LAPORAN MENGIKUTI THE SEVENTEENTH MEETING OF THE CONFERENCE OF THE PARTIES TO THE CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (COP XVII CITES)
DIREKTORAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2016
DIREKTORAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2016
SAMBUTAN DIREKTUR KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau CITES merupakan konvensi yang bertujuan untuk menghindarkan jenisjenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui sistem pengendalian perdagangan jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta produk-produknya secara internasional. Setiap dua tahun sekali Negara para pihak berkumpul untuk melakukan review dalam penerapan konvensi diantaranya dengan melakukan: a) review progress terhadap konservasi species yang masuk dalam Appendiks, b) mempertimbangkan dan apabila disetujui mengadopsi proposal perubahan list Appendiks I dan II, c) mendiskusikan dokumen dan laporan dari Negara anggota, sidang komite (Standing
Committee, Animal Committee dan Plant Committee), Secretariat dan working groups, d) merekomendasikan
rambu-rambu aturan untuk meningkatkan keefektifan
Konvensi, dan e) membuat ketentuan termasuk mengadopsi pendanaan agar
Secretariat dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Tahun ini, Pertemuan ke-17 CITES diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada 24 September – 5 Oktober 2016. Indonesia sebagai salah satu Negara mega-biodiversity yang kaya akan flora dan fauna serta keanekaragaman hayatinya menjadi salah satu perhatian utama dalam upaya-upaya pengelolaan untuk menghindari terjadinya kepunahan, sehingga posisi Indonesia sangat strategis. Upaya untuk mencegah kepunahan flora dan fauna adalah dengan perlindungan dan pengendalian terhadap pemanfaatannya. Tujuan ini tidak akan pernah tercapai apabila tanpa dukungan dari para pihak. Diharapkan hasil konferensi ini akan memberikan dampak positif terhadap kelestarian keanekaragaman hayati flora dan fauna di Indonesia. Jakarta, Direktur Hayati
Oktober 2016 Konservasi Keanekaragaman
Bambang Dahono Adji NIP. 19580519 198603 1 001
ii
DAFTAR ISI SAMBUTAN................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iii
I.
PENDAHULUAN....................................................................................
1
II. DELEGASI ...........................................................................................
2
III. HASIL PERTEMUAN COP 17 CITES TERKAIT INDONESIA .......................
2
IV. REKOMENDASI ....................................................................................
6
LAMPIRAN .................................................................................................
8
iii
1
LAPORAN MENGIKUTI COP CITES ke-17 Tanggal 24 September – 5 Oktober 2016 Johannesburg, Afrika Selatan I. PENDAHULUAN Pertemuan ke-17 Conference of Parties of the Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (COP 17 CITES) diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 23 September 2016 – 5 Oktober 2016 dihadiri oleh 158 negara (dari 183 negara). COP 17 CITES terdiri dari pertemuan Pleno serta Sidang Komite I dan Komite II yang dilakukan secara paralel dan dihadiri wakilwakil negara pihak CITES, international and non-governmental organization, private
sector dan observers, serta pertemuan Regional. Selain sidang-sidang ini terdapat pula acara sampingan (side event) yang umumnya merupakan propaganda berbagai institusi terkait agenda tertentu di COP. Konferensi ini didahului pertemuan Standing
Committee (SC) ke-67 tanggal 23 Oktober 2016 yang dilangsungkan secara paralel dengan Ministerial Meeting Lekgotla yang di host oleh Pemerintah Afrika Selatan, sidang COP serta ditutup dengan sidang SC ke-68. COP 17 CITES dibuka secara resmi oleh Presiden Afrika Selatan pada tanggal 24 September 2016. Dalam sambutannya, Presiden Afrika Selatan menyampaikan kepada seluruh delegasi negara anggota CITES hal-hal sebagai berikut: -
CITES merupakan instrumen perjanjian antara pemerintah (183 negara) yang sangat penting untuk mengatur perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar;
-
CITES sangat penting bagi pemerintah atau negara anggota untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam kelangsungan hidup mereka;
-
Regulasi terhadap perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar perlu diperkuat, sehingga generasi selanjutnya dapat merasakan manfaat dari sumber daya tumbuhan dan satwa liar;
-
Afrika Selatan dan negara anggota CITES perlu meningkatkan komitmennya dalam konservasi tumbuhan dan satwa liar karena sumber daya ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat;
2
-
Tata kelola perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar adalah sangat penting untuk diimplementasikan dan menjadi tolak ukur keberhasilan bersama;
-
Konsistensi negara anggota CITES sangat diperlukan untuk mendukung upaya konservasi yang berbasis ilmu pengetahuan.
II. DELEGASI Delegasi Indonesia yang hadir pada COP 17 CITES dipimpin oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adapun anggota Delri terdiri atas unsur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Luar Negeri, KBRI Afrika Selatan, Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai) dan observer dari beberapa asosiasi exportir spesies CITES serta LSM/ Non Government Organization. III. Hasil Pertemuan COP 17 CITES Terkait Indonesia A. Ministerial Meeting Lekgotla Direktur Jenderal KSDAE mewakili Menteri LHK menghadiri pertemuan Ministerial
Meeting Lekgotla pada tanggal 23 September 2016, pada kesempatan itu Indonesia menyampaikan statemen singkat terkait dengan komitmen dan upaya-upaya Indonesia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari serta penanganan perdagangan illegal melalui kerjasama internasional. Indonesia juga menyampaikan bahwa CITES merupakan salah satu mekanisme yang efektif dalam pengaturan perdagangan tumbuhan dan satwa liar agar tetap terjaga secara lestari. B. Pertemuan Bilateral Selain menghadiri sidang COP, DELRI dipimpin oleh Dirjen KSDAE juga menghadiri undangan pertemuan bilateral yaitu dengan Malaysia dan Uni Eropa pada tanggal 24 September 2016. Dalam pertemuan bilateral dengan Malaysia, atas usulan Indonesia, Malaysia setuju bahwa proposal listing Lanthanotus borneensis yang semula diusulkan ke appendiks I menjadi appendiks II dengan notasi zero quota from the wild, selain itu Malaysia juga memberikan dukungan untuk Banggai Cardinal Fish agar tidak masuk dalam listing.
3
Sebaliknya Indonesia juga dapat mendukung proposal Malaysia untuk delisting
Crocodylus porosus menjadi Appendiks II zero quota kecuali di Sarawak, namun Indonesia mensyaratkan adanya peningkatan pengamanan di perbatasan mengingat perubahan status ini dapat meningkatkan penyelundupan spesimen dari Kalimantan apabila menggunakan manajemen wild harvest khusus di Sarawak. Perlu diketahui bahwa status Crocodylus porosus di Indonesia adalah appendiks II zero quota kecuali di Papua dengan manajemen ranching. Dalam kesempatan itu juga Malaysia menyampaikan keinginannya untuk segera membahas kerjasama konservasi badak sumatera menindaklanjuti hasil-hasil pertemuan Trilateral Meeting Heart of Borneo (HoB) ke-10 yang disambut baik oleh Indonesia. Pertemuan dengan Uni Eropa adalah membahas proposal listing Banggai Cardinal Fish (Pterapogon kauderni) kedalam Appendiks II oleh Uni Eropa dimana Indonesia tetap menyatakan untuk menolak proposal tersebut. C. COP 17 CITES Secara khusus hasil-hasil pertemuan CoP CITES ke 17 yang perlu mendapat perhatian antara lain terkait perubahan status listing species yang masuk dalam appendiks CITES serta diadopsinya beberapa decision dan resolusi yang terkait dengan Indonesia sebagai berikut: -
Manis javanica (Trenggiling) bersama-sama dengan dengan 7 spesies lainnya yang termasuk dalam genus Manis spp masuk menjadi Appendiks I. Di Indonesia spesies ini telah termasuk jenis dilindungi, upaya perlindungan terutama dari perdagangan liar yang selama ini telah dijalankan harus tetap dijaga bahkan ditingkatkan karena sebagaimana yang disampaikan dalam intervensi Indonesia, upaya peningkatan
listing ke dalam appendiks I tidak akan signifikan dalam mencegah illegal trade tanpa adanya upaya peningkatan regulasi dan penegakan hukum baik di range,
transit maupun consumer states. Selain itu upaya penangkaran terhadap spesies ini perlu dikembangkan sebagai salah satu prioritas guna meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan menjaga kelestarian populasinya di alam. -
Posisi buaya muara (Crocodylus porosus) di Malaysia turun dari Appendiks I ke II zero kuota kecuali wild harvest di Sarawak, perlu diwaspadai bentuk-bentuk
4
penyelundupan dari Kalimantan ke Malaysia karena perbedaan manajemen di Kalimantan yang Appendiks II zero quota. Indonesia pada kesempatan pembahasan agenda ini menyampaikan intervensi keberatan atas manajemen wild
harvest yang akan diterapkan khusus di Sarawak, namun tidak mendapatkan dukungan dari negara pihak yang lain. Oleh karena itu dalam pengelolaan kedepan, Indonesia dapat membuka inisiatif pengelolaan ranching seperti yang telah berjalan di Papua dengan penetapan satwa buru untuk Kalimantan untuk menyamakan manajemen antara Malaysia dan Indonesia. Perlu diketahui status buaya muara di Indonesia adalah Appendiks II zero quota from the wild. -
Lanthanotus borneensis menjadi Appendiks II zero quota from the wild. Spesies ini pada dasarnya telah dilindungi sehingga kewajiban selanjutnya adalah menyampaikan laporan berbagai upaya pengelolaan yang telah dilakukan melalui mekanisme CITES. Selain itu dapat digalakkan upaya penangkaran guna memenuhi permintaan pasar.
-
Disepakatinya proposal Indonesia terkait Rangkong Gading/ Helmeted Hornbill (Rhinoplax vigil) menjadi Resolusi dan decision yang perlu ditindaklanjuti baik oleh Indonesia maupun negara pihak yang lain. Inisiatif terdekat antara lain persiapan untuk regional meeting yang akan di-host oleh Malaysia pada pertengahan tahun 2017.
-
Terdapat decision terkait pengelolaan ular dimana Indonesia diminta untuk menyampaikan laporan upaya pengelolaan jenis Morelia boeleni dan Morelia viridis yang harus dilaporkan pada sidang Animal Committee ke- 29 tahun 2017 mendatang.
-
Banggai Cardinal Fish (Pterapogon kauderni), meskipun EU menarik proposal tersebut namun ada kewajiban Indonesia untuk melaporkan progres upaya konservasi spesies tersebut pada pertemuan Animal Committee (AC) ke-30 (tahun 2018). Kementerian LHK perlu berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengingat saat ini pengelolaan ikan ini menjadi prioritas di KKP dan tengah dirancang National Plan of Action (NPOA)-nya.
-
Perubahan status spesies Hiu dan Pari: Silky Shark/ Carcharhinus falciformis,
Thresher Shark/ Allopias spp, dan Mobula ray/ Mobula spp kedalam Appendix II,
5
sehingga KLHK sebagai MA CITES perlu menyiapkan instrumen CITES bekerjasama dengan KKP. -
Keputusan (decision) terkait Humphead wrasse (Cheilinus undulatus) atau ikan Napoleon yang mendukung perpanjangan decision untuk membantu Indonesia dalam pengelolaan ikan Napoleon. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk membantu pengelolaan Napoleon khususnya program pembesaran yang dilakukan di Anambas dan Natuna.
-
Semua jenis Dalbergia spp masuk dalam Appendiks II. Indonesia perlu menginventarisir jenis-jenis native yang masuk perdagangan dari jenis ini. Dari data yang ada, perdagangan yang signifikan dari genus ini adalah dari jenis non
native sehingga tidak banyak mempengaruhi terhadap regulasi yang telah berjalan saat ini. -
Jenis-jenis gaharu mengalami perubahan anotasi yakni dengan penambahan “wood-chips” sebagai barang yang tidak termasuk pengecualian terhadap ketentuan CITES.
-
Usulan mengenai pengkajian definisi “artificial propagation” untuk tumbuhan, yang Indonesia menjadi salah satu proponennya bersama dengan China, Kuwait dan Jerman, diterima dan diadopsi untuk menjadi agenda pembahasan oleh Plant Committee guna disampaikan pada COP 18.
-
Indonesia menyatakan tidak ikut serta dalam Pilot Project Global Traceability yang diinisiasi oleh RESP yang mengaplikasikan teknologi informasi dan sistem database terpusat dengan menggunakan biometrik sidik kulit reptil. Hal ini dengan pertimbangan bahwa teknologi tersebut sulit diaplikaskan diwilayah Indonesia yang belum seluruhnya dijangkau jaringan internet serta dapat berimplikasi pada sosial ekonomi masyarakat. Indonesia telah mengaplikasi sistem traceability menggunakan metode sticker yang lebih aplikatif untuk kebutuhan Indonesia serta telah diterima oleh pelaku usaha dan tidak ada komplain dari pasar.
-
Indonesia terpilih kembali menjadi member Animal Committee atas nama Dr. Giyanto (LIPI) menggantikan Prof. Suharsono Soemorumekso (LIPI) yang akan bertugas sampai COP 19. Sementara itu posisi Indonesia yang masih tetap berlanjut sampai CoP 18 adalah sebagai member Standing Committee dan
alternate member Plant Committee.
6
D. The Sixty-eight Meeting of the Standing Committee (SC-67) Dalam kedudukannya sebagai anggota SC, Indonesia juga perlu berpartisipasi akktif dalam beberapa working group yang akan dibentuk dalam sidang SC ke-69 pada akhir Desember 2017 di Jenewa yaitu working group untuk: (1) Anotation; (2) Traceability;
(3 ) Rural Communities; (4) Examining Rule of Procedure; ( 5) Monitoring Illegal Killing of Elephat (MIKE) & Elephant Trade Information System (ETIS); (6) Appendix III; (7) Finance; ( 8) Livelihood & Food Security; (9) Cheetah; (10) Demand Reduction; (11) Rhinoceros; (12) Cybercrime; (13) Electronic System & IT; (14) Disposal; (15) Transaction Code; (16) National Ivory Action Plan (NIAP); dan (17) Sturgeon. IV. REKOMENDASI Sehubungan dengan hal-hal diatas, langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilaksanakan antara lain: a. Koordinasi yang sudah dijalankan secara baik antara CITES MA (Kemen LHK), CITES SA (LIPI), KKP, Kemenlu, dan berbagai instansi terkait lainnya harus tetap dijaga dan ditingkatkan. Keterlibatan petugas yang kompeten dan memahami isu di masing-masing Kementerian/Lembaga yang terkait CITES, mutlak diperlukan mengingat kebijakan yang diputuskan pada Pertemuan CITES memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kebijakan politik, ekonomi dan sosial Indonesia, khususnya pendapatan masyarakat dan penerimaan negara (devisa) dari adanya perdagangan luar negeri tumbuhan dan satwa liar. b. Mensosialisasikan hasil-hasil CoP CITES ke-17 kepada stakeholder terkait termasuk para Kepala UPT KSDA Ditjen KSDAE dan pelaku usaha. c. Mengoptimalkan posisi Indonesia yang duduk sebagai member di Standing
Committee, Animal Committee dan alternate member di Plant Committee untuk mengantisipasi isu-isu yang berdampak pada kepentingan Indonesia khususnya dan regional pada umumnya. d. Menyiapkan laporan terkait dengan pengelolaan yang telah, sedang, dan akan dilakukan antara lain untuk jenis Napoleon (Cheilinus undulatus), Banggai
Cardinal Fish (Pterapogon kauderni), Trenggiling (Manis javanica), Biawak kalimantan (Lanthanotus borneensis), Rangkong gading (Rhinoplax vigil), Silky
7
Shark/ Carcharhinus falciformis, Thresher Shark/ Allopias spp, dan Mobula ray/ Mobula spp dan pengelolaan untuk jenis Morelia boeleni dan Morelia viridis. e. Melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap penurunan status appendiks buaya muara (Crocodillus porosus) di Malaysia dari Appendiks I ke Appendiks II
wild harvest di Sarawak antara lain dengan meningkatkan kerjasama pengamanan di perbatasan serta menjajagi kemungkinan menyamakan status manajemen di Kalimantan
dengan
penetapan
satwa
buru
untuk
keperluan
ranching
sebagaimana yang telah dilakukan di Papua. f. Menyiapkan dokumen-dokumen selanjutnya yang akan dibahas dalam sidang
Animal Committee ke-29, Plant Committee ke-23 dan Standing Committee ke-69.
8
LAMPIRAN I. DELEGASI RI PADA COP 17 CITES NO.
NAMA
1. 2.
Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc. Ir. Bambang Dahono Adji, MM., M.Si.
3.
Ratna Kusuma Sari, S.Hut., M.Si.
4.
Firdaus Agung, S.T, M.Sc., Ph.D
5.
Agung Nugroho, S.Si., M.A.
6.
Matheas Ari Wibawanto, S.Hut., M.Sc.
7.
Ir. Evi Haerlina
8.
Mashur bin Mohammad Alias
9.
Dr. Noviar Andayani
10.
Wita Wardani, M.Sc.
11.
Sarmintohadi, S.Pi.,M.Si.
12.
Leni Rahmasari, S.St, Ak, MIR
JABATAN Direktur Jenderal KSDAE, KLHK Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, KLHK Kepala Subdit Penerapan Konvensi Internasional, KLHK Kasubdit Kemitraan dan Sarana Prasarana Konservasi, KKP Kepala Seksi Satwa Liar, KLHK Kepala Seksi Peredaran Taman dan Satwa Liar, KLHK Kepala Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, KLHK Staf Khusus Bidang Pengamanan Tumbuhan dan Satwa Liar, KLHK Koordinator Gerakan Nasional Penyelamatan Biodiversitas Indonesia, Ditjen KSDAE, KLHK Peneliti di Puslit Biologi LIPI Kepala Seksi Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati, KKP Kepala Seksi Multilateral I, Kemenkeu
II. OBSERVER DARI INDONESIA PADA COP 17 CITES 13.
Ir. Maraden Purba
Ketua APEKLI
14.
Indra Wijaya
Direktur Eksekutif AKKII
15.
Adrian Sugiarto
Anggota APBI
16.
Yokyok Hadiprakarsa
Ketua Rangkong Indonesia
17.
Sofi Mardiah Amir Hamid
Wildlife Policy Progam Manager, WCS-IP
18.
Prayekti Ningtias
Marine Officer, WCS-IP
19.
David Kuntel, M.Sc.
Marine Policy Officer, WCS-IP
II. Tabel Proposal dan Hasil COP 17 CITES No, Species, Proponents 1 - Bison bison athabascae
Proposal
Result
Delete Bison bison athabascae from Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 1]
European Union and Georgia
Include Capra caucasica in Appendix II, with a zero quota for wild-taken Capra caucasica caucasica exported for commercial purposes or as hunting trophies
3- Vicugna vicugna Peru
Amendment to the CITES Appendices referring to annotations 1, 2, 3, 4 and 5 of the populations of Vicugna vicugna in Appendix II
4 - Panthera leo
Transfer all African populations of Panthera leo from Appendix II to Appendix I
Accepted by consensus, as amended [deletion of “with a zero quota for wild-taken Capra caucasica caucasica exported for commercial purposes or as hunting trophies”] [Rec. 1] Accepted, as amended and on the understanding that the English and French versions would be accurately aligned with the original Spanish version. The text of the amended annotations can be found in document COM.I.7 (Rev.1) The amendment to proposal CoP 17 Prop. 4 and the draft decisions contained in document CoP17 Com. I. 29 were accepted by consensus. [Rec.12]
Canada 2 - Capra caucasica
Chad, Côte d'Ivoire, Gabon, Guinea, Mali, Mauritania, Niger, Nigeria and Togo 5 - Puma concolor coryi and Puma concolor couguar Canada
6 - Equus zebra zebra South Africa 7 - Ceratotherium simum simum Swaziland
8 - Manis crassicaudata Bangladesh 9 - Manis crassicaudata India, Nepal, Sri
Transfer Puma concolor coryi and Puma concolor couguar from Appendix I to Appendix II
Transfer the Cape mountain zebra, Equus zebra zebra, from Appendix I to Appendix II To alter the existing annotation on the Appendix II listing of Swaziland’s white rhino, adopted at the 13th Conference of Parties in 2004, so as to permit a limited and regulated trade in white rhino horn which has been collected in the past from natural deaths, or recovered from poached Swazi rhino, as well as horn to be harvested in a non-lethal way from a limited number of white rhino in the future in Swaziland Transfer Manis crassicaudata from CITES Appendix II to CITES Appendix I Transfer Manis crassicaudata from CITES Appendix II to CITES Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 6] The Committee agreed that the Annex to Resolution Conf. 12.11 (Rev. CoP16) on Standard nom enclature be am ended to reflect the fact that the taxonomic reference for Puma concolor would henceforth be Wilson and Reader (2005). Accepted by consensus. [Rec. 6]
Rejected by vote in a secret ballot [with 26 Parties in favour, 100 against and 17 abstentions]. [Rec. 13]
W ithdrawn Accepted by consensus. [Rec. 6]
9
No, Species, Proponents
Proposal
Result
Lanka and United States of America 10 - Manis culionensis Philippines and United States of America 11 - Manis javanica and M. pentadactyla United States of America and Viet Nam 12 - Manis gigantea, M. temminck ii, M. tetradactyla, M. tricuspis Angola, Botswana, Chad, Côte d'Ivoire, Gabon, Guinea, Kenya, Liberia, Nigeria, Senegal, South Africa, Togo and United States of America 13 - Macaca sylvanus European Union and Morocco 14 - Loxodonta africana Namibia 15 - Loxodonta africana Namibia and Zimbabwe 16 - Loxodonta africana Benin, Burkina Faso, Central African Republic, Chad, Ethiopia, Kenya, Liberia, Mali, Niger, Nigeria, Senegal, Sri Lanka and Uganda 17 - Falco peregrinus
Transfer Manis culionensis from Appendix II to Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 6]
Transfer Manis javanica and M. pentadactyla from CITES Appendix II to Appendix I
Accepted [with 114 Parties voting in favour, one against and five abstaining. [Rec. 6]
Transfer Manis tetradactyla, M tricuspis, M. gigantea and M. temminck ii from CITES Appendix II to Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 7]
Transfer Macaca sylvanus from Appendix II to Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 7]
Delete the annotation to the listing of the Namibian African elephant population in Appendix II by deleting any reference to Namibia in that annotation
Amended proposal rejected after vote in a secret ballot, with 27 Parties in favour, 100 against and 9 abstaining. [Rec. 13] Amended proposal rejected after vote in a secret ballot, with 21 Parties in favour, 107 against and 11 abstaining. [Rec. 13]
Amend the present Appendix II listing of the population of Zimbabwe of Loxodonta africana by removing the annotation in order to achieve an unqualified Appendix II listing Include all populations of Loxodonta africana (African elephant) in Appendix I through the transfer from Appendix II to Appendix I of the populations of Botswana, Namibia, South Africa and Zimbabwe
Rejected after vote in a secret ballot, with 62 Parties in favour, 71 against and 12 abstaining. [Rec. 14]
Transfer Falco peregrinus from Appendix I to Appendix II
Rejected after vote with 52 in favour, 57against and 12 abstentions. [Rec. 9] Accepted by consensus. [Rec. 10]
Canada 18 - Lichenostomus melanops cassidix Australia 19 - Psittacus erithacus
Transfer Lichenostomus melanops cassidix from Appendix I to Appendix II Transfer Psittacus erithacus from Appendix II to Appendix I
Accepted after vote, in a secret ballot, with 95 in favour, 35
10
No, Species, Proponents Angola, Chad, European Union, Gabon, Guinea, Nigeria, Senegal, Togo and United States of America 20 - Ninox novaeseelandiae undulata Australia 21 - Crocodylus acutus Colombia
22 - Crocodylus moreletii Mexico 23 - Crocodylus niloticus Madagascar
24 - Crocodylus porosus
Proposal
Result against and 5 abstentions. [Rec. 10]
Transfer Ninox novaeseelandiae undulata from Appendix I to Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 10]
Transfer from Appendix I to Appendix II of the population of Crocodylus acutus (Cuvier, 1807) of the « Distrito Regional de Manejo Integrado del Área de Manglar de la Bahía de Cispata y Sector Aledaño del Delta Estuarino del Río Sinú », located in the department of Cordoba, Republic of Colombia, in accordance with Resolution Conf. 11.16 (Rev. CoP15) on ranching and trade in ranched specimens Delete the “zero quota for wild specimens traded for commercial purposes” from the Appendix-II listing of the population of Mexico of Crocodylus moreletii Maintain the Malagasy population of Crocodylus niloticus in Appendix II subject to the following annotations: 1. No skins or products within the artisanal industry from wild C. niloticus less than 1 m or greater than 2.5 m total length will be permitted for national or international trade 2. An initial wild harvest ceiling of 3000 animals per year for the artisanal industry will be imposed for the first three years of operation (2017-2019) 3. No export of raw or processed skins harvested from the wild will be permitted for the first 3 years 4. Farm production shall be restricted to ranching and/or captive breeding, with national skin production quotas 5. Management, wild harvest ceiling and national skin production quotas will be audited and reviewed annually by international experts for the first three years to ensure sustainability and national skin production quotas will be audited and reviewed annually by international experts for the first three years to ensure sustainability Transfer the Saltwater crocodile (Crocodylus porosus) in
Accepted by consensus. [Rec. 11]
Accepted by consensus. [Rec. 11]
W ithdrawn. [Rec. 11]
Accepted by consensus. [Rec. 11]
11
No, Species, Proponents Malaysia
25 - Abronia anzuetoi, A. campbelli, A. fimbriata, A. frosti, A. meledona, A. aurita, A. gaiophantasma, A. montecristoi, A. salvadorensi, A. vasconcelosii Guatemala
26 - Abronia spp.
Proposal Malaysia from Appendix I to Appendix II, with wild harvest restricted to the State of Sarawak and a zero quota for wild specimens for the other States of Malaysia (Sabah and Peninsular Malaysia), with no change in the zero quota unless approved by the Parties Include Abronia anzuetoi (Campbell & Frost, 1993); Abronia campbelli (Brodie & Savage, 1993); Abronia fimbriata (Cope, 1884); Abronia frosti (Campbell, Sasa, Acevedo & Mendelson, 1998); and Abronia meledona (Campbell & Brodie, 1999), in Appendix I and Abronia aurita (Cope, 1869); Abronia gaiophantasma (Campbell & Frost, 1993); Abronia montecristoi (Hidalgo, 1983); Abronia salvadorensis (Hidalgo, 1983); and Abronia vasconcelosii (Bocourt, 1871), in Appendix II Annotation: a) 0 (zero) export quota for wild specimens b) 0 (zero) export quota for specimens bred in non-range countries of the species Include the genus Abronia (29 species) in Appendix II
European Union and Mexico
Result
Annotation [Rec. 11]
b) withdrawn,
then accepted
Reduced scope by deleting Abronia anzuetoi, A. campbelli, A. fimbriata, A. frosti, A. meledona, A. aurita, A. gaiophantasma, A. montecristoi, A. salvadorensi, A. vasconcelosii. Then accepted by consensus. [Rec. 11]
27- Rhampholeon spp., Rieppeleon spp. Central African Republic, Chad, Gabon, Kenya, Nigeria and United States of America 28 - Rhampholeon spp., Rieppeleon spp. Kenya
Include the genera Rhampholeon spp. and Rieppeleon spp. in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 12]
Include the genera Rhampholeon spp. and Rieppeleon spp. in Appendix II
W ithdrawn. [Rec.12]
29 - Cnemaspis psychedelica
Include Cnemaspis psychedelica in Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 12]
Include Lygodactylus williamsi in Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 12]
Include Paroedura masobe in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 12]
European Union and Viet Nam 30 - Lygodactylus williamsi European Union and United Republic of Tanzania 31 - Paroedura masobe
by consensus.
European Union and
12
No, Species, Proponents Madagascar 32 - Lanthanotidae spp. Malaysia
33 - Shinisaurus crocodilurus China, European Union and Viet Nam 34 - Atheris desaixi Kenya 35 - Bitis worthingtoni Kenya 36 - Cyclanorbis elegans, C. senegalensis, Cycloderma aubryi, C. frenatum, Trionyx triunguis , Rafetus euphraticus Burkina Faso, Chad, Gabon, Guinea, Liberia, Mauritania, Nigeria, Togo and United States of America 37 - Dyscophus antongilii Madagascar 38 – Dyscophus guineti, D. insularis Madagascar 39 – Scaphiophryne marmorata, S. boribory, S. spinosa Madagascar 40 - Telmatobius culeus Bolivia (Plurinational State of) and Peru 41 - Paramesotriton hongk ongensis China 42 - Carcharhinus falciformis Bahamas, Bangladesh, Benin, Brazil, Burkina Faso,
Proposal Include Lanthanotidae spp. in Appendix I
Transfer Shinisaurus crocodilurus (Ahl, 1930) from Appendix II to Appendix I
Result Amended proposal [inclusion in Appendix II with a zero quota for wild specimens for commercial trade], accepted by consensus. [Rec. 12] Accepted by consensus. [Rec. 12]
Include Atheris desaixi in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include Bitis worthingtoni in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include the following six species of the Family Trionychidae in Appendix II: Cyclanorbis elegans, Cyclanorbis senegalensis, Cycloderma aubryi, Cycloderma frenatum, Trionyx triunguis and Rafetus euphraticus
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Transfer Dyscophus antongilii from Appendix I to Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include Dyscophus guineti and D. insularis in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include Scaphiophryne marmorat, Scaphiophryne boribory and Scaphiophryne spinosa in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include Telmatobius culeus (Garman, 1876) in Appendix I
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include Paramesotriton hongk ongensis (Myers and Leviton, 1962) in Appendix II
Accepted by consensus. [Rec. 14]
Include Silky shark Carcharhinus falciformis in Appendix II
Accepted with 12 months implementation delay [with 111 Parties voting in favour, 30 against and
13
No, Species, Proponents
Proposal
Result
the Comoros, Dominican Republic, Egypt, European Union, Fiji, Gabon, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Maldives, Mauritania, Palau, Panama, Samoa, Senegal, Sri Lanka and Ukraine 43 - Alopias spp. Bahamas,
Include the genus Alopias spp. in Appendix II
Bangladesh, Benin, Brazil, Burkina Faso, the Comoros, Dominican Republic, Egypt, European Union, Fiji, Gabon, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Kenya, Maldives, Mauritania, Palau, Panama, Samoa, Senegal, Seychelles, Sri Lanka and Ukraine 44 - Mobula spp. Bahamas,
Accepted with 12 months implementation delay [with 108 Parties voting in favour, 29 against and 5 abstaining]. [Rec. 14]
Include the genus Mobula spp. in Appendix II
Accepted with 6 months implementation delay [with 110 Parties voting in favour, 20 against and 3 abstaining]. [Rec. 14]
Include Ocellate river stingray Potamotrygon motoro in Appendix II
W ithdrawn. [Rec.14]
Include Pterapogon k auderni in Appendix II
Withdrawn. I
Bangladesh, Benin, Brazil, Burkina Faso, the Comoros, Costa Rica, Ecuador, Egypt, European Union, Fiji, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Maldives, Mauritania, Palau, Panama, Samoa, Senegal, Seychelles, Sri Lanka and United States of America 45 - Potamotrygon motoro Bolivia (Plurinational State of) 46 - Pterapogon k auderni
5 abstaining]. [Rec. 14]
European Union
Instead five draft decisions, contained in CoP17 Com. I. 32 were agreed by consensus . [Rec.14]
47 - Holacanthus clarionensis Mexico
Include Holacanthus clarionensis in Appendix II
48 - Nautilidae spp.
Include the Family Nautilidae (Blainville, 1825) in Appendix II
Fiji, India, Palau and United States of America 49 - Polymita spp. Cuba
Inclusion of the genus Polymita in Appendix I in accordance with Article II, paragraph 1 of the Text of the Convention, as it meets Annex I criteria B and C of Resolution Conf. 9.24 (Rev.
Accepted [with 69 Parties voting in favour, 21 against and 15 abstaining]. [Rec.14] Accepted [with 84 Parties voting in favour, 9 against and 10 abstaining]. [Rec.14] Accepted by consensus. [Rec. 14]
14
No, Species, Proponents 50 - Beaucarnea spp. 51 – Tillandsia mauryana Mexico 52 - Sclerocactus cloverae, S. sileri, S. spinosior blainei United States of America 53 - Dalbergia cochinchinensis Thailand
54 - Dalbergia calderonii, D. calycina, D. congestiflora, D. cubilquitzensis, D. glomerata, D. longepedunculata, D. luteola,
Proposal CoP16) for Polymita picta, P. muscarum, P. venusta, P. sulphurosa, P. brocheri and P. versicolor Include genus Beaucarnea in Appendix II Delete Tillandsia mauryana from Appendix II Transfer fishhook cacti Sclerocactus spinosior ssp. blainei (= Sclerocactus blainei), Sclerocactus cloverae (CITES-listed synonym of Sclerocactus parviflorus), and Sclerocactus sileri from Appendix II to Appendix I Amend the annotation to the listings of Dalbergia cochinchinensis as follow: Delete the current annotation #5 Logs, sawn wood and veneer sheets. Replace it with annotation #4 that reads as follows: #4 All parts and derivatives, except: a) Seeds (including seedpods of Orchidaceae), spores and pollen (including pollinia). The exemption does not apply to seeds from Cactaceae spp. exported from Mexico, and to seeds from Beccariophoenix madagascariensis and Neodypsis decaryi exported from Madagascar b) Seedling or tissue cultures obtained in vitro, in solid or liquid media, transported in sterile containers; c) Cut flowers of artificially propagated plants; d) Fruits, and parts and derivatives thereof, of naturalized or artificially propagated plants of the genus Vanilla (Orchidaceae) and of the family Cactaceae; e) Stems, flowers, and parts and derivatives thereof, of naturalized or artificially propagated plants of the genera Opuntia subgenus Opuntia and Selenicereus (Cactaceae); and f) Finished products of Euphorbia antisyphilitica packaged and ready for retail trade. Include 13 timber species of genus Dalbergia (native to Mexico and Central America) in Appendix II: 1) Dalbergia calderonii
Result Accepted, with 69 Parties in favour, 8 against and Accepted by consensus. [Rec. 7] Accepted by consensus. [Rec. 7]
Accepted by consensus. [Rec. 8]
Accepted by consensus as amended [inclusion of annotation #6] [Rec. 8]
15
No, Species, Proponents D. melanocardium, D.modesta, D. paloescrito, D. rhachiflexa, D. ruddae, D. tucurensis Mexico
55 - Dalbergia spp. Argentina, Brazil, Guatemala and Kenya
56 - Guibourtia demeusei, G. pellegriniana, G. tessmannii European Union and Gabon 57 - Pterocarpus erinaceus Benin, Burkina Faso, Chad, Côte d'Ivoire, European Union, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Nigeria, Senegal and Togo 58 - Adansonia grandidieri Madagascar 59 - Abies numidica Algeria 60 - Aquilaria spp., Gyrinops spp. United States of America
Proposal 2) Dalbergia calycina 3) Dalbergia congestiflora 4) Dalbergia cubilquitzensis 5) Dalbergia glomerata 6) Dalbergia longepedunculata 7) Dalbergia luteola 8) Dalbergia melanocardium 9) Dalbergia modesta 10)Dalbergia palo-escrito 11)Dalbergia rhachiflexa 12)Dalbergia ruddae 13) Dalbergia tucurensis Include the genus Dalbergia in CITES Appendix II with exception to the species included in Appendix I
Result
Accepted by consensus as amended, by ncluding the annotation proposed by Guatemala as amended by Mexico. This proposal superseded proposals CoP17 Props. 53 and 54. [Rec. 8]
Include Guibourtia tessmannii, Guibourtia pellegriniana and Guibourtia demeusei in Appendix II
Accepted with the CoP17 Prop. 55. [Rec. 9]
annotation
Include Pterocarpus erinaceus in Appendix II, without annotation
Accepted by consensus. [Rec. 9]
Include Adansonia grandidieri in Appendix II only for seeds, fruits, oil and live plants and annotate the listing to this effect
Accepted by consensus. [Rec. 9]
Include Abies numidica in Appendix I
W ithdrawn. [Rec.10]
Amend the listings of Aquilaria spp. and Gyrinops spp. in Appendix II:
Accepted by consensus. [Rec. 9]
accepted
for proposal
Amend Annotation #14 with the underlined text:
16
No, Species, Proponents
61 – Siphonochilus aethiopicus South Africa 62 - Bulnesia sarmientoi United States of America
Proposal “All parts and derivatives except: a) seeds and pollen; b) seedling or tissue cultures obtained in vitro, in solid or liquid media, transported in sterile containers; c) fruits; d) leaves; e) exhausted agarwood powder, including compressed powder in all shapes; and f) finished products packaged and ready for retail trade, this exemption does not apply to wood chips, beads, prayer beads and carvings” Include Siphonochilus aethiopicus (populations of Mozambique, South Africa, Amend the listing of Bulnesia sarmientoi in Appendix II Amend Annotation #11 with the underlined text: Logs, sawn wood, veneer sheets, plywood, powder and extracts. Finished products containing such extracts as ingredients, including fragrances, are not considered to be covered by this annotation
Result
Accepted by consensus. [Rec. 9] Accepted by consensus. [Rec. 9]
17
18
III. Foto – Foto Kegiatan Selama COP 17 CITES A. Briefing Pagi Sebelum Sidang Dipimpin oleh Ketua DELRI
B. Indonesia Sebagai Anggota Standing Committee Menjadi Salah Satu Chair dalam Pertemuan Regional Asia
19
C. Foto Group Usai Pertemuan Bilateral dengan Malaysia
D. Tim DELRI Sebelum Sidang Plenary
20
E. DELRI Saat Melakukan Intervensi Salah Satu Agenda
F. Working Group Penyusunan Draft Resolusi dan Decision untuk Rangkong Gading
21
G. Delegasi Indonesia Sebagai Narasumber Side Event ITTO-CITES
H. Anggota DELRI dan Observer Berfoto Bersama Usai Makan Malam
22
I. Suasana Pameran Dalam Rangkaian COP 17 CITES
J. DELRI Menghadiri Jamuan Makan Malam Bersama Dubes RI untuk Afrika Selatan di Pretoria