BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di
kota-kota besar tiap tahunnya menyebabkan kebutuhan akan transportasi juga semakin meningkat. Secara tidak langsung hal ini dapat memicu terjadinya permasalahan lalu lintas, seperti kemacetan bahkan kecelakaan lalu lintas. Angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sendiri masih tergolong cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik yang menyebutkan bahwa pada tahun 2012 telah terjadi 117.949 kecelakaan lalu lintas. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan 8,5% dari tahun 2011. Data Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali, Direktorat Lalu Lintas menyebutkan bahwa angka kejadian kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 mencapai 2.127 kasus, yang mengakibatkan 564 orang meninggal dunia, 636 orang mengalami luka berat dan 2.675 orang mengalami luka ringan, sedangkan data yang diperoleh dari Triage Bedah RSUP Sanglah pada bulan September – November 2013 didapatkan jumlah pasien kecelakaan lalu lintas yang menjalani pengobatan sebanyak 402 orang, dengan rincian 357 orang pasien rawat jalan, 42 orang pasien rawat inap dan tiga lainnya merupakan korban yang meninggal dunia. Selain masalah fisik, suatu kejadian atau peristiwa traumatik seperti kasus kecelakaan lalu lintas juga akan memicu terjadinya gangguan psikologis salah satunya dapat berupa gangguan stres pascatrauma, Post Traumatic Stress
1
2
Disorder (PTSD). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom kecemasan yang dapat timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2007). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan mungkin juga tidak menimbulkan gejala setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, Beverly, 2002). Dharmono, S (2008) juga menyatakan bahwa PTSD merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat yang dapat mengganggu kualitas hidup dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma yang kompleks. Menurut laporan WHO (2005), jumlah penderita PTSD mencapai 3.230.000 orang yaitu 0,2% dari seluruh angka kesakitan di dunia. Dengan penyebaran 28,5% (921.000 jiwa) penderita PTSD yang terdapat di Pasifik Barat; 27,4% (885.000 jiwa) di Asia Tenggara; 14,2% (460.000 jiwa) di Eropa; 12,6% (407.000 jiwa) di Amerika; 9,3% (299.000 jiwa) di Afrika dan 8,0% (258.000 jiwa) di Mediterania Timur. Secara epidemiologi, kasus PTSD di Indonesia berdasarkan hasil dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2005, didapatkan prevalensi gangguan jiwa sebanyak 140 per 1000 penduduk pada usia 15 tahun ke atas, dan 23% diantaranya adalah PTSD (Depkes, 2006). Pada umumnya, PTSD dapat disembuhkan apabila segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. Jika tidak terdeteksi dini dan dibiarkan tanpa penanganan, PTSD secara signifikan dapat meningkatkan angka morbiditas
3
dan komorbiditas. Kajian terkini menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar dalam hal ketidakmampuan terkait keterbatasan penderita PTSD dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Selain itu, diantara semua gangguan cemas, PTSD dinilai paling merugikan terkait dengan hilangnya jam kerja yang substansial dan penurunan produktivitas para penderitanya (Kessler, R.C. & Greenberg, P.E., 2004). Individu dengan PTSD jika dibandingkan dengan penduduk pada umumnya, pasien-pasien rawat jalan dan mereka yang menderita depresi atau gangguan cemas lain, lebih menunjukkan kecenderungan dalam ketidakmampuan menghadapi stres (Connor & Butterfield, 2003). Dicatat pula adanya peningkatan yang cukup besar terkait upaya bunuh diri dan kesehatan fisik yang buruk sebagai akibat dari PTSD (Boscarino, J.A. & Adams, R.E., 2006). Menurut proyeksi WHO, dalam 20 tahun mendatang beban global terkait dengan PTSD akan meningkat secara dramatis, dengan adanya kecelakaan lalu lintas, cedera karena peperangan, dan tindak kekerasan lain. Jika kita melihat yang secara luas terkait trauma, PTSD merupakan salah satu dari 12 penyebab kecacatan utama di seluruh dunia (Murray, C.J.L. & Lopez, A.D., 1997). Menurut Kaplan dan Sadock (2007), upaya kesembuhan penderita gangguan jiwa seperti PTSD tergantung pada pengobatan yang diberikan berdasarkan etiologinya. Peran petugas kesehatan baik dokter maupun perawat kesehatan, serta adanya keterlibatan keluarga sangatlah penting dalam upaya kesembuhan ini. Terdapat dua jenis pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi berupa pemberian terapi obat anti depresi, anti cemas,
4
dan lain-lain. Pengobatan psikoterapi dapat berupa Eye Movement Desensitization And Reprocessing (EMDR), Playtherapy, dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan penggabungan antara terapi perilaku dan terapi kognitif yang didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara bersamaan dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis serta konsekuensinya pada perilaku. Pendekatan psikoterapi dengan metode Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dikatakan sebagai salah satu metode pengobatan psikoterapi yang paling efektif dalam menangani kasus PTSD (National Centre of PTSD, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Bolton, E. et al (2004) disimpulkan bahwa metode manajemen stres dan manajemen kemarahan sebagai salah satu contoh terapi CBT dikatakan efektif secara signifikan dalam mengurangi keluhan dan gejala PTSD pada veteran perang di Amerika. Dikatakan bahwa pada kelompok manajemen stres mengalami penurunan tingkat depresi yang signifikan diukur berdasarkan Beck Depression Inventory (BDI) dengan nilai p < 0,001. Sedangkan pada kelompok manajemen kemarahan terdapat perubahan yang signifikan terkait tingkat kemarahan dan kekerasan, dengan nilai p < 0,001. Selain itu pada penelitian randomized controlled trial yang dilakukan oleh Maercker, A. et al (2006) disimpulkan bahwa metode CBT berpengaruh secara signifikan terkait skor Clinician Administered PTSD Scale (CAPS) pada kelompok pasien post kecelakaan dengan intervensi CBT dibandingkan dengan kelompok waitlist. Dikatakan terdapat perubahan sebesar 67% (post terapi) dan 76% (setelah follow up 3 bulan) pada kelompok CBT terkait keluhan klinis PTSD.
5
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSUP Sanglah selama bulan Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 pada 10 orang pasien post kecelakaan lalu lintas yang menjalani pengobatan di RSUP Sanglah, didapatkan kasus PTSD sebanyak 4 orang, yang terdiri dari 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Sedangkan rerata skor PTSD Symptom Scale (PSS) mencapai 18 dari 51 skor total. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti juga didapatkan bahwa pengelolaan keluhan psikologis pada pasien post kecelakaan lalu lintas di RSUP Sanglah belum menjadi prioritas penanganan. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terhadap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada pasien post kecelakaan lalu lintas di RSUP Sanglah Denpasar.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: “Seberapa besar pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terhadap kasus Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada pasien post kecelakaan lalu lintas di RSUP Sanglah Denpasar?”
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terhadap kasus Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada pasien post kecelakaan lalu lintas.
6
1.3.2 Tujuan Khusus a. Memperoleh gambaran keluhan dan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebelum perlakuan. b. Memperoleh gambaran keluhan dan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah perlakuan. c. Menganalisis perbedaan rerata skor PTSD Symptom Scale (PSS) sebelum dan setelah perlakuan.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi perawat dalam melakukan intervensi CBT pasien post kecelakaan lalu lintas dengan gangguan PTSD. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman perawat tentang pentingnya deteksi dini terkait keluhan dan gejala dari PTSD sehingga dapat ditangani dengan cepat dan tepat.
1.4.2 Manfaat Teoritis a. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menambah ilmu pengetahuan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat agar nantinya penanganan pasien post kecelakaan lalu lintas dengan PTSD menggunakan metode CBT dapat dilakukan sedini mungkin sehingga didapatkan hasil yang lebih optimal.
7
b. Dapat memberikan informasi atau data dasar bagi peneliti selanjutnya terkait dengan pengaruh metode CBT dalam menangani kasus PTSD pada pasien post kecelakaan lalu lintas.