1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah sesuatu yang pasti terjadi pada manusia. Bertambahnya usia dan menjadi tua adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pada umumnya manusia menganggap bahwa keluhan-keluhan yang berhubungan dengan proses penuaan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan proses alamiah yang sewajarnya muncul pada usia tua, sehingga bila timbul keluhan mereka tidak cepat-cepat berusaha untuk mencari pengobatan. Bila keluhan semakin berat barulah mencari pertolongan dokter. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya manusia dapat hidup dengan umur lebih panjang dengan kualitas hidup yang tetap baik. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua. Penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon berkurang, proses glikolisasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stress, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Beberapa teori menjelaskan mengapa seseorang menjadi tua. Salah satu teori penuaan yang sangat berkembang adalah Teori Radikal Bebas. Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga
2
menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah desoxyribonucleic acid (DNA), lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Kulit manusia seperti organ tubuh lainnya juga mengalami penuaan. Fungsi kulit manusia yang menurun seiring usia adalah fungsi barier, pergantian sel, pembersihan zat kimia, persepsi sensoris, mekanisme proteksi, penyembuhan luka, respon imun, termoregulasi, produksi keringat, produksi sebum, produksi vitamin D dan perbaikan DNA. Perubahan histologis paling mencolok dan konsisten adalah penyempitan dermal –epidermal juction dengan penipisan pada papila dermal dan epidermal rete pegs. Pemisahan ini menyebabkan orang tua cenderung mudah terjadi luka pada kulit, abrasi superfisial pada trauma minor dan pembentukan bula pada lokasi oedem. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian dari jaringan tubuh. Luka juga didefinisikan sebagai kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and Solanki, 2011). Keadaan luka ini banyak faktor penyebabnya di antaranya trauma benda tajam atau tumpul, ledakan, zat kimia, perubahan suhu, sengatan listrik, gigitan hewan. Pada manusia dan golongan vertebrata yang lebih tinggi penyembuhan luka terjadi melalui suatu proses perbaikan dimana hasil yang dicapai bukan berupa restorasi secara anatomi namun lebih kepada hasil yang fungsional (Falanga, 2007). Berbeda dengan mekanisme yang terjadi pada amphibi dan reptil
3
yang mampu mengalami regenerasi ke bentuk dan susunan asli dari suatu organ atau bagian anatomi tubuh seperti sebelum terjadi perlukaan. Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan interaksi yang terus menerus antara sel dengan sel dan antara sel dengan matriks yang terangkum dalam tiga fase yang saling tumpang tindih. Tiga fase mekanisme penyembuhan luka yang terjadi yaitu fase inflamasi (0-3 hari), fase proliferasi dan pembentukan jaringan (3-14 hari) (Reddy et al., 2012) serta fase remodeling jaringan (bisa dimulai pada hari ke 8 dan berlangsung sampai 1 tahun) (Broughton et al., 2006)).
Hasil dari mekanisme penyembuhan luka ini tergantung dari
perluasan dan kedalaman luka, serta ada tidaknya komplikasi yang mengganggu perjalanan proses penyembuhan luka yang alami. Gangguan pada proses perbaikan jaringan yang menyebabkan proses penyembuhan luka yang lama, terjadi pada berbagai kondisi seperti pada orang yang berusia lanjut, pengobatan dengan steroid, dan yang menderita penyakit diabetes dan kanker (Gurtner et al., 2008). Pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya infeksi lebih besar. Proses penyembuhan luka merupakan proses biologik dimulai dari adanya trauma dan berakhir dengan terbentuknya luka parut. Tujuan dari manajemen luka adalah penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan luka parut yang minimal pada pasien (Soni and Singhai, 2012), meminimalkan kerusakan jaringan, penyediaan perfusi jaringan yang cukup dan oksigenasi, nutrisi yang tepat untuk jaringan luka (Reddy et al., 2012). Pengobatan dari luka bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor risiko yang
4
menghambat penyembuhan luka, mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan kejadian luka yang terinfeksi (Soni and Singhai, 2012). Sampai saat ini tidak ada substansi yang sangat efektif
untuk
mempercepat proses penyembuhan luka walaupun banyak usulan dalam ilmu pharmaceutical. Sebagai akibatnya, perhatian meningkat dalam menemukan ekstrak tanaman untuk meningkatkan regenerasi penyembuhan luka, meskipun penggunaan dari ekstrak tanaman untuk pengobatan luka
umumnya baru
merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (Mathivanan et al., 2006). Di negara berkembang, 25 persen dari pengobatan didasarkan pada pemakaian tanaman obat, yang secara luas digunakan pada masyarakat pedesaan. Nenek moyang menemukan kekuatan penyembuhan dari tumbuhan melalui proses trial and error (Soni and Singhai, 2012). Banyak tanaman obat yang biasa dipakai untuk mempercepat penyembuhan luka, diantaranya adalah tanaman mengkudu (Morinda citrifolia) (Nagori and Solanki, 2011). Mengkudu atau noni adalah satu dari tumbuhan tropikal penting yang berasal dari Polynesia. Disebut penting karena fungsinya yang banyak untuk kesehatan (Pal, 2012). Secara tradisional dari daun segar mengkudu dipakai sebagai obat untuk patah tulang, luka sayat atau potong yang dalam, luka bakar dan nyeri (Rasal et al., 2008). Komposisi mengkudu adalah sebagai berikut : scopoletin, octoanoic acid, potassium, ascorbic acid (vitamin C), triterpenoids, alkaloids, anthraquinones, sitosterol, beta carotene, vitamin A, flavones glycosides dan linoleic acid (Rasal et al., 2008), saponin (Satwadhar et al., 2010), tannin (Nayak et al., 2009),
5
xeronin (Peter, 2007). Phytoconstituent dari semua tumbuhan obat yang berpengaruh dalam mekanisme penyembuhan luka adalan tannins, flavonoids, saponins, sterol dan polyphenols serta triterpenoid (Soni and Singhai, 2012). Daun mengkudu mengandung semua kandungan tersebut. Kandungan daun mengkudu yang kaya antioksidan terutama vitamin C, catalase, beta karoten, flavonoid glycosides dan iridoid glycosides dianggap paling berperan penting dalam mekanisme penyembuhan luka (Rasal et al., 2008). Kandungan zat-zat aktif ini berperan pada semua fase penyembuhan luka. Vitamin C, catalase, dan terutama flavonoid diduga dapat memperpendek fase inflamasi dengan cara mengeliminasi reactive oxygen species (ROS), detoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2) sehingga menurunkan level lipid peroksida (Rasal et al., 2008), meningkatkan kadar enzim antioksidan dalam jaringan luka sehingga menghambat efek berantai radikal bebas (Thakur et al., 2011), serta efek antibakteri. Pada fase proliferasi dan remodelling jaringan, flavonoid pada daun mengkudu berperan dalam meningkatkan vaskuler, meningkatkan sintesis kolagen (Patil et al., 2012), meningkatkan kekuatan serat kolagen (Thakur et al., 2011; Nayak et al., 2009), merangsang platelet derived growth factor (PDGF) yang berperan dalam merangsang dan mengatur migrasi fibroblas, mitogenik untuk fibroblas, sel otot polos dan sel endotel (Fitzpatrick and Mehta, 2009). Semua proses ini akan meningkatkan kecepatan epitelisasi jaringan luka. Penelitian oleh Nayak et al. (2009) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun mengkudu secara oral pada tikus yang dilukai menghasilkan
6
secara signifikan meningkatan kecepatan kontraksi luka, kecepatan pembentukan kolagen dan hidroksiprolin, waktu epitelisasi yang lebih singkat. Rasal et al. (2008) juga melaporkan ekstrak daun mengkudu per oral dapat meningkatkan kontraksi luka, memperkuat jaringan penyembuhan luka, meningkatkan kolagen dan
hidroksiprolin,
mempercepat
epitelisasi
dan
menurunkan
level
malondialdehyde (MDA). Secara histopatologis Rasal et al. (2008) juga melaporkan peningkatan secara signifikan
neovaskularisasi, fibroblas dan
epitelisasi. Penelitian ekstrak daun mengkudu secara topikal untuk penyembuhan luka, belum pernah dilakukan sebelumnya, padahal masyarakat turun temurun telah menggunakanya secara tradisional, dan produk topikal dengan bahan mengkudu sudah beredar tanpa penelitian yang jelas. Selain itu, untuk obat luka, biasanya masyarakat lebih menyukai pemakaian produk topikal yang bisa langsung diaplikasikan ke jaringan luka karena lebih praktis. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan formula ekstrak daun mengkudu dalam bentuk salep untuk mengetahui efeknya terhadap regenerasi luka dengan parameter neovaskularisasi, epitelisasi dan fibroblas, pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8. Penentuan hari ke 4 dan ke 8 ini berdasarkan laporan jurnal dari Li et al. (2007) yang menyebutkan bahwa pembentukan kembali dermis di mulai kira-kira hari ke 3-4 setelah perlukaan, dengan ciri pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas, juga laporan yang menyebutkan bahwa kolagen tipe III disekresikan maksimal
7
oleh fibroblas antara hari ke 5 dan 7, dan setelah itu terjadi perubahan fenotip fibroblas menjadi miofibroblas. Pemilihan sediaan salep disebabkan karena telah dilakukan penelitian sediaan ini sebelumnya terhadap daun Cajanus scarabaeoides yang mengandung zat aktif flavonoid glycosides untuk regenerasi jaringan luka, dengan formulasi salep hidrofilik (Pattanayak et al., 2011), juga salep merupakan sediaan yang stabilitasnya baik, berupa sediaan halus, mudah digunakan, mampu menjaga kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit, mempunyai tampilan yang lebih menarik, dan lebih lama berada di jaringan luka dibandingkan dengan bentuk sediaan lain. Walaupun tidak ada perbedaan nilai hematologi, biokimia, maupun bobot organ antara tikus jantan dan betina (Sihombing and Tuminah, 2011), untuk mendapatkan sampel yang homogen, dipilih tikus jantan pada penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan epitelisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan? 2. Apakah pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan fibroblas jaringan luka pada tikus putih wistar jantan? 3. Apakah pemberian
salep ekstrak daun mengkudu
meningkatkan
neovaskularisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan?
8
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun mengkudu efektif dapat meningkatkan proses regenerasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun mengkudu dapat meningkatkan epitelisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan. 2. Untuk mengetahui efek pemberian salep
ekstrak daun mengkudu dapat
meningkatkan fibroblas jaringan luka pada tikus putih wistar jantan. 3. Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun mengkudu dapat meningkatkan
neovaskularisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah 1. Memberi informasi ilmiah mengenai fungsi salep ekstrak daun mengkudu untuk meningkatkan regenerasi jaringan luka. 2. Sebagai dasar untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut pada manusia. 1.4.2 Manfaat Praktis Diharapkan
masyarakat mengetahui manfaat salep ekstrak daun
mengkudu dalam meningkatkan regenerasi jaringan luka sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Penuaan Populasi orang tua di dunia mencapai laju yang sangat luar biasa. Sebagian besar berhubungan dengan penurunan laju kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup dalam 20 tahun terakhir. Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman and Klatz, 2007; Pangkahila, 2011). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, walaupun usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan sebenarnya (Pangkahila, 2011). Para ahli mengemukakan banyak teori mengapa kita menjadi tua. Namun tidak satupun teori yang dapat menjelaskan secara tuntas. Teori terbaru dari aging tingkat seluler hingga molekuler secara umum terdiri dari 2 latar belakang, yaitu aging adalah program dan aging adalah kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah
10
perubahan. Teori kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak. Contohnya kerusakan desoxyribonucleic acid (DNA) oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Terdapat 4 prinsip teori penuaan menurut Goldman and Klatz (2007) : 1. Teori Wear and Tear Tubuh dan sel-selnya rusak karena banyak dipakai secara berlebihan (overuse) dan disalahgunakan (abuse). Proses penuaan yang lebih cepat berkaitan dengan adanya toksin dalam diet dan lingkungan; mengkonsumsi makanan yang banyak lemak, gula, kafein, alkohol, nikotin, paparan sinar ultraviolet dan stres emosional. 2. Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ target yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. 3. Teori Kontrol Genetik Teori ini berfokus pada program genetik DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, sehingga penuaan dan lama usia hidup telah terprogram dan diwariskan secara genetik untuk tiap-tiap spesies. Tiap spesies di dalam inti selnya mempunyai suatu jam genetik yang telah diputar menurut
11
suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila berhenti berputar. 4. Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga bersifat amat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya bisa berakibat kanker dan kematian. 2.2 Kulit Secara mikroskopis struktur kulit manusia terdiri dari : epidermis, dermis dan subkutis (Baumann et al., 2009). Dua struktur yaitu epidermis dan dermis saling berhubungan dibatasi dermal epidermal junction. 1. Lapisan epidermis Merupakan lapisan terluar. Bervariasi ketebalannya antara 0,04 mm (kulit kelopak mata) sampai 1,5 mm (kulit telapak tangan) (Jain, 2012). Keratinosit atau dikenal juga dengan sebutan korneosit, adalah sel utama pada lapisan epidermis. Keratin filamen merupakan komponen utama dari keratinosit, dan berfungsi
12
sebagai jaringan pendukung. Keratinosit permulaan terdapat pada basal epidermis dan di dermal-epidermal junction. Diproduksi oleh stem cell, dan ketika stem cell membelah, menghasilkan sel serupa, dengan lambat berpindah ke lapisan atas epidermis. Proses ini disebut keratinisasi (Baumann et al., 2009). Lapisan epidermis dibagi menjadi empat lapisan berdasarkan ciri-ciri bentuk sel dan protein intraseluler yaitu dari luar ke dalam stratum korneum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (germinativum).
Gambar 2.1 Struktur anatomi kulit (Dikutip dari : Anonym, 2009)
Stratum Basale Lapisan terdalam kulit, terletak diatas membran dasar, mengandung sel keratinosit, melanosit, sel merkel, dan sel Langerhans (utamanya terletak di stratum spinosum). 10% dari sel basal merupakan stem cell, 50% amplifying cell, dan 40%
postmitotic cell (Baumann et al., 2009). Normalnya, stem cell
13
membelah dengan lambat, tetapi pada kondisi tertentu seperti pada proses penyembuhan luka atau pengaruh growth factors, akan membelah dengan cepat (Baumann et al., 2009). Dibentuk oleh sel kolumnar dan terjadi multiplikasi pada lapisan ini, dan juga terjadi ekspresi dari ornithine decarboxylase (ODC) sebagai marker dari aktivitas proliferasi (Jain, 2012). Stratum Spinosum Terdiri dari 5-12 lapisan dengan bentuk sel polyhedral, inti sel bulat dan „spiny‟. Lapisan ini mengandung sel keratinosit dan sel Langerhans. Sel-sel mengandung granula lamellar yang membawa lipid intraseluler, mengandung glikoprotein dan prekursor lipid, terlibat dalam pembentukan lapisan barier kutaneus (Jain, 2012). Pelepasan lipid melapisi permukaan memberikan fungsi barrier (Baumann et al., 2009). Stratum Granulosum Lapisan tipis, terdiri dari 1-3 lapisan, merupakan lapisan sel fusiform, datar dan mengandung granuler keratohialin. Stratum Korneum Merupakan lapisan teratas dari epidermis, disebut juga horny layer. Keratinosit menetap pada lapisan ini, menjadi matang, dan terjadi proses keratinisasi yang sempurna. Keratinosit tidak mengandung organel dan tersusun menyerupai dinding batu bata (Baumann et al., 2009). Melindungi kulit secara mekanik, kehilangan cairan, dan impermeabiliti. Korneosit mengandung keratin yang tertanam dalam matriks kaya filaggrin. Hasil dari degradasi filaggrin adalah urocanic acid yang mengabsorbsi radiasi ultra violet dan membentuk secara alami
14
moisturization factor, sehingga terhindar dari kekeringan kulit. Seramid merupakan barrier lipid utama untuk kulit, barrier lipid lainnya meliputi cholesterol, cholesterol sulfat dan asam lemak (Jain, 2012). Membran Basalis Barier selektif antara epidermis dan dermis, mengikat epidermis ke dermis. Ada dua membran basalis yaitu dermo-epidermal junction dan dermal pembuluh darah. 2. Lapisan Dermis Lapisan yang tebalnya 15 – 40 x tebal epidermis, mengandung komponen mesoderm, dibagi menjadi lapisan superfisial yaitu papila dermis dan lapisan dalam yaitu retikular dermis (mengandung sejumlah besar kolagen dan serat-serat elastin, pembuluh darah, saraf, limfatik, otot, pilosebasea, kelenjar apokrin dan ekrin). Kolagen Kolagen merupakan satu dari sejumlah protein alam terkuat dan jumlahnya terbanyak dan berlimpah pada manusia yaitu di bagian kulit, memberikan ketahanan dan daya lentur pada kulit (Baumann et al., 2009). Merupakan protein fibrous, 70 -80% berat dari dermis, komponen terpenting dari dermis (Jain, 2012). Kolagen disintesa dalam fibroblas dalam bentuk prekursor kolagen yaitu prokolagen. Sisa prolin dalam rantai prokolagen diubah menjadi hidroksiprolin oleh enzim prolyl hydroxylase. Sisa lisin pada rantai prokolagen juga diubah menjadi hidroksilisin oleh enzim lysyl hydroxylase. Kedua reaksi ini membutuhkan Fe++, vitamin C, dan α-ketoglutarate (Baumann et al., 2009).
15
Kolagen dihancurkan oleh metalloprotein, sintesisnya dirangsang oleh asam retinoat, dihambat oleh IL-1, glukokortikoid, D-penicillamine, radiasi ultraviolet (Jain, 2012 ). 3. Lapisan subkutis Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi (Baumann et al., 2009). Banyak fungsi dari kulit, yaitu: fungsi barier, mengatur suhu, sintesa vitamin D3, melindungi dari sinar ultraviolet yang merusak, melindungi dari mikro organisme patogen, fungsi sensasi, ekskresi dan metabolisme (Baumann et al., 2009). Dari berbagai fungsi itu, kulit sebagai barier adalah yang terpenting. Kulit berfungsi sebagai barier antara bagian luar dan dalam untuk melindungi dari agen-agen mekanik, kimia, dan serangan mikroba di lingkungan sekitar (Elias et al., 2007). 2.3 Luka
2.3.1 Definisi Luka Berdasarkan Wound Healing Society, luka adalah kerusakan fisik sebagai akibat
dari
terbukanya
atau
hancurnya
kulit
yang
menyebabkan
ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and Solanki, 2011). Luka juga didefinisikan sebagai gangguan dari seluler, anatomi, dan fungsi yang berkelanjutan dari jaringan hidup yang disebabkan oleh trauma fisik, kimia, suhu,
16
mikroba, atau imunologi yang mengenai jaringan (Thakur et al., 2011). Disebutkan juga luka adalah kerusakan dari integritas epitel kulit diikuti dengan terganggunya struktur dan fungsi dari jaringan normal sebagai akibat dari luka memar, luka lebam, luka robek, luka koyak atau luka lecet (Soni and Singhai, 2012). Luka ini mengakibatkan kehilangan kesinambungan dari epitel dengan atau tanpa kehilangan dari jaringan penunjangnya. Menurut Nagori and Solanki (2011), klasifikasi luka berupa luka terbuka dan tertutup berdasarkan penyebab dasar dari luka, serta luka akut dan kronis berdasarkan fisiologi dari penyembuhan luka. Meliputi : Luka terbuka : terjadi perdarahan yang terlihat secara kasat mata dimana darah keluar dari tubuh. Luka terbuka meliputi luka insisi, luka laserasi, abrasi atau luka dangkal, luka tusukan kecil, luka penetrasi, dan luka tembak Luka tertutup : pada luka jenis ini darah keluar dari sistem sirkulasi darah tetapi tersisa di dalam tubuh. Telihat dalam bentuk luka memar. Luka tertutup sedikit penggolongannya tetapi lebih berbahaya dari luka terbuka. Luka tertutup meliputi benturan atau luka memar, hematoma atau tumor darah, dan cedera yang keras. Luka akut : merupakan cedera pada jaringan yang normalnya dilanjutkan dengan proses perbaikan yang tersusun rapih dan tepat waktu, mengakibatkan pemulihan integritas jaringan secara anatomi dan fungsi dapat dipertahankan. Biasanya disebabkan oleh luka terpotong atau insisi bedah dan proses penyembuhan luka yang lengkap dalam kerangka waktu yang diharapkan. Luka kronis : terjadi karena kegagalan penyembuhan luka dalam tahap yang normal dan kemudian masuk ke dalam tahap inflamasi yang patologi. Luka kronis
17
membutuhkan periode waktu penyembuhan yang lama, tidak sembuh, atau kekambuhan yang sering. Merupakan sebab utama ketidakmampuan secara fisik. Infeksi lokal, hipoksia, trauma, benda asing dan problem sistemik seperti diabetes mellitus, malnutrisi, defisiensi fungsi imun atau obat-obatan seringkali menyebabkan luka kronis. 2.3.2 Penyembuhan Luka Luka dapat menyebabkan ketidakmampuan seseorang secara fisik. Penyembuhan luka merupakan reaksi kompleks yang saling mempengaruhi dari kegiatan seluler dan biokimia, yang mengatur pemulihan integritas struktural dan fungsional jaringan luka (Thakur et al., 2011). Penyembuhan luka terdiri dari serangkaian proses yang tersusun rapih sehingga jaringan yang rusak dapat bersatu seperti semula. Penyembuhan luka yang normal dipengaruhi banyak faktor. Bila proses penyembuhan ini gagal dapat berkembang menjadi luka yang kronis (Nagori and Solanki, 2011). Luka yang tidak sembuh secara terus menerus menghasilkan mediator inflamasi yang menyebabkan sakit dan bengkak di tempat luka. Luka tersebut menyebabkan infeksi dan pemulihan luka yang panjang. Selain infeksi, komplikasi yang sering dihubungkan dengan penyembuhan luka yang buruk meliputi selulitis, deformitas, keloid, gangrene, sepsis, tetanus, infeksi fatal dari sistem saraf. Pada luka terbuka sering terjadi isemik dan nekrosis yang bisa mengakibatkan amputasi (Reddy et al., 2012).
18
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka diantaranya adalah : Diet yang salah: penyembuhan luka adalah suatu proses anabolik yang membutuhkan energi dan nutrisi. Serum albumin 3,5 gram/dl atau lebih dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Protein penting untuk sintesa kolagen pada luka. Keadaan malnutrisi berakibat menurunnya kecepatan sintesa kolagen pada jaringan luka dan meningkatkan kejadian infeksi (Nagori and Solanki, 2011). Infeksi di daerah luka : Infeksi pada luka merupakan alasan terkuat bagi kegagalan penyembuhan luka. Organisme terpenting adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Corynebacerium sp, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Nagori and Solanki, 2011). Kekurangan asupan oksigen dan perfusi jaringan ke daerah luka : misalnya dalam keadaan sakit yang sangat, dingin, atau cemas dapat menyebabkan vasokonstriksi lokal dan meningkatkan waktu penyembuhan. Merokok dan penggunaan tembakau menurunkan perfusi jaringan dan tekanan oksigen pada luka (Nagori and Solanki, 2011). Obat-obatan : kemoterapi untuk kanker merupakan grup obat-obatan yang memperlambat proses penyembuhan luka. Glukokortikoid sistemik juga mempengaruhi proses penyembuhan yang normal, dengan menurunkan sintesa kolagen dan proliferasi fibroblast (Nagori and Solanki, 2011). Umur tua : Pada usia lanjut terjadi keterlambatan penyembuhan luka yang disebabkan karena aktifitas dan pertumbuhan fibroblas yang berkurang dan produksi kolagen menurun, juga kontraksi luka yang melambat (Nagori and Solanki, 2011).
19
Diabetes dan kondisi penyakit lainnya : Pasien diabetes lebih memungkinkan terjadinya infeksi pada luka, juga terjadi pada gangguan fungsi imun tubuh. Keterlambatan penyembuhan luka juga terjadi pada pasien dengan penyakit akut dan kronik liver (Nagori and Solanki, 2011).
Gambar 2.2 Fase Penyembuhan Luka (dikutip dari : Vowden, 2002) Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dibagi menjadi tiga fase yang saling overlapping yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Disebut overlapping karena mediator yang dikeluarkan pada fase-fase tersebut sering sama. Ini menunjukkan seluruh fase berjalan secara berurutan dan juga menerangkan hubungan secara linear mengenai penyembuhan luka mulai dari terjadinya luka sampai dengan terjadinya perbaikan, bahkan sampai bisa menjadi luka kronis. Beberapa penulis membagi fase penyembuhan luka menjadi empat fase dimana fase pertama merupakan proses hemostatis yang lebih menekankan pada respon vaskuler (Li et al., 2007). Yang menjadi perhatian adalah penjabaran mengenai seluruh proses perbaikan luka sulit dijelaskan atau digolongkan dalam
20
fase-fase yang tepat dan hal ini harus menjadi pertimbangan karena fase-fase tersebut sering overlapping (Falanga, 2007). Fase Inflamasi Inflamasi merupakan reaksi awal bila tubuh terkena luka ( Li et al., 2007). Fase ini terjadi segera setelah cedera dan dapat berlangsung sampai 4-6 hari (Broughton et al., 2006). Reaksi awal adalah terjadinya vasodilatasi lokal, keluarnya darah dan cairan menuju ruangan ekstravaskuler, dan terhambatnya aliran limfatik. Semua ini mengakibatkan timbulnya tanda-tanda utama untuk terjadinya suatu inflamasi, termasuk bengkak, merah dan panas. Respon inflamasi akut ini biasanya antara 24-48 jam dan dapat menetap diatas 2 minggu untuk beberapa kasus ( Li et al., 2007). Fase ini merupakan tahap awal yang alami untuk mengangkat jaringan debris dan mencegah infeksi yang invasif (Gurtner, 2007).
Gambar 2.3 Regenerasi Luka (Dikutip dari : Schafer, 2012)
Fase ini dibagi menjadi dua yaitu respon vaskular dan respon seluler (Li et al., 2007). Pada respon vaskular, perdarahan terjadi segera sesudah jaringan
21
cedera sebagai akibat dari terganggunya atau rusaknya pembuluh darah. Langkah pertama dari proses penyembuhan luka adalah hemostasis. Hemostasis terdiri dari dua proses utama: pembentukan fibrin clot dan koagulasi. Platelet adalah sel pertama yang muncul sesudah terjadinya cedera dan mengatur hemostasis normal. Perubahan trombin menjadi fibrinogen dan kemudian menjadi fibrin selama agregasi platelet, menyebabkan
fibrin clot
terbentuk dan menghentikan
perdarahan. Komponen ke dua dari hemostasis adalah koagulasi melalui intrinsik dan ekstrinsik coagulation pathways. Kerusakan jaringan melepaskan lipoprotein yang dikenal sebagai tissue factor. Platelet meningkatkan pembentukan jaringan baru melalui pelepasan beberapa growth factors kuat yang berpengaruh pada perbaikan luka, seperti transforming growth factor alpha (TGF-α), transforming growth factor beta (TGF-β), dan platelet-derived growth factor (PDGF) ( Li et al., 2007). Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya lekosit ke daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel netrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag (perubahan dari monosit). Monosit segera berubah menjadi makrofag pada jaringan luka fase selanjutnya, kurang lebih dalam 48 sampai 72-96 jam setelah luka (Broughton et al., 2006; Gurtner, 2007). Monosit ini ditarik ke jaringan luka oleh chemoattractans yang sama dengan netrofil, juga oleh monocyte chemoattractant protein dan macrophage inflammatory protein, oleh produk dari degradasi matriks ekstraseluler seperti fragmen kolagen, fragmen fibronectin, dan trombin ( Li et al., 2007).
22
Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil, menarik fibroblas ke jaringan luka dan memicu pembuluh darah baru. Makrofag merupakan pabrik produksi growth factors seperti PDGF, fibroblast growth factor (FGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), TGF-β, dan TGF-α. Dalam fase inflamasi ini, netrofil dan makrofag menghasilkan sejumlah besar anion superoksid radikal, yang sering digambarkan sebagai „respiratory burst‟. Kemudian sel lain seperti fibroblas dirangsang oleh sitokin pro inflamasi untuk memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) (Keller et al., 2006). Selain efek positif untuk membunuh bakteri, ROS ini juga berdampak negatif, menghambat migrasi sel, merusak jaringan dan bahkan berubah menjadi neoplasma (Keller et al., 2006). Untuk melindungi dari stres oksidatif, sel-sel mempunyai beberapa sistem untuk mendetoksifikasi ROS, yaitu secara nonenzimatik dan enzimatik. (Keller et al., 2006). Suatu luka disebut luka kronis bila fase inflamasi menetap berbulan-bulan bahkan tahunan. Fase inflamasi menetap pada keadaan luka yang hipoksia, infeksi, defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau faktor lain yang dihubungkan dengan respon imun pasien (Reddy et al., 2012). Luka kronis membentuk jaringan nekrotik yang tercemar oleh organisme patogen atau mengandung material asing yang tidak dapat di fagositosis selama fase akut inflamasi. Granulosit tidak muncul, sebaliknya sel mononuklear terutama limfosit, monosit, dan makrofag menetap pada daerah inflamasi. Tidak ada tanda-tanda
23
inflamasi. Makrofag menarik fibroblas dan dalam waktu yang lama memproduksi sejumlah besar kolagen, membentuk masa encapsulated dari jaringan fibrous dengan lambat, suatu granuloma (Li et al., 2007). Fase Proliferasi Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahap-tahap utama meliputi pembentukan
barier
permeabilitas
(epitelisasi),
kecukupan
suplai
darah
(angiogenesis) dan pembentukan kembali jaringan dermis pada jaringan yang luka (fibroplasia) (Li et al., 2007). Ciri-ciri fase proliferasi adalah angiogenesis, deposit kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi, dan kontraksi luka (Nayak et al., 2007). Fase ini akan dimulai pada hari ke 3 bersamaan dengan memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari ke 14, bahkan lebih setelah luka, didominasi dengan pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi (Reddy et al., 2012). Broughton et al. (2006) menyebutkan fase proliferasi dimulai segera setelah fase inflamasi yang berlangsung 4 - 6 hari. Epitelisasi Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti semula. Faktor yang terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan luka, proliferasi keratinosit, diferensiasi
neoepitelium
mengembalikan
basement
menjadi membrane
epidermis zone
yang
(BMZ)
berlapis-lapis, menjadi
utuh
dan yang
menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Epidermal growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF-α merupakan faktor penting untuk merangsang migrasi keratinosit, proliferasi, dan epitelisasi. Hari ke 7-9
24
sesudah epitelisasi, BMZ terbentuk. Struktur kulit pada BMZ terdiri dari banyak protein matriks ekstraseluler seperti kolagen dan laminins. Pembentukan kembali dermis dimulai kira-kira hari ke 3-4 setelah perlukaan, dengan ciri klinik pembentukan jaringan granulasi, meliputi pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis, dan penumpukan fibroblas atau fibroplasia ( Li et al., 2007). Fibroplasia Adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi fibrin clot ke daerah luka, dan produksi dari kolagen baru dan matriks protein lainnya, yang terlibat dalam pembentukan jaringan granulasi. Respon awal saat terjadinya luka, fibroblas di pinggir luka memulai proliferasi dan kira-kira hari ke 4 dimulai migrasi menuju matriks dari bekuan luka yang kaya kolagen, proteoglikan, dan elastin. PDGF, TGF-β, EGF dan FGF merangsang dan mengatur migrasi fibroblas dan mengatur ekspresi dari reseptor integrin. Proliferasi fibroblas diatur dan dirangsang oleh EGF, FGF, kondisi asam rendah oksigen yang ditemukan pada pusat luka. Sekali fibroblas bermigrasi ke daerah luka, selanjutnya akan berubah fenotipnya secara bertahap menjadi profibrotic phenotype yang fungsi utamanya juga berubah yaitu untuk sintesa protein. Selain itu fibroblas juga berubah fenotipnya menjadi myofibroblast yang berperan pada kontraksi luka (Li et al., 2007)
25
Gambar 2.4 Fase Inflamasi (1), Fase Proliferasi (2), Fase Remodelling (3a, 3b) (dikutip dari : Romo, 2012)
Fibroblas tampak berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut jaringan, memiliki tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti bulat telur, besar, kromatin halus, dan memiliki nukleus yang jelas (Kalangi, 2004). Pada jaringan ikat longgar dijumpai berbentuk bintang atau stelata sebagai akibat serabutserabut jaringan ikat yang tidak teratur. Fibroblas memiliki banyak mikrofilamen proaktin serta mikrotubul. Fibroblas berfungsi untuk mensintesis matriks ekstraseluler seperti serabut kolagen, serbut elastin, dan zat-zat amorf. Angiogenesis (Neovaskularisasi) Angiogenesis ditandai dengan migrasi sel endotel dan pembentukan kapiler (Broughton et al., 2006). Terjadi pertumbuhan kapiler baru pada daerah yang berdekatan dengan luka berupa tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh
26
darah dan akan berkembang menjadi percabangan baru pada jaringan luka (Singer and Clark, 1999). Selama angiogenesis, sel endotelial juga memproduksi dan mengeluarkan substansi biologikal aktif atau sitokin. Beberapa growth factor terlibat dalam angiogenesis adalah VEGF, angiopoietins, FGF, dan TGF-β. Berbagai tipe sel termasuk keratinosit, fibroblas, dan sel endotelial menghasilkan endothelial growth factor. VEGF ini terdapat dalam kadar rendah pada kulit normal, sebaliknya
kadarnya
tinggi
pada
waktu
penyembuhan
luka.
Keadaan
mempengaruhi timbulnya growth factor (Li et al., 2007). Angiogenesis berlangsung proporsional untuk perfusi darah dan tekanan parsial oksigen arteri (Ueno et al., 2006). Kontraksi Luka Kontraksi dari luka dimulai segera sesudah terjadinya perlukaan dan mencapai puncaknya 2 minggu. Derajat kontraksi luka bervariasi tergantung kedalaman luka. Untuk luka yang dalam, kontraksi merupakan bagian penting dari penyembuhan dan lebih dari 40% menurun dalam ukuran luka. Luka dengan kedalaman yang parsial, kontraksi kurang penting ( Li et al., 2007). Myofibroblast adalah mediator utama dari proses kontraksi karena kemampuannya untuk meluas dan menarik. Selama pembentukan jaringan granulasi, secara bertahap fibroblas berubah menjadi myofibroblast yang memegang peranan pada kontraksi luka (Broughton et al., 2006), dengan ciri ikatan mikrofilamen aktin (tidak terlihat pada kulit yang normal) ( Li et al., 2007)
27
yang mampu meregenerasi matriks dan kontraksi (Gurtner, 2007). Fibronectin membantu dalam kontraksi luka. Fase Remodeling Merupakan fase terpanjang penyembuhan luka yaitu pematangan proses, yang meliputi perbaikan yang sedang berlangsung pada jaringan granulasi yang membentuk lapisan epitel yang baru dan meningkatkan tegangan pada luka (Ueno et al., 2006). Remodeling meliputi deposit dari matriks ( Li et al., 2007), deposit kolagen pada tempatnya (Broughton et al., 2006), dan kontraksi scar (Gurtner, 2007).. Pada fase remodeling kekuatan peregangan jaringan ditingkatkan karena cross-linking intermolekular dari kolagen melalui hidroksilasi yang membutuhkan vitamin C (Reddy et al., 2012). Satu dari ciri-ciri fase ini adalah perubahan komposisi matriks ekstraseluler. Kolagen tipe III muncul pertama kali sesudah 48 – 72 jam dan maksimal disekresi antara 5 – 7 hari. Jumlah kolagen total meningkat pada awal perbaikan, mencapai maksimum antara 2 sampai 3 minggu sesudah cedera (Li et al., 2007). Kolagen tipe III yang diproduksi oleh fibroblas selama fase proliferasi akan diganti oleh kolagen tipe I selama beberapa bulan berikutnya melalui proses yang lambat dari kolagen tipe III (Gurtner, 2007). Selama periode 1 tahun atau lebih, dermis secara bertahap kembali kepada fenotip yang stabil seperti sebelum cedera, dan komposisi terbanyak adalah kolagen tipe I. Kekuatan regangan yang merupakan penilaian dari fungsi kolagen, meningkat 40% kekuatannya dalam jangka waktu 1 bulan dan terus meningkat
28
sampai 1 tahun, mencapai lebih dari 70% kekuatannya dari normal pada akhir fase remodeling ( Li et al., 2007). Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui kontrol yang ketat antara sintesa kolagen baru dan lisis dari kolagen lama yang dilakukan oleh matrix metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak terdeteksi atau kadarnya sangat rendah pada jaringan sehat, dan timbul selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik dari MMP juga dikontrol oleh inibitor jaringan dari metaloprotein. Keseimbangan antara aktifitas MMP dan inhibitornya juga merupakan hal penting dalam perbaikan luka dan remodeling ( Li et al., 2007). Ketidakseimbangan yang terjadi dapat menyebabkan keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya jaringan fibrosis sehingga menyebabkan jaringan parut, hipertropi scar atau bahkan keloid. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita diabetes, infeksi, usia lanjut, dan nutrisi yang buruk ( Li et al., 2007). 2.4 Radikal Bebas dan Antioksidan Radikal bebas didefinisikan sebagai berikut: Radikal bebas adalah atom yang memiliki elektron bebas atau elektron yang tidak berpasangan. Elektron ini bersifat tidak stabil sehingga bersifat liar dan mudah menggandeng molekul lain yang ada di sekitarnya. Ikatan tersebut menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Definisi lain radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang memiliki elektron yang tidak berpasangan dan mencari pasangannya dengan cara mengikat elektron yang ada di sekitarnya (Lingga, 2012). Radikal bebas dihasilkan oleh tubuh sendiri (endogen), dan yang berasal dari luar tubuh (eksogen). Radikal bebas endogen berasal dari proses biokimia
29
yang berlangsung di dalam mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. Ketika sel membutuhkan oksigen untuk menghasilkan energi, timbul radikal bebas sebagai akibat dari produksi adenosine triphosphate (ATP) oleh mitokondria. Hasil akhirnya berupa ROS, yang mempunyai dua sifat yang berlawanan, racun dan komponen yang berguna (Huy et al., 2008). Pembentukan ROS terjadi pada rantai respirasi, fagositosis, sintesa prostaglandin, dan sistem sitokrom P450 (Huy et al., 2008). Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari polusi udara dan air, asap rokok, alkohol, logam berat (Cd, Hg, Pb, Fe, As), radiasi ultraviolet, obat-obatan tertentu (cyclosporine, tacrolimus, gentamycin, bleomycin), pestisida, dan proses memasak (daging asap, penggunaan minyak, lemak). Sesudah mencemari tubuh dari berbagai jalan yang berbeda, komponen eksogen di metabolisme menjadi radikal bebas (Huy et al., 2008). Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel, yaitu : asam lemak, khusus asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel; DNA, merupakan perangkat genetik sel; protein, memegang berbagai peran penting sesperti enzim, reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks sitoskeleton. Perusakan membran sel dan lipoprotein ini disebut lipid peroksidase. Hal
ini
bisa
terjadi
pada
keadaan
stres
oksidasi
yang
disebabkan
ketidakseimbangan antara pembentukan dan netralisasi radikal bebas. Radikal bebas ini dapat dinetralisir bila kecukupan antioksidan di dalam tubuh terpenuhi.
30
Antioksidan adalah zat atau senyawa alami yang dapat melindungi sel tubuh dari kerusakan dan penuaaan yang disebabkan oleh radikal bebas (Lingga, 2012). Secara alami tubuh kita memiliki antioksidan endogen yang dihasilkan sendiri oleh tubuh. Kapasitas antioksidan yang dimiliki oleh setiap individu berbeda-beda, tergantung pola hidup yang dijalani masing-masing individu, serta faktor usia. Sistem pertahanan tubuh yang utama dilakukan oleh antioksidan endogen, selebihnya dilakukan oleh antioksidan eksogen. Antioksidan endogen merupakan antioksidan alami yang dihasilkan tubuh atau disebut pula sebagai antioksidan primer, sedangkan antioksidan eksogen terdiri atas antioksidan sekunder, tersier, pengikat oksigen (oxygen scavenger), dan pengikat logam (chelator atau sequestrans) (Lingga, 2012). Macam-macam antioksidan adalah sebagai berikut: Antioksidan primer Antioksidan primer berbentuk enzim sehingga disebut juga sebagai antioksidan enzimatis. Disebut primer karena bekerja secara cepat memberikan atom hidrogen kepada senyawa radikal, sehingga berubah menjadi stabil (Suwardi, 2011; Lingga, 2012), merupakan antioksidan enzimatik utama yang terlibat langsung menetralkan ROS (Huy et al., 2008). Antioksidan enzimatis diantaranya adalah superoxide dismutase (SOD), catalase, glutathion peroksidase (GPx). Radikal bebas oksigen atau superoksid dinetralkan oleh SOD menjadi H2O2. Enzim catalase menetralkan H2O2 dengan menguraikannya menjadi air
31
dan oksigen. Sedangkan glutathion peroksidase berfungsi seperti katalase menguraikan H2O2 menjadi air dan oksigen (Huy et al., 2008). Antioksidan sekunder Disebut juga antioksidan non-enzimatis, berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga menghindari kerusakan sel yang lebih parah (Lingga, 2012). Antioksidan ini dibagi menjadi antioksidan metabolik dan antioksidan nutrient. Antioksidan metabolik yang termasuk antioksidan endogen diproduksi oleh metabolisme tubuh, seperti asam lipoid, glutation, L-arginin, coenzim Q10, melatonin, uric acid, bilirubin, metal-chelating protein, transferrin (Huy et al., 2008). Sedangkan antioksidan nutrient yang termasuk antioksidan eksogen adalah komponen yang tidak dapat diproduksi tubuh dan hanya didapat dari makanan atau suplemen, misalnya vitamin A, C, dan E, serta beberapa macam zat nirgizi antara lain karotenoid, flavonoid, tanin dan sejumlah fitokimia lainnya (Lingga, 2012), trace metals (selenium, manganese, zinc), omega-3, dan omega-6 (Huy et al, 2008). Antioksidan tersier Antioksidan kelompok ini adalah enzim DNA-repair. Enzim ini memperbaiki biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Suwardi, 2011). Antioksidan tersier berupa enzim metionin sulfoksida (Lingga, 2012). Cara kerjanya memperbaiki
kerusakan DNA melalui proses metilasi,
yakni
terbentuknya sadenosylmetionin (SAMe) dari asam amino metionin yang bereaksi
32
dengan ATP. Kekurangan metilasi ini salah satunya dapat menimbulkan penuaan dini (Suwardi, 2011). Cara kerja antioksidan Cara kerja antioksidan melalui satu dari dua cara yaitu: memutus rantai atau pencegahan. Antioksidan pemutus rantai (Vitamin C, E, karotenoid, flavonoid dan lain-lain), memutus rantai pembentukan radikal bebas yang berantai, misalnya memutus rantai lipid peroksidase. Untuk pencegahan, berperan antioksidan enzim (SOD, catalase, dan GPx), yang mencegah proses oksidasi rantai awal, misalnya membasmi radikal bebas sejak awal pembentukan atau menstabilkan radikal logam seperti tembaga dan besi (Huy et al., 2008). Antioksidan nutrient Antioksidan yang didapat dari makanan memegang peranan penting dalam membantu antioksidan endogen untuk mengatasi stres oksidatif. Masing-masing nutrient ini unik dalam struktur dan fungsi sebagai antioksidan. Vitamin E. Merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan mempunyai potensi antioksidan yang tinggi. Karena larut dalam lemak, vitamin E dalam bentuk α-tocopherol melindungi membran sel dari kerusakan akibat radikal bebas (Huy et al., 2008). Vitamin C. Merupakan vitamin yang larut dalam air. Sangat penting untuk biosintesa kolagen, karnitin, dan neurotransmiter. Vitamin C bekerja sinergis dengan vitamin E untuk menghilangkan radikal bebas dan juga memperbaharui bentuk vitamin E (Huy et al., 2008).
33
Beta karoten. Sifat larut dalam lemak, termasuk karotenoid yang berbentuk provitamin, karena dapat diubah menjadi vitamin A aktif. Merupakan antioksidan kuat dan terbaik menghilangkan singlet oksigen (Huy et al., 2008). Selenium (Se). Merupakan trace mineral ditemukan dalam tanah, air, sayur-sayuran (bawang putih, bawang merah, kaacang-kacangan), sea food, daging, hati. Untuk mengaktifkan glutathion peroksidase (Huy et al., 2008). Zinc (Zn). Merupakan ko-faktor berbagai sistem enzim termasuk zincdependent matrix metalloproteinase (Thakur et al., 2011). Flavonoids. Merupakan komponen polyphenolic yang terdapat pada banyak tanaman. Berdasarkan struktur kimia, diketahui terdapat lebih 4000 flavonoid, yang efeknya menguntungkan bagi kesehatan tubuh, utamanya sebagai antioksidan yang kuat dan kemampuan mengikat zat tertentu yang berbahaya bagi tubuh (chelat). Efek perlindungan dari flavonoid dalam sistem biologikal adalah kapasitasnya untuk mentransfer elektron kepada radikal bebas, mengikat katalis logam, mengaktifkan antioksidan enzimatik, mengurangi radikal α-tocopherol, dan menghambat oksidase (Heim et al., 2002). Kemampuan untuk membasmi radikal bebas utamanya disebabkan karena reaktifitas yang tinggi dari gugus hydroxyl flavonoid dengan reaksi sebagai berikut ; F-OH + R.
F-O.+ RH
Efek chelating dari flavonoid dengan menetralkan ion besi dari kelebihan besi dalam sel hepar, sehingga menghambat kerusakan oksidatif. Reaksi dari besi fero dengan hidrogen peroksida menghasilkan radikal hidroksil yang kemudian mengoksidasi biomolekul di sekitarnya. Dikenal sebagai reaksi Fenton, yang
34
berhubungan dengan konsentrasi tembaga atau besi. Reaksi Fenton ini dihambat dengan kuat oleh flavonoid (Heim et al., 2002). Saponins. Merupakan komponen sekunder yang ditemukan dalam banyak tanaman dapat berbentuk busa stabil dalam larutan yang mengandung air, seperti sabun. Secara kimiawi, saponin sebagai sebuah grup yang meliputi glycosylated steroid, triterpenoids dan steroid alkaloids. Sebagai antioksidan, saponin mempunyai kekuatan mereduksi, aktivitas membasmi radikal superoksid, aktivitas mengikat logam, dan antibakteri (Li et al., 2009). Tannins. Berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan oksidatif DNA dengan dua cara, yaitu mengikat logam terutama besi dan secara langsung membasmi radikal bebas (Lodovici et al., 2001). 2.5 Tanaman Obat Tumbuh-tumbuhan mempunyai kemampuan yang besar dalam mengobati berbagai macam luka. Sejumlah besar tumbuh-tumbuhan digunakan oleh berbagai suku bangsa di banyak negara untuk mengobati luka dan luka bakar. Bahan-bahan alami ini dapat mengobati dan meregenerasi jaringan yang rusak dengan berbagai mekanisme. Tanaman obat ini tidak hanya murah harganya dan mempunyai kemampuan mengobati yang baik, tetapi juga aman (Thakur et al., 2011). Menurut Nayak and Pereira (2006), keberadaan dari berbagai kandungan utama dalam tumbuh-tumbuhan mendesak para ilmuwan untuk meneliti yang berpengaruh pada penyembuhan luka. Kandungan obat yang bernilai pada tumbuh-tumbuhan berupa kandungan bioactive phytochemical. Kandungan
35
tersebut meliputi berbagai macam unsur kimia seperti alkaloid, minyak esensial, flavonoids, tannins, terpenoids, saponins, dan phenolic (Edeoga et al., 2005). Perlukaan pada kulit rentan terjadi infeksi mikroba yang dapat berkembang menjadi sepsis pada luka. Hal ini dapat terjadi karena daerah yang terluka merupakan media yang ideal bagi berkembangnya organisme penyebab infeksi. Pengobatan dengan topikal antibakteri merupakan salah satu cara terpenting dalam perawatan luka. Ekstrak tanaman obat efektif menghentikan perdarahan dari luka baru, menghambat pertumbuhan bakteri dan meningkatkan penyembuhan luka (Okoli et al., 2007). Banyak tanaman obat dilaporkan mempunyai aktifitas penyembuhan luka dan berguna untuk pengobatan luka. Tanaman obat merupakan sumber penting dari substansi kimia baru yang mempunyai fungsi dan efek terapeutik (Nagori and Solanki, 2011). Dilaporkan baru-baru ini beberapa tanaman obat secara signifikan terlibat dalam proses penyembuhan luka yaitu Alternanthera sessilis, Morinda citrifolia, Lycopodium serratum, Sesamum indicum, Catharanthus roseus, Cecropia peltata, Euphorbia hirta, Ginkgo biloba, Clerodendrum serratum, Pterocarpus santalinus, Lawsonia alba, Napoleona imperialis, Kaempferia galangal, Radix paeoniae, Prosopis cineraria dan Trigonella foenum-graecum (Nagori and Solanki, 2011). Khusus untuk Morinda citrifolia akan dibahas berikut ini.
36
Phytoconstituent
Tannins
Flavonoids
Saponins
Sterols dan polyphenol
Mekanisme Penyembuhan Luka
Sebagai pembasmi radikal bebas Efek astringent dan anti mikroba
Antioksidan kuat dan efek pembasmi radikal bebas, memperbesar level enzim antioksidan pada jaringan granuloma
Aktivitas antioksidan dan antimikroba, berpengaruh pada kontraksi luka dan meningkatkan kecepatan epitelisasi
Berpengaruh pada penyembuhan luka dengan aktivitas antioksidan dan pembasmi radikal bebas, mengurangi lipid peroksidasi, mengurangi nekrosis sel dan meningkatkan vaskularisasi
Meningkatkan penyembuhan luka dengan efek astringent dan antimikroba
Gambar 2.5 Mekanisme Penyembuhan Luka (dikutip dari : Soni and Singhai, 2012)
Triterpenoid
37
2.6 Mengkudu (Morinda citrifolia) 2.6.1 Deskripsi dan Karakteristik Tumbuhan Mengkudu Genus Morinda (Rubiaceae), meliputi spesies Morinda citrifolia L, seluruhnya terdapat 80 spesies. Hanya sekitar 20 spesies Morinda yang mempunyai nilai ekonomis, antara lain : Morinda bracteata, Morinda officinalis, Morinda fructus, Morinda tinctoria dan Morinda citrifolia. Morinda citrifolia adalah jenis yang paling populer, sehingga sering disebut sebagai “Queen of The Morinda” (Waha, 2001; Suwardi, 2011). Penyebarannya cukup luas, meliputi seluruh kepulauan Pasifik Selatan, Malaysia, Indonesia, Taiwan, Filipina, Vietnam, India, Afrika, dan Hindia Barat (Djauhariya et al., 2006). Mengkudu tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Ada dua jenis tumbuhan keluarga mengkudu yang terkenal di Indonesia, yaitu : Morinda bracteata dan Morinda citrifolia. M.citrifolia atau mengkudu adalah spesies yang lebih populer digunakan untuk pengobatan dan bahan makanan (Waha, 2001). Tumbuhan mengkudu mudah sekali tumbuh, terutama di daerah tropis dan sekitarnya. Biasanya tumbuh secara liar di pantai, hutan, ladang, atau ditanam di pekarangan sebagai tanaman sayur atau tanaman obat (Dalimartha, 2006). Tumbuhan mengkudu termasuk tumbuhan tahunan (parenial), berbatang kecil, dan berdaun lebar (Tadjoedin and Iswanto, 2002) Bagian tumbuhan ini terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Khusus untuk daun karakteristiknya sebagai berikut :
38
Daun : berbentuk tunggal, letak berhadapan, bertangkai pendek, tebal mengkilap, berbentuk bulat telur lebar sampai berbentuk elips, ujung runcing, pangkal menyempit, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 10-40 cm, lebar 5-17 cm, dan berwarna hijau tua (Dalimartha, 2006).
Gambar 2.6 Pohon Mengkudu 2.6.2 Kandungan Utama Mengkudu Selama satu abad, para ilmuwan dan dokter profesional telah meneliti kandungan kimia dalam semua bagian dari mengkudu, meliputi daun, buah, kulit kayu dan akar (Pal et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian, senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada mengkudu telah banyak dilaporkan sejumlah literatur dan publikasi ilmiah. Ternyata hampir semua bagian tumbuhan mengkudu mengandung berbagai macam metabolit sekunder yang berguna bagi kesehatan manusia. Awalnya ilmuwan menduga ada zat yang berbeda dalam buah mengkudu yang bekerja secara bersama-sama menghasilkan efek yang baik bagi
39
tubuh. Namun setelah ditelusuri ternyata dalam akar, kulit, daun, dan bunganya juga mengandung senyawa metabolit sekunder yang berkhasiat sebagai obat (Kandi, 2006). Sekitar 160 kandungan fitokimia telah diidentifikasi dari tumbuhan mengkudu dan mikronutrien utama adalah kandungan fenol, asam organik, βsitosterol, caroten, flavon glikosid, rutin, terpenoid, dan alkaloid (Pal et al., 2012). Kandungan zat penting dari mengkudu adalah anthraquinones, flavonol glycosides, idridoid glycosides, lipid glycosides, dan triterpenoids (Su et al., 2005). Mengkudu mempunyai kandungan antioksidan yang banyak dan merupakan sumber utama dari antioksidan natural atau phytochemical (Ramamoorthy and Bono, 2007). Kandungan kimia yang terdapat dalam daun mengkudu adalah sebagai berikut: asam amino, mineral (kalsium, besi, zinc, magnesium, selenium, kalium, natrium, fosfor) (Suwardi, 2011), vitamin (asam askorbat, beta karoten, niasin, riboflavin, tiamin, beta sitosterol, asam ursolat), alkaloid (antrakuinon, glikosida, resin) (Waha, 2001), saponin, tannins, triterpenoid, flavonoid (Nayak et al., 2009), flavone glycosides, iridoid glycosides (Rasal et al., 2008).
40
Tabel 2.1 Analisis Fitokimia dari Ekstrak Methanol Morinda citrifolia (mg/g) (Sibi et al., 2012)
EKSTRAK
PHENOL
FLAVONOID
ALKALOID
TANNIN
SAPONIN
TRITERPENOID
STEROID
GLIKOSIDA
DAUN
+
+
++
++
+
++
-
++
BATANG
-
-
+
+
-
+
-
+
AKAR
++
++
-
++
+
-
++
+
2.6.3 Daun mengkudu dan Penyembuhan Luka Pada penelitian akhir-akhir ini dilaporkan bahwa mengkudu secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi luka, meningkatkan kekuatan kulit sebagai akibat dari meningkatnya kolagen. Peningkatan berat kering granuloma dan kekuatan granuloma sebagai indikasi pematangan yang baik dari kolagen karena meningkatnya cross-linking. Scar yang terjadi juga lebih dangkal. Semua ini didukung secara histopatologi. Semua bukti memperkuat mengkudu mempercepat penyembuhan
bahwa
luka pada berbagai fase proses
penyembuhan luka (Pal et al., 2012). Penelitian oleh Nayak et al (2009) melaporkan bahwa ekstrak etanol dari daun Morinda citrifolia secara signifikan meningkatkan kontraksi luka, kecepatan epitelisasi dan berat jaringan granulasi. Sehingga pemberian ekstrak mengkudu dapat meningkatkan pembentukan kolagen pada fase proliferasi penyembuhan luka. Penelitian oleh Rasal et al (2008) melaporkan bahwa ekstrak daun Morinda citrifolia secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi luka,
41
kekuatan kulit sebagai cermin dari meningkatnya level kolagen. Dilaporkan juga scar yang terbentuk lebih dangkal, kadar MDA menurun, dan secara histopatologi digambarkan secara signifikan peningkatan neovaskularisasi, epitelisasi dan fibroblas. Kandungan triterpenoid dan flavonoid dari daun mengkudu diketahui memegang peranan penting dalam meningkatkan proses penyembuhan luka. Kedua zat tersebut diketahui mempunyai efek astringent, antimikroba, dan antioksidan yang kuat diduga bertanggungjawab dalam kontraksi luka dan peningkatan kecepatan dari epitelisasi (Nayak et al., 2009; Saroja et al., 2012). Selain itu efek mengurangi dampak ROS dilaporkan merupakan strategi penting dalam peningkatan proses penyembuhan luka. Disini berperan beberapa antioksidan dalam kandungan daun mengkudu seperti asam askorbat, catalase (Pal et al., 2012). Kandungan mineral dalam daun mengkudu bertindak sebagai ko-faktor enzim, misalnya Mn, Cu, Zn, Mg, Fe, dan Se mengaktifkan antioksidan endogen SOD dan glutation peroksidase (Suwardi, 2011). Pada penelitian terbaru, penurunan kadar lipid peroksida terjadi pada pemberian daun mengkudu, karena kandungan β-carotene, flavonol glycosides dan iridoid glycosides yang berperan dalam aktivitas antioksidan, sehingga menyebabkan percepatan dalam penyembuhan luka (Rasal et al., 2008). Pengaruh berbagai asam lemak dalam kandungan mengkudu juga terutama asam linoleik menyebabkan percepatan penyembuhan luka. (Cardoso et al., 2004).
42
Zat aktif tannins dan saponin juga berperan sebagai antioksidan dan antimikroba, meningkatkan kontraksi luka dan meningkatkan
kecepatan
epitelisasi (Thakur et al., 2011). Penemuan zat-zat anti bakteri dalam mengkudu mendukung kegunaanya untuk merawat penyakit infeksi termasuk pada kulit dan terhadap proses penyembuhan luka. Acubin, L.asperuloside, alizarin dan beberapa zat anthraquinone telah terbukti sebagai zat anti bakteri, efektif melawan golongan bakteri
Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococus aureus,
Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela (Peter, 2007). 5,15dimethyl-morindol adalah anthraquinone utama yang terkandung dalam buah dan daun mengkudu (> 60% dari total anthraquinone), merupakan indikator utama dari kandungan anthraquinone (Zhoe and Jensen, 2009). Penelitian terakhir menyebutkan bahwa daun mengkudu mempunyai mekanisme merangsang PDGF dan merangsang reseptor Adenosin A2A sehingga meningkatkan penutupan luka (Palu et al., 2010; Fitzpatrick and Mehta, 2009; Chan et al., 2006). 2.7 Amoxicillin Farmakodinamik : Amoxicillin
(alpha-amino-p-hydroxy-benzyl-penicillin)
merupakan
antibiotik semisintetik, mempunyai struktur penicillin, analog dengan ampicillin, derivat dari 6 aminipenicillonic acid, merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang mempunyai daya kerja bakterisidal melawan mikroorganisma gram positif
43
dan gram negatif. Keberadaan cincin benzyl pada rantai samping memperluas aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram negatif (De Abreu, et al., 2003). Bakteri
gram
Streptococcus
positif:
Streptococcus
pyogenes,
faecalis,
Diplococcus
pnemoniae,
Streptococcus
viridan,
Corynebacterium
sp,
Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri
gram
negatif:
Neisseria
gonorrhoeae,
Neisseria
menigitidis,
Haemophillus influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella sp. Farmakokinetik : Amoxicillin diserap secara baik sekali pada saluran pencernaan, dan tidak berubah walau bersamaan dengan penyerapan makanan. Kadar bermakna di dalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral, ikatan rendah dengan protein plasma (17%), didistribusikan cepat ke seluruh badan, dan eliminasi setengahnya dalam 1 jam. Kadar puncak di dalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah pemberian per-oral. Kurang lebih 60% pemberian per-oral dan 75% pemberian parenteral akan diekskresikan melalui urin dalam 6 jam (De Abreu et al., 2003). Indikasi : 1. Infeksi saluran pernafasan atas: tonsilitis, pharingitis (kecuali pharyngitis gonorrhoeae), sinusitis, laringitis, otitis media. 2. Infeksi saluran pernafasan bawah: acute dan chronic bronchitis, bronchiectasis, pneumonia.
44
3. Infeksi saluran kemih dan kelamin: gonorrhoeae yang tidak terkomplikasi, sistitis, pielonefritis. 4. Infeksi kulit dan selaput lendir: celulitis, luka, karbunkel, furunkulosis. 5. Menurut Harianto et al. (2006), amoxicillin dapat dipakai sebagai profilaksis untuk pencegahan terhadap infeksi sekunder. Mekanisme kerja : Amoxicillin mengikat penicillin-binding protein 1A (PBP-1A) yang lokasinya berada di dalam sel bakteri. Menghambat aktifasi dari enzim penicillinsensitive transpeptidase C-terminal dengan membuka cincin lactam, sehingga mencegah pembentukan dari cross-link dua tali peptidoglycan yang bekerja menghambat stadium akhir dari sintesa dinding sel bakteri (De Abreu et al., 2003). Farmakologi : Amoxicillin biasanya merupakan drug of choice pada kelasnya karena lebih baik diabsorbsi pada pemberian oral dibandingkan dengan antibiotik betalactam lainnya. Amoxicillin peka terhadap penurunan bakteri yang memproduksi beta lactamase, dan kombinasi pemberian dengan clavulanic acid dapat meningkatkan kepekaan. Dosis : Untuk infeksi pada kulit yang ringan sampai sedang: dosis dewasa adalah 250 – 500 mg setiap 8 jam, untuk infeksi pada kulit yang berat: dosis dewasa adalah 500 – 875 mg setiap 8 jam.
45
2.8 Salep Salep merupakan sediaan farmasi dalam bentuk semipadat. Sediaan semipadat digunakan untuk penggunaan topikal, baik dengan tujuan sebagai pengobatan suatu penyakit dan sebagai kosmetik (Anwar, 2012). Kandungan salep terdiri dari lebih dari 50% bahan minyak (hydrocarbon, waxes, polyethelene glycols) dan kurang dari 20% bahan air (Buhse et al., 2005). Bahan obatnya harus larut atau terdispersi homogen dalam basis salep yang cocok. Definisi salep menurut Farmakope Indonesia Edisi IV adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Salep tidak boleh berbau tengik. Pemilihan basis salep yang tepat juga diperlukan untuk formulasi sehingga didapatkan sifat yang paling diharapkan dalam salep tersebut. Basis dapat pula dikatakan sebagai eksipien (bahan tambahan) utama pada salep dan eksipien salep sendiri adalah bahan tambahan pendukung dari salep seperti humektan, pengawet, dan sebagainya (Anwar, 2012). Basis salep digolongkan menjadi empat kelompok besar, tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian (Anwar, 2012), yaitu : 1. Basis salep hidrokarbon. Basis golongan ini bersifat lemak dan bebas air. Preparat yang mengandung air masih dapat diberikan namun dalam jumlah yang relatif kecil. Basis ini memiliki waktu bertahan pada kulit, cenderung stabil dan tidak dipengaruhi oleh waktu. Contoh vaseline flavum dan vaseline album.
46
2. Basis Absorpsi Basis absopsi adalah dasar salep yang memungkinkan penambahan sedikit larutan berair kedalamnya. Basis ini dibentuk dengan penambahan zat-zat yang dapat bercampur dengan hidrokarbon dan zat-zat yang memiliki gugus polar. Basis ini tidak mudah tercuci oleh air. Contoh petrolatum hidrofilik dan lanolin. 3. Basis salep tercuci air Basis ini adalah emulsi yang dapat dibersihkan dari kulit dengan air. Basis ini bersifat seperti krim dan dapat diencerkan dengan air atau larutan berair, memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi cairan serosal yang keluar dalam kondisi dermatologis. Contoh salep hidrofilik yang mengandung natrium lauril sulfat sebagai bahan pengemulsi dengan alkohol stearat dan petrolatum putih mewakili fase berlemak serta propilen glikol dan air mewakili fase air. 4. Basis larut dalam air Berbeda dengan basis salep lainnya, basis yang larut dalam air disebut sebagai greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Larutan air tidak efektif bila dicampurkan dengan basis ini karena sifat basis yang mudah melunak dengan penambahan air. 2.9 Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan dapat diubah secara genetik. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat
47
penyembuhan
dibandingkan manusia, dengan jangka waktu beberapa hari,
sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Thakur et al., 2011). Syarat hewan yang digunakan untuk penelitian farmakologi harus terpenuhi yaitu harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat dari Breeding Centre yang baik atau dibiakkan sendiri (Syamsudin and Darmono, 2011). Etika terhadap hewan percobaan juga harus diperhatikan berdasarkan pada hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran tahun 1986. Salah satu butir dalam etika tersebut disebutkan bahwa bila percobaan menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyeri atau penderitaan ringan dalam waktu singkat, harus dilakukan dengan premedikasi yang memadai dan dibawah anesthesia sesuai dengan praktik kedokteran hewan yang lazim. Kemudian pada butir yang lain disebutkan bahwa pada akhir percobaan, hewan yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak (Syamsudin and Darmono, 2011). Persentase penggunaan hewan percobaan pada penelitian secara invivo adalah sebagai berikut: tikus (80%), mencit (11%), kelinci dan babi (4%), dan ayam (1%) (Thakur et al., 2011). Bulu tikus yang tidak tebal mempunyai beberapa keuntungan dalam penelitian yang menggunakan model perlukaan pada epidermis. Pertama, epidermis yang tidak tertutup bulu tebal mengganggu pemisahan epidermis dari dermis; kedua, ukuran dari bulu tikus yang tidak tebal membuat model yang ideal untuk penilaian efek dari bahan farmakologi pada proses penyembuhan luka (Choi et al., 2001).
48
Tikus wistar lebih besar dari mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan. Tikus liar semarga dengan tikus laboratorium dan diberi nama ilmiah Rattus rattus, walaupun mirip tetapi jarang dipakai sebagai hewan laboratorium (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat atau mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit tetapi tikus berbiak sebaik mencit (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Tikus wistar panjangnya dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor, dan berat 140-500 gram. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dari tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih panjang dari tubuhnya (Kusumawati, 2004). Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Tidak ada perbedaan nyata pada nilai hematologi, biokimia darah dan bobot organ pada tikus putih jantan dan betina (Sihombing and Tuminah, 2011). Pada penelitian dengan menggunakan tikus, dosis obat-obatan untuk tikus dikonversi dari dosis untuk manusia. Menurut Ings et al (1990) dosis konversi ditentukan dengan membandingkan luas permukaan tubuh hewan percobaan dan berat badan yaitu 70 kg manusia : 200 gr tikus = 1: 0,018 (Syamsudin and Darmono, 2011)
49
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Luka pada kulit mengakibatkan hilangnya sebagian bahkan seluruh fungsi lapisan kulit yang terkena, timbulnya perdarahan, respon stres simpatis, kontaminasi bakteri bahkan bisa terjadi kematian sel. Pada proses regenerasi jaringan luka terjadi tiga proses yaitu inflamasi, proliferasi dan remodeling. Pada serangkaian proses ini terjadi pelepasan platelet, koagulasi, pembentukan fibroblas, neovaskularisasi atau angiogenesis, migrasi keratinosit, pembentukan fibronectin, asam hialuronat, kolagen dan terakhir kontraksi luka. Proses regenerasi jaringan luka ini berlangsung lambat bahkan terhambat pada kulit yang mengalami penuaan, kekurangan nutrisi, terdapat penyakit penyerta dan bila terjadi infeksi. Hal ini bila tidak ditanggulangi bisa menimbulkan kesakitan yang lama, komplikasi infeksi yang bisa berakibat fatal atau penyembuhan luka yang tidak sempurna. Pada kulit yang menua hal ini bisa terjadi karena semua faktor yang berperan dalam mekanisme penyembuhan luka sudah menurun fungsinya seiring usia. Mengkudu dalam hal ini daunnya mengandung berbagai macam antioksidan yaitu vitamin C, catalase, beta caroten, flavonoid, saponin, tannin, berbagai macam asam lemak terutama asam lemak linoleik, beberapa mineral dan
50
juga zat aktif antraquinone yang bersifat antibakteri. Kandungan berbagai zat aktif tersebut dapat mempercepat proses penyembuhan luka. 3.2 Konsep Penelitian
Faktor internal : -
Salep ekstrak daun mengkudu
Genetik Metabolisme Usia Jenis kelamin
Faktor eksternal: -
Infeksi Dalamluka Luas luka Makanan Penyakit
Tikus dilukai Fibroblas Epitelisasi Neovaskularisasi
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep maka hipotesis yang dapat diajukan adalah : 1.
Pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan epitelisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.
51
2.
Pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan fibroblas jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.
3.
Pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan neovaskularisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.
52
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan randomized post test only control group design (Marczyk et al., 2005). P0
P
S
O1
P1
O2
P2
O3
P3
O4
R
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
Keterangan Gambar : P
= populasi
S
= sampel
R
= random
O1
= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 4 kelompok kontrol
O2
= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 4 kelompok perlakuan
O3
= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 8 kelompok
53
kontrol O4
= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 8 kelompok perlakuan
P0
= perlakuan pada kelompok kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin selama 4 hari
P1
= perlakuan pada kelompok perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin selama 4 hari
P2
= perlakuan pada kelompok kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin selama 8 hari
P3
= perlakuan pada kelompok perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin selama 8 hari
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali. Penelitian dilakukan bulan Juli 2013. Pemeriksaan Histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali. 4.3 Subjek dan Besar Sampel 4.3.1 Variabilitas Populasi Populasi pada penelitian ini adalah tikus putih yang sesuai dengan sampel yang telah ditentukan dalam penelitian. 4.3.2 Kriteria Subjek Sampel dalam penelitian ini adalah tikus yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
54
Kriteria Inklusi : 1. Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) dewasa dan sehat. 2. Jenis kelamin jantan. 3. Umur 3– 4 bulan. 4. Berat 200-250 gram. Kriteria Drop out : tikus mati saat penelitian sedang berlangsung. 4.3.3 Besaran Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Federer (1999) :
(n – 1) (t – 1 ) ≥ 15 (n – 1) (4 – 1 ) ≥ 15 3 n – 3 ≥ 15 3n ≥ 18 n
Keterangan :
≥
6
n = Banyaknya sampel setiap perlakuan t = Banyaknya perlakuan
Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka diperoleh n = 6. Karena pada penelitian ini terdapat 4 perlakuan, maka jumlah sampel seluruhnya adalah 24. Sampel ditambah 15% untuk menjaga kemungkinan drop out, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 28.
55
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian (yang memenuhi kriteria eligibilitas) dimasukkan dalam sampel penelitian. Dua puluh delapan ekor tikus putih wistar jantan diambil dan dibagi menjadi empat kelompok secara acak sederhana. Dua kelompok merupakan kelompok kontrol dan dua kelompok yang lain merupakan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diolesi salep plasebo, sedangkan kelompok perlakuan diolesi salep ekstrak daun mengkudu. Keempat kelompok diberi oral amoxicillin. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi Variabel 1. Variabel bebas adalah variabel yang akan mempengaruhi hasil penelitian secara langsung yaitu salep ekstrak daun mengkudu. 2. Variabel tergantung adalah variabel yang merupakan hasil perlakuan variabel bebas yaitu fibroblas, neovaskularisasi, dan epitelisasi. 3. Variabel kendali adalah variabel yang dapat dikendalikan antara lain jenis tikus, umur, sehat, jenis kelamin yang sama, berat badan, tempat luka yang sama, makanan dan minuman, temperatur.
56
4.4.2 Hubungan Antar Variabel
Variabel Tergantung :
Variabel Bebas : Salep ekstrak daun mengkudu
-
Fibroblas Epitelisasi Neovaskularisasi
Variabel Kendali : -
Umur tikus Jenis tikus Jenis kelamin Berat badan Makanan dan minuman Temperatur Tempat luka yang sama
Bagan 4.2 Hubungan Antar Variabel
4.4.3 Definisi Operasional Variabel 1. Salep ekstrak daun mengkudu adalah sediaan salep dengan formulasi tertentu (sodium lauryl sulphate, propylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum, purified water) ditambah ekstrak maserasi bertingkat daun mengkudu (pelarut etanol 96% dan etil asetat) dengan konsentrasi 15%, diaplikasikan sebanyak 2 kali sehari. 2. Salep plasebo adalah sediaan salep yang hanya mengandung bahan dasar salep (sodium lauryl sulphate, proylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum,
57
purified water) tanpa penambahan zat aktif , diaplikasikan dalam jumlah yang sama dengan salep mengkudu sehari 2 kali. 3. Amoxicillin adalah antibiotik
yang digunakan untuk mencegah infeksi
sekunder, diberikan secara oral dengan dosis 70/60 kg bb x 1500 mg amoxicillin x 0,018 (untuk bb tikus 200 gram) = 31,5 mg amoxicillin sehari. Dosis per sekali minum 31,5 : 3 = 10,5 mg. Diberikan selama 3 hari. 4. Regenerasi jaringan luka adalah proses penyembuhan jaringan luka dengan parameter fibroblas, epitelisasi dan neovaskularisasi. 5. Fibroblas adalah sel-sel yang berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses penyembuhan luka. Dihitung jumlahnya dengan menggunakan mikroskop elektron pembesaran objektif 40x. Adanya peningkatan regenerasi jaringan luka, dilihat dari perbedaan jumlah fibroblas secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. 6. Epitelisasi adalah tahapan perbaikan luka, terjadi migrasi keratinosit, proliferasi keratinosit, diferensiasi neoepitel menjadi epitel berlapis-lapis. Dihitung tingkat kerapatannya dengan menggunakan metoda morfometri, satuannya mikrometer. Adanya peningkatan regenerasi jaringan luka, dilihat dari perbedaan ukuran kerapatan epitel yaitu perbedaan ketebalan epitel dan lebar celah epitel luka secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Ketebalan epitel adalah ukuran ketebalan lapisan-lapisan epidermis yang terbentuk pada daerah luka. Lebar celah epitel luka adalah ukuran celah pada lapisan epitel di daerah luka yang belum menutup sempurna.
58
7. Neovaskularisasi adalah pertumbuhan kapiler baru pada daerah luka berupa tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi percabangan
baru
pada
menggunakan mikroskop
jaringan
luka.
Dihitung
jumlahnya
dengan
elektron pembesaran objektif 40x. Adanya
peningkatan regenerasi jaringan luka, dilihat dari perbedaan jumlah neovaskularisasi secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. 8.Tikus putih jantan jenis Wistar adalah hewan percobaan yang berupa tikus jenis Wistar umur 3-4 bulan, jenis kelamin jantan, dengan berat 200-250 gram. 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian, Hewan Percobaan 4.5.1 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah: sediaan salep ekstrak daun mengkudu, sediaan salep plasebo, larutan neutral buffer formalin 10% untuk fiksasi, kapas, ketamin dan xylazin untuk anestesi, dan bahan-bahan untuk sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer‟s Hematoxylin, larutan eosin, alkohol dengan konsentrasi yang bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%,100%), xylene. 4.5.1.1 Pembuatan bahan ekstrak dari simplisia 1. Dipilih dan dikumpulkan daun mengkudu yang masih segar tidak terlalu tua atau muda. Daun diambil dari kebun tanaman obat Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Departemen Pertanian Bogor. Kemudian daun dicuci bersih dengan air. 2. Dikeringkan dengan menggunakan oven. 3. Dibuat ekstraksi secara maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut etanol 96% dan etil asetat (Zin et al., 2002; Yunus, 2012; Ramamoorthy and Bono,
59
2007), yaitu suatu proses penyarian dengan cara merendam simplisia pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut etanol 96%, direndam selama 3 hari sambil diaduk atau dikocok, disimpan dalam botol berwarna gelap, dilakukan ekstraksi 3 kali. Setelah terbentuk filtrat etanol, kemudian residu yang merupakan fraksi air dimaserasi lagi dengan menggunakan pelarut etil asetat sehingga terbentuk filtrat etil asetat. Proses selanjutnya, maseratnya dibebaskan dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo dengan rotary evaporator, sehingga hasil akhir terbentuk ekstrak berbentuk pasta (Susetya, 2012). Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Balitro Departemen Pertanian Bogor. 4.5.1.2 Pembuatan salep ekstrak daun mengkudu Pembuatan salep dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Tanaman Obat Bogor. Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang dibuat oleh Pattanayak et al. (2011) yaitu salep hidrofilik dengan kandungan sodium lauryl sulphate, proylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum, purified water, dengan penambahan ekstrak daun mengkudu 15%. Konsentrasi ekstrak daun mengkudu 15% ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti bahwa konsentrasi 15% yang paling efektif meningkatkan regenerasi jaringan luka dan yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Pembuatan sediaan salep adalah sebagai berikut : 1. Fase minyak dibuat dengan cara memanaskan stearyl alcohol dan white petrolatum bersamaan pada suhu 75oC sampai lebur.
60
2. Fase air dibuat dengan cara memanaskan proylene glycol dan purified water pada suhu 75oC. 3. Kemudian campurkan fase minyak dan fase air sekaligus sambil digerus sampai dingin sehingga terbentuk masa basis salep yang homogen. 4. Masukkan ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi yang telah ditentukan (15%) ke dalam lumpang, tambahkan basis salep sedikit demi sedikit kemudian digerus hingga homogen. 5. Kemudian formula disimpan dalam wadah salep. 4.5.2 Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang tikus beserta tempat minum, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, skalpel), plastik. Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas penutup. Mikroskop elektron dan videomikrometer untuk pengamatan histopatologi. 4.5.3 Hewan Percobaan Dalam penelitian ini digunakan tikus putih berumur 3-4 bulan, berat badan 200-250 gram. Tikus yang dipilih harus tikus yang sehat, diberi makanan yang memenuhi syarat, tikus diperoleh dan dipelihara di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, dengan persyaratan sesuai dengan penelitian eksperimental. Protokol perlakuan terhadapat hewan coba adalah sebagai berikut :
61
Sebelum Penelitian 1. Dua puluh delapan ekor tikus putih galur wistar jantan yang sehat, umur 3-4 bulan, dengan berat 200-250 gram diletakkan dalam kandang, masing-masing kandang berisi satu ekor tikus. 2. Kandang terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm dengan alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat yang kuat, tahan gigitan, tidak mudah rusak sehingga hewan tidak mudah lepas. 3. Kandang diberi lampu, ditempatkan pada ruangan dengan ventilasi baik, cukup cahaya, tenang, tidak bising, suhu diatur pada suhu kamar sekitar 250C dengan kelembaban berkisar 50%. Kandang dibersihkan 3 hari sekali. 4. Tikus diadaptasikan selama 7 hari dan diberi diet standar dengan menggunakan makanan merk HPS 511 dan air biasa untuk minum. 5. Pemberian makanan dan minuman secara ad libitum. Selama Penelitian 1. Seluruh tikus (28 ekor) yang sudah diadaptasikan, pada hari pertama penelitian dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Masing-masing tikus diberi tanda atau label pada ekornya dengan menggunakan spidol tahan air sesuai kelompoknya. 2. Bulu tikus sekitar sayatan (daerah punggung ) dicukur sampai licin, kemudian dibersihkan dengan kapas beralkohol 70%. 3. Kemudian dilakukan anestesi dengan menggunakan kombinasi ketamin (20 mg/kg BB) dan xylazin (5 mg/kg BB) secara intraperitoneal (Arras et al., 2001).
62
4. Setelah itu, ke 4 kelompok tikus dilukai punggungnya dengan menggunakan skalpel yang steril, panjang 1,5 cm dan dalam 0,2 cm sejajar os vertebrae, berjarak 5 cm dari telinga (Thakur et al., 2011). 5. Setelah dilukai, kelompok 1 dan 3 dioleskan salep plasebo, kelompok 2 dan 4 dioleskan salep ekstrak daun mengkudu pada bagian luka dengan menggunakan kapas steril sehari 2 kali, setiap hari. 6.Bersamaan dengan dilukainya tikus-tikus ini, diberikan antibiotik oral amoxicillin dengan dosis 10,5 mg setiap kali minum, sehari 3x selama 3 hari. Amoxicillin diberikan peroral dengan alat sonde. Sonde dimasukkan sampai di lambung. Setelah yakin jarum masuk dalam lambung dan tidak ke paru, barulah amoxicillin dipompakan keluar (Ngatidjan, 2006). 7. Pada hari ke 4, tikus-tikus pada kelompok 1 dan 2 diambil sampel kulit dari lukanya untuk dibuat preparat histopatologi. 8. Pada hari ke 8, tikus-tikus pada kelompok 3 dan 4 diambil sampel kulit dari lukanya untuk dibuat preparat histopatologi. 9. Pada proses pengambilan sampel kulit, tikus sebelumnya dianestesi terlebih dahulu dengan menggunakan injeksi ketamin secara intraperitoneal. 10.Daerah punggung yang akan diambil kulitnya, dibersihkan dari bulu, kulit digunting dengan ketebalan kurang lebih 3 mm sampai dengan subkutan, sepanjang 1,5 cm. Setelah itu dibuat sediaan histopatologi. Kemudian tikus dieutanasia dengan ketamin dosis berlebih
(75 mg/kg BB) secara
intraperitoneal (Syamsudin and Darmono, 2011) di dalam anaerobic jar.
63
11.Selama penelitian tikus diperlakukan sebaik-baiknya, tikus diusahakan tidak lapar, tidak haus, babas stres dan leluasa bergerak. Pemberian makan dan minum dilakukan tiap hari secara ad libitum. Kandang ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak bising, diatur suhu, kelembaban dan cukup cahaya. Kebersihan kandang dijaga setiap hari dan sekam diganti tiap 3 hari. Setelah Penelitian Tikus-tikus penelitian setelah dieutanasia segera langsung dikubur dengan baik. 4.6
Prosedur Penelitian
1. Setelah dilakukan perlakuan pada hewan coba (seperti diuraikan diatas), dilanjutkan pemeriksaan histopatologi. 2. Pembuatan sediaan histopatologi Kulit yang diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan neutral buffer formalin 10% dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam. Sediaan kulit yang telah difiksasi, dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue dari plastik. Kemudian dilakukan proses dehidrasi alkohol secara bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, II, penjernihan menggunakan Xylol I dan II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan II. Kemudian blok-blok parafin dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan mikrotom, hasil potongan dibentangkan di atas air hangat yang bersuhu 46o C dan langsung diangkat serta diletakkan di atas gelas objek, kemudian dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 600 C sehingga dapat dilakukan pewarnaan umum Hematoxylin Eosin (HE) (Prasetyo et al., 2010).
64
3. Pewarnaan Hematoxylin Eosin a. Jaringan pada gelas objek yang telah siap untuk diwarnai kemudian dideparafinisasi dengan xylol I, xylol II, xylol III untuk menghilangkan parafin masing-masing selama 5 menit. b. Kemudian sediaan histologis dihisap xylolnya dengan menggunakan kertas saring. Selanjutnya berturut-turut dicelupkan ke dalam alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40% dan 30%, masing-masing selama 5 menit, lalu dicelupkan ke dalam aquades selama 5 menit. Setelah itu dicuci dengan air mengalir kurang lebih 2 menit. c. Sediaan dimasukkan ke dalam larutan hematoxylin selama 15 menit. d. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 10 menit. e. Sediaan kembali dimasukkan ke dalam aquades dan alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing beberapa celupan. f. Kemudian diwarnai dengan larutan eosin selama 15 menit. g. Dicelupkan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 95% masing-masing 3 menit. h. Selanjutnya sediaan dikering-anginkan dan dicelupkan ke larutan xylol IV dan V masing-masing 5 menit. i. Sediaan histologi ditetesi dengan canada balsam lalu ditutup dengan cover glass. Dilanjutkan dengan penutupan sediaan dan labelling. 4. Selanjutnya dilakukan pengamatan histopatologi a. Pengamatan fibroblas secara histopatologi
65
Jumlah fibroblas dihitung dengan menggunakan mikroskop elektron (Olympus CX-21 Japan) dengan pembesaran objektif 40x. Pemotretan dilakukan menggunakan video photo dengan tiga kali pengulangan. b. Pengamatan neovaskularisasi secara histopatologi Jumlah neovaskularisasi dihitung dengan menggunakan mikroskop elektron (Olympus CX-21 Japan) dengan pembesaran objektif 40x. Pemotretan menggunakan video photo dengan tiga kali pengulangan. c. Pengamatan epitelisasi secara histopatologi Pengukuran kerapatan epitel dengan mengukur tebal epitel dan lebar celah epitel luka menggunakan metode morfometri dan satuannya mikrometer dengan memakai mikrofotograf.
66
4.7 Alur Penelitian 28 ekor tikus putih wistar jantan sehat diadaptasi selama 7 hari
Hari pertama percobaan, semua tikus dilukai punggungnya, kemudian dibagi dalam empat kelompok
Kelompok Kontrol
Kelompok kontrol
Kelompok Perlakuan
Kelompok Perlakuan
(perlakuan selama 8 hari)
(perlakuan selama 4 hari)
(perlakuan selama 4 hari)
(perlakuan selama 8 hari)
-Diberi salep plasebo 2 kali sehari selama 4 hari
-Diberi salep ekstrak daun mengkudu 2 kali sehari selama 4 hari
-Diberi oral amoxicillin 3x sehari selama 3 hari
-Diberi oral amoxicillin 3x sehari selama 3 hari
-Diberi salep plasebo 2 kali sehari selama 8 hari -Diberi oral amoxicillin 3x sehari selama 3 hari --
i
-Diberi salep ekstrak daun mengkudu 2 kali sehari selama 8 hari -Diberi oral amoxicillin 3x sehari selama 3 hari
Hari ke 4 diambil masing-masing 7 ekor tikus dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, diperiksa fibroblas, neovaskularisasi, dan epitelisasi secara histopatologi, kemudian dianalisis
Hari ke 8 diambil masing-masing 7 ekor tikus dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, diperiksa fibroblas, neovaskularisasi, dan epitelisasi secara histopatologi, kemudian dianalisis
Bagan 4.3 Alur Penelitian
67
4.8 Analisis Data Seluruh data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS for window versi 16.0. Analisis data meliputi : 1. Analisis deskriptif. 2. Analisis normalitas data tiap kelompok dengan Shapiro -Wilk test. 3. Analisis homogenitas varian antar kelompok dengan Levene‟s test. 4. Analisis komparasi. Pada penelitian ini dibandingkan dua kelompok perlakuan pada hari yang sama (kelompok kontrol 4 hari dengan kelompok perlakuan 4 hari, kelompok kontrol 8 hari dengan kelompok perlakuan 8 hari). Untuk membandingkan rerata parameter (fibroblas, neovaskularisasi, dan epitelisasi) antara dua kelompok perlakuan ini, pada data yang berdistribusi normal dan homogen digunakan uji statistik parametrik dengan uji t independent. 5. Pada data yang distribusinya tidak normal atau tidak homogen digunakan uji Mann-Whitney U.
68
BAB V HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan 28 ekor tikus putih jantan jenis Wistar (Rattus norvegicus), umur 3-4 bulan, berat 200-250 gram, dan sehat sebagai sampel, yang terbagi menjadi 4 kelompok masing-masing berjumlah 7 ekor, yaitu kelompok kontrol (salep plasebo dan oral amoxicillin) 4 hari, kelompok perlakuan (salep ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin) 4 hari, kelompok kontrol (salep plasebo dan oral amoxicillin) 8 hari, kelompok perlakuan (salep ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin) 8 hari. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan. 5.1 Uji Normalitas Data Data neovaskuler, fibroblas, dan epitelisasi baik hari keempat maupun hari kedelapan
pada
masing-masing
kelompok
diuji
normalitasnya
dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua data berdistribusi normal. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5.1
Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Neovaskularisasi, Fibroblas, dan Epitelisasi Kelompok Perlakuan
n
p
Keterangan
69
Neovaskularisasi kontrol 4 hari Neovaskularisasi perlakuan 4 hari Neovaskularisasi kontrol 8 hari Neovaskularisasi perlakukan 8 hari Fibroblas kontrol 4 hari Fibroblas perlakuan 4 hari Fibroblas kontrol 8 hari Fibroblas perlakuan 8 hari Epitelisasi: tebal epitel kontrol 4 hari tebal epitel perlakuan 4 hari tebal epitel kontrol 8 hari tebal epitel perlakuan 8 hari lebar celah kontrol 4 hari lebar celah perlakuan 4 hari lebar celah control 8 hari lebar celah perlakuan 8 hari
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
0,262 0,307 0,015 0,776 0,095 0,758 0,633 0,443 0,302 0,065 0,877 0,211 0,751 0,748 0,243 0,000
Normal Normal Tidak normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Tidak normal
Seluruh nilai probabilitas yang disajikan melalui tabel di atas lebih besar dari nilai alpha (p > 0,05) kecuali pada data neovaskularisasi kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (p < 0,05) dan data lebar celah epitel kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (p < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh kelompok data telah berdistribusi normal kecuali pada data neovaskularisasi kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicilin dan data lebar celah epitel kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin. Dengan tidak terpenuhinya asumsi normalitas data, maka terdapat pelanggaran terhadap asumsi pengujian parametrik. Oleh sebab itu pengujian terhadap data yang tidak berdistribusi normal dilakukan menggunakan metode nonparametrik, dalam hal ini menggunakan uji Mann-Whitney U. 5.2 Uji Homogenitas Data Antar Kelompok
70
Data neovaskuler, fibroblas, dan epitelisasi antar kelompok diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data tidak semua homogen. Hasil analisis data disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas Antar Kelompok Data Neovaskularisasi, Fibroblas, dan Epitelisasi
Varians Data
Perbandingan
Levene Statistic
p
Kesimpulan
K4 × P4
0,117
0,738
Homogen
K8 × P8
3,488
0,086
Homogen
K4 × P4
0,629
0,443
Homogen
K8 × P8
0,733
0,409
Homogen
K4 × P4
0,317
0,584
Homogen
K8 × P8
5,528
0,037
Heterogen
K4 × P4
1,559
0,236
Homogen
K8 × P8
18,595
0,001
Heterogen
Neovaskular
Fibroblas
Tebal Epitel
Lebar Celah Epitel
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai F pada data tebal epitel perbandingan K8 dengan P8 sebesar 5,528 signifikan dimana p-value lebih kecil dari alpha (p < 0,05) dan data lebar celah epitel perbandingan K8 dengan P8 sebesar 18,595 signifikan dimana p-value lebih kecil dari alpha (p < 0,05), sedangkan nilai F pada data lainnya tidak signifikan. Dengan diketahuinya seluruh kesimpulan homogenitas varians di atas, maka uji perbandingan pada varians data homogen selanjutnya akan dilakukan dengan menggunakan metode uji-t independen,
71
sedangkan uji perbandingan pada varians data heterogen selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode uji Mann-Whitney U. 5.3 Uji Efek Perlakuan Sesudah Diberikan Salep Ekstrak Daun Mengkudu 4 Hari 5.3.1 Neovaskularisasi Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata neovaskularisasi antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu ditambah dengan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Rerata Neovaskularisasi Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari
Kelompok Subyek Salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4) Salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4)
N
Rerata
SB
7
7,57
1,13
7
11,57
1,40
t
p
-5,881
0,000
72
11.57
12.00 10.00 Rata-rata
7.57 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 K4 P4 Perlakuan
Gambar 5.1 Diagram Rata-Rata Neovaskularisasi 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4 Hari Keterangan: K4 = Kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari P4 = Perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 4 hari Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata neovaskularisasi tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4), yakni sebesar 11,57 dengan simpangan baku sebesar 1,40, sedangkan rata-rata neovaskularisasi terendah sebesar 7,57 dengan simpangan baku sebesar 1,13 terdapat pada kelompok perlakuan salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar -5,881 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan neovaskularisasi yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan.
5.3.2
Fibroblas
73
Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata fibroblas antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Rerata Fibroblas Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari Kelompok Subyek Salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4) Salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4)
n
Rerata
SB
7
60,29
3,30
7
82,14
90.00
t
P
-9,768
0,000
4,91
82.14
80.00
Rata-rata
70.00
60.29
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 K4 P4 Perlakuan
Gambar 5.2 Diagram Rata-Rata Fibroblas 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4 Hari Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 4 hari Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata fibroblas tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari +
74
oral amoxicillin (P4), yakni sebesar 82,14 dengan simpangan baku sebesar 4,91, sedangkan rata-rata fibroblas terendah sebesar 60,29 dengan simpangan baku sebesar 3,30 terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar -9,768 memiliki pvalue yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan fibroblas yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan. 5.3.3
Epitelisasi
5.3.3.1 Tebal Epitel (µm) Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata ketebalan epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.5. Tabel 5.5 Rerata Tebal Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari Kelompok Subyek Salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4) Salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4)
n
Rerata (µm)
SB
7
229,39
22,68
7
144,20
21,43
t
P
7,224
0,000
75
250.00
229.39
Rata-rata
200.00 144.20
150.00 100.00 50.00 0.00 K4
P4 Perlakuan
Gambar 5.3
Diagram Rata-Rata Tebal Epitel 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4 Hari Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 4 hari Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata tebal epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4), yakni sebesar 229,39 dengan simpangan baku sebesar 22,68, sedangkan rata-tebal tebal epitel terendah sebesar 144,20 dengan simpangan baku sebesar 21,43 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar 7,224 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan tebal epitel yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan.
5.3.3.2 Lebar Celah Epitel (mm)
76
Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata lebar celah epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.6. Tabel 5.6 Rerata Lebar Celah Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari Kelompok Subyek Salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4) Salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4)
3.00
n
Rerata (mm)
SB
7
2,65
0,47
7
1,51
t
P
5,432
0,000
0,30
2.65
Rata-rata
2.50 2.00 1.51
1.50 1.00 0.50 0.00 K4
P4 Perlakuan
Gambar 5.4
Diagram Rata-Rata Lebar Celah Epitel 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4 Hari Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 4 hari
77
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata lebar celah epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4), yakni sebesar 2,65 dengan simpangan baku sebesar 0,47, sedangkan rata-lebar celah lebar celah epitel terendah sebesar 1,51 dengan simpangan baku sebesar 0,30 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar 5,432 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan. 5.4 Uji Efek Perlakuan Sesudah Diberikan Salep Ekstrak Daun Mengkudu 8 Hari 5.4.1
Neovaskularisasi Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
neovaskularisasi antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu ditambah dengan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji MannWhitney U disajikan pada tabel 5.7. Tabel 5.7 Rerata Neovaskularisasi Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari
Kelompok Subyek Salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8) Salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8)
n
Rerata
SB
7
10,43
2,94
7
3,86
2,19
Z
p
-3,036
0,002
78
12.00
10.43
Rata-rata
10.00 8.00 6.00 3.86
4.00 2.00 0.00 K8
P8 Perlakuan
Gambar 5.5
Diagram Rata-Rata Neovaskularisasi 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 8 Hari Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 8 hari Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata neovaskularisasi tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8), yakni sebesar 10,43 dengan simpangan baku sebesar 2,94, sedangkan rata-rata neovaskularisasi terendah sebesar 3,86 dengan simpangan baku sebesar 2,19 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z sebesar -3,036 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan neovaskularisasi yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan.
79
Jumlah rerata neovaskularisasi yang lebih rendah pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8) disebabkan pada kelompok ini sudah terjadi penyembuhan. 5.4.2
Fibroblas Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
fibroblas antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.8. Tabel 5.8 Rerata Fibroblas Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari Kelompok Subyek Salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8) Salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8)
80.00
n
Rerata
SB
7
76,57
16,10
7
48,00
t
P
3,584
0,004
13,63
76.57
70.00 Rata-rata
60.00 48.00
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 K8
P8 Perlakuan
Gambar 5.6 Diagram Rata-Rata Fibroblas 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 8 Hari Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari
80
P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 8 hari Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata fibroblas tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8), yakni sebesar 76,57 dengan simpangan baku sebesar 16,10, sedangkan ratarata fibroblas terendah sebesar 48,00 dengan simpangan baku sebesar 13,63 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar 3,584 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan fibroblas yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan. Jumlah fibroblas yang lebih rendah pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin (P8) disebabkan karena pada kelompok ini sudah terjadi penyembuhan. 5.4.3
Epitelisasi
5.4.3.1 Tebal Epitel (µm) Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata ketebalan epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney U disajikan pada tabel 5.9.
Tabel 5.9 Rerata Tebal Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari
81
Kelompok Subyek Salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8) Salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8)
n
Rerata (µm)
SB
7
98,84
4,85
7
76,89
Z
p
-2,622
0,009
13,60
98.84 100.00 76.89
Rata-rata
80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 K8
P8 Perlakuan
Gambar 5.7
Diagram Rata-rata Tebal Epitel 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 8 Hari Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral amoxicillin 8 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata tebal epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8), yakni sebesar 98,84 dengan simpangan baku sebesar 4,85, sedangkan rata-rata tebal epitel terendah sebesar 76,89 dengan simpangan baku sebesar 13,60 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z sebesar -2,622 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
82
demikian terdapat perbedaan tebal epitel yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan. 5.4.3.2 Lebar Celah Epitel (mm) Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata lebar celah epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney U disajikan pada tabel 5.10. Tabel 5.10 Rerata Lebar Celah Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari Kelompok Subyek Salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8) Salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8)
n
Rerata (mm)
SB
7
2,47
0,99
7
0,10
Z
P
-3,258
0,001
0,26
2.47 2.50
Rata-rata
2.00 1.50 1.00 0.50 0.10
0.00 K8
P8 Perlakuan
Gambar 5.8 Diagram Rata-rata Lebar Celah Epitel 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 8 Hari Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
83
amoxicillin 8 hari Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata lebar celah epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (K8), yakni sebesar 2,47 dengan simpangan baku sebesar 0,99, sedangkan rata-rata lebar celah epitel terendah sebesar 0,10 dengan simpangan baku sebesar 0,26 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoksilin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z sebesar -3,258 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan.
84
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian Untuk menguji pemberian salep ekstrak daun mengkudu terhadap peningkatan regenerasi jaringan luka dengan parameter perubahan yang signifikan dari fibroblas, neovaskularisasi dan epitelisasi dibandingkan kontrol, digunakan tikus putih galur wistar jantan, umur 3-4 bulan, berat 200-250 gram, dan sehat sebagai sampel, yang terbagi menjadi 4 kelompok masing-masing berjumlah 7 ekor. Dua kelompok merupakan kelompok kontrol dengan pemakaian salep plasebo + oral amoxicillin pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8, dua kelompok lain merupakan kelompok perlakuan dengan pemakaian salep ekstrak daun mengkudu 15 % + oral amoxicillin pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8. Pengambilan waktu pengamatan hari ke 4 didasarkan atas laporan yang menyebutkan bahwa pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas dimulai kira-kira hari ke 3-4 (Li et al., 2007) , dan
pengamatan hari ke 8
didasarkan atas laporan yang menyebutkan bahwa sekresi kolagen tipe III oleh fibroblas maksimal antara hari ke 5 dan 7 , setelah itu terjadi perlahan-lahan perubahan fenotip fibroblas menjadi miofibroblas (Kalangi, 2004), dimana karakteristik selnya menyerupai otot polos (Darby and Hewitson, 2007). Juga berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, bahwa peningkatan jumlah fibroblas dan neovaskularisasi pada hari ke 4 dan setelah itu mengalami penurunan.
85
Penentuan konsentrasi salep ekstrak daun mengkudu sebesar 15% dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis bahwa konsentrasi tersebut paling efektif untuk mempercepat penyembuhan luka, juga berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi bahwa konsentrasi salep ekstrak daun mengkudu 15% mempunyai
daya hambat
terhadap
bakteri khususnya
Staphylococcus aureus. Pemberian oral amoxicillin dengan dosis yang disesuaikan dimaksudkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya infeksi pada tikus yang dilukai terutama untuk mencegah infeksi pada tikus kontrol yang hanya diberi salep plasebo, sehingga tidak mengaburkan hasil dari penelitian. 6.2 Salep Ekstrak Daun Mengkudu Meningkatkan Proses Regenerasi Jaringan Luka Hasil penelitian dan analisis data neovaskularisasi, fibroblas, dan epitelisasi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa hasil uji normalitas (Uji Shapiro-Wilk) data tidak semua berdistribusi normal, seperti terlihat pada tabel 5.1. Data yang tidak berdistribusi normal terjadi pada kelompok kontrol 8 hari untuk neovaskularisasi, dan kelompok perlakuan 8 hari untuk lebar celah epitel. Hal ini disebabkan karena terdapat jumlah neovaskularisasi pada salah satu subyek penelitian pada kelompok kontrol yang berbeda jauh dengan yang lainnya. Sedangkan untuk kelompok perlakuan 8 hari tidak normalnya distribusi celah epitel, karena ada satu subyek penelitian yang lukanya belum menutup sempurna. Pengecualian pada salah satu subyek di setiap kelompok dimungkinkan karena ada sebab-sebab yang tidak bisa dikontrol
86
(misalnya genetik), walaupun secara umum tikus yang terpilih sudah dianggap homogen. Untuk pengujian homogenitas data dengan Levene‟s test didapatkan tidak semua data homogen, yaitu pada data tebal epitel dan lebar celah epitel kelompok 8 hari. Hal ini disebabkan karena bervariasinya hasil data, dan untuk data lebar celah epitel pada kelompok perlakuan 8 hari didapatkan satu subyek penelitian masih ada celah (0,10 mm) sedangkan subyek yang lainnya sudah menutup sempurna (tidak ada celah) (Gambar 5.8). 6.2.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Neovaskularisasi Antar Kelompok Uji perbandingan rerata neovaskularisasi antar kelompok menggunakan uji t independent untuk kelompok 4 hari, dan uji Mann-Whithey U untuk kelompok 8 hari menunjukkan
terdapat perbedaan neovaskularisasi yang signifikan pada
masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.3 dan tabel 5.7). Terdapat peningkatan neovaskularisasi yang bermakna pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu dibandingkan kontrol pada pengamatan hari ke 4, mempunyai arti bahwa awal proses penyembuhan luka sudah lebih cepat terjadi pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu. Keadaan sebaliknya terjadi pada pengamatan hari ke 8, tidak terjadi peningkatan neovaskularisasi, tetapi ditemukan penurunan neovaskularisasi yang bermakna pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu. Hal ini berarti pada hari ke 8 sudah terjadi kemajuan pesat dari proses penyembuhan luka yang menyebabkan luka sudah mulai menyembuh pada kelompok ini.
87
Keadaan ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bila terjadi suatu luka pada jaringan akan terjadi keadaan hipoksia. Hari pertama sampai ketiga terjadinya luka, keadaan hipoksia merangsang makrofag untuk mengeluarkan fibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial-cell growth factor (VEGF). Selanjutnya growth factor ini merangsang pembentukan pembuluh darah baru pada tempat luka kurang lebih pada hari ke 4 dan berlanjut sampai hari ke 7, setelah itu terjadi penurunan pembuluh darah baru saat luka sudah terisi penuh jaringan granulasi baru (Singer and Clark, 1999). Menurut laporan dari Li et al. (2007) pembentukan neovaskularisasi dimulai hari ke 3-4 setelah terjadi luka. 6.2.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Fibroblas Antar Kelompok Uji perbandingan rerata fibroblas antar kelompok menggunakan uji t independent untuk kelompok 4 hari maupun 8 hari,
menunjukkan terdapat
perbedaan fibroblas yang signifikan pada masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.4 dan tabel 5.8). Pada pengamatan hari ke 4, terdapat peningkatan fibroblas yang bermakna pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu dibandingkan kontrol. Hal ini berarti pada kelompok ini awal proses penyembuhan luka sudah lebih cepat terjadi. Pada pengamatan hari ke 8, ditemukan keadaan sebaliknya, pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu terjadi penurunan fibroblas yang bermakna dibandingkan kontrol. Hal ini berarti pada hari ke 8, proses regenerasi jaringan luka mengalami kemajuan pesat yang menyebabkan luka sudah mulai menyembuh pada kelompok ini.
88
Menurut literatur, jaringan granulasi baru menginvasi celah luka kira-kira 4 hari setelah terjadi perlukaan, bersamaan dengan kedatangan makrofag, fibroblas, dan pembuluh darah baru. Makrofag merupakan sumber penting berbagai growth factor yang berperan untuk merangsang fibroplasia dan angiogenesis (Singer and Clark, 1999). Li et al. (2007) melaporkan bahwa pembentukan kembali dermis di mulai kira-kira hari 3-4 setelah perlukaan, dengan ciri pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas, dan menyebutkan bahwa sekresi maksimal kolagen tipe III oleh fibroblas antara hari ke 5-7, dan setelah itu terjadi perubahan fenotip dan fungsi fibroblas menjadi miofibroblas yang berperan pada kontraksi luka. 6.2.3 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Epitelisasi Antar Kelompok Untuk melihat terbentuknya epitelisasi diukur ketebalan dari epitel dan lebar celah yang terbentuk. 6.2.3.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Tebal Epitel Antar Kelompok Uji perbandingan rerata tebal epitel antar kelompok menggunakan uji t independent untuk kelompok 4 hari dan uji Mann-Whitney U untuk kelompok 8 hari menunjukkan terdapat perbedaan tebal epitel yang signifikan pada masingmasing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.5 dan tabel 5.9). Baik pada pengamatan hari ke 4 maupun pengamatan hari ke 8 terdapat perbedaan ketebalan epitel yang bermakna pada ke 2 kelompok (kelompok salep ekstrak daun mengkudu dan kelompok salep plasebo), dimana pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu ketebalan epitelnya sudah lebih tipis. Hal ini berarti
89
sudah terjadi percepatan proses epitelisasi pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu, dan luka yang terjadi sudah mulai menyembuh. Sesuai dengan literatur, bahwa proses epitelisasi akan mengembalikan epidermis utuh seperti semula dan faktor yang terlibat adalah migrasi dan proliferasi keratinosit, diferensiasi neoepitelium menjadi epidermis yang berlapislapis (Li et al., 2007), luka yang menyembuh ketebalan epitel makin mendekati normal sekitar 0,04 mm – 1,5 mm (Jain, 2012). 6.2.3.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Lebar Celah Epitel Antar Kelompok Uji perbandingan rerata lebar celah epitel antar kelompok menggunakan uji t independent untuk kelompok 4 hari dan uji Mann- Whitney U untuk kelompok 8 hari menunjukkan terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan pada masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.6 dan tabel 5.10). Pada pengamatan hari ke 4 dan pengamatan hari ke 8, kedua-duanya menunjukkan perbedaan lebar celah epitel yang bermakna, dimana pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu lebar celah epitel luka yang terjadi lebih kecil dibandingkan kontrol, bahkan pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu 8 hari celah luka hampir menutup sempurna. Hal ini menunjukkan pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu sudah terjadi percepatan proses epitelisasi yang menunjukkan luka sudah mulai menyembuh. Menurut literatur, epitelisasi yang sempurna salah satunya ditandai dengan celah luka epitel yang sudah tertutup sempurna. Penyembuhan luka sangat
90
dipengaruhi oleh proses epitelisasi, semakin cepat proses ini semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka (Prasetyo et al., 2010). 6.3 Mekanisme dan Manfaat Salep Ekstrak Daun Mengkudu dalam Meningkatkan Regenerasi Jaringan Luka Dari hasil analisis semua data yang ada dapat ditarik simpulan bahwa dengan pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% pada jaringan luka tikus putih, proses regenerasi jaringan luka dapat ditingkatkan dengan menganalisis parameter-parameter yang diuji yaitu fibroblas, neovaskularisasi dan epitelisasi. Jumlah fibroblas, neovaskularisasi secara bermakna ditingkatkan pada pemberian salep ekstrak daun mengkudu 4 hari dibandingkan dengan kelompok plasebo, dan kemudian jumlah fibroblas dan neovaskularisasi menurun secara bermakna pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu 8 hari dibandingkan dengan kelompok plasebo, yang menandakan sudah terjadinya proses penyembuhan. Begitu pula halnya dengan epitelisasi yang meningkat pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu dengan mengamati ketebalan dan lebar celah yang terjadi. Pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu 8 hari tebal epitel sudah mendekati normal dan celah epitel yang luka hampir menutup sempurna. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nayak et al. (2009) yang melaporkan bahwa ekstrak etanol dari daun Morinda citrifolia secara signifikan meningkatkan kontraksi luka, kecepatan epitelisasi dan berat jaringan granulasi. Juga laporan dari Rasal et al. (2008) yang menyebutkan bahwa ekstrak daun Morinda citrifolia secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi
91
luka, dan secara histopatologi digambarkan secara signifikan peningkatan neovaskularisasi, epitelisasi dan fibroblas. Terjadinya peningkatan regenerasi jaringan luka oleh salep yang kandungannya
daun
mengkudu
dimungkinkan
karena
daun
mengkudu
mengandung semua phytoconstituent yang berpengaruh pada mekanisme penyembuhan luka yaitu tannin, flavonoid, saponin, phenol dan triterpenoid (Soni and Singhai, 2012; Sibi et al., 2012). Kandungan triterpenoid dan flavonoid dari daun mengkudu diketahui memegang peranan penting dalam meningkatkan proses penyembuhan luka. Kedua zat tersebut diketahui mempunyai efek astringent dan antimikroba, diduga bertanggungjawab dalam kontraksi luka dan peningkatan kecepatan dari epitelisasi (Nayak et al., 2009). Begitu pula kandungan zat aktif tannins dan saponin dalam daun mengkudu berperan sebagai antioksidan dan antimikroba, meningkatkan kontraksi luka dan meningkatkan kecepatan epitelisasi (Thakur et al., 2011). Seperti diketahui pada fase inflamasi dalam mekanisme penyembuhan luka, terbentuk radikal bebas reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan oleh netrofil dan makrofag sebagai bagian dari sistem imun untuk membantu mempercepat pembersihan luka dari serangan bakteri. Tetapi selain efek positif, ROS ini juga berdampak negatif. Dalam level rendah hidrogen peroksida dan ROS yang lain menghambat migrasi dan proliferasi dari berbagai tipe sel, termasuk sel kulit (keratinosit). Dalam level tinggi, ROS dapat merusak jaringan dengan berat
dan bahkan berubah menjadi neoplasma (Keller et al., 2006),
sehingga keberadaan ROS ini akan menghambat penyembuhan luka.
92
Untuk melindungi dari stres oksidatif, sel-sel mempunyai beberapa sistem untuk mendetoksifikasi ROS, yaitu secara non-enzimatik dan enzimatik. Pertama kali terbentuk sejumlah kecil molekul antioksidan yaitu vitamin E, vitamin C, βcarotene, glutation (GSH), co-enzim Q, dan bilirubin, dengan fungsi menghilangkan ROS. Antioksidan selanjutnya terdiri dari ROS-detoxifying enzymes, meliputi SODs yang lain, seleno-enzyme GSH peroxidase (SeGPx) dan catalase. SODs mengkatalisis perubahan anion superoksid menjadi molekul oksigen dan hidrogen peroksida. Kemudian didetoksifikasi oleh catalase atau GSH peroxidase (GPx) (Keller et al., 2006). Kandungan flavonoid dalam daun mengkudu berfungsi sebagai antioksidan kuat dan berperan dalam menetralisir ROS ini, dengan langsung membuat inaktif radikal bebas atau dengan memperkuat fungsi antioksidan endogen atau enzimatik (SOD, katalase, dan glutation peroksidase). Flavonoid
merupakan antioksidan yang kuat, efek pembasmi radikal
bebas (Saroja et al., 2012), berperan dalam melindungi tubuh melawan reactive oxygen species dan meningkatkan fungsi dari antioksidan endogen, memperbesar level enzim antioksidan dalam jaringan granulasi (Thakur et al., 2011) . Gugus hidroksil dari flavonoid membuat inaktif radikal bebas dengan reaksi : Flavonoid (OH) + R
Flavonoid (O) + RH (Kuppast and Nayak, 2005)
Daun mengkudu juga mengandung berbagai mineral yang bertindak sebagai ko-faktor enzim, misalnya Mn, Cu, Zn, dan Mg yang mengaktifkan SOD, Se sebagai ko-faktor enzim glutation peroksidase, Fe sebagai ko-faktor katalase (Suwardi, 2011). Dengan aktifnya antioksidan endogen ini dimungkinkan
93
percepatan dalam proses penyembuhan luka. Kandungan zinc (Zn) sebagai trace mineral dalam mengkudu berperan dalam penyembuhan luka dengan cara mempercepat migrasi keratinosit, pertahanan terhadap apoptosis epitelial melalui cytoprotection,
melalui
aktivitas
antioksidan
dari
cystein
yang
kaya
metallothioneins, melawan ROS dan racun bakteri (Thakur et al., 2011). Selain itu untuk mengurangi dampak ROS berperan beberapa antioksidan lain dalam kandungan daun mengkudu seperti asam askorbat, katalase. Asam askorbat mempunyai peranan dalam mengatur pembentukan dan pemeliharaan kolagen pada penyembuhan luka. Katalase berguna untuk detoksifikasi hidrogen peroksida yang dapat menimbulkan kerusakan berat regenerasi sel. Kombinasi dari antioksidan vitamin E, sodium pyruvate dan asam-asam lemak pada daun mengkudu memperbesar penyembuhan luka secara normal dan dalam keadaan gangguan fungsi imun (Pal et al., 2012). Penemuan zat-zat anti bakteri dalam mengkudu mendukung kegunaanya untuk merawat penyakit infeksi termasuk pada kulit dan terhadap proses penyembuhan luka. Acubin, L.asperuloside, alizarin dan beberapa zat antraquinon telah terbukti sebagai zat anti bakteri, efektif melawan golongan bakteri
Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus aureus,
Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela (Peter, 2007). Pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan daya hambat ekstrak daun mengkudu terhadap bakteri terutama Staphylococcus aureus yang banyak ditemukan pada kulit luka yang terinfeksi, dan terbukti bahwa ekstrak daun mengkudu dengan
94
konsentrasi 15%, dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus. Jumlah fibroblas pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu 4 hari meningkat tajam dibandingkan dengan kelompok kontrol 4 hari (tabel 5.4), sama halnya dengan jumlah neovaskularisasi pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu 4 hari yang meningkat tajam dibandingkan dengan kelompok kontrol 4 hari (tabel 5.3). Hal ini dimungkinkan karena pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu, fase inflamasi berjalan normal (0-3 hari), tidak mengalami gangguan, dan fungsi dari sel-sel yang berperan pada respon seluler fase inflamasi berjalan normal, termasuk perangsangan terbentuknya berbagai growth factor tidak terhambat, sehingga dapat meneruskan kepada fase selanjutnya (fase proliferasi) dengan cepat. Fase inflamasi dapat berjalan normal salah satunya adalah bila tidak terdapat infeksi atau tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Seperti diketahui, pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya lekosit ke daerah luka. Pada awal fase ini, sel monosit dan netrofil merupakan sel utama yang ada pada daerah luka. Segera setelah terjadinya luka sel netrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag (perubahan dari monosit) (Broughton et al., 2006). Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil. Makrofag melepaskan fibronectin yang menarik fibroblas ke jaringan
95
luka. Pembuluh darah baru tumbuh dipicu oleh faktor angiogenik oleh makrofag yang hipoksia, karena makrofag tidak dapat menghasilkan faktor angiogenik dalam keadaan penuh oksigen atau anoksia. Makrofag merupakan pabrik produksi growth factors seperti platelet derived growth factor (PDGF), FGF, VEGF, transforming growth factor beta (TGF-β), dan transforming growth factor alpha (TGF-α). Seperti diketahui FGF dan VEGF berperan penting dalam proses neovaskularisasi pada jaringan luka. Basic FGF memulai fase awal untuk terbentuknya angiogenesis selama 1-3 hari perbaikan luka, sedangkan VEGF berperan penting untuk angiogenesis selama pembentukan jaringan granulasi pada hari 4-7 (Singer and Clark, 1999). Jadi peran makrofag sangat penting pada awal terjadinya luka selain sebagai pembunuh mikroorganisme juga berperan menarik fibroblas dan memicu neovaskularisasi. Bila fase inflamasi ini menetap akan menyebabkan suatu luka kronis, keadaan ini bisa terjadi salah satunya adalah bila luka dalam keadaan infeksi. Fase inflamasi menetap pada keadaan luka yang hipoksia, infeksi, defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau faktor lain yang dihubungkan dengan respon imun pasien (Reddy et al., 2012). Peran antioksidan dan antibakteri disini sangat besar supaya fase ini terlampaui dan berfungsi optimal. Kandungan antioksidan dan anti bakteri yang kuat pada daun mengkudu menyebabkan fase ini cepat berakhir dan berlanjut pada
fase
selanjutnya
diantaranya
untuk
pembentukan
neovaskularisasi yang dipicu oleh makrofag dan growth factor.
fibroblas
dan
96
Growth factors, khususnya PDGF dan transforming growth factor β1 (TGF-β1) merangsang fibroblas dari jaringan sekitar luka untuk berproliferasi dan migrasi menuju celah luka. Diketahui, PDGF mempercepat penyembuhan luka kronis dan juga ulkus diabetikum (Singer and Clark, 1999). PDGF merupakan salah satu growth factor yang berperan dalam mekanisme penyembuhan luka dengan cara merangsang dan mengatur migrasi fibroblas, mengatur ekspresi reseptor integrin, bersifat chemotactic factors yang menarik neutrofil dan monosit atau makrofag datang ke jaringan luka, mitogenik untuk fibroblas, sel otot polos, dan sel endotelial (Fitzpatrick and Mehta, 2009). Penelitian terakhir menyebutkan bahwa daun mengkudu mempunyai mekanisme merangsang PDGF dan merangsang reseptor Adenosin A2A sehingga meningkatkan penutupan luka (Palu et al., 2010). Adenosine mengatur inflamasi dan perbaikan jaringan, dan adenosine A2A reseptor meningkatkan penyembuhan luka dengan merangsang produksi matriks kolagen (Chan et al., 2006). Dengan adanya penemuan ini memperkuat peran daun mengkudu dalam meningkatkan regenerasi jaringan luka. Fakta lain ditemukan pada penelitian ini yang membuktikan adanya peningkatan proses regenerasi jaringan luka pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu adalah terdapatnya penurunan yang signifikan dari jumlah fibroblas (tabel 5.8) dan neovaskularisasi (tabel 5.7) pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu pengamatan hari ke 8 (yang sebelumnya tinggi pada pengamatan hari ke 4) dibandingkan kelompok kontrol. Keadaan ini membuktikan bahwa terjadi proses penyembuhan luka yang semakin maju pesat, sehingga luka yang terjadi sudah mulai menyembuh. Hal ini dimungkinkan mengingat daun
97
mengkudu mengandung berbagai macam
zat aktif dengan mekanisme yang
berbeda-beda seperti diuraikan diatas. Fakta lain memperlihatkan pada kelompok kontrol dengan salep plasebo, pada kelompok ini malah terjadi peningkatan jumlah neovaskularisasi dan fibroblas pada pengamatan hari ke 8 dibandingkan pengamatan hari ke 4 pada kelompok yang sama. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada kelompok ini, mulainya
proses penyembuhan luka lebih lambat (hari ke 8), dengan fase
inflamasi yang lebih memanjang (lebih dari 3 hari), ditandai dengan masih aktifnya fibroblas dan neovaskularisasi pada hari ke 8. Bahkan bila diamati lebih lama dari 8 hari, kemungkinan bisa saja terjadi pada kelompok ini proses penyembuhan luka yang tidak selesai bahkan mungkin menjadi luka kronis, bila fibroblas dan neovaskularisasi belum menurun. Proses epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi, migrasi, mitosis, diferensiasi sel epitel menjadi epidermis yang berlapis-lapis, dan mengembalikan basement membrane zone menjadi utuh yang menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Tahapan-tahapan ini akan mengembalikan integritas kulit yang hilang. Satu sampai dua hari sesudah terjadinya perlukaan, sel epidermal dari sudut luka memulai proliferasi dan migrasi. Faktor-faktor yang merangsang terjadinya migrasi dan proliferasi sel epidermal selama epitelisasi tidak dapat ditentukan, tetapi beberapa kemungkinan bisa terjadi. Keberadaan sel-sel tetangga di sudut luka memberi sinyal baik untuk migrasi maupun proliferasi dari sel epidermal. Pelepasan secara lokal dari growth factors dan peningkatan ekspresi dari reseptor growth factor dapat merangsang
98
proses ini, meliputi epidermal growth factor (EGF), TGF-α, dan keratinocyte growth factor (KGF) (Singer and Clark, 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu 4 hari terjadi peningkatan epitelisasi dilihat dari ketebalan epitel dan celah luka yang lebih kecil dibandingkan kontrol. Pada kelompok yang diberi salep ekstrak mengkudu 8 hari epitelisasi semakin meningkat sehingga ketebalan epitel semakin mendekati kulit normal dan celah luka epitel menutup hampir sempurna (tabel 5.9 dan tabel 5.10). Keadaan ini dimungkinkan karena berbagai antioksidan kuat ditambah dengan antibakteri yang terkandung dalam daun mengkudu, membantu fase inflamasi berjalan normal dan mempercepat terjadinya
fase proliferasi, sehingga migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal
tidak terhambat. Seperti diketahui migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal ini dapat dihambat dengan keberadaan radikal bebas yang berlebih yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan endogen yang ada, sehingga keberadaan antioksidan eksogen yang kuat seperti flavonoid dalam daun mengkudu diperlukan untuk menetralisir radikal bebas tersebut dan memperkuat serta merangsang antioksidan endogen. Disebutkan dalam sebuah laporan bahwa penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh epitelisasi, karena semakin cepat proses epitelisasi semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka. Kecepatan dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh zat-zat yang terdapat dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
99
penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel baru pada kulit (Prasetyo et al., 2010).
100
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 1. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari maupun 8 hari meningkatkan epitelisasi pada jaringan luka tikus putih wistar jantan. 2 Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari meningkatkan fibroblas pada jaringan luka tikus putih wistar jantan. 3. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari meningkatkan neovaskularisasi pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.
7.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh salep ekstrak daun mengkudu pada fase-fase mekanisme penyembuhan luka kulit tikus yang lebih tepat, dengan mengamatinya lebih sering dari hari ke hari untuk mengetahui lebih jelas dan rinci perubahan-perubahan yang terjadi. 2. Disarankan untuk dapat dilakukan clinical trial, agar kemudian dapat dimanfaatkan kegunaannya bagi proses penyembuhan luka pada kulit manusia.
101
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Introduction to Wound Healing. London Health Sciences Centre. Available at: www.ihscon.ca/Health Professionals/Wound Care/intro/sructur.htm. Accessed : October 10, 2012. Anwar, E. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi; Karakterisasi dan Aplikasi. Cetakan pertama. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Hal: 196, 264-267. Arras, M., Autenried, P., Rettich, A., Spaeni, D., Rulicke, T. 2001. Optimization of intraperitoneal injection anesthesia in mice: drugs, dosage, adverse effect, and anesthesia depth. Complementary Medicine 51. p.433-456. Baumann, L. and Saghari, S. 2009. Basic Science of the Epidermis. In : Baumann, L., Saghari, S., Weisberg, E., editors. Cosmetic Dermatology Principles And Practice. Second Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. p. 3-7. Broughton II, G., Janis, J.E., Attiger, C.E. 2006. Wound healing : an overview. Plastic Reconstruction Surgery 117 (supplement) : 1eS-32eS. Buhse, L., Kolinski, R., Westenberger, B., Wokovich, A., Spencer, J., Chen, C.W., Turujan, S., Basak, M. G., Kang, G. J., Kibbe, A., Heintzelman, B., Wolfgang, E. 2005. Topical drug classification. International Journal of Pharmaceutics. p.101-112. Cardoso, C.R.B., Souza, M.A., Ferro, E.A.V., Favoreto, S., Pena, J.D.O. 2004. Influence of topical administrationof n-3 and n-6 essential and n-9 nonessential fatty acids on the healing of cutaneous wounds. The Wound Healing Society. p. 235-239. Chan, E.S., Fernandez, P., Merchant, A.A., Montesinos, M.C., Trzaska, S., Desai,A., Tung, C.F., Khoa, D.N., Pillinger, M.H., Reiss, A.B., TomicCanic, M., Chen, J.F., Schwarzschild, M.A., Cronstein, B.N. 2006. Adenosine A2A receptors in diffuse dermal fibrosis: pathogenic role in human dermal fibroblasts and in a murine model of scleroderma. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16871530. Accessed : October 23, 2012. Choi, S.W., Son, B.W., Son, Y.S., Park, Y.I., Lee, S.K., Chung, M.H. 2001. The wound-healing effect of a glycoprotein fraction isolated from Aloe vera. British Journal of Dermatology. Vol: 145, No.4. p. 535-545.
102
Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 4. Jakarta: Puspa Swara. Hal: 56-58. Darby, I.A., Hewitson, T.D. 2007. Fibroblast differentiation in wound healing and fibrosis. Available from : www.ncbi.nlm.gov/pubmed/17280897. Accessed : Juli 2013. De Abreu, L. R. P. and Ortiz, R. A. M. 2003. HPLC determination of amoxicillin comparative bioavailability in healthy volunteers after a single dose administration. Journal Pharmacy Pharmaceutical Science 6 (2). p. 223 – 230. Djauhariya, E., Rahardjo, M., Ma’mun. 2006. Karakteristik Morfologi dan Mutu Buah Mengkudu. Buletin Plasma Nutfah. Vol: 12. No. 1. Edeoga, H.O., Okwu, D.E., Mbaebie, B.O. 2005. Phytochemical constituents of some Nigerian medicinal plants. African Journal of Biotechnology. Vol: 4, No. 7. p. 685-688. Elias, P.M., Feingold, K.R., Flurh, J.W. 2007. Skin As an Organ of Protection. Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. p. 107-111. Falanga, V. 2007. Wound Repair: Mechanisms and Practical Considration. Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. p. 236-242. Federer, W.T. 1999. Statistical Design and Analysis for Intercropping Experiments. Volume 1. Two Crops. Springer Series in Statistics. Berlin: Springer-Verlag. Fitzpatrick, R.E. and Mehta, R.C. 2009. Endogenous Growth Factors as Cosmeceutical. In : Draelos, Z.D., Dover, J.S., Alam, M., editors. Cosmeceutical. Second edition. Saunders Elsevier. p. 138-140. Goldman, R. and Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia : Printmate Sdn. Bhd. p. 19-25. Gurtner, G.C. 2007. Wound Healing : Normal and Abnormal. Grabb dan Smith’s Plastic Surgery. Sixth Edition. Philadelphia. p. 15-22. Harianto., Sabarijah, W., Transitawuri, F. 2006. Perbandingan Mutu & Harga Tablet Amoksilin 500 mg Generik dengan Non generik yang Beredar di Pasaran. Available from : journal.ui.ac.id/mik/article/view/1166. Accessed : October 29, 2012.
103
Heim, K.E., Tagliaferro, A.R., Bobilya, D.J. 2002. Flavonoid antioxidants: chemistry, metabolism and structure-activity relationships. The Journal of Nutritional Biochemistry. Vol: 13, issue 16. p. 572-684. Huy, L.A.P., He, H., Huy, C.P. 2008. Free Radical, Antioxidants in Disease and Health. International Journal of Biomedical Science. Vol: 4, no. 2. p. 8995. Jain, S. 2012. Dermatology. Journal of Ilustrated Study Guide and Comprehensive Board Review. USA: Springer Science, Bussiness Media. ILC. p. 2-10. Kalangi, S.J.R. 2004. Peran kolagen pada persembuhan luka. Available from : http://www.dexamedika.com/tes/htdocs/dexamedika/article files/kolagen/. Accessed : September 30, 2012. Kandi. 2006. Mengkudu yang Multiguna. Jakarta Pusat: C.V. Jasa Grafika Indonesia. Keller, U., Kumin, A., Braun, S., Werner, S. 2006. Reactive Oxygen Species and Their Detoxification in Healing Skin Wounds. Journal of Investigative Dermatology Symposium Proceedings. Volume 11. Kuppast, I.J. and Nayak, P.V. 2006. Wound healing activity of Cordia dichotoma Forst. f. Fruits. Research Article. Vol: 5(2). p. 99-102. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Li, J., Chen, J., Kirsner, R. 2007. Pathophysiology of acute wound healing. Clinics in Dermatology. Vol: 25. p. 9-18. Li, Y., Du, Y., Zou, C. 2009. Effect of pH on antioxidant and antimicrobial properties of tea saponins. European Food Resources Technological. 228:1023-1028. Lingga, L. 2012. The Healing Power of Antioxidant. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal: 1-6, 26-28. Lodovici, M., Guglielmi, F., Casalini, C., Meoni, M., Chenier, V., Dolara, P. 2001. Antioxidant and radical scavenging properties in vitro of polyphenolic extracts from red wine. European Journal of Nutrition. Vol: 40, issue 2. p. 74-77. Marczyk, G., DeMatteo, D., Festinger, D. 2005. Essentials of research design and methodology. Hoboken, NJ: Wiley.
104
Mathivanan, N., Surendiran, G., Srinivasan, K., Malarvizhi, K. 2006. Morinda pubescens J.E. Smith (Morinda tinctoria Roxb.) Fruit Extract Accelerates Wound Healing in Rats. Journal of Medicinal Food. Vol: 4. p. 591-593. Nagori, B.D. and Solanki, R. 2011. Role of Medicinal Plants in Wound Healing. Research Journal of Medicinal Plant 5 (4). p. 392-405. Nayak, B.S., Sandiford, S., Maxwell, A. 2007. Evaluation of the Wound-healing Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L.Leaf. Evid Based Complement Alternative Medicine; 6 (3). p. 351-356. Nayak, B.S. and Pereira, L.M.P. 2006. Catharanthus roseus flower extract has wound-healing activity in Sprague Dawley rats. BMC Complementary and Alternative Medicine. Vol: 6. p. 41. Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Metode uji Toksisitas. Hal : 86. Okoli, C.O., Akah, P.A., Okoli, A.S. 2007. Potentials of leaves of Aspilia africana (Compositae) in wound care: an experimental evaluation. BMC Complementary and Alternative Medicine. Vol: 7, article 24. Pal, R., Upadhyay, A., Girhepunje, K. 2012. Study on Medicinal Values of Morinda Citrifolia. Asian Journal of Pharmaceutical Education and Research. Vol: 1. Issue 1 (23-31). Palu, A., Su, C., Zhou, B.N., West, B., Jensen, J. 2010. Wound healing effects of noni (Morinda citrifolia L.) leaves: a mechanism involving its PDGF/A2A receptor ligand binding and promotion of wound closure. Available from : pubget.com/paper/20878690/. Accessed : October 23, 2012. Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging Tetap Muda dan Sehat. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hal: 11-43. Patil, M.V.K., Kandhare, A.D., Bhise, S.D. 2012. Pharmacological evaluation of ethanolic extract of Daucus carota Linn root formulated cream on wound healing using excision and incision wound model. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. S646-S655. Pattanayak, S., Nayak, S.S., Dinda, S.C., Panda, D., Navale, K.P. 2011. Evaluationof Herbal Ointments Formulated with Methanolic Extract of Cajanus scarabaeoides. Journal of Pharmacy and Allied Health Science.Vol: 1. p. 49-57.
105
Peter, P.I. 2007. Clinical Research on Morinda citrifolia L. Noni Clinical Research Journal. Vol: 1. Numbers 1-2. p. 4-10. Prasetyo, B.F., Wientarsih, I., Priosoeryanto, B.P. 2010. Aktivitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon dalam Proses Penyembuhan Luka pada Mencit. Jurnal Veteriner. Vol: 11, No 2 : 70-73. Ramamoorthy, P.K. and Bono, A. 2007. Antioxidant Activity, Total Phenolic And Flavonoid Content Of Morinda Citrifolia Fruit Extracts From Various Extraction Processes. Journal of Engineering Science and Technology. School of Engeneering, Taylor’s University College. Vol: 2, No 1.p. 7080. Rasal, V.P., Sinnathambi, A., Ashok, P., Yeshmaina, S. 2008. Wound Healing and Antioxidant Activities of Morinda citrifolia Leaf Extract in Rats. Iranian Journal of Pharmacology & Therapeutics. Vol: 7, No. 1. p. 49-52. Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. 2012. Wound Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of Pharmacy Review & Research. Vol: 2. p. 75-78. Romo, T. 2012. Skin Wound Healing. Medscape reference. Available from: http://www.charite.de/klinphysio/bioinfo/3_k-pathophyfromm/05ws_skripten/Krause/webscript_krause.htm. Accessed : October 10, 2012. Saroja, M., Santhi, R., Annapoorani, S. 2012. Wound Healing Activity of Flavonoid Fraction of Cynodon Dactylon in Swiss Albino Mice. International Research Journal of Pharmacy, 3(2). p. 230-231. Satwadhar, P.N., Deshpande, H.W., Syed, I.H., Syed K.A. 2011. Nutritional Composition and Identificaataion of Some of The Bioactive Components in Morinda Citrifolia Juice. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Vol: 3, Issue 1. p. 58-60. Schafer, M. and Werner, S. 2012. Cancer as an overhealing wound : An old hypothesis revisited. Institute of Cell Biology. Vol: 9. p. 628-638. Sibi, G., Chatly, P., Adhikari, S., Ravikumar, K.R. 2012. Phytoconstituent and Their Influence Antimicrobial Properties of Morinda citrifolia L. Research Journal of Medicinal Plant, 6. p. 441-448. Sihombing, M. dan Tuminah, S. 2011. Perubahan Nilai Hematologi, Biokimia Darah, Bobot Organ dan Bobot Badan Tikus Putih pada Umur Berbeda. Jurnal Veteriner. Vol: 12 No 1. Hal: 58-64.
106
Singer, A.J. and Clark, R.A.F. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England Medicine. 341 (10) : 738-754. Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Soni, H. and Singhai, A.K. 2012. A Recent Update of Botanicals for Wound Healing Activity. International Research Journal of Pharmacy, 3. p. 1-6. Su, B.N., Pawlus, A.D., Jung, H.A., Keller, W.J., McLaughlin, J.L., Kinghorn, A.D. 2005. Chemical Constituent of the Fruit of Morinda citrifolia (Noni) and Their Antioxidant Activity. Journal of Natural Product. Vol: 68, No 4. p. 592 – 595. Suprapti, M.L. 2005. Aneka Olahan Mengkudu Berkhasiat Obat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Susetya, D. 2012. Khasiat & Manfaat Daun Ajaib Binahong. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Baru Press. Cetakan Pertama. Hal: 49-53. Suwardi. 2011. The Miracle of Noni: Keajaiban Mengkudu dalam Mencegah dan Menyembuhkan Kanker. PT. Ufuk Publishing House. Hal: 104, 128-135. Syamsudin. dan Darmono. 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal: 1-12, 21. Tadjoedin, T.H. dan Iswanto, H. 2002. Mengebunkan Mengkudu secara Intensif. Jakarta: Argo Media Pustaka. Hal: 5-10. Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Konsep model self care. Pemberdayaan masyarakat dalam promke. Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., Sandhu, S.S. 2011. Practices in Wound Healing Studies of Plants. Review Article Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. p. 1-15. Ueno, C., Hunt, T.K., Hopf, H.W. 2006. Using Physiology to Improve Surgical Wound Outcomes. Plastic Reconstruction Surgery; 117 (supplement): 59S-71S. Vowden, K. 2002. Wound Bed Preparation. Available :http://www.nature.com/jid/jounal/v126/fig_tab/5700123f4.html. Accessed : October 10, 2012.
from
107
Waha, M.G. 2001. Sehat Dengan Mengkudu. Edisi II. Jakarta: PT.Mitra Sitta Falah (MSF Group). Hal: 3-31. Yunus, Y.A.M. 2012. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Dan Fraksi-Fraksinya Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat Dengan Metode Difusi Agar. Penerbit: Unpad. Zhou, B.N. and Jensen, C.J. 2009. Anthraquinones in Noni (Morinda citrifolia). Journal of Agricultural & Food Chemistry. Zin, Z. M., Hamid, A. A., Osman, A. 2002. Antioxidative activity of extracts from Mengkudu (Morinda citrifolia L.) root, fruit and leaf. Journal of Food Chemistry. Vol.78, Issue 2. p. 227-231.
108
109
LAMPIRAN 1
110
LAMPIRAN 2
Tests of Normality
Tests of Normality a
Neovaskular K4 Fibroblas K4 Tebal K4 Lebar Celah K4 Neovaskular K8 Fibroblas K8 Tebal K8 Lebar Celah K8 Neovaskular P4 Fibroblas P4 Tebal P4 Lebar Celah P4 Neovaskular P8 Fibroblas P8 Tebal P8 Lebar Celah P8
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. ,264 7 ,149 ,270 7 ,134 ,222 7 ,200* ,161 7 ,200* ,275 7 ,117 ,203 7 ,200* ,137 7 ,200* ,279 7 ,106 ,198 7 ,200* ,189 7 ,200* ,329 7 ,021 ,149 7 ,200* ,205 7 ,200* ,270 7 ,133 ,272 7 ,128 ,504 7 ,000
*. This is a lower bound of the true signif icance. a. Lillief ors Signif icance Correction
LAMPIRAN 3
Statistic ,887 ,838 ,895 ,952 ,758 ,939 ,967 ,884 ,896 ,953 ,821 ,952 ,955 ,917 ,876 ,453
Shapiro-Wilk df 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Sig. ,262 ,095 ,302 ,751 ,015 ,633 ,877 ,243 ,307 ,758 ,065 ,748 ,776 ,443 ,211 ,000
111
Independent-Samples T-Tests
K4 × P4 Group Statistics Kelompok Perlakuan Kuantitatif Neovaskular K4 P4 Kuantitatif Fibroblas K4 P4 Tebal Histomorfometri K4 Epitel P4 Lebar Celah K4 Histomorfometri Epitel P4
N 7 7 7 7 7 7 7 7
Std. Error Mean Std. Dev iation Mean 7,57 1,134 ,429 11,57 1,397 ,528 60,29 3,302 1,248 82,14 4,914 1,857 229,3857 22,67623 8,57081 144,2000 21,42646 8,09844 2,65371 ,473341 ,178906 1,50643 ,297082 ,112286
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F Kuantitatif Neov askular Equal variances assumed Equal variances not assumed Kuantitatif Fibroblas Equal variances assumed Equal variances not assumed Tebal Histomorf ometri Equal variances Epitel assumed Equal variances not assumed Lebar Celah Equal variances Histomorfometri Epitel assumed Equal variances not assumed
Sig. ,117
,629
,317
1,559
,738
,443
,584
,236
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-5,881
12
,000
-4,000
,680
-5,482
-2,518
-5,881
11,512
,000
-4,000
,680
-5,489
-2,511
-9,768
12
,000
-21,857
2,238
-26,732
-16,982
-9,768
10,502
,000
-21,857
2,238
-26,811
-16,904
7,224
12
,000
85,18571
11,79167
59,49387 110,87756
7,224
11,962
,000
85,18571
11,79167
59,48473 110,88670
5,432
12
,000
1,147286
,211224
,687068
1,607503
5,432
10,092
,000
1,147286
,211224
,677230
1,617341
112
K8 × P8 Group Statistics Kelompok Perlakuan Kuantitatif Neovaskular K8 P8 Kuantitatif Fibroblas K8 P8 Tebal Histomorfometri K8 Epitel P8 Lebar Celah K8 Histomorfometri Epitel P8
N 7 7 7 7 7 7 7 7
Mean Std. Dev iation 10,43 2,936 3,86 2,193 76,57 16,102 48,00 13,626 98,8429 4,84866 76,8943 13,59676 2,47343 ,990168 ,09814 ,259662
Std. Error Mean 1,110 ,829 6,086 5,150 1,83262 5,13909 ,374248 ,098143
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F Kuantitatif Neov askular Equal variances assumed Equal variances not assumed Kuantitatif Fibroblas Equal variances assumed Equal variances not assumed Tebal Histomorf ometri Equal variances Epitel assumed Equal variances not assumed Lebar Celah Equal variances Histomorfometri Epitel assumed Equal variances not assumed
LAMPIRAN 4
Sig.
3,488
,733
5,528
18,595
,086
,409
,037
,001
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Std. Error Dif f erence Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
4,745
12
,000
6,571
1,385
3,554
9,589
4,745
11,106
,001
6,571
1,385
3,527
9,616
3,584
12
,004
28,571
7,973
11,200
45,943
3,584
11,680
,004
28,571
7,973
11,147
45,995
4,023
12
,002
21,94857
5,45608
10,06080
33,83634
4,023
7,502
,004
21,94857
5,45608
9,21987
34,67727
6,139
12
,000
2,375286
,386903
1,532297
3,218275
6,139
6,821
,001
2,375286
,386903
1,455526
3,295046
113
Mann-Whitney K4 × P4 Ranks Kuantitatif Neov askular
Kuantitatif Fibroblas
Tebal Histomorf ometri Epitel
Lebar Celah Hist omorf ometri Epitel
Kelompok Perlakuan K4 P4 Total K4 P4 Total K4 P4 Total
N 7 7 14 7 7 14 7 7
Mean Rank 4,14 10,86
Sum of Ranks 29,00 76,00
4,00 11,00
28,00 77,00
11,00 4,00
77,00 28,00
11,00 4,00
77,00 28,00
14
K4 P4 Total
7 7 14
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Kuantitatif Neov askular 1,000 29,000 -3,040 ,002
Kuantitatif Fibroblas ,000 28,000 -3,141 ,002
a
,001
a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan
K8 × P8
a
,001
Tebal Histomorfo metri Epitel ,000 28,000 -3,130 ,002 a
,001
Lebar Celah Histomorfom etri Epitel ,000 28,000 -3,130 ,002 a
,001
114
Ranks Kelompok Perlakuan Kuantitatif Neov askular K8 P8 Total Kuantitatif Fibroblas K8 P8 Total Tebal Histomorf ometri K8 Epitel P8 Total Lebar Celah Hist omorf ometri Epitel
N 7 7 14 7 7 14 7 7
Mean Rank 10,86 4,14
Sum of Ranks 76,00 29,00
10,29 4,71
72,00 33,00
10,43 4,57
73,00 32,00
11,00 4,00
77,00 28,00
14
K8 P8 Total
7 7 14
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Kuantitatif Neovaskular 1,000 29,000 -3,036 ,002
Kuantitatif Fibroblas 5,000 33,000 -2,494 ,013
a
,001
a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan
LAMPIRAN 5
a
,011
Tebal Histomorfo metri Epitel 4,000 32,000 -2,622 ,009 a
,007
Lebar Celah Histomorfom etri Epitel ,000 28,000 -3,258 ,001 a
,001
115
Gambaran Histopatologi Penelitian Jaringan Kulit Tikus Putih dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin
Kontrol salep plasebo 4 hari, pembesaran 400x
Panah putih: gambaran sel fibroblas epitel Panah hitam: gambaran neovaskularisasi
Lebar celah epitel luka
Gambaran pembentukan epitelisasi dan yang masih tebal
ketebalan epitel dan lebar celah epitel
Kontrol salep plasebo 8 hari, pembesaran 400 x
116
Gambaran sel fibroblas
Gambaran pembentukan epitelisasi
Lebar celah epitel
tebal epitel dan lebar celah epitel
Perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari, pembesaran 400x
117
Gambaran neovaskularisasi
Gambaran pembentukan epitel
Lebar celah epitel dan tebal epitel
Perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari, pembesaran 400x
118
Gambaran fibroblas dan neovaskularisasi yang sudah sangat berkurang
Tebal epitel yang hampir mendekati normal
LAMPIRAN 6 FOTO-FOTO PENELITIAN
Gambaran pembentukan epitel yang
menutup sempurna
lebar celah epitel
119
Kandang tikus penelitian
Proses melukai punggung tikus
Pengambilan kulit tikus untuk pemeriksaan histopatologi
LAMPIRAN 7
120
LAMPIRAN 8
121