1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sastra adalah karya kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan (Sumardjo, Jakob dan Saini K.M, 1994:2). Seni merupakan suatu wujud ungkapan pengalaman dan merupakan hasil kreatifitas manusia dalam menghayati dan memberi makna kehidupan. Seni yang ada pada sastra terwujud dalam bentuk penyampaian isi hati dan perasaan tentang apa yang dialami atau disaksikan, gagasan, bahkan cita-cita dari diri seorang seniman. Pengungkapan isi hati dan perasaan yang layak menjadi karya seni harus memenuhi hukum-hukum estetis yang berlaku. Isi dari sebuah karya seni terjelma dalam suatu bentuk dan mampu mencitrakan isi dengan cara yang serasi (Mangunhardjana via Evita, 2011: 1). Menurut Wellek dan Warren, sastra adalah suatu kegiatan kreatif. Karya sastra merupakan suatu hasil proses angan-angan, khayalan, atau imajinasi pengarang. Selain bersifat imajinatif, karya sastra juga berangkat dari realitas sosial. Dalam proses penciptaan karya sastra, bergantung pada kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Oleh karenanya, karya sastra merupakan cerminan sosial masyarakat yang diangkat dari berbagai permasalahan sosial di lingkungannya (1993:3). Salah satu karya seni yang diciptakan manusia untuk dapat dinikmati orang lain adalah film (Ismail, 1983:13). Film merupakan sebuah karya imajinasi yang 1
2
disajikan secara khusus, yakni dengan media layar. Film memiliki tanda-tanda yang mampu menciptakan ekspresi. Hal ini dikarenakan film tidak hanya menampilkan bentuk visual, tetapi juga suara-suara yang berasal baik dari dialog maupun latar suara dalam adegan. Hal yang terpandang oleh mata dan yang terdengar oleh telinga akan lebih cepat dan mudah ditangkap oleh penonton dibandingkan dengan bacaan. Dengan kata lain, film merupakan media yang sangat mudah dimengerti oleh penonton karena konsep tampilan audio visualnya. Wujud indah dari sebuah karya bernama film memiliki dan memenuhi hukum-hukum estetis. Tidak hanya menampilkan nilai estetis saja, pembuat film menyampaikan maksud, tujuan, dan pesan kepada penontonnya melalui sebuah isi. Isi dalam sebuah film tertuang dalam bentuk gagasan-gagasan tertentu tentang sebuah kenyataan. Film-film dominan menampilkan konflik-konflik yang berangkat dari sebuah realita. Penyelesaian konflik-konflik yang sedemikian rupa mempunyai tujuan untuk membuat makna dunia menjadi trasnparan. Dengan demikian, posisi menonton film merupakan perkembangan dari produk teks film (Hollows, 2010:60) Dibanding pertunjukan seni lainnya, film memiliki daya tarik yang lebih istimewa (Mangunhardjana via Evita, 2011:2). Dengan menonton film, penonton mengalami sebuah perubahan pemikiran karena telah dipenuhi oleh gagasan, pendapat, pendangan, atau cita-cita yang disuguhkan. Penikmat film mampu disuguhkan pemandangan yang indah dan wajah-wajah pemain film yang rupawan melalui indera penglihatan. Selain itu sebenarnya penonton telah diajak mengalami suatu bentuk kehidupan lain yang ada dalam film. Salah satu kriteria sebuah film
3
dikatakan sukses adalah jika film tersebut mampu membuat penonton ikut merasakan dan masuk ke dalam sebuah kehidupan yang ada dalam film. Permasalahan yang diangkat dalam sebuah karya sastra maupun seni, dalam hal ini film, seringkali berupa kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat seperti, percintaan, kejahatan, perekonomian, rumah tangga, bahkan masalah perempuan. Di mana pun perempuan menarik untuk dibicarakan. Perempuan merupakan sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, perempuan merupakan simbol keindahan karena pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi lain, ia dianggap lemah. Anehnya kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi perempuan (Sugihastuti dan Soeharto, 2002:32). Perempuan seringkali digambarkan sebagai kaum inferior yang selalu didominasi oleh kaum-kaum laki-laki dan terpenjara dalam sektor domestik sehingga membuat perempuan dianggap tidak pantas dan sering muncul penindasan (Djajanegara, 2000: 16-17). Sejak pertengahan tahun 1970-an dan seterusnya, banyak feminis yang bergelut dengan film, media, dan kajian budaya yang mengalihkan perhatiannya pada citra untuk perempuan. Thornham menyatakan sejak tahun 1971, hubungan antara feminis dan film sudah dimantapkan dengan peluncuran jurnal film feminis pertama, Women and Film, di Amerika. Feminis pada masa itu menggandrungi film dokumenter seakan film dokumenter adalah praktik film yang bisa merepresentasikan perempuan dan perkara feminis dengan sangat akurat dan jujur (Hollows, 2010:5157).
4
Banyak kritikus feminis yang beralih ke film perempuan untuk mengungkap identifikasi film dengan memberikan kesempatan bagi penontonnya, khususnya penonton perempuan untuk memberikan penolakan terhadap patriarki.
Mulvey
(dalam Hollows, 2010:69) menemukan bahwa dalam melodrama-melodrama dengan tokoh utama perempuan dan mengutamakan sudut pandang perempuan, serta menampilkan kontradiksi yang dihadapi perempuan di bawah patriarki tidak dapat dipecahkan oleh narasinya. Melodrama-melodrama film yang menampilkan hal tersebut mampu menyalurkan perasaan frustasi yang dihadapi oleh perempuan. Film dapat pula dianggap sebagai teks progresif yang memberikan perempuan dengan kesan kontradiksi atas patriarki. Dengan demikian, film perempuan dianggap sebagai identitas yang menawarkan sesuatu untuk perempuan dan juga feminisme. Film perempuan sudah menjadi kategori film penting dalam industri perfilman karena target penontonnya perempuan. Alasan ini yang menjadikan filmfilm bertemakan perempuan menarik sebagian besar kritikus feminis. Film perempuan merupakan sebuah kategori yang berkaitan dengan berbagai macam genre. Meskipun berkaitan dengan berbagai genre, film perempuan masih memungkinkan untuk mengidentifikasi sejumlah ciri-ciri utama yang justru mampu memunculkan sebuah koherensi (Hollows, 2010:52). Film perempuan dibedakan oleh tokoh utamanya yang perempuan, sudut pandang perempuan, dan narasinya yang sering kali berkutat di sekitar realisme tradisional pengalaman perempuan: keluarga, rumah tangga, dan percintaan–wilayah yang cinta, emosi, dan pengalaman terjadi sebelum munculnya tindakan atau
5
peristiwa. Salah satu aspek penting dari genre ini adalah adanya suatu tempat mencolok yang sesuai dengan hubungan antara perempuannya (Maria LaPlace via Hollows, 2010:52-53). Film juga merefleksikan citra perubahan perempuan dan sering kali menampilkan perempuan yang terdistorsi. Oleh sebab itu, film perempuan mencoba menghubungkan fokus pada penggambaran perempuan dalam kritik sosiologis, yang menjadi keprihatinan sinefeminis, dengan figur perempuan (Patricia White via Hollows, 2010:53). Menurut Mulvey (via Hollows, 2010:66), feminisme memerlukan sinema yang secara politik dan estetika mampu membuat gebrakan radikal untuk menentang ideologi patriarki. Patriarki, berdasarkan konsep yang dirumuskan oleh para feminis radikal, adalah struktur yang tidak fleksibel dan tidak memberikan ruang untuk penolakan ataupun perubahan dan juga mengimplikasikan suatu bentuk universal penindasan yang berdasarkan pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki (Hollows, 2010:11). Sebagai salah satu bentuk budaya populer, sinema adalah sistem formulaik dan repetitif penting yang mereproduksi ideologi dominan (Jancovich via Hollows, 2010:60). Menurut Kuhn (via Hollows, 2010:60) kreasi konteks feminis, dalam hal ini film, mampu mendidik penonton perempuan yang pasif dan mengubahnya menjadi penonton feminis yang aktif. Posisi semacam itu bersandar pada anggapan bahwa perempuan biasa yang termasuk dalam golongan menonton dengan pasif mampu terlibat dengan ideologi patriarki yang terdapat dalam sinema populer.
6
Menurut Aripurnami, corak cerita film yang paling baik untuk mengamati cara perempuan digambarkan adalah corak cerita drama. Hampir semua film yang bercorak cerita drama mengambil tokoh sentral seorang perempuan dan berusaha untuk mengetengahkan kejadian yang muncul dalam kehidupan sehari-hari (Aripurnami via Evita, 2011:4). Pernyataan tersebut relevan dengan film yang dijadikan objek untuk diulas dalam penelitian ini. Film “7 월 32 일” yang kemudian diterjemahkan July 32nd adalah salah satu film yang mengangkat tentang praktek prostitusi perempuan di Korea Selatan. Film ini menceritakan sebuah kisah hidup seorang perempuan yang hidup dengan menerima nasib sebagai perempuan pekerja di sebuah prostitusi karena keterpaksaan. Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi tertentu (Ridwan, 2006: 30). Film “7 월 32 일” atau July 32nd adalah film drama indie Korea yang mencekam. Film ini disutradarai oleh Jin Seung Hyun dan diangkat dari cerita pendek berjudul “Full Moon” yang ditulis oleh Ko Un. “7 월 32 일” atau July 32nd bukanlah film yang mengisahkan kebahagiaan di akhir cerita, melainkan film yang mengangkat tema tentang balas dendam, kesendirian, dan prostitusi. Film yang berdurasi 100 menit ini juga sukses di beberapa festival, seperti di Fukuoka dan Shanghai. Film “7 월 32 일” atau July 32nd merupakan sebuah film dengan genre drama yang bersetting di Busan, Korea Selatan pada tahun 1987. Film ini menghadirkan beberapa pemain seperti Park Eun-soo, Seung Hye-rim, Kim Jung-kyun,
7
Kim Min-Gi. Film yang diproduksi secara indie ini tampak seperti film profesional.
Meskipun film ini mirip dengan drama televisi, “7 월 32 일” atau July 32nd mampu menampilkan
beberapa
angle
melalui
kerja
kamera
(www.beyondhollywood.com/july-32nd-2010-movie-review/).
yang
Beberapa
baik adegan,
seperti adegan telanjang dan kekerasan oleh Seung Hye Rim dan Kim Jung Kyun ditampilkan secara vulgar dalam film ini. Film ini mengangkat tema ketidakadilan gender dari seorang tokoh perempuan bernama Kkotnim yang mengalami keterpaksaan hidup di lingkungan prostitusi sejak kecil. Tokoh Kkotnim dalam film merupakan gambaran seorang perempuan yang kehidupannya berakhir karena tidak bisa melindungi vaginanya (kelamin) yang merupakan bagian terpenting bagi seorang perempuan. Tokoh ini harus mengakhiri hidupnya karena menderita penyakit kanker serviks akibat pekerjaannya sebagai perempuan penghibur prostitusi. Pekerjaan sebagai pelacur bukanlah kemauannya. Ia melakukannya karena keterpaksaan. Pertama karena ia dijual sejak kecil ke rumah bordil dengan tujuan untuk melunasi hutang-hutang yang sama sekali bukan miliknya. Kedua, karena kondisi ekonomi yang mendesak Kkotnim untuk menjual diri karena keputusasaan untuk bisa bertahan hidup. Selain mengangkat tema feminis, film “7 월 32 일”
atau July 32nd
memunculkan adanya dominasi citra tokoh perempuan yang memiliki relasi cukup kuat dengan tokoh laki-laki. Keterbatasan pilihan yang dimiliki oleh tokoh perempuan, Kkotnim juga ditampilkan dalam film ini. Film ini juga mengangkat tema
8
seks yang berusaha menunjukkan adanya bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap kaum perempuan. Inferioritas, marginalisasi, stereotip, bahkan beban kerja dialami oleh tokoh perempuan karena status sosial pekerjaannya sebagai pelacur. Beberapa adegan dalam film ini pun ditampilkan secara vulgar. Hal ini semakin memperjelas adanya bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis yang diterima oleh tokoh perempuan. Untuk mengkaji film dengan genre perempuan, perlu adanya pisau bedah untuk bisa menganalisisnya. Salah satu pisau bedah untuk mengkaji film dengan genre perempuan adalah dengan pendekatan kritik film feminis. Kritik film feminis yang menyertai sebuah film terkadang cenderung merumitkan, bahwa kenyataannya teks mampu mencerminkan sebuah kenyataan. Produk kritik film merupakan produk yang didasari oleh pemikiran dari strukturalisme, semiotik, dan psikoanalisis. Strukturalisme dan semiotik yang ada pada produk film memberikan suatu cara pemahaman akan cara teks mampu mengkonstruksi dan mereproduksi gagasan tentang apa itu kenyataan, bukan sekedar merefleksikan kenyataan (Hollow, 2010:5859). Haskel dan Rosen (via Hollows, 2010: 57) beranggapan bahwa pesan suatu film dapat ditransmisikan tanpa masalah kepada penonton yang pasif. Namun, yang menjadi hal penting adalah hubungan antara teks dalam film dengan konteks historis film diproduksi dan dikonsumsi. Dalam penelitian ini, lingkup penelitian yang digunakan untuk menganalisis bentuk ketidakadilan gender dalam film “7 월 32 일”
9
(July 32nd ) lebih mengarah pada operasi teks script film. Dengan melakukan operasi teks film mampu menghasilkan perempuan sebagai citra (Hollow, 2010:58). Script dalam film merupakan salah satu bentuk karya imajinatif. Oleh karena penelitian ini mengarah pada kajian film melalui teks atau script film, penelitian ini menggunakan metode analisis kritik sastra feminis sebagai pisau bedah. Terkait dengan judul penelitian, dengan menganalisis bentuk ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh utama film ““7 월 32 일” ” atau July 32nd mampu mengidentifikasi apa saja bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan representasi ketimpangan hak antara kaum perempuan dan laki-laki. Dalam kasus ini, laki-laki biasanya mendapat banyak keistimewaan dibanding perempuan. Fakih berasumsi bahwa ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang telah mengakar dalam adat istiadat masyarakat banyak etnik dalam kultur suku-suku bahkan terjadi di lingkungan rumah tangga (1996:12).
Dengan
mengidentifikasi
bentuk
ketidakadilan
gender
mampu
memunculkan ide-ide feminis sebagai bentuk perlawananya. Ide-ide feminis tersebut yang nantinya mampu menghidupkan pola pikir kaum perempuan untuk mendobrak dominasi laki-laki, khususnya dalam budaya patriarki.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian ini memfokuskan analisis terhadap film “7 월 32 일” atau July 32nd . Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penlitian ini adalah.
10
a. Identifikasi tokoh perempuan dan laki-laki. b. Bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh perepuan dalam film “7 월 32 일” atau July 32nd. c. Ide-ide feminis yang terdapat dalam film ”“7 월 32 일” ” sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk ketidakadilan gender.
1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Tujuan Akademis: a. Untuk mengidentifikasikan tokoh-tokoh yang ada dalam film “7 월 32 일” b. Untuk menganalisis bentuk ketidakadilan gender terhadap tokoh perempuan dalam film “7 월 32 일” atau July 32nd. c. Untuk mengangkat ide-ide feminis sebagai bentuk perjuangan melawan ketidakadilan gender dalam film “7 월 32 일” atau July 32nd. Tujuan Praktis: a. Menambah wawasan dan pemahaman tentang film ”7 월 32 일” atau July 32nd dengan sudut pandang feminisme. b. Membuka wacana pembaca mengenai bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, serta usaha-usaha apa saja
11
yang harus dilakukan oleh perempuan untuk berjuang melawan ketidakadilan gender.
1.4.Tinjauan Pustaka Beberapa studi dan penelitian mengenai kajian feminisme telah banyak dilakukan. Pada intinya, penulisan dan penelitian mengenai kajian feminisme adalah usaha untuk menarik benang merah, yaitu kesamaan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang selalu tertindas dan dinomorduakan karena dominasi laki-laki. Oleh karenanya, dengan penelitian mengenai kajian feminis dapat menjadi salah satu cara untuk membuka pikiran kaum perempuan lain agar tidak ada lagi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Evita dalam karya skripsinya tahun 2011 mengangkat tema feminis yang sama dengan judul Ide Ide Feminis Sebagai Resistensi Terhadap Ketidakadilan Gender : Kajian Krtik Feminis Terhadap Film Hwang Jin Yi. Penelitian ini menggunakan perspektif feminis sosialis. Pada film Hwang Jin Yi terdapat tokoh-tokoh profeminis maupun kontrafeminis. Penelitian ini mengungkap tentang masalah ketidakadilan gender yang mendominasi dalam film, seperti subordinasi dan marginalisasi perempuan. Selain itu, penelitian ini juga mengangkat ide-ide feminis yang muncul dari tokoh perempuan sebagai bentuk resistensi terhadap bentuk ketidakadilan gender. Agung Laksono tahun 2009 menulis skripsi dengan judul Analisis Historis Film”화려한 휴가” [Hwaryeohan Hyuga]. Penelitian ini mengkaji isi film yang
12
diangkat dari sejarah tragedi Gwangju di Korea Selatan tahun 1980. Kajian film tersebut kemudian dibandingkan kesesuaiannya dengan peristiwa sebenarnya. Melalui penelitian ini, mampu menjadi acuan untuk melakukan penelitian dengan objek yang sama, yakni mengkaji isi film. Skripsi karya Dian dari sastra Indonesia UGM juga mengusung tema yang sama dengan judul Kekerasan Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel “Wajah Sebuah Vagina” Karya Naning Pranoto: Analisis Kritik Sastra Feminis. Penelitian ini mengidentifikasi tokoh perempuan dan laki-laki baik yang profeminis maupun yang
kontrafeminis.
Selain
itu,
penelitian
ini
juga
menganalisis
objek
permasalahannya, yakni kekerasan terhadap tokoh perempuan dalam novel dengan kajian feminis sosialis. Skripsi karya Muhamad Yasir Al Haris tahun 2012 dengan judul Ketidakadilan Gender dalam Dwilogi Novel “Padang Bulan” dan “Cinta di dalam Gelas” Karya Andrea Hirata: Kajian Kritik Sastra Feminis berusaha untuk mengetahui segala bentuk ketidakadilan gender terhadap tokoh-tokoh perempuannya. Bentuk ketidakadilan gender dari hasil penelitian ini berupa stereotip dan kekerasan terhadap perempuan. Adanya bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam dwilogi novel karya Andrea Hirata memunculkan ide-ide perlawanan yang dilakukan tokoh-tokoh di dalamnya. Penelitian ini dikaji dengan kritik sastra feminis perspektif feminis liberal. Hampir sama dengan skripsi karya Muhammad Al Haris, Hidayah Budi Qur’ani tahun 2012 menulis skripsi dengan judul Ketidakadilan Gender dalam Novel
13
“Pecinan” karya Ratna Idraswari Ibrahim: Kajian Kritik Sastra Feminis. Penelitian ini merumuskan masalah seperti, bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan ide-ide feminis yang terdapat dalam novel sebagai bentuk perjuangan perempuan untuk mengakhiri ketidakadilan gender. Kajian dalam novel ini menggunakan pendekatan feminisme liberal. Meskipun penelitian mengenai kajian kritik sastra feminis terhadap beberapa karya sastra telah banyak dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal yang membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada adalah perbedaan objek kajian penelitian. Objek kajian dalam penelitian ini adalah film Korea yang termasuk dalam film indie yang mengusung tema perempuan. Hal ini yang membuat film ini mampu merepresentasi feminisme yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat Korea. Selain itu, beberapa penelitian tentang kritik sastra feminis yang mengkaji film Korea cenderung mengkaji film dengan setting Korea pada masa kerajaan. Film ”7 월 32 일” atau July 32nd merupakan film dengan setting tahun 1987 dan berada di luar tema historis Korea. Dengan adanya beberapa pertimbangan tersebut, penelitian ini menjadi penelitian baru yang berbeda daripada penelitian-penelitian yang lain.
1.5.Landasan Teori Untuk mengetahui bentuk ketidakadilan gender terhadap tokoh perempuan dalam film ”7 월 32 일”, dilakukan analisis dengan menggunakan teori Feminisme
14
dan Teori Gender. Pada umumnya orang-orang mengira bahwa feminisme adalah gerakan untuk memberontak kaum laki-laki serta melawan pranata sosial seperti, institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha perempuan mengingkari kodratnya. Namun, justru dengan keadaan seperti itu feminis kurang mendapat tempat di kalangan masyarakat (Fakih, 1996:78). Feminis itu seperti aliran pemikiran dan gerakan lainnya, bukan merupakan suatu aliran tunggal melainkan terdiri atas pelbagai ideologi, paradigma, serta teori. Meskipun berangkat dari berbagai analisis ideologi yang berbeda, mereka tetap mempunyai kesamaan kepedulian, yakni memperjuangkan nasib perempuan. Feminisme menurut Goefe (via Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007:93) adalah teori tentang persamaan laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya upaya untuk mengakhiri segala bentuk penindasan dan pengeksploitasian (Fakih, 1996: 79). Secara leksikal kata tindas ,yang rmerupakan kata dasar dari ditindas, penindasan, maupun menindas, memiliki arti memperlakukan dengan sewenang-wenang; menggencet; memperkuda (KBBI, 2008: 1467). Untuk kata eksploitasi secara leksikal mempunyai arti pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (KBBI, 2008: 359). Kedua kata tersebut memiliki benang merah yang sama dalam arti, yakni melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada orang lain.
15
Pandangan yang berperspektif feminis adalah bahwasanya perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dalam arti leksikal, menurut Moeliono, dkk (1998:241) feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Feminis berangkat dari adanya anggapan bahwa kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat tidak lebih tinggi dari laki-laki. Kaum feminis berusaha untuk memperjuangkan hak asasi agar terdapat kesamaan antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Feminisme berasal dari kata femme (woman), dapat berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Kutharatna, 2007: 184) Hakikat perjuangan feminis pada dasarnya adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah (Fakih, 1996: 79). Menurut Djajanegara, inti dari tujuan feminis adalah menyamakan kedudukan serta derajat perempuan dengan laki-laki. Perjuangan serta usaha feminis dilakukan dengan berbagai cara untuk mencapat tujuan ini. Salah satunya adalah dengan memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Cara lainnya adalah dengan membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (2000:4). Feminisme tidaklah sama dengan istilah emansipasi. Emansipasi lebih mengarah pada keikutsertaan perempuan dalam pembangunan tanpat mempedulikan ketidakadilan gender, sedangkan feminisme lebih cenderung memperosalkan apa yang menjadi hak-hak perempuan atas ketidakadilan. Dalam pandangan feminisme,
16
perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut melalui berbagai gerakan (Sofia danSugihastuti, 2003:4). Beberapa aliran dalam feminisme antara lain feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme kapitalis, dan feminisme sosialis. Menurut Tong (2006:48), feminisme liberal bertujuan membebaskan perempuan dari tempat yang dianggap lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan di berbagai bidang. Feminis radikal menganggap penyebab adanya penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki dikarenakan adanya akar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri berserta ideologi patriarkinya (Fakih, 1996:85). Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan, menurut Jaggar (via Fakih, 1996:85). Aliran feminisme yang ketiga adalah kapitalis yang menganut paham Karl Marx. Pada zaman kapitalisme hubungan suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis. Penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan karena menguntungkan (Fakih, 1996:87). Oleh karena itu, penganut aliran feminis kapitalis memiliki tujuan unutuk menjadikan kemandirian dan kesjahteraan ekonomi bagi perempuan. Bentuk aliran feminisme yang selanjutnya adalah feminisme sosialis. Bagi feminisme sosialis, ketidakadilan gender bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena penilaian dan anggapan terhadap perempuan itu (Fakih, 1996:92). Ketidakadilan itu disebabkan karena manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi
17
sosial. Feminisme sosialis menggunakan fakta universal subordinasi perempuan dan menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Kritik feminis dalam kesusastraan dikenal sebagai kritik sastra feminis. Menurut Showalter (via Soeharto dan Sugihastuti. 2002: 18), kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca dari sebuah karya sastra adalah perempuan yang membawa persepsi dan harapan ke dalam pengamatan sastranya. Menurut Yoder (via Sugihastuti dan Suharto, 2002:5), kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik berjenis kelamin perempuan, kritik tentang perempuan, bahkan bukan kritik tentang pengarang perempuan. Secara sederhana kritik sastra feminis adalah kritik yang dipandang dengan kesadaran khusus bahwa adanya jenis kelamin memiliki kaitannya yang erat dalam hal budaya, sastra, dan kehidupan. Secara sederhana, Sugihastuti, memberikan makna kritik feminis sebagai kritik sastra yang disesuaikan dengan pandangan dan kodrat perempuan. Kritik sastra feminis diasumsikan dengan reading as woman (Sofia dan Sugihastuti, 2003: 29), yakni pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Konsep dari reading as a woman adalah berusaha untuk menyamakan persepsi antara pengalaman sebagai perempuan dalam struktur sosial dan keluarga dengan pengalaman sebagai pembaca (Culler, 1983:46). Membaca sebagai
18
perempuan berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki dalam patriarkhat. Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat secara sadar membaca karya sastra sebagai perempuan (Soeharto dan Sugihastuti, 2002: 20-21). Karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan untuk dikaji dari segi feministik dengan metode reading as a woman memiliki beberapa langkah. Hal yang pertama dalam kritik feminis adalah, seorang pembaca perempuan berusaha mengidentifikasi tokoh perempuan dan berusaha untuk mengidentifikasi karakter tokoh laki-laki yang memiliki kaitan dengan tokoh perempuan (Culler, 1983:51). Kemudian langkah selanjutnya adalah mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat dan mencari tahu tujuan hidupnya. Lebih lanjut, perilaku dan watak tokoh perempuan dapat terlihat dari gambaran yang ditampilkan secara langsung. Ucapan dan pendirian dari tokoh perempuan juga perlu diperhatikan karena mampu memberikan banyak keterangan tentang tokoh yang bersangkutan (Djajanegara, 2000:51-52). Salah satu pendekatan yang digunakan dalam usaha mengeksplorasi suatu karya sastra dalam kritik sastra feminis adalah memfokuskan perhatian pada perempuan dari sudur pandang salah satu dari empat pemikiran besar feminisme, salah satunya dari perspektif sosialis. Hal tersebut memiliki tujuan untuk mengkritisi masalah
ketertindasan
dan
ketidakadilan
yang
perempuan
alami.
Bentuk
ketertindasan dan ketidakadilan terhadap tokoh perempuan menurut pemikiran feminis aliran sosialis direpresentasikan dalam pemikiran dan tindakan tokoh.
19
Kritik sastra feminis sosialis beranggapan bahwa akar penindasan perempuan berawal dari sistem ekonomi kapitalis yang menempatkan perempuan sebagai penduduk kelas kedua dalam masyarakat kapitalis patriarkat. Laki-laki memiliki kepentingan khusus untuk mendominasi perempuan dengan mengkonstruksikan tatanan institusional sebagai upaya untuk melanggengkan dominasi tersebut (Humm, 2002: 447-448). Menurut feminis aliran ini, penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun sehingga analisis patriarki harus digabungkan dengan analisis kelas. Dengan demikian, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dan disertai sistem ketidakadilan gender (Fakih, 1996: 95). Kritik sastra feminis aliran sosialis juga mengevaluasi konsep penindasan yang terinternalisasi. Feminis sosialis menjelaskan penyebab perempuan tampak berkolusi dengan subordinasi mereka sendiri dan mengabaikan peluang-peluang untuk menolak penindasan, baik secara individual maupun kolektif (Humm, 2002:449). Hal ini dikarenakan oleh cara patriarkat mengkonstruksi psikologi perempuan dan laki-laki. Perempuan akan terus menjadi subordinasi laki-laki hingga pemikirian perempuan dan laki-laki terbebas dari pemikiran bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki (Tong, 2006: 177). Feminisme sosialis bergerak untuk membebaskan perempuan melalui adanya perubahan struktur patriarki. Tujuan perubahan struktur ini adalah untuk pencapaian kesetaraan gender. Dengan terwujudnya kesetaraan gender, maka akan tercipta masyarakat tanpa kelas. Feminis sosialis melakukan hal pertama kali dengan
20
menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah kaum yang tertindas. Penyadaran itu dilakukan dengan membangkitkan emosi perempuan untuk mengubah keadaannya. Emosi yang timbul karena merasa adanya ketidakadilan akan memincu konflik dengan kelompok dominan. Proses penyadaran ini penting karena feminis sosialis berpendapat bahwa masih banyak kaum perempuan yang tidak sadar sebagai kaum yang tertindas. Apabila mereka sadar, perempuan akan menjadi peka gender. Hal ini lah yang diharapkan demi kesetaraan gender (Juliasih-Kusharyanto,2009:151-152). Penelitian ini didasari oleh teori feminis perspektif sosialis karena dalam obyek material film ”7 월 32 일”
banyak terjadi manifestasi ketidakadilan gender
yang diakibatkan karena adanya dominasi patriarki. Konsep yang paling tepat untuk menjelaskan penindasan terhadap perempuan adalah konsep patriarki, yakni suatu sebuah sistem dominasi dan superioritas dalam diri laki-laki, serta sistem control terhadap perempuan sebagai obyek yang dikuasai (Bhasin, 1996:3). Budaya patriarki yang telah tertanam dalam kehidupan masyarakat sejak dulu sangat mempengaruhi munculnya kekerasan. Menurut Ramazanoglu (via Hollows, 2010:8), secara implisit atau eksplisit teori patriarki merupakan teori-teori yang menjelaskan pembentukan dan pemeliharaan dominasi laki-laki dalam aspek sosial, ideologi, seksual, politik, dan ekonomi. Bagi kalangan feminis, patriarki merupakan alat terbaik untuk memahami posisi perempuan yang subordinat (Alexander dan Taylor via Hollows, 2010:11).
21
Beberapa bidang kehidupan perempuan dapat dikatakan berada di bawah patriarki. Menurut Bhasin (1996: 5-10), normalnya beberapa bidang kehidupan perempuan tersebut seperti daya produktif atau tenaga kerja perempuan, reproduksi perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan, gerak perempuan, dan harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya. Sistem patriarki juga memiliki kuasa terhadap lembaga-lembaga dama pranata sosial. Bhasin juga berpendapat bahwa lembaga ekonomi, sosial, dan budaya dikontrol oleh dominasi kaum laki-laki (Bhasin, 1996:11-15). Aplikasi dari sistem patriarki terhadap lembaga tersebut antara lain, seperti keluarga, agama, sistem hukum, sistem ekonomi dan lembaga-lembaga ekonomi, sistem-sistem dan lembaga politik, media, lemabaga-lembaga pendidikan, dan sistem pengetahuan. Feminisme apapun alirannya muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan. Perbedaan itu menurut Fakih, telah sampai pada kriteria sosial dan budaya yang terwakili dua konsep, yaitu jenis kelamin dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik, terutama fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Gender tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis, namun di dalam masyarakat gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin. Konsep ini kemudian melahirkan stereotip perempuan dan laki-laki dan menunjukkan bahwa dikotomi ini membuat perempuan selalu tersubordinasi (1997:6-8).
22
Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan adanya pembentukan, sosialisasi, diperkuat bahkan dikosntruksi secara sosial dan kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap menhadi ketentuan Tuhan yang seolaholah bersifat biologis dan tidak bisa diubah lagi (Fakih, 1996:9). Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah selama tidak menimbuklah ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi permasalahan justru perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap perempuan (Fakih, 1996:12). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang menjadikan baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan gender termanifestasikan dalam perlbagai bentuk ketidakadilan seperti, marginalisasi atau proses pemiskinan, subordinasi atau anggapan tidak penting, dan pembentukan stereotipe melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja berlebih, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1996:12-13). Bentuk manifestasi gender tersebut tidak dapat terpisah-pisah karena saling berkaitan dan berhubungan. Artinya, tidak ada salah satu dari bentuk manifestasi gender yang lebih penting dari bentuk lainnya. Manifestasi gender yang pertama berkaitan dengan marginalisasi perempuan. Marginalisasi merupakan suatu proses pemikiskinan yang bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti penggusuran, bencana alam, atau eksploitasi (Fakih, 1996: 13). Namun, ada pula penyebab marginalisasi yang disebabkan oleh gender, khususnya marginalisasi yang disebabkan oleh sebuah proses sehingga memiskinkan kaum
23
perempuan. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi, dan asumsi ilmu pengetahuan. Salah satu program yang menimbulkan marginalisasi kaum perempuan adalah adanya swasembada pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya. Marginalisasi juga dapat terjadi karena adanya bentuk diskriminasi oleh suatu kaum antara laki-laki dan perempuan yang diperkuat oleh aturan dan norma yang berlaku di masyarakat (Fakih, 1996; 14-15). Bentuk manifestasi terhadap perempuan yang kedua adalah Gender dan Subordinasi. Pandangan gender seperti menganggap bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memipin berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Beberapa anggapan terhadap kaum perempuan, seperti tidak memerlukan pendidikan tinggi termasuk salah satu anggapan yang berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Fakih, 1996: 15-16). Manfiestasi terhadap perempuan yang selanjutnya adalah gender yang berdampak pada stereotype. Secara umum stereotype adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan (Fakih, 1996: 16). Salah satu jenis stereotype bersumber dari pandangan gender. Ketidakadilan gender terhadap jenis kelamin tertentu, khususnya perempuan, banyak yang bersumber dari adanaya stereotip yang dilekatkan kepada mereka. Bahkan banyak aturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena adanya stereotype terhadap jenis kelamin
24
tertentu. Stereotype terbentuk melalui proses sejarah yang panjang karena beberapa faktor seperti dekonstruksi, sosialisasi secara sosial dan kultural yang terbentuk oleh paradigma secara turun menurun diwariskan (Fakih, 1996: 16-17). Stereotype merupakan sebuah istilah yang diambil dari pelabelan yang menunjukkan sesuatu yang terbentuk pasti dan kekurangan originalitasnya, dalam penggunaan umum, peniruannya bisa dilihat sebagai sebuah strategi ideologis yang tidak beraturan yang membatasi binaritas yang berfungsi untuk menguatkan wacana dominan. Misalnya, patriarki seting beroperasi pada tingkat stereotype untuk mengkategorikan peran-peran dan karakteristik perempuan yang dilihat pada dasarnya berbeda dari peran-peran dan karakteristik laki-laki. Dalam perlawanan dikotomi yang kelompok feminine dikategorikan sebagai yang lemah, sedangkan kelompok maskulin adalah yang berani. Seorang perempuan ideal yang distereotipkan adalah istri yang merawat, ibu atau pemikiran yang terbentuk melalui pandangan dalam lingkup laki-laki. Sebaliknya seksualitas perempuan dikonsepkan mengerikan, tidak terpuaskan, dan buas. Patriarki membentuk dan mendefinisikan apa yang secara prototip feminine, berulang-ulang dan tidak berubah, dan kemudian mendorong perempuan untuk mengenali dengan menggunakan gambaran-gambaran stereotipikal ini. Dengan demikian, stereotipikal merupakan sebuah bagian dari proses ideologis yang membiarkan perempuan diinterpelasikan oleh ideologi patriarkal (Gamble, 2010:22).
Bentuk manifestasi terhadap perempuan yang keempat adalah gender yang berakibat pada kekerasan. Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas psikologis seseorang. Kekerasan yang berbasis gender berawal dari ketidaksetaraan kekuatan yang ada di dalam masyarakat (Fakih, 1996:17). Beberapa kejahatan yang dapat dikategorisasikan sebagai bentuk kekerasan, antara lain (1) pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan
25
baik ekonomi, sosial, maupun kultural, atau tidak ada pilihan lain (Fakih, 1996: 1718). (2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik. (3) Penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin. (4) Kekerasan berbentuk pelacuran (prostitution) karena diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari prostitusi. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang (Fakih, 1996: 18-19). (5) Kekerasan berbentuk pornografi karena termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan karena badannya dijadikan objek keuntungan. (6) Pemaksaan sterilisasi dalam bentuk keluarga berencana. (7) Kekerasan terselubung seperti memegang bagian tubuh seseorang tanpa adanya kerelaan dari sang pemilik tubuh (Fakih, 1996: 19). (8) Pelecehan seksual seperti menyampaikan lelucon jorok, menyakiti atau membuat malu dengan kata kotor, mengintograsi seseorang tentang kehidupan pribadi dan seksual, meminta imbalan seksual, menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa izin (Fakih, 1996: 20). Ada beberapa bentuk yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual, di antaranya menyampaikan lelucon jorok secara vulgar dengan cara yang ofensif. Kedua menyakiti atau mebuat malu seseorang dengan omongan kotor. Selanjutnya menginterogasi seseorang tentang kehidupan dan kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya dan meminta imbalan seksual dalam rangka pemenuhan janji-janji. Yang terakhir menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa ada izin dari yang bersangkutan (Fakih, 1996: 20).
26
Perwujudan dari beberapa perisrtiwa dalam kategori-kategori ketidakadilan gender berbentuk: marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotype, dan beban kerja tersebut terjadi di beberapa lembaga, seperti negara, tempat kerja, adat istiadat, dan lingkungan rumah tangga atau ruang domestik. Perubahan yang signifikan akan sulit tercapai karena manifestasi ketidakadilan gender telah mengakar lama mulai dalam keyakinan di setiap orang sejak kecil, terbentuk melalui lembaga yang terkecil keluarga, bahkan terkonstruksi oleh budaya (Fakih, 1996:23). Bentuk manifestasi terhadap perempuan yang terakhir adalah gender yang berdampak pada beban kerja. Adanya anggapa bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga menyebabkan semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab seorang perempuan. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih jika kaum perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Bias gender dalam masyarakat menyebabkan bahwa semua pekerjaan domestik merupakan “pekerjaan perempuan” dan dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan yang dianggap “laki-laki”(Fakih, 21-22). Urusan domestik juga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi. Ideologi domestikisasi adalah pemahaman bahwa tempat perempuan berada di dalam rumah. Tugas-tugas perempuan yang berhubungan dengan wilayah rumah diwujudkan dalam bentuk pengabdian sebagai ibu dan istri (Adiaty, 2013:27).
Bagi kelas menengah dan
golongan kaya, pekerjaan tersebut kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah
27
tangga. Dalam hal ini, pembantu rumah tangga merupakan korban dari bias gender di masyarakat. mereka bekerja lebih lama dan berat tanpa ada perlindungan dan kejelasan kebijakan negara (Fakih, 1996: 22). Terlebih lagi, mayoritas pembantu rumah tangga adalah kaum perempuan. Manifestasi ketidakdilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotype, dan beban kerja terjadi di berbagai tingkatan. Pertama, manifestasi ketidadilan gender terjadi di tingkatan negara (Fakih, 1996:22). Selanjutnya ketidakdilan gender terjadi di lingkungan tempat kerja, organisasi, maupun di dunia pendidikan. Banyak aturan dalam beberapa lingkungan tersebut yang melanggengkan terjadinya ketidakadilan gender. Manifestasi perempuan yang selanjutnya terjadi di dalam istiadat dan rumah tangga. Hal yang paling susah diubah adalah ketidakadilan gender telah lama mengakar dalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, ketidakadilan gender telah mengakar lama mulai dalam keyakinan masing-masing orang hingga ke tingkat negara yang bersifat global (Fakih, 1996:23).
1.6.Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitiatif. Penelitian kualitatif menitikberatkan pada segi alamiah beradasarkan karakter yang terdapat dalam penelitian. Beberapa langkah yang dilakukan untuk melakukan penelitian, antara lain: a. Menentukan objek formal penelitian, yaitu bentuk ketidakadilan gender.
28
b. Menentukan objek penelitian berupa film ”7 월 32 일” yang disutradarai oleh Jin Seung Hyeon. c. Mengumpulkan data dengan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari segala informasi yang berguna serta mendukung penelitian. Sumber tertulis yang digunakan sebagai referensi berupa buku, tesis, makalah, jurnal, artikel, serta skripsi yang berhubungan dengan tema penelitian. Metode pengumpulan data yang berkaitan seputar film didapat dari beberapa sumber di internet. d. Metode analisis data yang dilakukan, yaitu pertama mengolah objek penelitian dari data berupa audiovisual menjadi teks serta transkrip dan transliterasi dialog. Kemudian memperbaiki kesalahan penerjemah pada subtitle awal atau menyunting naskah. Yang ketiga, menganalisa data berdasarkan kritik sastra feminis dan mencari bentuk kekerasan yang terdapat dalam adegan-adegan. Film. Terakhir membuat kesimpulan.
1.7. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian hasil penelitian kajian film ini tersusun ke dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
29
Bab II berisi pembahasan identifikasi tokoh-tokoh dalam film ”7 월 32 일” atau July 32nd. Penyajian bab II ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tokoh perempuan dan tokoh laki-laki baik yang profeminis maupun kontrafeminis. Bab III berisi bentu-bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam film ”7 월 32 일”
atau July 32nd, yaitu marginalisasi, streotip, kekerasan, dan beban
kerja. Bab IV berisi tentang ide-ide feminis dalam film ”7 월 32 일”
atau July
32nd sebagai bentuk perjuangan melawan ketidakadilan gender. Bab V berisi penutup yang merupakan kesimpulan.