BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami setelah manusia mencapai usia dewasa di mana seluruh komponen tubuh berhenti berkembang dan mulai mengalami penurunan fungsi akibat ketidakmampuan jaringan untuk memperbaiki diri dari kerusakan yang terjadi. Proses penuaan yang terjadi pada seseorang dapat juga terjadi lebih awal, tidak sesuai dengan usia kronologisnya. Yang menjadi perhatian saat ini adalah, walaupun penuaan pasti akan terjadi pada setiap manusia, didapatkan angka harapan hidup yang semakin meningkat dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 1993 dicetuskan konsep baru Anti Aging Medicine (AAM). Konsep ini terdiri dari 3 pemikiran yaitu pertama, konsep ini menganggap bahwa penuaan adalah suatu penyakit yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati sehingga dapat berfungsi kembali ke keadaan semula. Kedua, manusia bukanlah orang hukuman yang pasrah terperangkap dalam takdir genetiknya. Ketiga, manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua (Pangkahila, 2011). Ada banyak faktor yang berperan dalam terjadinya proses penuaan. Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses
1
2
glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2007). Kerusakan yang terjadi dalam proses penuaan ini seringkali dipercepat atau diperberat dengan timbulnya penyakit-penyakit degeneratif dan gangguan medis tertentu. Salah satu masalah kesehatan yang seringkali dihubungkan dengan proses penuaan adalah obesitas. Obesitas saat ini telah menjadi suatu epidemi, masalah kesehatan global yang menjadi perhatian karena mengancam kesehatan secara umum dan menurunkan kualitas hidup seseorang, serta dapat menyebabkan penuaan dini bahkan kematian (Ahima, 2009). Obesitas didefinisikan oleh WHO sebagai akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang berpeluang menimbulkan risiko kesehatan pada seorang individu. Hal ini menggambarkan bahwa obesitas disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan penggunaan energi oleh tubuh. Keseimbangan antara kedua hal tersebut sangat kompleks dan dipengaruhi juga oleh faktor metabolik dan hormonal dari masing-masing individu (Nurmalina, 2011). Obesitas berkontribusi dalam berbagai kondisi patologis tubuh sepertti sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe 2 (T2DM), hipertensi, disfungsi endotel, serta hipogonadisme. Obesitas dan penurunan kadar testosteron memiliki hubungan yang saling mempengaruhi di mana deposisi lemak berlebih akan menyebabkan penurunan kadar testosteron dan kadar testosteron yang rendah akan menyebabkan semakin mudah terjadi timbunan
3
lemak viseral (Saad dkk, 2012; Pergola, 2000). Suatu penelitian prospektif menunjukkan bahwa obesitas berhubungan erat dengan risiko kematian tanpa memandang jenis kelamin, etnik dan usia (Adams dkk., 2006). Sedikitnya setiap tahun 2,6 juta orang meninggal karena overweight atau obesitas (Bray, 2007). Individu obesitas sebagian besar akan menunjukkan karakteristik dari sindrom metabolik, dengan salah satu komponen yang penting adalah resistensi insulin dan diabetes melitus. Prevalensi dari T2DM meningkat secara dramatis dalam kurun waktu terakhir ini, di mana berdasarkan laporan kasus didapatkan 6 juta penduduk Amerika menderita diabetes di tahun 1980 yang kemudian meningkat menjadi 15 juta di tahun 2004 dan saat ini menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sekitar 23 juta orang atau sekitar 8% dari total populasi orang di Amerika Serikat menderita diabetes (Traish dkk., 2009). Di Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk melebihi 200 juta jiwa, sejak pada awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak keempat di dunia, setelah Amerika Serikat, India dan China. Menurut perkiraan yang dikemukakan oleh World Health Organization (WHO) tahun 2005, Indonesia menempati peringkat nomor 5 di dunia, dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, yang naik 2 tingkat jika dibandingkan dengan tahun 1995 (Suyono, 2005). Menurut laporan nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi diabetes melitus tertinggi di daerah perkotaan yang ada di Indonesia terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku (11,1%) dan di beberapa kota seperti Jakarta mencapai 6,6 % dan Bali mencapai 3,0 % (Depkes, 2013).
4
Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan akibat adanya kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik dan menumpuk dalam sirkulasi darah karena pankreas tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh yang tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya dkk., 2011). Keadaan hiperglikemia pada diabetes merupakan kombinasi dari resistensi insulin, sekresi insulin yang tidak adekuat, serta sekresi glukagon yang berlebihan. Sekresi insulin diperankan oleh sel beta dari pulau Langerhans dalam pankreas, sehingga apabila sekresi insulin tidak adekuat dapat dianggap sebagai gangguan dari sel beta pankreas. Sel beta pankreas mudah mengalami kerusakan ataupun apoptosis akibat adanya radikal bebas karena sel beta memiliki kapasitas antioksidatif yang rendah (Morimoto dkk., 2005). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hormon testosteron berkaitan erat dengan kondisi obesitas di mana kadar testosteron yang rendah dapat ditemui pada kasus obesitas, dan kadar testosteron yang rendah pun memiliki korelasi terbalik dengan kadar insulin. Pada banyak penelitian, telah dilakukan pemberian terapi sulih hormon testosteron untuk mengatasi sindrom metabolik serta kondisikondisi yang menyertainya seperti hiperkolesterolemia, diabetes melitus, serta penumpukan lemak viseral (Kapoor dkk., 2006; Heufelder dkk., 2009). Terapi sulih hormon testosteron dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki kontrol kadar gula pada individu dengan diabetes melitus (Hanchang dkk., 2013).
5
Penelitian terdahulu juga menyimpulkan bahwa hormon androgen memiliki efek protektif terhadap kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas seperti reactive oxygen species (ROS) dan nitric oxide (NO). Pemberian hormon androgen eksternal yang dilakukan pada tikus yang dikastrasi menunjukkan penurunan pembentukan mega islet, yang merupakan suatu indikator awal dari kerusakan jaringan pankreas, dibandingkan dengan kelompok kontrol (Rosmalen dkk., 2001). Pemberian injeksi testosteron enanthate pada tikus yang mengalami kastrasi menunjukkan adanya penurunan indeks apoptosis sel beta pankreas melalui mekanisme yang kemungkinan dimediasi oleh reseptor androgen (Morimoto dkk., 2005). Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka dianggap kapasitas antioksidan yang dimiliki oleh hormon steroid khususnya hormon testosteron dapat menghambat kerusakan yang terjadi pada sel beta pankreas pada kondisi diabetes mellitus (Morimoto dkk., 2005; Hanchang dkk., 2013).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan atas latar belakang yang sudah dijabarkan, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1.2.1 Apakah pemberian injeksi testosteron dapat menghambat kerusakan sel beta pankreas pada tikus wistar jantan obesitas dengan diabetes melitus ? 1.2.2 Apakah pemberian injeksi testosteron dapat menurunkan kadar gula darah pada tikus wistar jantan obesitas dengan diabetes melitus ?
6
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian injeksi testosteron pada tikus wistar jantan obesitas dengan diabetes melitus. 1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk membuktikan pemberian injeksi testosteron dapat menghambat kerusakan sel beta pankreas pada tikus wistar jantan obesitas dengan diabetes melitus. 2. Untuk membuktikan pemberian injeksi testosteron dapat menurunkan kadar gula darah pada tikus wistar jantan obesitas dengan diabetes melitus.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Ilmiah Memberikan
informasi
mengenai
efektivitas
pemberian
preparat
testosteron terhadap perbaikan sel beta pankreas dan penurunan kadar glukosa darah pada tikus obesitas dengan diabetes melitus, serta kemungkinan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. 1.4.2
Manfaat Praktis Memberikan informasi awal mengenai peran terapi sulih hormon
testosteron pada kasus obesitas dengan hipogonadisme, yang disertai dengan diabetes melitus.