1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Secara alamiah, proses penuaan merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap makhluk hidup. Manusia menganggap bahwa menjadi tua merupakan hal yang harus terjadi, sudah ditakdirkan dan merupakan masalah yang harus dialami. Namun dengan adanya perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran, ditemukan konsep baru berupa kekhususan Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM). Konsep tersebut mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan penyakit yang, seperti penyakit lainnya, dapat diobati dan dicegah. Inilah pandangan baru yang harus ditanamkan pada manusia masa kini, yaitu usia boleh bertambah namun kemampuan fisik dan psikis tetap baik sehingga kualitas hidup juga tetap baik. Penuaan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal (radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, genetik) dan faktor eksternal (gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress, kemiskinan) (Pangkahila, 2007). Gangguan hormon yang terjadi pada tubuh seseorang yang menua di antaranya adalah penurunan hormon-hormon (IGF-1, DHEA, testosterone, T3),
1
2
peningkatan PTH dan homosistein serum, serta terjadinya “ovarian failure” pada wanita di mana kadar hormon-hormon ovarium menurun (Setiati et al., 2009). Salah satu hormon ovarium yang menurun pada proses penuaan adalah hormon estrogen. Hormon estrogen memiliki peranan penting dalam kehidupan wanita, diantaranya mempromosikan perkembangan karakteristik seks sekunder wanita serta bentuk tubuh wanita (payudara dan pinggul), serta berperan dalam pengaturan siklus menstruasi, lubrikasi vagina, mempengaruhi libido wanita, hingga menginisiasi ovulasi (Pangkahila, 2015). Sedangkan pada pria, hormon estrogen dibutuhkan untuk meregulasi fungsi reproduksi yang penting untuk maturasi sperma dan juga diperlukan untuk libido yang sehat (Pangkahila, 2015). Oleh sebab itu, penurunan dari hormon estrogen dapat memberikan efek dan keluhan yang dapat diperburuk oleh gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurang berolahraga, nutrisi yang tidak adekuat, kurang tidur, efek samping obat tertentu serta keracunan karena lingkungan tidak sehat (Pangkahila, 2007). Penurunan hormon estrogen pada wanita berdampak pada sebuah masa yaitu menopause, yang ditandai dengan gejolak panas (“hot flushes”), keringat banyak, rasa kedinginan, sakit kepala, berdebar-debar, mudah tersinggung, depresi, sulit tidur, hingga risiko aterosklerosis dan osteoporosis yang meningkat (Jacoeb, 2009). Arti dari menopause adalah berhentinya siklus menstruasi untuk selamanya, umumnya terjadi pada median usia 50-51 tahun. Namun bukan hanya sekadar menstruasi yang berhenti, melainkan juga meliputi munculnya gejala-
3
gejala yang jika dibiarkan dapat mengganggu kualitas hidup (Pangkahila, 2007; Setiati dan Laksmi, 2009). WHO mencatat bahwa wanita menopause berjumlah sekitar 467 juta jiwa di dunia pada tahun 1990 dan diperkirakan jumlah tersebut akan melonjak mencapai 1.2 milyar jiwa pada tahun 2030 (Hill, 1996). Rata-rata wanita Indonesia memasuki masa menopause sekitar usia 50 tahun. Namun sebagian wanita dapat mengalaminya pada usia lebih awal atau lebih lanjut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kapan terjadinya menopause, yaitu faktor fisik dan psikis seperti operasi ovarium, stress, gaya hidup, obat-obatan (Pangkahila, 2007; Setiati dan Laksmi, 2009). Untuk meredakan gejala menopause, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan seorang wanita. Terapi sulih hormon merupakan pilihan utama dengan menormalkan kembali kadar-kadar hormon yang tidak seimbang. Selain itu, melakukan aktivitas fisik yang rutin juga dapat membantu meringankan gejala menopause. Makanan seperti buah-buahan, serta suplemen yang mengandung antioksidan dan vitamin juga dapat membantu meringankan gejala menopause. Terapi konvensional terhadap gejala menopause adalah Hormone Replacement Therapy (HRT). Namun akibat dari beberapa efek samping seperti breast tenderness dan pendarahan, serta adanya risiko kanker payudara dan tromboemboli, tercetus pencarian terhadap terapi alternatif yang efektif dan aman dalam menanggulangi gejala menopause (Miquel, 2006; Ziaei, 2007). Salah satu dari alternatif tersebut adalah penggunaan suplemen vitamin. Ada banyak keuntungan yang secara teori dikaitkan dengan pemberian vitamin
4
pada wanita menopause (Palmas, 2006). Vitamin E telah direkomendasikan sebagai terapi bagi hot flush pada beberapa studi di masa lampau (Ziaei, 2007). Dosis yang dianjurkan adalah 400-800 IU/hari (Kasper et al., 2005). Vitamin E memiliki karakteristik farmakologis sebagai antioksidan kuat penginhibisi oksidasi, antiinflamasi dan menghambat aktivasi protein kinase-C, juga meningkatkan pelepasan prostasiklin sehingga membantu dilatasi pembuluh darah dan menurunkan agregasi trombosit (Dennehy dan Tsourounis, 2010). Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme vitamin E dalam memperbaiki kadar estradiol dan ovarium. Vitamin E dikatakan dapat meningkatkan fungsi adrenal sehingga dapat meningkatkan produksi hormon, terutama estrogen (Doshi dan Agarwal, 2013). Sifat antioksidan dari vitamin E dapat mencegah stress oksidatif yang dapat memperbaiki fungsi endokrin hipofisis serta mencegah kerusakan ovarium (Mehranjani et al., 2010; Molavi et al., 2014). Selain itu, vitamin E dikatakan dapat meningkatkan produksi PGE2 dan PGI2 untuk memodulasi aktivitas aromatase pada jaringan adiposa (salah satunya pada payudara) yang dapat meningkatkan konsentrasi serum estradiol (Palmas, 2006; Traber dan Atkinson, 2007). Dalam sebuah review article mengenai efek menguntungkan dari vitamin E pada menopause, ditemukan hasil yang berlawanan. Studi yang mempelajari pemberian 400IU vitamin E selama 4 minggu pada wanita sehat yang mendapatkan hasil yang positif mengenai pengurangan hot flushes. Sedangkan studi lain yang mempelajari pemberian 800IU vitamin E terhadap wanita menopause yang pernah mengidap kanker payudara selama 4 minggu tidak
5
mendapatkan hasil signifikan dari pengurangan hot flushes (Dennehy dan Tsourounis, 2010). Selain itu, beberapa data lain menyatakan bahwa vitamin E tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar hormon estrogen. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat membandingkan pemberian conjugated estrogen, suplementasi vitamin E dan conjugated estrogen yang diberikan bersamaan dengan vitamin E pada wanita postmenopause. Hasil yang ditemukan adalah bahwa pemberian vitamin E saja tidak meningkatkan hormon estrone dan 17-βestradiol secara signifikan, jika dibandingkan dengan pemberian conjugated estrogen (Kong Koh et al., 1999). Penelitian yang dilakukan pada wanita yang mengidap kanker payudara dan diberikan tamoxifen, pemberian vitamin E tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap level total estrogen (Peralta et al., 2008). Oleh karena kontroversi dari data-data tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian suplemen vitamin E dalam pengaruhnya dengan kadar hormon estrogen pada wanita menopause. Pada penelitian ini, dua intervensi (plasebo dan suplemen vitamin E) akan diberikan selama 12 minggu. Diharapkan dengan pemberian suplemen vitamin E, kadar estrogen (yang diukur dalam bentuk estradiol) pada wanita menopause dapat meningkat sehingga dapat mengurangi gejala menopause dan akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup. I.2. Rumusan Masalah Apakah pemberian suplemen vitamin E secara oral dapat meningkatkan kadar estradiol wanita post-menopause?
6
I.3. Tujuan Penelitian Untuk membuktikan efek dari suplemen vitamin E secara oral dalam meningkatkan kadar estradiol pada wanita post-menopause. I.4. Manfaat Penelitian Data-data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam memberikan informasi ilmiah mengenai vitamin E oral dalam kaitannya dengan meningkatkan kadar estradiol.