UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR......... TAHUN TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
a. bahwa keanekaragaman hayati Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kelestarian sumber daya alam hayati dan kesejahteraan rakyat; b. bahwa keanekaragaman hayati Indonesia adalah sumber daya alam strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya harus dapat secara optimal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan umat manusia pada masa kini maupun masa depan; c. bahwa sumber daya genetik, spesies, dan ekosistem pada dasarnya saling tergantung satu dengan lainnya sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem; d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan langkahlangkah konservasi dengan mempertimbangkan pengetahuan tradisional dan berdasarkan strategi konservasi yang berlaku secara universal; e. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi keanekaragaman hayati, serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi, sosial, budaya, politik nasional, dan kerja sama internasional; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk UndangUndang tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang dasar 1945; DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG HAYATI
TENTANG
KONSERVASI
KEANEKARAGAMAN
-2-
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Konservasi adalah tindakan pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara bijaksana dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi masa mendatang. 2. Keanekaragaman Hayati adalah keanekaragaman diantara organisme hidup baik yang ada di daratan maupun di perairan beserta proses ekologisnya, sehingga terbentuk keanekaragaman genetik di dalam spesies, keanekaragaman di antara spesies dan keanekaragaman ekosistem. 3. Sumber Daya Alam Hayati adalah komponen-komponen keanekaragaman hayati yang bernilai aktual maupun potensial bagi kemanusiaan. 4. Konservasi Keanekaragaman Hayati adalah tindakan pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber dayaalam hayati dan ekosistem yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan keberadaan, manfaat, dan nilainya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi masa mendatang. 5. Pelindungan Penyangga Kehidupan di bidang keanekaragaman hayati untuk selanjutnya disebut dengan pelindungan penyangga kehidupan adalah pelindungan atas sumber daya genetik, spesies dan ekosistem. 6. Genetik atau yang selanjutnya disebut Gen, adalah satu unit fisik dan fungsional dasar dari pembawa sifat keturunan yang terdiri dari satu segmen (sekuens) DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). 7. Materi Genetik adalah materi dari tumbuhan, satwa, dan mikroorganisme yang mengandung unit fungsional pewarisan sifat (hereditas). 8. Sumber Daya Genetik adalah materi genetik, informasi yang terkandung di dalamnya, informasi mengenai asal-usul, dan/atau bagian-bagian dan turunan dari tumbuhan, satwa, atau jasad renik yang mengandung maupun tidak mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai nyata atau potensial yang diperoleh dari kondisi insitu dan/atau koleksi ex-situ dan yang telah didomestikasi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. 9. Pelestarian Sumber Daya Genetik adalah rangkaian upaya mempertahankan keberadaan dan keanekaragaman sumber daya genetik dalam kondisi dan potensi yang memungkinkan untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. 10. Pemanfaatan Sumber Daya Genetik adalah kegiatan penelitian, pengembangan, atau pengusahaan secara berkelanjutan sumber daya genetik dan/atau derivatifnya, termasuk melalui penerapan
-3-
bioteknologi. 11. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum, yang memiliki sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik. 12. Masyarakat Lokal adalah sekelompok orang yang telah tinggal dalam tenggang waktu yang cukup lama di suatu tempat atau daerah sehingga dapat dipandang sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya. 13. Kesepakatan Bersama adalah perjanjian tertulis berisi persyaratan dan kondisi yang disepakati antara penyedia sumber daya genetik dan pemohon akses. 14. Pembagian Keuntungan adalah kegiatan pendistribusian keuntungan secara finansial dan/atau non-finansial yang berasal dari penelitian, pengembangan, komersialisasi, pemberian lisensi, atau bentukbentuk pemanfaatan lainnya sebagai hasil dari akses terhadap sumber daya genetik. 15. Bioprospeksi adalah kegiatan eksplorasi, ekstraksi dan penapisan sumber daya alam hayati untuk pemanfaatan secara komersial sumber daya genetik dan biokimia yang bernilai tinggi. 16. Kondisi Habitat Alami adalah kondisi sumber daya genetik yang terdapat dalam ekosistem dan habitat alami, dan dalam hal jenisjenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang. 17. Kawasan Konservasi adalah wilayah daratan dan atau perairan yang ditetapkan oleh pemerintah dan dikelola untuk terwujudnya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem. 18. Ekosistem adalah hubungan timbal balik yang dinamis antara komunitas tumbuhan, satwa dan jasad renik dengan lingkungan non-hayati yang saling bergantung, pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi sebagai suatu kesatuan yang secara bersama-sama membentuk fungsi yang khas. 19. Lingkungan Non-Hayati adalah unsur-unsur klimatik (iklim) dan unsur-unsur edafik (tanah dan batuan). 20. Bentang Alam (lansekap) adalah mosaik geografis dari ekosistemekosistem atau sub-komponen daripadanya yang saling berinteraksi dimana susunan secara spasial serta modus interaksinya mencerminkan pengaruh dari kondisi geologi, iklim, topografi, tanah, biota dan aktivitas manusia. 21. Cagar Alam adalah kawasan konservasi yang memiliki keunikan keadaan alam atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis dan/atau jenis tumbuhan tertentu. 22. Suaka Margasatwa adalah kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa liar. 23. Taman Nasional adalah kawasan konservasi yang mempunyai
-4-
ekosistem asli yang karena karakteristiknya istimewa serta secara nasional mempunyai nilai estetika dan ilmiah yang tinggi, dikelola dengan sistem zonasi. 24. Taman Buru adalah kawasan konservasi yang secara historis telah merupakan wilayah perburuan tradisional, dihuni oleh jenis satwa liar atau kawasan konservasi karena pertimbangan tertentu ditetapkan dan dikelola untuk kegiatan olah raga perburuan satwa secara terkendali. 25. Taman Wisata Alam adalah kawasan konservasi yang ditetapkan yang memiliki kekhasan fenomena alam atau gabungan fenomena alam dan budaya. 26. Taman Hutan Raya adalah kawasan konservasi yang terdiri dari hutan buatan dan hutan alam yang mewakili ekosistem setempat serta memiliki nilai-nilai estetika alam, atau nilai-nilai estetika alam yang berasosiasi dengan budaya trsadisional. 27. Ekosistem Esensial adalah ekosistem di luar kawasan konservasi yang secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati. 28. Spesies adalah individu, populasi atau agregasi semua jenis tumbuhan atau satwa, sub spesies tumbuhan atau satwa dan populasi yang secara geografis terpisah. 29. Populasi adalah jumlah seluruh individu yang dapat diukur dari suatu spesies atau jenis tumbuhan atau satwa di tempat tertentu. 30. Sub-Populasi adalah bagian dari populasi yang merupakan kelompok yang secara geografis terpisah (dipisahkan oleh batas-batas geografis) atau kelompok yang berbeda nyata yang satu sama lain tidak ada atau sedikit interaksi. 31. Tumbuhan Liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara yang masih mempunyai kemurnian jenisnya. 32. Satwa Liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar baik hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. 33. Sifat Liar adalah sifat yang melekat pada spesies yang secara fenotip dan genotip menunjukkan keliaran (genetically wild). 34. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami. 35. Spesimen Tumbuhan atau Satwa adalah fisik tumbuhan atau satwa baik hidup maupun mati termasuk bagian-bagiannya atau turunannya yang masih dapat dikenali secara visual maupun dengan teknologi. 36. Pengetahuan Tradisional yang berasosiasi dengan sumber rdaya genetik adalah informasi atau praktek baik secara individu maupun kolektif dari masyarakat adat atau lokal, yang bernilai potensial atau riil terkait atau berasosiasi dengan sumber daya genetik. 37. Akses terhadap Sumber Daya Genetik adalah kegiatan memperoleh sampel atau contoh dari komponen-komponen sumber daya genetik untuk tujuan riset ilmiah, pengembangan teknologi, atau bioprospeksi, yang terkait untuk aplikasi industri atau lainnya.
-5-
38. Akses terhadap Pengetahuan Tradisional yang berasosiasi dengan sumber daya genetik adalah kegiatan memperoleh informasi dari pengetahuan atau praktek-praktek tradisional baik individual maupun kolektif dari masyarakat adat atau lokal, untuk tujuan riset ilmiah, pengembangan teknologi atau bioprospeksi, yang terkait untuk aplikasi industri atau lainnya. 39. Perjanjian Transfer Materi (Material Transfer Agreement/MTA) adalah instrumen untuk mengakses yang ditandatangani oleh lembaga penerima sebelum membawa atau mengangkut atau mentransportasikan komponen-komponen sumber daya genetik, yang apabila ada dengan menyebutkan adanya akses terhadap pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengannya. 40. Bioteknologi adalah aplikasi teknologi yang menggunakan sistemsistem biologis, organisme hidup atau bagian-bagian atau turunanturunan daripadanya, untuk memodifikasi produk atau proses untuk tujuan tertentu. 41. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang konservasi keanekaragaman hayati. Pasal 2 Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan berdasarkan asas: a. kelestarian dan kemanfaatan berkelanjutan; b. keadilan; c. kehati-hatian; d. partisipatif; dan e. tata kelola pemerintahan yang baik. Pasal 3 Penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati bertujuan untuk : a. meletakkan dasar pengakuan terhadap harkat sumber daya genetik dan spesies dalam suatu ekosistem sebagai sumber daya alam hayati beserta pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik; b. mengendalikan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati untuk menjaga kelestarian fungsi keanekaragaman hayati dalam rangka menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan masa depan; c. memastikan pembagian keuntungan sosial dan ekonomi yang adil dan berimbang dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan d. mengantisipasi isu lingkungan global. Pasal 4 Ruang lingkup undang-undang konservasi keanekaragaman hayati meliputi: a. pelindungan penyangga kehidupan;
-6-
b. pelestarian keanekaragaman hayati; c. pemanfaatan keanekaragaman hayati; d. pengamanan; dan e. penegakan hukum. BAB II PELINDUNGAN PENYANGGA KEHIDUPAN Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan pelindungan penyangga kehidupan di bidang keanekaragaman hayati. (2) Pelindungan penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui: a. inventarisasi; dan b. penetapan status perlindungan. (3) Inventarisasi keanekaragaman hayati dan penetapan status pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tingkat: a. spesies; b. sumber daya genetik; dan c. ekosistem. Bagian Kedua Inventarisasi Pasal 6 Inventarisasi keanekaragaman hayati dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi yang meliputi: a. potensi dan ketersediaan b. jenis yang dimanfaatkan c. bentuk penguasaan d. pengetahuan pengelolaan e. bentuk kerusakan; dan f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan Bagian Ketiga Penetapan Status Perlindungan
Paragraf 1 Spesies
-7-
Pasal 7 (1) Penetapan status perlindungan spesies dilakukan tumbuhan liar dan satwa liar berdasarkan tingkat kepunahan.
terhadap ancaman
(2) Tingkat ancaman kepunahan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. kategori spesies dilindungi; b. kategori spesies dikendalikan; dan c. kategori spesies dipantau. (3) Ketentuan kategorisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi: a. spesimen satwa liar pra-perlindungan; dan b. spesimen tumbuhan liar. (4) Status perlindungan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. (5) Menteri dapat mengubah status perlindungan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati. (6) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus berdasarkan pada kajian ilmiah dan analisis kebijakan sosial budaya masyarakat.
Pasal 8 Kategori spesies dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a merupakan spesies dengan kriteria: a. populasi di alamnya berada dalam bahaya kepunahan atau kritis dari bahaya kepunahan; b. populasi di hábitat alamnya kecil atau langka; c. merupakan spesies endemik yang penyebarannya terbatas; d. spesies yang secara biologis lebih memenuhi kriteria spesies dikendalikan namun secara visual mirip dan sulit dibedakan dengan spesies dilindungi; dan/atau e. spesies yang termasuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).
Pasal 9 (1) Spesimen satwa hasil pengembangbiakan atau spesimen tumbuhan hasil perbanyakan di dalam kondisi terkontrol yang termasuk dalam kategori spesies dilindungi dapat diperlakukan sebagai kategori spesies dikendalikan. (2) Menteri mengusulkan spesies dilindungi yang dapat diperlakukan sebagai spesies dikendalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi dari Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati.
-8-
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil kajian ilmiah melalui pengawasan dan evaluasi atas populasi dari kegiatan pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan, rekomendasi dan kajian ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10 Kategori spesies dikendalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b merupakan spesies dengan kriteria: a. jumlah populasinya sedikit atau terbatas; b. merupakan spesies yang saat ini belum berada dalam bahaya kepunahan, namun akan dapat berada dalam bahaya kepunahan apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan; c. jumlah populasinya masih banyak namun secara visual mirip atau sulit dibedakan dengan kategori spesies dikendalikan; dan/atau d. spesies yang termasuk dalam Appendix II CITES.
Pasal 11 Kategori spesies dipantau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c merupakan spesies dengan kriteria populasi di habitat alamnya dalam keadaan melimpah namun mendapat tekanan dari aktivitas pemanfaatan.
Pasal 12 Dalam hal terdapat perbedaan status perlindungan spesies menurut perjanjian internasional yang telah diratifikasi dengan status perlindungan spesies yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, maka status yang digunakan adalah status perlindungan spesies yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 (1) Dalam hal terjadi perubahan status dari pra-perlindungan menjadi perlindungan, ditetapkan suatu masa transisi. (2) Dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang memiliki spesimen pra-perlindungan harus melakukan pendaftaran dan mendapatkan penandaan terhadap spesimen praperlindungan yang dimilikinya. (3) Apabila masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati, spesimen pra-perlindungan yang ditetapkan menjadi milik pemerintah .
Pasal 14 (1) Dalam
mendukung
penyelenggaraan
pelindungan
spesies,
-9-
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan tumbuhan liar atau satwa liar sebagai tumbuhan atau satwa kharismatik. (2) Masyarakat dapat memberikan usulan dalam penetapan tumbuhan atau satwa kharismatik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat mengusulkan satwa kharismatik masuk ke dalam status pelindungan spesies.
Pasal 15 (1) Bagi spesimen dari spesies tumbuhan, pada saat penetapan status perlindungan wajib menyertakan anotasi atas bagian-bagian spesimen tumbuhan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai status perlindungan spesies sebagaimana dimaksud pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2 Sumber Daya Genetik
Pasal 17 (1) Penetapan status perlindungan sumber daya genetik dilakukan dengan membuat daftar spesies target yang diprioritaskan bagi pelindungan sumber daya genetik. (2) Menteri menetapkan dan mengubah daftar spesies target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan rekomendasi Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati. (3) Daftar spesies target sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk informasi tentang sumber daya genetik yang terkandung di dalamnya menjadi bagian dari materi sistem basis data dan informasi yang dikembangkan Dewan Pengelola Sumber Daya Genetik.
Pasal 18 Penetapan spesies target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan berdasarkan kriteria: a. spesies yang mendukung budidaya. b. spesies yang secara komersial; atau
langsung
c. spesies yang mendukung budidaya.
diperdagangkan
atau
bernilai
- 10 -
Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan perubahan spesies target sumber daya genetik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Ekosistem
Pasal 20 Penetapan status pelindungan ekosistem dilakukan melalui penetapan: a. kawasan konservasi; dan b. kawasan ekosistem esensial.
Pasal 21 (1) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dilakukan melalui pengukuhan: a. Cagar Alam; b. Taman Nasional; c. Taman Wisata Alam; d. Suaka Margasatwa; e. Taman Buru; dan/ atau f. Taman Hutan Raya. (2) Pengukuhan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai fungsi alamiah, tujuan, dan kriteria kawasan konservasi. (3) Pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui proses: a. penunjukan; b. penataan batas; c. pemetaan; dan d. penetapan.
Pasal 22 (1) Penetapan kawasan ekosistem esensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b meliputi penetapan: a. daerah penyangga kawasan konservasi; b. koridor ekologis atau ekosistem penghubung; c. areal dengan nilai konservasi tinggi (NKT); d. areal konservasi kelola masyarakat (AKKM); e. taman keanekaragaman hayati. (2) Penetapan kawasan ekosistem esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengisi kesenjangan keterwakilan ekologis
- 11 -
di dalam kawasan konservasi. (3) Ekosistem esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara ekologis atau secara fisik berhubungan dengan kawasan konservasi. (4) Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota menetapkan kawasan ekosistem esensial sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Penetapan suatu kawasan ekosistem esensial dilakukan berdasarkan hasil kajian ilmiah, sosial, dan budaya serta mempertimbangkan usulan dari masyarakat. (6) Kajian dimaksud ayat (5) dapat dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, atau Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kawasan ekosistem esensial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 23 Dalam hal penetapan daerah penyangga kawasan konservasi, koridor ekologis atau penghubung, areal dengan nilai konservasi tinggi (NKT), dan taman keanekaragaman hayati, pemegang hak atas tanah negara atas areal yang ditetapkan wajib mengembalikan sebagian atau seluruh hak atas tanah negara yang dipegangnya.
Pasal 24 Dalam hal penetapan areal konservasi kelola masyarakat, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memberikan kompensasi kepada pemegang hak atas tanah negara dan/atau pemegang hak milik atas areal yang ditetapkan.
BAB III PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 25 Pelestarian keanekaragaman hayati diselenggarakan dalam rangka mencegah kerusakan atau kepunahan serta menjamin kelestarian fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Pasal 26 Pelestarian keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan pada tingkat: a. spesies;
- 12 -
b. sumber daya genetik; dan c. ekosistem.
Pasal 27 Pelestarian keanekaragaman hayati diselenggarakan melalui : a. pelindungan keanekaragaman hayati; dan b. pemulihan keanekaragaman hayati.
Pasal 28 (1) Pelindungan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a dilaksanakan untuk mempertahankan viabilitas kondisi keanekaragaman hayati sesuai kondisi awal. (2) Penentuan viabilitas kondisi keanekaragaman hayati sesuai kondisi awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan: a. hasil inventarisasi keanekaragaman hayati; dan/atau b. data dan informasi dari lembaga ilmiah atau dari lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 29 (1) Pelindungan keanekaragaman hayati keanekaragaman hayati yang telah perlindungannya.
dilakukan terhadap ditetapkan status
(2) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pelindungan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tugas dan kewenangannya. (3) Dalam melakukan pelindungan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30 (1) Pemulihan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf b dilaksanakan untuk mengembalikan kondisi keanekaragaman hayati yang mengalami degradasi ke kondisi awal atau ke tingkat yang diinginkan. (2) Penentuan suatu kondisi keanekaragaman hayati yang terdegradasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan: a. hasil evaluasi kondisi keanekaragaman hayati oleh pemerintah; dan/atau b. data dan informasi dari lembaga ilmiah dan/atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (3) Dalam melakukan pemulihan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi pada lahan negara, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain.
- 13 -
(4) Kegiatan pemulihan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi yang dibebani hak merupakan tanggung jawab pemegang hak dengan pembinaan dari Pemerintah Pusat dan/ atau Pemeritah Daerah .
Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelestarian keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pelestarian Spesies
Paragraf 1 Umum
Pasal 32 Pelestarian spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan dalam rangka mencegah kerusakan atau kepunahan spesies serta menjamin kelestarian fungsi dan manfaat spesies bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Pasal 33 (1) Pelestarian spesies dilakukan terhadap spesies tumbuhan liar dan satwa liar melalui: a. pelindungan spesies; b. pemulihan spesies. (2) Pelestarian spesies dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2 Pelindungan Spesies Pasal 34 (1) Pelindungan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dilakukan dalam rangka menjaga viabilitas populasi spesies tumbuhan liar dan satwa liar. (2) Pelindungan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan status perlindungan spesies yang ditetapkan. (3) Pelindungan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan: a. di dalam habitat alamnya (in-situ); dan b. di luar habitat alamnya (ex-situ).
- 14 -
Pasal 35 Pelindungan spesies dilindungi di dalam habitat alamnya (in-situ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a dilakukan melalui : a. pembinaan populasi dan habitat untuk menjamin keseimbangan populasi spesies; dan/atau b. penyelamatan populasi atau sub-populasi suatu spesies yang terisolasi atau tidak berkelanjutan. Pasal 36 (1) Pembinaan populasi dan habitat spesies dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dilakukan melalui: a. pengamanan populasi tumbuhan defragmentasi habitat satwa liar;
dan
satwa
liar
dan
b. penyelamatan dan/atau pemindahan ke lokasi habitat lain; c. pengamanan sumber benih; d. penanaman pengkayaan spesies tumbuhan; dan/atau e. pengendalian spesies asing yang invasif. (2) Pengendalian spesies asing yang invasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui: a. pencegahan atau pengurangan introduksi; b. pencegahan perkembangbiakan spesies asing yang invasif; c. deteksi dini dan tindakan segera; d. pengendalian dan mitigasi dampak; e. pemusnahan; dan/atau f. pemulihan habitat yang terkena dampak. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan populasi dan habitat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 (1) Pembinaan populasi dan habitat spesies dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilakukan: a. di dalam kawasan konservasi; dan b. di luar kawasan konservasi (2) Pembinaan populasi dan habitat spesies di dalam kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh pengelola kawasan konservasi. (3) Pembinaan populasi dan habitat spesies di luar kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
- 15 -
Pasal 38 (1) Dalam rangka menyeimbangkan daya dukung habitat terhadap peningkatan populasi spesies di dalam kawasan konservasi dapat dilakukan perburuan terkendali. (2) Perburuan terkendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam atau zona inti Taman Nasional. (3) Kegiatan perburuan terkendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dilakukan terhadap spesies dilindungi dan di habitatnya di luar kawasan konservasi. (4) Ketentuan mengenai perburuan terkendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 39 (1) Penyelamatan populasi atau sub-populasi spesies dilindungi yang terisolasi atau tidak berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dilakukan dengan cara memindahkan populasi atau sub-populasi spesies ke habitat lain. (2) Untuk mengurangi dampak atau ancaman bagi populasi satwa dilindungi yang terisolasi di luar kawasan konservasi dan berada di tanah hak, pemegang hak atas tanah wajib : a. menjaga habitat; dan b. menyelamatkan populasi atau sub-populasi spesies satwa yang terisolasi atau populasinya tidak dapat berkembang dalam jangka panjang.
Pasal 40 (1) Pelindungan spesies dilindungi secara ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b, dilakukan melalui : a. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya; b. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk tujuan komersial; c. rehabilitasi satwa liar; d. perbanyakan tumbuhan secara buatan untuk dikembalikan lagi ke habitat alam atau untuk tujuan komersial; dan/atau e. penyelamatan satwa ex-situ di pusat penyelamatan satwa. (2) Pengembangbiakan satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan spesies dilindungi dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
- 16 -
Pasal 41 (1) Pelindungan spesies dikendalikan dalam kondisi in-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a dilakukan dengan: a. pengaturan dan pengendalian pemanenan langsung dari habitat alamnya; b. pembinaan habitat; dan/atau c. pembinaan populasi. (2) Untuk melaksanakan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat menyusun rencana pengelolaan spesies dikendalikan yang diperdagangkan.
Pasal 42 (1) Pembinaan habitat dan/atau pembinaan populasi spesies dikendalikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (1) huruf b dan huruf c, dilakukan terhadap spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan, termasuk perdagangan. (2) Pembinaan habitat dan/atau pembinaan populasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar kawasan konservasi.
Pasal 43 (1) Pelindungan spesies dikendalikan secara ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b dilakukan dengan: a. pembesaran spesimen hidup spesies satwa liar tertentu dari habitat alam di dalam lingkungan terkontrol; b. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol; dan/ atau c. penyelamatan satwa di pusat-pusat penyelamatan satwa ex-situ. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan spesies dikendalikan dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44 (1) Pelindungan spesies dipantau dalam kondisi in-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a dilakukan dengan pemantauan pemanfaatan yang berkelanjutan. (2) Pelaksanaan pemantauan pemanfaatan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi spesies di habitat alam.
- 17 -
Pasal 45 (1) Pelindungan spesies dipantau dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b dilakukan sama dengan pelindungan spesies dikendalikan dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan spesies dipantau dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46 (1) Setiap orang yang bertanggung jawab di dalam pengelolaan pelindungan spesies dalam kondisi in-situ dan/atau ex-situ wajib melakukan medik konservasi untuk mencegah dan mengendalikan wabah penyakit zoonosis dan/atau penyakit baru yang diduga disebabkan oleh satwa liar di habitat alam. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai berdasarkan Peraturan Pemerintah.
medik
konservasi
diatur
Pasal 47 (1) Setiap orang yang melaksanakan pengelolaan pelindungan satwa liar dalam kondisi ex-situ wajib menerapkan prinsip kesejahteraan satwa. (2) Ketentuan mengenai kesejahteraan satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Pemulihan Spesies
Pasal 48 (1) Pemulihan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b bertujuan untuk mengembalikan viabilitas populasi spesies yang langka atau terancam punah atau kritis di habitat alamnya. (2) Pemulihan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. reintroduksi atau pengkayaan populasi spesies; dan b. pemulihan (restorasi) dan pembinaan habitat. (3) Reintroduksi atau pengkayaan populasi spesies satwa dalam kondisi in-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui pelepasliaran spesies satwa ex-situ hasil rehabilitasi, pengembangbiakan, atau pengamanan. (4) Pemulihan (restorasi) dan pembinaan habitat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan untuk mengembalikan fungsi habitat alam sehingga memadai untuk mendukung tambahan populasi spesies. (5) Reintroduksi atau pengkayaan populasi spesies dapat dilakukan setelah kondisi habitat atau ekosistem yang direstorasi sebagaimana
- 18 -
dimaksud pada ayat (3) dinilai mampu mendukung populasi hasil reintroduksi beserta kemungkinan perkembangan populasinya. (6) Dalam melakukan kegiatan reintroduksi dan/ atau pemulihan (restorasi) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat atau swasta. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara restorasi dan kerja sama pemulihan (restorasi) ekosistem diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pelestarian Sumber Daya Genetik
Paragraf 1 Umum
Pasal 49 (1) Pelestarian sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b bertujuan untuk mempertahankan keberadaan dan keanekaragaman genetik untuk mendukung pelestarian spesies dan ekosistem. (2) Dalam rangka menyelenggarakan pelestarian sumber daya genetik, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan nasional tentang pelestarian sumber daya genetik.
Pasal 50 Pelestarian sumber daya genetik dilakukan melalui: a. pelindungan sumber daya genetik spesies target; b. pemulihan keanekaragaman sumber daya genetik spesies target.
Pasal 51 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib melestarikan sumber daya genetik yang khas di daerahnya, langka, atau memiliki nilai secara nyata maupun potensial. (2) Menteri menetapkan pedoman, norma dan kriteria pelestarian sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50.
Paragraf 2 Pelindungan Sumber Daya Genetik bagi Spesies Target
Pasal 52 (1) Pelindungan sumber daya genetik bagi spesies target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a dilakukan melalui:
- 19 -
a. inventarisasi spesies target untuk pengembangan basis data sumber daya genetik spesies target; b. pelindungan sumber daya genetik spesies target dalam kondisi insitu; dan c. pelindungan sumber daya genetik spesies target dalam kondisi exsitu. (2) Dalam rangka pelindungan sumber daya genetik spesies target, Menteri menyusun dan melaksanakan strategi konservasi genetik bagi spesies target berdasarkan hasil inventarisasi spesies target sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. (3) Ketentuan mengenai pelindungan sumber daya genetik bagi spesies target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 53 Pelindungan sumber daya genetik spesies target dalam kondisi in-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dilakukan terhadap: a. spesies dilindungi; dan b. spesies yang diperdagangkan atau bernilai komersial serta spesies yang mendukung budidaya.
Pasal 54 Pelindungan sumber daya genetik spesies target dalam kondisi in-situ terhadap spesies dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a dilakukan dengan: a. menjaga populasi di dalam maupun di luar kawasan konservasi; b. menyelamatkan populasi terisolasi dan memindahkan ke lokasi yang memungkinkan terjadinya transfer materi genetik; dan/atau c. memelihara habitat, mempertahankan dan mengupayakan ketersambungan antar-habitat untuk menjamin adanya transfer materi genetik antar-wilayah habitat.
Pasal 55 Pelindungan sumber daya genetik spesies target dalam kondisi in situ terhadap spesies yang diperdagangkan atau bernilai komersial serta spesies yang mendukung budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b dilakukan dengan: a. menjaga dan mengendalikan populasi di dalam maupun di luar kawasan konservasi di dalam wilayah penyebarannya; b. mengembangkan kebun benih atau bibit di lokasi habitat yang diketahui merupakan habitat asli spesies tumbuhan target; c. memulihkan atau restorasi populasi yang terdegradasi dengan spesimen asli setempat; dan/atau
- 20 -
d. memelihara habitat, mempertahankan dan mengupayakan ketersambungan antar habitat untuk menjamin adanya transfer materi genetik antar wilayah habitat.
Pasal 56 Pelindungan sumber daya genetik dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c dilakukan dengan: a. memelihara dan mengembangbiakkan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan di lembaga konservasi ex- situ atau di tempat lain di luar habitat aslinya bagi spesimen hidup; b. mengembangbiakan satwa di dalam lingkungan terkontrol di luar habitatnya atau perbanyakan tumbuhan secara buatan di dalam kondisi terkontrol di luar habitatnya; c. perbanyakan tumbuhan secara buatan di dalam kondisi terkontrol di luar habitatnya atau di habitat alami lekat lahan; dan d. mengawetkan spesimen atau materi genetik seperti semen beku, biji, atau materi genetik lainnya di dalam alat penyimpan yang dirancang khusus untuk itu.
Paragraf 3 Pemulihan Keanekaragaman Sumber Daya Genetik
Pasal 57 (1) Pemulihan keanekaragaman sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b ditujukan bagi spesies target yang mengalami penurunan keanekaragaman sumber daya genetik. (2) Pemulihan keanekaragaman sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. relokasi atau translokasi spesies; b. penanaman dan/atau pengkayaan tumbuhan; c. pelepasliaran satwa hasil pengembangbiakan, hasil penyelamatan dalam kondisi ex-situ, dan/atau hasil rehabilitasi; d. pengendalian untuk mempertahankan kemurnian spesies; e. pertukaran spesies antar lembaga konservasi ex-situ zoologi atau botani; dan/atau f. pemuliaan tumbuhan, uji provenan, peningkatan kualitas genetik melalui penyerbukan buatan. (3) Dalam rangka pemulihan sumber daya genetik, Pemerintah Pusat dapat mengambil spesies tertentu untuk indukan dari pemilik koleksi atau pengampu sumber daya genetik. (4) Ketentuan mengenai pemulihan keanekaragaman sumber daya genetik bagi spesies target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- 21 -
Bagian Keempat Pelestarian Ekosistem
Paragraf 1 Umum
Pasal 58 Pelestarian ekosistem diselenggarakan dalam rangka menjaga keutuhan dan keterwakilan, serta memelihara keseimbangan, ketersambungan, dan kemantapan ekosistem di dalam suatu jejaring ekologi.
Pasal 59 (1) Pelestarian ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dilakukan melalui: a. pelindungan ekosistem; dan b. pemulihan ekosistem. (2) Pelestarian ekosistem pada kawasan konservasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pelestarian ekosistem pada kawasan ekosistem esensial dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau pemegang hak atau izin. (4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya membentuk unit pengelola pelestarian ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (5) Pengelolaan kawasan konservasi oleh unit pengelola dilakukan dengan sistem zonasi sesuai dengan tujuan atau keperluannya.
Paragraf 2 Pelindungan Ekosistem
Pasal 60 Pelindungan Cagar Alam dilakukan dengan memperhatikan : a. pelindungan ekosistem asli dan integritas lingkungan dalam jangka panjang, spesies dan/atau fitur keanekaragaman geologis yang unggul secara nasional; b. pengamanan contoh lingkungan alami; dan/atau c. pelindungan nilai-nilai kultural dan spiritual terkait dengan alam.
Pasal 61 Pelindungan Taman Nasional dilakukan dengan memperhatikan: a. pelindungan keanekaragaman hayati bersama dengan struktur ekologis yang mendasari serta proses-proses lingkungan yang
- 22 -
mendukung serta pengembangan pendidikan dan rekreasi; b. pengabadian contoh keterwakilan wilayah fisiografis, komunitas biota, sumber daya genetik dan proses-proses alam yang tak terganggu; c. penjagaan populasi dan kelompok spesies asli yang viabel dan secara ekologis fungsional pada kerapatan yang mencukupi untuk melindungi integritas dan daya tahan ekosistem dalam jangka panjang; d. konservasi spesies yang mempunyai pergerakan luas, proses ekologis regional dan rute migrasi; e. pengembangan pemanfaatan untuk kepentingan religi, pendidikan, budaya dan rekreasi sepanjang tidak merusak sumber daya alam secara biologis atau ekologis; f. kebutuhan masyarakat adat atau lokal, termasuk pemanfaatan subsisten sumberdaya alam sepanjang tidak berdampak buruk pada tujuan utama pengelolaan; dan/atau g. pemberian sumbangan pada ekonomi lokal melalui ekowisata.
Pasal 62 Pelindungan Taman Wisata alam dilakukan dengan memperhatikan: a. pelindungan situs alami yang khas dengan nilai-nilai religi atau budaya dan yang mempunyai nilai konservasi keanekaragaman hayati; b. pengabadian contoh keterwakilan wilayah fisiografis, komunitas biota, sumber daya genetik dan proses alam yang tak terganggu; c. pelindungan fitur alam beserta keanekaragaman hayati dan habitat yang menyertainya untuk tujuan ekowisata; dan/atau d. pelindungan nilai religi atau budaya tradisional.
Pasal 63 Pelindungan Suaka Margasatwa dilakukan dengan memperhatikan: a. pemeliharaan, pelindungan, dan pemulihan populasi spesies tumbuhan liar dan satwa liar atau spesies kharismatik beserta habitatnya; b. pelindungan pola vegetasi pendekatan pengelolaan;
atau
fitur
biologis
lainnya
melalui
c. pelindungan potongan (fragmen) habitat yang merupakan komponen dari strategi konservasi suatu bentang alam darat dan/atau perairan; d. pengembangan pendidikan dan apresiasi publik mengenai kepedulian terhadap spesies dan habitat; dan/ atau e. keberadaan penduduk yang tinggal berdampingan atau bersentuhan dengan kawasan yang ditetapkan.
- 23 -
Pasal 64 Pelindungan Taman Buru dilakukan dengan memperhatikan: a. pemeliharaan, pelindungan, dan peningkatan populasi spesies dan habitat; b. pelindungan pola-pola vegetasi atau fitur biologis lainnya melalui pendekatan-pendekatan pengelolaan; c. pelindungan potongan (fragmen) habitat yang merupakan komponen dari strategi konservasi suatu bentang alam di daratan dan perairan; dan/ atau d. pengembangan pendidikan dan apresiasi publik mengenai kepedulian spesies dan habitat.
Pasal 65 Pelindungan Taman Hutan Raya dilakukan dengan memperhatikan: a. pelindungan dan penjagaan bentang alam hutan termasuk pesisir yang dapat dipadukan dengan pelestarian nilai-nilai lain yang tercipta dari interaksi dengan manusia melalui praktek-praktek pengelolaan tradisional bersama dengan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati; b. pemeliharaan keseimbangan interaksi antara alam dengan budaya melalui pelindungan bentang alam darat/laut serta pendekatan tradisional pengelolaan kawasan, masyarakat, budaya dan nilai-nilai spiritual yang menyertainya; c. penyelenggaraan konservasi dalam skala luas dengan cara menjaga spesies yang berasosiasi dengan wilayah budaya dan/atau melalui penyediaan kesempatan konservasi pada bentang alam yang secara intensif dimanfaatkan; d. ketersediaan kesempatan bagi kesenangan, kesejahteraan, dan kegiatan sosial ekonomi melalui rekreasi dan turisme; dan/atau e. ketersediaan kerangka kerja untuk mendukung peran serta masyarakat dalam pengelolaan bentang alam dan kekayaan alam serta budaya yang ada;
Pasal 66 Pelindungan daerah penyangga kawasan konservasi dilakukan dengan memperhatikan keberadaan dan peranan masyarakat di sekitar kawasan konservasi untuk berpartisipasi dalam pelestarian keanekaragaman hayati.
Pasal 67 Pelindungan koridor ekologis atau ekosistem penghubung dilakukan dengan memperhatikan terjaminnya pergerakan atau pertukaran individu antar populasi satwa atau pergerakan faktor-faktor biotik untuk mencegah terjadinya dampak buruk pada habitat yang terfragmentasi pada populasi karena in-breeding dan penurunan keanekaragaman genetik akibat erosi genetik yang sering terjadi pada
- 24 -
populasi yang terisolasi.
Pasal 68 Pelindungan areal dengan nilai konservasi tinggi dilakukan dengan memperhatikan: a. kelestarian nilai-nilai keanekaragaman hayati; b. keberadaan bentang alam yang cukup luas yang didalamnya terdapat populasi yang viabel dari mayoritas spesies yang tinggal secara alami pada pola alami dari distribusi dan kelimpahan spesies tersebut; c. pelindungan spesies yang masuk dalam status pelindungan spesies; d. pelestarian keberadaan areal yang menjadi ketergantungan dari masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan dasar dan/atau yang penting bagi identitas budaya tradisional masyarakat lokal.
Pasal 69 Pelindungan areal konservasi kelola masyarakat dilakukan dengan memperhatikan kelestarian keanekaragaman hayati yang memiliki hubungan saling ketergantungan dan menyatu di dalam identitas masyarakat untuk kehidupan atau kesejahteraan.
Pasal 70 Pelindungan taman keanekaragaman hayati dilakukan dengan memperhatikan penyelamatan tumbuhan lokal, menjadi sumber bibit, pemuliaan tanaman, dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan penyuluhan, serta menjadi lokasi wisata alam dan sebagai ruang terbuka hijau.
Paragraf 3 Pemulihan Ekosistem
Pasal 71 (1) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b dilakukan dalam rangka mengembalikan unsur-unsur dan proses ekologis pada kawasan. (2) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada ekosistem yang telah mengalami degradasi, rusak, hancur, atau ditransformasi; (3) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada (1) dan ayat (2) dapat dilakukan di seluruh kategori kawasan, baik pada kawasan yang dibebani hak maupun pada tanah negara.
Pasal 72 (1) Kegiatan pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan bersamaan atau didahului dengan menghilangkan
- 25 -
faktor penyebab kerusakan, degradasi atau transformasi. (2) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. sepenuhnya suksesi alam; b. suksesi alam yang dibantu manusia;dan/atau c. pengembalian unsur-unsur dan proses ekologis suatu ekosistem sepenuhnya dengan bantuan manusia.
Pasal 73 (1) Pemulihan ekosistem di dalam kawasan konservasi dilakukan untuk seluruh kategori kawasan konservasi sesuai dengan derajat kerusakannya. (2) Kawasan Cagar Alam atau zona inti Taman Nasional hanya dapat dilakukan pemulihan dengan cara sepenuhnya suksesi alami atau suksesi alami yang dibantu manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf a atau huruf b. (3) Kawasan konservasi selain kawasan Cagar Alam dan zona inti Taman Nasional dapat dipulihkan dengan metoda sepenuhnya dengan bantuan manusia. (4) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemegang hak atas tanah wajib melakukan evaluasi terhadap kondisi kawasan sesuai dengan hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan.
Pasal 74 (1) Dalam rangka pemulihan kawasan Cagar Alam atau zona inti Taman Nasional yang telah rusak, hancur atau ditransformasi, Menteri dapat menetapkan penurunan status zonasi kawasan cagar alam atau zona inti taman nasional dengan jangka waktu tertentu. (2) Penurunan kategori atau status zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan untuk kebutuhan pemulihan. (3) Kawasan cagar alam atau zona inti taman nasional yang telah mengalami penurunan status zonasi pada ayat (3) dapat dipulihkan dengan pengembalian unsur-unsur dan proses ekologis suatu ekosistem sepenuhnya dengan bantuan manusia sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 ayat (2) huruf c. (4) Masa berlaku status zonasi dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perencanaan pemulihan.
Pasal 75 (1) Untuk setiap kegiatan pemulihan ekosistem, setiap pengelola kawasan yang hendak dilakukan pemulihan wajib membuat perencanaan pemulihan berdasarkan standar capaian atas kondisi akhir.
- 26 -
(2) Perencanaan pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi tata cara pemulihan ekosistem. (3) Standar capaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan atribut pulihnya ekosistem yang direstorasi. (4) Standar capaian atas kondisi akhir sebagaimana dimasud pada ayat (1) merupakan alat untuk mengukur keberhasilan kegiatan pemulihan ekosistem sesuai dengan tujuan pemulihan.
Pasal 76 (1) Untuk setiap kegiatan ekosistem rujukan.
pemulihan
ekosistem
wajib
ditetapkan
(2) Ekosistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ekosistem pembanding yang masih utuh atau relatif utuh, dan atau informasi mengenai sejarah ekosistem kawasan tersebut untuk menilai ketercapaian pemulihan.
Pasal 77 (1) Ekosistem yang dipulihkan dianggap telah pulih apabila memperlihatkan kombinasi beberapa karakteristik kriteria atau atribut pulihnya ekosistem. (2) Ketentuan mengenai kriteria dan standar keberhasilan pemulihan ekosistem atau atribut pulihnya ekosistem yang dipulihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pemulihan atau restorasi ekosistem diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 78 (1) Kegiatan pemulihan ekosistem kawasan konservasi di atas tanah negara dapat dilakukan melalui mekanisme kerja sama pemulihan ekosistem antara Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah, dengan: a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Swasta (BUMS); b. lembaga swadaya masyarakat; c. yayasan; d. lembaga pendidikan; dan/atau e. masyarakat lokal. (2) Kerja sama pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam rangka tujuan non-komersial. (3) Mekanisme kerja sama pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
- 27 -
Pasal 79 Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemulihan ekosistem dan kerja sama pemulihan ekosistem diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 80 Pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati diselenggarakan dalam rangka: a. mendukung pelindungan keanekaragaman dimaksud pada Undang-undang ini; dan b. menunjang kesejahteraan berkesinambungan.
masyarakat
hayati
secara
sebagaimana
berkeadilan
dan
Pasal 81 Pemanfaatan keanekaragaman hayati wajib tidak bertentangan dengan: a. peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. norma agama; c. norma adat istiadat; dan d. ketertiban umum.
Pasal 82 (1) Pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 meliputi :
sebagaimana
a. pemanfaatan spesies; b. pemanfaatan sumber daya genetik; c. pemanfaatan ekosistem. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui pengaturan dan pengendalian pemanfaatan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 83 (1) Pemanfaatan lestari sebagaimana dimaksud Pasal 82 dilaksanakan untuk tujuan non-komersial dan komersial. (2) Pemanfaatan non-komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memberikan manfaat yang secara nyata tidak mengandung
- 28 -
kegiatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. (3) Pemanfaatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan mendapatkan keuntungan ekonomi berupa kompensasi finansial.
Pasal 84 Pemanfaatan lestari untuk tujuan komersial dan non-komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan dari Menteri.
Bagian Kedua Pemanfaatan Spesies
Paragraf 1 Umum
Pasal 85 Pemanfaatan spesies secara lestari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a diselenggarakan berdasarkan ketentuan mengenai: a. sumber spesimen dan sistem produksi b. pemanfaatan non-komersial dan komersial
Pasal 86 Dalam rangka pemanfaatan Pemerintah Pusat menunjuk:
spesies
tumbuhan
dan
satwa
liar
a. satu atau lebih lembaga pemerintah atau kementerian yang bertanggung jawab dalam konservasi spesies sebagai Otorita Pengelola; dan/atau b. satu atau lebih lembaga pemerintah yang bertangggung jawab di bidang penelitian atau riset ilmiah sebagai Otorita Ilmiah.
Paragraf 2 Sumber Spesimen dan Sistem Produksi
Pasal 87 (1) Pemanfaatan spesimen tumbuhan liar dan satwa liar bersumber pada 3 (tiga) sistem produksi, yaitu: a. sistem produksi spesimen tumbuhan atau satwa yang bersumber dari populasi di dalam habitat alamnya atau dari kondisi in-situ bagi spesies dikendalikan dan dipantau; b. sistem produksi spesimen tumbuhan atau satwa di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol di luar habitat alamnya atau
- 29 -
penangkaran. c. sistem produksi spesimen tumbuhan atau satwa dari sumber impor atau pemasukan dari luar negeri. (2) Sumber spesimen hasil produksi spesimen dari spesies tumbuhan atau satwa di dalam habitat alamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap spesies dikendalikan dan/atau spesies dipantau sesuai dengan ketentuan mengenai pelindungan spesimen dari kategori spesies dikendalikan dan dipantau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 44. (3) Sumber spesimen hasil produksi spesimen dari spesies tumbuhan atau satwa di dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi spesies dilindungi dilakukan melalui: a. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b; dan/atau b. perbanyakan tumbuhan secara buatan untuk dikembalikan lagi ke habitat alam atau untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d. (4) Sumber spesimen hasil produksi spesimen dari spesies tumbuhan atau satwa di dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi spesies dikendalikan dan dipantau dilakukan melalui: a. pembesaran spesimen hidup spesies satwa liar tertentu dari habitat alam di dalam lingkungan terkontrol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1); dan/atau b. pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi terkontrol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1). (5) Sumber spesimen dari hasil impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan spesimen hasil pemasukan dari luar negeri dari spesies dilindungi, spesies dikendalikan, dan/atau spesies dipantau.
Pasal 88 (1) Seluruh kegiatan pemanfaatan spesimen dari spesies tumbuhan liar dan/atau satwa liar hanya dapat dilakukan dari sumber spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 melalui pengendalian dan/atau pembatasan. (2) Pengendalian dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi spesimen yang bersumber dari kondisi in situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a dilakukan melalui: a. penetapan kuota penangkapan atau pengambilan; b. pembatasan kelas-kelas ukuran atau kelompok umur; c. perlakuan buka-tutup pengambilan; dan/atau
musiman
daerah
penangkapan
atau
- 30 -
d. pembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. (3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi spesimen yang bersumber dari kondisi ex-situ dilakukan melalui: a. pemantauan produksi spesimen tumbuhan atau satwa liar dari kondisi ex-situ; dan b. pengembangan basis data produksi spesimen tumbuhan atau satwa liar dari kondisi ex-situ. (4) Otorita Pengelola melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud ayat (2) setelah mendapatkan rekomendasi dari Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Paragraf 3 Pemanfaatan non-Komersial dan Komersial
Pasal 89 (1) Pemanfaatan spesies secara lestari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dapat dilakukan untuk kepentingan komersial maupun non-komersial. (2) Pemanfaatan spesies secara lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. penelitian atau pengembangan; b. perdagangan; c. peragaan; d. tukar menukar; e. medis; f. pemeliharaan untuk kesenangan; g. kepentingan religi atau budaya; h. budidaya; dan/atau i. komersialisasi informasi yang didapat dari kegiatan pemanfaatan spesies.
Pasal 90 (1) Spesimen dari spesies dilindungi yang berasal dari habitat alam hanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan non-komersial. (2) Spesimen dari spesies dikendalikan dan spesies dipantau yang berasal dari kondisi in-situ maupun ex-situ dapat dimanfaatkan untuk keperluan komersial dan non-komersial.
Pasal 91 (1) Pemanfaatan spesimen satwa liar dan/atau tumbuhan liar untuk tujuan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a dapat dilakukan untuk tujuan komersial
- 31 -
maupun non-komersial. (2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menggunakan spesies dilindungi dan dikendalikan hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri. (3) Penelitian atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk mendukung : a. konservasi spesies; b. budidaya tanaman atau hewan; c. kesehatan, termasuk biomedis; atau d. pengembangan ilmu pengetahuan. (4) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap satwa wajib dilakukan dengan menjunjung tinggi etika penelitian penggunaan hewan sebagai obyek penelitian. (5) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai pemanfaatan sumber daya genetik dalam hal adanya unsur-unsur mengenai akses terhadap sumber daya genetik dan bioprospeksi.
Pasal 92 (1) Pengambilan contoh spesimen dapat dilakukan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. (2) Setiap orang dilarang mengambil contoh spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari spesies dilindungi dengan cara membunuh satwa atau mematikan tumbuhan atau yang dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa atau matinya tumbuhan. (3) Pengangkutan dan pemindahan ke luar negeri/ekspor serta pengambilan contoh spesimen satwa dan/atau atau tumbuhan dari spesies dilindungi hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri.
Pasal 93 (1) Perdagangan spesimen dari spesies tumbuhan liar dan satwa liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf b, hanya dapat dilakukan bagi spesies dikendalikan dan spesies dipantau. (2) Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk perdagangan di dalam negeri dan perdagangan luar negeri. (3) Perdagangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengumpul dan pengedar dalam negeri terdaftar. (4) Perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh eksportir dan atau importir terdaftar dengan spesimen yang berasal dari pengumpulan dan peredaran dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau dari spesimen impor. (5) Perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa ekspor, impor, dan re-ekspor. (6) Spesimen perdagangan dalam negeri maupun luar negeri hanya
- 32 -
dapat dilakukan dari sumber resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 94 (1) Lembaga terdaftar yang bergerak di bidang konservasi ex-situ dapat melakukan peragaan tumbuhan dan/atau satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf c untuk pengembangan pendidikan dan pariwisata alam. (2) Peragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk peragaan menetap atau peragaan keliling. (3) Peragaan menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh lembaga konservasi ex-situ. (4) Peragaan keliling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya merupakan bagian dari peragaan menetap. (5) Peragaan keliling spesies satwa dilindungi hanya dapat dilakukan dari spesimen anakan generasi kedua dan generasi berikutnya. (6) Peragaan menetap maupun keliling spesimen satwa hidup wajib memenuhi ketentuan tentang kesejahteraan hewan.
Pasal 95 (1) Tukar menukar satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf d dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan keanekaragaman genetik satwa dari kategori spesies dilindungi di Taman Satwa atau Kebun Binatang atau lembaga pengembangbiakan satwa. (2) Tukar menukar satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk spesies yang sama di dalam negeri oleh dan antar-pemerintah, Taman Satwa, atau lembaga pengembangbiakan satwa komersial yang diakui Pemerintah Pusat. (3) Peningkatan keanekaragaman genetik dari kategori spesies dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di luar negeri hanya dapat dilakukan melalui peminjaman. (4) Tukar menukar spesimen dari kategori spesies dilindungi yang ditujukan selain dari yang dimaksud oleh ayat (1) baik di dalam maupun dengan pihak luar negeri hanya dapat dilakukan terhadap spesimen satwa generasi kedua atau generasi berikutnya hasil pengembangbiakan satwa di dalam lingkungan terkontrol.
Pasal 96 Pemanfaatan spesimen untuk tujuan pemeliharaan atau koleksi untuk kesenangan dari spesies tumbuhan maupun satwa,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf f, untuk dikendalikan dan dipantau hanya dapat dilakukan dari spesimen perdagangan dalam negeri atau impor.
- 33 -
Pasal 97 Masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal dapat memanfaatkan spesimen tumbuhan atau satwa dikendalikan dan/atau dipantau dari habitat alam untuk tujuan adat, religi, atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf g tanpa harus mengikuti ketentuan mengenai sumber spesimen dan ketentuan perizinan.
Pasal 98 Ketentuan mengenai satwa dilindungi tetap berlaku bagi masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal, kecuali bila dinyatakan lain oleh Menteri.
Pasal 99 (1) Pemanfaatan untuk penyediaan bibit atau benih tumbuhan atau satwa dengan mengambil spesimen dari alam untuk tujuan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf h, bagi spesies dilindungi dapat dilakukan dengan izin Menteri dalam hal: a. hasil perkembangbiakan satwa atau perbanyakan buatan tumbuhan yang ada pada kondisi ex-situ tidak memadai; atau b. diperuntukkan bagi masyarakat lokal atau sekitar habitat. (2) Pemanfaatan untuk penyediaan bibit atau benih tumbuhan atau satwa dengan mengambil spesimen dari alam untuk tujuan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi spesies dikendalikan dan spesies dipantau disesuaikan dengan ketentuan mengenai sumber spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87. (3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam hal terkait dengan pemanfaatan sumber daya genetik wajib mematuhi ketentuan tentang akses terhadap sumber daya genetik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 100 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Paragraf 1 Umum
- 34 -
Pasal 101 Pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional yang terkait dengannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b sedikitnya meliputi: a. kepemilikan; b. akses; c. pembagian keuntungan; d. hak kekayaan intelektual; dan e. keamanan hayati.
Pasal 102 Pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dilakukan dengan memperhatikan: a. asal usul kepemilikan sumber daya genetik; b. hak kekayaan intelektual bagi individu atau komunal; c. hak masyarakat atas pengetahuan tradisional yang dimilikinya; d. keamanan hayati atas hasil rekayasa genetik; dan e. kaidah-kaidah etika dan norma agama dalam rekayasa genetik.
Paragraf 2 Kepemilikan Sumber Daya Genetik
Pasal 103 (1) Sumber daya genetik di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan/atau Pemerintah menjadi penyedia atau pengampu sumber daya genetik dan/atau pengetahuan yang terasosiasi dengannya. (3) Masyarakat hukum adat dan/ atau masyarakat lokal menjadi penyedia atau pengampu sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. (4) Pemerintah menjadi penyedia atau pengampu sumber daya genetik selain yang dimaksud pada ayat (3). (5) Pemerintah Pusat menetapkan pengampu pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan bidang perlindungan hak kekayaan intelektual.
Paragraf 3 Akses terhadap Sumber Daya Genetik
- 35 -
Pasal 104 (1) Akses terhadap sumber daya genetik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 101 huruf b dilakukan untuk kegiatan yang bertujuan komersial dan non-komersial (2) Kegiatan komersial yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kegiatan bioprospeksi dan bioteknologi. (3) Kegiatan non-komersial dilakukan untuk:
yang
dimaksud
pada
ayat
(1)
dapat
a. penelitian eksplorasi; b. penelitian forensik; c. penelitian pertahanan; d. koleksi herbarium atau museum; e. kegiatan konservasi spesies; dan/atau f. kegiatan non-komersial lainnya.
Pasal 105 Setiap orang yang mengakses sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik untuk tujuan non-komersial wajib: a. memberitahu Dewan sebelum kegiatan akses dilakukan; b. mendapatkan PADIA untuk akses; dan c. memiliki izin akses.
Pasal 106 Izin akses sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 105 huruf c diterbitkan berdasarkan PADIA akses.
Pasal 107 (1) Izin akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf c dikecualikan bagi perguruan tinggi atau lembaga pemerintah yang berwenang di bidang penelitian dan pengembangan sumber daya genetik. (2) Ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku bagi: a. perguruan tinggi/ lembaga pemerintah yang bekerja sama dan didanai oleh perorangan dan/atau lembaga asing; dan b. badan usaha Indonesia yang bekerja sama dengan orang asing atau badan usaha Indonesia yang mayoritas kepemilikan sahamnya dimiliki oleh asing atau perusahaan induk dari badan usaha itu merupakan orang atau badan usaha asing.
Pasal 108 Setiap orang atau badan usaha yang mengakses dan mengembangkan
- 36 -
sumber daya genetik untuk tujuan komersial wajib: a. memberitahu Dewan sebelum kegiatan akses dilakukan; b. mendapatkan PADIA untuk akses; c. memiliki izin akses; d. mendapatkan PADIA untuk pengembangan sebelum kegiatan akses dilakukan; e. melakukan kesepakatan bersama; dan f. memiliki izin pengembangan.
Pasal 109 (1) Izin akses dan/atau izin pengembangan diterbitkan oleh menteri atau kepala lembaga pemerintah terkait sesuai kewenangannya. (2) Menteri atau kepala lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kewenangan menerbitkan izin akses kepada pejabat di lingkungan kementerian atau lembaga yang dipimpinnya.
Pasal 110 (1) Setiap orang yang mengakses sumber daya genetik untuk tujuan non-komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat mengubah tujuan aksesnya menjadi tujuan komersial. (2) Setiap orang yang hendak melakukan perubahan tujuan akses dari non-komersial menjadi komersial atau mengakses hasil akses nonkomersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. mendapatkan PADIA baru untuk tujuan pengembangan; b. melakukan kesepakatan bersama; dan c. mendapatkan izin pengembangan.
Pasal 111 (1) PADIA sekurang-kurangnya memuat informasi: a. badan yang menerbitkan izin; b. tanggal penerbitan izin; c. penyedia sumber daya genetik; d. tanda pengenal otentik atas izin yang diakses; e. orang atau badan penerima sumber daya genetik; f. sumber daya genetik yang dimintakan izin; g. konfirmasi bahwa telah dibentuk kesepakatan bersama; h. konfirmasi bahwa PADIA telah diterima; dan i. keterangan komersial.
pemanfaatan
untuk
komersial
dan/atau
non
(2) Perolehan PADIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan kebiasaan yang berlaku
- 37 -
di dalam masyarakat penyedia atau pengampu sepanjang masih diakui keberadaannya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai PADIA diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 112 (1) Setiap warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan akses dan pengembangan terhadap sumber daya genetik wajib bermitra dengan lembaga nasional di bidang penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya genetik yang telah terakreditasi. (2) Setiap warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan akses dan pengembangan terhadap sumber daya genetik memiliki kewajiban bagi peneliti dalam negeri untuk: a. memberikan akses pada teknologi dan transfer teknologi; b. meningkatkan kapasitas; dan c. kewajiban lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal lembaga di bidang penelitian dan pengembangan yang telah terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada, maka perorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang akan melakukan akses terhadap sumber daya genetik wajib bekerja sama dengan lembaga pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan yang ditunjuk oleh Menteri yang berwenang.
Pasal 113 Pemegang izin akses wajib: a. melaporkan secara berkala hasil penelitian atas sumber daya genetik dan/atau pengetahuan yang terasosiasi dengan sumber daya genetik yang diakses kepada pemberi izin. b. melaporkan hasil kegiatan akses sumber daya genetik dan/atau pengetahuan yang terasosiasi dengan sumber daya genetik pada masa berakhirnya akses. c. melakukan kegiatan sesuai dengan izin akses.
Pasal 114 Pemegang izin pengembangan wajib: a. melakukan pembagian keuntungan pengampu sumber daya genetik;
kepada
penyedia
atau
b. melaporkan secara berkala hasil pemanfaatan atau pengembangan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan yang terasosiasi dengannya kepada pemberi izin; dan
- 38 -
c. melakukan kegiatan sesuai dengan izin pengembangan.
Pasal 115 Setiap orang atau badan usaha yang akan membawa atau memindahkan hasil akses sumber daya genetik ke luar negeri wajib mendapat Persetujuan Pemindahan Material dari penyedia atau pengampu dengan persetujuan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah non - Kementerian yang berwenang.
Pasal 116 Setiap penyedia atau pengampu sumber daya genetik dan pengetahuan yang terasosiasi dengannya wajib memberikan keterangan sebenarbenarnya kepada pengakses sumber daya genetik tentang kepemilikan sumber daya genetik dan pengetahuan yang terasosiasi dengan sumber daya genetik.
Paragraf 4 Pembagian Keuntungan
Pasal 117 (1) Keuntungan yang timbul dari adanya penelitian dan/atau pengembangan dari produk atau proses yang dikembangkan dari sampel komponen atau materi sumber daya genetik atau pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik wajib dibagi secara adil dan berimbang kepada penyedia dan/atau pengampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) Keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa keuntungan moneter dan/atau non-moneter.
Pasal 118 Pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Paragraf 5 Hak Kekayaan Intelektual terkait Sumber Daya Genetik
Pasal 119 Teknologi, inovasi atau invensi yang dikembangkan dari sampel materi atau komponen sumber daya genetik atau pengetahuan tradisional yang diperoleh sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dapat diajukan untuk mendapatkan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Pasal 120 (1) Pelindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada
- 39 -
ayat (1) tidak menghilangkan atau mengurangi hak masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal dalam pertukaran dan penyebarluasan komponen-komponen sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang dipraktekkan di dalam masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal untuk kepentingan mereka sendiri dan berdasarkan praktek-praktek adat atau tradisional. (2) Pelindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pengguna sumber daya genetik dalam pembagian keuntungan yang adil dan berimbang, serta akses pada teknologi dan transfer teknologi.
Pasal 121 (1) Dalam mengajukan pelindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, baik di dalam maupun di luar negeri, pengusul wajib mencantumkan informasi mengenai asalusul sumber daya genetik. (2) Pernyataan asal-usul sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengakuan dan penilaian atas inovasi, praktek, dan pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengan sumber daya genetik. (3) Ketentuan mengenai kewajiban pencantuman informasi mengenai asal usul sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dicantumkan di dalam Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Pengalihan Material. (4) Ketentuan mengenai pelindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan mengenai hak kekayaan intelektual.
Paragraf 6 Pengendalian Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional
Pasal 122 (1) Pengendalian pemanfaatan pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik dilakukan melalui: a. pengaturan pengakuan hak pengampu pengetahuan tradisional untuk menentukan penggunaan/pemanfaatan pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik; dan b. pendaftaran pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik oleh Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 7 Keamanan Hayati
- 40 -
Pasal 123 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengendalikan pemanfaatan bioteknologi modern yang menghasilkan produk rekayasa genetik. (2) Pemanfaatan bioteknologi modern sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menjamin keamanan hayati dan dampaknya terhadap keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, kesehatan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan, serta pertahanan nasional
Pasal 124 Setiap orang yang melakukan penelitian dan/atau pengembangan produk rekayasa genetik wajib mencegah dan menanggulangi dampak negatif kegiatannya terhadap kondisi keaneakaragaman hayati dan kesehatan manusia.
Pasal 125 Setiap orang yang mengedarkan produk rekayasa genetik dari hasil bioteknologi modern wajib mendapatkan persetujuan dari lembaga yang berwenang di bidang keamanan hayati beradasarkan hasil audit mandiri atas potensi dampak.
Pasal 126 Setiap orang yang melakukan ekspor produk rekayasa genetik dari hasil bioteknologi modern wajib: a. memberikan informasi yang akurat tentang produk rekayasi genetik tersebut; dan b. menyampaikannya terlebih dahulu kepada lembaga yang berwenang di bidang keamanan hayati untuk pengujian keamanan.
Pasal 127 Setiap orang yang melakukan impor produk rekayasa genetik dari hasil bioteknologi modern wajib mendapatkan rekomendasi aman dari lembaga yang berwenang di bidang keamanan hayati.
Pasal 128 Setiap orang yang memasukan produk rekayasa genetik hasil pemanfaatan bioteknologi modern ke Indonesia wajib mendapatkan persetujuan dari lembaga yang berwenang di bidang keamanan hayati.
Pasal 129 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan tindakan segera untuk mengatasi kerusakan akibat lepas atau dilepaskannya produk rekayasa genetik, spesies invasif asing atau
- 41 -
mikroorganisme invasif ke media lingkungan. (2) Tindakan segera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. karantina; b. tindakan pemulihan; c. investigasi terhadap asal usul lepasnya produk rekayasa genetik atau spesies invasif asing; dan/atau d. tindakan lainnya. (3) Setiap orang yang melepaskan produk rekayasa genetik, spesies invasif asing atau mikroorganisme invasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul.
Pasal 130 Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Pemanfaatan Ekosistem
Pasal 131 (1) Pemanfaatan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c berupa : a. pemanfaatan untuk kepentingan penelitian dan/atau pendidikan; b. pemanfaatan jasa ekosistem; c. pemanfaatan kawasan untuk kepentingan strategis;dan/atau d. pemanfaatan ekosistem restorasi. (2) Pemanfaatan ekosistem sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan.
pada
ayat
(1)
(3) Pemanfaatan ekosistem dilakukan dengan penggunaan standar teknik dan teknologi yang terbaik. (4) Standar teknik dan teknologi yang terbaik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi salah satu persyaratan penerbitan izin pemanfaatan. (5) Persyaratan penerbitan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 132 (1) Pemanfaatan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1), dapat dilakukan pada semua kawasan kecuali Cagar Alam dan zona inti Taman Nasional. (2) Cagar Alam dan zona inti Taman Nasional hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan jasa wisata alam
- 42 -
terbatas.
Pasal 133 (1) Pemanfaatan ekosistem untuk kepentingan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan berdasarkan hasil kajian ilmiah oleh lembaga ilmiah yang ditunjuk Menteri. (2) Kajian ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari persyaratan izin Menteri . (3) Kajian ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setidaknya meliputi: a. kajian resiko terhadap ekosistem ; b. kajian alternatif kebijakan; c. kajian upaya dan rencana mitigasi resiko; d. kajian penggunaan standar teknis dan teknologi yang terbaik untuk kepentingan perlindungan ekosistem; e. deskripsi rencana usaha dan/atu kegiatan yang akan dikaji;dan f. hasil pelibatan masyarakat;
Pasal 134 (1) Dalam rangka pemberian insentif kepada pihak yang bekerja sama dalam pemulihan, ekosistem yang telah direstorasi dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial terbatas. (2) Tujuan komersial terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan status kawasan yang dipulihkan. (3) Pemegang izin pemanfaatan ekosistem restorasi dimaksud pada ayat (3) wajib membayar iuran usaha.
sebagaimana
(4) Pemegang izin pemanfaatan dimaksud pada ayat (4) wajib:
sebagaimana
ekosistem
restorasi
a. menyusun rencana pemanfaatan; b. melakukan pengamanan pada areal yang akan direstorasi;dan c. melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat.
Pasal 135 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 135 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB V PENGAMANAN
Bagian Kesatu
- 43 -
Kepolisian Khusus
Pasal 136 Dalam rangka pengamanan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati, pejabat yang bertanggung jawab di bidang konservasi keanekaragaman hayati sesuai dengan sifat dan pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
Pasal 137 Pejabat yang diberi wewenang kepolisian dimaksud dalam Pasal 136, berwenang untuk:
khusus
sebagaimana
a. mengadakan penjagaan, patroli/perondaan di dalam dan di luar kawasan kawasan konservasi atau di wilayah hukumnya; b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil kawasan konservasi di wilayah hukumnya; c. memeriksa setiap orang yang keluar atau masuk kawasan konservasi serta setiap orang yang berada di kawasan konservasi. d. menerima laporan tentang terjadinya tindak menyangkut konservasi keanekaragaman hayati;
pidana
yang
e. mencari dan meminta keterangan terkait tindak pidana yang menyangkut konservasi keanekaragaman hayati. f. mencari dan mengamankan barang bukti tindak pidana yang menyangkut konservasi keanekaragaman hayati; g. dalam hal tertangkap tangan, menangkap tersangka dan mengamankan barang bukti untuk diserahkan kepada penyidik; h. melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan/atau penahanan atas perintah penyidik; i. membuat dan menandatangani laporan dan berita acara; j. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan atas perintah penyidik.
Pasal 138 Ketentuan lebih lanjut mengenai Kepolisian Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Penyuluhan
Pasal 139 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan penyuluhan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang konservasi keanekaragaman hayati.
- 44 -
(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi dengan subsistem kawasan konservasi dan program pada tiap tingkatan administrasi pemerintahan. (3) Pelaksanaan penyuluhan dilakukan peraturan perundang-undangan.
sesuai
dengan
ketentuan
BAB VI PENYIDIKAN, ALAT BUKTI, DAN BARANG RAMPASAN
Bagian Kesatu Penyidikan
Pasal 140 Penyidikan tindak pidana di bidang keanekaragaman hayati dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 141 (1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi Pemerintah yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang konservasi keanekaragaman hayati diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi Pemerintah yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud pada Ayat(1), berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana dan melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem; b. memanggil seseorang untuk diperiksa dan dimintai keterangan sebagai saksi atau tersangka; c. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang dapat dijadikan bukti dalam perkara konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem; d. melakukan penangkapan, penahanan tersangka tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem; e. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem
- 45 -
f. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati; g. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap tersangka, dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati; h. meminta bantuan dan/atau keterangan ahli; i. memberikan tanda pengaman dan mengamankan tempat dan/atau barang yang dapat dijadikan sebagai alat bukti terjadinya tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati; j. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;dan/atau surat-surat lain yang menyangkut penyidikan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati; k. melakukan penghentian penyidikan; (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum.
Pasal 142 Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait.
Pasal 143 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) berhak meminta kepada lembaga jasa pengiriman, penyelenggara komunikasi, bank dan penyelenggara jasa keuangan lainnya untuk: a. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos, serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati yang sedang diperiksa; dan/atau b. meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melakukan tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati. c. meminta keterangan kepada bank atau jasa keuangan lainnya atau berkaitan dengan transaksi keuangan tersangka. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan penyidik untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketua Pengadilan Negeri setempat wajib memberikan izin untuk meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari penyidik. (4) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada pejabat berwenang.
- 46 -
Pasal 144 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) melakukan penangkapan terhadap orang yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. (2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.
Bagian Kedua Alat Bukti
Pasal 145 Alat bukti tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati, meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan/atau c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa: d. tulisan, suara atau gambar; e. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau f. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Bagian Ketiga Barang Rampasan Pasal 146 (1) Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan. (2) Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati dapat dilelang untuk negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Uang hasil pelelangan tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak,
- 47 -
dipergunakan untuk membiayai pemeliharaan barang rampasan tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati, dan sebagai insentif bagi petugas dan pihak-pihak yang berjasa. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan keputusan penanganan spesimen rampasan, lelang, pembiayaan penegakan hukum dan insentif bagi penegakan hukum diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 147 (1) Spesimen hidup tumbuhan dan/atau satwa dari kategori spesies dilindungi yang dirampas untuk negara dititipkan kepada lembagalembaga yang bergerak di bidang konservasi ex-situ. (2) Spesimen hidup tumbuhan dan/atau satwa dari kategori spesies dilindungi yang dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembalikan ke habiat alam (in-situ) atau dimanfaatkan sebagai induk perbanyakan tumbuhan atau pengembangbiakan satwa liar. (3) Spesimen mati tumbuhan dan/atau satwa liar yang dilindungi yang dirampas untuk negara diserahkan kepada museum zoologi atau herbarium atau lembaga penelitian.
Pasal 148 (1) Spesimen hidup tumbuhan dan satwa dari kategori spesies dikendalikan atau spesies dipantau yang dirampas untuk negara dapat dikembalikan ke habitat alami (in-situ) atau dilelang. (2) Spesimen mati tumbuhan dan satwa dari kategori spesies dikendalikan yang dirampas untuk negara dapat dilelang. Pasal 149 Dalam hal spesimen mati tumbuhan dan/atau satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 148 dapat menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum dan/atau membahayakan harus dimusnahkan. Pasal 150 (1) Dalam hal pelaku tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati tertangkap di luar negeri, Pemerintah dapat meminta pengembalian spesimen atau sumber daya genetik yang berasal dari Indonesia yang dirampas di negara lain. (2) Biaya pengembalian spesimen atau sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh pelaku. (3) Dalam hal pembiayaan pengembalian spesimen atau sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat ditanggung oleh pelaku, pembiayaan pengembalian spesimen atau sumber daya genetik dibebankan kepada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Dalam hal pengembalian spesimen rampasan di luar negeri tidak
- 48 -
dapat dilakukan, maka spesimen hidup tumbuhan atau satwa liar dapat diminta untuk dititipkan kepada lembaga yang bergerak dalam bidang konservasi ex-situ dan dimusnahkan bagi spesimen mati. (5) Spesimen tumbuhan dan/atau satwa yang berasal dari luar wilayah Republik Indonesia yang dirampas untuk negara dapat dikembalikan ke negara asalnya atas permintaan dari negara asal. (6) Biaya pengembalian spesimen tumbuhan dan/atau satwa dibebankan kepada negara asal spesimen tumbuhan dan/atau satwa. BAB VII PEMBERDAYAAN DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu Umum
Pasal 151 (1) Masyarakat dapat berperan dalam mewujudkan tujuan konservasi keanekaragaman hayati. (2) Dalam rangka mewujudkan peran masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuka akses informasi, akses untuk berperan serta, akses untuk mendapatkan keadilan, serta dan melakukan pemberdayaan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal.
Bagian Kedua Pemberdayaan
Pasal 152 (1) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) dilaksanakan melalui: a. fasilitasi dan pendampingan; b. peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan; c. pemberian akses. (2) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam setiap kegiatan pelestarian dan pemanfaatan spesies, genetik, dan ekosistem.
Bagian Ketiga Peran Masyarakat
Pasal 153 (1) Peran dan iniasi masyarakat harus diidentifikasi dan didukung untuk membantu pencapaian tujuan konservasi keanekaragaman
- 49 -
hayati. (2) Dalam mendukung pencapaian tujuan konservasi keanekaragaman hayati tersebut, masyarakat dapat berperan: a. memberikan data dan informasi untuk kepentingan pelestarian dan pemanfaatan spesies, genetik, dan ekosistem; b. memberikan usulan, saran dan pertimbangan untuk perlindungan spesies, genetik, dan ekosistem; c. melakukan kerja sama dalam pembinaan serta pemulihan populasi dan habitat/ekosistem; d. melakukan pengelolaan sebagian kawasan konservasi; e. melakukan pengelolaan kawasan ekosistem esensial; dan/atau f. sebagai pengampu sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik. (3) Untuk mewadahi peran masyarakat tersebut dapat dilakukan dalam kelembagaan yang akan dibentuk oleh Pemerintah Pusat di bidang keanekaragaman hayati. Pasal 154 Dalam melaksanakan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 masyarakat berhak: a. mendapatkan keadilan;
akses
informasi,
akses
partisipasi
dan
akses
b. menyampaikan usulan dan/atau keberatan; c. terlibat dalam pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati; d. ikut melaksanakan pengawasan pengelolaan dan/atau pelindungan dan pengamanan kawasan dan spesies di sekitar ruang kelola kehidupan; e. mendapatkan perlindungan atas hak-hak tradisional; f. mendapatkan kompensasi atas hilangnya hak atas tanah dan akses terhadap sumber daya sebagai akibat dari penetapan kawasan konservasi dan kawasan ekosistem esensial sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; g. mendapatkan insentif atas pembatasan hak di atas tanah yang ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial sesuai dengan peraturan perundangan yang ada; h. mendapatkan pembagian keuntungan yang adil dan berimbang atas hak kekayaan intelektual serta pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan sumber daya genetik; i. mendapatkan pendampingan dan pemberdayaan.
Pasal 155 Dalam melaksanakan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (2) masyarakat berkewajiban : a. memberikan informasi secara benar, akurat, dan terbuka; b. melestarikan keanekaragaman hayati yang berada di tanah atau di
- 50 -
wilayah yang dikuasakan kepadanya; c. melakukan pemulihan atas areal terdegradasi yang berada di tanah atau di wilayah yang dikuasakan kepadanya d. memanfaatkan keanekaragaman hayati dengan bertanggung jawab dan berkelanjutan; dan e. mentaati berlaku.
ketentuan
peraturan
perundangan-undangan
yang
Pasal 156 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151, Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, dan Pasal 155 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII PENDANAAN KONSERVASI
Pasal 157 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib menyediakan pendanaan yang berkelanjutan untuk kegiatan konservasi. (2) Pendanaan berkelanjutan untuk kegiatan konservasi dapat berasal dari: a. anggaran pemerintah; b. bantuan/hibah Negara lain; c. hibah dari lembaga nasional dan internasional; d. komitmen internasional yang berasal dari penghapusan hutang luar negeri; e. hasil kerja sama pengelolaan keanekaragaman hayati dengan pihak ketiga; dan f. anggaran para pihak yang ditunjuk sebagai pengelola kawasan konservasi tertentu. (3) Pemerintah Pusat dapat membentuk Lembaga Pendanaan sesuai peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang pendanaan berkelanjutan untuk konservasi diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah.
BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu Umum
- 51 -
Pasal 158 (1) Penyelesaian sengketa merupakan proses, cara, dan/atau upaya untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang ini. (2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana.
Pasal 159 (1) Penyelesaian sengketa konservasi keanekaragaman hayati dapat ditempuh: a. di luar pengadilan; atau b. di pengadilan (2) Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Pasal 160 Penyelesaian sengketa konservasi keanekargaman hayati diupayakan untuk diselesaikan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
Pasal 161 (1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan tertentu dan/atau ganti rugi. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dengan mediasi, negosiasi, arbitrase, atau pilihan lain dari para pihak yang bersengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Hasil penyelesaian sengketa di luar pengadilan harus dinyatakan secara tertulis dan bersifat mengikat para pihak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
- 52 -
Paragraf 1 Ganti Rugi dan Tindakan Tertentu
Pasal 162 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain dan/atau keanekaragaman hayati wajib membayar ganti rugi dan melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 163 Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan kewajiban badan usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 164 Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 165 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya melepaskan varietas atau organisme hasil rekayasa sumber daya genetik, atau organisme yang secara sumber daya genetik telah dimodifikasi ke habitat alam atau kegiatan lainnya yang berdampak serius terhadap keanekaragaman hayati yang menimbulkan kerugian terhadap keanekaragaman hayati bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu adanya pembuktian unsur kesalahan.
Paragraf 3 Gugatan Perwakilan
Pasal 166 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai
- 53 -
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 4 Hak Gugat Organisasi
Pasal 167 (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pelindungan keanekaragaman hayati, organisasi berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan keanekaragaman hayati. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. (3) Organisasi dapat persyaratan:
mengajukan
gugatan
apabila
memenuhi
a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelindungan keanekaragaman hayati; dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Paragraf 5 Hak Gugat Pemerintah
Pasal 168 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pelindungan keanekaragaman hayati berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerugian bagi keanekaragaman hayati. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan kerugian bagi keanekaragaman hayati, kerugian pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya di bidang pelindungan keanekaragaman hayati, dan/atau tindakan tertentu guna mencegah, menanggulangi, dan memulihkan keanekaragaman hayati.
BAB X KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 169 Dalam rangka kerja sama internasional di bidang pengelolaan ekosistem
- 54 -
dan jenis, Pemerintah Pusat mengatur pelaksanaan bagi beberapa perjanjian internasional terkait keanekaragaman hayati diantaranya: a. Konvensi Warisan Alam Dunia; b. Konvensi Ramsar; c. Cagar Biosfer; d. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES); e. Konvensi Keanekaragaman Diversity/ CBD).
Hayati
(Convention
on
Biological
Pasal 170 (1) Pemerintah Pusat dapat mengajukan kawasan konservasi menjadi Situs Warisan Dunia atau Situs Ramsar kepada Organisasi Internasional yang berwenang. (2) Pemerintah Pusat dapat mengajukan kawasan konservasi menjadi zona inti Situs Cagar Biosfer kepada Organisasi Internasional yang mengurusinya, serta mengelolanya bersama kawasan di sekitarnya di dalam kerangka pengelolaan Cagar Biosfer. (3) Pengajuan usulan kawasan konservasi untuk menjadi situs-situs internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) didasarkan pada rekomendasi dari: a. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; b. pemangku kepentingan yang berkaitan; dan c. Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati. (4) Situs-situs internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) wajib dikelola sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Organisasi Internasional yang mengurusinya.
Pasal 171 (1) Pengelolaan Situs Cagar Biosfer sebagaimana dimaksud pada Pasal 209 ayat (3) dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi setempat. (2) Dalam hal pengelolaan Situs Cagar Biosfer, Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk Badan Pengelola Cagar Biosfer.
BAB XI KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Pasal 172 (1) Dalam hal mendukung penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati, Presiden membentuk Komisi Konservasi Keanekaragaman
- 55 -
Hayati berdasarkan usul Menteri. (2) Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diketuai oleh perwakilan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang beranggotakan para pihak.
Pasal 173 Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati bertugas: a. melakukan pengkajian dan penelitian dalam rangka pemberian rekomendasi kepada Menteri mengenai penetapan dan/atau perubahan status sumber daya genetik spesies target, kategorisasi pelindungan spesies dan kategori kawasan konservasi; b. menyusun prosedur tetap untuk implementasi pelaksanaan tugas Komisi, dalam rangka pemberian rekomendasi kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan c. menampung dan menindaklanjuti usulan masyarakat mengenai konservasi keanekaragaman hayati.
Pasal 174 Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati berwenang memberikan rekomendasi terhadap: a. penetapan dan perubahan spesies target bagi pelindungan sumber daya genetik; b. penetapan spesies-spesies satwa kharismatik; c. penetapan dan perubahan kategori spesies dilindungi; d. perburuan terkendali di dalam kawasan konservasi dalam rangka mengoptimalkan daya dukung terhadap spesies; e. pengajuan usulan kawasan konservasi untuk menjadi situs-situs internasional; f. perubahan dari satu kategori kawasan konservasi ke kategori lainnya; dan g. pencadangan areal.
Pasal 175 Apabila Komisi Keanekaragaman Hayati belum terbentuk, semua keputusan Menteri mengenai penetapan dan perubahan status sumber daya genetik spesies target, kategorisasi pelindungan spesies dan kategorisasi kawasan konservasi didasarkan pada rekomendasi dari Otorita Ilmiah. Bagian Kedua Dewan Pengelola Sumber Daya Genetik
- 56 -
Pasal 176 (1) Dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan yang terasosiasi dengan sumber daya genetik, Presiden membentuk Dewan Pengelola Sumber Daya Genetik. (2) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan unsur Kementerian dan Lembaga serta unsur masyarakat yang terkait dengan sumber daya genetik. (3) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Menteri sebagai Ketua Dewan. (4) Kepala Sekretariat melaksanakan tugas sehari-hari Dewan. (5) Menteri menetapkan Kepala Sekretariat dan anggota Sekretariat.
Pasal 177 Dewan bertugas : a. mengkoordinasikan Kementerian dan Lembaga yang berwenang atas izin akses dan izin pengembangan; b. menyusun pedoman akses dan pembagian keuntungan bagi Pemerintah dan masyarakat; c. mengembangkan sistem basis data dan informasi serta menyediakan informasi tentang akses terhadap sdg dan pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengannya; d. mewakili negara sebagai Pumpunan Kegiatan Nasional (national focal point); e. memberikan rekomendasi penerbitan izin akses kepada Otoritas Nasional yang Kompeten (national competent authority); f. menunjuk satu atau beberapa lembaga yang berwenang sebagai Otoritas Nasional yang Kompeten ( national competent authority); g. melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan Otoritas Nasional yang Kompeten (national competent authority);dan h. mewakili negara dalam sengketa hak kekayaan intelektual terkait sumber daya genetik dan pengetahuan yang terasosiasi dengannya. Bagian Ketiga Otoritas Nasional yang Kompeten
Pasal 178 Otoritas Nasional yang Kompeten sebagaimana dimaksud pada Pasal 176 huruf e, f, dan g bertugas: a. memberikan izin akses; b. mengeluarkan bukti tertulis bahwa semua persyaratan akses telah ditempuh;
- 57 -
c. memberikan informasi terkait dengan prosedur dan persyaratan untuk memperoleh PADIA dan Kesepakatan Bersama; dan d. menyampaikan laporan dan informasi Bersama (MAT), Izin, kepada Dewan.
PADIA,
Kesepakatan
BAB XII PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 179 Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang konservasi keanekaragaman hayati. Pasal 180 (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya menegakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
Pasal 181 Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 179 huruf b meliputi: a. penghentian sementara kegiatan; b. pemindahan sarana kegiatan; c. pembongkaran; d. penyitaan barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; dan/atau e. tindakan lain yang bertujuan menghentikan pelanggaran. Pasal 182 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengembangan sumber daya genetik dengan PADIA akses, PADIA pengembangan dan/atau kesepakatan bersama yang tidak sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Menteri dikenai pencabutan izin pengembangan. Pasal 183 Setiap pemegang izin pengembangan yang tidak melaporkan hasil kegiatan akses sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terasosisasi dengan sumber daya genetik dikenai sanksi pembekuan izin pengembangan.
- 58 -
Pasal 184 Lembaga konservasi yang memperlakukan satwa yang dilindungi tidak sesuai prinsip-prinsip kesejahteraan satwa dikenai pencabutan izin lembaga konservasi. Pasal 185 Setiap pemegang izin pemanfaatan ekosistem restorasi yang tidak membayar iuran atau pungutan yang dipertimbangkan dengan biaya operasional restorasi ekosistem dikenai teguran tertulis. Pasal 186 Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditaati, pemegang izin pemanfaatan ekosistem restorasi dikenai paksaan pemerintah. Pasal 187 (1) Setiap pemegang izin pemanfaatan ekosistem restorasi yang tidak melakukan pengamanan pada areal yang akan direstorasi dikenai teguran tertulis. (2) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditaati, pemegang izin pemanfaatan ekosistem restorasi dikenai paksaan pemerintah dan/atau pencabutan izin pemanfaatan ekosistem restorasi. Pasal 188 (1) Setiap pemegang izin pemanfaatan jasa lingkungan dan/atau jasa ekosistem yang tidak melaksanakan standar dan teknologi untuk kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dikenai sanksi pembekuan izin pemanfaatan jasa lingkungan dan/atau jasa ekosistem. (2) Dalam hal pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditaati, pemegang izin pemanfaatan ekosistem restorasi dikenai pencabutan izin pemanfaatan ekosistem restorasi. BAB XIII INSENTIF DAN DISINSENTIF Pasal 189 (1) Insentif dan/atau disinsentif dalam Undang-Undang ini dikhususkan kepada kegiatan dalam bidang konservasi keanekaragaman hayati. (2) Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota dapat bekerja sama dengan instansi dan/atau pihak terkait dalam memberikan insentif dan/atau disinsentif. Pasal 190 Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1) diberikan oleh Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota dalam bentuk moneter dan/atau non-moneter kepada setiap orang yang memenuhi kriteria tertentu .
- 59 -
Pasal 191 Setiap orang dan penegak hukum yang berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berhak mendapatkan insentif dari Pemerintah. Pasal 192 Pemerintah harus memberikan insentif atas pengembalian sebagian atau seluruh hak atas tanah negara yang ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. Pasal 193 Disinsentif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1) setidaknya meliputi: a. penundaan penjualan produk; b. embargo kegiatan-kegiatan yang berafiliasi dengan pelanggar; c. penundaan registrasi paten atau lisensi; d. pemberian tanda daftar hitam; e. pengenaan pajak yang tinggi; dan/atau f. pelaporan tindakan pelanggaran kepada Sekretariat Protokol Nagoya. BAB XIV KETENTUAN PIDANA
Pasal 194 Setiap orang yang mengambil sumber daya genetik tanpa izin akses dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 195 Setiap orang yang melakukan akses terhadap sumber daya genetik dengan tidak memenuhi syarat-syarat Persetujuan yang Diberitahukan Atas Informasi Awal (PADIA) dan batasan-batasan yang disetujui bersama dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 196 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengembangan sumber daya genetik tanpa izin pengembangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 197 Setiap orang yang membawa sumber daya genetik ke luar negeri tanpa izin pengeluaran dan dokumen persetujuan pemindahan material dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
- 60 -
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 198 Setiap orang yang membawa atau mengangkut sampel atau contoh materi genetik untuk tujuan pemanfaatan ke tempat yang tidak sesuai sebagaimana tercantum dalam izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 199 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 200 Setiap orang yang melakukan penelitian dan/atau pengembangan produk rekayasa genetik tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 201 Setiap orang yang menjual, membeli, atau memperdagangkan tumbuhan spesies dilindungi dalam keadaan hidup atau bagianbagiannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).
Pasal 202 Dalam hal perbuatan menjual, membeli, atau memperdagangkan dilakukan terhadap tumbuhan spesies dilindungi dalam keadaan mati atau bagian-bagiannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 203 Setiap orang yang menghadiahkan, menerima, menukar, menerima tukaran, dan/atau menerima titipan atau hadiah berupa tumbuhan dilindungi dalam keadaan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 204 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau kemandulan tumbuhan dilindungi atau satwa
- 61 -
dilindungi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 205 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan kematian tumbuhan dilindungi atau satwa dilindungi dan musnahnya spesimen dilindungi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 206 Setiap orang yang mengangkut, membawa tumbuhan dilindungi dalam keadaan hidup, bagian-bagiannya atau turunannya tanpa disertai surat izin angkut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Pasal 207 Setiap orang yang menawarkan satwa dilindungi dalam keadaan hidup atau mati dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 208 Setiap orang yang memasukkan, menawarkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau mengumpulkan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati beserta dengan spesimennya ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling banyak 15 (lima belas) tahun dan denda palin sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 209 Setiap orang yang melakukan kegiatan yang mengakibatkan timbulnya luka bagi satwa yang dilindungi dipidana dengan penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 210 Setiap orang yang melakukan kegiatan yang mengakibatkan matinya satwa yang dilindungi dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 211 Setiap orang yang memberikan pernyataan di media elektronik, cetak, atau sejenisnya tentang penguasaan, pemilikan, perburuan, pembunuhan jenis yang dilindungi tanpa izin, dipidana dengan pidana
- 62 -
paling lama 2 (dua) tahun atau 2.000.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
denda
paling
banyak
Rp.
Pasal 212 Setiap orang yang mengubah kontur, bentang atau bentuk lahan atau kontur lahan yang dapat berakibat kerusakan dan/atau hilangnya fungsi ekosistem di kawasan konservasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 213 Setiap orang yang melakukan kegiatan yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup di dalam kawasan Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 214 Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di luar kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional yang mengakibatkan dampak kepada kawasan Cagar Alam dan/atau Zona Inti Taman Nasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 215 (1) Setiap orang yang mengambil dan/atau memindahkan tumbuhan atau satwa yang secara alami berasal dari dalam kawasan konservasi, benda mati yang secara alami berada di dalam kawasan konservasi, dan/atau sarang satwa liar keluar kawasan konservasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling banyak 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada kawasan cagar alam dan/atau zona inti taman nasional, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling banyak 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 216 Setiap orang yang mengganggu satwa liar dengan atau tanpa alat dan/atau merusak sarang satwa liar dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
- 63 -
Pasal 217 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup di dalam kawasan Taman Nasional selain zona intinya atau Taman Wisata Alam dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 218 Tindak pidana korporasi di bidang keanekaragaman hayati dilakukan jika dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 219 Pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi.
Pasal 220 (1) Dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi menyangkut kawasan konservasi atau kawasan ekosistem esensial, pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku ditambah dengan pidana untuk melakukan rehabilitasi kawasan dan kerja sosial di bidang konservasi keanekaragaman hayati sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun. (2) Selain pidana pokok, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa: a. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan; b. pengumuman putusan hakim; c. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; d. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau e. pengambilalihan korporasi oleh negara.
BAB XV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 221 (1) Paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah Pusat berkewajiban untuk membentuk badan khusus yang bertugas untuk menyelesaikan konflik-konflik konservasi masa lalu. (2) Penyelesaian konflik masa lalu dilakukan melalui pengakuan hak
- 64 -
masyarakat dalam konservasi diantaranya : a. pelindungan hak hidup dan hak berbudaya dan pelindungan wilayah hidup di dalam kawasan; b. pelindungan hak perdata, hak tradisional, dan hak asal-usul dalam kawasan; c. kompensasi dan/atau ganti rugi atas hilangnya hak; d. relokasi dengan pemenuhan hak asasi manusia; e. melibatkan masyarakat dalam setiap perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi; f. melakukan pemberdayaan dalam rangka menyesuaikan pola ekonomi yang sesuai dengan tujuan konservasi.
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 222 (1) Pada saat berlaku Undang-Undang ini maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 3419) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksana dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 223 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang tentang Keanekaragaman Hayati ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
- 65 -
REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY