I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor dari sektor pertanian adalah hortikultura. Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari tentang budidaya buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan sektor pertanian dan perekonomian nasional, salah satunya dapat dilihat dari kontribusi subsektor hortikultura terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu negara dalam suatu periode tertentu. Kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB pertanian dan PDB nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura, Pertanian dan Nasional Tahun 2010 Tahun 2010 Sektor/Subsektor Nilai PDB (Milyar Rp.) Hortikultura 86.565,46 Pertanian Total PDB Nasional
737.874,10 6.422.918,20
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
Subsektor hortikultura memberikan kontribusi sebesar 11,73 persen terhadap PDB sektor pertanian dan sebesar 1,35 persen terhadap PDB Nasional pada tahun 2010. Prospek pengembangan agribisnis hortikultura saat ini sangat besar mengingat ketersediaan sumberdaya alam, keanekaragaman agroekosistem, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, keanekaragaman komoditas, serta serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat.
1
Salah satu komoditas dari subsektor hortikultura adalah tanaman sayuran. Sayuran memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total PBD Hortikultura tahun 2010, yaitu sebesar Rp 31.244,16 Milyar atau 36,09 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2011). Salah satu komoditas sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah satu sayuran yang cukup diminati, baik sebagai bahan konsumsi maupun komoditas perdagangan dalam dan luar negeri. Produk jamur konsumsi memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, kandungan gizi tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Hal ini didukung dengan adanya proses budidaya jamur konsumsi yang sebagian besar tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga jamur aman untuk dikonsumsi. Proses budidaya jamur konsumsi pun tergolong mudah, waktu budidaya yang relatif singkat, dan dapat dilakukan di sebagian besar tempat di Indonesia yang umumnya bersuhu hangat. Hal tersebut ditunjang pula oleh mudahnya pengadaan bibit dan media tanamnya. Budidaya jamur konsumsi tidak memerlukan lahan yang luas dan memiliki tingkat produktivitas tertinggi bila dibandingakan dengan tanaman sayuran lain yang dibudidayakan di Indonesia (Lampiran 1). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut menjadikan jamur konsumsi semakin diminati untuk dibudidayakan dari tahun ke tahun, baik sebagai usaha sampingan berskala rumah tangga hingga usaha berskala besar. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukan tingkat perkembangan produksi jamur di Indonesia.
Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2010 Luas Panen Produksi Produktivitas Tahun (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 2005 254 30.854 121,47
Tabel 2.
2006
298
23.559
79,06
2007
377
48.247
127,98
2008
637
43.047
67,58
2009
700
38.465
54,93
2010
684
61.376
89,76
2
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa produksi jamur di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, sedangkan luas panen jamur dari tahun 2005 hingga tahun 2009 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan paling pesat, yakni sebesar 68,97 persen dari total luas panen tahun 2007. Namun, pada tahun 2010 luas panen jamur justru
mengalami
penurunan
sebesar
2,32
persen.
Keadaan
tersebut
mengindikasikan bahwa peningkatan luas panen ternyata tidak diiringi oleh peningkatan hasil produksi jamur. Selama tiga tahun berturut-turut (tahun 2007, 2008, dan 2009) produksi jamur nasional terus mengalami penurunan jumlah produksi, rata-rata sebesar 10 persen per tahunnya. Namun, pada tahun 2010 produksi jamur nasional kembali meningkat dimana hal ini terlihat dengan adanya peningkatan produksi sebesar 59,56 persen dari tahun sebelumnya. Menurut data dari Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI), pada tahun 2004 tingkat konsumsi jamur di Indonesia baru mencapai 0,05 kilogram per kapita per tahun (Chazali dan Pratiwi 2010). Kebutuhan konsumsi jamur di dunia, termasuk Indonesia, terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pembudidayaan jamur konsumsi dapat menjadi salah satu peluang usaha yang memiliki potensi untuk berkembang. Pada awalnya, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap jamur konsumsi hanya mengandalkan alam. Dengan cara seperti ini, jumlah jamur yang didapat sangat terbatas dan hanya pada musim tertentu bisa diperoleh. Di Indonesia, jamur hanya tumbuh secara alami pada musim hujan karena tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi. Inisiatif membudidayakan jamur konsumsi dilakukan karena adanya kebutuhan yang terus meningkat, sedangkan persediaan di alam semakin menipis. Tabel 3 menunjukkan tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat per harinya akan jamur di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 2007.
3
Tabel 3. Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jamur di Beberapa Kota di Indonesia No. Kota Kebutuhan (kg/per hari) 1. Bekasi 3.000 2.
Bogor
150
3.
Semarang
350
4.
Tangerang
3.000
5.
Tasikmalaya
300
6.
Yogyakarta
200
Sumber : Parjimo dan Andoko (2007)
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kebutuhan masyarakat akan jamur konsumsi di beberapa kota besar di Pulau Jawa pada tahun 2007 cukup tinggi. Dengan tingginya kebutuhan akan jamur konsumsi tersebut maka menjadikan budidaya jamur konsumsi di Indonesia sebagai peluang usaha yang memiliki potensi yang besar. Di berbagai daerah di Indonesia, kegiatan pembudidayaan/ produksi jamur konsumsi sebagai mata pencaharian sudah cukup banyak dilakukan, namun kegiatan produksi jamur konsumsi tersebut masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (Lampiran 2). Menurut MAJI (2007), jenis jamur yang diminati konsumen adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping (Auricularia polytricha), jamur champignon (Agaricus bisporus), dan jamur shiitake (Lentinus edodes). Jamur merang mendominasi 55–60 persen dari total produksi jamur nasional. Peringkat berikutnya adalah jamur tiram putih atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Produksi jamur tiram putih mulai dirintis pengembangannya sejak tahun 1997 dan kini mengisi sekitar 30 persen dari total produksi jamur Indonesia. Jamur kayu yang banyak dibudidayakan di daerah berketinggian 800-1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) mempunyai siklus hidup lima bulan dengan masa panen empat bulan1. Berdasarkan data MAJI, Jawa Barat memproduksi sepuluh ton jamur tiram per hari. Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar. Pasar jamur tiram untuk Jakarta dipasok dari Karawang, Bandung, Bogor, Cianjur, dan 1
Dadang W. dan Selamet R. 2007. Bisnis Jamur Bikin Tergiur. http://www.agrinaonline.com/show_article.php?rid=7&aid=1009 [4 Desember 2011].
4
Sukabumi. Dari Cisarua Kabupaten Bandung, setiap hari tidak kurang dari tiga ton jamur tiram masuk ke Jakarta2. Salah satu sentra penghasil komoditas jamur konsumsi di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat (2010), pada tahun 2009 Kabupaten Bandung Barat memiliki total produksi jamur konsumsi sebanyak 1.735.033 kwintal. Jamur yang diproduksi di Kabupaten Bandung Barat adalah komoditas jamur tiram putih. Namun, tidak seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung Barat memproduksi jamur tiram putih, hanya kecamatan yang terletak di dataran tinggi saja. Tabel 4, menunjukkan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat
yang
memproduksi jamur beserta jumlah produksinya.
Tabel 4. No.
Luas Kumbung dan Jumlah Produksi Jamur per Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 2010 Luas Kumbung Produksi Kecamatan 2 (m ) (Kg/Tahun)
1.
Rongga
-
-
2.
Gununghalu
-
-
3.
Sindangkerta
-
-
4.
Cililin
60
1.223
5.
Cihampelas
-
-
6.
Cipongkor
-
-
7.
Batujajar
-
-
8.
Cipatat
-
-
9.
Padalarang
-
-
10.
Ngamprah
20.000
108.100
11.
Parongpong
2.210
98.381
12.
Lembang
35.200
195.380
13.
Cisarua
347.000
4.015.200
14.
Cikalongwetan
-
-
15.
Cipeundeuy
-
-
404.470
4.418.284
Jumlah/ Total Sumber : BPS Kabupaten Bandung Barat (2011)
2
berbisnisjamur.com. 2011. Bisnis Jamur! Peluang Bisnis Rumahan yang Gak Murahan!. http://berbisnisjamur.com/ [30 November 2011]
5
Kecamatan Cisarua merupakan salah satu sentra penghasil komoditas jamur tiram putih yang memiliki luas lahan produksi jamur tiram terluas, yaitu 347.000 m2. Dengan jumlah hasil produksi jamur tiram yang mencapai 4.015.200 kilogram per tahun, artinya pada tahun 2010 setiap harinya Kecamatan Cisarua mampu menghasilkan kurang lebih 11 ton jamur tiram putih. Bila dibandingkan dengan kecamatan lain, Kecamatan Cisarua merupakan daerah terbesar penghasil jamur tiram putih di Kabupaten Bandung karena letaknya di dataran tinggi yang memiliki iklim sejuk yang cocok untuk lokasi pembudidayaan jamur tiram putih, oleh karena itu sebagian besar penduduknya membudidayakan jamur tiram putih baik sebagai mata pencaharian utama maupun hanya sekedar usaha sampingan.
1.2.
Perumusan Masalah Jamur tiram merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai
ekonomis cukup tinggi. Salah satu jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar. Seperti sifat umum pada produk hortikultura lainnya, jamur pun bersifat mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat. Proses tataniaga yang dilakukan pun harus cepat agar produk tidak rusak dan layu saat sampai ke tangan konsumen, karena produk yang rusak akan menurunkan harga jual atau bahkan tidak akan laku dijual. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan hasil-hasil produksi dengan cepat dari produsen hingga ke tangan konsumen. Salah satu desa di Kecamatan Cisarua yang merupakan sentra jamur tiram putih adalah Desa Kertawangi. Petani di Desa Kertawangi memiliki karakteristik yang cenderung homogen, yaitu menghasilkan jamur tiram putih segar sebagai produk utama. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sangat bergantung pada lembaga tataniaga untuk memasarkan produknya karena keterbatasan informasi dan akses pasar. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sebagian besar adalah petani kecil yang menjual produknya secara individual. Tidak adanya organisasi seperti koperasi yang membantu petani, khususnya dalam hal memasarkan produknya menjadi sebuah kendala dan kelemahan bagi petani dalam
6
proses pemasaran jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Oleh karena itu, petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap pedagang ketika menjual produknya. Petani jamur tiram putih hanya mampu berperan sebagai penerima harga (price taker) terhadap harga yang ditawarkan oleh pedagang. Padahal dengan adanya organisasi seperti koperasi akan memberikan keuntungan bagi petani terutama untuk memasarkan produknya. Saat penelitian berlangsung, harga jamur tiram putih di tingkat petani berkisar antara Rp 6.800 hingga Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir yaitu sekitar Rp 12.000 per kilogram. Terdapat selisih harga jual yang cukup tinggi antara harga yang diterima petani dengan harga eceran di tingkat konsumen akhir, yaitu sebesar Rp 5.000. Besarnya selisih harga atau disebut marjin tataniaga tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga (Sudiyono 2002). Marjin tataniaga jamur tiram putih ini dianggap cukup tinggi karena dalam proses tataniaga ini tidak terdapat penanganan khusus yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dan juga tidak terjadi penambahan nilai (value added) terhadap produk. Selisih harga tersebut diindikasikan murni sebagai penggantian atas biaya tataniaga yang telah dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga tanpa adanya fungsi pengolahan dan ditambah dengan imbalan (keuntungan) yang diambil oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih. Semakin besar nilai marjin tataniaga maka akan semakin besar pula harga yang ditanggung oleh konsumen akhir untuk membeli jamur tiram putih segar ini. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi? 2) Berapa farmer’s share dan rasio keuntungan biaya yang diperoleh petani jamur tiram putih dari hasil penjualan jamur tiram putih segar? 3) Apakah saluran tataniaga tersebut sudah efisien dilihat dari nilai marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga?
7
Tujuan Penelitian
1.3.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1)
Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
2)
Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani dari keseluruhan harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share).
3)
Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan
bagi: 1)
Seluruh pihak yang terlibat dalam saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, terutama untuk petani produsen jamur tiram putih agar terjadi peningkatan pendapatan.
2)
Dinas Pertanian, terutama bidang hortikultura, sebagai bahan informasi dan kajian ilmiah dalam melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap petani jamur tiram tentang prosedur budidaya jamur tiram yang benar.
3)
Dinas Koperasi dan UKM, sebagai bahan informasi dalam melakukan pembinaan tentang pentingnya berkoperasi terhadap petani jamur tiram agar mereka memiliki posisi tawar yang kuat dan tidak lagi bergantung pada pengumpul dan bandar dalam memasarkan hasil produksinya serta adanya bantuan dalam pembentukan koperasi.
4)
Pembaca hasil penelitian ini, sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya sekaligus memberikan gambaran tentang usaha serta tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa
Kertawangi melalui analisis lembaga dan fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar,
8
dan perilaku pasar yang dilakukan oleh lembaga tataniaga jamur tiram putih, serta menganalisis efisiensinya menggunakan marjin tataniaga, biaya tataniaga, farmer’s share, dan volume penjualan. Ruang lingkup lokasi penelitian meliputi Desa Kertawangi sebagai daerah penghasil jamur tiram putih, Pasar Induk Caringin Bandung sebagai tujuan utama pemasaran jamur tiram putih dari Desa Kertawangi untuk Kota Bandung, dan beberapa pasar kecil di Kota Bandung. Dalam hasil analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi tataniaga komoditas jamur tiram putih yang terjadi dan kemudian dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.
9