BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini kebutuhan dunia akan infrastruktur terus meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Dalam jangka panjang, GDP dunia diperkirakan akan tumbuh kuat dan mungkin bisa mencapai dua kali lipat selama periode tahun 2030. Pertumbuhan ekonomi tertinggi diperkirakan terjadi di wilayah Asia/Pasifik, Cina dan India1. PDB per kapita di negara-negara berpendapatan tinggi diperkirakan akan terus meningkat, bahkan lebih tinggi dari PDB rata-rata per kapita negara berkembang. PDB per kapita Cina dan India bisa meningkat tiga sampai empat kali pada tahun 2030. Tabel 1: Proyeksi Kebutuhan Investasi untuk Infrastruktur
Sumber: OECD, 2011 Sejalan dengan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia, kebutuhan akan infrastruktur juga akan terus meningkat. The Infrastructure to 2030 (OECD, 2006-07) menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi infrastruktur global yang mencakup transportasi darat (jalan, 1
Strategic Transport Infrastructure Needs to 2030, OECD 2011
1|Page
rel), telekomunikasi, listrik dan sektor air akan mencapai sekitar USD53 triliun lebih selama periode 2010-2030. Pertumbuhan kebutuhan investasi per tahun akan mencapai sekitar 2,5% dari GDP dunia, dan akan meningkat menjadi 3,5% dari PDB apabila memperhitungkan kebutuhan investasi untuk pembangkit listrik dan energi lainnya seperti minyak, gas dan batubara. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya peningkatan infrastruktur diperkirakan menjadi komponen kunci dalam upaya pemerintah untuk menarik investasi yang lebih besar bagi ekspansi dan daya saing ekonomi. Pembangunan infrastruktur merupakan tantangan utama yang harus segera diatasi. Secara umum, perkembangan infrastruktur Indonesia, dinilai jalan di tempat dan tidak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi serta kemajuan di negara lain. Dalam Global Competitiveness Report 2008-2009, Indonesia berada di urutan ke-86 dari 134 negara, tertinggal dibandingkan Malaysia (23), Thailand (29), China (47), India (72), Sri Lanka (65) dan Pakistan (85) (2). Kondisi infrastruktur secara umum diperkirakan belum akan banyak berubah, kendati beberapa langkah terobosan sudah ditempuh. Diperkirakan listrik merupakan infrastruktur yang akan lebih dulu pulih disusul dengan jalan raya, terutama jalan tol, tetapi infrastruktur lain masih jauh tertinggal dengan negara lain. Telekomunikasi mungkin yang paling mapan karena ditolong oleh teknologi seluler. Gambaran lebih buruk terlihat pada infrastruktur yang terkait dengan masyarakat, seperti pengairan, sanitasi, air bersih, dan angkutan umum massal, yang semestinya menjadi prioritas. Gambaran di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masih merupakan tantangan besar yang harus diatasi. Pemerintah terus berupaya menggenjot pembangunan infrastruktur, namun banyak kendala yang dihadapi, mulai dari masalah pendanaan hingga persoalan teknis di lapangan. Dari sisi pendanaan, saat ini alokasi anggaran infrastruktur dalam postur APBN masih di bawah standar yang ditetapkan. Alokasi anggaran infrastruktur dewasa ini baru mencapai kurang lebih 2 persen terhadap PDB, sedangkan idelanya, menurut Asian Development Bank (ADB), anggaran pembangunan infrastruktur di Indonesia minimal 5 persen dari PDB.
2|Page
Meskipun kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur masih terbatas, pemerintah dapat membangun infrastruktur melalui skema pembiayaan Kerja Sama Pemerintah-Swasta (Public Privat Partnership-PPP), skema Viability Gap Funding (VGF) atau skema pembiayaan unsolucited. Permasalahannya, untuk melakukan skema tersebut, diperlukan adanya tata kelola (good governance) yang baik dalam pengelolaan proyek. Melalui pengelolaan yang baik, pemerintah tidak akan kesulitan dalam mengakses pendanaan, karena pembiayaan akan datang dengan sendirinya. Berdasarkan gambaran di atas, maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana good governance dalam pengelolaan proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui PPP, VGF maupun pembiayaan unsolucited. Dalam kajian ini juga akan dianalisis kesuksesan dan kegagalan good governance beberapa proyek yang dikerjasamakan melalui PPP, VGF maupun pembiayaan unsolucited di berbagai negara, sehingga akan menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat dalam menjalankan investasi publik yang lebih berkelanjutan pada proyek-proyek infrastruktur. 1.2 Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk : 1. Memetakan
gambaran
good
governance
proyek-proyek
pemerintah
yang
dikerjasamakan dengan swasta dan mengembangkan kerangka kerja good governance yang dapat meningkatkan kontribusi pada pembangunan infrastruktur. 2. Menganalisis kerangka regional yang dapat menfasilitasi pembiayaan/kerjasama jangka panjang untuk pembiayaan infrastruktur di wilayah regional. 1.3 Metodologi Kajian Dalam studi ini digunakan tiga pendekatan. Pertama, sudi literatur yakni pengumpulan data atau referensi lainnya sebagai pendekatan teori maupun sebagai perbandingan. Kedua, dalam studi ini juga dilakukan pengumpulan data primer untuk melihat permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan terkait dengan proyek-proyek infrastruktur, dan ketiga, pengumpulan informasi melalui focus group discussion (FGD). 3|Page
Melalui FGD diharapkan ada masukan terhadap hasil temuan dalam penelitian ini dari pihak-pihak yang kompeten dalam bidangnya. 1.4 Sistimatika Penulisan Laporan Laporan penelitian ini dibagi menjadi empat bagian, yakni bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan dan metodologi penelitian. Bagian kedua merupakan kajian teoritis yang berisi tentang skema pendanaan infrastruktur, konsep Good Governance, pengalaman keberhasilan dan kegagalan proyek infrastruktur,
dan
perkembangan kerjasama regional untuk pembiayaan infrastruktur. Pada bagian ketiga diuraikan mengenai analisis dan pembahasan yang berisi tentang gambaran good governance, pengembangan pendanaan Asean
Infrastructure Fund dan proyek-proyek
infrastruktur unggulan. Bagian terakhir berisi kesimpulan dan rekomendasi.
4|Page
5|Page
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1 Skema Pendanaan Infrastruktur Infrastruktur merupakan prasarana publik paling mendasar guna mendukung kegiatan ekonomi suatu negara. Ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Mengingat vitalnya infrastruktur bagi pembangunan ekonomi, maka pembangunan infrastruktur menjadi kewajiban pemerintah sepenuhnya. Data empiris menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara ketersediaan infrastruktur dasar dengan perekonomian. Hasil studi yang dilakukan David Aschauer2 menyimpulkan bahwa ketersediaan pelayanan infrastruktur merupakan faktor produksi penting. Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa menurunnya produktivitas, dapat disebabkan oleh memburuknya ketersediaan pelayanan infrastruktur. Sementara itu, Bernt dan Hansson3 mengemukakan bahwa peningkatan pelayanan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi. Morrison dan Schwatz 4 meyatakan bahwa ketersediaan pelayanan infrastruktur terbukti mampu mengurangi biaya faktor produksi. Norton5 menunjukkan bahwa infrastruktur di sektor telekomunikasi berdampak positif dan siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Singkatnya, berbagai studi di atas memperlihatkan bahwa investasi di bidang infrastruktur memberikan dampak positif bagi perekonomian. Sementara itu, berbagai penelitian untuk mengukur peranan infrastruktur dalam perekonomian antara lain dilakukan oleh World Bank6 yang menyatakan bahwa pertumbuhan
David A Aschauer,., “Is Publik Expenditure Productive?”, Journal of Monetary Economics p. 177200, 1989 3 Berndt, E. R., and B. Hansson, “Measuring the Contribution of Publik Infrastructure Capital in Sweden”, National Bureau of Economic Research Working Paper Number 3842, 1991 4 Morrison, C. J., And A. E. Schwartz, “State Infrastructure and Productive Performance”, National Bureau of Economic Research Working Paper Number 3981, 1992 5 Norton, S. W., “Transaction Costs, Telecommunications, and the Microeconomics of Macroeconomic Growth”, Economic Development and Cultural Change 40: 175-196, 1992 6 World Bank, World Development Report 1994: Infrastructure for Develoment, New York: Oxford University Press, 1994 6|Page 2
ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat dengan pertumbuhan ketersediaan pelayanan infrastruktur sebesar satu persen pula. Selanjutnya penelitian-penelitian mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian dilakukan Canning7, Marianne Fay8, Roller dan Waverman9 , Calderon dan Serven10 ) serta Marianne Fay dan Tito Yepes11. Berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa investasi infrastruktur berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian.
Permasalahannya peningkatan permintaan tidak diimbangi dengan kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, bahkan dari tahun ke tahun semakin menurun kemampuan keuangan pemerintah. Untuk menjembatani menurunnya kemampuan pemerintah dalam mendanai infrastruktur, maka dikembangkan berbagai skema pendanaan seperti Public-Private Parthership, business to business dan skema SPV 2.1.1 Skema Public-Private Parthership Kebutuhan untuk menemukan cara-cara alternatif dalam pembiayaan infrastruktur mendorong dibuatnya skema pembiayaan kerjasama antara publik dan swasta dalam menyediakan barang publik. Kerjasama ini berbentuk Public Private Partnership (PPP) atau sering disebut Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) dilakukan, di mana prinsip-prinsip fungsi perusahaan swasta diimplementasikan dalam administrasi publik. William J. Parente12 mendefinisikan PPP adalah ”an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which : (a) private party undertakes government function for specified period of time, (b) the Canning, D., “The Contribution of Infrastructure to Aggregate Output”, World Bank Working Paper Number 2246, 1999 8 Marianne Fay, “Financing The Future: Infrastructure Needs in Latin America, 2000-05”, World Bank Working Paper Number 2545, 1999 9 Lars Röller, Hendrik and Len Waverman, The Impact of Telecommunications Infrastructure on Economic Growth and Development: A first Look at the Data, in The Implications of Knowledge-Based Growth for Micro-Economic Policies, The University of Calgory Press, 1996 10 Calderon C., and L. Serven, “The Output Cost of Latin America’s Infrastructure Gap”, Central Bank of Chile Working Papers Number 186, 2002 11 Marianne Fay and Tito Yepes, “Investing in Infrastructure: What is Needed from 2000 to 2010”, World Bank Working Paper Number 3102, 2003 12 Parente, William J., ”Public Private Partnerships” dalam Workshop on “Fundamental Principles and Techniques for Effective PublicPrivate Partnerships in Indonesia”, Jakarta, 2006 7
7|Page
private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party.” Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip adil, terbuka,
transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah (i) meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP, (ii) mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees, (iii) mengurangi risiko kegagalan proyek, (iv) dapat menarik bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi, dan (v) mencegah aparat pemerintah dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Tujuan partisipasi sektor swasta dibidang infrastruktur adalah : (i) mencari modal swasta untuk menjembatani modal pembiayaan yang besar dibutuhkan investasi infrastruktur pelayanan umum, (ii) memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan sarana pelayanan, (iii) mengimpor alih teknologi, (iv) memperluas dan mengembangkan layanan bagi pelanggan, dan (v) meningkatkan efisiensi operasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah dan Swasta antara lain adalah : (i) penting bagi semua pihak untuk saling memahami, misi, fungsi dan tugas, hak, kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan, (ii) melakukan penyamaan persepsi dalam negosiasi kegiatan kemitraan, sangat diperlukan keterbuakaan, komitmen dari para pelaku pembangunan dengan dicapainya hasil yang saling menguntungkan, (iii) perlunya keterlibatan langsung seluruh pihak, terutama Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan dan lain-lain, (iv) keberadaan dan akses data yang relevan, mudah, benar dan konsisten, (v) dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan baik tingkat Pusat, Propinsi ataupun Daerah (Kabupaten/ Kota), (vi) kriteria persyaratan lelang/negosiasiyang jelas, transparan dan konsisten, dan (vii) struktur dan tugas Tim Negosiasiyang jelas dan kemampuan dalam penguasaan materi bidang Hukum, Teknis dan Keuangan. Terdapat beberapa skema kerjasama melalui Public Private Partnership, diantaranya adalah: a. Kontrak Servis 8|Page
Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee. Beberapa contoh Kontrak Servis: (i) kontrak pembersihan jalan, (ii) pengumpulan dan pembuangan sampah, (iii) pemeliharaan jalan, (iv) pengerukan kali, dan (v) jasa mobil derek. b. Kontrak Manajemen Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee. Beberapa contoh Kontrak Manajemen (i) perbaikan dan pemeliharaan jalan, (ii) pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill), (iii) pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant), (iv) pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion, dan olahraga, tempat parkir, sekolah). c. Kontrak Sewa (Lease) Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung risiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun. Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease): (i) taman hiburan (entertainment center), (ii) terminal udara/bandara, dan (iii) armada bis atau transportasi lainnya. d. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun. Beberapa variasi dengan “tema” sama BT (Build and Transfer), BLT (Build-LeaseTransfer), BOO (Build-Own-Operate), BTO (Build-Transfer-Operate), CAO (Contract-
9|Page
Add-Operate), DOT (Develop-Operate-Transfer), ROT (Rehab-Operate-Transfer), ROO (Rehab-Operate-Own)Development. Sedangkan beberapa contoh Kontrak BOT: (i) pembangkit Listrik (Independent Power Producer/IPP), (ii) jalan Toll, (iii) terminal udara (Airports), (iv) bendungan & bulk water supply, (v) instalasi Pengolahan Air (water/wastewater treatment plant), (vI) pelabuhan laut (Seaports), dan (vii) fasilitas IT (Information Technology). e. Kontrak Konsesi Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggung jawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan membangun
suatu
aset
infrastruktur,
dan
memberikan
hak
untuk
mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 sampai 35 tahun. Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease): (i) pelabuhan udara (keseluruhan atau sebagian), (ii) jalan toll, (iii) pelabuhan laut, (iv) penyediaan dan distribusi air bersih, (v) rumah sakit, dan (vi) fasilitas olah raga. 2.1.2 Skema Pembiayaan Internasional Isu Krisis Infrastruktur memiliki keterkaitan kuat dengan krisis keuangan dan perdagangan yang tengah melanda perekonomian global. Liberalisasi pasar infrastruktur merupakan strategi utama dalam rangka memulihkan pasar keuangan yang tengah sekarat. Sama dengan invasi dalam pasar pangan, pertanian, pasar iklim, pasar asuransi sosial, yang kesemuanya didorong untuk menjadi penopang bagi stabilitas pasar keuangan. Meskipun invasi infrastuktur juga dipandang penting dalam rangka memperlancar arus investasi dan perdagangan di semua sektor, namun tujuan yang paling penting adalah investasi infrastruktur itu sendiri dan bagaimana menciptakan pasar keuangan yang lebih luas bagi sektor swasta dalam menyerap uang negara dan keuangan Publik dalam skala yang lebih luas agar masuk dalam pasar infrastruktur.
10 | P a g e
Sedikitnya terdapat empat lembaga pembiayaan internasional yang dapat menjadi sumber pendanaan infrastruktur, yaitu: 1.
Multilateral Development Banks termasuk didalamnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan lembaga keuangan lain yang menjadi afiliasinya seperti Multilateral Investment Guarantee Association (MIGA). Dalam keadaan tertentu, badan-badan ini dapat memberikan peningkatan kredit seperti jaminan risiko parsial (PRGs) kepada perusahaan proyek dan pemberi pinjaman.
2.
Foreign & Domestic Commercial Banks yang menyediakan pembiayaan utang untuk proyek. Dimungkinkan untuk mengamankan semua pembiayaan utang dalam negeri untuk proyek-proyek yang lebih kecil, namun proyek yang lebih besar mungkin membutuhkan penggabungan pembiayaan dengan pemerintahan.
3.
State Infrastructure Fund, dalam kasus Indonesia secara resmi dikenal sebagai Indonesia Infrastruktur Fund (IIF), didanai oleh Pemerintah Indonesia (melalui PT Sarana Multi Infrastruktur), bank-bank pembangunan multilateral, International Finance Corporation (IFC) dan Pemerintah Jerman untuk memberikan pembiayaan dalam bentuk utang untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia..
4.
ASEAN Infrastructure Fund (AIF)13. AIF merupakan lembaga pembiayaan infrastruktur ASEAN yang dibentuk untuk memberi dukungan pembiayaan bagi pengembangan infrastruktur di ASEAN dengan memanfaatkan kelebihan likuiditas di kawasan. AIF merupakan inisiatif bersama para Menteri Keuangan ASEAN dan Asian Development Bank (ADB) sebagai upaya untuk memberikan dukungan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur di kawasan ASEAN. Inisiatif ini dilatarbelakangi adanya perbedaan yang nyata pada tingkat perkembangan infrastruktur di negaranegara ASEAN (infrastructure development gap). Di samping itu, adanya kelebihan likuiditas domestik (domestic resources) harus dapat diserap dan dimanfaatkan bagi pembangunan infrastruktur di ASEAN. AIF, dalam implementasinya akan diwujudkan dalam suatu special purpose vehicle (SPV) yang akan dikelola oleh ADB.
AIF untuk Pengembangan Infrastruktur di Asia Tenggara, dalam Majalah Media Keuangan, Vol. VI No. 45/Mei/2011 11 | P a g e 13
Melalui SPV, modal yang telah terbentuk kemudian akan di-leverage. Pada tahap selanjutnya,
apabila
SPV
sudah
mempunyai
tagihan
atas
proyek-proyek
infrastruktur yang didanainya, tagihan ini selanjutnya dapat disekuritisasi untuk meningkatkan likuiditas sehingga akan meningkatkan pula kapasitas pinjamannya. Dengan demikian, SPV tersebut akan dapat melakukan mobilisasi dana dengan tingkat yang lebih tinggi. Pada saat yang bersamaan, SPV dimaksud akan dapat membangun track records yang baik bagi AIF. 2.1.3 Pendanaan Melalui Perbankan Dilihat dari sudut pandang Perbankan, sampai saat ini sektor Infrastruktur termasuk dalam kelompok sektor industri yang memiliki tingkat risiko maupun return pada
level
moderat14.
Dalam
melakukan
pembiayaan
infrastruktur,
perbankan
mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif antara lain:
Cost of Project yang relatif sangat besar sehingga memerlukan skema sindikasi/joint financing;
Tenor kredit secara umum berjangka panjang sehingga memiliki tingkat risiko yang tinggi;
Kebutuhan self-financing yang besar, sehingga hanya investor tertentu yang mampu memenuhi persyaratan tersebut;
Ketentuan tarif jasa infrastruktur termasuk penyesuaiannya harus jelas diatur dalam perjanjian kerjasama/kontrak;
Potensi terjadinya risiko overrun cost, sehingga pada umumnya perbankan mensyaratkan adanya jaminan dari pemilik proyek untuk menanggung risiko tersebut;
Potensi terjadinya risiko inkonsistensi kebijakan di bidang infrastruktur (antara lain kebijakan tarif, kebijakan penjaminan dari Pemerintah).
Zulkifli Zain, Pembiayaan Komersial sebagai Upaya Mempercepat Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, diunduh dari http://pusbinsdi.net/file/1328010528PembKomer%20Zulkifli.pdf 14
12 | P a g e
Sesuai karakteristik proyek tersebut di atas, maka diperlukan komitmen pemerintah dan/atau pemegang saham dalam hal:
Pembebasan lahan, diperlukan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan pembebasan lahan sesuai jadwal;
Komitmen/kepastian dari Pemerintah atas implementasi ketentuan/Undang– undang yang ada (misalnya kepastian kenaikan tarif tol);
Adanya komitmen/jaminan dari pemegang saham untuk menyelesaikan proyek (termasuk dalam hal terjadi cost overrun) dan pemenuhan kewajiban/ pengembalian pinjaman kepada bank (termasuk dalam hal terjadi cash deficiency).
2.2 Konsep Good Governance Konsep good governance pertama diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), United Nations Development Program (UNDP), Asian Development Bank (ADB), dan kemudian dikembangkan oleh banyak pakar di negara-negara berkembang untuk mewujudkan gagasan-gagasan baik menyangkut tata-pemerintahan berdasarkan kondisi lokal dengan mengutamakan unsur-unsur kearifan lokal15. Konsep good governance pada awalnya didasari gagasan yang sifatnya interdependensi dan interaksi antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta secara sehat dan seimbang. Oleh karena itu, agar proses implementasi kebijakan publik dapat dilaksanakan dengan efektif dan berhasil, maka interaksi antara negara, masyarakat, dan pihak swasta harus didasari unsur partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi. Konsep good governance juga menekankan pada terwujudnya demokrasi, karena itu penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya good governance, yang berdasarkan pada adanya tanggung jawab, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Idealnya, ketiga hal itu akan ada pada diri setiap aktor institusional dimaksud
Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Publik, UGM Press. Yogyakarta. 2006 15
13 | P a g e
dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap langkah governance. Menurut UNDP16, prinsip-prinsip good governance adalah sebagai berikut:
Mengikutsertakan semua;
Transparan dan bertanggung jawab;
Efektif dan adil;
Menjamin adanya supremasi hukum;
Menjamin prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan konsensus masyarakat;
Memperhatikan kepentingan masyarakat yang paling miskin dan lemah dalam pengambilan keputusan menyangkut alokasi pembangunan. Dalam upaya mewujudkan good governance dan good local governance, pemerintah
telah menetapkan agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik di Indonesia, agenda tersebut setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu:17
Berkurangnya secara nyata praktik korupsi kolusi dan nepotisme di birokrasi, yang dimulai dari jajaran pejabat paling atas;
Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan Pemerintah yang efisien, efektif dan profesional transparan dan akuntabel;
Terhapusnya peraturan dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga;
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2.3 Pengalaman Keberhasilan dan Kegagalan Proyek Infrastruktur Tidak semua proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan swasta sukses, ada juga yang gagal. Laporan studi yang dibuat oleh Vickram Cuttaree18 menunjukkan bahwa
16
Bappenas. Artikel: Pemikiran Tentang Good Governance.ha1.1.www.Bappenas.go.id
17
Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik
14 | P a g e
contoh proyek yang sukses dikerjasamakan dengan swasta melalui PPP adalah program jalan tol di Chile. Dalam periode 1993 sampai dengan 2001, pemerintah Chile memberikan 21 konsesi proyek jalan tol senilai US $ 5 miliar secara kompetitif. Dalam rangka untuk menguji pasar dan mengurangi risiko yang dihadapi sektor swasta, pemerintah memulai melelang proyek-proyek kecil. Lelang diikuti oleh 27 konsorsium dan lebih dari 40 perusahaan dalam negeri dan sepuluh negara asing. Proyek jalan tol yang dikerjasamakan melalui konsep PPP ini dinilai sangat transparan dan kompetitif, meskipun pemerintah hanya memberikan jaminan atas pendapatan minimum. Hasil survey kepuasan pengguna, konsultasi dan para pemimpin daerah maupun pemerintah pusat dalam sebuah focus group discussion menunjukkan bahwa tingkat kepuasan dengan menggunakan skala 1 sampai dengan 7, para stakeholder merasa puas dengan memberikan nilai skala 6. Sementara itu contoh proyek jalan tol yang gagal dikerjasamakan melalui PPP terjadi di Mexico. Dalam periode 1987 sampai dengan 1995, pemerintah Mexico menenderkan 52 proyek jalan tol (diantaranya 25 ditenderkan secara kompetitif). Pada akhir 1995, 34 proyek telah mencapai financial close dengan nilai investasi mencapai US$9,9 miliar. Swasta dengan penawaran masa konsesi terpendek memenangkan tender dengan maksimum masa konsesi 15 tahun, namun hal ini menyebakan tarif tol sangat tinggi. Pemegang konsesi juga diwajibkan membuat jalan pararel yang bebas biaya. Biaya jalan tol rata-rata meningkat dari US$ 0.02/km menjadi US$ 0,17 setelah masa konsensi. Biaya konstruksi berjalan rata-rata mencapai 25 persen, sedangkan pendapatan aktual rata-rata sekitar 30 persen, jauh di bawah perkiraan. Akibatnya hanya 5 proyek yang memenuhi atau melampaui target. Akibat kegagalan ini Pemerintah Mexico mengambil alih 23 proyek dan membayar hutang kepada Bank Mexico sekitar US$5 miliar dan perusahaan konstruksi sekitar US$2,6 miliar. Pelajaran yang dapat dimabil dari kasus di Chile dan Mexico adalah keberhasilan proyek yang dikerjasamakan melalui PPP di Chile dikarenakan beberapa faktor, yakni (i) Vickram Cuttaree, Successes and Failures of PPP Projects, The World Bank Europe & Central Asia Region, 2008 18
15 | P a g e
proses pengadaan yang transparan, (ii) fokus pada menciptakan kesadaran masyarakat (tolling culture), dan (iii) pengalaman pemerintah dalam mengembangkan program dan selalu melakukan penyesuaian. Sedangkan kegagalan proyek pemerintah di Mexico disebabkan antara lain (i) kombinasi jangka waktu konsesi dengan rendahnya lalu lintas penggunaan tol menyebabkan biaya tol menjadi mahal, (ii) keberadaan jalan pararel yang bebas biaya memberikan kontribusi terhadap kesulitan keuangan pemegang konsesi, (iii) situasi diperburuk oleh krisis Tequila, dan (iv) program mengakibatkan pemerintah harus membail-out secara besar-besaran. Beberapa pengalaman internasional lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi penyebab kegagalan proyek pemerintah yang dikerjasamakan dengan swasta adalah (i) miskinnya kerangka hukum dan lemahnya penegakan hukum, (ii) lemahnya kapasitas kelembagaan dan strategi PPP, (iii) estimasi biaya dan pendapatan yang tidak realistis, (iv) kurangnya analisis keuangan dan ekonomi secara menyeluruh, (v) pembagian risiko antara pemerintah dan swasta yang kurang tepat, (vi) pelelangan proyek yang kurang kompetitif, dan (vi) adanya resistensi dari publik (kemampuan untuk membayar tidak pernah dianalisis). Beberapa contoh proyek pemerintah yang mengalami kegagalan akibat tidak adanya good governance antara lain adalah: Pertama, proyek jalan tol di Hungary sebagai akibat tidak dianalisisnya kemampuan masyarakat. Jalan tol untuk pertama kali ditenderkan dan diimplementasikan Pemerintah Hungary di Eropa Tengah dan Timur. Pembangunan jalan tol selesai pada tahun 1995 sesuai jadwal dan sesuai dengan anggaran. Namun proyek ini gagal, karena volume lalu lintas 40 persen lebih rendah daripada yang diestimasikan. Tarif tol yang sangat tinggi diduga sebagai penyebabnya. Akibatnya, pemegang konsesi tidak mampu membayar hutang dan akhirnya pemerintah harus mengambil alih konsesi dengan biaya tinggi. Kedua, kasus sistem Air di Cochabamba, Bolivia juga merupakan contoh kegagalan proyek pemerintah. Pada bulan Oktober 1998, terjadi protes dari masyarakat yang berujung dengan kekerasan. Sembilan tentara Bolivia tewas, ratusan orang terluka dan beberapa pemimpin lokal ditangkap. Akhirnya, Aguas del Tunari mengumumkan bahwa 16 | P a g e
konsorsium menarik diri dari proyek. Struktur harga air minum diubah dan mengakibatkan adanya kenaikan hingga mencapai US$20 dalam setiap tagihan air untuk setiap pelanggan kelompok rumah tangga. Bahkan banyak dari rumah tangga yang harus membayar sampai US$100/bulan. Kegagalan ini mengakibatkan pemerintah Bolivia memprivatisasi sistem air di Cochabamba pada tahun 1999 dengan memberikan konsesi 40 tahun untuk sebuah konsorsium internasional yang disebut Aguas del Tunari. Ketiga, kasus jalan tol di Thailand. Pada tahun 1989, Don Muang Tollway tender untuk membangun jalan layang dengan masa konsesi 25-tahun dari Dinas Bina Marga Thailand dengan nilai proyek mencapai US$407.000.000. Don Muang Tollway menghadapi beberapa masalah karena tidak terpenuhinya pra-konstruksi. Salah satu penyebabnya adalah kalah bersaing dengan jalan bukan tol, sehingga volume lalu lintas dan pendapatan jauh dari perkiraan. Pada Oktober 1996 perusahaan tollway tidak bisa lagi membayar hutangnya dan pemerintah tidak memiliki pilihan kecuali mengambil alih beberapa pinjaman Don Muang Tollway. Keempat, tertundanya proyek pemerintah akibat tidak adanya kerangka hukum yang kuat untuk PPP untuk menentukan aturan main sektor swasta dan mengurangi risiko proyek. Kasus ini terjadi pada proyek Poland A1 Toll Motorway. Perjanjian konsesi proyek ini tidak dapat ditandatangani karena bagian terpenting dari perundang-undangan yang mengatur PPP hilang. Akibatnya dilakukan beberapa kali renegosiasi dan penyesuaian. Perjanjian pengusahaan baru ditandatangani pada Agustus 2004, 7 tahun setelah dimulainya negosiasi. Spesifikasi proyek secara signifikan berubah dan konstruksi dibagi menjadi dua proyek, tidak seperti rencana semula satu proyek. Pada Agustus 1997, Perusahaan Angkutan Gdansk memperoleh konsesi untuk membiayai, membangun dan mengoperasikan bagian dari sesi A1 Autostrada dari Gdansk sampai ke Torun. Kelima, kegagalan proyek pemerintah akibat kurangnya penataan kelembagaan, dukungan teknis dan diterapkannya checks and balances yang tepat. Hal ini terjadi pada proyek pemerintahan Portugal pada pertengahan 1990. Sebagai akibat kurangnya pengalaman dengan proyek-proyek PPP, proyek pemerintah Portugal mengalami penundaan dan kewajiban pemerintah terkait dengan proyek yang dikerjasamakan dengan swasta melalui skema PPP mencapai 10 persen dari PDB. Lemahnya kapasitas sektor 17 | P a g e
publik dalam mentransfer risiko untuk sektor swasta dan keterlambatan dalam memberikan persetujuan pemerintah atas tanah penting dan aspek lingkungan. Keenam, pengadaan yang tidak kompetitif memberikan posisi yang kuat untuk negosiasi dan dapat menyebabkan penundaan yang panjang dan biaya pemerintah yang berlebihan. Hal ini terjadi pada proyek Bulgaria Trakia Motorway. Pemerintah Bulgaria memberikan konsesi tanpa penawaran yang kompetitif untuk pembiayaan, merehabilitasi, membangun, dan mengoperasikan Bulgaria Trakia Motorway, bagian dari sebuah jalan raya A1 pada tahun 2004. Partai-partai oposisi menyerang proyek tersebut atas dasar kurangnya transparansi, tingginya kontribusi pemerintah dan harga konstruksi. Pemenang konsesi diminta untuk meningkatkan biaya konstruksi, namun kendala hukum dan tidak adanya jaminan tanggungan dari pemerintah atas risiko apabila volume lalu lintas lebih rendah menyebabkan penundaan proyek. Akibatnya, pembicaraan dengan pemegang konsesi gagal pada bulan November 2006 dan kesepakatan masalah keuangan belum disepakati. Ketujuh, guncangan terhadap kondisi makro ekonomi dapat menciptakan situasi yang tak terduga bagi pemerintah yang berakibat tidak dapat terpenuhinya kewajiban yang diatur dalam kontrak di PPP. Pengalaman ini terjadi pada proyek Argentina Water System. Setelah krisis ekonomi 2001, banyak konsesi proyek yang dinegosiasi ulang. Beberapa bahkan dihentikan dan tanggung jawab untuk penyediaan layanan dikembalikan pemerintah, seperti yang terjadi di Buenos Aires. Ketika mencabut konsesi pada Maret 2006, pemerintah berpendapat bahwa Aguas Argentinas tidak mematuhi kewajiban untuk melakukan ekspansi dan meningkatkan kualitas. Sementara itu Aguas Argentinas berargumen bahwa pembekuan tarif pada saat Peso didepresiasi 2001 secara substansial mengakibatkan nilai riil dari pendapatan menurun. Akibatnya perusahaan sulit untuk mencapai target.
2.4 Perkembangan Kerjasama Regional untuk Pembiayaan Infrastruktur Menurunnya memburuknya 18 | P a g e
kemampuan
kualitas
pelayanan
keuangan
pemerintah
infrastruktur
dan
menyebabkan
tertundanya
semakin
pembangunan
infrastruktur baru. Kondisi jaringan infrastruktur seperti ini pada akhirnya akan meningkatkan biaya pengguna (user costs) yang sangat besar, menghambat mobilitas ekonomi, meningkatkan harga barang serta mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menghadapi kondisi di atas, maka salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah dengan mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Namun upaya pemerintah ini menghadapi beberapa kendala, diantaranya adalah: Pertama, investasi swasta asing masih belum meningkat, padahal sebagian besar proyek kemitraan mengandalkan pinjaman asing. Kedua, sumber dana pembangunan infrastruktur dari perbankan sangat terbatas karena ketidakcocokan antara jangka waktu penyelesaian dan pengembalian proyek dengan jangka waktu pinjaman yang diberikan. Pada umumnya proyek infrastruktur memerlukan waktu antara 15-30 tahun untuk melunasi investasinya, sedangkan perbankan umumnya tidak tertarik mendanai proyek-proyek berjangka panjang. Kondisi sebagaimana diuraikan di atas tidak hanya dialami oleh Indonesia, akan tetapi hampir semua negara dewasa ini tengah menghadapi tantangan dalam mencari pendanaan di tengah krisis global. Upaya untuk mengakses sumber-sumber pendanaan untuk membiayai kebutuhan infrastruktur akan lebih efisien dan memiliki nilai tambah apabila ada kerjasama regional yang intensif. Setidaknya terdapat tiga keuntungan dari adanya dari kerjasama regional, yakni19: (i) dana yang terkumpul akan lebih besar, (ii) proyek tertentu yang melintasi batas-batas nasional memerlukan kerjasama dan koordinasi antar satu atau lebih negara; (iii) kegagalan dalam mengatasi kemacetan infrastruktur lintas batas yang akan menghambat pengembangan dan intensifikasi jaringan pasokan regional dapat memicu perdagangan dan pertumbuhan pendapatan di wilayah. Menyadari beberapa keuntungan dari adanya kerjasama regional untuk pembiayaan infrastruktur di atas, negara-negara di kawasan Afrika pada tahun 2001 membentuk The
United Nation-ESCAP, Enhancing Regional Cooperation Including That Related To Disaster Management, , United Nations publication Sales No. E.06.II.F.13 New York, 2006 19 | P a g e 19
Emerging Africa Infrastructure Fund (EAIF)20, sebuah kemitraan public-private partnership yang menyediakan pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur swasta di 47 negara sub-Sahara Afrika (kecuali Mauritius). EAIF menyediakan US$10 juta sampai dengan US$ 36,5 juta untuk proyek-proyek di berbagai sektor termasuk telekomunikasi, transportasi, air dan listrik. EAIF didirikan untuk mengatasi kurangnya pembiayaan jangka panjang untuk proyek-proyek infrastruktur di sub-Sahara Afrika. EAIF menawarkan pinjaman dalam USD dan EUR kepada perusahaan swasta. Pinjaman ini adalah untuk proyek-proyek greenfield atau untuk upgrade atau ekspansi. Dana bersumber dari negara-negara donor dan oleh EAIF diteruspinjamkan dengan persyaratan komersial. Pinjaman ini dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek yang (i) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, (ii) membawa manfaat yang berbasis luas kelompok penduduk, (iii) membahas isu-isu kesetaraan dan (iv) berpartisipasi dalam mempromosikan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Di wilayah Timur Tengah juga telah didirikan The Middle East and North Africa (MENA) Infrastructure Fund21. MENA yang didirikan di Dubai International Finance Centre (DIFC) ini merupakan investor regional, dengan target berinvestasi di sektor infrastruktur dan energi di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. Pendanaan MENA disponsori oleh tiga investor terkemuka di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara , yakni Fajr Capital, HSBC Bank Middle East dan Waha Capital. Sebuah tim investasi yang didedikasikan memanfaatkan dukungan dari para sponsor yang berpengalaman untuk memberikan peluang investasi kepada investor, bersama dengan modal dan keahlian keuangan kepada perusahaan di mana ia berinvestasi. MENA telah menjadi salah satu dana infrastruktur terbesar dan paling sukses di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di kawasan ASEAN telah dibentuk Asean Infrastruktur Fund (AIF) yang diharapkan dapat memberikan dukungan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur dengan
http://www.dfid.gov.uk/work-with-us/funding-opportunities/countries-and-regions/eaif/ diakses 27 Februari 2013 21 http://www.menaif.com/ diakses 27 Februari 2013 20 | P a g e 20
memanfaatkan kelebihan likuiditas di kawasan ASEAN. AIF dalam implementasinya diwujudkan dalam suatu special purpose vehicle (SPV) yang dikelola oleh ADB. Melalui SPV, modal yang telah terbentuk akan di-leverage. Dalam tahap selanjutnya, apabila SPV sudah mempunyai tagihan atas proyek-proyek infrastruktur yang didanainya, tagihan ini selanjutnya
dapat
disekuritisasi
untuk
meningkatkan
likuiditas
sehingga
akan
meningkatkan pula kapasitas pinjamannya. Dengan demikian, SPV tersebut akan dapat melakukan mobilisasi dana dengan tingkat yang lebih tinggi.
21 | P a g e
Bab III Analisis dan Pembahasan
3.1
Gambaran Good Governance
3.1.1 Good Governance Pemerintah Indonesia Mengacu pada laporan World Bank yang ditulis oleh Daniel Kaufman, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Lobatón22, terdapat hubungan langsung antara good governance, stable government, dan sosial-ekonomi yang lebih baik. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil riset pada lebih dari 150 negara dengan menggunakan enam indikator: (i) voice & accountability, (ii) political instability & violence, (iii) government effectiveness, (iv) regulatory burden, (v) rule of law dan (vi) graft. Dari berbagai indikator di atas, pada akhirnya diperoleh ukuran yang disebut Worldwide Governance Indicators (WGI). WGI setidaknya memberikan gambaran bagaimana perbandingan berbagai negara dalam mengelola negara masing-masing. Gambar 1: Percentile Ranking of Indonesia
Sumber: Worldwide Governance Indicators23
Daniel Kaufman, Aart Kraay, & Pablo Zoido-Lobatón, Agregating Governance Indicators, the World Bank, 1818 H Street N.W. Washington, DC 20433, 2009. 23 Angka 0 menunjukkan kondisi paling buruk dan 100 paling baik. 22 | P a g e 22
Grafik di atas menggambarkan perkembangan good governance Indonesia dilihat dari enam indikator yakni control of corruption, regulatory quality, rule of law, political stability & absence of violence, voice accountability, dan government effectiveness. Dalam periode 1998 sampai dengan 2010, dari enam indikator, tampak bahwa sejak tahun 2004 terdapat tiga indikator dengan performance buruk, yaitu rule of law, control of corruption, dan political stability. Tiga indikator ini lebih buruk dibanding dengan tiga indikator lain: voice accountability (yang berubah menjadi lebih terbuka setelah reformasi), government effectiveness (mengalami perbaikan dalam satu dekade), dan regulatory quality (cenderung stagnan)24. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan Brazil, Russia, India, dan China (BRIC)25, indikator political stability & absence of violence Indonesia masih di bawah Brazil dan China, namun lebih baik dibandingkan dengan Russia dan India. Brazil merupakan negara yang relatif stabil, sedangkan India, sebagai negara demokrasi terbesar, seringkali mengalami gejolak politik. Sementara itu, China adalah negara yang paling stabil karena kontrol pemerintah pusat terhadap politik sedemikian besar. Gambar 2 : Governance Indicator: Political Stability & Absence of Violence
Indikator yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah rule of law, karena cenderung stagnan dalam satu decade. Indikator control of corruption mengalami peningkatan, namun turun dalam dua tahun terakhir. Indikator political stability & absence of violence cenderung naik, namun turun dalam setahun terakhir. Pada saat rule of law turun, control of corruption cenderung turun. Dua indikator ini punya konvergensi menarik. Political stability & absense of violence terlihat masih buruk. Stabilitas politik memang lebih baik dibanding satu dekade lalu. Namun yang perlu digarisbawahi, negara yang jelas-jelas punya kekuasaan belum mampu melindungi warga negara dari kekerasan. Faktor ini mungkin menjadipenyebab indikator ini selalu berada diranking yang paling bawah. 24
Brazil, Rusia, India dan china adalah negara-negara yang memiliki kemiripan dengan Indonesia, baik dari sisi jumlah penduduk maupun tingkat Pendapatan Domestik Bruto 25
23 | P a g e
Sumber: Worldwide Governance Indicators
Gambar 3: Governance Indicator: Rule of Law
Sumber: Worldwide Governance Indicators
Dari sisi indikator rule of law, India, Brazil, dan China relatif lebih baik dibandingkan dengan Indonesia dan Russia. Brazil dan India memiliki rule of law yang paling baik dibanding tiga negara lainnya. China berada pada posisi medium, sedangkan yang paling buruk adalah Indonesia dan Russia. Gambar 4: Governance Indicator: Control of Corruption
24 | P a g e
Sumber: Worldwide Governance Indicators
Indikator control of corruption Brazil berada pada posisi terbaik. Sedangkan India, China dan Indonesia cenderung berada pada posisi medium dan Russia adalah yang terburuk dalam pemberantasan korupsi. Sebagai perbandingan, berdasarkan data corruption perception index dari Transparency International26, tahun 2011 Russia berada pada ranking ke-143 dengan skor 2,4, Indonesia berada pada ranking ke-100 dengan skor 3,0, India pada ranking ke-95 dengan skor 3,1, China pada ranking ke-75 dengan skor 3,6, dan Brazil berada pada ranking ke-73 dengan skor 3,8. Gambar 5: Governance Indicator: Voice & Accountability
Sumber: Worldwide Governance Indicators
Brazil dan India memiliki kebebasan berpendapat yang cukup baik. Hal ini tercermin pada indikator voice & accountability. Di samping itu, partisipasi publik di kedua negara ini juga lebih baik, dan kebebasan media yang lebih terjamin. Sedangkan Indonesia berada di bawah Brazil dan India. Rusia merupakan negara terburuk dalam indikator voice & accountability yang jauh berada di bawah Indonesia dan China. Gambar 6: Governance Indicator: Government Effectiveness
Transparency International (2012). "Corruption Perceptions Index 2012: In detail". Transparency International. Transparency International. Retrieved 24 August 2011. 26
25 | P a g e
Sumber: Worldwide Governance Indicators
China, Brazil, dan India memiliki Government effectiveness jauh lebih baik dibandingkan Indonesia dan Russia. Kontrol pemerintah pusat yang kuat dan sistem politik yang stabil menyebabkan China memiliki tingkat efektivitas yang cukup bagus . Sementara itu, Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan Russia dengan daratan terluas di dunia, memiliki tingkat efektifitas pemerintahan yang rendah. Ada dugaan kondisi alam berdampak pada efektivitas institusi pemerintahan. Gambar 7: Governance Indicator: Regulatory Quality
Sumber: Worldwide Governance Indicators
Selanjutnya, indikator regulatory quality Brazil berada pada ranking terbaik dibanding empat negara lainnya, sedangkan China berada di bawah posisi Brazil. Sementara itu, Indonesia, India, dan Russia, berada pada ranking bawah. 3.1.2 Good Governance Proyek Infrastruktur Pemerintah telah memiliki perencanaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur strategis, baik berupa jalan tol, rel kereta api, armada kapal dan pelabuhan laut bertaraf 26 | P a g e
internasional, serta pembangkit listrik. Namun dalam perjalanannya, perencanaan tersebut seperti “jalan ditempat”. Pemerintah berargumen bahwa permasalahan utama dalam pembangunan infrastruktur adalah masalah pendanaan. Sebagai salah satu jalan keluar, maka ditempuhlah kerja sama dengan swasta melalui public private partnership. Dalam rangka memperlancar proyek-proyek public private partnership, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas fiskal, seperti (i) Dana Tanah (the Land Funds), (ii) Pembiayaan Infrastruktur (the Infrastructure Fund), dan (iii) Dana Penjaminan (the Guarantee Fund). Pemerintah juga menyediakan dukungan dan jaminan untuk proyek public private partnership sebagaimana dituangkan dalam Perpres 13/2010. Disamping itu, melalui Perpres 56/2011, Menteri Keuangan dapat menyetujui pemberian dukungan pemerintah dalam bentuk insentif perpajakan dan/atau kontribusi fiskal dalam bentuk finansial berdasarkan usulan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah. Pemerintah juga berkomitmen menyediakan jaminan pemerintah terkait proyek-proyek public private partnership. Meskipun berbagai fasilitas dan dukungan telah diberikan pemerintah, proyekproyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan swasta masih banyak yang menghadapi permasalahan. Bahkan menurut hasil survei yang dilakukan Global Competitiveness Report27, kinerja infrastruktur Indonesia belum mampu mendukung daya saing yang lebih baik. Pada tahun 2011-2012 daya saing infrastruktur Indonesia menduduki peringkat ke-76 dari 142 negara yang disurvey. Diantara negara-negara anggota ASEAN, peringkat Indonesia jauh di bawah Singapura (peringkat ke-3), Malaysia (peringkat ke-46) dan Thailand (peringkat ke-42), tetapi masih di atas Philippine (diperingkat ke 105). Rendahnya daya saing infrastruktur di Indonesia tidak terlepas dari masalah good governance proyek-proyek infrastruktur. Berdasarkan hasil survey, setidaknya terdapat empat permasalahan utama yang dihadapi dalam public private partnership yaitu: (1) kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspon dengan baik oleh pasar, (2) faktor pembebasan tanah yang berlarut-larut, (3) ketidakmampuan investor untuk
Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum, Geneva, Switzerland 2011 27
27 | P a g e
menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure, dan (4) risiko proyek yang dianggap terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta. Sementara itu, menurut Infrastructure Summit tahun 2005, secara umum isu good governance di Indonesia mencakup inkonsistensi implementasi peraturan, ketidaktransparanan, dan korupsi. Pandangan yang mengemuka dalam Infrastructure Summit tahun 2005 di atas sejalan dengan hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur khususnya yang menggunakan skema public private partnership mengalami banyak hambatan (bottleneck), yang pada umumnya terjadi pada tahap penyiapan proyek, disebabkan antara lain oleh penyusunan Feasibility Study (FS) yang terburu-buru, kurangnya konsultasi publik, lemahnya koordinasi antar instansi, adanya kepentingan politik pimpinan daerah, lambatnya penerbitan ijin prinsip dan adanya hambatan regulasi (Daftar Negatif Investasi, prioritisasi penggunaan sumber daya air, Kawasan Pemangkuan Hutan, ijin penetapan lokasi bandara, dan Ijin Prinsip Persetujuan Pembangunan Jalan Tol).28 Tabel 2: Beberapa Contoh Proyek Infrastruktur dan Permasalahan yang Dihadapi No 1 2 3
4
Proyek Jalan Tol Jakarta outer ring road west 2 (JORR W-2) Tol Bogor-CiawiSukabumi Water Treatment Plant and Distribution of Cimahi Municipal Water Supply29 Proyek Maros Regency Water
Permasalahan Warga mengancam tidak memberikan lahannya untuk proyek pemerintah, karena proses penetapan harga dilakukan secara sepihak oleh panitia pengadaan tanah (P2T) Jakarta Selatan. Hambatan pembebasan lahan Pembuatan feasibility study terburu-buru, sehingga proyek dinyatakan gagal dan tidak layak, karena debit air terlalu kecil Tidak diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air. Fasilitas intake dan pipa transmisi yang sudah dibangun dengan nilai sebesar +
Praptono Djunedi, dkk. “Kajian Hukum atas Komitmen Pemerintah dalam Pembangunan Infrastruktur dengan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta” 2012. 29 Proyek Water Treatment Plant and Distribution of Cimahi Municipal Water Supply tercantum dalam PPP Book Tahun 2010-2014 sebagai potential project. Pada tahun 2011 telah dilakukan PreFeasibility Study oleh Bappenas, akan tetapi proyek tersebut tidak layak karena debit air yang terlalu kecil. Akibatnya, sejak 2010 proyek ini tidak mengalami kemajuan apapun, sehingga sesuai Peraturan Menteri PPN No.3/2009, proyek ini dikeluarkan dari PPP Book mulai tahun 2012. 28 | P a g e 28
5 6
Supply (Sulawesi Selatan)30 Proyek Terminal Terpadu Karya Jaya Palembang31 Fast Track Program (FTP) Tahap I32
7
Tol menuju Bandara Internasional Kualanamu
8
Bandara Internasional Kualanamu
9
Tol Trans Sumatera
10
Tol Semarang-Solo
Rp12 miliar menjadi tidak dapat dimanfaatkan Proyek masuk dalam Daftar Negatif Investasi Adanya keterlambatan status pendanaan, baik dari PHLN, APBN maupun APLN sindikasi perbankan sehingga pembukaan Letter of Credit dan proses pembayaran terkendala. Kendala pembebasan lahan baik untuk pembangkit maupun transmisi sebagai akibat kepemilikan ganda atas tanah, sehingga lokasi pembangkit terpaksa digeser dan harus dilakukan penyesuaian disain kembali. Panjangnya jalur proses perizinan yang tidak mempunyai standard waktu yang baku Proyek dianggap tidak feasible, sehingga pada waktu ditender sepi peminat. Kendala pembebabasan lahan baik disebabkan adanya kepemilikan ganda atas tanah maupun harga tanah yang diminta masyarakat jauh di atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Operasional Bandara Internasional Kualanamu terhambat oleh rumitnya pemberian izin IMB City Check-in Kereta Api. Adanya tarik ulur Tirtanadi dan Tirtauli berkenaan dengan kewenangan dalam menyuplai air. Kendala pembebasan lahan jalan utama (non-tol/arteri) menuju bandara. Tahun 2005 ditenderkan, namun tidak ada yang berminat karena tidak feasible. Tahun 2008 pemerintah menunjuk PT Hutama Karya untuk menggarap Tol Trans Sumatera Pemerintah akan memberikan dukungan agar IRR proyek meningkat. Proyek ini dikerjakan oleh PT Trans Marga Jawa Tengah. Proyek dibagi menjadi 2 tahap yakni tahap pertama Semarang Bawen (sudah beroperasi) dan tahap kedua Bawen-Solo (baru dalam tahap pembebasan lahan.
Proyek Maros Regency Water Supply tidak bisa dilanjutkan pembangunannya karena tidak diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air (SIPA), sehingga fasilitas intake dan pipa transmisi yang sudah dibangun dengan nilai sebesar + Rp12 miliar menjadi tidak dapat dimanfaatkan 31 Proyek Terminal Terpadu Karya Jaya Palembang, yang masuk dalam PPP Book sebagai potential project, ternyata masuk dalam Daftar Negatif Investasi 32 Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara 10.000 MW Tahap I seharusnya selesai seluruhnya pada tahun 2013. Namun menurut PLN diperkirakan secara keseluruhan selesai pada 2014. Saat ini proyek 10.000 MW Tahap I yang sudah beroperasi sampai akhir 2012 mencapai 4.510 MW, Tahun 2013 baru akan masuk sebanyak 2.428 MW karena sampai saat ini masih dalam tahap commissioning atau uji coba, dan tahap konstruksi tahun ini sebanyak 2.919 MW. 29 | P a g e 30
Permasalahan yang dihadapi antara lain: - Tuntutan sebagian masyarakat atas harga tanah terlalu tinggi. - Pemerintah daerah yang dilalui jalan tol meminta agar dibuatkan jalan penghubung kota dengan tol dan wilayahwilayah yang berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan tol. Sumber: Hasil penelitian, diolah.
Hasil penelitian yang dilakukan OECD33 juga mendukung temuan di atas. Menurut OECD sejak era Reformasi pada tahun 1999, Indonesia telah meraih kemajuan pesat dalam menerapkan unsur-unsur pokok demokrasi modern, mulai dari pemilihan umum terbuka hingga kebebasan media. Proses desentralisasi yang dicirikan sebagai “big bang” telah mentransformasi
pemerintah
Indonesia
menjadi
salah
satu
pemerintah
paling
terdesentralisasi di seluruh dunia. Indonesia juga telah berhasil menjalankan pemulihan ekonomi yang kuat setelah anjloknya produksi yang terburuk dalam sejarah pascakemerdekaannya pada tahun 1998- 1999. Transisi sistemik tersebut juga diiringi dengan penurunan kekerasan sosial dan gangguan separatis. Namun demikian, kemunculan demokrasi dan desentralisasi “big bang” belum cukup untuk mewujudkan pasar yang kompetitif dan rezim regulasi yang menunjang perdagangan. Transformasi kelembagaan yang luas dalam administrasi negara Indonesia selama satu dekade terakhir juga mengakibatkan proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang rumit, jika bukan tidak teratur. Demikian pula proses desentralisasi yang pesat menimbulkan banyak peraturan yang tumpang-tindih dan tidak konsisten di antara kementerian/lembaga pemerintah pusat, di antara pemerintah pusat dan daerah serta di antara pemerintah daerah. Yang mengkhawatirkan lagi adalah desentralisasi kemungkinan dapat menciptakan lebih banyak peluang korupsi dengan meningkatkan jumlah pembuat keputusan di seluruh Indonesia yang memiliki kekuasaan mengeksploitasi proses penyusunan kebijakan untuk keuntungan pribadi. 3.1.3 Pembentukan Public-Private Partnership Unit 33
Kajian OECD mengenai Reformasi Menghubungkan Pasar, September 2012 30 | P a g e
Regulasi
Indonesia
Memperkuat
Koordinasi
dan
Sebagai konsekuensi atas tingginya risiko yang dihadapi oleh swasta, pemerintah menyediakan jaminan untuk proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui skema public private partnership. Namun perlu disadari bahwa pemberian jaminan ini menimbulkan adanya kewajiban kontinjensi terhadap APBN34. Sementara itu, potensi kegagalan proyek-proyek infrastruktur sebagai akibat kurangnya good governance juga akan berdampak pada keuangan negara35. Beberapa contoh kelemahan proyek-proyek infrastruktur sebagaimana dipaparkan dalam Tabel di atas berpotensi akan membebani keuangan negara dalam jangka panjang. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa masalah utama penyebab terhambatnya proyek-proyek infrastruktur bukanlah masalah pendanaan, namun lebih ke masalah good governance. Menurut hasil penelitian Syahrir Ika36, investor tidak berminat karena proyek tidak feasible secara ekonomi, atau investor sudah bersedia berpartisipasi, namun terkendala masalah regulasi, kurangnya konsultasi publik ataupun kurangnya koordinasi antar instansi menyebabkan proyek yang feasible terkendala pelaksanaannya. Sementara itu, kunci keberhasilan dalam penerapan good governance adalah adanya pembagian tugas dan pertanggung jawaban yang jelas antara semua pihak yang terlibat dalam kemitraan37. Untuk itu, salah satu kerangka untuk memperbaiki permasalahan transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan independensi, pemerintah perlu memetakan prinsip-prinsip: (i) responsible, yaitu dengan menetapkan siapa yang Dalam kerangka program pembangunan infrastruktur melalui mekanisme Public Private Partnership, Pemerintah menyiapkan tiga fasilitas keuangan berupa Dana Tanah (The Land Funds), Dana Infrastruktur (The Infrastructure Funds), dan Dana Penjaminan (The Guarantee Fund). Dana tanah yang terdiri atas Dana Land Revolving, Land Capping, dan Land Acquisition dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Sementara Dana Infrastruktur dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Indonesia Infrastructure Finance. Kedua perusahaan di atas didirikan dengan tujuan membantu investor memperoleh pembiayaan domestik baik dalam bentuk pinjaman maupun penyertaan modal. Sebagai tindak lanjut pembiayaan pada proyek KPS, Pemerintah juga mendirikan Guarantee Fund dengan nama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII). 35 Pemerintah sebaiknya belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan berbagai proyek yang dikerjasamakan dengan swasta melalui skema public private partnership di berbagai negara seperti si Chili, Mexico, Hungary, Bolivia, Thailand, Portugal, Bulgaria dan Argentina. 36 Syahrir Ika, dkk, Prospek dan Tantangan Infrastruktur 2013, dalam bulletin IFT Edisi kuartal IV 2012. 37 Richardus Eko Indrajit, Ragam Model Bisnis Kemitraan Pemerintah-Swasta Sebuah Kunci Sukses Pengembangan E-Government Di Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung. 31 | P a g e 34
bertanggung jawab secara langsung terhadap eksekusi program atau proyek yang ada; (ii) accountable dengan menetapkan lembaga pelaksana yang akuntabel dalam membuat keputusan dan mengawasi kinerja proyek; (iii) consulted, yaitu penetapan lembaga tempat berkonsultasi dalam setiap penyelenggaraan sebuah inisiatif agar tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku, yang dalam hal ini bisa beraneka ragam jenisnya, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, kementrian terkait, dan lain sebagainya; dan (iv) informed, yaitu pihak yang harus diberikan informasi terkait dengan perencanaan dan pengembangan sejumlah inisiatif tertentu, misalnya: publik, media, dan lain sebagainya. Good governance di atas dimaksudkan agar proyek lebih bankable, bukan saja untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan, namun juga dalam konteks lembaga keuangan non bank. Sebagai implementasinya, pemerintah bahkan pernah menyampaikan kepada APEC38 perlunya memperbaiki kondisi public private partnership dalam rangka persiapan akan kebutuhan kelembagaan keuangan di luar perbankan. Persiapan kelembagaan berkisar dari lingkungan yang lebih luas peraturan dan hukum untuk masalah persiapan proyek tertentu. Indonesia mengusulkan pengembangan kerangka kerja untuk menilai apakah anggota ekonomi APEC memiliki lembaga-lembaga dan praktik di negaranya untuk memberikan proyek-proyek infrastruktur yang bankable. Isu lain terkait dengan public private partnership adalah regulatory environment, coordination dan project selection. Dalam konteks regulatory environment, investor melihat perlunya peraturan yang jelas terkait dengan masa proyek. Hal ini tidak hanya dalam lingkup peraturan terkait investasi, namun juga sektor, khususnya yang berkaitan dengan hak atas tanah dan kepemilikan. Dalam konteks coordination, adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan kurangnya kapasitas dari pemerintah daerah menciptakan hambatan lain pada investasi infrastruktur. Untuk itu perlu adanya pembagian kewenangan yang jelas atas berbagai jenis investasi infrastruktur. Selain itu, ada kebutuhan terkait kesiapan fisik lokal, 38APEC
Infrastructure Initiative for Supporting Global Growth, submitted by Indonesia, Hplolulu November 2011 32 | P a g e
termasuk bank tanah dan peraturan yang jelas dalam mengakuisisi lahan. Di kementerian dan lembaga tingkat nasional, pembagian tanggung jawab dan koordinasi juga penting. Misalnya, ada kebutuhan unit public private partnership yang memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan proyek-proyek di seluruh kementerian. Project selection atau pemilihan proyek tergantung pada prioritas pemerintah dan pada tingkat apa dapat mendukung pasar. Untuk itu pemerintah dan swasta juga perlu menyadari isu sektor yang spesifik. Sektor yang berbeda (air, energi, transportasi) mungkin memiliki dinamika yang berbeda dan oleh karena itu, struktur proyek mungkin berbeda. Pertanyaan yang penting adalah apakah kebutuhan sektor yang spesifik tersebut cukup menarik bagi kalangan investor swasta untuk berinvestasi? Terakhir, terkait dengan project preparation, salah satu perhatian adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi. Seharusnya sebelum ditenderkan, proyek harus dilengkapi dengan dukungan fasilitas yang terdiri dari berbagai layanan infrastruktur seperti: pengacara, pemodal dan lain sebagainya yang diperlukan dalam memperlancar transaksi. Apabila berbagai fasilitas yang diperlukan dalam transaksi telah dikembangkan sebelum investor masuk, maka periode proyek dapat diperpendek. Tusk Advisory (2011)39, sebuah lembaga konsultan, mengembangkan PPP Pentagram. Fungsi dari PPP Pentagram adalah untuk membantu Pemerintah menciptakan daya tarik dalam penyediaan infrastruktur melalui penyusunan pendekatan yang disiplin dan menyeluruh (holistik) dalam penyediaan program dan proyek infrastruktur. Metode ini membantu
untuk menilai perkembangan PPP di Indonesia sekaligus melihat
kekurangannya. 5 komponen PPP Pentagram adalah political courage & legislative leadership, funding commitment & pipeline creation, regulations & governance of delivery, correct PPP model & optimal risk sharing, industry capacity &community support. Dengan menggunakan metode analisis PPP Pentagram, dapat dijabarkan beberapa perkembangan dan permasalahan dalam pelaksanaan PPP di Indonesia. Pertama, yang jadi permasalahan dalam sisi political courage & legislative leadership saat ini adalah belum beraninya legislatif mengambil langkah tidak populis, seperti mengesahkan RUU Tusk-Advisory, 2011. Gaining traction in infrastructure delivery: Introducing the PPP PENTAGRAM. Proceedings of the PPPs in Emerging Markets Conference, (PEMC’ 11). 33 | P a g e 39
Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum. Adanya RUU Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum sangat penting dalam perkembangan PPP ke depannya. Keberanian legislatif lah yang menjadi penentu saat ini. Menurut Jeffrey Delmon (2009)40, menciptakan lingkungan yang kondusif dan dukungan politik kepada PPP menjadi penentu dalam berjalannya skema PPP di suatu negara. Komponen kedua adalah
funding commitment & pipeline creation. Dalam hal
pendanaan (funding commitment), Indonesia sudah jauh membaik. Indonesia telah mengalokasikan lebih dari US$ 670 juta untuk dana pembebasan lahan bergulir dan land capping. Selain itu, Indonesia telah menginvestasikan US$ 500 juta untuk pendirian dua lembaga pembiayaan baru guna menyediakan dana jangka panjang di sektor infrastruktur (PT SMI & PT IIF). Tetapi, dalam hal pipeline creation (penyusunan daftar proyek) komitmen pemerintah masih dipertanyakan. Contohnya, dalam PPP Book 2011 yang diterbitkan oleh Bappenas, proyek pembangunan Monorail Jakarta dicantumkan sebagai proyek yang “already tendered”. Tapi, seperti yang kita tahu, Gubernur DKI Jakarta justru membatalkan proyek tersebut. Hal ini tentunya harus dievaluasi pemerintah, agar penetapan proyek PPP dilakukan dengan lebih baik. Pemerintah Indonesia bisa mencontoh bagaimana pemerintah Filipina memilih proyek PPP yang akan dijalankan. Pemerintah Filipina memutuskan sebuah proyek infrastruktur akan memakai skema PPP (atau tidak) dan dukungan fiskal yang akan diberikan setelah melalui rapat intesif tingkat Menteri dan stakeholders terkait, sehingga proyek yang dipilih memang tepat sasaran dan feasible. Komponen ketiga adalah regulations & governance of delivery. Governance delivery menjadi salah satu permasalahan mendasar PPP. Indonesia tidak memiliki lead agency yang jelas dalam pelaksanaan PPP (Wibisono, Delmon & Hahm, 2011) 41. Saat ini, koordinasi PPP dilakukan oleh KKPPI (Komite Kerja Percepatan Pembangunan 40
Jeffrey Delmon, Understanding Options for Public-Private Partnerships in Infrastructure—Sorting Out the Forest from the Trees: BOT, DBFO, DCMF, Concession, Lease...(Washington, DC: The World Bank, 2010); Edward Fishman, 2009.
Wibisono, Andri., Jeff Delmon and Hongjoo Hahm. 2011. Unlocking the Public-Private Partnerships Deadlock in Indonesia, The World Bank Office Jakarta, May 2011. 34 | P a g e 41
Infrastruktur), yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Sedangkan unit kerja PPP justru berada dibawah Bappenas. Hal ini dipersulit oleh kenyataan bahwa Bappenas tidak memiliki kekuatan fiskal untuk memberikan penawaran bankable dari pemerintah (Tusk, 2011)42. Komponen keempat, correct PPP model & optimal risk sharing. Pada awalnya, Indonesia terlalu terpaku pada skema Build-Operate-Transfer(BOT), dengan harapan dukungan pemerintah pada setiap proyeknya dapat diminimalisir. Akan tetapi, hal ini justru menyebabkan penawaran proyek PPP mengalami kegagalan, karena swasta tidak cukup yakin untuk mengikuti proyek infrastruktur tanpa dukungan pemerintah. Indonesia bisa belajar dari kegagalan proyek monorail Jakarta. Kegagalan proyek tersebut disebabkan oleh (saat itu) belum adanya skema penjaminan dan dukungan fiskal yang memadai bagi proyek PPP. Sehingga, perusahaan pemenang tender kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan. Skema PPP tidak berarti pemerintah dapat melepas dukungannya begitu saja. Dukungan pemerintah tetap dibutuhkan dalam pengembangan skema PPP. Menghadapi lemahnya good governance proyek-proyek infrastruktur, maka dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui public private partnership, perlu dibentuk public private partnership unit. Hal serupa telah banyak dilakukan oleh berbagai negara seperti Jamaica, Philippine, Australia, Afrika Selatan, Korea, Portugal, Banglades, Inggris, dan lain-lainnya43. Public private partnership Unit harus didesain sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang dikerjasamakan melalui public private partnership. Dengan mengacu pada laporan World Bank, secara umum struktur PPP Unit adalah sebagai berikut: Gambar 8: Government Function, Failures, and Roles of public private partnership Unit Tusk-Advisory, 2011. Gaining traction in infrastructure delivery: Introducing the PPP PENTAGRAM. Proceedings of the PPPs in Emerging Markets Conference, (PEMC’ 11) 42 43
Lihat lampiran
35 | P a g e
Public Private Partnership Unit dapat berkontribusi bagi keberhasilan proyekproyek infrastruktur apabila unit ini dirancang secara spesifik untuk memperbaiki kegagalan pemerintahan dalam menjalankan public private partnership. Unit ini nantinya akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh pemerintah, melakukan analisis keuangan proyek public private partnership, dan harus memenuhi standar umum maupun kebijakan khusus pemerintahan seperti transparan, pengadaan yang kompetitif, kebijakan fiskal yang prudent, serta complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Indonesia dapat banyak belajar dari Afrika Selatan dan Belanda dalam mendirikan public private partnership unit, karena permasalahan yang dihadapi kedua negara ini hampir sama. Menurut Wibisono, Delmon & Hahm (2011)44, public private partnership lead agency di Afrika Selatan dan Belanda berada di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki kekuatan fiskal sehingga skema PPP dapat berjalan dengan baik. Wibisono, Andri., Jeff Delmon and Hongjoo Hahm. 2011. Unlocking the Public-Private Partnerships Deadlock in Indonesia, The World Bank Office Jakarta, May 2011. 44
36 | P a g e
Public private partnership unit nantinya lebih difokuskan pada memberikan advice kepada kementerian keuangan terkait public private partnership, membantu pemerintah dalam memperkuat kualitas public private partnership di masa yang akan datang dan mereview proposal proyek-proyek infrastruktur bersama dengan kementerian/lembaga terkait. Dengan demikian fungsi public private partnership unit difokuskan pada technical assistance, quality control, dan policy formulation. 3.2 Pengembangan Pendanaan ASEAN Infrastructure Fund ASEAN Infrastructure Fund (AIF) adalah perusahaan pembiayaan swasta yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN dan Asian Development Bank (ADB) yang berdomisili di Malaysia. AIF didirikan dengan tujuan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan infrastruktur di kawasan ASEAN dalam rangka meningkatkan konektivitas ASEAN. Modal awal AIF ditetapkan sebesar USD485,20 juta yang merupakan iuran dari negara-negara anggota dan ADB sebagai share holder dan Administratur AIF. Penyertaan modal dibayar dalam tiga tahap (tranches) yang dimulai dari tahun 2012 hingga 2014. Malaysia dan ADB adalah sebagai shareholder terbesar yakni masing-masing sebesar 30,92 persen, sedangkan Indonesia menduduki peringkat kedua dengan share sebesar 24,73 persen. Tabel 3: Modal AIF Berdasarkan Negara Anggota(USD Million) No
Negara
Jumlah
Persentase
1
Brunai
10
2,06
2
Cambodia
0,1
0,02
3
Indonesia
120
24,73
4
Laos
0,1
0,02
5
Malaysia
150
30,92
6
Phillipines
15
3,09
7
Thailand
15
3,09
8
Singapore
15
3,09
9
Viet Nam
10
2,06
37 | P a g e
10
ADB Total
150
30,92
485,20
100,00
Sumber: AIF
Modal dasar AIF masih jauh dari kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara anggota. Berdasarkan estimasi Goh Ching Yin45 (2008) dan Nangia46, (2008), kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara ASEAN antara 2006 sampai dengan 2015 untuk new capacity mencapai USD 395,6 juta dan untuk maintenance mencapai USD 200,5 juta atau total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai 596,1 juta. Dari total kebutuhan pendanaan, diperkirakan sampai saat ini baru terpenuhi sebesar 20 persen.47 Tabel 4: Projected Infrastructure Requirements in ASEAN 2006–2015 (US$ billion)
Pendanaan AIF dapat ditingkatkan melalui berbagai alternatif seperti perluasan pendanaan melalui ASEAN Plus Three, penerbitan obligasi, dukungan pembiayaan dari luar ASEAN dan pembiayaan dari swasta (private). 3.2.1 Penerbitan Obligasi Goh Ching. Yin, ASEAN Infrastructure Financing Mechanism: concepts and progress, Paper presented at the ASEAN Infrastructure Financing Mechanism Conference, Kuala Lumpur, Malaysia. 10 November . 2008. 46 R Nangia, Overview of Infrastructure Financing in ASEAN. ADB Internal Repo Manila: ADB, 2008. 47 Hikmawan Seafullah, Melirik Partisipasi China, Jepang, dan Korea Selatan (+3) dalam ASEAN Infrastructure Fund, disampaikan dalam focus group discussion Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia: “Kajian Cost-Benefit turut sertanya negara Jepang, Korea, dan China dalam ASEAN Infrastructure Fund” | Holiday Inn, Bandung, 1 April 2013 38 | P a g e 45
Salah satu alternatif peningkatkan likuiditas dan kapasitas pinjaman AIF yang dipertimbangkan untuk ditempuh adalah melalui penerbitan obligasi48.
Penerbitan
obligasi dapat ditempuh melalui: pertama, obligasi yang dijamin dengan seluruh aset AIF. Jenis obligasi ini, sekarang tengah diwacanakan oleh AIF. Kedua, penerbitan obligasi melalui project bond guna untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Menurut
Beder49,
penghimpunan
dana
dalam
persaingan
pasar
(market
competition) pada sektor apapun diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan, membuat harga lebih murah, dan kebebasan memilih tingkat keuntungan bagi konsumen. Dalam menerbitkan project bond, konsorsium proyek biasanya harus menyediakan modal setidaknya 10 persen sampai dengan 20 persen dari nilai proyek tersebut. Project bond untuk public private partnership pada umumnya memiliki tenor 30 - sampai 40 tahun dan rating kredit AA dan serendah-rendahnya BBB. Risiko kredit terkonsentrasi pada masa konstruksi, di mana risiko ditanggung oleh konsorsium. Setelah masa konstruksi, yang biasanya berlangsung 4-5 tahun, bunga dan pembayaran pokok kontrak dijamin oleh pemerintah. Untuk risiko yang terkait dengan biaya operasional selama periode pascakonstruksi tergantung pada kompetensi konsorsium dalam mengevaluasi biaya operasi dalam jangka panjang 50. Risiko utama dari project bond untuk public private partnership adalah risiko kredit. Kompleksitas struktur keuangan, kontrak dan jaminan memerlukan keahlian khusus dalam analisis proyek infrastruktur untuk mengurangi risiko ini. Risiko lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah risiko likuiditas, karena obligasi infrastruktur jarang diperjualPengalaman dari negara-negara lain dalam membiayai infrastruktur melalui penerbitan obligasi antara lain dilakukan oleh European Commission yang menerbitkan “Europe 2020 Project Bond Initiative” sebagai upaya mencari alternatif sumber pendanaan melalui project bond di tengah dampak krisis global. Europe 2020 Project Bond Initiative digunakan sebagai katalis dalam mendorong pasar modal sebagai alternatif pendanaan proyek-proyek di negara-negara kawasan Eropa. Amerika Serikat juga telah memanfaatkan pasar modal jauh sebelum krisis keaungan global terjadi. Bahkan beberapa proyek seperti LNG, pipeline, dan petrochemical sukses mendapat rating investment grade dalam menerbitkan project bond. Di Malaysiapun juga sudah banyak proyek yang dibiayai melalui penerbitan sukuk sebagai project bond. 49 S. Beder, Electricity: The Global Impact of Power Reforms. Available, 2006 at http://www.tni.org/books/yearb05energy.pdf 50 Infrastructure Bonds: Why Consider Them?, diakses melalui http://www.normandinbeaudry.ca/publications/communiques/archives/2012/vol15-n3.en.html pada 10 April 2013. 39 | P a g e 48
belikan di pasar sekunder. Likuiditas akan sangat dipengaruhi oleh jumlah investor dan standarisasi struktur obligasi. Isu lain terkait dengan project bond adalah masalah peraturan di bidang infrastruktur. Hasil penelitian Larrain (2011)51 menunjukkan bahwa isu tersebut antara lain terkait dengan: pertama, allocation of projects yang berkenaan dengan masalah lelang. Penawar menawarkan biaya yang paling murah, akan tetapi pemenang tender akan menawar setelah memenangkan proyek. Kedua, fiscal guarantees.
Project’s financial
outcomes sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, fiscal guarantees biasanya akan ditawarkan oleh pemenang tender (misalnya minimum traffic). Ketiga, extension of concession. Apabila kondisi dari sisi financial kurang menguntungkan, maka concession yang merupakan bagian dari guarantee pemerintah dapat di-extend. Keempat, natural monopoly, di manaproyek-proyek berskala besar secara alami akan menjadi monopoli. Untuk itu, hal ini perlu mendapatkan perhatian karena konsumen mungkin menderita kerugian apabila terjadi penyalahgunaan. Meperhatikan persyaratan dan risiko dalam menerbitkan project bond untuk public private partnership, maka terdapat beberapa langkah yang harus dipersiapkan apabila AIF akan menggunakan sumber-sumber pendanaan dari negara-negara anggota ASEAN: pertama, mendorong penyatuan (convergence) kebijakan pasar keuangan dan pasar modal sertamempercepat perbaikan infrastruktur di pasar keuangan. Pertumbuhan pembiayaan infrastruktur terkait erat dengan perkembangan pasar modal regional. Hal ini disebabkan karena pemain regional, termasuk perusahaan konstruksi, perbankan, dan operator infrastruktur dapat memainkan peran utama dalam proyek-proyek masa depan. Selain itu, perusahaan regional akan lebih berperan karena mereka lebih tahu struktur penawaran. Kedua, adanya mismatching risk antara profil investasi dalam infrastruktur yang bersifat jangka panjang dengan pinjaman yang bersifat jangka pendek akan menghambat
Guillermo Larrain, Financing Infrastructure through Bond Markets: Lessons from Latin America., Presentation prepared for the “Africa Bond Markets Conference” IFC -World Bank – SIDA Nairobi, November 7 and 8, 2011. 51
40 | P a g e
investasi di bidang infrastruktur. Untuk itu instrumen seperti dana pensiun dan obligasi dapat meminimalkan risiko ketidakcocokan ini. Ketiga, dari sisi financial pemerintah harus (i)memperbaiki kerangka peraturan terkait dengan tax framework yang merupakan peran pemerintah, (ii) memperluas opsi penerbitan yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, (iii) merampingkan proses penawaran yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, (iv) memperbaiki kerangka efficient benchmark yield curve, dan (v) memperluas basis investor baik dari kalangan negara-negara anggota AIF maupun di luar AIF52. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah isu berkenaan dengan jangka waktu project bond. Hasil penelitian yang dilakukan Ngugi (2011)53 menunjukkan bahwa periode kepemilikan project bond akan mempengaruhi penyerapannya. Investor yang rasional skeptis akan menunda konsumsi uang untuk jangka waktu yang lama dan lebih senang berinvestasi dalam instrument yang berjangka pendek. 3.2.2 Perluasan Pendanaan AIF Melalui ASEAN Plus Three Salah satu langkah alternatif lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengundangnegara-negara mitra ASEAN,54 khususnya melalui ASEAN Plus Three untuk bergabung dengan AIF. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan perlunya perluasan pendanaan AIF dengan Jepang, China dan Republik Korea, diantaranya adalah:
Disamping memanfaatkan pasar modal kawasan ASEAN, AIF juga dapat mengakses ke pasar modal di kawasan Asia. Menurut hasil kajian United Nation-ESCAP, pada tahun 2000-2003 surplus tabungan di negara-negara Asia diperkirakan rata-rata mencapai US$200 miliar per tahun. Sementara itu menurut Market Pulse FX penerbitan Foreign currency bond di wilayah Asia pada akhir 2012 diperkirakan mencapai US$130 milyar. Secara historis, kurangnya instrumen keuangan yang cukup likuid menyebabkan surplus tersebut banyak keluar dari kawasan Asia. Project bond dari AIF diharapkan akan menjadi instrument keuangan yang likuid , sehingga potensi surplus tabungan di kawasan Asia dapat dimanfaatkan secara optimal. 53 Daniel Mugo Ngugi, The effect of regulation on infrastructure bonds uptake in Kenya, School of Business, University of Nairobi, 2011. 54 Setidaknya terdapat empat mitra ASEAN, yakni: Pertama mitra wicara penuh yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Kanada, Republik Korea, Rusia, Selandia Baru, Uni Eropa dan PBB. Kedua, East Asia Summit yang terdiri dari sepuluh angggota ASEAN, Australia, India, Jepang, Republik Korea dan Selandia Baru. Mulai 2011, Amerika Serikat dan Rusia resmi bergabung. Ketiga, mitra wicara sektoral, yakni Pakistan, dan keempat ASEAN mempunyai kerangka kerjasama dengan Jepang, China dan Republik Korea melalui ASEAN Plus Three. 41 | P a g e 52
Pertama, Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat ekonomi yang sangat baik di kawasan Asia55. Untuk itu, peranan Jepang dalam kerjasama di bidang ekonomi dengan ASEAN sangat diharapkan lebih besar.
Bahkan bagi Jepang, kawasan ASEAN
merupakan pasar yang sangat potensial bagi produk-produknya. Menurut Suwandana (2012)56, kerja sama Jepang dan negara-negara ASEAN dilandaskan pada dimensi tatanan ekonomi di mana negara-negara berkembang hanya berperan sebagai penyedia tenaga kerja murah bagi industri manufaktur sertabahan dasar untuk industri dan komoditi. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa Jepang berupaya menciptakan pasar eksklusif. Kedua, China sangat berkentingan dengan negara-negara ASEAN, terutama pada pembangunan ekonomi. Menurut John Wong dan Sarah Chan (2003)57, hubungan ekonomi ASEAN-China dibagi menjadi dua tahap. Yang pertama, dari tahun 1991, ketika Menteri Luar Negeri China Qian Qichen diundang untuk menghadiri Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-24. Pada tahun 2001 ketika Presiden China Zhu Rongji mengusulkan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China, ia melihat potensi kedua belah pihak untuk memperluas dan memperdalam hubungan perdagangan bilateral. Tahap kedua dimulai pada bulan November 2002, dengan penandatanganan Agreement on Comprehensive Economic Cooperation China-ASEAN menuju integrasi ekonomi regional. Selama bertahuntahun, China dan ASEAN telah melembagakan 48 mekanisme reguler untuk memfasilitasi kerjasama ekonomi yang lebih erat. Yang paling terkemuka antara mereka adalah mekanisme politik ASEAN+1, yang diluncurkan pada tahun 1997. Selain itu, ada lima kelompok kerja antara ASEAN dan China: Pertemuan Pejabat Senior China-ASEAN, Komite Kerjasama Bersama China-ASEAN, Komite Kerjasama Bersama Ekonomi dan Perdagangan ASEAN-China, Komite Bersama Sains dan Teknologi ASEAN-China (Juli 1994), dan Komite Jepang memilii cadangan devisa sebesar USD1.258.809 juta bulan Februari 2013. Cadangan Devisa Jepang secara historis dari tahun 1957 sampai tahun 2013, rata-rata naik sebesar USD231.803,10 juta per tahun. 56 Ingga Suwandana, Kepentingan Jepang Mengembangkan Kerjasama dengan Negara Asia Tenggara Dalam Asean +3, Universitas Gadjah Mada, 2012 57 John Wong and Sarah Chan, “China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future Economic Relations,” Asian Survey, Vol. 43, No. 3, May/June 2003, hal. 507-526; Thitapha attanapruttipaisan, 55
42 | P a g e
Beijing-ASEAN. Kedua belah pihak juga telah mengidentifikasi lima bidang utama kerjasama: pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya manusia, pembangunan sungai Mekong, dan investasi bersama. Dalam KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, pada bulan November 2002, China dan ASEAN menandatangani the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Apabila hal ini diimplementasikan, akan merupakan pasar umum bagi 1,7 miliar orang, dengan produk domestik bruto gabungan (PDB) sebesar US $ 1,5-2 milyar. Kedua belah pihak berusaha membangun kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu 10 tahun, pertama dengan ASEAN asli-6 pada tahun 2010, diikuti oleh seluruh ASEAN-10 pada tahun 201558. Ketiga, kemitraan ASEAN dengan Republik Korea berjalan dengan lancar seperti yang dikatakan oleh Presiden Republik Korea, Lee Myung Bak pada tahun 2009 bahwa perdagangan ASEAN-Republik Korea telah tumbuh 11 kali lipat dalam dua dekade terakhir menjadi senilai US$ 90,2 miliar tahun lalu. Angka tersebut bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 150 miliar pada 2015. Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China akan sangat tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena secara finansial, ketiganya mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari besaran cadangan devisa dan rata-rata outstanding cadangan perbankan di bank sentral (lihat Tabel 5). Disamping itu, juga telah terjalin hubungan baik antara ASEAN dengan ketiga negara tersebut. Namun demikian, dalam konteks perluasan pendanaan AIF ke ketiga negara tersebut perlu dilakukan pemetaan dampak positif dan negatifnya. Tabel 5: Average Oustanding Reserves Requirement pada Bank Sentral dan Cadangan Devisa Jepang, China dan Republik Korea John Wong and Sarah Chan, “China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future Economic Relations,” Asian Survey, Vol. 43, No. 3, May/June 2003, hal. 507-526; Thitapha Wattanapruttipaisan, “ASEAN-China Free Trade Area: Advantages, Challenges, and Implications for the Newer ASEAN Member Countries,” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 1, April 2003, hal. 3138; James Laurenceson, “Economic Integration between China and the ASEAN-5,” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 2, August 2003, hal. 103-111. 43 | P a g e 58
Negara
Average Oustanding Reserves
Cadangan Devisa
Jepang
62,95 Triliun JPY (May 2013)
USD 1,238.713 million (Juni 2013)
China
1,5 Trliun Yuan (Juni 2013)
USD 3.341.000 milliom (Des 2012
Republik Korea
-
USD 328.095 Million (May 2013)
Sumber: berbagai sumber, diolah
Sisi positif dari perluasan pendanaan ini adalah sumber pendanaan AIF akan menjadi semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya diversifikasi risiko. Disamping itu diharapkan pula akan terjadi transfer of knowledge and technology dari ketiga negara tersebut. Sisi negatif masuknya Jepang, Republik Korea dan China dalam pendanaan AIF adalah kemungkinan terdapat “tied” financing. “Tied” aid financing tentunya akan membatasi kemungkinan procurement yang lebih efektif dan efisien. “Tied” aid financing juga berpotensi terjadi dengan cara memasukkan konsultan/expert, khususnya Jepang (Kimura & Todo, 2010)59. Sementara itu Republik Korea tidak terlalu seperti Jepang dalam “tying the financing”. Masuknya Jepang, Republik Korea dan China juga berpotensi akan berdampak pada manajemen pendanaan infrastruktur di ASEAN dari yang telah direncanakan. 3.2.3 Partisipasi dari Swasta Sumber pendanaan infrastruktur secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni swasta dan pemerintah60. Swasta pada umumnya mendanai proyek-proyek melalui korporasi, public private partnership project dan non public private partnership project. Sedangkan pemerintah pada umumnya terkonsentrasi pada proyek infrastruktur tertentu (by project) dan traditional procurement.
Kimura, Hidemi and Todo, Yasuyuki, 2010. Is Foreign Aid a Vanguard of Foreign Direct Investment? A Gravity-Equation Approach. World Development 38(4) , 482-497. 60 Rien Wagenvoor, Carlo de Nicola and Andreas Kappele., Infrastructure finance in Europe: Composition, evolution and crisis impact, EIB Paper, Volume 15 No1 2010. 44 | P a g e 59
Menurut Lynn Tho (2013)61 dalam pembangunan infrastruktur, sektor swasta dapat berkontribusi melalui (i) memfasilitasi peningkatan konstruksi dan efisiensi operasional, (ii) menyediakan akses ke sumber modal yang lebih luas, (iii) pelayanan infrastruktur dengan akuntabilitas yang lebih baik, (iv) fokus pada asset delivery and service performance over asset life , dan (v) alokasi risiko dan imbalan yang lebih baik. Lembaga keuangan internasional yang mendanai proyek swasta sudah ada, antara lain adalah International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). IFC dan MIGA
adalah bagian Kelompok World Bank yang berurusan
dengan sektor swasta/kalangan bisnis, dengan memberikan pinjaman, ekuitas, jasa investasi, bantuan teknis, dan asuransi. IFC yang dibentuk pada tahun 1956, telah bekerjasama dengan hampir 2000 perusahaan di 129 negara62. Praktik lembaga keuangan internasional yang pendanaannya berasal swasta (misalkan melalui penjualan saham) sudah mulai dikembangkan oleh Australia’s Macquarie Group Limited (‘Macquarie’)63. Terdapat lima publicly traded infrastructure funds yang dikelola melalui model Macquarie pada Australian Securities Exchange ('ASX'), yaitu Macquarie Airports, Macquarie Capital Alliance Group, Macquarie Communications Infrastructure Group, Macquarie Media Group and the original and largest fund: Macquarie Infrastructure Group.
Lynn Tho, Impediments to Private Investment in Infrastructure APEC Workshop, Makassar, Indonesia 22-23 April 2013 62 IFC juga menyediakan aneka jasa kepada investor, seperti memberi saran tentang seluk-beluk undang-undang dan pasar di negara berkembang, bantuan teknis, dan konsultasi mengenai proyek tertentu. Untuk jasa semacam itu, IFC menerapkan biaya sesuai harga pasar. Kadang-kadang, IFC juga memberikan jaminan untuk proyek-proyek. Selain jasa resminya, IFC dipandang sebagai "sahabat investor" di negara berkembang karena afiliasinya dengan World Bank, dan hubungan yang erat dan pengaruhnya terhadap pemerintahan negara peminjam. Kelompok World Bank juga mendukung sektor swasta melalui badan anggota lainnya yaitu, MIGA. MIGA memberikan asuransi investasi terhadap risiko-risiko nonkomersial di negara-negara berkembang. Keterlibatan MIGA dalam sebuah proyek dipandang sebagai cara untuk memperkuat keyakinan dikalangan investor swasta dan publik yang terlibat dalam proyek di negara berkembang yang memiliki risiko-risiko politik. 63 Martin Lawrence and Geofrey P. Stapledon, 2008., Infrastructure Funds: Creative Use of Corporate Structure and Law – But in Whose Interests?, Geof Stapledon Law School University of Melbourne Vic 3010 Australia 45 | P a g e 61
Penggalangan sumber pendanaan tidak hanya terbatas di Australia, Macquarie juga melakukan listing di New York Stock Exchange (Macquarie Infrastructure Company), the Korea Exchange (Macquarie Korea Infrastructure Fund, join dengan the London Stock Exchange), the Singapore Stock Exchange (Macquarie International Infrastructure Fund Limited), and the Toronto Stock Exchange (Macquarie Power & Infrastructure Income Fund). Sebagai lembaga keuangan regional, AIF dimungkinkan untuk menggalang sumber pendanaan dari para investor non pemerintah. Artinya AIF dapat menjual sebagian sahamnya ke pihak swasta. Dengan demikian, di samping dapat berpartisipasi melalui pembelian project bond, pihak swasta dimungkinkan pula membeli saham AIF. Keikutsertaan swasta dalam permodalan AIF diharapkan akan menambah likuiditas AIF yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kemampuan AIF dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara anggotanya. Hingga saat ini sumber-sumber dana jangka panjang seperti dana pensiun, asuransi, dan reksadana masih diinvestasikan pada instrumen pasar modal yang tidak terkait langsung dengan pembiayaan infrastruktur. Menurut
World Development Indicators64,
global saving pada tahun 2013 diperkirakan mencapai USD17 triliun. Sementara itu kebutuhan pendanaan infrastruktur dunia diperkirakan hanya mencapai 10 persen saja. Kehadiran AIF yang khusus menangani pembiayaan infrastruktur, diharapkan akan memobilisasi sumber dana jangka panjang untuk mendorong investasi dalam proyekproyek infrastruktur di kawasan ASEAN. Peran AIF sangat krusial karena akan menjadi katalis yang menjembatani sumber dana jangka panjang dengan investasi dalam proyekproyek infrastruktur di ASEAN. Permasalahannya, terdapat cara pandang yang berbeda antara pemerintah dan swasta terhadap proyek infrastruktur. Bagi pemerintah, proyek-proyek infrastruktur yang direncanakan dan dibiayai oleh lembaga pemerintah pada umumnya secara ekonomis feasible, namun secara komersial tidak feasible. Proyek infrastruktur pada umumnya dirancang untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan pembangunan ekonomi.
64
World Development Indicators, online version, accessed 1/14/2013
46 | P a g e
Sementara itu, keputusan investasi yang dibuat oleh investor lebih mencerminkan pertimbangan operasional yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dalam jangka panjang. Untuk itu investor mendorong adanya alokasi risiko yang lebih baik, manajemen proyek, pengawasan dan akuntabilitas proyek secara keseluruhan. Menurut Cobb (2010)65 dalam mengamankan komitment pembiayaan proyek, baik dalam bentuk utang atau ekuitas, swasta akan menyertakan beberapa kriteria sebagai berikut: (i) kredibilitas keuangan yang menyangkut antara lain kondisi politik yang akan berdampak pada kelangsungan proyek yang disponsorinya, (ii) profesionalisme dan kemampuan kinerja masa lalu, (iii) gambaran risiko proyek yang diusulkan, termasuk risiko politik, risiko regulasi, risiko komersial, risiko mata uang, risiko lingkungan dan faktor risiko lainnya, (iv) prakiraan dan derajat keyakinan berkaitan dengan proyek, ketersediaan bahan baku atau persyaratan input, dan persyaratan penjualan produk, (v) kelayakan, teknis desain dan operasi proyek, termasuk teknologi dan kebutuhan sumber daya manusia, dan terakhir, dan (vi) memahami dan menerapkan kriteria ini adalah langkah penting dalam menentukan potensi pembiayaan proyek untuk investasi infrastruktur besar. Pada intinya, sektor swasta akan menginvestasikan modalnya melalui kepemilikan saham, apabila ada jaminan bahwa return yang akan diterima cukup menarik dan risiko usaha sedapat mungkin diminimalisir. Untuk itu perlu adanya garansi dari AIF kepada para calon investornya. Sebagai konsekuensinya, AIF juga mensyaratkan bahwa pemberian pinjaman harus diikuti dengan garansi dari negara-negara anggota AIF66. Menurut Lynn Tho (2013)67, untuk mendorong swasta berinvestasi di AIF, maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota adalah: (i) proses pengadaan Dr. J. Michaeil Cobb, Developing Public Private Infrastructur in Emerging Market, International Development Consultans, LLC, Princeton, New Jersey, USA 2003-2010, diunduh dari http://www.idcworld.com/finance.htm 11 April 2013. 66 AIF dapat belajar dari MENA, sebuah lembaga keuangan yang mendanai infrastruktur di Timur Tengah dan Arika Utara. Mena disponsori oleh Fajr Capital, HSBC, dan Waha Capital. Masing-masing sponsor berkomitmen menanam modal masing-masing USD50 juta atau lebih. Kini modal MENA telah mencapai USD300 juta Pada dasarnya metode investasi yang dilakukan MENA adalah melalui permodalan, memegang saham, pinjaman subordinasi, dan instrument ekuitas lainnya. 67 Lynn Tho, Impediments to Private Investment in Infrastructure APEC Workshop, Makassar, Indonesia 22-23 April 2013 47 | P a g e 65
proyek harus transparan, (ii) pengadaan harus tepat waktu dengan pendekatan pembiayaan, (iii) adanya standarisasi alokasi risiko dan kontrak, (iv) sumber daya yang memadai untuk persiapan dan pengadaan proyek, (v) dibentuk tim pemerintah untuk melakukan pengadaan, (v) sesuai dengan tingkat dukungan pemerintah dan proses persetujuan, dan (vii) political will dari pemerintah68. 3.2.4 Penerbitan Hybrid Capital Menurut Bank for International Settlement69, hybrid capital merupakan instrumen permodalan yang menggabungkan karakteristik dari ekuitas dan karakteristik tertentu dari utang. Masing-masing memiliki fitur tertentu yang dapat dipertimbangkan untuk mempengaruhi kualitasnya sebagai modal. Instrumen ini memiliki kesamaan dengan ekuitas, sehingga dapat dimasukkan sebagai modal pelengkap. Hybrid capital70 juga didefinisikan bentuk utang yang dapat dikonversi menjadi ekuitas. Hybrid capital mencakup berbagai instrumen, seperti saham preferen, yang bukan modal murni tetapi secara tradisional telah diperhitungkan satu rasio modal inti bank. Berdasarkan komponennya, terdapat tiga jenis hybrid capital, yakni: pertama terdiri dalam bentuk modal saham disetor yang bersifat permanen (ditempatkan dan disetor penuh saham biasa/saham biasa dan saham preferen perpetual non-kumulatif)
dan
disclosed reserve (alokasi saldo laba atau lainnya surplus, seperti misalnya premi, laba ditahan, cadangan umum dan cadangan hukum). Kedua, hybrid capital dalam bentuk undisclosed reserve, asset revaluation reserves, general provisions/general loan-loss reserves, hybrid (debt/equity) capital instruments, dan subordinated debt. Ketiga, hybrid capital dalam bentuk short-term subordinated debt.
Diskusi lebih lanjut berkenaan dengan model infrastructure fund dari perspektif investor dapat dilihat pada Martin Lawrence dan Geofrey P. Stapledon, 2008, Infrastructure Funds: Creative Use of Corporate Structure and Law – But in Whose Interests? Geof Stapledon Law School University of Melbourne Vic 3010 Australia 69 Basel Committee on Banking Supervision: International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards, Bank for International Settlements Press & Communications CH-4002 Basel, Switzerland June 2006. 70 Patrick Jenkins, Banking Editor, Financial Times 48 | P a g e 68
Penerbitan permodalan melalui hybrid capital pada mulanya merupakan regulasi perbankan adalah untuk memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi dalam industri yang dikelola secara hati-hati. Tujuannya adalah untuk melindungi perusahaan sendiri, pelanggan dan ekonomi, dengan menetapkan aturan untuk memastikan bahwa lembagalembaga ini terus cukup modal sehingga dapat dipastikan kelanjutan dari pasar yang aman dan efisien serta mampu menahan masalah mendatang. Upaya internasional utama untuk menetapkan aturan terhadap kebutuhan modal perbankan adalah melalui Basel Accords, yang diterbitkan oleh Basel Committee on Banking Supervision. Bassel Accords merupakan aturan yang menetapkan kerangka kerja tentang bagaimana bank dan lembaga penyimpanan harus menghitung modal mereka. Pada 1988, Komite memperkenalkan suatu sistem pengukuran modal sering disebut sebagai Basel I. Kerangka kerja ini telah digantikan oleh kerangka kecukupan modal yang dikenal sebagai Basel II, dan setelah 2012 akan digantikan oleh Basel III71. Dalam dekade terakhir, penerbitan surat utang seperti surat berharga subordinasi mengalami peningkatan, diantaranya disebabkan karena spread yang rendah pada instrumen pendapatan tetap. Kombinasi perubahan peraturan, pertumbuhan aset bank yang kuat dan lingkungan pasar yang menguntungkan memberikan kontribusi terhadap evolusi pasar hybrid capital terutama perbankan di Eropa. Gambar 9 menggambarkan penerbitan hybrid capital di Australia. Sejak tahun 2000 sampai dengan 2007 penerbitan hybrid capital terus mengalami peningkatan. Sejak krisis 2008 penerbitan hybrid capital mengalami penurunan, namun mulai 2012 kembali meningkat. Gambar 9: Penerbitan Hybric Capital di Australia
Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking systems, Bank for International Settlements Communications CH-4002 Basel, Switzerland, June 2011 71
49 | P a g e
Hybrid capital sepertinya juga menjadi salah satu pilihan pendanaan bagi industri non keuangan. Sebagai contoh adalah penerbitan hybrid capital yang dilakukan oleh Dong, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang energy. Pada tahun 2013 Dong Energy menerbitkan hybrid capital sebesar EUR500 juta dengan tenor 5 tahun dan upon 4,875%. Gambar 10: Penerbitan hybrid capital oleh Dong Energy
Sebagai produk perbankan, dalam perspektif jangka panjang hybrid capital dapat pula dipertimbangkan menjadi salah satu alternatif pengembangan permodalan bagi AIF. Kelebihan dari instrument ini adalah tidak akan mendelusi kepemilikan saham negara anggota AIF, karena penambahan permodalan berasal dari disclosed reserve, undisclosed 50 | P a g e
reserve maupun short-term subordinated debt tidak akan mempengaruhi komposisi kepemilikan saham. Dengan demikian penerbitan hybrid capital tidak akan mengurangi voting power Indonesia di AIF. AIF telah merencanakan untuk menerbitkan hybrid capital sebesar USD162 juta pada tahun 201572. Namun sebelum AIF memutuskan menambah permodalan melalui hybrid capital, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penambahan permodalan dalam bentuk utang tentunya akan berdampak pada meningkatnya cost of fund menjadi lebih mahal, sehingga suku bunga pinjaman dari AIF juga akan menjadi lebih mahal. Hybrid capital adalah surat pengakuan utang yang memiliki karakteristik tertentu seperti kemungkinan penangguhan pembayaran bunga, jangka waktu jatuh tempo yang lebih panjang. Dari sudut pandang investor, modal perbankan dari hybrid capital memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi, sehingga investor berharap adanya return yang lebih tinggi pula. Kedua, pengalaman menunjukkan bahwa sejak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2007 telah memaksa lembaga keuangan global mengalami kerugian akibat adanya penghapusan pinjaman. Bloomberg memperkirakan pada akhir tahun 2008, lembaga keuangan global menghapuskan (write-off) piutang-piutangnya lebih dari USD1,200 miliar. Kegagalan Lehman Brothers pada September 2008 berdampak pada anjloknya harga surat utang. Para investor yang pada saat itu memegang surat berharga perbankan (hybrid capital) menghadapi ketidakpastian terhadap nilai investasi mereka di masa depan73. Ketiga, apabila para pemegang hybrid capital mengalami kerugian besar, pemerintah dapat melalukan bailout. Otoritas moneter juga dapat membantu untuk mencegah kebangkrutan sistemik “too big to fail”. Oleh karenaitu apabila AIF ingin menerbitkan hybrid capital dan ternyata mengalami kegagalan, maka perlu dipikirkan bagaimana mekanisme bailoutnya. 72
http://www.adb.org/sites/default/files/linked-docs/45097-001-reg-fa.pdf
Peiyi Yu and Bac Van Luu, Lessons from the Collapse in Hybrid Bank Capital Securities, http://www.econ-pol.unisi.it/fineng/The_collapse_of_structured_bank_capital.pdf, diakses 29 Agustus 2013 51 | P a g e 73
Beberapa literatur yang dapat dijadikan referensi dalam menerbitkan hybrid capital adalah study yang dilakukan oleh Benston, Irvine, Rosenfeld, dan Sinkey (2003)74 yang menganalisis 105 isu hybrid capital oleh perbankan di Amerika Serikat dalam periode 1995-1997 dan mempelajari karakteristik emiten vs non-emiten. Mereka menemukan bahwa emiten cenderung lebih besar, memiliki tarif pajak yang lebih tinggi, dana yang tidak diasuransikan dan rasio ekuitas yang lebih rendah. Terdapat korelasi antara penerbitan hybrid capital oleh lembaga keuangan dan kebutuhan bailout pemerintah. Hasil penelitian DeYoung, et al (2001)75 menunjukkan bahwa berdasarkan data tahun 1990, penerbitan hybrid capital di Amerika Serikat, terutama dilakukan oleh perbankan dengan aset yang besar namun memiliki rasio kecukupan modal yang rendah, dapat menekan harga saham. Kasus serupa juga terjadi pada lembaga keuangan di Eropa pada era 2000. 3.3 Analisis Pilihan Sumber Pendanaan Berdasarkan financial analysis yang dibuat oleh AIF dan ADB 76, total pinjaman yang disetujui (baik yang dijamin maupun tidak dijamin) pada tahun 2012 mencapai USD300 juta dan pada tahun 2016 diharapkan menjadi USD439 juta. Sementara itu penarikan kredit pada tahun 2012 diperkirakan mencapai USD 9 juta dan tahun 2026 meningkat menjadi USD424 juta. Gambar 11: Perkiraan Pendanaan dan Modal AIF 2012-2016
Benston, G. J., P. Irvine, J. Rosenfeld, and J. F. Sinkey, 2003, “Bank Capital Structure, Regulatory Capital, and Securities Innovations”, Journal of Money, Credit and Banking. 75 DeYoung, Robert; Mark J. Flannery, William W. Lang, Sorin M. Sorescu (2001): “The Information Content of Bank Exam Ratings and Subordinated Debt Prices”, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 33, No. 4 (Nov., 2001). 76 http://www.adb.org/sites/default/files/linked-docs/45097-001-reg-fa.pdf 74
52 | P a g e
Sumber: ADB dan AIF, diolah
Dari sisi permodalan, AIF memperkirakan modal inti yang terdiri dari kontribusi negara anggota, hybrid capital, dan cadangan (reserve) pada tahun 2012 akan mencapai USD162 juta dan pada tahun 2026 mencapai USD1.614 juta. Untuk memenuhi komitmen dalam menyalurkan dana, AIF akan melakukan pinjaman. Diperkirakan outstanding utang AIF tahun 2016 sebesar USD120 juta dan tahun 2026 meningkat menjadi USD2.618 juta. Outstanding debt ini telah memperhitungkan redemption setiap tahunnya. Gambar 12: Perkiraan Outstanding Debt AIF 2012-2026
Sumber: ADB dan AIF, diolah
Mencermati perkiraan kredit, utang dan permodalan AIF di atas, maka langkah selanjutnya setelah komitmen pendanaan dari negara-negara anggota terpenuhi adalah penerbitan hybrid capital. Dana yang didapat dari hybrid capital sebaiknya tidak digunakan 53 | P a g e
untuk mendanai kredit, namun sebagai penguat permodalan sehingga AIF dapat melakukan leverage untuk penerbitan utang baru sebagaimana direncanakan mencapai 1,5 kali dari modal. Untuk menghindari dampak negatif dari penerbitan hybrid capital, sebaiknya sumber pendanaan tidak diambil dari cadangan devisa. Hal ini disebabkan pendanaan melalui cadangan devisa akan berdampak negatif terhadap stabilitas mata uang, terutama Indonesia. Dengan cadangan devisa yang terus menipis akibat defisit balance of payment, maka rupiah akan terus melemah. Sementara itu pendanaan hybrid capital melalui mekanisme APBN juga akan terkendala dengan pembahasan di Legislatif (DPR). Sebagaimana diketahui bahwa untuk penambahan pendanaan AIF dari negara anggota, perlu mendapatkan persetujuan dari DPR dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Alternatif terbaik, hybrid capital sebaiknya dijual ke pasar atau ditawarkan ke pemerintah Jepang, Korea atau China. Namun harus diakui penjualan hybrid capital ke negara lain akan berdampak pada hak suara Indonesia di AIF. Tahap berikutnya, dengan bertambahnya permodalan melalui hybrid capital, maka AIF dapat melakukan penambahan pendanaan dengan tujuan meningkatkan kemampuan dalam memberikan kredit kepada negara anggota. Sumber-pendanaan seperti melibatkan Jepang, Korea, China atau negara-negara lainnya dan menjual bond ke lembaga keuangan dapat menjadi alternatif sumber pendanaan. Namun prinsip yang terpenting adalah dicari sumber pendanaan dengan cost of fund termurah, tersedia dalam jumlah yang memadai dan dapat digunakan dalam jangka panjang, mengingat dana tersebut akan digunakan untuk mendanai infrastruktur yang pada umumnya membutuhkan pendanaan dalam jangka panjang (7-15 tahun).
54 | P a g e
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal, yakni: 1. Dalam periode 1998 sampai dengan 2010, good governance Indonesia dilihat dari enam indikator, yakni control of corruption, political stability & absence of violence, voice accountability, regulatory quality, rule of law, dan government effectiveness, sejak 2004 terdapat tiga indikator dengan performance buruk, yaitu rule of law, control of corruption, dan political stability. Tiga indikator ini lebih buruk dibanding dengan tiga indikator lain: voice accountability (yang berubah menjadi lebih terbuka setelah reformasi), government effectiveness (mengalami perbaikan dalam satu dekade), dan regulatory quality (cenderung stagnan). 2. Terdapat empat permasalahan utama yang dihadapi dalam public private partnership yaitu kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspons dengan
baik
oleh
pasar,
faktor
pembebasan
tanah
yang
berlarut-larut,
ketidakmampuan investor untuk menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure, dan risiko proyek yang dianggap terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta. 3. AIF sebagai perusahaan pembiayaan swasta yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN dan ADB dihadapkan pada masalah keterbatasan permodalan. Modal awal AIF ditetapkan sebesar USD485,20 juta, sedangkan kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara anggota diperkirakan antara 2006 sampai dengan 2015 mencapai USD596,1 juta. 4. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan dana AIF, pada tahun 2013 pemerintah tengah mengajukan beberapa proyek untuk didanai oleh AIF, yakni proyek 500 kV Java Bali Transmission Crossing, proyek Neighborhood Upgrading and Shelter Project II dan proyek Metropolitan Sanitation and Health Project II. Sedangkan untuk tahun 55 | P a g e
2014 meliputi proyek Flood Management in Selected River Basins, proyek Integrated Citarum Water Resources Management 2 dan Regional Road Development Project II. 4.2 Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui public private partnership, maka perlu dibentuk PPP Unit. Unit ini harus didesain sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang dikerjasamakan melalui PPP. Unit ini nantinya akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh pemerintah, melakukan analisis keuangan proyek public private partnership, dan harus memenuhi standar umum maupun kebijakan khusus dari pemerintahan seperti: transparan dan pengadaan yang kompetitif, menjadikan bijaksana fiskal yang prudent, dan complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. 2. Dalam rangka meningkatkan pendanaan AIF, maka dapat ditempuh melalui berbagai alternative, yakni: a. Penerbitan Obligasi Penerbitan obligasi dapat ditempuh melalui obligasi yang dijamin dengan seluruh asset AIF dan penerbitan obligasi melalui project bond guna untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Apabila sumber -sumber pendanaan dari negaranegara anggota ASEAN, maka diperlukan (i) adanya penyatuan kebijakan pasar keuangan dan pasar modal dan mempercepat perbaikan infrastruktur di pasar keuangan.
(ii) dari sisi financial pemerintah harus memperbaiki kerangka
peraturan terkait dengan
tax framework yang merupakan peran pemerintah,
memperluas opsi penerbitan yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, merampingkan proses penawaran merupakan peranan regulator di bidang keuangan, efficient benchmark yield curve, dan memperluas basis investor baik dari kalangan negara-negara anggota AIF maupun di luar AIF. 56 | P a g e
b. Perluasan pendanaan AIF melalui ASEAN plus three Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China akan sangat tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena secara finansial, ketiganya mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari besaran cadangan devisa dan rata-rata outstanding cadangan perbankan di bank sentral. Melalui perluasan pendanaan ini diharapkan sumber pendanaan AIF akan menjadi semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya diversifikasi risiko. Disamping itu diharapkan pula akan terjadi transfer of knowledge and technology dari ketiga negara tersebut. c. Partisipasi dari swasta Sebagai lembaga keuangan regional, AIF dimungkinkan untuk menggalang sumber pendanaan dari para investor non pemerintah. AIF dapat menjual sebagian sahamnya ke pihak swasta. Dengan demikian disamping dapat berpartisipasi melalui pembelian project bond, pihak swasta dimungkinkan pula membeli saham AIF. Keikutsertaan swasta dalam permodalan AIF diharapkan akan menambah likuiditas AIF yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kemampuan AIF dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara anggotanya. Untuk mendorong swasta berinvestasi di AIF, maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota adalah (i) proses pengadaan proyek harus transparan, (ii) pengadaan harus tepat waktu dengan pendekatan pembiayaan, (iii) adanya standarisasi alokasi risiko dan kontrak, (iv) sumber daya yang memadai untuk persiapan dan pengadaan proyek, (v) adanya tim pemerintah untuk melakukan pengadaan, (v) sesuai dengan tingkat dukungan pemerintah dan proses persetujuan, dan (vii) political will dari pemerintah. d. Penerbitan hybrid capital Sebagai langkah kedua setelah terpenuhinya iuran dari negara-negara anggota AIF, maka AIF dapat menerbitkan hybrid capital. Melalui hybrid capital diharapkan permodalan AIF menjadi semakin besar, sehingga kemampuannya dalam mencari
57 | P a g e
sumber-sumber utang semakin besar. 3. Dalam menentukan alternatif sumber pendanaan, AIF sebaiknya lebih menekankan pada sumber pendanaan dengan cost of fund termurah, tersedia dalam jumlah besar dan berjangka waktu panjang, sehingga sesuai dengan karakter pendanaan infrastruktur. 4. Mengingat keterbatasan pendanaan infrastruktur di Indonesia, sebaiknya disulkan agar proyek-proyek yang didanai oleh AIF tidak terbatas pada proyek-proyek yang bersifat connectivity antar negara anggota AIF, namun juga proyek-proyek infrastruktur lainnya, sesuai dengan prioritas masing-masing negara anggota AIF.
58 | P a g e