1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi sudah terlanjur terjadi. Jarak sudah tidak menjadi masalah lagi untuk saling berkomunikasi. Tulisan-tulisan tangan mulai bersubstitusi dengan tulisan-tulisan digital. Kegiatan kesusastraan kini pun begitu, pementasanpementasan sastra tidak lagi menuntut penonton yang harus hadir secara langsung. Kreativitas para pegiat sastra semakin dituntut seiring kemajuan teknologi yang disebarkan secara global. Istilah sastra Cyber mulai diperkenalkan oleh salah satu pegiat sastra Cyber, yakni domain cybersastra.net. Domain ini digagas oleh Nanang Suryadi sejak tahun 2000. Keberadaan domain ini membuktikan bahwa internet membuka lahan dunia sastra yang lain. Faruk (2001: 219) mengungkapkan bahwa internet memberikan “kemungkinan-kemungkinan lain”. Ungkapan tersebut merupakan garis besar pendapat Nanang Suryadi dalam esai yang ia muat di cybersastra.net. Suryadi menyatakan bahwa terdapat situs-situs yang kontradiktif dalam segi moralitas. Meskipun demikian, baik dan buruknya internet itu tergantung pada pelaku yang menggunakannya. Baginya, salah satu kebaikan internet antara lain terletak pada kenyataan bahwa di dalamnya ada situs-situs informasi langka yang dapat memicu kreativitas dan mutu karya kreatif (via Faruk, 2001: 219). Medy Lukito mengungkapkan bahwa internet merupakan saluran yang efektif bagi “penyemaian” atau “terapi” terhadap frustasi penyair yang sudah tidak
1
2
sabar menunggu ketidakpastian penerbitan karyanya dalam media cetak (Faruk, 2001: 220). Hal ini terbukti dengan maraknya komunitas-komunitas sastra yang saling berbagi karya di internet. Kelompok-kelompok sastra ini muncul di facebook, misalnya adalah Komunitas Teater Indonesia, Wayang Milehnium Wae, Sanggar Lincak, Sanggar Nuun, Cerpen Koran Minggu, Dinding Sastra Indonesia, dan lain-lain. Dalam berbagai komunitas tersebut sering dibagikan cerpen, puisi, naskah drama, dan sekadar curhat para anggotanya yang bukan merupakan sastrawan terkenal. Akan tetapi, usaha mereka dalam mendalami sastra dan membuka grup tersebut untuk kalangan yang luas dapat diapresiasi luar biasa. Itulah beberapa hal singkat tentang maraknya sastra dalam dunia maya. Kreativitas tersebut terus berlanjut hingga saat ini. Sejak tahun 2012, dikenal karya sastra yang tidak hanya memanfaatkan teks sebagai media utamanya. Musik dan visualisasi (berupa gambar dan/atau video) menjadi media pendukung, bahkan bisa disebut pelengkap estetis. Karya sastra semacam ini menampilkan karya dalam bentuk audio-visual. Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini, karya sastra semacam itu disebut karya sastra lintasmedia. Fahd Djibran, Futih Al-Jihadi, dan Fiersa Besari adalah penggagas karya sastra semacam itu di Indonesia. Mereka sudah memiliki tiga karya kolaborasi dan masing-masing juga memiliki karya pribadi. Ketiga karya kolaborasi tersebut adalah Tentang Kita, Kau yang Mengutuhkan Aku, dan Apologia untuk Sebuah Nama. Dalam ketiga karya tersebut, Fahd Djibran berperan sebagai penulis
3
naskah, Fiersa Besari sebagai pengisi musik, dan Futih Al-Jihadi sebagai ahli visual. Ketiga karya sastra lintasmedia tersebut hanya mungkin disebarkan melalui VCD, DVD, atau internet. Ketiga seniman tersebut memilih internet sebagai penyalur karya mereka. Hingga kini, Kau yang Mengutuhkan Aku telah tayang 16.500 kali, Tentang Kita telah tayang 10.900 kali, dan Apologia untuk Sebuah Nama telah tayang 12.879 kali (dilihat di youtube.com pada 20 September 2014 pukul 07.43-07.45). Ketiga seniman tersebut menyebut karya lintasmedia mereka sebagai Revolvere Project. Ketiga karya sastra tersebut tampak populer karena terus-menerus ditiru oleh seniman-seniman lain. Menurut Adi (2011: 11) apabila budaya populer sebagai fenomena masyarakat, budaya populer ini layak dijadikan objek penelitian. Karya sastra lintasmedia menciptakan kebaruan, membuktikan bahwa sastra selalu ada untuk merekam-memanfaatkan perkembangan zaman. Teeuw (1983: 12) mengungkapkan bahwa karya seni (sastra) selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan, antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru. Bisa dikatakan bahwa hibridasi naskah dengan gambaran (foto atau video) visual dan musik menjadi bentuk ketegangan zaman modern seperti yang diungkapkan Teeuw. Faruk (2000: 23) berpendapat bahwa kemungkinan sastra yang dibuat dan dipublikasikan dalam dan melalui internet ini untuk menjadi genre tersendiri memang terbuka karena terdapat beberapa di antaranya yang bersifat multimedia dengan memanfaatkan juga citra-citra visual, audio-visual, dan animasi. Jika hal
4
itu benar terjadi, kejadian pendobrakan konvensi puisi yang pernah dilakukan Chairil Anwar akan terjadi di zaman modern ini. Bedanya, yang didobrak pada zaman ini adalah pembatasan karya sastra hanya dalam bentuk buku dengan munculnya naskah-naskah digital yang lebih menarik dan atraktif. Revolvere Project semakin ditiru dan dikembangkan oleh beberapa orang termasuk penulis skripsi ini. Dalam hal ini penulis menggiati kegiatan ini dalam wadah Sanggar Lincak UGM. Usaha-usaha yang dilakukan dalam menggiati pembuatan karya sejenis Revolvere Project ini adalah dengan memperbanyak diskusi memperbincangkan suatu tema rekaman kehidupan dan menuangkannya dalam berbagai bentuk karya sastra, dari tulis hingga pementasan. Salah satu yang dilahirkan adalah karya sastra lintasmedia, Revolvere Project. Judul seperti Melangkah Tanpamu karya Fiersa Besari, semua berawal dari kita Muh. Syamsir, Seorang Teman yang Putus Asa Bahril Sonya, lahir mengikuti jejak Revolvere Project Fahd Djibran dkk. Judul yang disajikan cukup sederhana. Ada kemungkinan bahwa karya semacam itu merupakan genre sastra baru, tetapi tidak menutup kemungkinan pula bahwa karya sastra semacam itu termasuk dalam genre sastra populer. Oleh karena itu, analisis-analisis berdasarkan teori sastra pun perlu dilakukan. Kepopularitasan Revolvere Project karya Fahd Djibran dan kawan-kawan menjadi salah satu bukti karya-karya tersebut layak untuk dianalisis. Dalam hal ini, teori Genre dipilih sebagai teori untuk menganalisis Revolevere Project. Teori ini dipilih untuk membuktikan keberadaan Revolvere Project – yang terusmenerus ditiru merupakan genre sastra populer. Genre adalah salah satu cara
5
untuk mengklasifikasi film yang paling mudah diidentifikasi karena telah siap digunakan oleh industri film (Stokes, 2006: 90). Pandangan tentang genre ini didasari oleh pengklasifikasian genre pada film. Akan tetapi, Stokes (2006: 53) mengungkapkan bahwa teorinya tentang genre membahas metode-metode yang diturunkan dari kajian-kajian film, tetapi dapat diterapkan pada berbagai bentuk media dan kebudayaan lainnya. Sementara itu, sebagai genre, Abram Kaplan (via Damono, 1980: 164) menganggap sastra pop sebagai bentuk pembangkangan terhadap kemapanan artistik. Perbedaan dengan seni lainnya adalah bentuk pemenuhan
cita
rasa
masyarakat.
Demikianlah
beberapa
hal
yang
melatarbelakangi dilaksanakannya penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah Untuk mempermudah pemahaman terhadap Revolvere Project karya Fahd Djibran dkk., terdapat rumusan masalah untuk membatasi pembahasan dalam penelitian ini. Masalah pertama yang akan dibahas adalah bagaimana sastra lintasmedia “Revolvere Project” dikategorikan dalam genre sastra populer. Sementara itu, permasalahan kedua adalah sub-genre sastra populer. Seperti telah diketahui, ada chiklit, teenlit, dan metropop sebagai sub-genre sastra populer. Dalam hal ini, akan dibahas tentang apakah sastra lintasmedia “Revolvere Project” merupakan bagaian dari sub-genre tersebut atau menciptakan sub-genre yang baru.
6
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian terhadap Revolvere Project ini adalah tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis dari penelitian ini adalah untuk membuktikan sastra lintasmedia “Revolvere Project” sebagai sebuah genre sastra populer. Sementara itu, tujuan praktis dari penelitian ini adalah mengenalkan kepada masyarakat perkembangan seni dan sastra dalam bentuk lintasmedia.
1.4 Tinjauan Pustaka Karya sastra lintasmedia Revolvere Project yang diciptakan oleg Fahd Djibran dan kawan-kawan belum pernah dianalisis menggunakan teori Genre. Karya tersebut tergolong baru dari segi penerbitannya di internet. Tahun 2012 adalah awal dikenalnya Revolere Project. Sampai saat ini analisis yang dilakukan terhadap karya sastra tersebut berkaitan dengan resepsi sastra. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ariny Rahmawati, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, UGM, pada tahun 2013. Rahmawati menulisnya dalam skripsi berjudul “Tata Nilai Pembaca Sastra terhadap Fiksi Lintasmedia “Kau yang Mengutuhkan Aku” karya Fahd Djibran, Futih Al-Jihadi, dan Fiersa Besari: kajian Estetika Resepsi Eksperimental”. Rahmawati meneliti sebuah perbandingan keberterimaan (resepsi) pembaca sastra yang hanya membaca Revolvere Project dalam bentuk tekstual (disebut pembaca I) dengan pembaca sastra yang membaca Revolvere Project dalam bentuk lintasmedia (disebut pembaca II). Ia menyimpulkan bahwa dalam memberikan
7
tata nilainya terhadap teks sastra dengan cara penyajian yang berbeda, setiap kelompok pembaca yang memiliki horison harapan tertentu akan mengembangkan suatu dimensi penilaian yang tertentu pula. Pada karya sastra lain, yakni novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, penelitian tentang genre pernah dilakukan. Penelitian tersebut dilaukan oleh Ayu Budi Kusuma Wardhani, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, UGM, pada tahun 2013. Ia menulisnya dalam skripsi berjudul “Laskar Pelangi: Kajian Genre Fiksi Populer”. Wardhani mengkaji genre novel tersebut berdasarkan unsur interinsik dan eksterinsiknya. Ia menyimpulkan bahwa teori genre dapat digunakan untuk membuktikan novel Laskar Pelangi sebagai fiksi populer. Ada pula penelitian yang berkaitan dengan sastra cyber. Penelitian itu dilakukan oleh Fitri Merawati, mahasiswi Pascasarjana Ilmu Sastra, dalam sebuah tesis berjudul “Genealogi Sastra Cyber di Indonesia”, tahun 2014. Penelitian tersebut membahas tentang sastra cyber dengan menggunakan konsep wacana dan kekuasaan Michel Foucault. Selain itu, ada pula pembahasan tentang diskontinuitas dan kontinuitas sastra cyber. Dalam akhir penelitian tersebut ditegaskan bahwa genealogi sastra cyber memuat berbagai polemik tentang wacana yang ada di dalamnya. Sastra cyber tidak hanya lahir sebagai karya sastra yang dengan mudahnya diturunkan namun harus melalui berbagai hambatanhambatan khasnya tersendiri. Bangunan genealogi ini tentu bukan sesuatu yang mutlak. Karena perkembangan zaman, di kemudian hari tentu akan terjadi peristiwa-peristiwa lain tentang sastra cyber yang berbeda dengan saat ini.
8
Setelah sastra lintasmedia ini pernah diteliti dari segi penerimaan pembaca, resepsi sastra, penulis skripsi ini meneruskan dengan membuktikan kategorinya sebagai sastra populer. Penelitian ini pun juga berkaca pada pembuktian novel Laskar Pelangi yang dibuktikan sebagai genre sastra populer. Terlebih lagi, adanya kasus genealogi sastra cyber yang memungkinkan untuk terus berkembang seiring perubahan zaman, lahirnya sastra lintasmedia adalah bagian dari genealogi tersebut. Oleh karena itu, penelitian bertajuk pembuktian genre sastra lintasmedia dalam ranah sastra populer ini pun dilakukan.
1.5 Landasan Teori Keberadaan teknologi yang serba mutakhir tidak bisa diniscayakan. Kebutuhan kesenian, kesusastraan, dan kegiatan tradisi lainnya terhadap teknologi tidak dapat dipungkiri. Hal itu berlaku terutama untuk generasi muda, generasi yang
terus-menerus
mengikuti
perkembangan
teknologi,
yang
baginya,
perkembangan diri adalah perkembangan yang diikuti oleh teknologi. Faruk (2011: 38) menyatakan bahwa anak-anak muda merupakan generasi multimedia, generasi yang kepekaan inderawinya sejak kecil diasah oleh televisi dan lanskap kehidupan yang semakin tervisualisasikan, mahasiswa termasuk di dalam generasi yang demikian, mahasiswa sekarang cenderung tidak lagi dapat dipesona oleh sekadar retorika bahasa, kejernihan konseptual, ketajaman pemikiran yang kritis. Hal ini menjadi salah satu kemungkinan lahirnya sastra lintasmedia yang diikuti oleh perkembangan pemuda tersebut. Faruk (2011: 48) melanjutkan, apabila karya sastra dan proses pembelajaran bahasa mengandalkan
9
bantuan teknologi multimedia yang dapat memberikan citra inderawi yang bermacam-macam dengan mudah, perjuangan untuk menjadikan yang spasial menjadi temporal, yang ikonik menjadi simbolik, akan cenderung dilepaskan sehingga posisi bahasa berada dalam posisi status quo. Karena itu, agar penggunaan teknologi multimedia dalam penciptaan dan proses pembelajaran bahasa dan sastra terhindar dari kemungkinan risiko yang demikian, citra-citra non-bahasa harus ditempatkan sebagai bahan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa, bukan sebaliknya. Seperti telah diketahui bahwa dalam penciptaan sastra lintasmedia dilibatkan media visual dan audio. Media visual yang digunakan berbentuk karya fotografi dan dengan beberapa sisipan video klip. Sementara itu, media audio yang digunakan berupa musik, lagu, dan beberapa sisipan dialog tokoh. Berkenaan dengan hal itu perlu diketahui beberapa hal mengenai seni visual dan audio. Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu
photos
“Cahaya”
dan
Grafo “Melukis/menulis”)
adalah
proses
melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. (http:// Fotografi /wikipedia.org) Fotografi kini telah menjadi seni dengan berbagai teknik yang digunakannya.
Sebagai
sebuah
karya
seni,
Wirawan
(http://ars1.html)
menjelaskan, fotografi harus bukan sekadar hasil upaya proses reproduksi belaka.
10
Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan atau ide tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan dan bahkan serangkaian mimpimimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep, visi, dan misi yang trasparan serta ''baru''. Dengan begitu, sebuah foto seni tidak hanya sebentuk seni instan belaka. Foto seni merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda. Hal itu berkaitan dengan teknik fotografi oleh fotografer yang diungkapkan oleh Nathan Lyons dalam bukunya Photographer on Photography sebagai berikut: The application of design to the photgraph is entirely in the hands of photographer. It means that he must be equipped both technically and aesthetically. [Penerapan desain untuk fotografi merupakan hal yang sepenuhnya dikuasai oleh fotografer. Hal tersebut memiliki arti bahwa seorang fotografer harus mampu secara teknik dan artistik.] (Lyons: 1966: 33) Hal itu menjelaskan adanya komunikasi visual. Keterlibatan hasil fotografi dalam sastra lintasmedia mengkomunikasikan citra kebahasaan dalam sebuah gambar. Berkenaan dengan hal itu, ada penjelasan tentang komunikasi visual. Komunikasi visual, komunikasi melalui penglihatan, adalah sebuah rangkaian proses penyampaian informasi atau pesan kepada pihak lain dengan penggunaan media
penggambaran
yang
hanya
terbaca
oleh
indera
penglihatan
(http://Komunikasi_visual/wikipedia.org). Komunikasi visual menkombinasikan seni, lambang, tipografi, gambar, desain grafis, ilustrasi, dan warna dalam penyampaiannya.
11
Media audio dalam sastra lintasmedia juga perlu dijelaskan. Musik adalah media utama yang mengisi audio dalam sastra lintasmedia. Musik adalah suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan terutama suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkan irama (http://Musik/wikipedia.org). Walaupun musik adalah sejenis fenomena intuisi, untuk mencipta, memperbaiki dan mempersembahkannya adalah suatu bentuk seni. Mendengar musik pula adalah sejenis hiburan. Musik adalah sebuah fenomena yang sangat unik yang bisa dihasilkan oleh beberapa alat musik. Musik menciptakan sebuah suasana bagi yang mendengarkannya. Musikmusik tercipta untuk mengilhami suasana tersebut. Berkaiatan dengan suasana yang terbentuk, seseorang dengan kapasitas yang berbeda menikmati suasana tersebut secara berbeda pula. Dalam hal ini, Aaron Compland dalam bukunya What to Listen for in Music? mengungkapkan: We all listen to music according to our separate capacities. But, for the sake of analysis, the whole process may become clearer if we break it up into its component parts, so to speak. In a certain sense we all listen to music on three separate planes. For lack of a better terminology, one might name these: (1) the sensuous plane, (2) the expressive plane, (3) the sheerly musical plane. The only advantage to be gained from mechanically splitting up the listening process into these hyphothetical is the clearer view to be had of the way in which we listen. [Kita mendengarkan musik berdasarkan kapasitas-kapasitas kita yang terpisah. Akan tetapi, demi sebuah analisa, seluruh proses bisa menjadi lebih jelas jika kita membaginya menjadi bagian-bagian komponen. Dalam makna tertentu, kita mendengarkan musik dalam tiga taraf yang terpisah. Dikarenakan kurangnya terminologi yang lebih bagus, tiga taraf tersebut dapat dinamai sebagai: 1) taraf pancaindra, 2) taraf ekspresif, 3) taraf music murni. Satu-satunya manfaat yang dapat diambil dari pembagian proses pendengaran
12
kedalam tiga taraf asumsi tersebut secara mekanik adalah pengamatan yang lebih jelas terhadap cara mendengarkan kita.] The simplest way of listening to music is to listen for the sheer pleasure of the musical sound it self. [Cara mendengarkan musik yang paling sederhana dalah dengan mendengarkan kenikmatan alami dari suara musik itu sendiri.] (Compland: 1939: 9-10) Berkaitan dengan musik, sastra lintasmedia juga menyajikan lirik yang dilagukan. Hal ini dekat dengan lagu populer. Seperti halnya sastra populer, dalam lagu populer tidak ditemukan kemungkinan-kemungkinan yang rumit. Biasanya, lagu populer menyajikan sebuah penggambaran emosi pribadi akan suatu hal. Berkaitan dengan hal itu, Albert Lord menjelaskan tentang penulisan lirik lagu dalam buku karyanya The Singers of Tales sebagai berikut:
When writing was introduced, epic singers, again even the most brilliant among them, did not realize its “possibilities” and did not rush to avail themselves of it. [Ketika tulisan diperkenalkan, penyanyi-penyanyi syair, lagi-lagi merupakan yang paling cerdas diantara mereka, tidak terburu-buru untuk mengambil manfaat dari hal tersebut untuk diri mereka sendiri.] (Lord: 1981: 124) Di samping itu, perlu ada penjelasan tentang musik yang berhubungan dengan ruang gambar. Hal ini terjadi dalam film-film atau video klip. Sastra lintasmedia, memanfaatkan dan menggabungkan media audio dan visual. Hal itu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh film-film dan video klip. Pertama, akan dijelaskan terlebih dahulu musik-musik yang terlibat dalam seni audio-visual.
13
Penjelasan tersebut ditemukan dalam situs academia.edu dengan judul Jenis Suara Pada Film Fiksi. Sebagai seni audio-visual, sastra lintasmedia memiliki keselarasan teknik dengan bagaimana film disajikan. Oleh karena itu, perlu diketahui penjelasan academia.edu berkaitan dengan musik dan gambar. Hal tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Musik fungsional, yaitu musik yang sumber suaranya tidak tampak pada gambar, tetapi mempunyai hubungan fungsional dengan gambar. Contoh dari hubungan fungsional tersebut misalnya:
musik untuk membentuk suasana,
musik untuk menggambarkan perasaan tokoh dalam film/televisi atau seni audio-visual lainnya,
musik untuk mengarahkan karakter adegan,
musik leitmotif (memberikan prediksi bahwa sesuatu atau seseorang akan muncul),
musik untuk menggambarkan jenis film/televisi atau seni audio-visual lainnya,
musik untuk memberikan ciri lokal,
musik untuk meningkatkan action,
musik untuk membentuk ritme film/televisi atau seni audio-visual lainnya, dan
musik untuk transisi.
14
b. Musik realistik, yaitu musik yang sumber suaranya muncul di dalam frame atau berada dalam ruang kejadian film atau seni audio-visual lainnya. Contohnya : adegan band, adegan tarian yang diringi musik hidup. Selain musik di atas, ada pula efek suara yang terdiri dari : a. Efek Suara Realistik, yaitu efek suara yang sumber suaranya muncul pada frame atau berada dalam ruang kejadian film atau seni audio-visual lainnya. Contohnya: ada gambar anjing muncul dalam frame dan terdengar suara gonggongannya. Suara gonggongan ini adalah efek suara realistik. b. Efek Suara Fungsional, yaitu efek suara yang sumber suaranya tidak tampak pada gambar, tetapi mempunyai hubungan fungsional dengan gambar. Dalam hal ini, efek suara dalam kasus-kasus tertentu mempunyai fungsi yang bisa menggantikan peran musik fungsional. Lebih dari itu, musik menciptakan ruang dengan gambar. Dilihat dari ruang dalam seni audio-visual, hubungan antara gambar dan suara dibagi antara lain sebagai berikut: a. Diegetic Sound Suara tersebut terdapat dalam film/televisi atau seni audio-visual lainnya yang sumber suaranya secara langsung mempunyai kaitan dengan ruang adegan film atau seni audio-visual lainnya. Dialog tokoh yang tampak pada gambar, efek suara mobil yang mana mobil tampak secara visual dalam frame film atau seni audio-visual lainnya, keduanya adalah contoh jelas dari diegetic sound.
15
b. Non Diegetic Sound Suara tersebut terdapat dalam film atau seni audio-visual lainnya yang sumber suaranya tidak mempunyai kaitan dengan ruang adegan. Contoh sederhana adalah musik film, di mana sumber suara musiknya tidak berada dalam ruang adegan, sedangkan suara musik band di mana band yang memainkan musiknya berada dalam frame, cenderung digolongkan dalam diegetic sound. Teori di atas digunakan untuk menjelaskan keterlibatan seni audio-visual dalam
sastra
lintasmedia.
Dengan
demikian,
karya
sastra
lintasmedia
menunjukkan adanya kebaruan teknik dibandingkan dengan karya sastra tekstual. Akan tetapi, belum tentu karya sastra lintasmedia ini merupakan sebuah genre baru. Untuk itu, perlu diketahui hal-hal mengenai genre. Kata genre berasal dari bahasa Perancis yang berarti jenis atau kelas. Istilah ini sering dipakai dalam dunia sastra sejak zaman dulu dalam menentukan tipe atau jenis karya sastra (Adi, 2011: 195). Stokes (2006: 55) menerjemahkan genre sebagai tipe atau jenis. Genre, menurut Stokes dalam bukunya How to do Media and Cultural Studies: ... adalah sarana yang secara tradisi film-film Hollywood diproduksi dan dipasarkan; antara lain kategori musikal, thriller, dan Western. Jenis-jenis (genre) film tersebut menunjukkan adanya ciri khusus sehingga film tersebut pantas atau layak dikelompokkan dalam genre musikal, thriller, atau Western. (Stokes, 2006: 55) Pengelompokan ini dijelaskan dalam kajian Genre. Lebih spesifiknya, penulis mencoba meneliti pengelompokan sastra lintasmedia dalam suatu genre. Dalam hal ini, ciri-ciri khusus sastra lintasmedia perlu ditemukan. Stokes (2006:
16
90) mengungkapkan bahwa istilah genre juga memiliki asal-usul dalam sejarah seni, digunakan untuk merujuk pada lukisan-lukisan populer (sebagai lawan dari lukisan-lukisan berselera tinggi atau berseni tinggi), sebuah fakta yang memberikan genre suatu konotasi berselera rendah. Sampai sekarang, genre merupakan istilah yang masih dipakai dalam industri penerbitan untuk membedakan buku-buku pasar massal dari buku-buku sastra (Stokes, 2006: 90). Dalam penelitian ini berarti dilakukannya pengkajian karya sastra lintasmedia dengan mengaitkannya dengan karya-karya sastra yang serupa atau sama. Anda mesti memaklumi tautologi1 saat membicarakan tipe-tipe dari tipe (Stokes, 2006: 90). Dalam hal ini perlu adanya penjelasan tentang gaya dan ikonigrafi
dalam
sastra
lintasmedia.
Apabila
sastra
lintasmedia,
telah
terklasifikasikan, dapat diketahui apa yang diharapkan pembaca (atau penikmat) terhadapnya. Dalam sastra lintasmedia ada ciri-ciri “internal” yang hanya akan dipahami oleh khalayak yang akrab dengannya. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang genre sastra lintasmedia. Penjelasan tipe-tipe dari tipe oleh Stokes dicontohkan sebagai berikut: Genre adalah salah satu cara untuk mengklasifikasi film yang paling mudah diidentifikasi karena telah siap digunakan oleh industri film. Gaya dan ikonigrafi2 pada sinema mengeksploitasi pengetahuan khalayak mengenai genre. Genre juga mengembangkan sebuah hubungan antara pembuat film dan khalayak; ketika kita memilih untuk menyaksikan sebuah film thriller (film yang menegangkan), misalnya, kita memasuki sinema sambil 1
Tautologi, mengatakan hal yang sama lebih dari satu kali dengan kalimat yang sama, misalnya, “mereka bicara bergiliran, satu demi satu”. Biarpun dianggap sebagai satu bentuk style, kerap tautologi merepresentasikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. 2 Ikonigrafi, ilustrasi subjek dengan gambar. Bisa juga dikaitkan sebagai bentuk‐bentuk simbol tradisional yang merepresentasikan sebuah tema (distilisasi dengan art).
17
berharap untuk dihibur. Film-film mengeksploitasi pengharapan-pengharapan ini, membawa kita pada suasana hati yang kita harapkan dengan cepat. Klasifikasi-klasifikasi genre membantu kita mengetahui apa yang dapat kita harapkan dari film; film-film itu juga menggunakan leluconlelucon dan rujukan-rujukan “internal” yang hanya akan dipahami oleh khalayak yang telah akrab dengan genre tersebut. (Stokes, 2006: 90-91).
Penjelasan di atas menunjukkan hubungan yang erat antara genre dengan masyarakat penikmatnya. Stokes (2006: 91) menjelaskan bahwa perangkatperangkat tersebut (pada paragraf sebelumnya) menyanjung khalayak, membuat mereka menganggap dirinya bagian dari lingkaran elite khusus, serta mendorong perasaan identifikasi yang lebih besar antara khalayak dan genre. Todorov Tzvetan dengan esainya “Literary Genre” dalam sebuah antologi Twentieth Century Literary Theory mengungkapkan tentang genre sebagai berikut:
“The Fantastic” is a name given to a kind of literature, to a “Literary Genre”. When we examine works of literature from the perspective genre, we engage in every particular enterprise: we discover a principle operative in a number of texts, rather than what is specific about each of them. Thus the concept of genre is fundamental to discussion which follows, and we must first clarify and define it, even if such an endeavor apparently diverts us from the fantastic itself.
["Fantastik" merupakan sebuah nama yang diberikan untuk suatu jenis sastra, untuk suatu aliran atau genre sastra. Ketika kita meneliti karya sastra dari sudut pandang genre, kita terikat dengan setiap usaha tertentu: kita menemukan sebuah prinsip operatif di dalam beberapa teks, dibandingkan dengan hal spesifik mengenai teks-teks tersebut. Oleh karena itu, konsep genre sangat penting dalam diskusi yang mengikuti, dan kita harus mennjelaskan serta
18
mendefinisikannya terlebih dahulu, bahkan jika usaha tersebut nampak mengalihkan kita dari fantastik itu sendiri.] (Tzvetan, 1953: 191) Genre juga merupakan sebuah kategori semiotik karena di dalamnya terdapat kode-kode dan konvensi-konvensi yang dimiliki oleh karya-karya dengan genre yang sama. Misalnya, unsur-unsur seperti lokasi, gaya, dan mise en scene3 seluruhnya merupakan bagian dari sistem terkode (contoh terlampir 01) yang dapat didefinisikan melalui analisis semiotik (Stokes, 2006: 91). Dalam sastra populer semacam teenlit misalnya, akan ditemukan unsur kunci berupa remaja SMP atau SMA, berpacaran, sekolah, dan prahara cinta di dalamnya. Genre sekaligus merupakan sebuah kategori naratif (Stokes, 2006: 91). struktur perempuan dan laki-laki remaja yang bertemu dan menjalin kasih ditemukan dalam karya sastra romance dan selalu merupakan struktur yang dapat ditemukan pada semua genre sastra tersebut. Hal itu juga terjadi pada genre-genre sastra yang lain. Sastra wangi misalnya, pertemuan laki-laki dan perempuan yang kemudian melakukan hubungan seksual adalah kategori naratif yang selalu ditemukan. Stoke (2006: 91) mengungkapkan bahwa semua ini merupakan konvensi-konvensi naratif yang telah berkembang selama bertahun-tahun. Stoke (2006: 91) mengungkapkan: “Jika Anda telah melihat satu film, maka sama saja dengan telah melihat semua film yang ada” – begitulah komentar orang-orang terhadap film horor, atau laga, mereka semua sama saja. Film gengster harus memiliki: pertaruhan, 3
Mise en scene, didefinisikan sebagai artikulasi ruang semantik, atau rangkaian penataan performer dan properti‐properti di sebuah panggung atau setting adegan sebelum disyuting oleh kamera. Tujuannya untuk menimbulkan efek dramatis tertentu. Dalam kajian film, mise en scene merupakan poin awal untuk mengkaji film tersebut sebagai “film” itu sendiri, lepas dari konteks sosial yang melatari mengapa film tersebut diproduksi sedemikian rupa.
19
adegan pemburuan, “eksekusi”, pengkhianatan –Altman (1999) menyatakan, “Kesenangan mononton film-film genre lebih banyak bersumber pada penegasan kembali, alih-alih kebaruan”. Kesenangan lain dari film genre adalah melihat bagaimana unsur kunci ditafsirkan dan direka ulang untuk kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kontemporer, mengingat genre senantiasa berubah sepanjang waktu. (Stokes, 2006: 91) Jika studi tentang genre digunakan sebagai metode penelitian, melakukan suatu analisis retoris atas sebuah teks atau serangkaian teks perlu dilakukan. Jenisjenis hipotesis yang dapat digunakan didasarkan pada sejauh mana teks tersebut mematuhi atau tidak mematuhi konvensi genre. Konvensi-konvensi tersebut mungkin bersifat semiotik, naratif, atau reperesentasional. (Stokes, 2006: 94) Hubungannya dengan konvensi, Adi (2011: 205) mengungkapkan bahwa penelitian genre dapat juga berarti meneliti konvensi dan invensi. Cawelti menyebutkan bahwa mempelajari invensi dan konvensi adalah sebagai berikut: Conventions represents familiar shared images and meaning and they assert an ongoing continuity of values; inventions confront up with the new perception or meaning which we have not realized before. Both these function are importante to culture. Convention help maintain a culture’s stability while the inventions help it respond to changing circumtances and provide new information about the world. [Konvensi-konvensi menyajikan gambaran dan arti yang sudah akrab bagi audience dan konvensi tersebut menekankan kesinambungan nilai; invensi-invensi merupakan persepsi atau arti baru yang belum kita sadari sebelumnya. Fungsi keduanya ini penting bagi budaya. Konvensi membantu menciptakan kestabilan budaya sedangkan invensi membantu merespon keadaan yang berubah dan memberikan informasi baru tentang dunia.] (via Adi, 2011: 205)
20
Untuk menjelaskan sebuah invensi, perlu dilakukan pembuktian terhadap sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, atau memiliki sejumlah pengetahuan orisinal. Untuk itu, secara retoris, perlu ditetapkan dengan jelas tipikal konvensi kedua genre, genre pertama yakni yang diasumsikan orang lain merupakan genre karya tersebut, sedangkan genre kedua akan mewakili penilaian peneliti bahwa teks yang akan didemonstrasikan di dalam penelitian sesungguhnya termasuk ke dalam genre ini (artinya, melawan kelaziman orang yang cenderung mengasumsikan teks karya yang diteliti termasuk ke dalam genre pertama). Oleh karena itu, harus ditunjukkan bahwa teksnya memang sama sekali tidak familiar (Stokes, 2006: 95). Karya-karya yang serupa akan dapat digeneralisasikan dalam satu genre yang sama. Dengan generalisasi tersebut dapat diketahui perbedaannya dengan karya-karya yang tidak serupa, misalnya kisah percintaan tentu berbeda dengan kisah menyeramkan, dan lebih banyak lagi jenis kisah yang lainnya. Hal itu menunjukkan adanya genre yang bermacam-macam. Berkaitan dengan itu ada sebuah studi generalisasi genre yang dijelaskan oleh Todorov Tzvetan dalam pertanyaan-pertanyaannya sebagai berikut:
The level of generality on which a genre is tobe located raises a second question. Are there only a few genre (i.e., lyric, epic, dramatic), or many more? Are genres finite in number or infinite? The Russian formalists tended toward a relativist answer. [Tingkat keumuman di mana sebuah genre ditempatkan menimbulkan pertanyaan kedua. Apakah hanya ada sejumlah kecil genre (seperti lirik, syair, dramatis), ataukah masih ada lagi? Apakah genre terbatas atau tidak terbatas?
21
Para formalis Rusia cenderung mempunyai jawaban yang relatif.] (Tzvetan, 1953: 192) Mengembangkan neologisme4 untuk sebuah genre baru merupakan yang baik untuk penelitian genre. Jika terdapat serangkaian karya yang memiliki suatu kesamaan, tetapi belum diidentifikasi sebelumnya, maka bisa dibuat sebuah kasus untuk genre baru. Di samping itu, terdapat konvensi-konvensi generik yang tersedia untuk diselidiki dan diinterogasi dalam setiap media. (Stokes, 2006: 95) Sejalan dengan ungkapan Stokes di atas, Tzvetan menjelaskan tentang sistem dalam suatu penciptaan karya. Sistem tersebut diikuti oleh karya-karya yang memiliki kemiripan. Dalam hal ini, diketahui bahwa karya sastra yang lahir kemudian dan mengikuti sistem tersebut dapat digolongkan dalam satu genre yang sama. Selengkapnya, berikut adalah apa yang diungkapkan Tzvetan: Such a position obliges us to make our own theoritical assumtions explicit. Dealing with any text belonging to “literature”, we must take into account a double requirement. First, we must be aware that it manifests properties that it shares with all literary texts, or with texts belonging to one of the sub-groups of literature (which we call, precisely, genres). It is inconceivable, nowdays, to defend the thesis that everything in the work is individual, a brand-new product of personal inspiration, a creation with no relation to works of the past. Second, we must understand that a text is not only the product of pre-existing combinational system (constituted by all that is literature in posse); it is also a transformation of that system. [Posisi tersebut mengharuskan kita untuk membuat asumsi teori kita sendiri secara eksplisit. Berhadapan dengan teks apapun yang termasuk "sastra", kita harus memperhatikan dua persyaratan. Pertama, kita harus sadar bahwa teks 4
Neologisme, adalah sebuah fenomena di mana sebuah kata baru dengan sengaja diluncurkan (dilihat di http://wikipedia.org/wiki/Neologisme)
22
tersebut menjelaskan properti yang sama seperti halnya dengan semua teks sastra, atau teks yang tergolong dalam salah satu cabang sastra (yang lebih tepatnya kita sebut dengan genre). Merupakan hal yang tidak dapat dipahami, bahwa kini mempertahankan tesis yang semua hal di dalamnya merupakan milik individu, sebuah merk -produk baru dari inspirasi sendiri, sebuah kreasi yang tidak berhubungan dengan karya di masa lampau. Kedua, kita harus paham bahwa suatu teks bukan hanya produk dari sistem kombinasi yang telah ada sebelumnya.] (Tzvetan, 1953: 193) Dalam pembahasan genre dikenal pula istilah sub-genre. Hal itu misalnya seperti yang dicontohkan Adi (2011: 202), pada kasus fiksi horor yang diawali dengan kehadiran tokoh antagonis Dracula. Karena Dracula masuk di hati pembaca atau penonton, tipe fiksi seperti ini, baik dalam bentuk novel atau film, menjadi tipe yang sangat mudah dikenali. Sekarang, Dracula menjadi sebutan sub-genre dan beberapa pihak menyebutnya sebagai genre drakula. Berkaiatan dengan pembagian genre seperti yang diungkapkan Adi, Tzvetan dalam esainya “Literary Genre” mengutip pendapat Formalis Rusia, Tomashevsky, yakni sebagai berikut:
“Works are divided into large clases which are subdivided into types and species. In this way, moving down the ladder of genres, we move from abstract classes to concrete historical distinctions (the poem by Baron, the short story by Chekov, the novel by Balzac, the religious ode, proletarian poetry) and even to specific works”.
["Karya sastra dibedadakan menjadi kelas-kelas besar yang terbagi menjadi tipe-tipe dan spesies-spesies. Dengan cara ini, menuruni tangga genre, berarti kita berpindah dari kelaskelas abstrak ke kelas-kelas sejarah yang konkrit (puisi karya Baron, cerita pendek karya Chekov, novel karya
23
Balzac, syair keagamaan, puisi proletar) dan bahkan ke karya sastra yang spesifik.] (Tzvetan, 1953: 192) Istilah sub-genre pada paragraf sebelumnya dipinjam penulis untuk membahas kebaruan genre karya sastra lintasmedia dalam ranah sastra populer. Hal in sekaligus menegaskan adanya subdivisi dari suatu kelompok karya sastra seperti yang dijelaskan oleh Tomashevsky. Selanjutnya, penelitian ini juga mengacu pada genre sastra populer. Oleh karena itu, perlu diketahui beberapa hal mengenai sastra populer. Perlu disimak ungkapan dari Jacob Sumardjo sebagai berikut. Sastra populer di Indonesia sejak pertengahan dasawarsa 70an berkembang sangat pesat. Dimulai dengan novel yang dimuat secara bersambung di surat-surat kabar, kemudian dalam bentuk buku, lantas cerita pendek di majalah-majalah wanita, remaja dan akhirnya penerbitan album cerita pendek atau majalah bulanan cerita pendek. Frekuensi penciptaan fiksi seperti ini yang terdapat dalam penerbitan-penerbitan semacam itu sangat ketat seperti belum terjadi dalam sejarah penerbitan sastra Indonesia. Jelas terlihat bahwa munculnya begitu banyak bacaan populer adalah akibat jelinya para pemegang modal dalam menyimak kemauan pembaca umumnya. Selera massa dijejali dengan bacaan tertentu sampai mereka bosan, kemudian mencari kemungkinan baru yang bisa menjadi kegemaran baru. Tidak mengherankan kalau pada suatu ketika pernah laris bukubuku cerita silat dengan setting Cina, cerita silat dengan setting Indonesia, novel-novel semi pornografi, novel-novel western saduran, novel detektif dan kekerasan, dan selama masih laku di pasaran maka penerbit akan membanjirinya dengan produk-produk baru. (Sumardjo, 1984: 53-56)5 5
pernah dimuat di majalah Basis no.5/xxx1/Mei 1982
24
Adi juga mengungkapkan bahwa (2011: 19) meskipun fiksi populer tidak menempati tempat penting dalam sejarah kesusastraan, baik di Indonesia maupun di dunia, fiksi populer ini banyak memengaruhi perkembangan dunia fiksi. Hal ini dapat dilihat dari penerimaan pembaca atau penonton di dunia yang dipengaruhi oleh tingkat penjualan, dan adaptasi karya ke dalam bentuk yang lain. Suatu karya novel disebut populer di antaranya karena tema, cara penyajian teknik bahasa, dan penulisannya mengikuti pola umum yang tengah digemari masyarakat pembacanya (Adi, 2011: 20). Selanjutnya Adi (2011: 20) juga mengungkapkan, jika sastra populer dapat dikatakan mencerminkan kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan bahwa kenyataan sehari-hari suatu masyarakat dapat menjadi indikator munculnya sastra populer. Bahasa merupakan sarana utama kemunculan sastra populer karena bahasalah sastra populer tersebut dapat dibaca banyak orang. Di samping itu, sastra populer berorientasi hanya pada pembaca yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pembaca. Hal ini tidak begitu mengherankan karena sifat dasar dari sastra populer adalah sarana yang hanya menghibur pembacanya. Hal tersebut tidak seperti sastra adiluhung yang digunakan sebagai sarana pembelajaran nilainilai kehidupan dan mengeksplorasi estetika manusia (Adi, 2011: 21). Indikator kemunculan genre yang dapat dikategorikan sebagai genre populer tersebut tidaklah berarti menunjukkan perkembangan sastra populer di Indonesia. Orang masih melihatnya sebagai fenomena masyarakat yang ditangkap penulis sehingga proses dan perwujudan karya tersebut merupakan perkembangan sastra yang lebih menekankan pada kreativitas penulisnya (Adi, 2011: 22).
25
Dalam beberapa situs disebutkan bahwa awal tahun 2000 muncul jenis novel yang dikatakan sebagai chiklit, teenlit, dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulunya (Adi, 2011: 22). Pengetahuan tentang sastra populer di atas menjadi salah satu modal dalam penelitian ini. Dalam melakukan penelitian terdapat metode tersendiri. Stokes (2006: 96) mengungkapkan bahwa pertama-tama perlu ditetapkan kode-kode dan konvensi-konvensi genre yang relevan, dengan merujuk pada berbagai literatur dan teks. Selanjutnya, dilakukan analisis seberapa jauh teks yang diteliti mencerminkan genre-genre yang dipertanyakan. Seperti telah dijelaskan bahwa sastra lintasmedia merupakan karya sastra yang memanfaatkan media audio-visual. Media tersebut tidak bisa dipandang hanya sebagai pelengkap saja, sebab kedua media tersebut mengindikasikan karya seni. Dalam hal ini, karya seni disalurkan dalam bentuk audio-visual. Sebagai sebuah dasar penelitian, pengetahuan tentang seni perlu pula untuk dibahas. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni juga dapat diartikan dengan sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur keindahan. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai. Masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya. Bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu (http://seni/wikipedia.org).
26
Raman Salden mengutip pendapat Shklovsky dalam tulisannya “Seni sebagai Teknik” (1917), yang menjelaskan seni sebagai berikut: Maksud seni adalah untuk memberikan pengindraan bendabenda sebagaimana dirasakan, dan bukan sebagaimana benda-benda itu diketahui. Teknik seni itu untuk membuat objek-objek menjadi “tidak biasa”, untuk menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar, untuk menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi, karena proses persepsi adalah suatu tujuan estetik dalam dirinya dan harus diperpanjang. ‘Seni adalah satu cara mengalami kelicikan sebuah objek; objek itu sendiri tidak penting’. (Salden, 1985: 5)
Dengan demikian, berbagai teori telah dijelaskan. Hal utama yang perlu diacu dalam teori-teori di atas adalah teori genre dan pengetahuan tentang sastra populer. Teori genre dan pengetahuan tentang sastra populer digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah sastra lintasmedia merupakan genre sastra populer. Teori-teori lain, yakni pengertian seni, hal-hal tentang seni audio-visual, dan keterlibatannya dalam sastra lintasmedia adalah untuk menjawab pertanyaan apakah sastra lintasmedia merupakan genre baru. Dengan landasan teori di atas, sastra lintasmedia akan dikupas dan dibuktikan genrenya. Penjelasan lebih lengkap akan disampaikan dalam bab-bab selanjutnya.
1.6 Populasi, Sampel, dan Data Penelitian ini bermaksud membahas pembuktian genre sastra lintasmedia. Dengan demikian, populasi dalam penelitian ini adalah puisi-puisi visual karya Jim B Aditya, Revolvere Project, dan Audio Visual Binus University. Bentuk
27
sastra lintasmedia ini sendiri dibatasi pada kesamaan atau kemiripannya dengan Revolvere Project karya Fahd Djibran dkk. Penilaian mirip atau tidaknya didasari oleh teknik penyajiannya yang menggunakan teks, visualisasi, dan musik. Fahd Djibran, Futih Al-Jihadi, dan Fiersa Besari sebagai penggagas karya sastra lintasmedia ini masing-masing memiliki karya sendiri yang dapat di-update sesuka hatinya. Belum lagi, munculnya karya-karya baru yang bisa setiap hari menjadi daftar sastra lintasmedia di situs youtube.com. Situs youtube.com juga bukan
satu-satunya
laman
yang
menyediakan
fasilitas
mempermudah
pengunggahan karya sastra lintasmedia, masih ada blog dan beberapa media sosial yang memungkinkan terdistribusikannya sastra lintasmedia. Oleh karena itu, sampel yang diambil adalah dari ketiga penggagas karya sastra lintasmedia di atas, yakni Tentang Kita, Kau yang Mengutuhkan Aku,
dan Apologia untuk
Sebuah Nama. Karya-karya sastra tersebut menunjukkan teknik-teknik yang sama atau serupa. Setidaknya, penggunaan musik dan visualisasi yang melengkapi teks membuat karya sastra tersebut perlu dipertimbangkan klasifikasinya dalam suatu genre. Persoalan-persoalan berkaitan dengan kesamaan atau kemiripannya dengan sastra populer pada umumnya menjadi bahasan pembuka dalam penelitian ini. Akan tetapi, ketiga karya tersebut, sebagai sampel dari karya-karya lain yang serupa
atau
sama,
menunjukkan
anomali-anomali
yang
memungkinkan
munculnya genre baru dalam sastra populer. Hal itu bisa disebut pula sebagai subgenre sastra populer.
28
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini memerlukan metode yang tepat dan sesuai teori agar tidak keluar dari maksud yang harus dibahas. Dalam penelitian ini hal yang pertama dilakukan adalah menetapkan kode-kode dan konvensi-konvensi genre yang relevan, dengan merujuk pada berbagai literatur dan teks sastra yang berhubungan dengan sastra lintasmedia “Revolvere Project”. Hal itu untuk membuktikan keberadaannya sebagai sebuah genre sastra. Langkah berikutnya adalah menganalisis seberapa jauh teks yang diteliti mencerminkan genre-genre yang dipertanyakan. Mungkin akan ditemukan elemen kejutan dalam tahap ini. Hal itu dibuktikan dengan pengembangan neologisme untuk membuktikan kebaruan genre sastra lintasmedia “Revolvere Project”. Dalam penelitian ini dilakukan analisis deskriptif untuk menjelaskan penerapan kedua langkah metode di atas. Kode-kode, konvensi-konvensi, dan neologisme yang ditemukan dalam karya sastra lintasmedia dijelaskan secara deskriptif. Dengan demikian, hal-hal dapat terincikan lebih jelas.
1.8 Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga bab. Bab I menerangkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian laporan. Bab II menerangkan tentang isi penelitian ini. Dalam hal ini, isi akan menjawab rumusan masalah, yakni perihal bagaimana sastra lintasmedia “Revolvere Project” bisa disebut sebagai sebuah genre sastra populer.
29
Bab III menjelaskan apakah sastra lintasmedia “Revolvere Project” adalah genre baru yang sedang berkembang dalam sastra populer dan bagaimana bisa disebut demikian. Bab IV merupakan penutup dari penelitian ini. Dalam bab IV disajikan simpulan akhir penelitian.