1 KOORDINASI PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN DI TIGA PROVINSI (JABODETABEK) *) Oleh: Tarsoen Waryono **)
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah lingkungan hidup dewasa ini telah berkembang sebagai isu global, sehingga menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh terhadap aspek fenomena permasalahanya. Berbagai negara di dunia semakin meningkatkan keperduliannya terhadap masalah-masalah lingkungan hidup, sebagai bentuk perwujudan keprihatinan terhadap semakin merosotnya kondisi lingkungan globa, karena menjadi tanggung-jawab semua negara untuk memperbaikinya. Perhatian masyarakat internasional untuk menata secara formal terhadap aspek-aspek lingkungan hidup global, telah dilaksanakan sejak dekade tahun 1970-an, yaitu ketika atas prakarsa PBB melangsungkan Konperensi Lingkungan Hidup Sedunia yang pertama di Stockholom, Swedia pada tahun 1972. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut berperan aktif dalam konperensi tersebut. Konperensi itu dikenal sebagai United Nations Conference on Human Environment yang lebih menyoroti aspek lingkungan hidup manusia. Sebagai tindak lanjut dari konperensi di atas, 20 tahun berikutnya tepatnya tahun 1992, hadirlah KTT Bumi Rio Jenario. Pendekatannya ternyata berbeda dengan konperensi yang pertama dan memiliki konotasi terhadap lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tumbuh berkembangnya pembangunan di Indonesia, atas prisip-prinsip KTT Rio Jenario, dalam GBHN 1993-1998, memberikan penekanan tidak hanya terhadap manfaat ekonomi, lapangan kerja dan perolehan devisa, akan tetapi lebih menekankan pada dua aspek yang sangat mendasar yaitu: (a). Peningkatan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, melalui konservasi fisik, tata air tanah dan biota (flora dan fauna), (b). Peningkatan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyu-sunan kebijakan pelaksanaan pembangunan. Mencermati atas penekanan seperti tersirat dalam GBHN, dimana dua peningkatan baik pelestarian terhadap sumberdaya alam maupun peran serta pemerintah daerah dalam pengelolaannya, embanan ini lebih mendudukan posisi strategis bagi tiga Propinsi baik DKI Jakarta, Banten maupun Jawa Barat, dalam menangani dan mengendalikan bentuk-bentuk kerusakan lingkungan hidup. *). Makalah Dalam Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Regional, Jakarta 27 Oktober 2004 **). Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2 Posisi strategis ini mengingat bahwa wilayah JABODETABEK merupakan satu kesatuan ekosistem alam berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Agar niat kesungguhan atas kepedulian terhadap penyelamatan, pelestarian dan penataan ruang lingkungan hidup dari ketiga propinsi, perlu dikoordinasi, agar langkah-langkah untuk mewujudkan "mintakat kenyamanan lingkungan hidup" dapat ditunjang dan ditopang oleh semua pihak yang berkepentingan. Mintakat kenyamanan lingkungan hidup, hanya dapat dicapai apabila terciptanya keseimbangan dan keserasian alam (tanah, air dan udara) sebagai wahana kehidupan manusia di muka bumi; hal ini mengingat bahwa. (a). Ancaman terhadap fenomena alam dan lingkungan hidup di wilayah JABODETABEK, secara sadar telah diantipasi sebagai akibat (dampak) semakin meningkatnya laju kegiatan pembangunan di berbagai Sektor. (b). Peningkatan laju pembangunan di wilayah ini secara langsung maupun tidak langsung, dipengaruhi oleh: (1) laju pertumbuhan penduduk, (2) meningkatnya alih fungsi penggunaan lahan, (3) meningkatnya laju aktivitas transportasi baik lintas darat maupun lintas perairan laut, dan (4) pentingnya penanganan atas beberapa fenomena kejadian alam seperti kekeringan, banjir, cemaran air dan atau udara, serta beberapa permasalahan sosial lainnya. Salah satu di antara beberapa faktor kurang optimalnya upaya pengendalian dampak lingkungan di wilayah JABODETABEK, selain disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fenomena permasalahan lingkungan, juga lemahnya penerapan (implementasi) pemanfaatan ruang, karena belum mantapnya penegakkan peraturan perundangan dalam memberi-kan sanksi yang memadai terhadap pelanggar lingkungan. Di sisi lain kepekaan sebagaian masyarakat terhadap perubahan kualitas lingkungan, sering dijadikan sebagai isu dalam memacu pertentangan pendapat antar berbagai pihak yang berkepentingan. Mencermati atas diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, secara otomatis pengelolaan lingkungan hidup sangat berpeluang untuk bekerjasama antar daerah, hingga bentuk-bentuk kerusakan lingkungan yang telah terjadi dan kemungkinan akan terjadi dapat ditangani dan diantisipasi dalam satu kesatuan tindak yang saling menguntungkan antar wilayah satu dengan lainnya. Sejalan dengan semakin merosotnya kualitas lingkungan di wilayah hulu JABODETABEK (780.000 ha), hingga menimbulkan dampak negatif >10% di wilayah bagian hilirnya. Kini bukan lagi saatnya untuk mempersoalkan dan atau saling menyalahkan satu dengan lainnya, akan tetapi kiprah nyata apa yang harus dilakukan baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, sehingga misi pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hidup dapat teratasi secara tuntas. Mencermati uraian di atas, serta memperhatikan niat kesungguhan ketiga Propinsi untuk berkiprah nyata dalam pemulihan kerusakan lingkungan hidup, nampaknya koordinasi dalam pelaksanaannya perlu dipaduserasiksan khususnya dalam keterpaduan penyusunan program unit secara berkelanjutan.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
3 B. Maksud, Tujuan dan Sasaran Membangun koordinasi pelaksanaan dan penyusunan program unit, pada hakekatnya merupakan maksud dan tujuan dalam laporan ini. Program unit dimaksud, merupakan bentuk kegiatan yang ingin diwujudkan, sebagai acuan dan pedoman rancang tindak pemulihan melalui penanganan dan pengendalian kerusakan lingkungan hidup di seluruh wilayah JABODETABEK. Adapun sasaran yang hendak dicapai antara lain: (1). Memperdayakan pulih kembalinya produktivitas lahan, dan pengaturan tata air tanah, serta peningkatan peranan fungsi kawasan-kawasan tandon air, (2). Merehabilitasi pulih kembalinya penutupan vegetasi, untuk meningkatkan peranan fungsi jasa bio-eko-hidrologis tetumbuhan, serta memacu kembali daya dukung wahana keberlangsungan hidup satwa liar, (3). Terkendalinya kekeringan, banjir dan atau intrusi air laut ke wilayah daratan, (4). Terciptanya kenyamanan lingkungan hidup bagi warga masyarakat di seluruh pelosok wilayah JABODETABEK, yang telah sejak lama mengidamkannya. Selain sasaran terhadap potensi fisik wilayah, sasaran lain yang ingin diwujudkan antara lain mencakup: (1). Meningkatnya tingkat profesionalisme SDM khususnya dalam pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan hidup, serta meningkatnya kesadaran setiap insan masyarakat terhadap pentingnya makna kenyamanan lingkungan hidup: (2). Meningkatnya pelayanan publik, dalam kaitannya dengan informasi serta solusi pemecahan terhadap fenomena ancaman lingkungan hidup. (3). Meningkatnya kapasitas kelembagaan baik di lingkungan Pemerintah, Swasta, LSM maupun masyarakat dalam upaya peningkatan pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. (4). Memasyarakatnya pelaksanaan AMDAL, bagi pelaksana kegiatan yang wajib melengkapi dokuman AMDAL. (5). Meningkatnya kualitas dan kuantitas pelaksanaan pengawasan, pemantauan, evaluasi, kajian, penelitian dan pengembangan upaya pengelolaan lingkungan hidup. (6). Terwujudnya penanganan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup sesuai dengan norma dan kaidah pengelolaan, agar terciptanya kenyaman lingkungan hidup di seluruh wilayah JABODETABEK. (7). Terciptanya keserasian dalam pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat (Propinsi) maupun daerah (Kabupaten), baik dalam pemantauan maupun aspek pengendaliannya.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4 Arahan Kebijakan Program Pengendalian Kerusakan Lingkungan Terpadu 5.1. Kesepakatan Antar Wialayah Hasil koordinasi antar Wilayah Pemerintahan di lingkungan JABODE TABEK, secara umum menyepakati dalam hal-hal sebagai berikut: (a). Menyusun program terpadu di seluruh wilayah JABODETABEK, serta membuat alternatif pendananan dalam pengendalian perusakan lingkungan. (b). Skala prioritas kegiatan yang direncanakan, difokuskan di sekitar sempadan sungai (13 bantaran) dan dua DAS Besar (Citarum tengah dan hilir, maupun Cisadane). (c). Azas kesetaraan, merupakan konsepsi kemitraan, dxalam pelibatan unsur pemerintah, publik, masyarakat dan pelaku ekonomi. (d). Dukungan data wilayah, seyogianya dilengkapi dengan skala Peta 1: 50.000. 5.2. Arahan Program Terpadu Pengendalian Tata Air Kemerosotan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, membawa konsekuensi bukan saja menurunnya tingkat produktivitas, akan tetapi menghangatkan isu silang pendapat munculnya permasalahan lingkungan. Penggunaan tanah yang keliru dan kurang tepat, mengakibatkan fenomena alam seperti banjir, kekeringan, perubahan iklim global, dan bahkan kemungkinan terjadinya penggurunan (desertification). Silang pendapat di atas, menurut (Waryono, 1997), pada dasarnya erat kaitannya dengan mekanisme bentuk hubungan antara perubahan penggunaan tanah dengan pergerakan (tata) air tanah yang merupakan bagian dalam siklus geohidrologi. Terganggunya tata air tanah di wilayah perkotaan bukan saja disebabkan oleh hilangnya penutupan vegetasi, dan atau terbatasnya lapisan tanah yang mampu menginfiltrasi air kedalam tanah, akan tetapi sering lebih cenderung disebabkan kekurang seimbangan antara masukan air kedalam tanah (infiltrasi) dengan keluaran dalam bentuk pemanfaatan volume air yang secara teknis tidak terkontrol. Pengedalian tata air tanah, mencakup pengelolaan kawasan resapan air dan aspek pengendaliannya. Penalaran gagasan rasional ini, memiliki arti penting sebagai penyangga kehidupan. Pemahaman di atas, memberikan gambaran pentingnya mempertahankan, menyelamatkan dan melestarikan potensi sumber daya air tanah. Ketiga embanan tersebut, bukan saja menjadi tugas bagi Pemerintah, akan tetapi merupakan tanggung-jawab dari semua pihak-pihak berkepentingan, termasuk masyarakat. Kondisi fisik kawasan resapan air dan kawasan tandon air (situ-situ) di wilayah JABODETABEK, pada hakekatnya merupakan kunci dasar pendekatan dalam manajemen penangananya. Potensi daya dukung kawasan resapan air dan lingkungan situ-situ seperti penutupan vegetasi, selain memiliki peranan fungsi jasa bio-hidrologis, juga berperan sebagai pendukung nilai estetika pada lingkungannya. Perlunya perlindungan kawasan resapan air selain berperan dalam untuk mengendalikan kuantitas (persediaan air tanah) juga terhadap kualitas airnya. Menurut Waryono (1998), kualitas air tanah dangkal pada berbagai tipe permukiman di wilayah perkotaan (DKI Jakarta dan Kota Bekasi), memperlihatkan kecenderungan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5 terganggunya kualitas air tanah. Selain dipengaruhi oleh pembuangan limbah rumah tangga (ditergen), juga sumber-sumber cemaran home industri. Pada saat musim kemarau, cemaran ditergen turun kedalam tanah, dan mengikuti naiki turunnya air tanah. Tanah-tanah yang tercemar, pada kedalaman tertentu walaupun air tanah saat itu telah kembali (naik kembali) karena suplai air hujan. Mencermati fonemena permasalahan di atas, harapan munculnya kebijakan terpadu sebagai kaidah dan rambu-rambu untuk tujuan penyelamatan dan pelestarian lingkungan baik terhadap kawasan resapan air maupun kawasan tandon air, mendudukan posisi strategis dalam mempertahankan fenomena spesifik daerah resapan di wilayah JABODETABEK. Untuk menjamin agar urgensinya kebijakan kawasan resapan tetap terjamin atas keberadaan dan pelestariannya, seyogianya setiap Rentrada (Rencana Strategi Pembangunan Daerah), memuat kiat-kiat yang erat kaitannya dengan pelestarian sumberdaya air dan lingkungannya. Penanganan kawasan resapan air dan situ-situ secara terpadu dan berkelanjutan, hendaknya didasarkan atas pemantapan hasil-hasil perhitungan yang erat kaitannya dengan koefisien dasar bangunan (KDB), atau dalam konsepsinya lebih rasional dengan menggunakan perhitungan IPR. Agar tujuan dan sasaran kebijakan pengelolaan kawasan resapan secara terpadu dan berkelanjutan dapat diimplementasikan secara rasional, pendekatan utamanya dilakukan melalui pengukuhan kawasan (hasil penyerasian antara kondisi eksis dengan hasil perhitungan IPR), khususnya pada kawasan-kawasan strategis yang berpengaruh terhadap alur tata air yang ditetapkan sebagai kawasan penyangga. Demikian halnya terhadap pemulihan kualitas melalui rehabilitasi vegetasi asli, juga merupakan bagian penting yang harus diarahkan sejak awal. Aplikasi pengelolaan kawasan resapan air dan pengembangan ekosistem perairan pada dasarnya harus dirancang secara jelas, melalui penyusunan rencana tapak, sebagai langkah awal. Penyusunan rencana tapak ini, sebagai penjabaran dari rencana detail ruang. Rencana detail ruang ini, didasarkan atas hasil penyerasian antara IPR dengan kondisi eksis pada kawasan-kawasan strategis yang memiliki potensi sumberdaya air yang perlu dipertahankan, dipaduserasikan dengan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah (RRTRW). Mencermati belum tersedianya IPR wilayah JABODETABEK, seyogianya dapat diantisipasi melalui pemaduserasian berdasarklan potensi tata air tanahnya. Demikian halnya terhadap pengembangan kawasan ekosistem perairan (situ-situ), dimana pengukuhan kawasan menjadi syarat mutlak untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya okupasi. Langkah berikutnya, perlu dukungan atas peranan fungsi jasa penutupan vegetasi, selain berfungsi sebagai penyaring (filter) baik sifat fisik maupun kimia air dan tanah, juga merupakan penopang dan dukungan nilai-nilai estetika pengembangan ekosistem perairan yang erat kaitannya dengan siklus geohidrologi tata air resapan. Didasari atas konsepsi pengelolaan kawasan resapan air dan pengembangan lingkungan situ-situ secara terpadu berkelanjutan, seperti uraian di atas, serta aspek daya dukung fisik wilayahnya, untuk itu dalam perencanaan pengelolaannya perlu memperhatikan beberapa aspek yang erat kaitannya dengan keterpaduan, kelembagaan dan sumber pendanaannya. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6 5.3. Program Terpadu Pemberdayaan Masyarakat Masyarakat squatter pada dasarnya merupakan komunitas masyarakat yang bermukim secara ilegal (okupasi) pada suatu wilayah perkotaan yang telah direncanakan peruntukannya, dan atau peranan fungsinya secara jelas diatur dalam Undang-undang (UU. No. 5 tahun 1990 tentang ratifikasi sumberdaya alam dan hayati), serta kebijakan pemerintah melalui Kepres No. 32 tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung. Urgensi pemberdayaan masyarakat dimaksud, menjadi bagian penting dalam program pemulihan lingkungan secara terpadu berkelanjutan. Pendekatan yang harus ditempuh, didasarkan atas: (a). Partisipatif dalam arti mencari jalan keluar agar mereka tetap dalam situasi dan kondisi yang optimal, sesuai dengan keinginan masyarakat secara terkendali; (b). Pemberdayaan dalam bentuk pelatihan yang diarahkan untuk memacu masyarakat mampu untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perairan situ. Untuk mewujudkan kemandirian pembangunan ekonomi bagi masyarakat squatter, melalui pengintegrasian dimensi pembangunan berwawasan lingkungan, diperlukan lima prinsip dasar keserasian yaitu: (a) keseimbangan lingkungan, (b) pemberdayaan ekonomi, (c) pemerataan pembangunan, (d) pengintegrasian dan (e) kemampuan serta niat kesungguhan dalam mensinergikannya. Lima prinsip dasar tersebut, saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Mewujudkan kemandirian, harus mampu meninggalkan tradisi atau cara-cara berfikir dan atau bertindak secara tradisional dan atau konvensional. Oleh karena itu cara berfikir baru, untuk mengantarkan ke cara-cara untuk bertindak secara rasional, menjadi tantangan yang harus ditempuh. Atas dasar itulah melalui berbagai terobosan dengan menfokuskan jalinan hubungan antara perilaku pembangunan (stake holder), termasuk masyarakat di dalamnya, menjadi bagian penting yang harus ditempuh untuk mewujudkan kemandirian masyarakat.
Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Koordinasi antar wilayah Pemerintahan dalam lingkup satu kesatuan ekosistem DAS di wilayah JABODETABEK, menjadi urgen kedudukannya, karena mampu memecahkan fenomena permasalahan lingkungan, dan mencari jalan keluar yang tepat, sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan. 2. Kesepakatan yang telah dikoordinasikan dalam tahun anggaran 2003, diharapkan akan dapat menjadi program aksi pada masing-masing wilayah dan atau dipadukan (kerjasama) antar wilayah; 3. Keterkaitannya dengan alokasi pendanaan terpadu, dititik beratkan terhadap pembangunan sumur resapan, pemulihan bantaran sungai, dan pemulihan kawasan-kawasan tandon air. 4. Pentingnya pemaduserasian bentuk RTH (RTRW 2010), di seluruh wilayah JABO DETABEK, karena dalam satu kesatuan ekosistem DAS.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008