dalam proses pengukuhan, meliputi kawasan hutan kota Kemayoran 52 ha, danau Sunter Utara 8 ha (Jakarta Utara), situ Rawa Dongkal 12 ha (Jakarta Timur), situ Mangga Bolong 10 ha dan Situ Babakan 8 ha (Jakarta Selatan). Walaupun kesadaran institusional di atas masih terbatas kepada lembaga-lembaga pemerintahan, hal itu merupakan faktor positif yang menunjang program pembangunan hutan kota.
Jalur-jalur untuk Pengembangan Sarana organisasi, ketersediaan lahan, dasar legalitas, dukungan dan partisipasi masyarakat secara sadar, pada hakekatnya merupakan jalur-jalur pengembangan terwujudnya program pengembangan hutan kota di DKI Jakarta. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
9 Institusi pemerintah atau swasta, bahkan perorangan yang mampu dan memenuhi syarat, merupakan wadah yang dapat menyelenggarakan hutan-hutan kota. Agar sasaransasaran pembangunan hutan kota dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan, usaha berbagai pihak perlu digalang untuk mendapatkan pengarahan serta pembinaan secara efektif dan efisien. Untuk maksud itu, kiranya perlu dibentuk suatu oraganisasi yang setepattepatnya. Banyak lahan yang kini telah dibangun sebagai kawasan-kawasan hijau dalam bentuk hutan kota, akan tetapi belum merupakan jaminan sebagai kawasan hutan definitif, hingga sangat memungkinkan dirubah untuk kepentingan bangunan lain. Atas dasar itulah ketersediaan lahan dengan status peruntukannya perlu ditetapkan secara lugas, sebagai wahana pembangunan dan pengembangan hutan kota, agar penyelenggaraanya dapat dilakukan secara terprogram. Walaupun berbagai ketentuan perundangan telah cukup mendasari penyelenggaraan pembangunan hutan kota seperti telah diungkap terdahulu sebagai dasar legalitas, namun perlu ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah DKI Jakarta yang lebih sesuai dengan kebutuhan nyata, sebagai dasar acuan dalam penyelenggaraanya. Keinginan masyarakat yang diwujudkan melalui partisipasi secara luas, pada akhirnya merupakan potensi dukungan positif terwujudnya program hutan-hutan kota di DKI Jakarta.
Aspek Strategis Pembangunan Hutan Kota Aspek strategis pengembangan hutan-hutan kota, pada hakekatnya merupakan upaya untuk mewujudkan kawasan hijau hutan binaan di DKI Jakarta, sesuai dengan potensi fisik wilayahnya, merupakan upaya konservasi dan rehabilitasi lahan yang dituangkan melalui telaah (a) kriteria bentuk hutan kota, (b) kriteria pengembangan jenis dan (c) aspek peranan fungsi pembangunan hutan kota. Kriteria Bentuk hutan kota Bentuk hutan kota, pada dasarnya berbeda dengan bentuk pertamanan kota, karena konsepsinya yang berbeda. Dalam program hutan kota kriteria yang harus dipenuhi antara lain: (a) mempunyai luas minimal yaitu 0,25 ha, (b) bentuk tegakannya vegetasi berkayu, beserta tumbuhan bawah, hingga membentuk satuan ekologik terkecil, serta memberikan kesan padang dan kenyamanan lingkungan, (c) terbentuknya pelapisan tajuk (strata), yang mencerminkan dinamika pertumbuhan hutan secara alami, (d) mampu menyumbangkan atas peranan fungsi dan jasanya sebagai mintakat kehidupan satwa liar, karena pepohonan yang dibudidayakan merupakan jenis-jenis sumber pakan bagi kehidupan satwa liar. Selain kriteria bentuk hutan kota yang menyerupai fenomena alamiah, pengembangannya lebih diarahkan untuk menopang kedudukan kota Jakarta dengan berbagai julukan yang disandangnya. Dalam kaitannya dengan kota metropolitan, pengembangan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
10 hutan kota berperan untuk mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk dan bangunan fisik gedung serta merupakan pusat-pusat rekreasi lingkungan hijau. Sebagai komponen lingkungan pengembangan hutan kota diarahkan untuk tujuan rehabilitasi dan pengendalian lingkungan fisik kritis wilayah perkotaan melalui jasa-jasa biologis pepohonan, Sebagai penyangga lingkungan hidup, pengembangan hutan kota ditujukan untuk mewujudkan kenyamanan dan memacu kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, serta berperan sebagai unsur edukatif. Memperhatikan kondisi sosial ekonomi, pengembangan hutan kota lebih diarahkan untuk memacu terciptanya peluang kerja dan berusaha bagi masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan potensi, fungsi dan pengelolaanya, hutan-hutan kota di DKI Jakarta dibedakan kedalam tipe-tipe; (a) hutan kota konservasi, untuk keseimbangan tanah dan air, (b) hutan kota industri, untuk melindungi masyarakat dari gangguan-gangguan polusi kegiatan industri, (c) hutan kota pemukiman, untuk menjamin kenyamanan dan kesegaran lingkungannya, (d) hutan kota khusus untuk maksud-maksud tujuan serba guna, langka dan unik; yang secara keseluruhan merupakan bagian dari kriteria bentuk hutan kota yang ingin diwujudkan. Kriteria Pengembangan Jenis Evaluasi lahan potensial sebagai wahana pembangunan hutan kota tercatat 2.085 ha, berdasarkan zona fisik wilayahnya yang dikaitkan dengan pengembangan jenis, secara rinci diuraikan sebagai berikut; Zona Utara (wilayah intrusi) Wilayah ini mencakup areal 970 ha, terdiri atas kawasan sepadan pantai 11 ha, kawasan kebun bibit mangrove 10 ha, kawasan penyangga situ-situ 23 ha dan kawasan sepandan sungai 926 ha. Kondisi fisik wilayahnya dicirikan oleh pengaruh intrusi air laut, berada pada ketinggian tempat 0-4 meter dpl, kadangkala tergenang musiman, sangat terbatas dengan vegetasi yang mampu beradaptasi dan tumbuh. Pemilihan jenis tanaman pada wilayah yang terintrusi air laut, seyogyanya mendapat perhatian, karena jenis tumbuhan yang kurang tahan terhadap kandungan garam yang relatif tinggi, akan mengakibatkan tanaman tidak akan tumbuh dan berkembang. Demikian halnya dengan jenis tanaman yang mempunyai daya evaporasi tinggi, akan menguras air dari dalam tanah, hingga menyebabkan meningkatnya kosentrasi garam dalam tanah. Dengan demikian kekeliruan pemilihan jenis akan bukan memecahkan permasalahan intrusi air laut, namun sebaliknya akan memperburuk dan meluasnya intrusi air laut. Berdasarkan hasil pendataan 46 jenis yang tumbuh dan berkembang di zona utara, tercatat 23 jenis yang dinilai mampu beradaptasi dan tumbuh pada wilayah ini. Pada tapak yang terpengaruh oleh pasang surut air laut (kawasan sepandan pantai), dan kebun bibit mangrove, jenis-jenis yang dikembangkan meliputi api-api (Avicenia marina) pada areal berhadapan langsung dengan air laut dan A. alba yang mengarah kedaratan, bakau Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
11 (Rhizophora mucronata) ditempatkan dibelakang api-api pada kelas genang-II, bidada (Sonneratia alba) pada kelas genang-III yang dicampur dengan jenis waru laut (Tephrosia villosa). Pada kawasan pantai berpasir, meliputi cemara laut (Casuarina equisetifolia); ketapang (Terminalia catapa); padan (Pandanus tectorius); nyamplung (Calophylum inophyllum), dan keben (Barringtonia asiatica); Pada kawasan penyangga situ-situ meliputi bungur (Lagerstrome spesiosa), kayu jaran (Lannea grandis); cangkring (Erythrina sp), kiacret (Spatodea campanulata); rengas (Gluta veluntino dan G. renghas); waru (Hisbiscus tiliaceus), bambu (Gigantocloa apus), gelam (Melaleuca sp) dan putat (Alstonia scholaris), sedangkan pada kawasan sepadan sungai, perlu dikembangkan jenis bambu (Gigantocloa apus), kiacret (Spatodea campanulata), awar-awar (Ficus sp), karet (Hevea brasiliensis), laban (Vitex pubescens), dan kayu jaran (Lannea grandis), adalah jenis-jenis yang dinilai mampu tumbuh dan berkembang. Zona Tengah (wilayah pengendapan) Wilayah ini mencakup areal 675 ha, terdiri atas kawasan penyangga situ-situ 15 ha dan kawasan sepadan sungai 660 ha. Kondisi fisik wilayahnya dicirikan oleh tanah-tanah alluvial, dengan air tanah yang relatif dangkal; pada ketinggian tempat 4-20 meter dpl, vegetasi yang tumbuh relatif beranekaragam. Pada daerah alluvial, dengan ketinggian yang relatif rendah (± 4 meter dpl), cenderung digenangi oleh banjir musiman baik pada musim pancaroba (Desember), yang sering menyebabkan tetumbuhan menjadi terganggu bahkan mengalami kematian. Untuk itu pemilihan jenis yang sedikit tahan terhadap genangan sementara nampaknya menjadi pilihan utama. Hasil pendataan 56 jenis yang tumbuh dan berkembang, tercatat 12 jenis yang dinilai potensial Pada kawasan penyangga situ-situ, seyogyanya dikembangan kepuh (Sterculia foetida), kiacret (Spatodea campanulata), gandaria (Bouea macrophylla), cangkring (Erythrina sp), dan kayu jaran (Lannea grandis). Sedangkan pada kawasan sepadan sungai, pengembangan jenis meliputi balsa (Ochroma sp), geronggang (Octomeles sumatrana), bambu (Gigantocloa apus), awar-awar (Ficus sp), bungur (Lagerstromea speciosa) dan kiacret (Spatodea campanulata). Zona Selatan (wilayah resapan dan kikisan) Wilayah ini mencakup areal 440 ha, terdiri atas kawasan penyangga situ-situ 50 ha dan kawasan sepadan sungai 390 ha. Kondisi fisik wilayahnya dicirikan oleh tanah yang masih relatif baik, air tanah yang relatif dalam; pada ketinggian tempat 20-27 meter dpl, vegetasi yang tumbuh cukup beranekaragam. Zona selatan wilayah DKI Jakarta berfungsi sebagai daearah resapan air, untuk itu bentuk-bentuk pembangunan kawasan hijau yang kurang mendukung akan meningkatkan
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
12 besarnya laju erosi. Jenis tetumbuhan yang dipilih hendaknya mempunyai sistem perakaran yang dalam, dengan evaporasi yang rendah. Hasil pendataan 72 jenis yang tumbuh dan berkembang di zona ini, tercatat 17 jenis yang dinilai sesuai untuk dikembangkan. Pada kawasan penyangga situ-situ, pengembangan jenis yang sesuai meliputi kepuh (Sterculia foetida), cangkring (Erythrina sp), kiacret (Spatodea campanulata), salam (Eugenia malacensis), buni (Eugenis bunius), johar (Casia siamea), trembesi (Samanea saman), flamboyan (Delonix regia), plutau (Adenantera sp) dan mahoni (Swietenia macrophylla), sedangkan pada kawasan sepadan sungai, pengembangan jenis meliputi bambu (Gigantocloa apus), kiacret (Spatodea campanulata), awar-awar (Ficus sp), loa (Euphorbia sp), benda (Ficus sp), kihiang (Albizia procera), kecapi (Sondaricum koetjape) dan gatet (Inocarpus sp). Aspek Peranan Fungsi Pembangunan Hutan Kota Dalam kaitannya dengan kondisi fisik kritis perkotaan, pembangunan hutan-hutan kota menjadi strategis kedudukannya di DKI Jakarta. Rendahnya aset lahan bagi DKI Jakarta, dan semakin meningkatnya harga tanah, memacu untuk membangun kawasan hijau dengan rapat dari berbagai jenis yang sesuai, hingga terciptanya pelapisan tajuk, dan strata pertumbuhannya mulai dari bentuk pohon, tiang, pancang dan anakan, termasuk tumbuhan bawahnya. Dalam pada itu, pem berdayaan setiap jengkal tanah dalam bentuk hutan kota ini, mengkondisikan peranan fungsi pembangunan hutan-hutan kota terhadap aspek ekosistem, aspek pemenuhan keinginan masyarakat, dan manfaat hutan kota itu sendiri. Aspek ekosistem Dalam ekosistem, kehidupan berawal pada tumbuhan yang mengandung hijau daun (khlorofil). Dengan perantaran khlorofil dan bantuan sinar matahari, tumbuhan mampu mengubah zat karbon dioksida (CO2) dari udara dan air serta dari dalam tanah, menjadi karbohidarat dan oksigen (O2), yang dikenal dengan proses fotosintesis. Proses fotosintesis (reduksi) merupakan proses yang paling menonjol di muka bumi ini, karena hampir semua jasad hidup akhirnya terbentuk melalui deretan reaksi biokomia. Satu hal yang paling esensial dari proses kimia tersebut, selain menghasilkan karbohidrat juga oksigen yang berfungsi dalam proses pernapasan (respirasi) bagi semua makluk hidup. Menurut konsep ekosistem, merupakan simpul saraf dari pengaliran energi (matahari), dimana vegetasi merupakan sumber material dan energi bagi karnivora dan herbivora, demikian halnya karnivora merupakan sumber materi dan energi bagi omnivora. Pembusukan dari keempat komponen tersebut merupakan sumber energi dan materi bagi pengurai, dan selanjutnya hasil penguraian tersebut merupakan sumber materi bagi vegetasi dan seterusnya. Potensi hutan kota dengan berbagai jenis tumbuhan, merupakan habitat dan sangtuari kehidupan satwa liar seperti burung, mamalia terbang, binatang melata dan
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
13 beberapa jenis lainnya. Selain sebagai penyedia sumber pakan, juga merupakan wahana terjadinya matarantai makanan bagi kehidupan satwa liar. Dalam siklus hidrologi, vegetasi dapat berperan dalam pengendalian air me-lalui proses infiltrasi, perkolasi, hingga terjaminnya pelestarian air tanah dalam (ground water) yang sangat esensial dalam pengaturan secara alamiah, baik pada musim kemarau dan atau penghujan. Pada musim hujan besaran laju limpasan air dapat dikendalikan, hingga luapan air akan tercegah, namun sebaliknya pada musim kemarau potensi air tanah yang tersedia dapat menjamin lajunya debit sungai yang bermanfaat bagi keperluan hidup biota perairan. Uraian tersebut di atas, memberikan gambaran betapa pentingnya hutan-hutan kota terhadap proses dan siklus alamiah yang terjadi, serta berpengaruh langsung terhadap kehidupan yang tidak dapat disubstitusi. Aspek pemenuhan keinginan masyarakat Keinginan penduduk perkotaan, yang cenderung mendambakan kenyamanan lingkungan dari tahun ke tahun, cenderung semakin meningkat. Kota Jakarta yang “risau” padatnya permukiman penduduk, lalu-lalangnya jumlah kendaraan bermotor dengan segala jenis emisi polutan, sering menyebabkan masyarakat “merasa penat” (bosan dan rindu) terhadap lingkungan alam terbuka. Kepenatan masyarakat ini sering ditunjukan oleh banyaknya masyarakat perkotaan yang sering keluar kota hanya untuk mencari dan menikmati keindahan alam terbuka. Demikian halnya dengan banyaknya kelompok-kelompok pencinta alam, baik dikalangan mahasiswa, pelajar dan atau pemuda lainnya sering mendambakan kondisi lingkungan alam terbuka hijau, melalui kegiatan kamping dan atau lainnya di luar kota. Keinginan masyarakat terhadap kawasan hijau, pertama karena alasan kepenatan lingkungan, dan kedua pentingnya kawasan hijau untuk kesegaran jasmani dan rekreasi alam. Alasan kedua ini, memberikan pengertian perlunya kenyamanan lingkungan sebagai pendukung kesehatan. Udara yang segar, dengan ketersediaan oksigen bebas dan cukup, menjadikan setiap individu masyarakat perkotaan ingin mendambakannya. Melalui uraian keinginan masyarakat terhadap kawasan hijau untuk menopang kenyamanan lingkungan, pada hakekatnya merupakan modal dasar dalam kaitannya keperdulian masyarakat terhadap kehadiran kawasan hijau sebagai penyangga lingkungan kehidupannya. Dalam pada itu, persepsi dan sambutan masyarakat terhadap Obsesi Jakarata Teduh Hijau Royo-royo dan Berkicau, dalam kaitannya dengan aspek kenyamanan dan “ramah lingkungan”, nampaknya telah dinantikan dan disambut baik oleh masyarakat dan semua pihak, karena kecenderungan semakin menurunnya daya dukung lingkungan, yang ditandai dengan semakin meningkatnya kondisi lingkungan fisik kritis perkotaan, yang telah melebihi abang batasnya.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
14 Aspek manfaat hutan kota Kualitas lingkungan hidup di perkotaan (udara, air, tanah dan ruang), semakin lama cenderung semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti pemukiman, perindustrian, pusat-pusat kegiatan kota yang cenderung semakin meningkat. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak untuk dapat mengurangi dan mencegah menurunnya kualitas lingkungan hidup. Berbagai potensi dan peluang hutanhutan kota, dinilai mampu memberikan jasa-jasanya secara lestari kepada masyarakat untuk mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis-krisis lingkungan yang secara rinci diuraikan sebagai berikut; Ameliorasi iklim Salah satu masalah penting di lingkungan perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara, karena kutub-kutub panas kota sebagai akibat banyaknya jalan beraspal dan betonan, bangunan bertingkat dan berdinding kaca, papan reklame, menara dan antene pemancar. Dibangunnya hutan kota, atas jasa penutupan vegetasi dapat memodifikasi iklim mikro, sebagai akibat dari pengaruh naungan, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan radiasi gelombang panjang, menahan tetesan air hujan, pendinginan udara melalui evapotranspirasi dan meningkatkan kelembaban udara. Kesemuanya itu dapat menimbulkan rasa kenyamanan bagi penduduk perkotaan, melalui pengaruh terhadap suhu kulit mereka. Kenyamanan bagi manusia, dapat diterminasi dengan cara menghubungkan unsurunsur kenyamanan dan observasi kisaran yang melampoi batas yang berkenan dengan “mintakat kenyamanan manusia”. Mintakat ini bersifat relatif, berbeda di antara penduduk kota yang satu dengan lainnya; perbedaan tampak jelas bagi mereka yang berasal dari daerah dengan letak geografis yang berbeda. Salah satu faktor yang dapat memanipulasi jumlah pantulan radiasi matahari terhadap iklim mikro adalah penutupan vegetasi (Robinette, 1983). Radiasi matahari yang jatuh kepermukaan bumi sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang dan posisi jatunya sinar. Berbagai kelompok vegetasi dengan permukaan tajuk dan kondisi strata pelapisannya, sangat besar peranannya dalam mematahkan pantulan sinar matahari yang jatuh, dan cepat kehilangan radiasi yang diserapnya melalui pancaran kembali (re-radiasi) dari pada permukaan gedung, betonan dan aspal. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara di beberapa tempat di DKI Jakarta telah dilakukan (Waryono, 1996). Pada areal bervegetasi lebat (hutan kota Kemayoran) suhu udara pada bulan Juli berkisar 25,5 -31oC, dengan kelembaban 74-84%; pada areal yang kurang bervegetasi (terbuka) tercatat 29,3 -32,4oC, dengan kelembaban 67-76%; sedangkan di atas betonan dan aspal tercatat 30,5 -32,6oC, dengan kelembaban 54-65%. Hasil pendataan di atas, memberikan gambaran bahwa potensi penutupan vegetasi secara nyata dapat meredakan iklim mikro, yang penting bagi mintakat kenyamanan manusia.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
15 Penangkal polusi butir padatan debu Sebagai akibat dari pengurangan laju kecepatan angin oleh jajaran dan kerapatan pepohonan, kotoran dalam udara akan mengendap pada dedaunan. Kondisi hutan kota yang rawang (kerapatan jarang), terhadap besaran pengikatan polusi butir padatan debu, menunjukkan hasil yang berbeda dibanding dengan keadaan padatan yang relatif rapat, dan mencapai nilai terbesar pada layar bagian terdepan, diikuti nilai minimal pada layar bagian dalam. Hasil pengukuran butir padatan debu pada bulan Juli, 1996 di kawasan Cagar Alam Pancoran Mas Depok, telah dilaporkan oleh Waryono (1996). Pada layar bagian terdepan hingga setebal 5 meter, padatan debu rata-rata 27,5-42,2 mg/15 cm2 daun, di layar berikutnya 5-10 meter, tercatat 9,2-13,4 mg/15cm2 daun, sedangkan di bagian tengah >10 meter tercatat 5,1-6,9 mg/15 cm2 daun. Hasil pendataan di atas, memberikan gambaran bahwa potensi penutupan vegetasi secara nyata dapat mengendapkan polusi padatan debu, yang berbeda berdasarkan jarak dari sumbernya. Penangkal polusi gas Kecuali terhadap keseimbangan gas CO2 (karbon dioksida), peranan hutan kota sangat berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan udara kota. Aqliran udara perkotaan dengan cuaca berangin, cenderung dapat meningkatkan polusi udara, seperti gas-gas beracun, hasil pencemaran gas industri dan aerosol. Gas-gas terhimpun dengan bahan padatan, dan akan tersaring oleh jajaran pepohonan yang secara alami berfungsi sebagai penangkal gas berbahaya berserta partikel-partikelnya. Ventilasi kota Angin harian, pada panas radiasi matahari akan efektif berperan sebagai pemacu sirkulasi udara di wilayah perkotaan. Tanpa pepohonan di wilayah perkotaan, maka angin dengan bebas secara kontinyu membawa partikel-partikel polusi. Namun sebaliknya pepohonan dalam bentuk hutan-hutan kota pada arah tegak lurus terhadap angin yang datang akan memurnikan dan mendinginkan udara, menyerap C02 dan membebaskan oksigen melalui proses fotosintesa. Aliran udara dalam situasi panas, yang membentur pepohonan akan terpilah-pilah arahnya dan semakin menjadi dingin dan bercampur dengan oksigen bebas hasil fotositesa. Dengan demikian pranan fungsi hutan kota menjadi lebih nyata sebagai ventilasi udara lapang, hingga menjadikan situasi perkotaan relatif lebih nyaman. Pengendali silau udara Suatu hal yang cukup penting peranan vegetasi hutan-hutan kota pada bentang alam adalah mengurangi ketidak nyamanan visual yang diakibatkan oleh silau cahaya dan pantulannya, termasuk cahaya matahari langsung, dan atau silau cahaya lampu jalanan. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
16 Cahaya yang memantul dan tertahan oleh penutupan vegetasi, kualitasnya akan berbeda dibanding dengan pantulan langsung. Silau yang ditimbulkannya menjadi silau sekunder. Jadi jelaslah bahwa keefektifan pepohonan hutan kota, berperan dalam meredam dan melunakan silau cahaya, baik di lingkungan jalur jalan, pemukiman maupun tempattempat umum. Paru-paru kota Kandungan oksigen (O2) di atmosfer menurut pendapat umum, berasal dari hasil proses fotosintesa tumbuhan hijau, selama pembentukan bumi. Meningkatnya konsentrasi CO2 di udara bersamaan dengan berkurangnya oksigen, dapat menaikan suhu udara pada permukaan bumi. Untuk itu setiap kelompok bagian dari hutan kota, akan dapat membantu untuk mencegah kekurangan oksigen secara lokal. Dengan demikian penyebaran hutan-hutan kota berperan sebagai sumber oksigen yang berarti pula merupakan paru-paru kota. Penangkal kebisingan Kebisingan bukan saja bervariasi menurut tekanan suranya, tetapi juga sangat berhubungan dengan frekwensinya. Pepohonan dapat meredam kebisingan dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Menurut Grey & Deneke (1978), pengembangan pepohonan dalam bentuk shelter belt, dengan penutupan yang rapat dan berlapis-lapis, menunjukan pengurangan kebisingan yang cukup besar hingga 95% dari sumbernya. Dengan demikian kriteria bentuk hutan kota yang dicirikan dengan jarak tanam rapat, mempunyai pelapisan tajuk yang berlapis-lapis, dinilai efektif dalam meredam kebisingan. Pengendali air limbah Cara yang dianggap modren dalam pengendalian air limbah, dilakukan dengan mengalirkannya dan ditampung dalam bak, yang selajutnya diberikan perlakuan-perlakuan. Setelah itu air yang dianggap telah netral dan bebas dari bahan-bahan berbahaya, dilepaskan dan menju kelapisan air tanah dangkal dan akhirnya menuju ke lapisan air tanah dalam. Akan tetapi kurang kontrolnya terhadap hasil uji penetralan air limbah, justru akan menimbulkan bahaya kesehatan, dengan dimanfaatkannya air tanah untuk kepentingan sehari-hari. Dalam hal ini tanah dipergunakan sebagai filter mekanis alami yang dibebani dengan kapasitas di luar biologisnya. Cara teknik yang terpercaya adalah dengan mengalirkan air limbah kedalam tanah dengan aplikasi pemanfaatan seluruh bio-sistemnya. Komponen hutan kota yang terdiri dari tanah, tetumbuhan dan bio-sistemnya mempunyai potensi sebagai penyaring hidup (bio-flter) yang mampu menetralisir air limbah di perkotaan, untuk memperbaiki aliran bagi penjernihan air tanahnya. Zat-zat mineral dan sisa-sisa diterjen bisa dihilangkan dan dikurangi pencemarannya oleh mikroorganisme dalam lapisan tanah permukaan, melalui proses perubahan kimia, Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
17 pertukaran ion, transformasi biologik dan penyerapan biologis melalui sistem perakaran tetumbuhan yang menutupnya. Kapasitas infiltrasi dan perkolasi melalui sistem perakaran tumbuhan secara alamiah mampu menetralisir air limbah yang tertimbun, pada tingkat yang diinginkan (Grey & Deneke (1978), demikian halnya dengan kapasitas absorpsi kimia tanah pada sistem perakaran cukup mampu untuk menahan mineral-mineral terlarut yang akan dimanfaatkan oleh tumbuhan, mikroorganisme, dan sekaligus sebagai ajang penetralisis air sebelum tertampung sebagai persediaan air tanah. Pengendali erosi Pertumbuhan hutan sangat berperan dalam menghambat atau mencegah terjadinya erosi yang berlangsung secara cepat. Hal ini mengingat bahwa kondisi hutan dengan tumbuhan bawah dan limpahan bahan organik di permukaannya, mampu menghalangi tumbukan-tumbukan butir-butir air hujan, mengurangi laju aliran air limpasan, dan meningkatkan kapasitan infiltrasi tanah. Erosi di wilayah perkotaan sebagian besar terjadi di wilayah dan derah pengembangan kota, kerusakan terjadi karena penggunaan peralatan berat. Peranan hutan kota semakin menonjol fungsinya untuk pengendalian dan pencegahan terhadap besarnya laju erosi. Dengan demikian semakin meningkat dan meluasnya pengembangan wilayah, cenderung akan menimbulkan bahaya erosi yang besar. Mengurangi stress Kehidupan di Jakarta, menuntuk aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun demikian lingkungan hidup di kota ini berpeluang yang sangat tinggi untuk tercemar baik oleh kendaraan bermotor, maupun aktivitas industri. Sebagai contoh sering dijumpainya petugas-petugas lalu lintas, dan atau pengemudi dengan nada dan temperamen yang tinggi, yang nampaknya akibat pengaruh kekurang nyamanan di wilayah perkotaan. Keberadaan hutan kota, nampaknya dapat memacu dan mengurangi sifat negatif tersebut di atas. Kesejukan dan kesegaran atas jasa biologis pepohonan akan menghilangkan kejenihan dan kepenatan setiap insan masyarakat. Pelestarian plasma nutfah Plasma nutfah merupakan bahan baku biologis yang penting dalam pembangunan, dalam kaitannya dengan pangan, papan, sandang, obat dan indstri. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Hutan kota, dapat dipergunakan sebagai wahana koleksi keanekaragaman hayati, karena dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, yang sangat memungkinkan untuk dijadikan ajang pelestarian flora dan fauna secara eksitu, baik kehidupan hayati asli daerah maupun berasal dari luar daerah. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
18 Habitat kehidupan satwa liar Bermigrasi dan atau hilangnya jenis-jenis kehidupan satwa liar di DKI Jakarta karena terganggunya habitat sebagai ekosistemnya, sehingga akan mencari habitat baru yang sesuai. Potensi hutan kota dengan potensi jenis-jenis pepohonannya sebagai sumber dan penyedia pakan (biji-bijian, dedaunan dan bunga), serta tempat berlindung bagi satwa seperti serangga. Pohon-pohon dengan figur yang besar dan rimbum dapat menarik satwa burung, untuk dijadikan tempat berlindung, bersarang dan atau bertangkar. Program sangtuari satwa di wilayah perkotaan, nampaknya seiring dan sejalan dengan pembangunan hutan kota sebagai habitat kehidupan satwa liar. untuk itu pertimbangan dalam pemilihan jenis menjadi penting, karena salah tujuan yang diinginkan dapat memacu kehadiran beberapa jenis burung, kupu-kupu, serangga penghasil madu, dan atau beberapa satwa lainnya. Mengatasi intrusi air laut Menyusupnya air laut ke zona air tanah dangkal, disebabkan oleh pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Upaya pengendaliannya tidak lain dengan meningkatkan kandungan air tanah. Peranan fungsi pepohonan dengan sitem perakaran dalam yang merupakan bagian dari hutan kota, secara alamiah dapat mengatasi besaran laju intrusi air laut, karena mampu menginfiltrasi air hujan kedalam tanah. Meningkatkan keindahan kota Nilai kontras bentuk dan warna bangunan diperkotaan yang dipaduserasikan dengan bentuk-bentuk estetika pepohonan yang merupakan komponen hutan kota (warna, struktur tajuk, ukuran, bentuk strata tajuk dan keanekaragaman bunga), dapat memberikan kesan pandang serasi dan sesuai, serta memacu keindahan lingkungan kota.
Aspek Pemberdayaan Kemitraan Pembangunan Hutan Kota Mencermati atas kepedulian Pemda DKI Jakarta terhadap perlunya pembangunan hutan kota, lebih cenderung disebabkan oleh dua faktor, yaitu semakin meningkatnya lingkungan fisik kritis, dan kebutuhan masyarakat akan kenyamanan lingkungan. Pemahaman tersebut, dalam kaitannya dengan upaya pengendalian terhadap lingkungan fisik kritis, mengundang pengertian keikutsertaan, yaitu (a) masyarakat yang menginginkan kenyamanan lingkungan, dan (b) keperdulian semua pihak terkait, dengan faktor penyebab terjadinya lingkungan fisik kritis, serta pengelolan yang berwewenang menanganinya. Pengertian semua pihak terkait, dalam mewujudkan pembangunan hutan kota, pada hakekatnya merupakan unsur institusi dan atau lembaga baik dari unsur pemerintah, swasta maupun perorangan sebagai pemrakarsa “stakeholder” untuk berperan aktif dan berkiprah Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
19 dalam mengendalikan dan mengatasi fenomena permasalahan lingkungan fisik kritis perkotaan. Sumber lingkungan fisik kritis terbesar adalah kendaraan bermotor yang berarti terkait langsung dengan pemberdaya bahan bakar gas (BBG), produksen kendaraan bermotor, dan pengguna (pemilik). Demikian halnya dengan faktor penyebab lainnya seperti industri, pemilik gedung berdinding kaca, serta masyarakat perkotaan itu sendiri. Keterpaduan bagi semua pihak dalam hal: memahami, perduli dan perlunya penanganan lingkungan, tampaknya merupakan langkah awal terciptanya kenyamanan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Aspek strategis pembangunan hutan kota dan peranannya dalam RTH DKI Jakarta, secara konseptual memberikan pengertian atas aspek konservasi dan rehabilitasi lahan. Konservasi memberikan pengertian atas upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan optimal secara terkendali dan berkelanjutan, atas dasar peranan fungsi hutan kota. Rehabilitasi lahan, merupakan upaya penanganan untuk tujuan pemulihan, melalui peningkatan dan atau perbaikan mutu peranan fungsi hutan kota, agar terciptanya keseimbangan yang berarti dalam mengatasi fenomena lingkungan fisik kritis. Membangun hutan, memberi pengertian mendayagunakan sumberdaya lahan (tapak) menjadi lebih potensial dan produktif, bahkan bermanfaat sesuai dengan peranan fungsinya, berdasarkan kaidah-kaidah konservasi. Pengembangan jenis sesuai dengan kesesuaian tapaknya, merupakan cara-cara yang harus ditempuh, karena keberhasilan pembangunan hutan kota di DKI Jakarta sangat ditentukan oleh strategi dan aplikasi penyelenggaraannya, termasuk pemrakarsa (stakeholder).
Daftar Pustaka Bermatzky. A., 1978. Tree Ecology and Preservation. Elsevier Science. Co. Amesterdam. Dahlan, E., 1992. Ekologi Kota: Masalah Pembangunan, Menurunnya Kualitas Lingkungan dan Hutan Kota. Fakultas Kehutanan IPB. Dinas Kehutanan DKI Jakarta,1996. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Pemerintah DKI Jakarta. Tidak dipublikasikan. ________________________,1997. Perencanaan Tapak Hutan Kota di Tingkat Wilayah Kota DKI Jakarta. Proyek Pembangunan Hutan Kota Tahun Anggaran 1996/1997. ________________________,1998. Pemantapan Data Kawasan Lindung Di DKI Jakarta. Proyek Pengelolaan Kawasan Lindung Tahun Anggaran 1997/1998. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, 1997. Konsep dan Kriteria Dasar Pengelolaan Kawasan Lindung. Seminar Kawasan Lindung Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Gary KM, C. Ronald Carroll. 1994. Principles of Conservation Biology. Sanuer Associates, inc Institute of Ecology. University of Georgia. Grey, G.W. & Deneke, 1978. Urban Forestry John Wiley and Sone. Hunter, JR, Maclcolm, 1995. Fundamental of Conservation Biology. Department of Wildlife Ecology University of Marine USA.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
20 KPPL, 1996. Laporan Kegiatan Tahun Anggaran 1995/1996. Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan. Tidak dipublikasikan. Kadri Wartono, 1980. Konservasi Sumberdaya Hutan. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Makalah Utama Seminar Pengusahaan Hutan di Indonesia. Kanwil Kehutanan DKI Jakarta, 1994. Rencana Pembangunan Kehutanan JABOTABEK. Kanwil Kehutanan DKI Jakarta. PPST, 1997. Laporan Hasil-hasil Penelitian Tahun Anggaran 1996/1997. Pusat Penelitian Sain dan Teknologi Universitas Indonesia. Waryono. T,. 1996. Pengaruh Hutan kota Terhadap Beberapa Unsur Iklim Mikro Di DKI Jakarta dan Sekitarnya. Pengelola Hutan Kota Kampus Universitas Indonesia. Waryono, T dan Suprijatna, N. 1997. Aspek Pemberdayaan Atas Kekurang Perdulian Masyarakat Terhadap Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Publikasi HK-07/1997. Pelaksana Program Pembangunan Hutan K ota Universitas Indonesia. ______________________, 1997. Prisip Dasar manajemen Konservasi Biologi Untuk Mencapai Tujuan. Program Pasca Sarjana Biologi Universitas Indonesia. Wityanara, Darodji. 1997. Aspek Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan Dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Hutan Kota di DKI Jakarta. Bahan Penyuluhan Dinas Kehutanan DKI Jakarta Tahun Anggaran 1996/1997. _______________, 1997. Konsepsi Dasar Pembangunan Hutan Kota di DKI Jakarta. Makalah Utama Pelatihan Petugas Hutan Kota. Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008