BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Penelitian ini dikembangkan untuk memahami adanya perubahan
sosial yang terjadi di desa Palihan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo akibat adanya kebijakan relokasi bandara Adi Sucipto ke desa Palihan. Perubahan sosial yang dimaksud adalah pembahasan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat di desa Palihan akibat adanya kebijakan relokasi bandara yang telah terjadi bahkan ketika kebijakan tersebut masih dalam tahapan “wacana” kebijakan. Untuk mendapatkan pemahaman mengenai permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan di instansi pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Kelurahan Palihan, Lembaga Kepedulian Desa, dan masyarakat desa Palihan. Instansi pemerintah yang dimaksud adalah Dishubkominfo kabupaten Kulon Progo yang menjadi stakeholder dalam relokasi bandara di Kabupaten Kulon Progo dan level di tingkat desa yaitu Kelurahan Palihan. Lembaga Kepedulian Desa Wahana Tri Tunggal dipilih karena dianggap mempunyai keterlibatan dengan masyarakat desa Palihan terkait dengan kebijakan relokasi bandara. Sedangkan masyarakat di desa Palihan dipilih karena masyarakat di desa Palihan yang paling terkena dampak "wacana" kebijakan relokasi bandara dan masyarakat secara agresif merespon
1
"wacana" kebijakan tersebut karena merasa bahwa Kelurahan Palihan merupakan wilayah terluas yang akan terkena proyek pembangunan bandara. Hal tersebut dibuktikan dengan inisiatif masyarakat membentuk kelompok atau organisasi baru yang dinamakan Lembaga Kepedulian Desa Wahana Tri Tunggal sebagai respons terhadap "wacana" kebijakan relokasi bandara. Wacana relokasi pembangunan bandara di kabupaten Kulon Progo membuat masyarakat di daerah tersebut gempar. Berbagai pro dan kontra terkait relokasi bandara menjadi perbincangan hangat. Pada derajat tertentu telah nampak berbagai dampak yang ditimbulkan akibat wacana relokasi bandara tersebut. Berbagai perubahan sosial mulai terjadi bagaikan efek domino yang tidak dapat dihentikan mengingat issue relokasi adalah persoalan
yang
sangat
sensitif.
Tujuan
relokasi
bandara
adalah
memindahkan bandara Adi Sucipto yang tidak mampu menampung jumlah penumpang yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan diharapkan relokasi bandara mampu membawa dampak yang positif bagi berbagai pihak, termasuk masyarakat di desa Palihan. Diluar kendali, dampak yang diinginkan dan tidak diinginkan justru terjadi semakin cepat di desa Palihan. Kekhawatiran masyarakat dan ketidaksiapan pemerintah menjadi persoalan tersendiri yang terjadi di desa Palihan. Bagaimanapun juga rencana relokasi bandara sudah pasti akan dilakukan di Kabupaten Kulon Progo. Tahapan relokasi bandara di Kabupaten Kulon Progo telah sampai
2
pada pembuatan Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah (RTRW) dan sudah dilakukan study kelayakan dan desa Palihan merupakan wilayah dengan lahan yang paling banyak digunakan untuk pembangunan bandara. Berdasarkan wawancara terhadap Kepala Bagian Angkutan dan Perparkiran Dishubkominfo Kabupaten Kulon Progo, Joko Tri Hatmono (wawancara yang dilakukan pada hari Senin 8 Januari 2013) mengatakan bahwa Dishubkominfo dalam hal ini sebagai Pemerintah Daerah di Kulon Progo yang terlibat langsung bersama Pemda Kabupaten Kulon Progo dalam rangka pembangunan bandara belum mendapatkan kejelasan dari pemerintah propinsi dan stakehorders yang terlibat dalam rencana pembangunan proyek relokasi bandara kapan dilaksanakan meskipun RTRW dan study kelayakan telah dilakukan sebagaimana tercantum dalam Perda Nomer 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kulon Progo Tahun 2012-2032. Di sisi lain, informan tersebut juga mengungkapkan pihaknya telah melakukan sosialisasi awal terkait rencana relokasi bandara kepada masyarakat di desa Palihan karena relokasi bandara sudah pasti akan dibangun di Kecamatan Temon meskipun masih menunggu realisasinya. "Kami dari perwakilan Dishubkominfo sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat bersama pak lurah Palihan. Waktu itu dihadiri warga desa dan lembaga desa.intinya warga menuntut kejelasan proyek bandaranya gimana.ya kami hanya menjelaskan informasi seperlunya takutnya malah jadi berkembang issue yang simpang-siur malah gawat.lha baru pemberitaan media aja udah bikin heboh. Pokoknya kami (Dishubkominfo-red) belum bisa menjelaskan lebih detailnya kepada masyarakat sebelum ada perintah dari Pemprov. disini kami juga menanti kepastian karena kan yang punya gawe pemerintah dan PT Angkasa Pura 2. Masih nunggu dana juga mengingat pembangunan bandara dibutuhkan biaya yang sangat besar.Kalau RTRW dan study kelayakan sudah dibuat dalam Perda Nomer 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kulon Progo Tahun 20-
3
12-2032 , Jadi sudah pasti dibangun disini lha sudah habis banyak biaya juga untuk study awalnya cuma kapan pastinya kami (Dishubkominfo-red) belum tahu.Kalau Pemkab Kulon Progo sudah pasti mendukung pembangunan bandara di Kulon Progo juga supaya meningkatkan PAD dan perekonomian masyarakat. Tapi kalau ditanya sudah sampai sejauh mana rencananya ya kami (Dishubkominfo-red) tidak berani memberikan informasi karena juga belum tahu pasti kapannya, jadi lihat saja nanti. kalau sudah ada informasi yang pasti, nantinya akan sosialisasi juga bersama-sama dengan para stakeholder" (Wawancara pra penelitian pada hari Senin, 8 Januari 2013 terhadap Kepala Bagian Angkutan dan Perparkiran, Dishubkominfo Kabupaten Kulon Progo).”
Ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah terkait dengan relokasi bandara menimbulkan reaksi yang beragam. Masyarakat Kulon Progo, khususnya di daerah Palihan tempat bandara baru akan dibangun disana tidak sepenuhnya setuju dengan pembangunan bandara baru, bahkan masyarakat menolak rencana pembangunan bandara. Seperti yang diungkapkan oleh Purwinto yang dikutip dari www.jogja.okezone.com, bahwa: "...warga tidak sepenuhnya setuju dengan rencana pembangunan bandara baru. Hal ini ditunjukkan oleh 25 warga desa yang tergabung dalam Paguyuban Wahana Tri Tunggal yang akan menjadi lokasi bandara, mendatangi rumah dinas bupati kulon Progo dan menyatakan alasan penolakan pembangunan bandara tersebut. Alasan penolakan ini karena lahan yang akan dipakai bandara merupakan lahan pertanian produktif dan menjadi sumber penghidupan warga. Apalagi sepanjang musim, lahan ini bisa menciptakan lapangan kerja. Bukan hanya warga sekitar, banyak warga luar daerah juga bekerja disana. Keberadaan bandara akan menggusur pemukiman penduduk dan mata pencaharian warga. Oleh karena itu pemerintah juga mesti memikirkan masyarakat di wilayah yang akan menjadi bandara dan tidak asal menggusur.
Hal senada juga diungkapkan oleh Walijo yang dikutip dari www.solopos.com, bahwa :
4
"Lahan pertanian pesisir merupakan peninggalan nenek moyang mereka secara turun-temurun. Warisan itu harus dipertahankan karena merupakan hak warga dan memberikan memberikan harapan besar untuk masa depan anak cucu karena memberi peluang pekerjaan, tidak hanya bagi warga sekitar tapi juga bagi warga dari daerah lain yang menjadi buruh pertanian. dapat dikatakan lahan pertanian pesisir pantai dari Glagah, Palihan, Sindutan, dan Jangkaran banyak memberikan kontribusi dan harapan besar untuk meningkatkan kesejahteraan para petani beserta keluarga mereka di masa depan."
Pembangunan juga menjadi issue yang sangat sensitif karena akan melibatkan banyak aspek dan dampak dalam masyarakat, baik setelah pembangunan tersebut selesai diimplementasikan maupun masih dalam tahapan "wacana" kebijakan. Hal yang diungkapkan oleh Purwinto dan Walijo, hanya sebagian kecil dampak yang terangkat ke permukaan terkait penolakan yang berdasarkan warisan turun-temurun mengingat masyarakat di desa Palihan mayoritas mata pencahariannya sebagai petani baik di lahan maupun pesisir. Kekhawatiran masyarakat adalah jika lahan pertanian tersebut beralih
fungsi
maka
masyarakat akan
kehilangan
mata
pencaharian. Artinya, di tengah-tengah modernisasi dan pembangunan masih ada segelintir masyarakat yang akan tetap mempertahankan warisan budaya turun-temurun. Ketika membahas pembangunan, masyarakat dalam hal ini secara mutlak memperjuangkan kelangsungan adat istiadat secara turun-temurun dan warisan budayanya. Pembangunan bandara baru bagi masyarakat di desa Palihan tidak hanya akan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian, hilangnya mata pencaharian masyarakat, namun juga sampai menyentuh aspek peninggalan situs bersejarah. Berdasarkan wawancara terhadap juru kunci Gunung
5
Lanang, Pawiro Suwito dan masyarakat sekitar situs bersejarah (wawancara yang dilakukan pada tanggal 2 Mei 2013) mengatakan warga berharap situs bersejarah tersebut jangan sampai digusur karena memang tidak bisa dipindah. "Proyek pembangunan bandara memang berpotensi menggusur situs bersejarah Gunung Lanang di Dusun Bayeman, Desa Palihan. warga berharap situs bersejarah tersebut jangan sampai digusur karena memang tidak bisa dipindah. Apabila situs bersejarah gunung lanang mau digusur akan ada imbasnya seperti kecelakaan, malapetaka, penyakit dll. Saya dan masyarakat disini berharap agar pemerintah memikirkan bagaimana caranya sehingga situs bersejarah tersebut tetap berada di tempatnya,tidak dipindah atau digusur. Warga di desa ini (Palihan-red) percaya lokasi tersebut sudah disakralkan makanya di situs ini biasanya ramai dikunjungi orang pada malam 1 Suro. Menurut sejarah, situs tersebut menjadi lokasi peristirahatan Sunan Amangkurat III yang memerintah kerajaan Mataran tahun1703" (Wawancara pra penelitian, Kamis 2 Mei 2013 terhadap juru kunci Gunung Lanang dan masyarakat di sekitarnya)
Uraian tersebut menunjukkan ada sebagian masyarakat di satu sisi masih memegang adat-istiadat dan kepercayaan namun tidak mutlak melawan wacana kebijakan pemerintah dan berharap pemerintah mampu memberikan solusi agar situs tersebut tetap selamat mesti bandara akan tetap dibangun. ketika terdapat masyarakat yang tetap memegang adatistiadat beserta warisan budaya turun temurun secara mutlak dan benarbenar menolak pembangunan, terdapat pula sekelompok masyarakat yang masih percaya terhadap warisan budaya dan mempertahankannya. Masyarakat tidak mutlak menolak kebijakan pembangunan bandara tersebut maka saat itulah dinamika perubahan masyarakat mulai nampak terlihat.
6
Di sisi lainnya, dinamika wacana kebijakan nampak lebih frontal terlihat nyata dampaknya yaitu pada masyarakat yang benar-benar pro terhadap pembangunan bandara. Hal tersebut terkait dengan harapan terhadap masa depan yang lebih baik dengan pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelompok ini lebih sensitif ketika membahas persoalan pembangunan terkait dengan issue klasik yaitu pembebasan lahan. Berbagai dampak nyata mulai terlihat, munculnya spekulan tanah, harga tanah melonjak secara drastis dan munculnya lembaga-lembaga baru dalam masyarakat untuk merespons wacana kebijakan pemerintah yang tidak jarang hadirnya lembaga baru bentukan masyarakat justru dapat menyebabkan konflik dan pertentangan dalam masyarakat tersebut. Lembaga baru bentukan masyarakat adalah bentuk reaksi masyarakat dalam merespons rencana pemerintah dalam pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo. Seperti yang diungkapkan oleh Aris Mardiyono yang dikutip dari www.solopos.com, bahwa : "Menjelang penentuan akhir lokasi calon bandara baru DIY pada pertengahan tahun ini, aksi para makelar tanah semakin masif bergerilya di wilayah Temon, Kulon Progo. Mereka bahkan mencatut nama mantan pembesar untuk merayu warga agar menjual tanahnya. Kepala Desa (Kades) Palihan, Kaliso menginformasikan, belakangan ini para makelar tanah makin aktif bergerilya untuk membeli tanah milik warga dengan iming-iming harga tinggi dengan memanfaatkan paguyuban-paguyuban bentukan warga baik yang pro maupun kontra."
Berbagai dampak nyata yang terlihat di masyarakat yang terkena dampak wacana kebijakan mengindikasikan tidak adanya langkah masif
7
dari pemerintah baik di tingkat kabupaten maupun desa untuk meredam konflik tersebut. Bahkan dalam beberapa hal pemerintah daerah mengaku masih belum mendapatkan konfirmasi terkait rencana pembangunan bandara. Minimnya sosialisasi dari pemerintah dan dinas terkait menyebabkan gejolak dalam masyarakat terus terjadi, konflik-konflik dan perubahan sosial semakin nyata terlihat, dampak wacana pembangunan bandara mulai dapat dirasakan meskipun pembangunannya masih dalam tahapan wacana yang masih simpang siur. Seperti yang diungkapkan oleh Badawi yang dikutip dari www.solopos.com, bahwa: “Walau sudah didaulat sebagai pusat informasi terkait pembangunan bandara Kulonprogo, pemerintah empat desa, Glagah, Palihan, Sindutan dan Jangkaran mengaku tidak bisa berbuat banyak. Mereka mengaku informasi yang diberikan Pemkab Kulonprogo sangat terbatas. Ditemui Selasa (28/8) siang, Kepala Desa (Kades) Palihan, Kaliso mengungkapkan, pada 16 Agustus lalu, mereka menggelar pertemuan di kantor sekretariat daerah. Dalam pertemuan itu, Bupati Kulonprogo, Hasto Wardyoo menyampaikan sekitar sembilan hal informasi yang bisa disebarluaskan ke masyarakat. Menurut dia, beberapa hal itu seperti proses pembangunan baru pada tahap pembuatan master plan dan penentuan pemrakarsa pembangunan. Selanjutnya pihak pemrakarsa itulah yang akan mengajukan izin pemanfaatan lokasi (IPL) ke Kementrian Perhubungan dengan rekomendasi bupati dan gubernur. Ia juga mengaku belum melakukan sosialisasi secara resmi kepada masyarakat karena belum bisa menjawab pertanyaan yang sering ditanyakan warga yakni terkait besaran ganti rugi dan daerah mana saja yang terkena dampak bandara.Ia mengatakan, masyarakat Glagah saat ini diliputi keresahan terkait proyek bandara tersebut. Keresahan mereka terkait ganti rugi tanah dan bangunan. Tidak hanya itu, warga Palihan yang mencari rezeki di kawasan wisata pantai juga terpecah menjadi dua kubu yakni pro dan kontra."
Ketidakjelasan pemerintah semakin memperkeruh dinamika dalam masyarakat. Pemerintah yang seharusnya dapat memberikan kejelasan dan kepastian justru “miskin” informasi. Adalah wajar ketika pemerintah desa
8
tidak mampu menentukan sikap dan memberikan informasi manakala pemerintah di tingkat kabupaten tidak memiliki kejelasan yang pasti. Masyarakat sebagai obyek kebijakan yang nantinya akan terkena imbasnya bahkan
dinamikanya
dapat
dirasakan
ketika
kebijakan
belum
diimplementasikan. Hal inilah yang membuat tertarik untuk meneliti persoalan tersebut. Idealnya, ketika membahas sebuah kebijakan, pemerintah seharusnya sudah memiliki kejelasan yang pasti sehingga mampu
memberikan
informasi
kepada
masyarakat
dan
ketika
pembangunan tersebut diimplementasikan barulah dampak kebijakan akan mulai dapat dirasakan dampaknya. Meskipun pemerintah Kabupaten Kulon Progo tidak jelas dalam menentukan langkah sosialisasi namun tetap mendukung pembangunan bandara di Kulon Progo untuk meningkatkan iklim investasi di Kulon Progo. Bagaimanapun juga rencana pembangunan bandara sudah tertuang dalam Perda No.1 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kulon Progo Tahun 2012-2032. Seperti yang diungkapkan oleh Budi Wibowo yang dikutip dari www.analisadaily.com, bahwa : "Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, meminta masyarakat untuk menciptakan kondisi kondusif untuk terciptanya iklim investasi demi terwujudnya mega proyek khususnya rencana pembangunan bandara internasional. Pemerintah kabupaten (pemkab) minta masyarakat untuk menciptakan situasi yang kondusif. Karena dengan situasi kondusif akan mendukung percepatan pembangunan di Kulon Progo yakni mega proyek pembangunan." kata Sekretaris Daerah (Sekda) Kulon Progo, Budi Wibowodi Kulon Progo. Ia mengimbau kepada masyarakat yang terkena dampak pembangunan bandara atau rencana pembangunan lainnya untuk tidak resah atau khawatir akan terjadi penggusuran atau kehilangan mata pencaharian. Pemkab Kulon Progo berkomitmen bahwa mega proyek untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.”
9
Berdasarkan
permasalahan
tersebut,
penulis
tertarik
untuk
melakukan penelitian dengan judul Dampak Kebijakan Relokasi Bandara Adi Sucipto di Desa Palihan, Kabupaten Kulon Progo. Terdapat sebuah kondisi di Desa Palihan yang tidak seharusnya terjadi. Masyarakat mulai terkena dampak kebijakan pemerintah bahkan ketika kebijakan tersebut masih dalam tahapan wacana. Ketika berbicara tentang dampak sosial, hal tersebut dapat terdeteksi setelah kebijakan diimplementasikan dan dievaluasi. Dalam siklus teori kebijakan publik demikian adanya bahwa dampak akan terjadi setelah kebijakan tersebut diimplementasikan dan dievaluasi guna menilai apakah kebijakan tersebut efektif untuk menghadapi masalah publik. Penelitian ini menjadi menarik ketika mengkaji bahwa dampak kebijakan dapat terjadi meskipun kebijakan tersebut belum diimplementasikan bahkan ketika masih dalam tahapan wacana yang dapat dikatakan belum jelas arah kebijakannya mengingat pemerintah dan stakeholders yang terlibat
masih
belum memiliki
informasi yang memadai terkait dengan rencana relokasi bandara. Pertentangan dan konflik mulai terjadi di desa Palihan meskipun kebijakan pembangunan bandara belum dilakukan dan bahkan dampak sosial dan konflik dalam masyarakat telah terjadi ketika kebijakan masih dalam tahapan wacana. Perubahan sosial mulai nampak yang diindikasikan dari munculnya lembaga-lembaga bentukan masyarakat sebagai respons ketidakjelasan pemerintah. Pemerintah daerah Kulon Progo seakan masih
10
minim informasi terkait dengan rencana pembangunan bandara yang semakin meresahkan masyarakat. Dapat dibayangkan bilamana rencana pembangunan tidak jadi diimplementasikan sementara dampak kebijakan telah terjadi dan bagai virus yang tidak dapat dikendalikan. Semua terjadi secara natural dan mengalir sesuai dengan keadaan. Hal inilah yang menjadi fokus penelitian ini dalam mendeskripsikan dampak yang telah terjadi dan dinamika perubahan sosial terjadi di Desa Palihan, kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo sebagai akibat dari wacana relokasi bandara dan sikap ketidakjelasan pemerintah dalam menangani issue tersebut.
1.1.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah
perubahan sosial akibat kebijakan relokasi bandara Adi Sucipto di Desa Palihan, Kulon Progo sebagai lokasi pembangunan bandara yang baru?”. Penelitian ini mengkaji perubahan sosial yang terjadi pada awal pelaksanaan relokasi yaitu pada saat terjadinya wacana relokasi bandara di desa Palihan sampai tersedianya Perda Nomer 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032.
11
1.1
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka ujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.1.1. Mendeskripsikan perubahan sosial yang terjadi pada awal pelaksanaan relokasi yaitu pada saat terjadinya wacana relokasi bandara di desa Palihan sampai tersedianya Perda Nomer 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032. 1.1.2. Mendeskripsikan perubahan sosial dan konflik yang terjadi pada masyarakat di Desa Palihan, Kabupaten Kulon Progo. Perubahan sosial dan konflik tersebut terjadi pada saat terjadinya wacana relokasi bandara di desa Palihan sampai tersedianya dokumen pembangunan bandara baru yang tercantum dalam Perda Nomer 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032.
1.2.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan
dan wawasan mengenai perubahan sosial dan sejauh mana perubahan sosial akibat wacana kebijakan relokasi bandara yang terjadi di Desa Palihan, Kabupaten Kulon Progo sebagai alternatif lokasi pembangunan bandara yang baru.
12