PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Endah Rizqi Puri Astianti NIM I34090090
ABSTRAK ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI. Pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO. Penelitian ini bertujuan untuk, pertama, menganalisis sejauh mana Model Kampung Konservasi (MKK) dapat mempengaruhi ekonomi masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati. Kedua, menganalisis keberlanjutan MKK di masa mendatang serta mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mengancam keberlanjutan MKK. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Sejumlah 30 rumahtangga dipilih secara metode purposive sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, berkat MKK, empat responden golongan pendapatan rendah meningkat menjadi golongan pendapatan menengah. Selanjutnya, enam responden yang semula berada pada golongan pendapatan menengah meningkat menjadi pendapatan tinggi. Kehadiran MKK juga memperkaya jenis-jenis tanaman asli setempat seperti aren (Arenga pinata), puspa (Scima walicii), pasang (Quercus suber), dan lainnya, baik karena ditanam secara swadaya oleh masyarakat maupun melalui program adopsi pohon. Kedua, faktor-faktor yang dapat mengancam keberlanjutan MKK adalah adanya perbedaan kepentingan para stakeholder, kurangnya kebijakan yang mengatur, serta konflik internal maupun eksternal. Kata kunci: model kampung konservasi, akses, rumahtangga, ekonomi, konservasi keanekaragaman hayati
ABSTRACT ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI. Conservation Village Model and Its Impact to the Biodiversity Conservation,and Socio Economic Condition of the Community. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO. The objectives of this research are, first, to analyse the impact of Conservation Village Model (CVM) to the socio economic of the local community and the biodiversity conservation. Second, to analyse future sustainability of CVM, and identify factors that threaten its sustainability. This research applying quantitative approach, and supported with a series of qualitative data. Around 30 households have been selected as respondents through purposive method. The results show that, first, the CVM contribute significantly to the income of poor household. Six household respondents previously at low income increase to middle class of income. Furthermore, four respondents previously at middle class income; increase to high class income. The CVM also enriches the biodiversity of the national park by planting i.e. the Arenga pinata (aren), Scima walicii (puspa), Quercus suber (pasang), and others either, through voluntary activities, or through trees adoption program. Second, factors that would likely endanger the CVM are different interest among stakeholders, limited governance regulation, and internal and external conflict. Keywords: conservation village model, access, households, economic, income, biodiversity conservation.
PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Pengamh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati : Endah Rizqi Puri Astianti Nama : 134090090 NIM
Disetujui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus :
22
JUL 2013
Judul Skripsi : Pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Nama : Endah Rizqi Puri Astianti NIM : I34090090
Disetujui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan segala kemudahan yang yang telah diberikan kepada penulis hingga menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati”. Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini dalam penyelesaiannya tidak terlepas dari dukungan dan peran serta berbagai pihak. Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi, kritik dan saran yang membangun dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, Bapak dan Ibu (Puguh Rismanto dan Diah Budi Astuti Prihatin), serta adik-adik (Intan Dwi Prima Rismanti dan Dinda Tri Diah Rismanto) yang selalu memberikan dukungan semangat dan kasih sayang baik secara moral atau materil; kepada keluarga besar Admosayono dan Agoes Poernomo yang memberikan doa serta semangat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen dan staff Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat yang telah memberi ilmu pengetauan yang bermanfaat. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Bapak Ade serta masyarakat Kampung Sukagalih yang telah menerima dengan baik dan membantu setulus hati selama proses pengambilan data di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Sukabumi. Terima kasih kepada pihak pengelola TNGHS (Bapak Ade Mamad, Bapak Ridwan, Bapak Jajang). Terima kasih kepada sahabat yang telah memberikan motivasi kepada penulis (Ariny, Viani Rachmawati, Febbry Joe, Nicky Smaradhiningrat, Eka Kusumajaya). Terima kasih kepada keluarga SKPM angkatan 46 yang telah memberikan rasa ‘kebersamaan tanpa batas’ yang erat, khususnya kepada Ayu Januarti, Fajrina Nissa Utami, Anggi Indriani Tami, Femy Amalia Arizy Putri, Firza Triana Zelafiori, Ayu Anjartika, Indra Setiyadi, Hamdani Pramono). Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga skripsi ini diterbitkan. Penulis menyadari bahwa tugas akhir skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang dapat membangun pada penulisan ilmiah di kemudian hari. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, Juli 2013
Endah Rizqi Puri Astianti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM KAMPUNG SUKAGALIH DESA CIPEUTEUY Kondisi Geografis Kondisi Sosial Ekonomi Karakteristik Responden MODEL KAMPUNG KONSERVASI DAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT Riwayat Inisiatif Kampung Konservasi Visi Misi Model Kampung Konservasi Tujuandan HasilModel Kampung Konservasi Pemilihan Kampung Konservasi Kelembagaan Masyarakat di Kampung Sukagalih Perjanjian Kerjasama Ikhtisar PERUBAHAN TATA KUASA, PROPERTI DAN AKSES SUMBERDAYA HUTAN Perubahan Status dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Kampung Sukagalih Ikhtisar PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT Ekonomi Masyarakat Sebelum dan Setelah Perluasan TNGHS Tingkat Pendapatan Responden MKK Kampung Sukagalih Luas Lahan Garapan
viii viii viii 1 2 2 3 3 3 5 5 13 14 14 15 17 17 17 19 21 21 22 22 25 25 25 26 28 31 34 37 39 39 43 45 45 49 51
Strategi Nafkah Masyarakat Ikhtisar PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Hayati Pengetahuan Masyarakat Kampung Sukagalih Keberlanjutan Model Kampung Konservasi Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
53 55 57 57 59 60 61 63 63 64 65 67 86
DAFTAR TABEL 1 Pembagian zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2 Metode pengumpulan data 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi tahun 2011 4 Jumlah dan persentase responden menurut usia di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi tahun 2013 5 Jumlah dan persentase responden menurut pendidikan di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi tahun 2013 6 Jumlah responden dan persentase berdasarkantanggungan rumahtanggadi Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi tahun 2013 7 Kelompok MKK Desa Cipeuteuy 8 Sejarah organisasi Kelompok Sukagalih 9 Sanksi sosial dan hukum terkait pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 10 Perubahan pengelolaan sumberdaya pada kawasan di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan, Sukabumi 11 Rata-rata masa tanam hingga panen dan frekuensi menanam tanaman pertanian 12 Jumlah dan persentase responden menurut jenis kepemilikan ternak di Kampung Sukagalih 13 Daftar tarif akomodasi dan konsumsi di MKK Sukagalih tahun 2012 14 Jumlah dan persentase responden menuruttingkat pendapatan, sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi 15 Luas lahan garapan menurut jenis lahan sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi 16 Jumlah dan persentase responden menurut mata pencaharian, sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi 17 Jumlah dan persentase responden menurutstrategi nafkah pada sektor pertanian dan non pertanian, sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi
6 19
22
23
23
24 30 32 37 40 46 47 48 50 51 53
54
DAFTAR GAMBAR 1 Paradigma perencanaan sumberdaya hutan 2 Kerangka penelitian Pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati 3 Skema Model Kampung Konservasi di Indonesia 4 Peta Model Kampung Konservasi TNGHS
7
14 26 29
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Peta zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Kerangka sampling Kuesioner penelitian Panduan pertanyaan Dokumentasi Perjanjian Kerjasama Peta skets penggunaan lahan garapan kelompok MKK Sukagalih Denah Kampung Sukagalih Kriteria penetapan kawasan dan zonasi Taman Nasional berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998 dan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 11 Glosarium
67 68 69 70 75 77 79 86 87 88 91
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu ekosistem yang didalamnya terdapat kehidupan flora dan fauna yang saling berhubungan satu sama lain. Hutan memiliki banyak manfaat. Dengan adanya hutan, tidak hanya flora dan fauna yang mendapatkan manfaat namun masyarakat yang tinggal disekitar hutan juga dapat mendapatkan manfaat tersebut. Pemanfaatan atas hasil hutan perlu dilakukan secara bijaksana. Terdapat sumberdaya yang dapat diperbaharui serta ada yang tidak. Hutan yang merupakan ekosistem alami, secara tidak langsung berdekatan dengan lingkungan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan yang berdekatan langsung dengan hutan sebagai sumberdaya, memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu kawasan konservasi hutan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 175 tahun 2003 mengenai perluasan kawasan TNGH-S maka Taman Nasional Gunung Halimun kini dikembangkan dan diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Hal ini menjadikan kawasan taman nasional ini mengalami perubahan. Hutan yang merupakan suatu ekosistem, tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena masyarakat tinggal di sekitar kawasan hutan yang merupakan lingkungan mereka tinggal dan memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Tidak hanya masyarakat namun pihak lain ingin merasakan dan memanfaatkan hasil hutan sesuai dengan kepentingannya. Pihak-pihak yang ingin memanfaatkan hasil sumberdaya hutan seperti masyarakat, pemerintah, swasta serta LSM. Hal ini dapat menimbulkan adanya konflik antar kepentingan dari berbagai pihak. Menindaklanjuti perebutan sumberdaya ini dapat dilakukan dengan salah satu alternatif yaitu pengelolaan kolaboratif. Taman Nasional Gunung Halimun–Salak banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai permukiman serta lahan sebagai salah satu mata pencaharian yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat ini berawal dari pengelolaan hutan secara kolaboratif, yang dilakukan oleh berbagai pihak. Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, berkaitan dengan pengelolaan yang dilakukan bersama masyarakat. Keberlanjutan fungsi dan manfaat yang dapat diwujudkan berkaitan dengan sumberdaya hutan seperti pada aspek sosial, budaya, ekonomi serta ekologi yang dibangun secara kolaboratif oleh para pihak. Berbagai aspek yang berhubungan dengan sumberdaya hutan tersebut menunjukkan erat kaitan antara manfaat dan pengaruh yang ditimbulkan. Masyarakat yang tinggal disekitar hutan, jelas merasakan bahwa adanya manfaat besar dari sumberdaya hutan, dimana mereka dapat menggunakan sumberdaya tersebut untuk meningkatkan taraf hidup, khususnya dibidang ekonomi. Pengelolaan sumberdaya hutan dewasa ini dihadapkan pada masalah peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan kebutuhan lahan semakin tinggi seperti untuk sarana pemukiman dan lahan usaha tani. Di satu sisi kebutuhan manusia pun meningkat, akibatnya akan memberi tekanan terhadap hutan dalam bentuk perambahan hutan dan pencurian hasil hutan. Akibat tekanan
2 yang berlebihan menyebabkan kerusakan yang merugikan dari segi ekonomi dan sosial. Pengelolaan multipihak di TNGHS, salah satunya diwujudkan dalam sebuah program community development yang melibatkan masyarakat lokal sebagai subyek dalam kegiatannya. Program ini dikemas dalam kerangka Model Kampung Konservasi (MKK). MKK merupakan sebuah model community development di TNGHS yang didukung tiga pilar kegiatan, yaitu restorasi/rehabilitasi; observasi partisipatif; dan income generation/peningkatan ekonomi masyarakat. Pada Model Kampung Konservasi, masyarakat mengharapkan adanya nilai manfaat berupa meningkatnya kesejahteraan hidup bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, khususnya dari aspek ekonomi. Uraian di atas menjadi latar belakang pentingnya penelitian ini yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh program pengelolaan kolaboratif sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun – Salak terhadap kondisi ekonomi masyarakat sekitar hutan di daerah TNGHS, Masyarakat Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Konsep MKK yang terletak di Kampung Sukagalih ini telah ada sejak tahun 2007. Dimulai dengan adanya peralihan pengelolaan dari Perhutani menjadi kawasan taman nasional. Peralihan ini tidak secara langsung dapat diterima oleh masyarakat. Pendekatan yang dilakukan pihak pengelola taman nasional kepada masyarakat selama kurang lebih tiga tahun menghasilkan kesepakatan yang dibuat bersama masyarakat berupa MoU. Masyarakat yang terlibat dalam kesepakatan ini menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam Model Kampung Konservasi. Keinginan masyarakat dengan adanya Model Kampung Konservasi mengharapkan kehidupan yang lebih baik dengan hidup berdampingan dengan sumberdaya alam yang melimpah. Masalah Penelitian Sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan menjadikan berbagai kepentingan saling bersaing untuk memperoleh manfaat secara maksimal. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan antar pihak yang berkepentingan. Hutan merupakan suatu ekosistem yang didalamnya terdapat kehidupan manusia, flora serta fauna. Masyarakat yang telah tinggal dalam wilayah sekitar hutan, memanfaatkan sumberdaya hutan demi memenuhi kebutuhan hidup, khususnya dibidang ekonomi. Persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya dapat menjadi potensi konflik. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan aksi kolaboratif antar pihak guna pemanfaatan yang adil dan seimbang, selain bagi pihak kepentingan, tentunya tetap menjaga kelestarian alam. Model Kampung Konservasi merupakan salah satu aksi kolaboratif yang berupa community development. Pemanfaatan hutan secara kolaboratif bagi kampung yang memiliki norma dan nilai yang mengatur individu dan kelompok didalamnya berinteraksi dengan alam. Masyarakat yang merupakan subyek dalam MKK perlu memperhatikan keberlangsungan antara kehidupan masyarakat dan keanekaragaman sumberdaya alam yang ada di hutan. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, terdapat hubungan antara program kolaboratif dan
3 ekonomi serta konservasi pada masyarakat sekitar hutan, sehingga dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana Model Kampung Konservasi (MKK) sesungguhnya? Sejauhmana pengaruh Model Kampung Konservasi (MKK) terhadap ekonomi masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati? 2. Sejauhmana keberlanjutan Model Kampung Konservasi (MKK) di masa mendatang? Apa faktor-faktor yang dapat mengancam keberlanjutan? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah tersebut, yaitu: 1. Menganalisis sejauh mana Model Kampung Konservasi (MKK) dapat mempengaruhi ekonomi masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati. 2. Menganalisis keberlanjutan Model Kampung Konservasi (MKK) di masa mendatang serta mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mengancam keberlanjutan Model Kampung Konservasi. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi dan pengetahuan tentang program pegelolaan kolaboratif sumberdaya hutan dan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan, serta dapat menjadi awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya secara lebih mendalam terjait penelitian sejenis. 2. Bagi pemerintah dan swasta, dapat memandang dan meningkatkan pentingnya kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan agar lebih berdayaguna yang mampu memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga menjadi lebih baik. 3. Bagi masyarakat, semoga penelitian ini dapat menjadi masukan dalam pengembangan dan perwujudan partisipasi aktif masyarakat sehingga keberadaan sumberdaya hutan tetap lestari dan seimbang. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai pengaruh kegiatan konservasi yang berupa Model Kampung Konservasi (MKK), yang dilakukan oleh masyarakat dengan pihak kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini melihat pada pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan taman nasional dari sebelum adanya model dan setelah adanya model serta kegiatan konservasi yang dilakukan masyarakat secara mandiri kepada kawasan taman nasional.
4
5
PENDEKATAN TEORITIS TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Taman Nasional merupakan salah satu jenis kawasan pelestarian alam. Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang sangat luas dan relatif tidak terganggu. Kawasan ini memilki nilai alam dengan ciri yang menonjol atau ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan UU No. 5 tahun 1990 mengenai Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya mendefinisikan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Penetapan kawasan sebagai taman nasional, tidak jarang memunculkan sejumlah permasalahan yang melibatkan pihak pemanfaat sumberdaya didalamnya. Pemanfaatan taman nasional banyak terlibat sektor pelayanan jasa, dengan konsepsi pemanfaatan sumberdaya alam yang berkesinambungan. Taman Nasional Gunung Halimun – Salak sebagai salah satu kawasan pelestarian alam, dituntut harus banyak berkiprah dalam menyukseskan pembangunan nasional khususnya sektor kehutanan yang terkait dengan pelestarian alam. Menurut Kobayashi et al. (2007), taman nasional ini ditetapkan sebagai salah satu Taman Nasional di Indonesia. Berawal dari proses penunjukan taman nasional sebelumnya dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40 000 hektar sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan resmi ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1997 sebagai salah satu unit pelaksana teknis di Departemen Kehutanan1. Berdasarkan kondisi sumberdaya alam hutan yang semakin terancam rusak dan adanya desakan para pihak yang peduli konservasi alam, kawasan TNGH ditambah dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan di sekitarnya yang status sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani diubah fungsinya menjadi hutan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun–Salak (TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan luas total 113 357 ha. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan kawasan yang memiliki kekayaan alam sangat melimpah. Kekayaan alam yang terdapat dalam kawasan tersebut tidak semua dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada disekitar kawasan sumberdaya alam. Pihak Taman Nasional Gunung Halimun – Salak telah membagi kawasan kedalam beberapa zona. Zona tersebut di bagi berdasarkan kriteria serta fungsi. Pembagian zona berdasarkan kriteria serta fungsinya terbagi menjadi lima zona, pada Tabel 1.
1
Modul Taman Nasional Gunung Halimun-Salak “Menyingkap Kabut Gunung Halimun-Salak” oleh Harmita tahun 2007
6
Tabel 1
Pembagian zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Zona Zona 1 Inti
1.
2. 3. 4.
5. Zona 2 Rimba
1.
2.
3. Zona 3 Pemanfaatan
1. 2.
Zona 4 Pemanfaatan Tradisional
Zona 5 Rehabilitasi
Kriteria mengandung jenis tumbuhan > 200 spesies/ 1 000 hektar; mengandung jenis tumbuhan endemik; mengandung ekosistem khas; merupakan habitat/daerah jelajah satwa yang dilindungi; mengandung tumbuhan langka/dilindungi. mengandung jenis tumbuhan > 200 spesies/ 1 000 hektar; mengandung tegakan dengan kerapatan, 200 spesies/1 000 hektar; merupakan habitat/daerah jelajah satwa liar. mengandung objek wisata menarik; memungkinkan dikembangkannya sebagai pusat kunjungan.
1. lebih dari 25% kebutuhan pokok warga desa setempat bergantung pada kawasan Taman Nasional 2. berdekatan/berbatasan dengan wilayah desa 3. mempunyai ekosistem yang tidak asli. 1. kandungan tegakan <100 batang/hektar; 2. merupakan daerah tangkapan air potensial; 3. merupakan koridor satwa liar; 4. mempunyai ekosistem yang tidak asli.
Sumber: Maharani (2011)
Fungsi Secara khusus diperuntukkan bagi upaya perlindungan dam pelestarian, maka dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan pengunjung kecuali kegiatan penelitian. Kedudukan zona ini sama dengan Cagar Alam atau Suaka Margasatwa.
Zona ini dapat dikunjungi dengan berbagai kegiatan rekreasi, tetap dalam batas-batas tertentu. Kegiatan yang ada umumnya suatu pengelolaan habitat dan pembuatan jalan setapak atau paling sedikit wisata alam terbatas. Zona ini dialokasikan untuk menampung bentuk kegiatan rekreasi dan penyediaan sarana untuk pengelolaan, misalnya kantor dan stasiun penelitian, bumi perkemahan, tempat parkir, dan yang lain-lain. Zona ini mudah dicapai oleh pengunjung dan memiliki manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Zona ini sama dnegan Hutan Wisata/Taman Wisata atau Wana Wisata. Ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
Bagian dari Taman Nasional yang mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
7 Masyarakat Sekitar Hutan Istilah yang digunakan dalam bidang kehutanan untuk merujuk orangorang yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan kebanyakan adalah istilah “masyarakat”, dan sangat jarang menggunakan istilah “komunitas”. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai pustaka dan dokumen yang kebanyakan menggunakan istilah “masyarakat”. Beberapa istilah yang digunakan diantaranya yaitu: masyarakat, masyarakat desa hutan, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, masyarakat di sekitar hutan, masyarakat lokal, dan masyarakat setempat. Menurut Winarto (2006) dalam Utama (2010), yang mengumpulkan berbagai definisi dan istilah dari peraturan-peraturan bidang kehutanan, beberapa istilah dan definisi yang berkaitan dengan masyarakat sekitar hutan adalah sebagai berikut: a. Masyarakat adalah kelompok orang warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan, mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan (profesi), kesejarahan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya. b. Masyarakat desa hutan adalah kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. c. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. d. Masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat setempat terutama masyarakat yang dalam bersikap, berpikir dan bertindak selalu berpegang teguh pada norma adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. e. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat didalam suatu kawasan geografis tertentu, mencakup kelompok asli dan kelompok tradisional, dan juga kelompok pendatang yang melakukan pemukiman swakarsa. Penelitian Restiana (2004), paradigma dalam perencanaan sumberdaya hutan memandang masyarakat desa hutan sebagai stakeholder yang memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hutan sesuai dengan sumbangan yang diberikannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hutan dipandang sebagai sumberdaya yang tidak hanya menghasilkan kayu tetapi juga hasil lainnya dan jasa. Pemanfaatan sumberdaya hutan dan peningkatan fungsinya dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Paradigma ini digambarkan berupa diagram yang menunjukkan bahwa masyarakat yang berada pada sekitar hutan berdekatan atau bersentuhan langsung dengan sumberdaya alam, maka perlu memperhatikan fungsi serta manfaat hutan secara optimal yang dipaparkan pada Gambar 1. Masyarakat desa sekitar hutan
Sumberdaya Hutan
Optimalisasi fungsi dan manfaat hutan secara lestari
Sumber: Raharjo (1999) dalam Restiana (2004) Gambar 1 Paradigma perencanaan sumberdaya hutan
8 Masyarakat yang telah tinggal dalam suatu kawasan hutan, hidup berdampingan dengan hutan. Berdasarkan pada modul Model Kampung Konservasi (MKK) (Harmita, 2009), masyarakat terbagi atas : a. Masyarakat non adat merupakan masyarakat migran. Sejak zaman Belanda mereka didatangkan untuk bekerja di sektor perkebunan dan pertambangan. Kampung-kampung non adat awalnya merupakan pemukiman para pekerja tersebut, sebelum sebagian dari mereka bertani dan mengembangkan pemukiman ke wilayah lain. b. Masyarakat pendatang baru, terutama pada era euforia reformasi (19982000) hingga saat ini. c. Masyarakat yang datang musiman dan sebagai pelaku kejahatan kehutanan (penambang liar). d. Kategori masyarakat ini adalah masyarakat adat kasepuhan dimana kelompok ini mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan. Akses dan Kepemilikan Akses menurut Utama (2010) didefinisikan sebagai the ability to derive benefits from thing atau kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Untuk mendapatkan suatu manfaat dari sumberdaya menjadikan masing-masing pihak saling mencari keuntungan. Kemampuan (ability) memiliki kemiripan/persamaan dengan daya (power) yang didefinisikan dalam dua bentuk yaitu sebagai: 1) kapasitas dari pelaku/aktor untuk mempengaruhi kegiatan dan ide orang lain, dan 2) daya sebagai sesuatu yang muncul dari dalam diri orang lain. Teori akses lebih memfokuskan kepada konsep ability atau kemampuan dari para pelaku, dibandingkan dengan konsep rights atau hak yang harus dimiliki pelaku dalam teori tentang kepemilikan (property theory). Akses meliputi segala upaya dimana individu memiliki kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Sedangkan konsep “property” menyangkut klaim atau hak yang diakui secara sosial, baik secara hukum, tradisi atau kesepakatan bersama. Beberapa aspek yang bisa membentuk atau berpengaruh terhadap akses yaitu meliputi: 1) akses terhadap teknologi, 2) akses terhadap modal, 3) akses terhadap pasar, 4) akses terhadap kesempatan kerja, 5) akses terhadap pengetahuan, 6) akses terhadap kewenangan, 7) akses melalui identitas sosial, dan 8) akses melalui negosiasi hubungan sosial lainnya. Menurut Peluso (1992), persaingan memperebutkan akses tanah dan pohon dan penguasaan serta pengendalian atas akses menandai hubungan antara kedua jajaran pemanfaat hutan. Manakala kepentingan negara dan kepentingan petani berbenturan, sering ditemukan kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan hubungan kekuasaan yang rancu. Krisis hutan tropis sekarang ini bersumber pada kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang mewadahi sistem akses dan penguasaan sumberdaya. Peluso (1992) mengatakan bahwa negara kolonial dan negara masa kini sering mengambil alih kawasan yang luas sebagai hutan untuk perkebunan, atau untuk proyek pembangunan yang besar, merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya. Seringkali, pengambilalihan ini diberi alasan yang membenarkan bahwa klaim perubahan itu demi “kepentingan bersama” bagi “kemaslahatan sebesar-besarnya”. Pekerjaan
9 yang tidak tetap sebagai buruh atau petani di lahan yang dulunya mereka kuasai, masyarakat dan petani lokal hanya memetik sedikit keuntungan saja dari sentralisasi dan pemindahan penguasaan hutan. Lahan dan akses petani pada lahan yang dapat ditanami menjadi masalah yang semakin rawan ketika negara mengambil alih kawasan yang luas. Terdapat empat tipe hak kepemilikan (Feeny et al, 1990; Lynch dan Harwell 2002)2 yaitu : 1. Akses terbuka (open access): Tidak ada hak kepemilikan terhadap sumberdaya. Sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur. Hak-hak kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas. 2. Milik privat (private property): Sumberdaya dimiliki oleh organisasi swasta. Sumberdaya ini bukan milik negara. Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak pemilikan dapat dipindah tangankan. 3. Milik umum atau masyarakat (common property): Sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota punya kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak kepemilikan tidak bersifat eksklusif, dapat dipindah tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama. Aturan pemanfaatan mengikuti anggota kelompok. 4. Milik negara (state property): Hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam. Model Kampung Konservasi (MKK) Model Kampung Konservasi merupakan taman nasional yang menjadikan masyarakat dapat hidup bersama di Taman Nasional Gunung Halimun – Salak. Implementasi Model Desa Konservasi di TNGHS diterjemahkan ke dalam Model Kampung Konservasi yang merupakan nama lain “The Support for CommunityBased Activities”. Definisi kampung konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat3. Pada perkembangannya, masyarakat menganggap MKK sebagai sebuah pendekatan yang perlu dikembangkan dalam menjaga hutan dan meningkatkan kesejahteraan hutan. Jika ingin mempertahankan kondisi hutan yang masih memungkinkan dikunjungi orang sebagai salah satu bentuk pariwisata, masyarakat menyadari bahwa kita perlu menjaganya bersama. MKK mengangkat atas isu permasalahan seperti penebangan liar, tata aturan yang belum jelas, perambahan hutan serta ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati yang sangat tinggi. Model Kampung Konservasi merupakan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan. Dengan menjaga hutan untuk ekowisata atau 2
3
Dikutip dari bahan kuliah “Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam” pada bab teori sumberdaya bersama oleh Soeryo Adiwibowo tahun 2011. Dikutip dari modul Model Kampung Konservasi (Taman Nasional Gunung Halimun Salak), Harmita tahun 2009.
10 cultural-tourism, kesejahteraan pun berkembang. Salah satu upaya tersebut mereka yakini dapat mereka lakukan melalui MKK. Dengan demikian secara tidak langsung mereka telah mendefinisikan MKK sebagai salah satu upaya mereka menjaga hutan dan mengembangkan kesejahteraan sehingga bisa hidup bersama taman nasional. Balai Taman Nasional Gunung Halimun – Salak mengembangkan Model Kampung Konservasi dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar areal konservasi untuk menyelamatkan hutan. MKK yang merupakan bagian dari program restorasi hutan di areal TNGHS yang juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan Koentjaraningrat (1987), menyatakan bahwa lembaga sosial adalah merupakan satuan norma khusus yang menata serangkaian tindakan yang berpola untuk keperluan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku. Sejalan dengan konsep tersebut, maka kelembagaan sosial memiliki fungsi antara lain: a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control): artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia (masyarakat). Menurut Ansori (2011), kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau tata aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut juga bagaimana menguatkan organisasi masyarakat sekitar hutan sehingga sadar dan mengetahui hak dan kewajibannya terhadap sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, instrumen organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat, program pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada kegiatan membentuk organisasi masyarakat sebagai pelaksana program. Kelembagaan ini mencakup juga aktivitas untuk mempertegas menentukan batas-batas yurisdiksi atas lahan, mengupayakan permodalan. Dukungan kebijakan terhadap program merupakan aspek lain yang cukup penting. Akhirnya kelembagaan yang ada diharapkan dapat melaksanakan program pemberdayaan yang demokratis. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Pengertian konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya menurut Kobayashi et al. (2003) adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
11 keanekaragaman dan nilainya. Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya ini berasaskan pelestarian dan kemampuan serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang serasi dan seimbang. Konservasi tersebut dilakukan dengan tiga kegiatan pokok, yaitu: 1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan 2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya 3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Widada (2006) dalam Tinambunan (2011) mengatakan bahwa ekosistem adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatan dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pentingnya kegiatan konservasi yaitu agar menjamin persediaan sumberdaya alam tidak habis dalam waktu singkat. Sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya merupakan hal penting bagi kehidupan. Secara umum, nilai konservasi berpengaruh tehadap manusia, baik dari segi ekonomi, sosial budaya dan filosofis hidup manusia. Ancaman musnahnya sumberdaya yang ada disebabkan pemanfaatan yang tidak bijaksana. Konservasi yang dilakukan dapat berupa konservasi eksitu maupun konservasi insitu. Konservasi insitu (dalam kawasan) adalah perlindungan populasi dan komunitas alami. Konservasi eksitu adalah kegiatan konservasi di luar habitat aslinya, dimana fauna tersebut diambil, dipelihara pada suatu tempat tertentu yang dijaga keamanannya maupun kesesuaian ekologinya. Menurut Johnson et al. (2007) konservasi eksitu tersebut dilakukan dalam upaya pengelolaan jenis satwa yang memerlukan perlindungan dan pelestarian. Kegiatan konservasi dilakukan dengan upaya untuk mengusahakan terjaminnya keanekaragaman hayati serta keseimbangan unsur-unsur ekosistem yang telah mengalami gangguan akibat meningkatnya aktivitas manusia yang merambah kawasan hutan alam. Kawasan konservasi eksitu sama pentingnya dengan kawasan konservasi insitu dan mempunyai peran yang saling melengkapi. Kawasan konservasi merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan keanekaragaman hayati dan membentuk kembali ekosistem. Pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang bijaksana dan adanya bermaca-macam gangguan serta ancaman terhadap kelestarian alam membuat keberadaan sumberdaya alam terancam habis. Penetapan kawasan konservasi agar sumberdaya alam yang ada saat ini dapat bermanfaat secara terus menerus. Pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sebagai upaya penetapan, pemanfaatan, pelestarian, dan pengendalian pemanfaatan kawasan konservasi. Pada pengelolaan dan pembangunan kawasan konservasi, keberadaan masyarakat disekitar atau didalam kawasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan kawasan konservasi. Pengetahuan Lokal Pengetahuan lokal merupakan pengetahuan yang dimiliki masyarakat mengenai sumberdaya yang terdapat pada wilayah tempat mereka tinggal. Konsep pengetahuan lokal menurut Mitchell et al. (2000) bahwa pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah cara-cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan
12 lingkungan setempat, yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secra turun temurun. Pengetahuan lokal yang berasal dari dalam masyarakat sendiri disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup dan merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (Shaw et al. 2008). Ekonomi Rumah Tangga Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan sumber daya alam memiliki peluang untuk dapat bertahan hidup. Dalam menjaga hubungan baik antara manusia dengan alam memerlukan adanya timbal balik yang selaras dan seimbang, Hal ini akan mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat. Pada studi kasus yang dilakukan oleh Widodo (2006), wilayah Desa Tonjong memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Potensi sumberdaya ekonomi yang ada yaitu: lahan, hutan, tenaga kerja, sungai. Hubungan masyarakat desa dengan ekosistemnya beranggapan alam sebagai sumber penyedia kebutuhan hidup. Pandangan ini dapat dilihat dari aktivitas yang masih memanfaatkan sumber alam bagi kebutuhan keluarga seperti pemanfaatan lahan sawah dan hutan, hasil-hasil hutan dan sungai. Namun lahan pertanian yang dikelola, bukan milik pribadi tetapi milik orang lain, sehingga mereka tidak leluasa untuk mengolah dan menggarap lahan tersebut. Sementara itu, semakin berkurangnya lahan sawah karena dijual dan beralih fungsi menjadi pemukiman/bangunan mengakibatkan buruh tani yang miskin menjadi kurang sumber pendapatan/penghasilannya. Sedangkan kegiatan perekonomian dalam penelitian Sukardi (2009), Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekonomi di daerah pedesaan, aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) terkonsentrasi pada sektor pertanian. Lebih dari 80% penduduk yang berdomisili di 37 desa sekitar TNGR memiliki sumber penghasilan utama dari sektor pertanian, yaitu sebagai petani pemilik, penggarap, buruh tani, dan peternak. Sementara sumber penghasilan yang berasal dari luar pertanian antara lain perdagangan, industri, dan buruh kasar. Pemberdayaan ekonomi perlu juga dilakukan terhadap kelompok peternak, petani pemilik dan penggarap, maupun kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena rata-rata penghasilan yang diperoleh setiap bulannya secara umum belum dapat mencukupi semua keperluan anggota rumahtangga.
13 Kerangka Pemikiran Sumberdaya hutan yang merupakan aset berharga bagi setiap makhluk hidup. Manusia, hewan, tumbuhan memerlukan adanya hutan. Manusia hidup bergantung pada alam dan lingkungannya, sudah seharusnya manusia menyesuaikan diri dengan alam. Hutan di Indonesia memiliki nilai penting bagi rakyat Indonesia. Berbagai macam manfaat yang dapat dihasilkan dengan adanya hutan. Permasalahan muncul satu-persatu sebagai akibat dari kepentingan pihakpihak lainnya, seperti masalah lingkungan, ekonomi, sosial dan politik. Perdebatan antar kalangan, mengakibatkan berbagai permasalahan muncul satupersatu sehingga mampu mendorong ketidakperdulian masyarakat akan kelestarian alam dan lingkungan yang semakin terpuruk. Masyarakat mulai memanfaatkan berbagai sumberdaya alam yang ada tanpa memperdulikan fungsi dan kelestarian lingkungan hidup. Melihat pada keadaan tersebut, maka diperlukan adanya aksi kolaboratif berbagai pihak yang dapat membantu dalam menengahi dalam permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang sebelumnya dikelola oleh PT. Perum Perhutani beralih menjadi pengelolaan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003. Peralihan pengelolaan kawasan ini memberikan dampak bagi fungsi dan manfaat sumberdaya di kawasan. Akses terhadap sumberdaya alam yang terdapat pada taman nasional telah diatur berdasarkan berdasarkan zonasi. Taman Nasional Gunung Halimun Salak memberikan kebijakan mengenai akses serta rezim penguasaan atas sumberdaya alam menjadikan masyarakat mengetahui batas-batas dalam mengelola atau memanfaatkan hasil hutan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya yang terdapat di hutan. Perubahan akses terhadap taman nasional dapat mempengaruhi pada aspek ekonomi rumah tangga masyarakat serta konservasi dari taman nasional itu sendiri. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan memiliki ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pihak taman nasional membagi kawasan dalam bentuk zonasi yang diharapkan dapat sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Masyarakat di Kampung Sukagalih dapat mengakses kawasan pada zona khusus di TNGHS. Akses tersebut didukung dengan adanya Model Kampung Konservasi yang merupakan salah satu aksi pengelolaan kolaboratif antara masyarakat, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan pihak lainnya dengan melakukan aktifitas perlindungan secara mandiri. Selain itu mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dengan memperhatikan pada sumberdaya alam, sumberdaya manusia, organisasi/kelembagaan serta faktorfaktor lainnya. Peningkatan ekonomi yang diharapkan masyarakat tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat saja, namun secara bersama-sama diharapkan mampu menciptakan keadaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
14
Model Kampung
Konservasi (MKK) -
Akses Perubahan status property kawasan hutan
Keterangan
Latar belakang Motif Tujuan Program
Tingkat Ekonomi Ekonomi rumahtangga kampung konservasi - Pendapatan rumahtangga - Strategi nafkah masyarakat
Konservasi Keanekaragaman hayati TNGHS kawasan MKK Kampung Sukagalih
: : Fokus Penelitian : Berpengaruh
Gambar 2 Kerangka penelitian Pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Hipotesis Penelitian Model Kampung Konservasi yang merupakan program Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dapat merubah struktur akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Perubahan akses ini memberi pengaruh negatif terhadap ekonomi masyarakat dan memberikan pengaruh positif terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Definisi Konseptual 1. Taman nasional, yaitu suatu kawasan yang merupakan ekosistem asli/ alami yang dikelola oleh pemerintah dengan sistem berupa zonasi yang dalam pengelolaannya mencakup pada aspek ekologi, ekonomi, teknis dan sosial-budaya. 2. Kebijakan pengelolaan taman nasional, merupakan tata aturan yang mengatur dalam pengelolaan taman nasional berupa batas-batas wilayah (zonasi), hal-hal yang diperbolehkan/dilarang pada taman nasional, akses terhadap sumberdaya, dan lainnya. 3. Konservasi sumberdaya alam, yaitu upaya memelihara sumberdaya alam yang ada secara bijak untuk jangka waktu yang lama.
15 4. Karakteristik nafkah rumahtangga, yaitu ciri-ciri nafkah yang dimiliki oleh rumahtangga. Karakteristik rumahtangga terlihat pada: a. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan hidup keluarga, dalam hal ini termasuk dengan kepala rumahtangga. b. Produktivitas pertanian dan non-pertanian yaitu komoditi pertanian dan non-pertanian yang dihasilkan oleh rumahtangga. 5. Pendapatan pertanian adalah pendapatan yang diperoleh dari sektor-sektor pertanian seperti pertanian (sawah, kebun, ladang), peternakan (kambing, domba, sapi, ayam, ikan). 6. Pendapatan non-pertanian adalah pendapatan yang diperoleh diluar dari sektor pertanian seperti ojek, buruh bangunan, garmen, percetakan Definisi Operasional Untuk mengukur variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka dikemukakan rumusan batasan serta operasionalisasi dari masingmasing variabel tersebut. Adapun variabel-variabel yang akan dioperasionalkan adalah: 1. Karakteristik responden adalah kriteria yang didapatkan pada responden meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan dalam keluarga, lama tinggal di lokasi penelitian. a. Usia menurut BPS (2012) adalah informasi tentang tanggal, bulan dan tahun dari waktu kelahiran responden tersebut menurut sistem kalender Masehi. Informasi ini digunakan untuk mengetahui usia dari responden tersebut. Usia tersebut dibulatkan kebawah, dalam arti usia tersebut merujuk saat ulang tahun terakhir dari responden4. b. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah di tempuh oleh responden c. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya individu yang memiliki hak atau jaminan untuk dapat hidup di dalam keluarga. 2. Total pendapatan adalah pemasukan yang diterima dalam rumahtangga dengan kurun waktu satu tahun berupa pemasukan dari pendapatan pertanian dan atau pendapatan non pertanian. Tingkat pendapatan adalah jumlah pemasukan secara keseluruhan dalam kurun waktu satu tahun berdasarkan susunan kategori yang diukur dengan menggunakan sebaran kurva normal. 3. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2006).
4
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Istilah mengenai usia berdasarkan BPS. Dapat diunduh pada: http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=12
16
17
METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yaitu menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendi 1989). Sedangkan metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendukung penelitian yang dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Oleh karena itu, penelitian dengan menggunakan kuisioner ini dapat menggambarkan keadaan populasi secara keseluruhan, dengan unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yaitu masyarakat yang berada di Kampung Sukagalih, Desa Cipeteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dikarenakan karakteristik yang dipilih berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: 1. Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi merupakan desa yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan terdapat kampung yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). 2. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Kampung Sukagalih pada sektor pertanian dan memanfaatkan lahan pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Lokasi penelitian merupakan lokasi yang mendapatkan pengaruh dari Model Kampung Konservasi. Posisi Kampung Sukagalih berada pada Resort Gunung Kendeng, yaitu di tengah-tengah antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Peran serta Kampung Sukagalih dalam Model Kampung Konservasi sejak tahun 2007. Dengan pertimbangan tersebut, kampung ini dipilih menjadi tempat penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2013 Secara keseluruhan, kegiatan penelitian ini meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi dan perbaikan laporan penelitian. Lampiran 2 menyajikan jadwal pelaksanaan penelitian. Teknik Pengumpulan Data Data Data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian langsung dengan menggunakan instrumen observasi, kuisioner berstruktur, dan didukung dengan wawancara mendalam. Observasi dilakukan dengan mengamati langsung pada obyek penelitian. Peneliti mengajukan pertanyaan berdasarkan urutan yang telah disusun pada kuisioner kepada responden. Hal ini dilakukan untuk mempermudah responden dalam
18 menjawab pertanyaan yang telah disediakan. Selain menggunakan kuisioner, data dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan kepada responden serta informan. Wawancara mendalam diberikan kepada tokoh masyarakat di Kampung Sukagalih, ketua Kelompok Pelestari Lingkungan (KOPEL), masyarakat setempat, tokoh Pemerintah Desa Cipeuteuy, pengelola Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Data sekunder diperoleh dari analisis dokumen dan literatur-literatur lain yang relevan sebagai tambahan juga bahan pembanding untuk data yang sudah yang sudah ditemukan di lapangan seperti buku, internet, dokumen pemerintah desa, dokumen taman nasional, skripsi, dan tesis. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan didukung oleh beberapa data kualitatif untuk memperkaya data dan memahami fenomena sosial. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui akses masyarakat terhadap sumberdaya alam dan aspek ekonomi dengan melihat pendapatan masyarakat serta strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengambilan Sampel Populasi pada penelitian ini merupakan masyarakat Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Pengambilan sampel dilakukan kepada 30 orang responden secara purposive (sengaja). Jumlah kepala keluarga di Kampung Sukagalih sebanyak 39 kepala keluarga, sedangkan peneliti mengambil 30 kepala keluarga. Pengambilan jumlah responden sebanyak 30 rumahtangga ditentukan berdasarkan keadaan lapang di Kampung Sukagalih. Selain itu, yang menjadi pertimbangan yaitu terdapat kepala keluarga yang merupakan pendatang sehingga kurang mengerti pada Model Kampung Konservasi di Kampung Sukagalih, hal ini menyebabkan responden tidak bersedia untuk diwawancarai. Responden diwawancarai sesuai dengan daftar pertanyaan pada kuisioner yang telah disusun. Responden yang merupakan masyarakat Kampung Sukagalih merupakan masyarakat yang memanfaatkan lahan di kawasan taman nasional sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Pemilihan responden melalui karakteristik responden yaitu usia responden, lama tinggal di lokasi, jumlah tanggungan rumah tangga. Karakteristik ini dipilih untuk menyesuaikan pada kuisioner yang dibutuhkan dalam penelitian. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling (teknik bola salju). Berdasarkan metode bola salju, seorang subyek akan menunjukkan kepada peneliti subyek selanjutnya untuk diwawancarai (dari satu informan ke informan lain yang berkaitan dengan data yang dibutuhkan). Informan pada penelitian ini adalah tokoh di Kampung Sukagalih (ketua Kelompok Pelestari Lingkungan (KOPEL) MKK Sukagalih, ketua RT Sukagalih, sesepuh kampung), Lurah Desa Cipeuteuy, pengelola Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengumpulan data melalui informan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan Model Kampung Konservasi di Kampung Sukagalih. Lebih lanjut mengenai pengumpulan data dijelaskan dalam Tabel 2.
19 Tabel 2
Metode pengumpulan data
Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif (Kuesioner)
Wawancara Mendalam
Observasi
Pengumpulan Dokumen
Data yang akan dikumpulkan Data karakteristik responden: usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, jenis kelamin, dan lain-lain Pendapatan masyarakat dari sektor pertanian dan nonpertanian Keikutsertaan dalam Model Kampung Konservasi Sejarah mengenai Model Kampung Konservasi (MKK) Peran BTNGHS mengenai Model Kampung Konservasi Sumber-sumber dan besarnya pendapatan yang diperoleh responden Aktivitas yang dilakukan masyarakat Pengaruh Model Kampung Konservasi bagi masyarakat Kegiatan konservasi lingkungan pada kawasan taman nasional Aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam memenuhi kubutuhan hidup Aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam menjaga kondisi lingkungan taman nasional Gambaran umum desa melalui data monografi Data terkait dengan pengelolaan kolaboratif sumberdaya hutan pada wilayah TNGHS, khususnya besarnya pendapatan rata-rata masyarakat yang berada pada kawasan taman nasional serta keadaan lingkungan taman nasional Literatur atau rujukan berkaitan pada permasalahan penelitian
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data dalam penelitian ini baik secara kualitatif maupun kuantitatif diolah dengan cara menyusun dan menghubungkan bagian-bagian terpenting sehingga dapat menjawab permasalahan dalam penelitian yang diajukan. Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan pengkajian terhadap hasil wawancara mendalam dan pengamatan pada lapangan selama penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, untuk menjelaskan mengenai akses sumberdaya, Model Kampung Konservasi, konservasi keanekaragaman hayati, serta pengetahuan lokal masyarakat dilakukan dengan mengolah kuesioner kemudian ditabulasi dengan program Microsoft Excel 2007, kemudian dianalisis secara statistik deskriptif. Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual baik dalam bentuk gambar maupun tulisan, yang digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Hasil analisis diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Pengolahan dan analisis data kuantitatif yang diperoleh dari kuisioner dimasukkan dalam tabel frekuensi, ditabulasi kemudian dianalisis secara statistik deskriptif. Data yang diperoleh kemudian dianalisis mengenai pengaruh Model Kampung Konservasi terhadap ekonomi masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan dengan mengolah kuesioner.
20
21
GAMBARAN UMUM KAMPUNG SUKAGALIH DESA CIPEUTEUY Kondisi Geografis dan Demografi Desa Cipeuteuy merupakan salah satu desa yang secara administratif berada pada Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Batas-batas wilayah Desa Cipeuteuy sebagai berikut : a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. c. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy yang tercatat dalam profil desa tahun 2011 sebanyak 6 824 jiwa yang terdiri dari 3 503 laki-laki (51.19%) dan 3 339 perempuan (48.81%). Jumlah kepala keluarga di Desa Cipeuteuy sebanyak 1 777 kepala keluarga. Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah sebesar 3 756.60 ha. Keadaan topografi pada Desa Cipeuteuy dapat dilihat pada ketinggian tempat desa ini yaitu 750-850 mdpl dengan curah hujan 2 600 Mm/tahun. Oleh karena itu, suhu udara rata-rata berdasarkan kondisi topografi tersebut yakni 24-32 oC. Desa Cipeuteuy dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum karena hampir sepanjang jalan menuju desa ini telah di buat jalur beraspal hingga mudah dilalui oleh kendaraan. Akses untuk mencapai desa ini dapat menggunakan bis dengan rute Sukabumi, lalu disambung dengan angkutan umum perkotaan (angkot) hingga menuju kantor Desa Cipeuteuy dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Untuk mencapai Kampung Sukagalih, dapat menggunakan jasa ojek karena untuk mencapai kampung ini belum tersedia jasa angkutan umum. Terdapat lima dusun yaitu Arendah, Cipeuteuy, Cisarua, Leuwi Waluh dan Pandan Arum. Kampung Sukagalih berlokasi di Dusun Pandan Arum. Kampung Sukagalih berbatasan langsung dengan taman nasional dan menjadi Model kampung Konservasi dari Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Keberadaan Kampung Sukagalih ini pada zona khusus di Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Masyarakat yang tinggal dalam wilayah Desa Cipeuteuy masih didominasi oleh masyarakat asli. Berdasarkan data monografi pada tahun 2011, jumlah penduduk yang tinggal di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi mencapai 6 842 jiwa, adapun terdiri dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 3 503 jiwa (51.2 %) dan jenis kelamin perempuan berjumlah 3 339 jiwa (48.8 %) terbagi dalam 1 777 kepala keluarga. Pada Kampung Sukagalih, terdapat lahan milik pribadi, lahan bekas HGU dan kawasan zona pemanfaatan di taman nasional. Pada lahan ini masyarakat menggantungkan hidupnya sebagai lahan untuk mata pencaharian di sektor pertanian dan non pertanian.
22 Kondisi Sosial Ekonomi Pada Desa Cipeuteuy, sumberdaya hutan khususnya air yang sangat melimpah, menjadikan wilayah Desa Cipeuteuy didominasi pada sektor pertanian. Air merupakan hal terpenting dalam kehidupan sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat hulu dan hilir dalam menjaga agar sama-sama dapat memanfaatkan secara bijak. Tidak hanya pada sektor pertanian, sektor non-pertanian menjadi pilihan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi tahun 2011 Jenis pekerjaan
Jumlah (jiwa)
Tani Buruh Tani Wiraswasta Pertukangan Jasa PNS Pensiunan Jumlah Sumber: Profil Desa Cipeuteuy (2011)
1 256 1 256 628 209 209 12 7 3 577
Persentase (%) 35.1 35.1 17.7 5.8 5.8 0.3 0.2 100
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa sektor pertanian masih dominan dalam sumber pendapatan bagi masyarakat Desa Cipeuteuy. Namun mulai terdapat kergaman mata pencaharian lainnya seperti pada sektor non pertanian, yaitu pertukangan, jasa serta menjadi wiraswasta. Mata pencaharian bagi masyarakat di Kampung Sukagalih juga didominasi pada sektor pertanian seperti bertani di sawah dengan komoditas utama berupa padi, selain itu juga berkebun atau berladang dengan komoditas berupa cabai merah, cabai keriting, kol, timun, buncis, terong, kacang-kacangan, dan lainnya. Masyarakat Kampung Sukagalih memiliki ternak berupa kambing, domba, ayam yang dimanfaatkan sebagai tabungan atau investasi jangka menengah. Pada Kampung Sukagalih sedikit masyarakat yang keluar dari sektor pertanian, dikarenakan lahan yang dimiliki masyarakat masih dapat menjadi penopang hidup sehari-hari. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kampung Sukagalih yang berada pada Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Kampung Sukagalih sendiri merupakan kampung yang telah bergabung dalam suatu model kampung konservasi bersama pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Karakteristik responden dibedakan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan rumahtangga di kawasan taman nasional.
23 Usia Responden Jumlah kepala keluarga di Kampung Sukagalih sebanyak 39 kepala keluarga, sedangkan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 kepala keluarga (KK). Berdasarkan data lapangan, responden didominasi pada usia dewasa (31 sampai 50 tahun) sebanyak 21 orang dengan persentase sebesar 70%, pada usia muda (18 sampai 30 tahun) sebanyak enam orang dengan persentase sebesar 20%, sedangkan pada usia tua (> 50 tahun) sebanyak tiga orang dengan persentase sebanyak 10%. Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut usia di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi tahun 2013 Usia Jumlah (orang) Persentase (%) 18 – 30 tahun 6 20 31 – 50 tahun 21 70 > 50 tahun 3 10 Total 30 100 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan terakhir menunjukan pendidikan terakhir yang pernah di tempuh oleh responden. Berdasarkan data lapangan, responden di Kampung Sukagalih rata-rata didominasi pada tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah atau tamat SD/sederajat) yaitu sebanyak 26 orang dengan persentase sebesar 86.67%, sedangkan dengan tingkat pendidikan sedang (tamat SMP/sederajat) yaitu sebanyak 4 orang dengan persentase sebesar 13.33%, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut pendidikan di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi tahun 2013 Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak sekolah atau 6 67 tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat 24 33 Total 30 100 Kecenderungan masyarakat Kampung Sukagalih pada tingkat pendidikan yang rendah dikarenakan akses masyarakat untuk mendapatkan sarana dan prasarana dibidang pendidikan cukup sulit. Seperti halnya untuk menuju sekolah terdekat, anak-anak yang ingin bersekolah harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Akses jalan yang jauh dan kurang baik, sulit ditempuh bagi anakanak. Adapun sekolah terdekat, kurang-lebih harus dicapai sejauh tiga kilometer. Banyak anak-anak yang menempuh sekolah dengan berjalan kaki atau diantar orang tuanya dengan motor. Bagi orangtua yang telah tinggal di Kampung Sukagalih, merasakan bahwa pendidikan adalah hal yang penting, namun dikarenakan keterbatasan pada akses tersebut, anak-anak mereka di sekolahkan pada sekolah yang masih dapat dijangkau dengan mudah.
24 Jumlah Tanggungan Rumahtangga Secara umum jumlah tanggungan anggota keluarga rumahtangga adalah sedang yaitu rata-rata jumlah anggota keluarga adalah tiga sampai empat orang. Sebanyak 83.4% atau 25 kepala keluarga di Kampung Sukagalih termasuk dalam kategori jumlah tanggungan rumahtangga sedang yaitu yang berjumlah tiga sampai empat orang. Sedangkan jumlah anggota keluarga rendah berjumlah satu sampai dua orang sebanyak satu kepala keluarga atau sekitar 3.3%. Sisanya sebanyak 13.33% adalah rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga tinggi yaitu jumlah anggota keluarga lebih dari sama dengan lima orang, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut tanggungan rumahtangga di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi tahun 2013 Tanggungan Jumlah (orang) Persentase (%) Rumahtangga Anggota keluarga 1 3.3 berjumlah 1-2 orang Anggota keluarga 25 83.4 berjumlah 3-4 orang Anggota keluarga 4 13.3 berjumlah ≥ 5orang Total 30 100
25
MODEL KAMPUNG KONSERVASI DAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT Riwayat Inisiatif Kampung Konservasi Perubahan dari TNGH menjadi TNGHS pada tahun 2003 memerlukan sebuah model manajemen yang dibutuhkan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan bersama pengelola demi menjaga kelestarian sumberdaya yang ada di kawasan taman nasional. Berdasarkan penetapan UU Otonomi Daerah No. 22 dan No. 25 tahun 1999 dan perubahan paradigma dalam pengelolaan kawasan konservasi yang melatarbelakangi Model Kampung Konservasi (MKK) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Konservasi pada kawasan taman nasional melihat pada masyarakat yang berada di lingkungan sosial serta ekonomi yang erat dengan sumberdaya alam, khususnya hutan. Pengembangan model kampung konservasi didukung untuk melestarikan budaya serta perkembangan ilmiah dengan pengelolaan masyarakat setempat. Tidak hanya masyarakat, MKK ini melibatkan para pihak yang berkepentingan yang direncanakan serta dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional dan internasional. Sumberdaya dikelola bersama masyarakat dengan mengakomodasikan kepentingan masyarakat yang dipandang sebagai aset publik (milik masyarakat). Definisi kampung konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang didalamnya bisa melakukan aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. MKK yang sedang dilaksanakan, diawali dengan pengenalan dan pendekatan agar tidak adanya kesalahpahaman bagi masyarakat mengenai maksud dan tujuan adanya MKK di tengah kehidupan bermasyarakat. Pelestarian sumberdaya hutan dengan MKK dimaksudkan untuk tetap mempertahankan kondisi hutan bersama masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar hutan. Pemanfaatan hutan yang dilaksanakan bersama MKK merupakan salah satu upaya bagi masyarakat menjaga hutan dan mengembangkan kesejahteraan sehingga bisa hidup bersama Taman Nasional. Kegiatan konservasi dilakukan sebagai salah satu upaya dalam menyelamatkan hutan. Kerusakan kawasan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: konversi lahan, kebakaran hutan, pembalakan liar (illegal logging), pasar ilegal untuk spesies langka, serta tingginya laju pertumbuhan penduduk. Sebagian besar penduduk tergantung pada sumberdaya alam di kawasan hutan. Visi Misi MKK Model Kampung Konservasi Model kampung konservasi (MKK) memiliki visi “Masyarakat hidup bersama Taman Nasional”. Model kampung konservasi merupakan sebuah model dari sebuah kampung yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi. Definisi dari kampung konservasi adalah kampung yang didalamnya bisa melakukan aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
26 Tujuan dan Hasil Model Kampung Konservasi Model Kampung Konservasi (MKK) memiliki tujuan: a. Tindakan konservasi dengan partisipasi masyarakat b. Pemanfaatan sumberdayaalam yang berkelanjutan di TNGHS yang strategis c. Memperkenalkan pengalaman tersebut ke desa lain baik di dalam TNGHS atau luar TNGHS. Hasil yang diharapkan dalam kegiatan MKK yaitu: 1. Polisi hutan mampu melakukan penguatan pada CBO (Community Based Organization) untuk keberlangsungan keberadaan TNGHS 2. Masyarakat lokal akan mampu mengelola SDA (sumberdaya alam) secara berkelanjutan 3. TNGHS mampu membuat kolaborasi dengan Pemerintah Daerah secara berkelanjutan khususnya dalam income generation (peningkatan pendapatan) 4. PHKA mampu menerapkan efisiensi dan efektifitas dalam manajemen Taman Nasional ketika melakukan perluasan kawasan. Pada tahun-tahun awal pembentukan Model Kampung Konservasi (MKK) yang dimulai dengan kolaborasi antara pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, masyarakat, Pemerintahan Daerah Kabupaten Sukabumi menghasilkan pedoman pembentukan MKK ke kampung konservasi dalam bentuk proyek SISDUK (Sistem Dukungan). SISDUK diarahkan sebagai income generation, yang keberhasilan proyek ini dapat di kembangkan dan replikasi MKK sebagai pengalaman ke taman nasional lainnya.
Sumber: Harmita (2009) Gambar 3
Skema Model Kampung Konservasi di Indonesia
27
Tiga Pilar Kegiatan MKK 1. Observasi Partisipatif Joint observation atau observasi partisipatif (OP) adalah sebuah kegiatan pengamatan atau observasi pada area-area yang direncanakan dan disepakati bersama dengan masyarakat lokal untuk monitoring, situasi kawasan, membuat jaringan komunikasi yang kuat antara komunitas lokal, LSM dan TNGHS. 2. Rehabilitasi/ Restorasi Melakukan restorasi atau rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak dengan melibatkan masyarakat lokal. Rehabilitasi/ restorasi dilaksanakan di wilayah yang terdegradasi, yang ada di tiga seksi pengelolaan kawasan taman nasional. Rehabilitasi dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan pihak taman nasional. Areal yang sudah direhabilitasi yaitu seluas 20 hektar di wilayah seksi Lebak, 29 hektar di wilayah seksi Bogor, dan 171 hektar di wilayah seksi Sukabumi. Tanaman yang ditaman dalam proses rehabilitasi/ restorasi lahan yaitu jenis aren (Arenga pinata), puspa (Scima walicii), pasang (Quercus suber), rasamala (Altingia excelsa) dan huru (Licea sp) yang merupakan tamanan asli kawasan TNGHS. Selain tanaman asli juga ditanam beberapa jenis tanaman yang dapat menghasilkan buah yang nantinya dapat menjadi salah satu penyangga kehidupan masyarakat. 3. Peningkatan Ekonomi Masyarakat (Income Generating) Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS dengan dukungan SISDUK. SISDUK dikembangkan melalui Rencana kerja Tahunan (RKT). Dasar penyususnannya yaitu denga MoU antara TNGHS dan Bupati Sukabumi yang mensyaratkan untuk pelaksanaan kerjasama pemberdayaan masyarakat. Pihak yang terlibat dalam penyusunan RKT adalah tim koordinasi yang terdiri dari TNGHS, Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah), Bapemdes (Badan Pemerintahan Desa), Dinas Kehutanan, dan dinas instansi terkait yang lain. Penyusunan RKT oleh tim koordinasi didasarkan pada data lapangan yang diperoleh dari FO dan desa. Diantaranya adalah perjanjian kerjasama antara BTNGHS dengan masyarakat Desa Cipeuteuy Nomor S.419/IV-T.13/III.I/2007 tentang pemanfaatan lahan garapan di zona khusus Taman Nasional Gunung Halimun Salak, terdapat pada Lampiran 10. Sistem Dukungan bagi masyarakat hulu (SISDUK) merupakan sebuah program kerjasamana antara pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
28 Pemilihan Kampung Konservasi Setelah perluasan kawasan di TNGHS, terdapat sebanyak 314 kampung yang terbagi menjadi dua tipologi masyarakat, yaitu masyarakat adat (kasepuhankasepuhan di Kabupaten Sukabumi, Kaolotan di Kabupaten Lebak) dan masyarakat lokal yaitu masyarakat yang telah menetap lama di dalam atau sekitar kawasan. Survei sosial ekonomi pada bulan September 2004 hingga Februari 2005, dilaksanakan pada tujuh desa yaitu Desa Kujang Sari dan Desa Situmulya (Kasepuhan Cisitu); Desa Cipeuteuy, Desa Purwabakti, Desa Sinaresmi, Desa Gunung Malang, Desa Lebak Situ, Desa Parengrang. Kegiatan survei sosial ekonomi di tujuh desa dikawasan taman nasional merupakan upaya untuk mendapatkan informasi langsung dari masyarakat. Selanjutnya dilakukan pemilihan lokasi berdasarkan kriteria yaitu: 1. Organisasi/ kelembagaan masyarakat, dipilih dua lokasi yaitu masyarakat adat dimana pengaruh adat tinggi (kasepuhan) dan masyarakat non adat dimana pengaruh adat rendah. 2. Sumberdaya alam, ditinjau dari tingkat kerusakan kawasan, kerusakan di areal perluasan taman nasional, tingkat kerawanan kawasan, dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam. 3. Sumberdaya manusia, dengan pertimbangan tingkat keinginan menyelesaikan masalah dari masyarakat; komitmen masyarakat terhadap pengembangan program kampung konservasi; komunitas di areal perluasan taman nasional; ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai; migrasi penduduk rendah; dukungan pemimpin formal terhadap program/kegiatan konservasi sebelumnya; pemimpin yang mempunyai komitmen terhadap pengembangan kepala keluarga; dan pemimpin informal yang memiliki komitmen terhadap pengembangan kepala keluarga. 4. Faktor Eksternal, faktor yang menjadi pertimbangan yaitu tingkat aksesibilitas tinggi; lokasi mudah dijangkau dari Balai TNGHS; telah ada kegiatan konservasi sebelumnya oleh masyarakat; ada program/kegiatan sebelumnya oleh taman nasional; tingkat keamanan kampung/komunitas; partisipasi dari pemerintah daerah/LSM. Berdasarkan kriteria tersebut, terpilih Desa Sinaresmi, Desa Cipeuteuy serta Desa Gunung Malang5. Desa-desa tersebut memiliki potensi-potensi seperti organisasi atau kelembagaan yang cukup aktif, sumberdaya alam yang erat dengan masyarakat, sumberdaya manusia yang memiliki inisiatif tinggi untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan serta kemampuan masyarakat untuk dapat akses ke kawasan taman nasional. Lokasi Desa Cipeuteuy, Desa Gunung Malang dan Desa Sinaresmi dapat dilihat pada Gambar 4.
5
Dikalangan manajemen Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Desa Sinaresmi dikenal sebagai desa dengan pengaruh adat (masyarakat adat). Sedangkan Desa Cipeuteuy dan Desa Gunung Malang merupakan desa diluar pengaruh adat kasepuhan/ kaolotan (sebagai masyarakat lokal).
29
Sumber: Harmita (2009) Gambar 4
Peta Model Kampung Konservasi TNGHS
Model Kampung Konservasi Pada Desa Cipeuteuy Pihak pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak melakukan survei pada Desa Cipeuteuy, Kecamatan kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Lokasi desa tersebut berada di sekitar kawasan taman nasional. Pada Desa Cipeuteuy terdapat kelompok–kelompok yang terlibat dalam PEKA (Peduli Konservasi Indonesia) dengan pengembangan beberapa kegiatan kelompok. Kelompok ini dibentuk atas kesadaran masyarakat terhadap sumberdaya alam khususnya pada lingkungan di sekitar mereka tinggal. Masyarakat beranggapan bahwa dengan hutan yang lestari maka ketersediaan air dan udara dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan di sektor pertanian. Air yang melimpah dan udara yang bersih tetap terjaga dapat meningkatkan kualitas dari hasil pertanian yang ditanam masayrakat. Kelompok-kelompok yang terdapat pada Desa Cipeuteuy memiliki jenis usaha yang berbeda. Usaha-usaha tersebut disesuaikan pada kemampuan masyarakat dan kebutuhan didalam kelompok. Berikut adalah nama, alamat, ketua dan jenis usaha kelompok-kelompok di Desa Cipeuteuy, dapat dilihat pada Tabel 7.
30 Tabel 7
Kelompok MKK Desa Cipeuteuy
Nama Kelompok MKK Kampung Cisalimar
Alamat Kelompok
Nama Ketua Kelompok Ahim
Jenis Usaha
Kampung Cisalimar Desa Usaha Pupuk Cipeuteuy Kecamatan Organik Kabandungan Kelompok Petani Kampung Cisalimar 1 Isep Penyediaan Alam Semesta Desa Cipeuteuy Pupuk Organik (Kompas 1) Kecamatan Kabandungan Kompas 2 Kampung Cisalimar 2 Atang Usaha Pupuk Desa Cipeuteuy Organik Kecamatan Kabandungan KOPEL Kampung Sukagalih Desa Soma Budidaya Ikan Cipeuteuy Kecamatan (ikan nila dan Kabandungan ikan koi) KTMK (Kelompok Kampung Cisarua Desa Dayat Pengembangan Tani Mitra Cipeuteuy Kecamatan Usaha ternak Koridor) 1 Kabandungan Domba KTMK (Kelompok Kampung Cisarua Desa Parja Pengembangan Tani Mitra Cipeuteuy Kecamatan Usaha ternak Koridor) 2 Kabandungan Domba Sumber: JICA, Wawancara dan Observasi Berperanserta dalam Harmita (2009) Jenis usaha kelompok MKK Desa Cipeuteuy sangat beragam.Terdapat kelompok yang memiliki usaha pupuk organik, budidaya ikan, pengembangan usaha ternak domba. Usaha-usaha tersebut disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat karena masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha, sementara pihak pengelola TNGHS melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi rutin kepada kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana usaha tersebut dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Pada Kampung Sukagalih terdapat usaha budidaya ikan. Adapun ikan yang dibudidayakan yaitu ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan koi (Cyprinuscarpio). Menurut masyarakat, usaha budidaya sebenarnya dapat berhasil, namun memiliki kendala seperti gangguan hewan lain (kucing, berangberang), selain itu ketidakcocokan ikan yang dibudidaya terhadap air sehingga banyak bibit ikan yang mati serta sulitnya masyarakat untuk akses dalam memasarkan hasil panen. Hal itulah yang menjadikan usaha budidaya ikan di Kampung Sukagalih tidak berkelanjutan. Usaha budidaya ikan yang tidak cocok tersebut berganti menjadi usaha ternak domba. Usaha ternak domba ini didukung oleh Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi. Harapan dari usaha ternak domba ini yaitu dapat membantu perekonomian masyarakat sebagai investasi yang dapat dipergunakan sewaktuwaktu oleh masyarakat. Masyarakat mendapatkan bantuan berupa indukan domba yang dapat diternakkan sehingga hasilnya dapat dikembang-biakkan lagi dan dapat dijual sebagai modal usaha atau kebutuhan masyarakat Kampung Sukagalih.
31 Kelembagaan Masyarakat di Kampung Sukagalih Sejarah Sukagalih Sukagalih diambil dari istilah Sunda yang memiliki arti “suka artinya senang dan galih artinya hati yang paling dalam”, menurut beberapa tokoh terdahulu menyampaikan bahwa orang yang tinggal di Sukagalih telah memiliki modal sosial sehingga ketentraman dan kedamaian bersatu padu di kampung tersebut walaupun hanya beberapa orang yang tinggal, pemukiman yang sedikit berbukit dengan luas kampung lima hektar termasuk dua kampung antara Sukagalih dan Ciraksa yang jaraknya tidak terlalu jauh sehingga keberadaan rumahtangga masuk ke pengelolaan Sukagalih, walaupun domisili rumahtangganya berada di Kampung Ciraksa. Secara administratif dua kampung ini termasuk kedalam wilayah Kedusunan Pandan Arum Desa Cipeuteuy dimana jumlah penduduk berjumlah 148 jiwa yang terdiri dari 39 kepala keluarga. Asal mula nama Kampung Sukagalih merupakan sebuah kampung yang bertempat di dalam kawasan Taman Nasional yang dulu disebut Perhutani. Aktivitas masyarakat seharian hanyalah sebagai buruh perkebunan. Pada tahun 1963 pihak perkebunan memindahkan kampung tersebut ke Kampung Pandan Arum yang sekarang menjadi wilayah kemandoran, dimana pada saat itu keberadaan kampung sudah dihuni oleh kurang lebih 160 jiwa. Alasan kepindahan mereka adalah permintaan pihak perkebunan agar pekerja perkebunan dapat bekerja dengan optimal, oleh karena itu mereka dipindahkan ketempat yang lebih dekat dengan pekerjaannya. Akan tetapi warga ini tidak dapat tinggal secara terus menerus, karena keberadaan pihak perkebunan pun tidak lagi menjadi tumpuan untuk hidup, karena situasi dan kondisi yang tidak stabil lambat laun pekerja mulai mencari kehidupan keluar. Pada tahun 1964, generasi pertama yang menempati Kampung Sukagalih yaitu keluarga Bapak Nim dengan anaknya yaitu Bapak Noeng, Bapak Uneb. Kemudian dilanjutkan kedatangan Bapak Ajo yang membantu kegiatan Bapak Nim. Pada saat datang keluarga Bapak Nim kawasan Sukagalih merupakan perkebunan teh namun tahun tersebut warga sedikit demi sedikit mulai membuka lahan untuk dijadikan tempat tinggal dan kebun serta sawah. Pada tahun 1964 pemerintahan desa mulai mengeluarkan kikitir semacam surat tanda pembayaran tanah atau nota pajak yang dikelola dan masuk ke kas desa. Pada tahun 1968 dari Pertanahan Negara yang sekarang agraria mengeluarkan surat tanda pajak. Di tahun 1972 warga yang mengelola kebun teh tidak lagi dibayar oleh perkebunan sehingga pihak perkebunan memberikan perkebunan tersebut untuk masyarakat, sebagai imbalan 15 tahun bekerja. Kemudian 1972 BPN mulai melakukan pengukuran tanah sehingga keluarlah SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang). Tahun 1992 Bapak Noeng serta masyarakatmendirikan persatuan lumung yang merupakan wadah hasil usaha secara bersama. Di tahun yang sama masyarakat mulai melakukan tumpang sari di kawasan Perhutani dengan kerjasama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Tahun 2003 berdiri Kelompok Pelestarian (KOPEL), latar belakang pembuatan KOPEL adalah karena maraknya illegal logging di kawasan Taman Nasional sehingga warga berinisiatif menjaga kawasan dengan membentuk KOPEL. Selain itu, keluarnya peraturan dari Menteri Kehutanan (Menhut) tentang alih fungsi kawasan nomor 175 tanggal 10 Juni 2003. Yang menunjuk areal
32 Perhutani menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Hunung Halimun Salak (TNGHS). Karena adanya masa transisi alih fungsi tersebut hingga banyak oknum yang memanfaatkan illegal logging. Tahun 2005, karena adanya alih fungsi kawasan, taman nasional melakukan berbagai kegiatan sosialisasi kepada masyarakat. Maka taman nasional akhirnya membuat Model Kampung Konservasi (MKK) yang masih bertahan hingga saat ini. Masyarakat percaya bahwa menjaga kelestarian hutan sangat penting sebab secara langsung merasakan dampaknya yaitu ketika hutan gundul maka persediaan air akan sedikit. Dan berharap tidak akan ada lagi kasus pencurian kayu hutan atau illegal logging. Kelompok Pelestari Lingkungan (KOPEL) di Kampung Sukagalih Lembaga atau kelompok swadaya masyarakat yang berada pada Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi ini bernama Kelompok Pelestari Lingkungan atau disingkat KOPEL. Dalam dokumen MKK Sukagalih (2011), lembaga ini berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Landasan kelompok ini bahwa melalui Model Kampung Konservasi Sukagalih dapat melaksanakan pelestarian dan pemulihan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak secara mandiri dan kerjasama dengan pihak lain serta menjadi salah satu pengembangan ekonomi alternatif. Kampung Sukagalih memiliki organisasi yang terbentuk karena masyarakat sadar dengan banyaknya manfaat yang terdapat pada hutan. Sejarah organisasi pada kelompok Sukagalih ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Sejarah organisasi Kelompok Sukagalih Sejarah Organisasi Kelompok Sukagalih Membentuk kelompok secara mandiri untuk mengantisipasi terjadinya illegal logging 2004 Membentuk kelompok pertanian 2005 Masuknya program MKK (Model Kampung Konservasi) kerjasama Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan project JICA 2007 Pendampingan secara continue (berlanjut) oleh fasilitator dalam rangka penguatan kapasitas kelompok, sepuluh hari dalam sebulan pendamping wajib ada di kampung melakukan diskusi rutin dengan anggota kelompok 2007 Penandatanganan naskah kerjasama pengelolaan antara kelompok masyarakat (Juni) dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2008 Adanya aktifitas penanaman kayu hutan secara swadaya dan mendapatkan bantuan dana simultan dari program SISDUK (Sistem Dukungan Masyarakat Hulu) kerjasama Pemerintahan Daerah Sukabumi dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2009 Menjadi tempat untuk praktek pelatihan dan studi banding 2010 Terdapat kegiatan adopsi pohon “Yamaha Jelajah Alam” bersama pihak BTNGHS dan Perkumpulan Gedepahala 2011 Terdapat kegiatan adopsi pohon “Yamaha Green United” bersama pihak BTNGHS dan Perkumpulan Gedepahala 2012 Tetap melaksanakan kegiatan swadaya tanaman asli kawasan di lahan garapan dan merawat pohon adopsi serta menerima kunjungan ekowisata lokal dan mancanegara 2003
33 Visi dari kelembagaan Kelompok Pelestari Lingkungan dalam Model Kampung Konservasi ini yaitu hutan weuteuh masyarakat teu riweuh yang artinya hutan utuh dan masyarakat tentram aman sejahtera, sehingga terwujudnya kesejahteraan sosial, ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan. Misi dari kelembagaan ini adalah menerapkan prinsip saling percaya dan menghormati serta kebersamaan dengan mengutamakan masyarakat yang membutuhkan, untuk peningkatan ekonomi sesuai dengan kemampuan dan keahlian. Selain itu menerapkan pola hidup sehat, bersih dan mempertahankan kepedulian terhadap alam lingkungan (hutan) secara terencana dan berkesinambungan. Kelembagaan KOPEL melalui Model kampung Konservasi berupaya meningkatkan kesejahteraan baik materi maupun non-materi (rohani) melalui kegiatan pendidikan, pertanian, perikanan, peternakan dan menggali potensi sumberdaya alam serta pemanfaatan jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu serta kegiatan pendukung lainnya. Kelompok ini berorientasi pada kesejahteraan, kepedulian, kesadaran dan kebersamaan yang terikat dalam kekeluargaan dan gotong royong. Dalam melaksanakan tujuan kelembagaan KOPEL ini, Model Kampung Konservasi berfungsi untuk mengelola kawasan hutan didalam zona khusus; mengembangkan usaha produktif non-kayu dan usaha alternatif di luar kawasan hutan; mengorganisir dana anggota dan bantuan pihak lain untuk dikembangkan di masyarakat; memperbaiki dan memulihkan sumberdaya hutan melalui rehabilitasi kawasan hutan dengan pola adopsi serta swadaya; dan ikut serta dalam menata dan memadukan program pembangunan di masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan. Hak bagi anggota dalam kelembagaan di Kelompok Pelestari Lingkungan (KOPEL), yaitu: 1. Memilih dan dipilih menjadi pengurus atau pengelola lembaga 2. Memberikan suara pada pemilihan pengurus maupun pada saat membuat keputusan 3. Mengeluarkan saran dan pendapat baik lisan maupun tulisan 4. Memperoleh kesejahteraan dan manfaat sesuai dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya. Kewajiban bagi anggota dalam kelembagaan di Kelompok Pelestari Lingkungan (KOPEL), yaitu: 1. Turut berpartisipasi dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan kelembagaan Kelompok Pelestari Lingkungan melalui Model kampung Konservasi baik secara langsung maupun tidak langsung 2. Menghadiri setiap pertemuan apabila diperlukan oleh pengurus dan dalam keadaan tidak berhalangan 3. Berpartisipasi dalam program dan kegiatan kelembagaan Kelompok Pelestari Lingkungan melalui Model Kampung Konservasi dalam melindungi kelestarian kawasan hutan dan upaya peningkatan ekonomi 4. Mematuhi dan melaksanakan semua aturan dan beban yang telah menjadi tanggung jawab Kampung Sukagalih yang berada pada Desa Cipeutey merupakan Model Kampung Konservasi bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kampung Sukagalih secara administratif terletak di dusun Pandan Arum, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan. Terdapat kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung Sukagalih yaitu Kampung Cisarua, Kampung
34 GH, Kampung Cilodor, Kampung Cisalimar 1, Kampung Cisalimar 2, Kampung Pasir Badak, Kampung Darmaga. Kampung-kampung yang berada pada Desa Cipeuteuy berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Resort Gunung Kendeng. Kegiatan MKK yang telah dilakukan pada Kampung Sukagalih yaitu: 1. Penguatan kelembagaan tingkat kelompok 2. Peningkatan kapasitas anggota kelompok 3. Peningkatan usaha ekonomi masyarakat dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan output yang bermanfaat bagi setiap pihak, seperti: pada level resort, mampu melakukan pendampingan dalam penguatan kelembagaan; pada level balai, mampu melakukan kolaborasi multi pihak; pada level pusat, dapat membuat kebijakan sesuai dengan kondisi yang ada ditingkat lapangan. Kegiatan MKK yang dilaksanakan pada Kampung Sukagalih, difasilitasi taman nasional dengan pemerintah daerah yaitu dengan mendapatkan bantuan, seperti halnya mendapatkan pinjaman indukan domba garut, dana untuk renovasi mesjid, pembangunan mesjid, dana untuk pengairan, dan lainnya. Bantuanbantuan tersebut diharapakan untuk dapat bermanfaat serta berkelanjutan bagi masyarakat Kampung Sukagalih. Perjanjian Kerjasama Kesepakatan antar pihak yang berkaitan dengan keberlanjutan kawasan taman nasional, disusun bersama dengan harapan agar setiap pihak mendapatkan keuntungan dan kejelasan mengenai status dan kondisi taman nasional. Peralihan kawasan dari Perum Perhutani menjadi kawasan taman nasional memberikan dampak kepada masyarakat seperti masyarakat yang ragu untuk mendekati kawasan, adanya ketakutan masyarakat. Pada awal dari masa transisi, banyak masyarakat yang merasa bahwa keadaan Desa Cipeuteuy, khususnya Kampung Sukagalih kurang aman. Masyarakat Kampung Sukagalih berinisiatif untuk membentuk KOPEL (Kelompok Pelestari Lingkungan) pada tahun 2003. Pembentukan pertama di inisiasi oleh delapan orang yaitu Ukat, Rokib, Soma, Juanas, Adang, Sueb, Uneb dan Sahro. Kelompok ini memiliki motto “Gunung Weteh Masyarakat Teru Riweuh”, dengan tujuan mempertahankan gunung yang masih ada, yang belum dirambah secara liar. Seperti pada kejadian di akhir tahun 2004, ada oknum yang ingin menghancurkan damar, seorang anggota KOPEL yaitu Ukat memberikan teguran yang kemudian hampir diculik oleh oknum tersebut namun sempat diselamatkan oleh anggota lainnya. Aksi tersebut menjadikan masyarakat Kampung Sukagalih turut serta menjaga keamanan dan keutuhan yang ada di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tidak lama dari kejadian tersebut, masyarakat bersepakat untuk menyebarkan isu ke luar bahwa kawasan taman nasional dipasang kamera trep. Penyebaran isu ini juga diketahui pihak kawasan karena bermanfaat dalam menjaga taman nasional. Hasil dari penyebaran isu ini yaitu kegiatan perambahan berkurang karena oknum ilegal tersebut tidak berani memasuki kawasan. Melihat pada kondisi ini, pihak BTNGHS melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk dapat menarik keingintahuan dan peran serta masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada di kawasan taman nasional. Pendekatan awal
35 yang dilakukan yaitu pihak balai mengirimkan FO (Field Officer) sejak tahun 2005 yang ditugaskan untuk standby bersama masyarakat selama 15 hari berturutturut dalam sebulan selama tiga bulan. Pendekatan yang dilakukan yaitu pengenalan mengenai taman nasional, mendengarkan keluh-kesah masyarakat, mengamati kondisi sosial, budaya, ekonomi yang ada di masyarakat. Proses dalam kesepakatan ini melibatkan pihak masyarakat yang ditempatkan sebagai pelaku atau subyek dimana masyarakat berperan penting dalam kelestarian sumberdaya yang ada di kawasan, selain itu pihak taman nasional yang membantu dengan pendampingan. Pendekatan yang dilakukan ini membutuhkan waktu yang lama dan antara pihak tersebut dapat saling memahami dan menerima maksud serta tujuan agar tidak timbul kesalahpahaman. Kegiatan pendekatan ini dilakukan kurang lebih selama tiga tahun hingga dapat menghasilkan kesepakatan. Dulu masyarakat menilai bahwa polisi hutan selalu ingin menangkap masyarakat dan polisi hutan memiliki kesan negatif terhadap masyarakat. FO atau tenaga lapang yang pernah mendampingi masyarakat Kampung Sukagalih yaitu: Bayu Aji, yang mendampingi masyarakat selama satu tahun (tahun 2005-2006), pendampingan ini tidak lama dilakukan karena harus dipindah-tugaskan oleh pihak Balai Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak, kemudian digantikan oleh Cecep Sumarna sejak tahun 2006 hingga tahun 2009. Pendampingan yang membutuhkan waktu, tenaga, usaha demi mencapai makna bersama dapat dirasakan masyarakat diwujudkan dengan membentuk kesepakatan. Terdapat salah satu pernyataan dari responden mengenai pendamping lapang, yaitu “....dulu sebelum ada MKK, masyarakat sini belum paham dan mengerti. Warga sini awalnya takut, keluar rumah aja takut karna masih belum aman. Waktu Perhutani sistemnya tebang tanam, setelah peralihan dari Perhutani jadi taman nasional, sekarang ada MKK. Awalnya gak percaya, setelah beberapa kali baru belajar untuk percaya. FO yang datang menerangkan ke masyarakat dari tahun 2005 sampai tahun 2007 yang setelah itu membuat MoU (RK, 42 tahun, 03 April 2013) Adapun prnyataan dari pihak taman nasional mengenai FO yang memfasilitasi masyarakat di Kampung Sukagalih “....pada awalnya masyarakat memandang FO dan polisi hutan sebagai orang yang selalu ingin menangkap, kalau ada petugas masyarakat takut. Setelah melakukan pendekatan, masyarakat jadi tau petugas seperti apa dan bisa menghilangkan anggapan negatif tentang polisi hutan. FO yang dikirimkan ke masyarakat supaya masyarakat mau belajar bersama tentang sumberdaya dan MKK (Ade Mamad, Kepala Urusan Kerjasama Humas, 03 April 2013) Dengan adanya kesepakatan atau perjanjian kerjasama antara Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan masyarakat kelompok Model Kampung Konservasi (MKK) Kampung Sukagalih mengenai pemanfaatan lahan garapan di
36 zona khusus Taman Nasional Gunung Hakimun Salak. Maksud dari perjanjian kerjasama yaitu membangun kebersamaan antara masyarakat dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) sesuai denga fungsi dan tanggung jawab masing-masing guna mewujudkan kelestarian kawasan. Tujuan dari perjanjian kerjasama adalah menjaga pelestarian dan keamanan TNGHS. Sasaran dalam perjanjian ini yaitu: a. Terpeliharanya keamanan dan keutuhan kawasan TNGHS b. Terwujudnya fungsi TNGHS sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan secara optimall c. Terciptanya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan secara berdayaguna dan berhasilguna d. Terjalin hubungan yang harmonis antara para pihak Kesepakatan kerjasama yang dibuat pada tanggal 04 Juni 2007 yang berlokasi di Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan pihak pertama yaitu Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan Republik Indonesia yang diwakili oleh Cecep Sumarna dengan jabatan sebagai Kepala resort Gunung Kendeng. Pihak kedua yaitu, kelompok MKK, yang diwakili oleh Ukat dengan jabatan sebagai ketua kelompok MKK. Pada perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan bahwa Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan kawasan pelestarian alam yang mempuyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Masyarakat Kampung Sukagalih yang tinggal dekat dengan kawasan taman nasional masuk pada zona khusus yang dapat memanfaatkan kawasan sebagai lahan garapan untuk dapat bertani. Lahan garapan pada kawasan telah memiliki perjanjian dalam kesepakatan dengan pihak pengelola yaitu masyarakat dapat menggarap pada kawasan namun tidak diperbolehkan untuk memperluas serta mengambil hasil hutan kayu. Disamping itu masyarakat memiliki kewajiban untuk menanam tanaman asli Taman Nasional Gunung Halimun Salak di sekitar lahan garapan yang dikerjakan oleh masyarakat Kampung Sukagalih. Sanksi sosial merupakan hukuman yang dibentuk dan harus ditaati oleh masyarakat di lingkungan, khususnya bagi masyarakat Kampung Sukagalih. Sedangkan sanksi hukum merupakan aturan yang telah ditetapkan berupa kebijakan-kebijakan yang disusun oleh pemerintahan ataupun pihak kawasan taman nasional. Aturan atau kebijakan yang mengatur dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada undang-undang tersebut telah diatur kebijakan hingga tindakan berupa denda atau hukum pidana apabila terdapat pihak yang tidak mematuhi aturan. Apabila terdapat masyarakat yang tidak mematuhi aturan maka akan dikenakan sanksi, selain sanksi sosial terdapat sanksi hukum. Sanksi sosial dan hukum tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
37 Tabel 9
Sanksi sosial dan hukum terkait pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Jenis sanksi Sanksi Sosial
Sanksi Hukum
Aturan a. Gotong royong rutin (hari Sabtu atau Minggu) b. Dilarang memperluas lahan garapan c. Dilarang menanam tanaman selain tanaman asli kawasan a. Dilarang memperluas lahan garapan b. Dilarang menebang pohon yang yang terdapat pada kawasan c. Dilarang mengambil hasil hutan kayu
Kebijakan atau Sanksi yang diberlakukan Ditegur oleh masyarakat Ditegur oleh masyarakat dan harus meninggalkan lahan garapan tersebut Ditegur oleh masyarakat Pelaku tidak diperboleh-kan menggarap pada lahan tersebut Bukti disita dan pelaku mendapat tindak pidana serta denda Bukti disita dan pelaku mendapatkan tindak pidana serta denda
Ikhtisar Model Kampung Konservasi yang merupakan suatu aksi pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif dengan pihak lainnya yang berada didalam atau diluar kawasan taman nasional. Kegiatan ini difokuskan kepada lingkungan masyarakat yang berada di sekitar kawasan dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan yaitu masyarakat yang mengelola langsung, mengawasi dan dapat merasakan manfaatnya dengan adanya kegiatan tersebut. Kerusakan kawasan taman nasional sering disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: konversi lahan, kebakaran hutan, pembalakan liar (illegal logging), pasar ilegal untuk spesies langka, serta tingginya laju pertumbuhan penduduk. Sebagian besar penduduk tergantung pada sumberdaya alam di kawasan hutan. Terdapat tiga pilar dalam Model Kampung Konservasi, yaitu: observasi pertisipatif, rehabilitasi/restorasi, dan peningkatan ekonomi masyarakat (income generate). Masyarakat Kampung Sukagalih bersama pihak BTNGHS membuat perjanjian kerjasama. Pada perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan bahwa Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan kawasan pelestarian alam yang mempuyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan, khususnya di Kampung Sukagalih dapat mengakses kawasan untuk kegiatan pertanian pada tanaman pangan namun ikut melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemasli kawasan taman nasional.
38
39
PERUBAHAN TATA KUASA, PROPERTI DAN AKSES SUMBERDAYA HUTAN Perubahan Status dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Kampung Sukagalih Kampung Sukagalih yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, tepatnya di Resort Gunung Kendeng, telah membuat kesepakatan bersama pihak berkepentingan seperti Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) mengenai hak, kewajiban, peraturan yang dibuat bersama dan untuk dilaksanakan bersama. Kebijakan Pemerintah mengenai perubahan atau peralihan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas pada kelompok hutan Gunung Halimun Salak seluas ± 113 357 pada kawasan PT Perum Perhutani menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan SK Menteri No. 175 Tahun 2003. Peralihan tersebut memberikan dampak bagi masyarakat Kampung Sukagalih terhadap akses sumberdaya pada kawasan. Akses masyarakat yang terbatas tersebut menjadikan masyarakat harus merubah kebiasaan agar tetap dapat bertahan hidup. Masyarakat yang awalnya mencari nafkah atas hasil hutan, kini telah dibatasi oleh pihak kawasan taman nasional. Hal ini diantisipasi oleh pihak kawasan taman nasional agar tetap melestarikan keaslian sumberdaya hutan yang ada di kawasan. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pengelola taman nasional yaitu melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pemanfaatan lahan garapan di zona yang telah ditentukan dalam perjanjian kerjasama oleh masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan lahan garapan eks Perum Perhutani di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan menanam tanaman sela seperti padi huma, sayur-mayur dan palawija untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Masyarakat setempat menerima bantuan yang difasilitasi oleh pengelola taman nasional, sesuai dengan perjanjian kerjasama yang di sepakati bersama. Pengalihan menjadi kawasan taman nasional merupakan antisipasi untuk menjaga kelestarian hutan. Kekhawatiran dari masyarakat akan terbatasnya sumberdaya alam seperti sulitnya mendapatkan air bersih, semakin berkurangnya tanaman asli kawasan, terancamnya hewan-hewan yang ada di hutan. Peralihan kawasan dari PT. Perum Perhutani menjadi taman nasional merubah tata kuasa, properti dan akses dalam sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pihak pengelola taman nasional memiliki inisiatif untuk meningkatkan kelestarian hutan. taman nasional dengan program kehutanan selain untuk kebutuhan dari taman nasional itu sendiri juga untuk membantu masyarakat yang sebelumnya telah memanfaatkan lahan kawasan sebagai salah satu mata pencaharian. Common pool property resources menurut Ostrom (1990), sumber daya yang merupakan milik bersama, yang terdiri dari sistem sumber daya alam atau buatan manusia, yang ukuran atau karakteristiknya merupakan komoditi mahal, untuk memberikan pengecualian terhadap penerima manfaat potensial dari penggunaan sumberdaya tersebut. Tidak seperti barang publik murni, sumberdaya alam milik bersama menghadapi beberapa masalah atas keadaaan yang tidak terukur. Sementara sumber daya inti yang akan dilindungi atau dipelihara sangat memungkinkan untuk eksploitasi terus-menerus dengan unit pinggiran dapat dipanen atau dikonsumsi. Sumberdaya yang pengelolaannya tidak bisa menolak
40 orang lain untuk memanfaatkan karena memerlukan besarnya biaya yang akan dikeluarkan terhadap luasnya wilayah sumberdaya. Penggunaan common pool property resources perlu dilaksanakan secara bijak mengingat sumberdaya alam yang melimpah namun terbatas jumlahnya agar tidak terjadi tragedy of the common. Keadaan perubahan pengelolaan kawasan di Desa Cipeuteuy, dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10
Perubahan pengelolaan sumberdaya pada kawasan di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan, Sukabumi Kawasan Hutan Kawasan Hutan Aspek Perubahan (tahun < 2005) (tahun ≥ 2005) Status Penguasaan Hutan Kawasan hutan produksi Kawasan hutan PT. Perum Perhutani konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak Sifat Properti Common-pool private Common-pool state property resource property resource Akses Masyarakat ke Menanam, memelihara, a. Menanam dan Kawasan memanen hasil hutan memelihara tanaman kayu dan non kayu asli kawasan (tanaman pangan dan b. Menanam, memelihara tanaman obat-obatan) dan memanen hasil tanaman pangan Benefit Sharing dengan Bagi hasil produksi a. Menanam, memelihara Mayarakat petani dengan PT. Perum dan memanen tanaman Perhutani pangan di kawasan zona khusus b. Menanam dan memelihara pohon adopsi Karakter Kelimpahan Hampir menghadapi Dalam proses rehabilitasi Sumberdaya ancaman degradasi sumberdaya (Tragedy of the common) Pengelolaan kawasan hutan sebelum tahun 2005 dikuasai oleh PT. Perum Perhutani sebagai hutan produksi. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Sedangkan pengelolaan kawasan setelah tahun 2005 dikuasai oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak, kawasan ini dijadikan sebagai hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan kawasan hutan yang memiliki ciri khas tertentu dengan fungsi utamanya berupa kegiatan untuk menjaga dan melestarikan keanekaragaman flora dan fauna serta ekosistem didalamnya. Perubahan status pengelolaan ini mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat yang berada di dalam, di luar atau sekitar kawasan. Sifat properti pada saat kawasan berada dibwah kuasa PT. Perum Perhutani yang merupakan common pool private property resources. Pengelolaan
41 kawasan ini dilakukan oleh pihak swasta. Pengelolaan pada sumberdaya yang dimiliki bukan milik negara ini memiliki aturan yang mengatur hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam, namun manfaat dan biaya yang berkaitan dengan pemanfaatan tersebut ditanggung oleh pemilik. Pengelolaan kawasan oleh taman nasional menjadikan kepemilikan kawasan berubah statusnya menjadi common pool state property resource (kepemilikan oleh negara). Hal ini menjadikan hak pemanfaatan sumberdaya alam pada kawasan secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memutuskan mengenai akses, tingkat dan sifat eksploitasi pada sumberdaya alam sehingga membentuk aturan yang berkaitan dengan kawasan seperti terdapat hukuman atau sanksi. Saat berada dibawah kekuasaan manajemen PT. Perum Perhutani6, masyarakat Kampung Sukagalih dapat memanfaatkan sumberdaya hutan berupa: a. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, b. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu; c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; d. perlindungan hutan dan konservasi alam; e. pengolahan hasil hutan menjadi bahan baku atau bahan jadi; f. pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan; g. penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan; h. pengembangan agroforestri; i. perdagangan hasil hutan dan hasil produksi sendiri maupun produksi pihak lain. Saat kawasan dikelola oleh pihak taman nasional, pengelolaan kawasan dilakukan berdasarkan zonasi. Pada kawasan TNGHS terdapat zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona khusus. Kampung Sukagalih berdekatan dengan kawasan taman nasional. Sebelum diputuskan menjadi kawasan taman nasional, Kampung Sukagalih berada diluar kawasan taman nasional namun menggarap pada lahan taman nasional sebagai mata pencaharian. Hal ini telah didiskusikan bersama pihak taman nasional, sehingga memutuskan bahwa Kampung Sukagalih berada pada zona khusus sesuai dengan perjanjian kerjasama antara pihak pengelola TNGHS dengan pihak masyarakat. Pada zona ini masyarakat dapat menggarap lahan yang telah ada namun tidak diperbolehkan untuk memperluas lahan garapan. Masyarakat Kampung Sukagalih hanya menanam tanaman pangan seperti padi, cabai, kubis, kol, daun bawang dan lainnya di lokasi garapan yang telah mereka kerjakan sejak pengelolaan PT. Perum Perhutani. Masyarakat dapat menanam di kawasan, namun masyarakat tetap membantu kegiatan kawasan seperti rehabilitasi berupa menanam secara swadaya tanaman asli kawasan, menjaga keamanan kawasan dan tidak mengambil hasil hutan kayu dan non-kayu. Rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak periode 20072026 (TNGHS 2007), zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu dan terdapat jalan provinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS. Adapun zona lain yang terdapat pada kawasan taman nasional yaitu
6
Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara
42 1.
Zona Inti dan Zona Rimba Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerahdaerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem. 2. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan. 3. Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi dua, yaitu: a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makan di puncak Gunung Salak. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS. Pada Adiwibowo et al. (2009), pengelolaan tersebut dibagi berdasarkan zonasi taman nasional yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 dan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006, dapat dilihat pada Lampiran 10. Selain itu perubahan yang berkaitan dengan pengelolaan yaitu benefit profit terhadap masyarakat. Masyarakat yang dilibatkan dalam pengelolaan juga mendapatkan keuntungan, khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan hidup. Pada pengelolaan PT. Perum Perhutani, masyarakat mendapatkan pembagian hasil dari produksi pada kawasan. Sedangkan pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya dapat menanam, memelihara hingga memanen hasil pertanian tanaman pangan yang ditanam pada lahan garapan kawasan taman nasional. Disamping itu, masyarakat bersama pihak taman nasional yang menyelenggarakan program adopsi pohon mendapatkan bantuan dari biaya pendampingan atas masing-masing pohon adopsi. Sumberdaya yang terdapat pada kawasan, mengalami perubahan saat pengelolaan oleh PT. Perum Perhutani menjadi taman nasional. Pada pengelolaan oleh PT. Perum Perhutani, sumberdaya alam yang terdapat pada kawasan hampir menghadapi ancaman degradasi (tragedy of the common). Banyaknya penggunaan hasil hutan kayu dan non-kayu yang berlebihan sementara kegiatan rehabilitasi yang tidak seimbang menjadikan sumberdaya semakin terbatas. Hutan semakin
43 gundul dan berkurangnya kemampuan hutan sebagai faktor penting kehidupan. Pada pengelolaan oleh taman nasional, masyarakat, pihak pengelola, serta pihak kepentingan lainnya menjaga hutan dan melaksanakan proses rehabilitasi bertahap guna mengembalikan fungsi hutan. Ikhtisar Peralihan kawasan dari PT. Perum Perhutani menjadi taman nasional merubah tata kuasa, properti dan akses dalam sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sifat properti pada saat dibawah pengelolaan dan penguasaan PT. Perum Perhutani adalah common pool private property resources. Penguasaan dan pengelolaan oleh taman nasional menjadikan tata kuasa berubah statusnya menjadi common pool state property resource (kepemilikan oleh negara). Akses masyarakat terhadap kawasan hutan yang sama kini menjadi berbeda.
44
45
PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT Ekonomi Masyarakat Sebelum dan Setelah Perluasan TNGHS Pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan taman nasional tidak sertamerta dapat dimanfaatkan secara bebas. Peralihan status dari PT. Perhutani menjadi taman nasional dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang berada di dalam atau luar kawasan taman nasional. Keadaan ini mempengaruhi kehidupan bagi yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seperti halnya mata pencaharian sehari-hari, jumlah pendapatan, jenis komoditi yang dapat digarap oleh masyarakat. Saat PT. Perhutani mengelola hutan, dibentuk PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat), merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan masyarakat maupun pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). Masyarakat dapat mengambil getah dari pohon damar (Agathis dammara) untuk dijual atau masyarakat bekerja sebagai buruh menebang pohon dari perusahaan. Pemulihan kondisi hutan setelah peralihan dari Perhutani menjadi taman nasional memerlukan proses yang dijalani selain oleh lingkungan juga dijalani oleh masyarakat. Pengelola taman nasional melakukan pendekatan kepada masyarakat secara bertahap. Hal ini dilakukan karena tingkat kekhawatiran masyarakat mengenai kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi yang tidak pasti. Pada aspek sosial, masyarakat takut untuk keluar rumah atau masuk ke wilayah hutan karena merasa tidak aman. Pada aspek lingkungan terlihat bahwa wilayah hutan banyak yang rusak. Sedangkan pada aspek ekonomi, masyarakat yang telah bergantung kepada sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi sulit dalam mengakses hutan. Namun pihak pengelola taman nasional mendekatkan diri kepada masyarakat dengan harapan dapat berdiskusi bersama-sama mencari jalan tengah yang dapat bermanfaat untuk masing-masing pihak. Model Kampung Konservasi (MKK) yang telah didiskusikan masingmasing pihak sehingga telah membentuk perjanjian/ kesepakatan. Masyarakat Kampung Sukagalih dapat merasakan keamanan dan kenyamanan tinggal di sekitar kawasan dan pihak pengelola telah mempercayakan pengelolaan hutan lestari kepada masyarakat. Kegiatan pertanian juga dilaksanakan masyarakat dengan menanam padi pada sawah di Kampung Sukagalih. Kesepakatan ini memberikan jalan bagi masyarakat untuk dapat mengakses zona khusus bagi masyarakat untuk menggarap secara tumpang sari tanaman pangan pada lahan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Masyarakat dapat bercocok tanam dengan melakukan kegiatan swadaya menanam tanaman asli di lahan garapan. Jenis-jenis tanaman tumpang sari pada lahan garapan yang ditanam masyarakat seperti cabai, kacang-kacangan, tomat, kol, timun, kubis dan daun bawang. Tanaman ini ditanam pada lahan garapan dan hasil panennya dapat dijual sebagai pendapatan masyarakat. Masyarakat menggunakan teknologi seperti plastik mulsa dan traktor untuk membantu pertanian di ladang dan di sawah. Kegunaan plastik mulsa adalah untuk mempermudah dalam menanam hingga memanen tanaman pangan, selain itu dengan plastik ini meningkatkan hasil panen karena memudahkan dalam
46 menanam, merawat hingga memanen. Masa tanam dan panen tanaman berbeda setiap jenisnya, sehingga masyarakat kampung Sukagalih dapat menyusun jadwal sesuai dengan umur tanaman. Jenis-jenis tanaman yang ditanam masyarakat Kampung Sukagalih dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11
Rata-rata masa tanam hingga panen selesai dan frekuensi menanam tanaman pertanian Masa Tanam hingga Rata-rata Nama Tanaman Panen Selesai Frekuensi Menanam (bulan) (pertahun) Padi 6 2 kali Cabai Keriting 5 2 kali Cabai Besar 5 2 kali Kacang-kacangan 4 2 kali Tomat 4 2 kali Kol 3 3 kali Timun 3 3 kali Kubis 3 3 kali Daun Bawang7 1.5 2 kali Pada Tabel 13, terlihat bahwa kecenderungan komoditas untuk cepat dan mudah dipanen dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian tersebut. Dalam waktu dua bulan, masyarakat dapat menanam hingga memanen hasil pada lahan garapan di kawasan. Seperti pada tanaman cabai keriting atau cabai besar, masa panen tanaman ini yaitu lima bulan dengan frekuensi menanam sebanyak tiga kali pertahun. Masa panen tanaman tidak terhitung dari awal penggemburan lahan dan penjemuran bibit, namun terhitung dari penyemaian bibit pada lahan yang telah disiapkan. Rata-rata dalam satu kali menanam bibit pada lahan dapat dipanen sebanyak empat sampai lima kali hasil. Maka masyarakat dapat menjual hasil yang telah siap ke pasar dan dapat memanen kembali saat tanaman tersebut siap hingga terhenti saat tanaman tidak dapat berproduksi dengan baik. Cara bercocok tanam bagi masyarakat Kampung Sukagalih tidak sulit, seperti pada lahan yang telah ditutup mulsa (plastik untuk membantu dalam bertani), diberikan pupuk dan dimasukkan bibit tanaman dan dibantu dengan pupuk agar dapat menghasilkan buah yang berkualitas baik dan segar. Berdasarkan wawancara dilapang untuk menanam bibit cabai, masyarakat kampung Sukagalih menggunakan plastik mulsa, pada bibit cabai yang telah ditanam, tidak jauh di sekitar bibit cabai itu dapat ditanam bibit daun bawang, kacang-kacangan (tumpang sari). Dengan tumpang sari ini dapat mengefektifkan lahan sisa pada mulsa untuk menanam tanaman lain. Meskipun bibit cabai dan bibit lain ditanam dengan jangka waktu yang hampir sama, namun umur tanaman tidak sama. Tanaman kacang-kacangan berumur lebih pendek daripada tanaman cabai, sehingga cepat dipanen. 7
Tumpangsari tanaman daun bawang dengan tanaman cabai pada plastik mulsa dalam satu periode (dari masa tanam hingga masa panen selesai)
47 Masyarakat Kampung Sukagalih menggarap lahan kawasan taman nasional sebagai salah satu sumber pendapatan. Pada lahan garapan tersebut, masyarakat mengelola tanaman pertanian yang disesuaikan dengan kecocokan terhadap suhu yang cenderung dingin, curah hujan yang tinggi, serta kondisi lingkungan yang berdekatan dengan hutan serta banyak hewan liar yang dapat mengambil hasil pertanian dan merusak hasil garapan masyarakat. Kegiatan perekonomian didukung dengan lahan pertanian yang mudah diolah sehingga dapat menanam tanaman yang dapat menjadi sumber pendapatan. Pertanian di kampung ini tidak hanya bercocok tanam, namun terdapat ternak seperti domba, ayam serta ikan. Masyarakat Kampung Sukagalih mendapatkan bantuan ternak yaitu domba garut oleh Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi sebanyak 55 ekor dengan kontrak selama lima tahun. Masyarakat menjadikan domba tersebut sebagai investasi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila ada kebutuhan mendesak yaitu dengan menjual hasil peranakan dari induk domba yang telah diternakan. Namun tidak diperbolehkan menjual induk domba karena merupakan suatu pertanggung-jawaban dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat. Apabila terdapat induk domba yang sudah tua dan tidak dapat berproduksi dengan baik, masyarakat akan melaporkan kepada Dinas Peternakan dan dapat menukarnya dengan indukan yang baru. Bantuan domba diberikan kepada seluruh KK di Kampung Sukagalih agar dapat dimanfaatkan dengan baik dan membantu dalam perekonomian masyarakat. Selain domba, masyarakat ada yang memiliki ayam dan ikan, namun tidak diternakkan karena kurangnya fasilitas sarana dan prasarana untuk berternak. Rata-rata masyarakat memiliki dua atau tiga ekor ayam. Selain ayam, ada masyarakat yang memiliki kolam ikan dengan jenis ikan seperti ikan mujair (Oreochromis mossambicus), ikan nila (Orheochromis niloticus), ikan lele (Clarias batrachus) dan ikan mas (Cyprinus carpio). Ayam dan ikan yang dimiliki tersebut hanya dijadikan sebagai konsumsi pribadi. Jumlah kepemilikan ternak masyarakat Kampung Sukagalih dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12
Jumlah dan persentase responden menurut jenis kepemilikan ternak di Kampung Sukagalih Jumlah Responden Persentase Pemilik Jenis Ternak Pemilik Ternak Ternak (%) (orang) Domba 30 100 Ayam 26 86.7 Ikan 8 26.7
Berdasarkan tabel terlihat bahwa sebanyak 30 orang responden dengan persentase sebesar 100% memiliki domba karena telah mendapatkan bantuan dari Dinas Peternakan. Sedangkan untuk jenis ternak ayam berjumlah 26 orang responden dengan persentase sebesar 86.7% serta untuk jenis ternak ikan, hanya delapan orang responden dengan persentase sebesar 26.7% yang dipergunakan masyarakat untuk konsumsi pribadi. Dalam berternak ayam, masyarakat belum paham dengan baik untuk mengelola ayam. Sedangkan masyarakat yang memiliki ikan merasa sulit untuk akses dalam menjual ikan pada pasar, lahan untuk membuat kolam, serta tidak ada sarana dan prasarana yang memadai.
48 Pendapatan masyarakat kampung Sukagalih tidak hanya dari sektor pertanian dan non-pertanian, namun mendapatkan pengaruh dari adanya Model Kampung Konservasi yaitu memberikan jasa pelayanan bagi wisatawan lokal ataupun mancanegara. Jasa pelayanan ini memberi pengaruh ekonomi kepada masyarakat sebagai tambahan apabila ada wisatawan yang ingin berlibur atau ingin melakukan kunjungan berkaitan dengan kawasan taman nasional. Sistem pengelolaan jasa pelayanan ini merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah anggota MKK di kampung Sukagalih. Daftar tarif MKK Sukagalih tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Daftar tarif akomodasi dan konsumsi di MKK Sukagalih tahun 20128 Jenis Jasa Tarif Kriteria Pelayanan Rp 25 000.00/kamar Domestik Kamar Rp 50 000.00/kamar Mancanegara Makan Pagi Rp 15 000.00/1 kali makan Makan Siang Rp 25 000.00/1 kali makan Makan Malam Rp 20 000.00/1 kali makan Guide Lokal Rp 50 000.00/hari /orang Daftar tarif pada jasa pelayanan ini dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat. Penentuan tarif dan fasilitas ini diketahui pihak taman nasional karena pihak pengelola taman nasional yang memberikan rekomendasi kepada wisatawan yang ingin berwisata atau melakukan penelitian kepada masyarakat setempat. Penentuan lokasi untuk penginapan diserahkan langsung kepada masyarakat disesuikan dengan kriteria wisatawan dan kapasitas masyarakat. Namun dalam daftar tarif tersebut dengan jenis pelayanan kamar seperti tarif untuk kamar wisata domestik yaitu Rp 25 000.00 terdiri dari Rp 20 000.00 yang merupakan biaya kamar yang ditempati wisatawan dan Rp 5 000.00 yang akan dimasukkan kedalam kas masyarakat Kampung Sukagalih. Untuk tarif menginap bagi wisatawan mancanegara yaitu Rp 50 000.00 yang terdiri dari Rp 40 000.00 yang merupakan biaya kamar dan Rp 10 000.00 yang akan dimasukkan kedalam kas masyarakat MKK Kampung Sukagalih. Kunjungan wisatawan di Kampung Sukagalih terkait dengan penelitian, studi banding atau wisata dan edukatif . Kegiatan penelitian dan studi banding yang dilakukan di kampung ini terkait dengan akses yang mudah untuk mencapai kawasan taman nasional. Selain itu terdapat kegiatan wisata seperti mengunjungi kawsan taman nasional untuk wisata edukatif seperti camping ground, adopsi pohon, dan trackking pada jalur yang telah dibuat masyarakat dan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kegiatan-kegiatan tersebut sering memanfaatkan fasilitas homestay bagi wisatawan domestik atau mancanegara. Wisatawan dari mancanegara sering datang ke MKK Kampung Sukagalih kurang lebih sebanyak 28 negara seperti Negara Jepang, Korea, Thailand, Laos, Vietnam, Australia dan lainnya. Pengaruh adanya MKK Kampung Sukagalih dengan datangnya wisatawan domestik dan mancanegara yaitu masyarakat 8
Daftar tarif akomodasi dan konsumsi di MKK Sukagalih dapat berubah sewaktu-waktu tergantung hasil kesepakatan/ musyawarah
49 mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru. Pengetahuan dan pengalaman baru yang didapatkan masyarakat seperti budaya yang berbeda setiap wisatawan yang datang membuat masyarakat penasaran dan ingin mengambil hal-hal positif setiap adanya kunjungan tersebut. Selain itu, masyarakat senang ketika perbedaan budaya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk berinteraksi namun sebagai motivasi untuk belajar. Kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara tidak dapat ditentukan atau tidak terjadwal karena tergantung kepada rekomendasi dari pihak pengelola Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Namun apabila ada kunjungan dari wisatawan, masyarakat mendapatkan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk membantu dalam memenuhi kebutuhan. Tingkat Pendapatan Responden MKK Kampung Sukagalih Sumberdaya alam yang terdapat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sangat melimpah. Flora dan fauna yang beragam jenis menjadikan kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak dijadikan sebagai kawasan taman nasional. Namun kekayaan flora dan fauna tersebut akan menipis apabila tidak diperhatikan secara bijak. Kegiatan perekonomian dapat mendesak masyarakat untuk memanfaatkan hutan secara bebas. Bagi masyarakat Kampung Sukagalih yang barada pada sekitar kawasan taman nasional merasakan adanya kekhawatiran mengenai keadaan tersebut. Hal ini terjadi karena masyarakat cenderung telah bergantung pada sumberdaya yang ada di hutan. Seperti halnya penebangan pohon secara besar-besaran dapat mengakibatkan krisis air, Air yang merupakan faktor penting yang bermanfaat untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Pengelola taman nasional membentuk MKK pada masyarakat dengan tujuan membantu masyarakat agar dapat tetap bertahan hidup sesuai dengan kesepakatan bersama. Seperti kesepakatan pihak pengelola dengna masyarakat bahwa antar pihak telah sepakat mengenai pemanfaatan lahan garapan di zona khusus yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Seperti pada pilar MKK yaitu peningkatan ekonomi masyarakat (income generating). Peningkatan ekonomi masyarakat diharapkan untuk menjadikan pendapatan masyarakat Kampung Sukagalih yang bersumber dari sektor pertanian dan non pertanian tersebut dapat berkelanjutan secara mandiri. Masyarakat dapat membangun kampung dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan taman nasional. Pendapatan yang tidak menentu dapat menuntut masyarakat untuk bekerja lebih keras. Sebelum masuknya MKK, perekonomian masyarakat masih belum stabil, namun kecendrungan mengenai pemanfaatan hutan dapat terlihat dengan pola konsumtif masyarakat yang menggunakan hasil hutan sebagai salah satu tumpuan hidup. Berbeda dengan setelah adanya MKK, meskipun masyarakat memanfaatkan lahan garapan eks PT. Perhutani untuk bercocok tanam namun masyarakat Kampung Sukagalih tetap menjaga kelestarian kawasan taman nasional. Sebelum adanya MKK pendapatan masyarakat sehari-hari didapatkan dengan menjadi buruh karet damar dan buruh tani. Pendapatan yang didapatkan masyarakat perhari sebelum adanya MKK (tahun 2008) dengan menjadi buruh yaitu Rp 10 000.00 sampai Rp 15 000.00, sedangkan setelah adanya MKK (tahun 2012) menjadi Rp 20 000.00 sampai Rp 25 000.00. Dengan pendapatan harian
50 yang didapatkan dari pekerjaan sebagai buruh tani belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk melihat perbandingan tingkat pendapatan masyarakat MKK Kampung Sukagalih pada saat sebelum dan setelah adanya Model Kampung Konservasi dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan, sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi
Tingkat Pendapatan
Sebelum Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2004)
Setelah Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2012)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
< Rp 2 500 000
4
13.3
0
0
Rp 2 500 000 – Rp 10 750 000
26
86.7
24
80
> Rp 10 750 000
0
0
6
20
Total
30
100
30
100
Pada Tabel 14, dapat dilihat saat sebelum adanya MKK di Kampung Sukagalih rata-rata pendapatan masyarakat didominasi pada tingkat menengah yaitu 26 orang dengan persentase sebesar 86.7%, yaitu yang berada pada selang Rp 2 500 000.00 sampai dengan Rp 10 750 000.00 (pertahun); sedangkan masyarakat yang berpendapatan rendah di Kampung Sukagalih berjumlah empat orang dengan persentase sebesar 13.3% dengan pendapatan pertahun lebih besar dari Rp 2 250 000.00. Menurut data yang didapatkan dari lapang, untuk pendapatan masyarakat Kampung Sukagalih setelah adanya MKK, masih didominasi oleh pendapatan menengah yaitu sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 80%; masyarakat dengan pendapatan tinggi berjumlah enam orang yang pendapatannya lebih dari Rp 10 750 000.00, dengan persentase sebesar 20%. Pendapatan masyarakat Kampung Sukagalih yang cenderung meningkat dari sebelum dan setelah adanya program MKK belum menunjukkan kesejahteraan masyarakat karena masih terkendala oleh beberapa faktor. Faktorfaktor yang mempengaruhi belum meningkatnya kesejahteraan masyarakat kampung Sukagalih yaitu: a. Sulitnya masyarakat mendapatkan harga yang sesuai dengan penjualan hasil panen dari sawah atau kebun b. Akses menuju kota yang cukup jauh sementara kendaraan umum yang terbatas c. Luas lahan garapan yang berada pada kawasan taman nasional semakin berkurang karena tanaman asli TNGHS yang ditanam secara swadaya oleh masyarakat Kampung Sukagalih Kesejahteraan masyarakat sulit meningkat dapat disebabkan oleh faktorfaktor tersebut. Namun masyarakat berusaha untuk tetap bertahan dengan meningkatkan kelembagaan di masyarakat agar dapat saling membantu satu sama
51 lain. Selain itu, masyarakat yang membentuk kegiatan swadaya seperti adanya usaha kecil menengah mengharapkan agar dapat berkelanjutan dan membantu perekonomian. Adanya hewan ternak sebagai salah satu investasi bagi masyarakat yang apabila dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu ketika masyarakat membutuhkan biaya tambahan. Hal ini berperan dalan pemenuhan kebutuhan hudup sehari-hari masyarakat. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kampung Sukagalih selain untuk peningkatan kesejahteraan dari segi ekonomi juga penguatan kelembagaan yang diharapkan dengan adanya kelembagaan yang kuat, masyarakat semakin bersinergi untuk mempertahankan kondisi yang berdampingan bersama sumberdaya alam. Luas Lahan Garapan Sektor pertanian memerlukan media tanam untuk dapat berproduksi dengan baik sehingga dapat memanen dan menjadi nilai ekonomi. Bagi masyarakat Kampung Sukagalih, lahan merupakan faktor penting untuk bercocok tanam. Kepemilikan masyarakat terhadap lahan berbeda-beda sesuai dengan jenis lahannya. Kecenderungan masyarakat untuk bertani selain pada lahan yang dimiliki secara pribadi, masyarakat juga bertani pada lahan kawasan taman nasional serta lahan HGU. Perbandingan luas garapan masyarakat sebelum dan setelah MKK dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15
Luas lahan garapan menurut jenis lahan sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi Luas Lahan Garapan Seluruh Responden (ha) Jenis Lahan
Lahan Milik Sendiri Lahan di Zona Khusus pada TNGHS Lahan HGU Total
Sebelum Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2004)
Setelah Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2012)
12.7
13.3
5.9
5.8
7.1 25.7
7.4 26.5
Rata-rata masyarakat menggunakan lahan-lahan yang ada di Kampung Sukagalih untuk menanam komoditar pertanian. Masyarakat memiliki lahan sendiri yang biasanya berupa tempat tinggal (rumah), sawah untuk menanam padi atau lahan untuk pekarangan yang diperuntukkan sebagai kandang ternak. Selain lahan pribadi (milik sendiri), masyarakat menggarap pada lahan kawasan TNGHS dan lahan HGU. Pada Tabel 16 terlihat bahwa total luas lahan yang merupakan milik pribadi sebelum adanya MKK yaitu 12.7 ha, sedangkan setelah adanya MKK luas kepemilikan lahan milik sendiri yaitu 13.3 ha. Bertambahnya luas lahan ini dikarenakan terdapat warga yang menjual lahannya kepada tetangganya sehingga total luas lahan pada tahun 2012 terlihat bertambah dibandingkan luas lahan kepemilikan pribadi pada tahun 2004.
52 Masyarakat tidak dapat memperluas lahan garapan dan merambah hutan pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sehingga tidak ada perbedaaan luas garapan saat Perhutani hingga setelah masuknya MKK dengan pengelola Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Total luas lahan garapan sebelum adanya MKK di Kampung Sukagalih yaitu 5.9 ha, sedangkan luas lahan setelah adanya MKK yaitu 5.7 ha. Luas lahan yang berkurang tersebut karena ada yang tidak lagi menggarap di kawasan taman nasional. Lahan garapan masyarakat yang berada pada kawasan taman nasional ini merupakan lahan yang telah dikerjakan masyarakat sejak pengelolaan oleh PT. Perhutani. Peralihan menjadi kawasan taman nasional serta dengan membuat kesepakatan antara masyarakat dan pohak pengelola menghasilkan keputusan bahwa masyarakat dapat menggarap kawasan namun masyarakat harus menanam tanaman asli seperti aren, puspa, rasamana, pasang, huru, dan lainnya secara bertahap pada lahan garapan masing-masing anggota kelompok. Masyarakat menjaga zona inti dan zona lainnya, tidak memperluas garapan dan menebang pohon didalam kawasan. Pada tabel, berkurangnya lahan garapan masyarakat di kawasan karena tanaman asli yang ditanam masyarakat secara swadaya telah tumbuh dan semakin membesar dan mengurangi luas lahan yang digarap oleh masyarakat. Masyarakat selain menggunakan lahan milik pribadi dan lahan di zona khusus pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak, masyarakat juga memanfaatkan lahan HGU (Hak Guna Usaha) bekas PT. Intan Hepta. Awalnya lahan ini merupakan lahan perkebunan namun lahan ini semakin terbengkalai dan telah habis masa kontraknya. Luas kawasan HGU ini sebesar ± 600 hektar yang berada pada wilayah Desa Cipeuteuy. Pemanfaaatan lahan ini digunakan masyarakat sebagai lahan untuk bertani (sawah dan ladang). Luas lahan yang digarap oleh masyarakat Kampung Sukagalih terhadap lahan HGU sebelum adanya MKK yaitu sebesar 7.1 ha, sedangkan setelah masuknya MKK luas lahan yang digarap yaitu 7.4 ha. Bertambahnya lahan garapan pada HGU karena masyarakat dapat menggarap tanaman pertanian tanpa membayar pajak. Hal ini terjadi akibat ketidakjelasan pihak PT. Intan Hepta yang belum mengalihfungsikan serta berpindah statusnya, sehingga masyarakat lebih memilih untuk bertani pada lahan tersebut. Harapan masyarakat terhadap lahan HGU adalah jelasnya status lahan tersebut agar masyarakat dapat menyesuaikan pada keadaan lahan untuk tetap bertahan di sektor pertanian. Strategi Nafkah Masyarakat Mata pencaharian masyarakat Kampung Sukagalih didominasi pada sektor pertanian (petani, buruh tani, ternak hewan), sedangkan ada masyarakat yang bekerja pada sektor non-pertanian (ojek, dagang, percetakan). Terdapat perbedaan mata pencaharian masyarakat sebelum dan setelah masuknya MKK di Kampung Sukagalih. Sebelum adanya MKK, masyarakat telah menggarap lahan untuk bercocok tanam pada kawasan Perhutani yang tidak terpakai pasca penebangan pohon. Sedangkan setelah peralihan menjadi kawasan taman nasional, dan telah dibuat kesepakatan antara pihak pengelola TNGHS dengan masyarakat. Kecenderungan masyarakat yang bergantung kepada pertanian sangat tinggi karena wilayah kampung Sukagalih berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16.
53
Tabel 16
Jumlah dan persentase responden menurut mata pencaharian, sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi
Mata Pencaharian
Pertanian Non-pertanian Total
Sebelum Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2004) Jumlah Persentase (orang) (%)
27 3 30
90 10 100
Setelah Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2012) Jumlah Persentase (orang) (%)
28 2 30
93.3 6.7 100
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa mata pencaharian masyarakat pada sektor pertanian saat sebelum ada MKK (tahun 2004) sebanyak 27 orang dengan persentase sebesar 90% dengan setelah ada MKK (tahun 2012) sebanyak 28 orang dengan persentase sebesar 93.3%. Sedangkan untuk sektor non-pertanian saat sebelum ada MKK (tahun 2004) sebanyak tiga orang dengan persentase sebesar 10% dengan setelah ada MKK (tahun 2012) sebanyak dua orang dengan persentase sebesar 6.7%. Masyarakat beralih dari sektor non-pertanian ke sektor pertanian karena masyarakat melihat potensi dari sektor pertanian lebih baik dan dapat menjadi mata pencaharian yang berkelanjutan. Model Kampung Konservasi berperan sebagai salah satu aspek yang mampu memberikan pengaruh berupa lahan pertanian. Hal ini dilihat dari lahan garapan yang berada pada kawasan taman nasional. Masyarakat dapat mengakses lahan garapan sesuai dengan ketentuan antara masyarakat dan pihak pengelola kawasan. Strategi nafkah merupakan salah satu alternatif yang dipilih masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Masyarakat dapat memiliki satu atau lebih jenis pekerjaan yang dirasakan sesuai dengan kemampuan masyarakat tersebut. Setiap orang akan berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup dengan memperhatikan pada ketersediaan sumber nafkah dan kemampuan atas sumberdaya manusia dalam mengelolanya. Ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mengukur kesejahteraan hidup masyarakat. Masyarakat memilih lebih dari satu mata pencaharian sebagai alternatif tambahan untuk bertahan dalam meemenuhi kebutuhan hidup. Penghasilan dari pertanian belum tentu setiap panennya mendapatkan hasil yang sama dan memuaskan. Hal ini dilihat dari faktor lain seperti kondisi lahan, cuaca, kualitas bibit, hama, harga jual yang rendah, dan lainnya. Sektor pertanian yang didominasi pada Kampung Sukagalih dapat dilihat dengan luasnya lahan yang mengelilingi kampung ini. Posisi Kampung Sukagalih yang berada pada Resort Gunung Kendeng, yaitu ditengah-tengah antara Gunung Halimun dan Gunung Salak memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Strategi nafkah yang berkaitan dengan sektor pertanian dan non-pertanian cukup beragam di kampung ini. Seperti masyarakat di sektor pertanian yang mata pencahariannya sebagai petani penggarap; buruh tani; buruh tani dan peternak; petani dan peternak; petani, buruh tani dan peternak. Selain itu pada sektor non-pertanian terdapat masyarakat yang memiliki mata pencaharian pada jasa transportasi (ojek
54 motor), jasa media (percetakan) dan wiraswasata (dagang). Jumlah dan persentase responden menurut mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah dan persentase responden menurut strategi nafkah pada sektor pertanian dan non pertanian, sebelum dan setelah ada Model Kampung Konservasi No
1
Strategi Nafkah
Pertanian a. Petani Penggarap b. Buruh Tani c. Buruh Tani dan Peternak d. Petani dan Peternak e. Petani, Buruh tani dan Peternak
Jumlah 2 Non-pertanian a. Wiraswasta (Dagang) b. Jasa Media (Percetakan) c. Jasa Transportasi (Ojek) Jumlah Total
Sebelum Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2004) Jumlah Persentase (orang) (%) 1 2
3.3 6.7
Setelah Ada Model Kampung Konservasi (tahun 2012) Jumlah Persentase (orang) (%) 0 0
16.7
6
20
5
4
13.3
6
14
46.7
17
56.7
27
90
28
93.3 3.3
20
1
3.3
1
1
3.3
1
3.3
1
3.3
0
-
2 30
6.7 100
3 30
10 100
Strategi nafkah di sektor pertanian masyarakat sebelum adanya MKK banyak didominasi pada mata pencaharian sebagai petani, buruh tani dan peternak sebanyak 14 orang dengan persentase sebesar 46.7 %, sedangkan setelah adanya MKK di Kampung Sukagalih menjadi 17 orang dengan persentase 56.7 %. Selain menjadi petani, buruh tani merupakan mata pencaharian bagi masyarakat untuk mengisi waktu sambil menunggu masa panen tanaman yang ditanam. Kelembagaan yang kuat di lingkungan Kampung Sukagalih menjadi pendukung untuk saling membantu dalam kegiatan perekonomian. Masyarakat saling membantu untuk bercocok tanam dan saling berbagi agar masyarakat yang kurang dapat terbantu dalam memenuhi kebutuhan. Ternak yang dibudidayakan di kampung ini yaitu domba dengan bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Bantuan yang diberikan berupa indukan domba sehingga dapat dikembangbiakkan agar hasil ternak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Pada sektor non-pertanian terdapat masyarakat yang bekerja sebagai wiraswasta dengan berdagang kebutuhan rumah tangga berupa warung, bekerja pada bidang jasa percetakan dan jasa transportasi berupa ojek. Sebelum adanya MKK jasa ojek dimanfaatkan apabila ingin bepergian jauh namun tidak memiliki surat kendaraan bermotor yang lengkap sehingga jasa ojek sangat dibutuhkan. Setelah adanya MKK, masyarakat Kampung Sukagalih rata-rata telah memiliki kendaraan bermotor di masing-masing rumahtangga. Kendaraan bermotor sudah
55 menjadi kebutuhan bagi masyarakat untuk bepergian jarak dekat maupun jarak jauh. Hal ini mempermudah masyarakat untuk menjual hasil pertanian keluar dari wilayah Kampung Sukagalih. Ikhtisar Model Kampung Konservasi (MKK) Kampung Sukagalih memberikan pengaruh terhadap ekonomi masyarakat, Hal ini dapat dibuktikan dengan pendapatan dari mata pencaharian masyarakat pada sektor pertanian dan nonpertanian yang meningkat. Mata pencaharian masyarakat Kampung Sukagalih didominasi pada sektor pertanian (petani, buruh tani, ternak hewan), sedangkan ada masyarakat yang bekerja pada sektor non-pertanian (ojek, dagang, percetakan). Kampung Sukagalih yang merupakan daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi dan merupakan salah satu daerah dataran tinggi, dengan tanaman pertanian seperti cabai keriting, cabai merah besar, kol, tomat, kubis, timun, serta kacang-kacangan yang dapat ditanam dengan baik. Hasil panen yang cukup baik, mampu membantu perekonomian masyarakat. Selain bertani, masyarakat Kampung Sukagalih mandapatkan bantuan domba dari Dinas Peternakan yang dapat diambil anakan dari domba tersebut sebagai investasi yang dapat dikembangbiakkan atau dijual apabila sewaktu-waktu membutuhkan dana tambahan. Peningkatan ekonomi masyarakat diharapkan untuk menjadikan pendapatan masyarakat Kampung Sukagalih yang bersumber dari sektor pertanian dan non pertanian tersebut dapat berkelanjutan secara mandiri. Masyarakat dapat membangun kampung dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan taman nasional. Pendapatan yang tidak menentu dapat menuntut masyarakat untuk bekerja lebih keras. Sebelum masuknya MKK, perekonomian masyarakat masih belum stabil, namun kecendrungan mengenai pemanfaatan hutan dapat terlihat dengan pola konsumtif masyarakat yang menggunakan hasil hutan sebagai salah satu tumpuan hidup. Berbeda dengan setelah adanya MKK, meskipun masyarakat memanfaatkan lahan garapan eks PT Perhutani untuk bercocok tanam namun masyarakat Kampung Sukagalih tetap menjaga kelestarian kawasan taman nasional.
56
57
PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Hayati Indonesia yang memiliki berbagai macam flora dan fauna, menjadikan negara ini sangat beraekaragam. Dengan sumberdaya alam yang melimpah, banyak pihak yang ingin memanfaatkannya. Kecenderungan pihak yang telah memanfaatkan, apabila bermotifkan keuntungan semata maka sumberdaya alam akan semakin terbatas. Disamping itu, banyak pihak yang hanya mengambil manfaaat tanpa memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Kerusakan yang timbul dapat memberikan pengaruh negatif. Penyimpangan yang banyak terjadi ini disebabkan karena keinginan masingmasing pihak untuk mendapatkan manfaat namun tidak mempertimbangkan dampak yang terjadi di kemudian hari. Pemanfaatan ini erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan langkah bijak agar sumberdaya alam tetap dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang. Upaya kolaboratif bagi stakeholders (pemangku kepentingan) dapat menjadi alternatif pada keadaan ini. Pengelolaan kolaboratif menjadi jalan yang dapat dipilih karena melibatkan para pihak dan khususnya masyarakat. Kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mendapatkan dampak atas sumberdaya hutan. Masyarakat yang dilibatkan dalam pengelolaan kolaboratif ini dijadikan sebagai subyek yang dapat ikut dalam penyelamatan hutan dan berbagi tanggung jawab dalam pelestarian. Seperti masyarakat Kampung Sukagalih yang berperan dalam kegiatan konservasi dengan Model Kampung Konservasi. Kesepakatan masyarakat dengan pihak taman nasional yaitu bahwa masyarakat dapat tinggal di sekitar kawasan taman nasional dan memanfaatkan lahan garapan untuk kegiatan pertanian namun tetap menjaga keutuhan hutan dan melakukan kegiatan konservasi. Masyarakat berpartisipasi melalui MKK melindungi kelestarian kawasan hutan dan upaya penningkatan ekonomi produktif. Kesepakatan yang disusun dalam perjanjian kerjasama antara pihak Pengelola Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan MKK Kampung Sukagalih dengan maksud untuk membangun kebersamaan antara masyarakat MKK dengan TNGHS sesuai dengan fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pihak guna mewujudkan kelestarian kawasan. Keutuhan dan kelestarian kawasan merupakan salah satu penyangga bagi kehidupan. Pengelolaan bagi masyarakat yang berada pada zona khusus kawasan di taman nasional yaitu memanfaatkan zona khusus sesuai dengan aturan yang berlaku; melakukan peningkatan keamanan dan upaya-upaya pelestarian di zona inti, zona rimba di kawasan TNGHS; pengendalian terhadap kebakaran hutan. Kelestarian kawasan hutan dilakukan masyarakat dengan menanam secara swadaya tanaman asli taman nasional pada lahan garapan di kawasan. Kegiatan konservasi secara swadaya tersebut merupakan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam pada kawasan. Dengan bertambahnya tanaman asli membentuk kembali hutan. Penanaman kembali bibit pohon dilakukan secara bertahap karena masyarakat melakukan kontrol terhadap pohon tersebut selama
58 kurang lebih lima tahun agar pohon tersebut benar-benar terjamin dan akan tumbuh dengan baik di hutan. Tanaman asli setempat yaitu aren (Arenga pinata), puspa (Scima walicii), pasang (Quercus suber), rasamala (Altingia excelsa) dan huru (Licea sp) yang ditanam secara swadaya tersebut merupakan tanaman yang tidak boleh ditebang atau dimanfaatkan secara bebas. Sedangkan untuk kayu penghijauan seperti mahoni (Swietenia mahagoni), sengon (Albizia chinensis), ganitri (Elaeocarpus sphaericus) tidak dapat di tanam didalam kawasan taman nasional. Jenis pohon kayu tersebut dapat ditanam dilahan garapan masyarakat Masyarakat yang menanam tanaman secara swadaya dan merupakan kesadaran dari masyarakat akan manfaat hutan memberikan pengaruh bagi kehidupan. Disamping masyarakat yang melakukan kegiatan swadaya, pada pilar MKK yaitu restorasi dan rehabilitasi kawasan taman nasional dilakukan dalam upaya membentuk kembali hutan yang sebelumnya rusak akibat penggunaan yang tidak bertanggung jawab. Salah satu kegiatan dari restorasi atau rehabilitasi yang terdapat pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu kegiatan adopsi pohon. Adopsi pohon yang memiliki motto “Tanam Pohon, Tanam Kehidupan, Tanam Masa Depan”, melibatkan pihak pengelola kawasan taman nasional, masyarakat MKK Kampung Sukagalih serta sponsor (pihak pemerintah, pihak swasta, masyarakat umum). Adopsi pohon yang merupakan kegiatan kemitraan pada multi pihak memberikan pengaruh pada konservasi. Sebagai mitra ataupun donatur dapat menjadi salah satu program CSR (Corporate Social Resposibilities) untuk kegiatan berkelanjutan yang berkaitan dengan keanekaragaman sumberdaya hayati. Dengan partisipatif masyarakat seperti kontrol pada pohon adopsi hingga pohon tersebut benar-benar siap dilepas pada kawasan taman nasional. Kegiatan adopsi pohon dikenakan biaya sebesar Rp 50 000.00/pohon. Biaya ini diserahkan kepada masyarakat Kampung Sukagalih yang akan merawat pohon adopsi. Pendampingan ini dilakukan sampai pohon berumur lima tahun. Selama proses kontrol pohon adopsi, masyarakat memberikan laporan secara berkala (setahun sekali) kepada pihak yang menjadi mitra. Setelah lima tahun masyarakat Kampung Sukagalih mengawasi pohon adopsi tersebut, pohon akan dibiarkan tumbuh dan menjadi pohon yang berguna bagi kehidupan. Seperti pada program adopsi pohon “Yamaha Jelajah Alam” antara pengelola taman nasional, masyarakat Kampung Sukagalih, Perusahaan Yamaha serta perkumpulan Gedepahala, dengan menanam pohon sebanyak 130 pohon dengan luas penanaman 2.5 hektar, serta masyarakat menanam pohon prestasi sebanyak 1 170 pohon pada tahun 2010. Selain itu program adopsi pohon juga dilaksanakan “Yamaha Green United” dengan 200 pohon wajib dan 800 pohon prestasi pada luas penanaman yaitu 2 hektar pada tahun 2011. Selain adopsi pohon, terdapat camping ground yang disediakan pihak taman nasional dan masyarakat Kampung Sukagalih yang merupakan bentuk kegiatan konservasi. Sasaran pada camping ground ini yaitu kegiatan berkemah yang menjadi sarana edukasi dan rekreasi bagi peserta dengan harapan mendapatkan pengetahuan mengenai alam dan dapat berpartisipasi untuk konservasi kawasan taman nasional. Kegiatan berkemah ini dilakukan pada tegakan pinus atau damar yang cukup luas dengan fasilitas tambahan seperti toilet dan penerangan. Melihat pada fasilitas yang disediakan taman nasiosal berupa
59 camping ground, merupakan salah satu pendapatan bagi masyarakat Kampung Sukagalih sebagai pendapatan yang berasal dari usaha non-pertanian. Wisatawan yang berkunjung ke Kampung Sukagalih dapat menikmati pemandangan alam yang yang masih alami, lingkungan yang bersih, masyarakat yang ramah. Kenyamanan ini dapat wisatawan rasakan ketika terjun langsung bersama masyaakat. Kegiatan ini didukung oleh pengelola taman nasional yang diharapkan masyarakat dapat bertambah ilmu dan pengetahuan dari para wisatawan yang berkunjung, semakin menjaga dan melestarikan sumberdaya hutan, mampu membantu dalam perekonomian rumahtangga. Pengetahuan Masyarakat Kampung Sukagalih Masyarakat sekitar kawasan taman nasional, khususnya masyarakat Kampung Sukagalih merasakan perbedaan saat sebelum dan setelah masuknya program MKK. Perbedaan yang dirasakan selain dari segi ekonomi juga pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya. Masyarakat yang didominasi pada sektor pertanian mendapatkan pengetahuan baru mengenai bertani yang baik dan mendapatkan hasil yang lebih memuaskan. Sumberdaya alam hayati memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat yang sangat penting. Kawasan pelestarian sumberdaya alam hayati dapat digunakan sebagai tempat penelitian yang erat kaitannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu dapat mendidik masyarakat untuk lebih mengenali hubungan timbal balik antara manusia dengan sumberdaya alam hayati. Kesadaran masyarakat untuk semakin belajar mengenai alam merupakan sikap dan tindakan positif demi keberlanjutan sumberdaya yang ada. Kegiatan konservasi yang menjadi salah satu upaya memperbaiki keadaan sumberdaya alam membantu untuk menciptakan lingkungan yang sehat, bersih dan nyaman. Pengetahuan masyarakat Kampung Sukagalih mengenai kegiatan konservasi awalnya didampingi oleh pihak taman nasional. Meskipun masyarakat sendiri telah berinisiatif untuk membentuk KOPEL (Kelompok Pelestari Lingkungan), kelompok yang ingin menjaga kawasan taman nasional dari pihakpihak yang kurang bertanggung jawab. Masyarakat bersama pihak pengelola taman nasional bekerja sama untuk mengontrol, mengawasi, melindungi kawasan. Kelompok yang dibentuk masyarakat ini menjaga keadaan hutan secara rutin dan tetap memberikan laporan kepada pihak taman nasional. Kepercayaan antara masyarakat dengan pihak taman nasional semakin terjalin dengan baik. Timbal balik antara masing-masing pihak dapat saling menguntungkan. Masyarakat mendapatkan pengetahuan dalam pengelolaan hutan seperti manfaat dari masingmasing pohon hutan, mendapatkan pengetahuan mengenai manfaat tumbuhan di kawasan taman nasional sebagai TOGA (tanaman obat keluarga), air yang melimpah sehingga tidak kekurangan air sebagai sumber terpenting dalam kehidupan, keadaan alam yang baik sehingga dapat diwariskan manfaatnya di masa mendatang. Tumbuhan yang dapat dimanfaatkan masyarakat berupa TOGA ini banyak terdapat pada lingkungan di Kampung Sukagalih, masyarakat dapat mengambil bibitnya dari kawasan untuk ditanam dipekarangan rumah. TOGA ini diharapakan dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan secara tradisional. Masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai dari jenis tanaman
60 dan manfaat yang terkandung dalam tumbuhan tersebut. Ketersediaan jumlah populasi pohon yang semakin meningkat, didukung peran serta masyarakat untuk menanam tanaman asli pada kawasan taman nasional. Tanaman asli yang ditanam yaitu aren (Arenga pinata), puspa (Scima walicii), pasang (Quercus suber), rasamala (Altingia excelsa) dan huru (Licea sp). Pengetahuan masyarakat mengenai tanaman asli kawasan didapatkan dari sosialisasi oleh pihak pengelola taman nasional. Sosialisasi ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tanaman yang menjadi ciri khas kawasan dan harus dijaga dan dilestarikan agar secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat diberikan pemahaman mengenai pembibitan tanaman secara mandiri agar masyarakat dapat menanam secara swadaya pada lahan garapan di zona khusus dan pada zona rehabilitasi kawasan taman nasional. Tanaman asli yang ditanam pada kawasan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air. Air yang menjadi sumber terpenting dalam kehidupan berperan untuk kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Terbatasnya air ketika hutan yang gundul mempengaruhi masyarakat di Kampung Sukagalih, seperti untuk pengairan dalam pertanian dan kebutuhan untuk rumahtangga yang terbatas. Pengelolaan kawasan oleh taman nasional membagi kawasan dengan zonasi yang diharapkan agar flora dan fauna pada zonasi yang ditetapkan dapat semakin lestari dan sesuai dengan ekosistemnya. Ketersediaan air di Kampung Sukagalih saat ini cukup melimpah untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan untuk pengairan bagi pertanian. Hal ini memberikan pengaruh positif terhadap kualitas pertanian yang semakin baik. Jumlah pertanian yang meningkat dan kualitas dari hasil pertanian yang baik ini meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Pengetahuan masyarakat di Kampung Sukagalih semakin bertambah, selain dari sosialisasi oleh pengelola taman nasional, masyarakat juga belajar secara mandiri dari lingkungan. Manfaat yang dirasakan masyarakat ini diharapkan dapat semakin berkembang dan dapat diwariskan pada generasi berikutnya, sehingga Kampung Sukagalih semakin maju dan berkembang. Bagi pihak taman nasional, masyarakat Kampung Sukagalih telah berperan dalam menjaga dan melestarikan hutan sehingga hubungan timbal-balik masyarakat dengan alam dapat seimbang dan berkelanjutan. Keberlanjutan Model Kampung Konservasi Model Kampung Konservasi (MKK) sebagai salah satu program yang dibentuk bersama antara masyarakat dan pihak taman nasional merupakan salah satu upaya untuk menjaga hutan secara bersama dengan tetap mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat yang berada pada sekitar kawasan taman nasional. Manfaat hutan yang mellimpah sebagai salah satu sumber perekonomian masyarakat perlu menggunakan langkah bijak agar sumberdaya alam yang terdapat pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Keberlanjutan yang diharapkan yaitu masyarakat tetap dapat melakukan kegiatan perekonomian di sekitar kawasan taman nasional, masyarakat mendapatkan dukungan dari pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Pemerintah Desa Cipeuteuy, swasta dan pihak
61 mitra lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kampung Sukagalih tanpa merusak kawasan konservasi TNGHS. Keberlanjutan bagi pihak taman nasional bahwa MKK dapat berhasil dengan masyarakat yang mandiri dengan berdampingan bersama kawasan dan menjaga kelestarian. Disamping itu, masyarakat sebagai subyek dalam MKK berperan penting untuk menjaga sumberdaya alam hayati pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberlanjutan dari Model Kampung Konservasi yaitu: a. Perbedaan kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam memanfaatkan sumberdaya b. Kurangnya rasa peduli terhadap sumberdaya alam dan ekosistemnya c. Kurangnya kebijakan yang mengatur dalam hak, kewajiban, serta batasan-batasan dalam pengelolaan sumberdaya alam d. Terdapat konflik internal maupum eksternal Model Kampung Konservasi Kampung Sukagalih hingga saat ini berjalan secara baik ditengah-tengah masyarakat yang berdampingan dengan hutan. Masyarakat berusaha untuk tetap menjaga hubungan secara baik secara internal maupun eksternal. Model Kampung Konservasi sebagai salah satu kegiatan bersama masyarakat dengan pihak pengelola taman nasional serta pihak lainnya perlu dipertahankan guna menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam.
Ikhtisar Pengelolaan kolaboratif menjadi jalan yang dapat dipilih karena melibatkan para pihak dan khususnya masyarakat sekitar. Masyarakat yang dilibatkan dalam pengelolaan kolaboratif ini dijadikan sebagai subyek yang dapat ikut dalam penyelamatan hutan dan berbagi tanggung jawab dalam pelestarian. Bentuk program pengelolaan terhadap kawasan taman nasional yaitu dengan mengadakan program adopsi pohon yang diharapkan dapat meningkatkan populasi dari pohon-pohon yang semakin berkurang jumlahnya dan meningkatkan kesadaran bagi adopter untuk menjaga hutan agar sumberdaya alam di hutan tidak punah. Sarana edukatif dapat diperkenalkan berupa camping ground, melalui pihak taman nasional bahwa kegiatan ini menjadi salah satu bentuk sarana dan prasarana pendidikan bagi peserta yang mengikuti. Masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai kegiatan konservasi dan dapat menunjang rasa kepedulian pada sumberdaya sehingga kesadaran tersebut bermanfaat dalam keberlanjutan di masa mendatang.
62
63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Model Kampung Konservasi (MKK) yang merupakan suatu aksi pemberdayaan masyarkat secara kolaboratif dengan pihak lainnya yang berada didalam atau diluar kawasan taman nasional. Pengaruh dari adanya MKK dapat dilihat pada aspek ekonomi dan konservasi keanekaragaman hayati. Beberapa faktor yang ditinjau yaitu dari pendapatan masyarakat, mata mata pencaharian masyarakat, lahan kepemilikan, pengetahuan masyarakat mengenai konservasi, serta keberlanjutan MKK di masa mendatang. Selain masyarakat yang berada pada Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, kabupaten Sukabumi, pihak-pihak lain juga berperan dalam MKK di kampung ini, yaitu pihak pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Dinas Pemerintahan (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan), dan sektor swasta. Di banyak tempat perubahan status penguasaan kawasan hutan menjadi kawasan konservasi sering mengakibatkan perubahan yang dramatik dalam struktur akses terhadap kawasan hutan, bahkan kemudian berujung pada konflik. Namun di Taman Nasional Gunung Halimun Salak timbul situasi yang berbeda. Struktur akses yang lama – ketika kawasan masih berstatus sebagai common pool private resource – tidak banyak berpengaruh kepada masyarakat ketika berubah menjadi common pool state property resource. Hal ini dimungkinkan karena ruang akses yang lama ditetapkan sebagai zona khusus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di zona khusus ini, masyarakat masih dapat mengakses sumberdaya alam. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Mata pencaharian masyarakat pada sektor pertanian saat sebelum ada MKK (tahun 2004) sebanyak 27 orang dengan persentase sebesar 90% dengan setelah ada MKK (tahun 2012) sebanyak 28 orang dengan persentase sebesar 93.3%. Sedangkan untuk sektor non-pertanian saat sebelum adanya MKK (tahun 2004) sebanyak tiga orang dengan persentase sebesar 10% dengan setelah ada MKK (tahun 2012) sebanyak dua orang dengan persentase sebesar 6.7%. Masyarakat beralih dari sektor non-pertanian ke sektor pertanian karena masyarakat melihat potensi dari sektor pertanian lebih baik dan dapat menjadi mata pencaharian yang berkelanjutan. b. Pendapatan masyarakat pada saat sebelum adanya MKK di Kampung Sukagalih rata-rata pendapatan masyarakat didominasi pada tingkat menengah yaitu 26 orang dengan persentase sebesar 86.7%, yaitu yang berada pada selang Rp 2 500 000.00 sampai dengan Rp 10 750 000.00 (pertahun); sedangkan masyarakat yang berpendapatan rendah di Kampung Sukagalih berjumlah empat orang dengan persentase sebesar 13.3% dengan pendapatan pertahun lebih besar dari Rp 2 250 000.00. Menurut data yang didapatkan dari lapang, untuk pendapatan masyarakat Kampung Sukagalih setelah adanya MKK, masih didominasi oleh pendapatan menengah yaitu sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 80%; masyarakat yang masuk pada kategori berpendapatan tinggi berjumlah enam orang dengan pendapatannya lebih dari Rp 10 750 000.00, persentase sebesar 20%. Kegiatan perekonomian masyarakat diharapkan dapat mengentaskan
64 kemiskinan lapisan bawah sehingga kesejahteraan masyarakat Kampung Sukagalih semakin meningkat. c. Total luas lahan yang merupakan milik pribadi sebelum adanya MKK yaitu 12.7 ha, sedangkan setelah adanya MKK luas kepemilikan lahan milik sendiri yaitu 13.3 ha. Bertambahnya luas lahan ini dikarenakan terdapat warga yang menjual lahannya kepada tetangganya. Untuk lahan kawasan taman nasional, sebelum adanya MKK di Kampung Sukagalih yaitu 5,9 ha, sedangkan luas lahan setelah adanya MKK yaitu 5.8 ha. Luas lahan yang berkurang tersebut karena ada yang tidak menggarap di kawasan taman nasional. Pada lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang awalnya merupakan perkebunan yang dikelola oleh PT. Intan Hepta namun tidak diperpanjang status kepemilikan dan pajak tidak dibayarkan, maka luas kawasan HGU ini sebesar ± 600 hektar yang berada pada wilayah Desa Cipeuteuy. Luas lahan yang digarap oleh masyarakat Kampung Sukagalih terhadap lahan HGU sebelum adanya MKK yaitu sebesar 7.1 ha, sedangkan setelah masuknya MKK luas lahan yang digarap yaitu 7.4 ha. d. Pengelolaan kolaboratif menjadi jalan yang dapat dipilih karena melibatkan para pihak dan khususnya masyarakat. Kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mendapatkan dampak atas sumberdaya hutan. Kegiatan konservasi seperti adopsi pohon yang berupa mitra antara donatur dengan masyarakat dan pihak taman nasional menjadi alternatif pilihan untuk peran partisipatif menjaga dan membentuk kembali hutan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Model Kampung Konservasi yang terdapat pada Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan kabandungan, Kabupaten Sukabumi berpengaruh positif terhadap ekonomi masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kesimpulan ini bertolak belakang dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa Model Kampung Konservasi yang merupakan program Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dapat merubah struktur akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Perubahan akses ini memberi pengaruh negatif terhadap ekonomi masyarakat dan memberikan pengaruh positif terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Saran Merujuk pada tujuan, manfaat, dan hasil penelitian, maka terdapat beberapa saran yang direkomendasikan sebagai berikut kepada: 1. Kalangan akademisi, dalam hal ini peneliti diharapkan dapat mengkaji lebih lanjut mengenai variabel lain yang lebih berhubungan dengan keberadaan lahan HGU yang berada pada sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, khususnya pada Desa Cipeuteuy. 2. Pihak Balai Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak, membuat kebijakan yang jelas dan tepat terkait lahan dengan pertimbangan masyarakat dan keberlanjutan kawasan. 3. Pihak Pemerintah, mendukung dan membantu masyarakat terkait dengan kesejahteraan dan keberlangsungan hidup masyarakat yang berada pada sekitar kawasan taman nasional.
65
DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo S. 2011. Materi kuliah pengelolaan kolaboratif sumberdaya alam. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Adiwibowo S, Mohhamad S, Laksmi AS. 2009. Analisis isu pemukiman di tiga taman nasional Indonesia. Bogor (ID): Sains Sajogyo Institute (SAINS).
Ansori M. 2012. Pengelolaan hutan kemitraan untuk menyejahterakan rakyat; kasus pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Perum Perhutani BKPH Parung Panjang, Bogor. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Buck SJ. 1998. The global commons an introduction. United States of America (US): Island Pr. Dharmawan AH. 2006. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Vol. 01, No.02 Agustus 2007 Harmita D. 2009. Modul Model Kampung Konservasi (MKK) saling percaya dan menghargai perspektif yang berbeda Gunung Halimun - Salak National Park Management Project. Ciyarsih L, editor. Sukabumi (ID). [tempat tidak diketahui]. Johnson J, Thorstrom R, Mindell. 2007. Systematics and conservation of the hook-billed kite including the island taxa from Cuba and Grenada. Animal conservation 10: 349-359. Koentjaraningrat. 1987. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Kobayashi H, Widada, Mulyati S. 2003. Sekilas tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Bogor (ID). [tempat tidak diketahui]. Kobayashi H, Suparmo M, Hartono T, Widjaya H. 2007. Taman Nasional Gunung Halimun Salak “Menyingkap kabut Gunung Halimun-Salak”. Sukabumi (ID): BTNGHS. Maharani S. 2011. Struktur agraria masyarakat desa hutan dan implikasinya terhadap pola pemanfaatan sumberdaya agraria (kasus: masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2000. Pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Yogyakarta (ID): GMUP. [MKK Sukagalih] Model Kampung Konservasi. 2011. Profil program MKK Sukagalih Resort Gunung Kendeng. Sukabumi (ID). [tempat tidak diketahui]. Ostrom E. 1990. Governing the commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge (US): Cambridge University Press.
66 Peluso NL. 1992. Hutan kaya, rakyat melarat: penguasaan sumber daya dan perlawanan di Jawa. Terjemahan. Jakarta (ID): Konphalindo. Restiana, LT. 2004. Tinjauan penyelenggaran program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM): studi kasus di RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor, Perum Perhutani unit 111 Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Shaw R, Noralene U, Baumwoll J. 2008. Kearifan lokal dalam pengurangan risiko bencana. [Internet]. [diunduh 2013 Februari 15]. Tersedia pada: www.unisdr.org Singarimbun E, Sofian Effendi S. 1989. Metode penelitian survey. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Sukardi. 2009. Desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan (kasus masyarakat sekitar kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tinambunan FS. 2011. Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. TNGHS. 2007. Rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak periode 2007-2026. Sukabumi (ID): BTNGHS. Utama S. 2010. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui pendekatan kelompok : kasus pengelolaan hutan bersama masyarakat pada areal hutan produksi Perum Perhutani unit I Provinsi Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widodo, Triyogo. 2006. Pemberdayaan masyarakat miskin sekitar hutan melalui pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (studi kasus Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
67
Lampiran 1
Peta zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
68
Lampiran 2 Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Uji Petik Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Feb. 3 4
Maret April Mei Juni Juli 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
69
Lampiran 3
Kerangka sampling
No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
AS SM MJ UT MM IN GR HU TR SP AP SA FM YT TW JN RK PR TT AG HS KH IS AL EM MN AT UD DH US UE YB KL PL RT UG AA AH SO
Keterangan: Terpilih sebagai responden
70 Lampiran 4
Kuisioner penelitian
PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
Responden yang terhormat, Saya, Endah Rizqi Puri Astianti (I34090090), merupakan mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang melakukan penelitian tentang “Pengaruh Model Kampung Konservasi Terhadap Ekonomi Masyarakat dan Konservasi Keanekaragaman Hayati”. Demi tercapainya hasil yang diharapkan, saya memohon kesediaan anda untuk ikut berpartisipasi mengisi kuesioner ini secara lengkap dan benar. Informasi dalam uesioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademis. Atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan terima kasih. No Kuisioner Tanggal Wawancara Nama Responden Alamat Responden 1.
2.
: : : :
Karakteristik Responden a. Jenis kelamin b. Umur c. Status dalam Rumah Tangga d. Pendidikan terakhir e. Jumlah tanggungan dalam keluarga f. lama tinggal di lokasi (tahun)
: a. Laki-laki b. Perempuan : ..........................................tahun : .................................................... : .................................................... : ...........................................orang : ...........................................tahun
Karakteristik Rumah Tangga
Anggota Keluarga
Jenis Pekerjan Status Pendidikan Jenis Usia Perkawinan Terakhir NonKelamin* (thn) Pertanian ** *** Pertanian
71 Keterangan: * 1. Laki-laki ** 1. Belum kawin *** 1. Tidak tamat SD/ sederajat
3.
2. Perempuan 2. Kawin 2. Tamat SMP/ sederajat
3. Cerai Hidup 3. Tamat SMA/ sederajat
4. Cerai mati 4. Tamat perguruan tinggi
Karakteristik Nafkah Rumah Tangga
3.1. Karakteristik Nafkah Rumah Tangga (Sebelum ada MKK) Nama
Status Pencari Nafkah * 1 2 3 4
Jenis Pekerjaan Utama Sampingan
Keterangan : *
1 Suami
2. Istri
3. Anak
4. Lainnya (tuliskan)
3.2. Karakteristik Nafkah Rumah Tangga (setelah/saat ada MKK) Nama
Status Pencari Nafkah * 1 2 3 4
Jenis Pekerjaan Utama Sampingan
Keterangan: *
1 Suami
2. Istri
3. Anak
4. Lainnya (tuliskan)
72 4. Pendapatan 4.1. Pendapatan Rumah Tangga di Sektor Pertanian (Sebelum ada MKK) Hari Orang Kerja (HOK) / minggu Mata Pencaharian
Rata-rata ∑h
∑m
Maksimum ∑ hi
∑m
Minimum ∑h
∑m
Penerimaan rata-rata (rupiah) / hari Maks./ hari
Min./ hari
Ratarata/ hari
4.2. Pendapatan Rumah Tangga di Sektor Pertanian (Setelah/saat ada MKK) Hari Orang Kerja (HOK) / minggu Mata Pencaharian
Rata-rata ∑h
∑m
Maksimum ∑ hi
∑m
Minimum ∑h
∑m
Penerimaan rata-rata (rupiah) / hari Maks./ hari
Min./ hari
Ratarata/ hari
4.3. Pendapatan Rumah Tangga di Sektor Non-Pertanian (Sebelum ada MKK) Hari Orang Kerja (HOK) / minggu Mata Pencaharian
Rata-rata ∑h
∑m
Maksimum ∑ hi
∑m
Minimum ∑h
∑m
Penerimaan rata-rata (rupiah) / hari Maks./ hari
Min./ hari
Ratarata/ hari
73 4.4. Pendapatan Rumah Tangga di Sektor Non-Pertanian (Setelah/saat ada MKK) Hari Orang Kerja (HOK) / minggu Mata Pencaharian
Rata-rata ∑h
∑m
Maksimum ∑ hi
∑m
Minimum ∑h
∑m
Penerimaan rata-rata (rupiah) / hari Maks./ hari
Ratarata/ hari
Min./ hari
5. Perubahan Strategi Mata Pencaharian Sebelum dan Sesudah Model Kampung Konservasi (Akses) No.
Mata Pencaharian
Tahun 4008
2012
Keterangan
6. Kalender Musim Nafkah 6.1. Sebelum MKK Jenis Nafkah Pertanian
Non-Pertanian
Frekuensi Panen
1
2
3
Bulan 4 5 6 7 8 9 10
11
12
74 6.2. Setelah/saat MKK Jenis Nafkah Pertanian
Non-Pertanian
Frekuensi Panen
1
2
3
Bulan 4 5 6 7 8 9 10
11
12
75
Lampiran 5
Panduan pertanyaan
A. Panduan Pertanyaan untuk Responden 1. Menurut anda seberapa penting sumberdaya alam yang ada di kawasan TNGHS bagi perekonomian keluarga? 2. Apa pendapat anda ketika balai pengelola TNGHS memperkenalkan Model Kampung Konservasi? 3. Bagaimana peran pihak lain dalam memfasilitasi masyarakat terhadap model kampung konservasi? 4. Bagaimanakah akses anda dalam memperoleh sumberdaya hutan? (sebelum dan sesudah MKK) 5. Seperti apakah akses yang diperbolehkan atau dilarang oleh pengelola TNGHS kepada masyarakat? (sebelum dan sesudah MKK) 6. Bagaimana sistem pembagian hasil dari pemanfaatan lahan atau kegiatan terkait dengan akses? (sebelum dan sesudah MKK) 7. Apakah terdapat kesulitan yang dirasakan oleh anda saat melaksanakan kegiatan pertanian dan non-pertanian terkait akses? (sebelum dan sesudah MKK) 8. Apakah terdapat perbedaan ketika sebelum dan sesudah adanya Model Kampung Konservasi terkait dengan perekonomian masyarakat di sekitar wilayah TNGHS? 9. Bagaimana cara anda memenuhi kebutuhan hidup selama tinggal di Kampung Sukagalih? 10. Apa yang anda harapkan dari pengelolaan sumberdaya alam di kawasan TNGHS, terkait dengan adanya Model kampung Konservasi? B. Panduan Pertanyaan Informan (Aparat Desa dan Pakar/Ahli) 1. Dimanakah letak Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy? Berada di kawasan dalam atau luar dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak? 2. Bagaimana pendapat anda mengenai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ditetapkan dan diatur oleh TNGHS berupa Model Kampung Konservasi? 3. Menurut pendapat anda, apakah ekonomi masyarakat mengalami perubahan dari sebelum adanya MKK dengan sesudah adanya MKK? 4. Seperti apa sajakah perubahan yang terjadi dari adanya Model Kampung Konservasi? 5. Bagaimana akses masyarakat dalam memperoleh sumberdaya (yang diperbolehkan dan yang dilarang) pada kawasan TNGHS sebelum dan sesudah adanya MKK? 6. Bagaimanakah pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat terkait dengan konservasi sumberdaya alam? 7. Apakah pengetahuan lokal tersebut masih dilestarikan oleh masyarakat hingga kini (setelah ada MKK)? Bagaimana pengetahuan lokal masyarakat sebelum adanya MKK? 8. Apasajakah jenis-jenis yang dikonservasi oleh masyarakat dan pengelolan taman nasional? 9. Apakah yang anda ketahui mengenai:
76 a. b.
Akses dan kepemilikan (yang diperbolehkan/dilarang)? Aturan-aturan apasaja yang terdapat di Kampung Sukagalih mengenai pengelolaan sumberdaya hutan terkait pada MKK? c. Sanksi yang akan didapatkan apabila terjadi pelanggaran? d. Kegiatan yang dilakukan secara intensif oleh masyarakat dan pengelola taman nasional? 10. Bagaimana harapan anda terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan TNGHS? Apa harapan anda terhadap Model kampung Konservasi yang dilaksanakan di desa ini? C. Panduan Pertanyaan Informan (Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak) 1. Jelaskan mengenai latar belakang dari Model Kampung Konservasi yang terdapat pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak? 2. Apa saja yang menggagas atas ide Model Kampung Konservasi? 3. Apa pendapat anda mengenai keberadaan Model kampung Konservasi di masyarakat yang tinggal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak? 4. Apa pendapat anda mengenai pengaruh penetapan Model kampung Konservasi di wilayah TNGHS bagi kehidupan ekonomi masyarakat? 5. Apakah terdapat perbedaan pandangan antara pihak TNGHS dan masyarakat terkait pemanfaatan sumberdaya alam dengan Model kampung Konservasi? Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi perbedaan pandangan tersebut? 6. Bagaimanakah peran dari masing-masing pihak dalam Model Kampung Konservasi? 7. Dengan upaya kolaboratif tersebut apakah dapat dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional Gunung Halimun Salak? 8. Bagaimana keadaan lingkungan dalam atau sekitar kawasan taman nasional sebelum dan sesudah terdapat program Model Kampung Konservasi? 9. Bagaimana ketentuan mengenai: a. akses dan kepemilikan (yang diperbolehkan/dilarang)? b. aturan-aturan yang ada tentang pengelolaan sumberdaya hutan? c. sanksi yang akan didapatkan apabila terjadi pelanggaran? d. kegiatan yang dilakukan secara intensif kepada masyarakat 10. Seperti apa keberlanjutan program Model Kampung Konservasi?
77
Lampiran 6
Dokumentasi
Persiapan mulsa pada lahan garapan
Tanaman cabai dan kacang pada mulsa
Papan informasi adopsi pohon “Yamaha Green United”
Papan informasi adopsi pohon “Yamaha Jelajah Alam”
Kegiatan adopsi pohon oleh peserta
Papan informasi pada zona inti
Pembibitan benih
Sawah di sekitar kawasan TN
78
Saung masyarakat Kampung Sukagalih
Cabai siap panen
Papan informasi kawasan TNGHS
Salah satu bantuan kepada masyarakat
Papan informasi “Pencanangan Pengelolaan Zona Khusus TNGHS Bersama Masyarakat (MKK)”
Domba hasil ternak oleh masyarakat Kampung Sukagalih dengan bantuan dari Dinas Peternakan
79
Lampiran 7
Perjanjian kerjasama
80
81
82
83
84
85
86
Lampiran 8
87
Lampiran 9
Denah Kampung Sukagalih
88
Lampiran 9 Kriteria Penetapan Kawasan dan Zonasi Taman Nasional Berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998 dan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 Kriteria Penetapan Taman Nasional (PP No. 68 Tahun 1998) • Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami • Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami • Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang amsih utuh • Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam • Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri Zona Taman Nasional Kriteria Penetapan Zona (Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006)
Zona Lain Zona Inti
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
• Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistem
▪
‐
• Mewakili formasi biota tertentu & atau unit-unit penyusunnya
▪
• Mempunyai kondisi alam yg masih asli & tidak atau belum diganggu manusia • Mempunyai luas yang cukupdan bentuk tertentu yg menunjang pengelolaan yg efektif & menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami
Zona Tradisional
Zona Rehabilitasi
Zona Religi, Bud & Sejarah
Zona Khusus
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
• Mempunyai ciri khas potensinya & dapat menjadi contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi • Mempunyai komunitas tumbuhan & atau satwa serta ekosistemnya yg langka atau keberadaannya terancam punah
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
• Merupakan habitat satwa dan/atau tumbuhan tertentu yg prioritas & khas/endemik
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
Zona Taman Nasional Kriteria Penetapan Zona (Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006)
• Merupakan tempat aktivitas & kehidupan satwa migran • Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi & mendukung upaya perkembangiakan jenis satwa • Memiliki ekosistem dan/atau keanekaragaman jenis yang mampu menyanga pelestarian zona inti & zona pemanfaatan • Mempunyai daya tarik alam/formasi ekosistem tertentu/geologi yg indah & unik • Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi & daya tarik untuk pariwisata & rekreasi alam • Kondisi lingkungan di sekitarnya yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan • Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangun sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penilitian & pendidikan • Tidak berbatasan langsung dengan zona inti • Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat
Zona Lain Zona Inti
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
▪
▪
‐
Zona Tradisional
Zona Rehabilitasi
Zona Religi, Bud & Sejarah
Zona Khusus
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
89
90
Zona Taman Nasional Kriteria Penetapan Zona (Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006)
Zona Lain Zona Religi, Zona Bud & Rehabilitasi Sejarah
Zona Inti
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
• Pemulihan kawasan dimaksud sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 tahun
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
• Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
‐
‐
‐
‐
‐
‐
▪
• Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam tertentu yg telah dimanfaatkan melalui kegiatan perkembangbiakan, perbanyakan & pembesaran oleh masyarakat setempat • Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya memerlukan campur tangan manusia • Adanya invasi spesies yang menggangu jenis dan spesies asli dalam kawasan
• Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang maupun tidak dilindungi undang-undang • Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupan sebelum wilayah tsb ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional • Telah terdapat sarana prasarana telkom, fasilitas transportasi & listrik sebelum wilayah tsb ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
Zona Tradisional
Zona Khusus
91
Lampiran 11 Glosarium No. Istilah Pengertian 1 TNGH Taman Nasional Gunung Halimun 2 TNGHS Taman nasional Gunung Halimun Salak 3 BTNGHS Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, pengelola kawasan komservasi 4 Stakeholer Pemangku kepentingan 5 MKK Model Kampung Konservasi 6 PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 7 MoU Memorandum of Understanding 8 Hutan Hutan yang memberikan hasil hutan berupa kayu dan nonProduksi kayu 9 Hutan Kawasan hutan yang difungsikan untuk menjaga dan Konservasi melestarikan keanekaragaman hayati seperti tumbuhan, satwa dan ekosistem didalamnya 10 SISDUK Sistem Dukungan, proyek yang pertama kali diterapkan dengan masa uji coba tiga tahun (2008-2010), merupakan kerja sama, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dan masyarakat. Diharapkan dari program tersebut masyarakat dapat mandiri, tak bergantung pada hasil hutan. 11 FO Field Officer, petugas lapang 12 KOPEL Kelompok Pelestari Lingkungan, kelompok yang di bentuk oleh masyarakat Kampung Sukagalih 13 Property Kepemilikan sumberdaya Resource 14 Common Ostrom (1990), sumber daya yang merupakan milik bersama, Pool yang terdiri dari sistem sumber daya alam atau buatan Resource manusia, yang ukuran atau karakteristiknya merupakan komoditi mahal, untuk memberikan pengecualian terhadap penerima manfaat potensial dari penggunaan sumberdaya tersebut. Tidak seperti barang publik murni, sumberdaya alam milik bersama menghadapi beberapa masalah atas keadaaan yang tidak terukur. Sementara sumber daya inti yang akan dilindungi atau dipelihara sangat memungkinkan untuk eksploitasi terus-menerus dengan unit pinggiran dapat dipanen atau dikonsumsi. Sumberdaya yang pengelolaannya tidak bisa menolak orang lain untuk memanfaatkan karena memerlukan besarnya biaya dalam pengelolaannya. 15 Tragedy of Keadaan saat sumberdaya alam yang dimanfaatkan secara the terus-menerus untuk kepentingan pihak-pihak tertentu common sehingga merugikan orang lain 16 Tumpang Cara bertanam dengan dua atau lebih tanaman pada satu area Sari lahan tanam dalam waktu yang bersamaan
92
RIWAYAT HIDUP Endah Rizqi Puri Astianti dilahirkan di Jakarta pada tanggal 03 Mei 1991, dari pasangan H. M. Puguh Rismanto dan Hj. Diah Budi Astuti Prihatin. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SD Yayasan Pendidikan Tugu Ibu Depok 1997-2003, SMP Negeri 3 Depok 2003-2006, SMA Negeri 2 Depok 20062009. Pada tahun 2009, penulis diterima melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) dengan sumber beasiswa dari PT. Kasih Industri Indonesia, sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah menjadi penyiar radio AGRI Fm pada saluran 107,7 FM, radio dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009-2010. Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif dalam himpunan keprofesian serta kepanitiaan. Himpunan keprofesian yang diikuti yaitu HIMASIERA (Himpunan mahasiswa peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) pada divisi Public Relation sebagai sekretaris divisi periode jabatan 2010-2011, sebagai anggota divisi Public Relation periode 2011-2012. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan beberapa event di dalam IPB dan di luar IPB, diantaranya panitia Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2011, panitia Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia tahun 2011, panitia Sanggar Juara Festival tahun 2011, panitia IKOYSEIS (Indonesian Korean Youth Solution for Environmental Issues) tahun 2011, panitia PRIORITY (Public Speaking to Research and Broadcast Our Community) tahun 2011. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Bidang Kegiatan PKMKewirausahaan dengan produk berupa MINIKORA ALSIN (Miniatur Alat Mesin Pertanian dari Bubur Koran) di tahun 2011.