BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada sistem keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, format tidak dragmatis dan mengandung rahasia selametan (kadang-kadang disebut juga kenduren). Selametan adalah versi Jawa yang barang kali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial. Ketika selametan berkumpullah handai tauladan, tetangga, rekan sekerja dan sanak keluarga dan karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial. Selametan merupakan semacam wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan, dengan suatu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik atau setidak-tidaknya dianggap berbuat demikian. Selametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan.1 Upacara selametan dapat digolongkan kedalam empat macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni: 1. Selametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh
1
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jawa, 2003), hlm. 13.
1
2
tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian saatsaat setelah kematian, 2. Selametan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah dan setelah panen padi, 3. Selametan berhubungan dengan hari-hari dan bulan-bulan besar, 4. Selametan pada saat-saat tidak tentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian seperti hendak perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya, janji kalau sembuh dari sakit (nadzar) dan lain-lain. 2 Di sekitar kelahiran terkumpul empat selametan utama dan berbagai selametan kecil. Selametan utama dilaksanakan pada bulan ketujuh masa kehamilan (mitoni: yang diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah atau keduanya), yang mencerminkan perkenalan
seorang
wanita
Jawa
kepada
kehidupan
sebagai
ibu,
diselenggarakan di rumah ibu si calon ibu. 3 Wanita hamil yang mempunyai tingkah laku seperti emosional, terkadang melakukan di luar kebiasaan sehari-hari seperti ingin makan-makanan yang masam dan lain sebagainya, yang demikian itu janganlah dianggap aneh. Seorang psikolog mengatakan bahwa tingkah laku wanita tersebut adalah normal. Hal ini disebabkan karena hormon-hormon yang tidak seimbang pada waktu hamil mengakibatkan “kepribadiannya” tidak seimbang. Itu pun tergantung kepada kedewasaannya si wanita tersebut. Maka bagi wanita yang telah dewasa, dia bisa menekan perasaan dan tingkah lakunya yang aneh-aneh itu. Tingkah laku yang aneh 2
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 347-348. 3 Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa ..., hlm. 48.
3
bagi wanita yang sedang hamil itu disebut ngidam. Bagi suami yang istrinya sedang hamil dan ngidam, hendaknya memahaminya, dan senantiasa menaruh perhatian pada konflik-konflik keemosional (discomforts) akibat dari masa hamilnya sang istri. Sang suami hendaknya memberikan “Support” sejak mula-mula dan agar dapat ikut menjiwai bagaimana perasaan sang istri yang sedang ngidam itu. Sang istri diberi suasana yang menyenangkan, baik oleh suaminya sendiri maupun orang-orang sekitar. Ia diberi rasa percaya, tidak diberi rasa curiga terhadap suami. Artinya suami jangan berbuat sesuatu yang dapat mengundang kecurigaan sang istri, agar istri tidak menanggung akibat negative dari keadaan sekitarnya atas kehamilannya. Kehamilan dan kelahiran anak harus diterima dengan suasana menggembirakan, karena hal itu mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkambangan selanjutnya bagi bayi yang baru lahir.4 Tetapi lebih utamanya selametan tingkeban itu dilaksanakan ketika kandungan si ibu usia 4 bulan, karena pada usia tersebut Allah SWT telah meniupkan ruh ke dalam calon bayi yang akan lahir kelak. 5 Al-Qur'an sudah menjelaskan tentang proses kejadian manusia. Menurut Al-Qur'an manusia itu terjadi dari setetes air mani (sperma laki-laki) yang membuahi (rahim wanita), sebagaimana firman Allah SWT :
4
Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak Dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), hlm.
50 5
M. Afran Chafidh, Tradisi Islam Panduan Profesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian, (Surabaya: PT. Khalista, 2006), hlm. 8
4
Artinya : “Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)”. (QS. Al-Qiyamah : 37)
Sperma tersebut tidak langsung begitu begitu saja menjadi wujud manusia sempurna tetapi ada tahap-tahap proses seperti yang dijelaskan dalam AlQur'an sebagai firman Allah SWT dalam Surat Al-Hajj ayat 5:
Artinya : Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS. Al-Hajj : 5). 6
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: PT. Toha Putra, 2005), hlm. 487.
5
Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud di atas adalah sperma laki-laki dan wanita lalu keduanya itu diciptakan anak. Ada juga kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah disatukannya seluruh badan. Ada juga kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah disatukannya seluruh badan. Seperti dikatakasn pada fase pertama nutfah itu berjalan di dalam tubuh (rahim) wanita selama empat puluh hari, yaitu masa mengidam. Sesudah itu, terjadi penyatuan dan tertanam padanya dari terjadinya pembuahan itu sehingga menjadi alaqoh (semacam segumpal darah). ini berlanjut ke periode kedua, dimana ia terus membesar sehingga menjadi mudhgah (semacam sepotong atau sesuap daging), dinamakan mudhgah karena ia hanya sebesar suapan yang bisa dikunyah. 7 Pada fese ketiga, Allah SWT membentuk mudhgah itu, membuatkan telinga, mata, hidung dan mulut. Sedangkan pada bagian dalamnya Allah SWT membuatkan usus dan lambung. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran : 6
Artinya : Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali Imran : 6).8
Mengenai terjadinya janin hingga menjadi manusia yang sempurna Rasulullah SAW menyatakan proses yang terjadi pada kandungan dalam
7 8
Imam Nawawi, Syarah Hadits Arba’in, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), hlm. 55-56 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ... hlm. 233.
6
rahim, juga ditentukan kepastian (takdir) hidupnya, baik yang berkaitan dengan rizki, masa hidup (ajal) hingga perilakunya nanti di dunia.
9
Semua
telah ditetapkan dalam rahim sebelum menusia dilahirkan. Rasulullah SAW bersabda :10
Artinya : Dari Abi Abdirrahman Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata, telah bersabda Rasulullah SAW yang selalu benar dan yang dibenarkan. Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan pembentukannya (kejadiannya) pada rahim ibumu dalam 40 hari berupa “nuthfah” (air yang kental / mani).
Dalam usia 40 hari kemudian menjadi segumpal darah, dan 40 hari berikutnya menjadi gumpalan seperti sekerat daging. Lalu diutuslah kepadanya malaikat untuk meniupkan roh padanya dan ditetapkan dengan empat perkara, ditentukan : Rezekinya, Ajalnya (umurnya), Amalnya (pekerjaannya), Celaka / Bahagia.
9
Badruddin Subky, Bid’ah Di Indonesia, (Jakarta: Gama Insani, 1996), hlm. 160. Aminah Abdul Dahlan, Hadits Arba’in An-Nahwiyah, (Bandung: Al-Ma’arif, 2006), hlm.
10
17-20
7
Karena itu, pada usia wanita hamil empat bulan, seyogyanya keluarga muslim memohon doa kepada Allah agar si janin berada dalam hidup sempurna dan selamat lahir batin di dunia dan di akhirat.11 Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT keluarga calon ibu mengadakan upacara selametan tingkeban yang dilaksanakan dengan sederhana mungkin yaitu dengan membuat makanan, setelah itu memberitahukan kepada sanak famili, tetangga, sesepuh dan lain sebagainya untuk ikut serta mendoakan si calon ibu dan bayinya selamat, di dalam slameten tadi biasanya membaca Surat Maryam ataupun membaca berzanji. Upacara selametan tingkeban hukumnya haram jika dalam upacara selametan itu tidak didasarkan pasa niat yang lurus serta dilaksanakan secara berlebihan dan tidak mengandung unsur yang islami, maka menurut pendapat saya selametan tingkeban tadi haram hukumnya karena tidak sesuai dengan Islam. Sedangkan upacara selametan tingkeban hukumnya boleh jika dalam upacara selametan yang di dalam sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena telah dikaruniai calon bayi, agar janin yang dikandungannya selamat bila lahir nanti, maka sekeluarga dianjurkan berdoa kepada Allah, karena berdoa dianjurkan dalam Islam, agar si bayi, khususnya kelak menjadi manusia sholeh dan taat kepada keluarganya. Semoga Allah menjadikannya kelurga muslim yang bahagia dunia dan akhirat. Demikian juga pendidikan anak secara aktif harus dimulai sejak diketahui bahwa anak tersebut sudah ada di dalam kandungan seorang perempuan. 11
161.
Badrudin Subky, Bid’ah-Bid’ah Di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm.
8
Dengan kata lain, pendidikan secara aktif sudah harus dimulai sejak masa ia dalam kandungan dengan cara atau tehnik pendidikan yang secara islami. 12 Banyak orang yang tidak menyadari bahwa pembentukan anak seperti yang diinginkan oleh orangtua (anak sholeh) sudah dimulai sejak anak belum lahir, bahkan sebelum bapak dan ibunya menikah. Namun pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa membentuk anak sholeh dengan jalan mendidiknya baru dimulai setelah anak lahir kedunia, sebab baru pada saat itulah anak telah nyata untuk diarahkan sesuai dengan keinginan orang tuanya. 13 Alasan peneliti memilih Kelurahan Noyontaansari Pekalongan sebagai objek penelitian karena masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan menanggap mitoni sebagai tradisi yang harus dilakukan. Masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan percaya bahwa pasangan yang melakukan tradisi mitoni akan terhindar dari kesialan, bahaya kehamilan, calon bayi selamat, dan lain sebagainya dengan tujuan keselamatan. Namun sebaliknya jika pasangan yang tidak melakukan tradisi mitoni maka akan beranggapan terkena kesialan, calon bayi tidak selamat, dan hal-hal buruk lainnya. Sehingga mayoritas ibu hamil di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan pasti akan melakukan tradisi mitoni atau yang lebih dikenal dengan “tingkeban”. Peneliti sekaligus juga ingin mengetahui apa dan
12
Baihaqi, Mendidik Anak Dalam Kandungan Menurut Ajaran Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hlm. 29. 13 Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 48
9
bagaimana
pelaksanaan
tradisi
mitoni
di
Kelurahan
Noyontaansari
Pekalongan. Menurut pengamatan peneliti, upacara mitoni atau selamatan tujuh bulanan atau tingkeban di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan yaitu dilaksanakan ketika seorang ibu yang pertama kali baru mengandung dan usia kandungannya itu 7 bulan, kemudian dirumahnya mengundang sanak saudara, kerabat dekat, tetangga dan lain-lain guna untuk membuat rujak yang bahannya terbuat dari bermacam-macam buah yaitu: jeruk bali, mangga muda, jambu, bengkoang, salak, delima dan lain-lain. Setelah membuat rujaknya selesai dibagi-bagikan kepada saudara-saudara, kerabat dan tetangga, kemudian tuan rumah membuat makanan atau berkat namanya, tetapi sebelum dibagikan sudah dibacakan do’a tujuannya agar kelak calon bayi yang dikandungnya dan ibu sehat dan keduanya ibu dan calon ibu tersebut lahir dengan selamat dan tidak ada halangan apapun kelak jika lahir nanti. Kemudian selamatan tersebut dihadiri bapak-bapak, sesepuh, kiai tepatnya selamatan itu dilaksanakan pada waktu malam hari setelah maghrib. B. Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana
proses
tradisi
mitoni
di
Kelurahan
Noyontaansari
Pekalongan? 2.
Bagaimana
pemahaman
masyarakat
Kelurahan
Noyontaansari
Pekalongan terhadap tradisi mitoni sebagai studi living qur’an?
10
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumuasan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui proses tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. 2. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan terhadap tradisi mitoni sebagai studi living qur’an. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana keilmuan dalam bidang Ilmu Ushuludin dan Dakwah.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada para pembaca tentang tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. 3. Secara sosial kegunaan penelitian ini untuk merubah pemahaman masyarakat tentang tradisi mitoni yang sesuai dengan syari’at Islam. E. Tinjauan Pustaka Peneliti menemukan beberapa sumber literatur atau pustaka dalam penyusunan penelitian ini, antara lain: Buku karangan Muhammad Sholikhin yang berjudul Ritual dan Tradisi Islam Jawa, menyebutkan bahwa tradisi mitoni atau tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tujuh bulan. Tujuh dalam bahasa jawa adalah pitu, maka jadilah sinonim kata “mitoni”. Disebut “tingkeban” yakni selamatan
11
kehamilan usia 7 bulan, di mana “tingkeb” maksudnya adalah “sudah genap”, yakni genap artinya sudah waktunya, dimana bayi sudah bisa dianggap wajar jika lahir. 14 Buku karangan Sustrisno Sastra Utomo yang berjudul Upacara Daur Hidup Adat Jawa, menyebutkan bahwa orang Jawa memahami usia kehamilan tujuh bulan itu dengan nama Sapta Kawasa Jati. Sapta berarti tujuh, Kawasa berarti kekuasaan, dan Jati berarti nyata. Jadi pengertiannya, jika kodrat yang Maha Kuasa menghendaki dapat saja pada bulan ini lahir dengan sehat dan sempurna. Orang Jawa menyebut dengan bayi yang lahir pada bulan ketujuh dianggap matang/tua. Namun jika pada bulan ini bayi belum lahir, calon orang tuanya/neneknya membuat selamatan yang disebut mitoni/tingkeban. 15 Buku
karangan
Thomas
Wiyasa
Broto
Wijaya
yang
berjudul
Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa, menyebutkan bahwa mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam selametan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan. Mitoni juga disebut dengan tingkeban, karena acara mitoni ini berasal dari kisah sepasang suami istri bernama Ki Sedya dan Ni Satingkeb, yang menjalankan laku prihatin (brata)
14
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm.
15
Sustrisno Sastra Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa,( Semarang: Effhar, 2005), hlm.
79. 7
12
sampai permohonannya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Laku prihatin tersebut sampai sekarang dilestarikan menjadi acara yang sekarang kita sebut tingkeban/mitoni ini. 16 Buku karangan Suwondo yang berjudul Adat-istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, menyebutkan bahwa dalam agama Islam tidak mengajarkan sesembahan terhadap benda-benda selain hanya Allah SWT. Akan tetapi setelah Islam masuk di tanah Jawa, para walisongo tidak menghilangkan budaya-budaya asli orang Jawa, melainkan para walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam upacara atau mengadakan selamatan. Diantaranya seperti selamatan: mitung dina, patang puluh dina, nyatus, mendak, nyewu dan lain-lain. Memang upacara selametan tingkeban itu hanya ada di Indonesia, khususnya di Jawa. 17 Buku karangan Alfani Daud yang berjudul Islam dan Masyarakat Banjar, menyebutkan bahwa tujuan dilaksanakannya mitoni agar kedua calon ibu dan bayi agar selamat jika kelak akan lahir nanti menjadi anak saleh dan bernasib baik, sekaligus sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diamanati untuk mengasuh anak dan untuk melestarikan tradisi mitoni tersebut yang sudah ada sejak dulu agar kita tidak melupakannya. 18 Selain literatur atau pustaka di atas, peneliti juga menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan, antara lain:
16
Thomas Wiyasa Broto Wijaya, Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa,( Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), hlm. 118 19 Suwondo, Adat-istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001), hlm. 162-167. 18 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 267.
13
Skripsi Siti Ikrimah yang berjudul Tradisi Mitoni Menurut Perspektif Hukum Islam. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa upacara selametan tingkeban hukumnya boleh dilaksanakan, sebab dalam upacara selametan yang dilakukan mengandung nilai-nilai islami seperti dalam hal mendoakan si calon ibu dan calon bayi, bersedekah semata-mata karena Allah SWT dan bukan karena yang lainnya. 19 Skripsi Sri Balai Antari yang berjudul Persepsi Masyarakat Muslim Terhadap Upacara Mitoni dan Pendidikan Pranatal di Desa Karang Malang Kecamatan Ketanggung Kabupaten Brebes. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa upacara selamatan tujuh bulan wanita yang sedang hamil supaya anak yang dikandungnya selamat sampai dilahirkan. Masyarakat Desa Karang Malang Kecamatan Ketanggung Kabupaten Brebes beranggapan bahwa apabila upacara tingkeban ini tidak dilaksanakan, maka bayi dan ibu yang mengandungnya akan mengalami kesulitan atau hambatan di dalam proses kelahirannya maupun selama mengandung. Di samping itu banyak juga yang beranggapan bahwa apabila orang tidak melaksanakan upacara tingkeban, maka orang yang bersangkutan dianggap ngebokake anak, artinya menyamakan anak yang dikandungnya dengan kerbau. Oleh karena itu, meskipun secara sederhana upacara tingkeban penting untuk dilaksanakan.20 Skripsi Budi Wibowo yang berjudul Simbolisme pada Upacara Selamatan tingkeban di Desa Pasir Harjo Kecamatan Talun Kabupaten 19
Siti Ikrimah, Tradisi Mitoni Menurut Perspektif Hukum Islam, Skripsi Akhwalus Syakhsiyyah, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2010), hlm. 42. 20 Sri Balai Antari, Persepsi Masyarakat Muslim Terhadap Upacara Mitoni dan Pendidikan Pranatal di Desa Karang Malang Kecamatan Ketanggung Kabupaten Brebes, Skripsi Akhwalus Sykhasiyyah, (Skripsi STAIN Pekalongan, 2007), hlm. 51.
14
Blitar. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa upacara mitoni dilaksanakan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, upacara mitoni ini seperti dilakukan di daerah Blitar dengan dibacakan nyayian perjanjen dengan diselingi alat musik tamburin kecil. Nyanyian perjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari kitab barzanji. 21 Skripsi Romdiyah yang berjudul Akulturasi Budaya pada upacara Perkawinan, Telonon, dan Tingkeban di Dusun Sumber Rejo. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa upacara mitoni dilakukan ada saat wanita hamil yang pertama kali dan usia kandungannya mencapai usia tujuh bulan. Sesaji untuk menyertai upacara ini banyak pula macamnya antara lain sajian untuk selamatan dan sajian untuk melaksanakan upacara mandi (siraman). Sajian atau sajen untuk selamastan biasanya ditambah dengan sajen jenis lainnya seperti: apem kocor, jenang merah, jenang putih, jenang merah-putih (slewah) jenang palang, jenang baroo-baro, nasi tumpeng sebanyak tujuh buah dan diberi dengan (urap) dan lauk, takir potong yang berisi nasi punar (kuning) serta tujuh buah telur ayam, nasi golong, ketan manca warna, sriatan (semacam makanan empyong) yang terbuat dari kacang tanah, kecang hijau, kedelai, wijen dan sebagainya, penyon (makanan yang terbuat dari tepung beras yang dikukus menyerupai penyu), sempora (makanan yang terbuat dari tepung beras yang diberi santan dan dibentuk seperti tempurung telungkup, pring shadapur (makanan yang terbuat dari tepung beras dan dibentuk 21
Budi Wibowo Simbolisme pada Upacara Selamatan tingkeban di Desa Pasir Harjo Kecamatan Talun Kabupaten Blitar, Skripsi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2010), hlm. 74.
15
tumpeng kecil-kecil sebanyak 18 buah), tujuh macam rujak (rujak dhepok, sujak uleg, rujak crobo, rujak degan, rujak tape, sujak kembang), jajan pasar, kemenyan, empon-empon, ampo, pisang raja, gula kelapa dan sebagainya. 22 Dari pemaparan tinjauan pustaka di atas, maka perbedaan penelitian yang peneliti kaji dengan penelitian di atas adalah pada pemaparan skripsi di atas menjelaskan tentang upacara tradisi mitoni atau tingkeban di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan,yang ditinjau dari segi living Qur’an, seperti: proses tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan dan pemahaman masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan terhadap tradisi mitoni. Penelitian ini menggunakan metode lapangan yaitu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada orang disekitarnya dengan tujuan agar memperoleh hasil yang diinginkan. Sedangkan penelitian terdahulu di atas lebih memfokuskan pembahasan mitoni dari segi pendidikan, yakni penelitian prenatal, pendidikan keluarga, pendidikan seks dan pendidikan sosial. F. Kerangka Teori Peneliti menggunakan pendapat Nur Syam dalam membangun kerangka teori. Pendapat Nur Syam mengatakan bahwa Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arab yang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah 22
Romdiyah, Akulturasi Budaya pada upacara Perkawinan, Telonon, dan Tingkeban di Dusun Sumber Rejo, Skripsi Fakultas Tarbihyah, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2010), hlm. 76.
16
melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil kontruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya lokal. Tidak semata-mata Islam murni tetapi juga semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya lokal. 23 Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang. Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut
istilah-istilah, seperti selametan yang bernuansa bukan
kesedihan, berubah menjadi tasyakuran, misalnya selametan kelahiran, pindah rumah, dan mendapatkan kenikmatan lainnnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi selametan tetapi syukuran. Upacara memperingati tasyakuran kehamilan dulu disebut Mitoni, sekarang diubah dengan ungkapan Walimatul Hamli. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara tasyakuran kehamilan selalu diikuti dengan tayuban, maka sekarang
dilakukan
kegiatan
pengajian.
Secara
simbolik
hal
ini
menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam. 24
23 24
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 290-291 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKIS, 2005),, hlm. 282
17
Kata upacara dalam konteks kajian antropologi memiliki dua aspek yaitu ritual dan seremonial. Ritual adalah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama, yang dimantapkan melalui tradisi. Ritus tidak sama persis dengan pemujaan, karena ritus merupakan tindakan yang bersifat keseharian. Upacara merupakan sekumpulan aktivitas manusia yang kompleks dan tidak mesti bersifat teknis atau rekreasional, tetapi melibatkan model perilaku yang sepatutnya dalam suatu hubungan sosial. Sedangkan ritual adalah kategori upacara yang lebih terbatas tetapi simbolis lebih kompleks karena menyangkut urusan sosial dan psikologis yang lebih dalam . 25 Upacara mitoni yang dilakukan mengandung nilai-nilai islami seperti dalam hal mendoakan si calon ibu dan calon bayi, bersedekah semata-mata karena Allah SWT dan bukan karena yang lainnya. Sedangkan
upacara
selametan yang dilaksanakan karena rasa takut dan was-was serta masih percaya bila adat dilanggar akan membawa bencana dan musibah ataupun kecelakaan yang menimpa calon ibu dan bayi yang akan dilahirkan kelak. Dengan kata lain seseorang melaksanakan selametan tingkeban semata-mata bukan karena Allah SWT. Tetapi dalam hati kecilnya berkeyakinan bahwa upacara adat ini dilaksanakan biar sang ibu dan calon bayi mujur, karena bila tidak dilaksanakan, maka khawatir akan datangnya bahaya dan musibah yang akan menimpa akibat melanggar adat ini. keyakinan atau keparcayaan itulah yang menyebabkan terjadinya syirik.
25
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKIS, 2005),., hlm. 18
18
Allah SWT menganjurkan seseorang untuk mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan yang munkar serta tidak membebani untuk melakukan hal tersebut baik dari urusan agama maupun urusan di dunia, dalam hal ini misalnya tradisi upacara mitoni, tradisi upacara mitoni merupakan suatu perbuatan yang ma’aruf jika di dalamnya mendapatkan kriteria yang obyektif, yakni adanya kemaslahatan, juga harus dilihat secara subyektif, yakni dari segi penglihatan orang muslim. 26 Seyogyanya dalam menyikapi sesuatu tidak hanya melihat penamaannya, seperti tujuh bulan atau tingkeban, tapi harus melihat substansi perbuatannya. Sebab banyak perbuatan yang tidak ada atau belum ada namanya pada masa Nabi Muhammad SAW, kemudian pada perkembangan selanjutnya diberi nama oleh para ulama. Setelah peneliti mengamati upacara mitoni ini ternyata upacara ini berisikan do’a bersama agar anak yang dikandungnya nanti lahir dengan selamat, kelak menjadi anak yang shaleh dan bernasib baik. Tradisi upacara mitoni sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat ketika seseorang telah mengandung anak yang pertama upacara mitoni ini dilaksanakan sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah. Dalam ajaran agama Islam, konsep ibadah selalu dilandasi oleh keberadaan rasa syukur. Dasar utama pelaksanaan tradisi mitoni adalah dengan ikhlas dan syukur yang merupakan wujud terimakasih kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Sehingga menurut konsep ajaran agama Islam, bahwa keadaan pengamalan ibadah masyarakat Kelurahan Noyontaansari merupakan 26
Anwar Harjono, Hukum Islam, Kekuasaan dan Keadilannya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), hlm. 135-136.
19
wujud pemahaman mereka atas rasa terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan dan rizki kepada mereka, sehingga rasa terimakasih tersebut disampaikan dengan rasa syukur sebagai landasan dalam menjalankan tradisi mitoni. G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dimana data diperoleh dengan cara menghimpun informasi-informasi yang dilakukan melalui dokumentasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap sejumlah informan dari beberapa elemen masyarakat,27 beserta observasi lapangan untuk mengamati secara langsung pelaksanaan tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan.
2.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma naturalistik yang bersumber pada pandangan fenomenologis. Latar belakang pemilihan metode kualitatif dalam penelitian ini karena kajiannya terfokus pada makna yang berada di balik suatu tindakan seseorang. Jadi sesuatu yang melatarbelakangi tindakan seseorang atau biasa diistilahkan fenomenologi. Fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri, tidak
27
71.
Abdurrahman Saleh, Metodologi Pendidikan Agama, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hlm.
20
memandang individu secara statis dan terpaksa dalam bertindak, melainkan memiliki strategi bertindak yang tepat bagi dirinya sendiri, sehingga memerlukan pengkajian yang mendalam. Jadi tidak sekedar menekankan pada pengertian pemahaman manusia saja. Hasil tangkapan berupa data yang bersifat fenomenologis dapat dicerna, dideskripsikan, dianalisis kemudian disimpulkan secara tepat. 28 Pandangan
fenomenologis
tidak
berasumsi
bahwa
peneliti
mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti maka penekanannya pada aspek subyektif dari perilaku seseorang dan berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang diteliti sedemikian rupa sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. 29 Melalui metode tersebut, memungkinkan peneliti untuk dapat memahami fenomena yang terjadi pada pada masyarakat di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan dan pemahaman masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan terhadap tradisi mitoni. 3.
Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu memaparkan hasil penelitian secara apa adanya sesuai dengan keberadaan dan informasi data yang ditemukan. 30 Kemudian secara cermat menelaah, meneliti,
28
dan menganalisa
tentang tradisi mitoni di Kelurahan
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 30. 29 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ..., hlm. 32. 30 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 53.
21
Noyontaansari Pekalongan studi living Qur’an yang dilihat dari teoriteori dan pemikiran yang ada. Dari analisa ini, kemudian muncul sebuah konklusi. 4.
Lokasi Penelitian Penelitian
ini
akan
dilakukan
pada masyarakat Kelurahan
Noyontaansari Pekalongan. Tempat tersebut adalah tempat di mana peneliti tinggal, sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan pengamatan, mengumpulan data penelitian, menganalisa data penelitian, dan menyimpulkan tentang pelaksanaan tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. 5.
Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui: a. Sumber data Primer Sumber data primer adalah sumber data utama dalam penelitian ini. Data utama dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari kepala desa, tokoh masyarakat dan masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan yang melakukan tradisi mitoni baik melalui interview, dokumentasi, maupun observasi. b. Sumber data Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data pendukung, yaitu data-data kepustakaan untuk mendapatkan informasi menyangkut berbagai hal tentang objek formal penelitian, menjelaskan teoriteori terkait dan menginterkoneksikan antara pendapat yang satu
22
dengan yang lainnya yang berhubungan dengan tradisi mitoni. Data sekunder dalam penelitian ini adalah seperti halnya buku islam pesisir31, dokumentasi, majalah, internet dan buku-buku tentang tentang tradisi mitoni dari berbagai daerah. 6.
Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipakai penyusun dalam mengumpulkan data adalah: a. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung sumber data primer. Yang digunkan wawancara ini adalah dengan wawancara mendalam (in-depth interview) yang ada dalam penelitian ini. Sumber data primer dalam penelitian
ini
adalah
masyarakat
Kelurahan
Noyontaansari
Pekalongan yang melakukan tradisi mitoni. Menurut
Moh.
Nazir,
wawancara
adalah
suatu
proses
memperolah keteragan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang disebut dengan Interview guide (panduan wawancara).32 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara bebas terpimpin, sehingga tidak mengikat jalannya wawancara tersebut. Dengan demikian, pertanyaanpertanyaan dapat ditambah dan dikurangi, tanpa mengganggu kelancaran jalannya wawancara dan akan membawa hasil yang 31 32
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKIS, 2005) Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 234
23
akurat. Metode wawancara digunakan dengan cara menanyakan secara langsung kepada sumber data primer yakni masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan tentang pelaksanaan tradisi mitoni dan pemahaman masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan tentang tradisi mitoni. b. Observasi Observasi adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.33 Dengan demikian observasi sebagai metode ilmiah, dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian yang diselidiki. Dalam observasi ini, penulis mengamati keadaan yang wajar dan sebenarnya tanpa ada usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau memanipulasikan. Dalam hal ini, penulis terjun langsung ke lokasi penelitian. Metode ini peneliti gunakan untuk mendapatkan data tentang pelaksanaan tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan terstruktur kegiatan mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan, meliputi: waktu pelaksanaan mitoni, rukun dan syarat mitoni, tata cara pelaksanaan mitoni, hal-hal yang harus diperhatikan dalam mitoni, dan do’a-do’a dalam pelaksanaan mitoni.
33
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 234
24
c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan melihat dokumendokumen terkait,seperti foto pelaksanaan tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. 7.
Teknik Analisis Data Analisis adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. 34 Dalam hal ini, penyusun akan menganalisis data yang telah terkumpul secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan
metode
deduktif,
yaitu
penarikan kesimpulan yang berawal dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan khusus artinya dari datadata yang diperoleh dirinci kekhususannya, kemudian dikorelasikan dengan kasus pemahaman masyarakat
Kelurahan Noyontaansari
Pekalongan terhadap tradisi mitoni yang bersifat khusus, kemudian dilahirkan sebuah “konklusi” yang baru. Dan dilakukan secara induktif dengan model interaktif yang meliputi empat tahap yaitu tahap pengumpulan data, tahap reduksi data, tahap penyajian data, dan tahap verifikasi atau penarikan kesimpulan. 35 Menurut Moleong, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.36 Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
34
Nasri Singarimbun dan Sopiah Efendi, Metodologi Penulisan Survey, (Jakarta: LPBES, 2004), hlm. 56. 35 MB. Miles dan Haberman, Analisis data Kualitatif, (Jakarta: UI Press. 1972), h. 21 36 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ..., hlm. 103.
25
dengan menggunakan metode deduktif, dimana dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu, diperoleh data yang kredibel. Aktivitas dalam menganalisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, meliputi tahap-tahap antara lain: a. Data collection (tahap pengumpulan data). Pada tahap ini peneliti melakukan pengumpulan data
dengan
menggunakan
metode
observasi, wawancara dan dokumentasi. b. Data reduction atau reduksi data (mereduksi data berarti merangkum, memilih, hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu). Pada tahap ini peneliti mengolah data yang didapatkan dari hasil interview, observasi dan dokumentasi dengan cara memfokuskan pada hal-hal yang penting yang sesuai dengan rumusan masalah yang peneliti kaji. c. Data display atau penyajian data (untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif). Pada tahap ini peneliti menampilkan atau menyajikan data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi pada bab III.
26
d. Conclusion drawing atau verification (penarikan kesimpulan dan verifikasi). 37 Pada tahap ini peneliti melakukan penarikan kesimpulan dari data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi untuk ditarik sebuah analisis dan kesimpulan yang disajikan pada bab IV dan bab V. H. Sistematika Penulisan Berdasarkan pembahasan dan perumusan masalah tentang tradisi mitoni menurut living Qur’an di atas, maka pembahasan skripsi ini akan disajikan penulis dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumsuan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Gambaran Umum Tradisi Mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. Bagian pertama tentang Profil Kelurahan Noyontaansari Pekalongan, meliputi: kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi ekonomi, kondisi sosial budaya, dan kondisi keagamaan. Bagian kedua tentang Tradisi Mitoni, meliputi: pengertian tradisi mitoni, perlengkapan tradisi mitoni, tujuan tradisi mitoni, manfaat tradisi mitoni. Bab III
Tradisi Mitoni Dalam Perspektif Al-Qur’an. Bab ini berisi
selametan mitoni dalam perspektif Al-Qur’an yang berisi tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tradisi mitoni dan tujuan dilaksanakannya tradisi
37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ..., hlm. 246.
27
mitoni. Pada bab ini pula akan dijelaskan mengenai nilai-nilai qur’ani tradisi mitoni. Bab IV Tradisi Mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan. Bab ini menyajikan tentang proses tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan
dan
pemahaman
masyarakat
Kelurahan
Noyontaansari
Pekalongan terhadap tradisi mitoni sebagai studi living qur’an. Bab V Penutup. Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran-Saran dari hasil penelitian ini.