1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya , yaitu anak, dewasa, dan tua. Proses menua bukanlah suatu penyakit. Lambat atau cepatnya proses menua tersebut tergantung pada setiap individu yang bersangkutan (Nugroho, 2008). Menua selanjutnya disebut lanjut usia menurut Undang-Undang RI NO 13 Tahun 1993 dan WHO disebut sebagai penduduk lanjut usia ( Lansia) adalah mereka yang berusia ≥ 60 tahun (Nugroho, 2008). Proses menua diartikan sebagai proses biologi yang dicirikan dengan evolusi yang progresif dapat diprediksi dan tidak dapat dihindari disertai dengan maturasi hingga pada suatu fase akhir kehidupan yang disebut kematian (William, 2006). Proses menua yang terjadi pada lanjut usia secara linier
dapat
(impairment),
digambarkan keterbatasan
melalui
empat
fungsional
tahap
yaitu,
(functional
kelemahan limitation),
ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran (Bondan, 2005). Salah satu kemunduran fisik lansia yang sering terjadi adalah kemunduran sistem kardiovaskuler. Katup jantung menebal dan menjadi
2
kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% per tahun,
berkurangnya curah jantung, berkurangnya denyut jantung terhadap respon stres, kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer (Mubarak, 2006). Sekitar 60% lansia akan mengalami peningkatan tekanan darah setelah berusia 75 tahun (Nugroho, 2008). Kontrol tekanan darah yang ketat pada lansia berhubungan dengan pencegahan terjadinya peningkatan tekanan darah yang tak terkendali dan beberapa penyakit lainnya, misalnya diabetes melitus, serangan stroke, infark miokard, dan penyakit vaskular perifer. Pada lansia terjadi penurunan masa otot serta kekuatannya, penurunan
denyut jantung , penurunan terhadap toleransi latihan, dan
penurunan kapasitas aerobik. Dengan melakukan olahraga seperti senam lansia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan fungsional tersebut. Bahkan dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa latihan /olah raga seperti senam lansia dapat mengeliminasi berbagai resiko penyakit seperti peningkatan tekanan darah, diabetes mellitus, penyakit arteri koroner dan kecelakaan (Darmojo, 2004). Penelitian pendahuluan oleh Hasurungan tahun 2002 yang bertujuan untuk melihat faktor- faktor yang berhubungan peningkatan tekanan darah pada lansia di Kota Depok pada tahun 2002 dengan mengambil sampel dalam penelitian sebanyak 310 orang lansia ( 181 perempuan dan 129 lakilaki ) berumur 55-93 tahun didapatkan proporsi peningkatan tekanan darah
3
sebesar 50.0%, dan berdasarkan jenis kelamin pada laki-laki sebesar 41,9%, sedangkan pada perempuan 57,4%, dan angka ini jauh lebih besar dari prevalensi peningkatan tekanan darah yang ditetapkan oleh Depkes RI ( 2030%) untuk lansia di tahun 2000. Responden dengan derajat stres tinggi berpeluang mendapat peningkatan tekanan darah 3,02 kali dibandingkan yang derajat stres rendah, dan responden dengan derajat stres sedang berpeluang mendapat peningkatan tekanan darah 2,47 kali dibandingkan yang derajat stres rendah. Responden dengan aktivitas fisik yang rendah berpeluang mendapat peningkatan tekanan darah 2,73 kali dibandingkan yang aktivitas yang cukup. Responden yang tidak kawin berpeluang mendapat peningkatan tekanan darah 2,07 kali dibandingkan yang kawin. Selanjutnya disimpulkan bahwa dari lima variable tersebut, derajat stress tinggi
merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah (Hasurungan, 2002). Olahraga merupakan kebutuhan hidup yang tak bisa ditinggalkan dan harus dilaksanakan secara berulang-ulang
agar dapat memelihara
kesehatan lansia, menghasilkan kualitas dan kesehatan hidup yang baik, dan dilaksankan sesuai kemampuan, kesenangan dan minatnya. Salah satu bentuk olahraga yang sesuai dengan lansia adalah senam. Senam memiliki gerakan yang dinamis, mudah dilakukan, menimbulkan rasa gembira dan semangat serta beban yang rendah. Salah satu senam yang cocok untuk lansia adalah senam lansia. Senam ini merupakan olahraga yang ringan dan mudah dilakukan, dan tidak memberatkan. Aktifitas olahraga ini membantu
4
tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena dapat melatih tulang menjadi kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran didalam tubuh. Senam ini dapat membentuk dan mengoreksi sikap dan gerak serta memperlambat proses degenerasi karena perubahan usia, serta mempermudah penyesuaian kesehatan jasmani terutama kesehatan kardiovaskuler dalam adaptasi kehidupan di lanjut usia (Nugroho, 2008). Berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan peningkatan tekanan darah, maka faktor yang dapat diintervensi adalah aktivitas fisik dan stres. Oleh karenanya sehubungan dengan faktor tersebut , serta tingginya angka kejadian peningkatan tekanan darah pada lansia, maka penanggulangan
peningkatan tekanan darah pada lansia
melalui kegiatan latihan fisik berupa senam lansia tiga kali seminggu dan gerak jalan pagi, serta melakukan pembinaan mental/ kerohanian (Nugroho, 2008). Berdasarkan hasil studi lapangan di Banjar Tuka Dalung pada tanggal 11 Desember 2012 total lansia yang ada adalah 50 orang terdiri dari 40 orang perempuan dan 10 orang laki-laki. Dari hasil wawancara sementara dengan beberapa orang lansia mengatakan mempunyai tekanan darah yang meningkat dan mengeluh pada persendian tangan dan kaki sering sakit. Menurut pengakuan 20 orang lansia yang ikut senam mengatakan sudah berobat ke dokter dan ke Puskesmas. Kenyataannya walaupun tindakan pencegahan dan pengobatan sudah dilaksanakan , tetapi masih banyak lansia
5
yang menderita berbagai penyakit salah satunya peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah baik peningkatan tekanan sistol dan diastole dan tekanan arteri rata-rata perlu diperhatikan pada lansia karena hal tersebut menggambarkan kondisi tekanan darah yang ada pada darah daat keluar dari jantung karena jika terjadi peningkatan akan menyebabkan penyakit kardiovaskuler dan gangguan kesehatan lainnya (Fildzania, 2011). Latihan fisik yang diberikan belum sesuai dengan anjuran Cooper sebagai penganjur olahraga aerobik yaitu frekuensi latihan atau olah raga sebaiknya tiga kali seminggu pada hari yang bergantian (Kusmanah, 2002). Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam melalui penelitian yang dipaparkan dalam Tesis dengan judul Pelatihan senam lansia untuk menurunkan tekanan darah pada lansia di Banjar Tuka Dalung.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka rumusan masalah yang muncul adalah. 1.2.1.
Apakah pelatihan senam lansia dapat menurunkan tekanan darah systole pada lansia di Banjar Tuka Dalung?
1.2.2.
Apakah pelatihan senam lansia dapat menurunkan tekanan darah diastole pada lansia di Banjar Tuka Dalung?
1.2.3.
Apakah pelatihan senam lansia dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata di Banjar Tuka Dalung?
6
1.3 Tujuan Penelitian 1.3. 1 Tujuan Umum Mengetahui adanya pengaruh senam lansia terhadap tekanan darah pada lansia di Banjar Tuka Dalung. 1.3 .2 Tujuan Khusus 1) Untuk mengetahui penurunan tekanan darah sistole pada lansia setelah melakukan senam lansia di Banjar Tuka Dalung. 2) Untuk mengetahui penurunan tekanan darah diastole pada lansia setelah melakukan senam di Banjar Tuka Dalung. 3) Untuk mengetahui penurunan tekanan darah arteri rata-rata pada lansia setelah melakukan senam di Banjar Tuka Dalung.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.I
Manfaat dari segi teoritis 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perkembangan ilmu
keperawatan
khususnya
memberikan informasi
keperawatan
gerontik
dengan
dan sosialisasi senam lansia dalam
meningkatkan derajat kesehatan lansia. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya.
7
1.4.2
Manfaat dari segi praktis 1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi pelatih senam lansia di Banjar Tuka Dalung. 2) Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan khususnya dalam hal senam lansia untuk menurunkan tekanan darah pada lansia.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah 2.1.1
Pengertian Tekanan darah merupakan tenaga yang digunakan oleh darah terhadap setiap satuan darah dinding pembuluh darah. Bila orang mengatakan bahwa tekanan dalam satuan pembuluh darah adalah 50 mmHg, ini berarti bahwa tenaga yang digunakan tersebut akan cukup untuk mendorong suatu kolom air raksa ke atas setinggi 50 mm (Guyton, 2001). Lebih terperinci lagi dijelaskan bahwa tekanan darah (BP= Blood Pressure) yang dinyatakan dalam millimeter (mm) merkuri (Hg) adalah besarnya tekanan yang dilakukan oleh darah pada dinding arteri (Mc Gowan, 1997). Saat berdenyut, jantung memompa darah ke dalam pembuluh darah dan tekanan meningkat yang kemudian disebut tekanan darah sistolik. Saat jantung rileks, tekanan darah turun hingga tingkat terendahnya, yang disebut tekanan diastolik (Mc Gowan, 1997). Jadi tekanan darah berarti besarnya tekanan pada dinding pembuluh arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung, terdiri atas tekanan darah sistolik dan diastolik, dan dinyatakan dalam mmHg.
9
2.1.2
Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah a. Aliran darah Aliran darah (blood flow) adalah sejumlah darah yang melalui suatu titik pada sirkulasi dalam suatu periode tertentu, dengan satuan liter /menit. Jumlah aliran darah pada individu dewasa dalam keadaan istirahat rata-rata 5 liter/menit yang disebut curah jantung (cardiac output). Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup
(stroke
volume),
frekuensi
denyut
jantung,
kontraktilitas miokardium, dan sistem saraf otonom (bagian simpatis dan parasimpatis) (Rokhaeni, 2001) b. Tahanan perifer terhadap aliran darah Tahanan / resistensi adalah hambatan terhadap aliran darah dalam suatu pembuluh darah yang tidak dapat diukur secara langsung. Tahanan perifer terhadap aliran darah ditentukan oleh elastisitas pembuluh darah, diameter pembuluh darah, dan viskositas/ kekentalan darah (Rokhaeni, 2001). 2.1.3
Regulasi / Pengaturan Tekanan Darah Secara umum pengaturan tekanan darah dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengaturan tekanan darah untuk jangka pendek dan pengaturan tekanan darah untuk jangka panjang (Rokhaeni, 2001). a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek 1) Sistem saraf
10
Sistem
saraf
mempengaruhi
mengontrol tahanan
tekanan
pembuluh
darah
darah.
dengan
Kontrol
ini
bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP/Mean Arterial Pressure) yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum) (Rokhaeni, 2001). 2) Kontrol kimia Kadar oksigen dan karbondioksida membantu meregulasi tekanan darah melalui refleks kemoreseptor. Beberapa kimia darah juga mempengaruhi tekanan darah melalui kerja pada otot polos atau pusat vasomotor. Hormon yang penting dalam pengaturan tekanan darah adalah hormon yang dikeluarkan oleh medula adrenal (norepinefrin dan epinefrin), natriuretik atrium, hormon antidiuretik, angiotensin II, dan nitric oxide (Rokhaeni, 2001). b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang Baroreseptor dan organ ginjal berperan untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang. Baroreseptor dengan cepat beradaptasi untuk meregulasi
terhadap peningkatan atau
11
penurunan tekanan darah yang berlangsung lama.
Organ
ginjal mempertahankan keseimbangan tekanan darah secara langsung dan secara tidak langsung. Mekanisme secara langsung dengan meregulasi volume darah rata-rata 5 liter/menit,
sementara
secara
tidak
langsung
dengan
melibatkan mekanisme renin angiotensin. Pada saat tekanan darah menurun ginjal akan mengeluarkan enzim renin ke dalam darah yang akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin II yang merupakan vosokontriktor kuat. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah sistemik, meningkatkan aliran darah ke ginjal (Rokhaeni, 2001).
2.1.4
Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan darah pada orang dewasa diklasifikasikan seperti
yang
tercantum di Tabel 2.1 Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Usia Dewasa (>18 thn) dan Lansia Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Hipotensi <100 <80 Normal < 130 < 85 Normal Tinggi 130-139 85-89 Hipertensi : Stadium 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99 Stadium 2 (Hipertensi sedang) 160-179 100-109 Stadium 3 (Hipertensi berat) 180-209 110-119 Stadium 4 (Hipertensi Maligna) ≥ 210 ≥ 120 Sumber : Potter dan Perry, 1997: 779
12
2.1.5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah Tekanan darah seseorang tidak konstan sepanjang hari karena
dipengaruhi oleh banyak faktor , seperti usia, stress, medikasi, variasi diurnal, dan jenis kelamin (Potter & Perry, 1997). a. Usia Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah (Potter dan Perry, 1997). Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun, sedangkan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis (Anonim, 2010). Pengaruh usia terhadap tekanan darah dapat dilihat dari aspek pembuluh darah yaitu semakin bertambah usia akan menurunkan elastisitas pembuluh darah arteri perifer sehingga meningkatkan resistensi atau tahanan pembuluh darah perifer. Peningkatan tahanan perifer akan meningkatkan tekanan darah (Guyton, 2001). b. Stres Rasa cemas, takut, nyeri, dan stres emosi meningkat stimulasi saraf otonom simpatik yang meningkatkan volume darah, curah jantung, dan tekanan vascular perifer.
Efek stimulasi saraf
bagian simpatik ini dapat meningkatkan tekanan darah (Potter dan Perry, 1997). c. Medikasi
13
Banyak medikasi yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tekanan
darah,
seperti antihipertensi, dan
analgesik narkotik yang dapat menurunkan tekanan darah (Potter dan Perry, 1997). d. Variasi Diurnal Tingkat tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari dan tidak ada orang yang pola dan derajat variasinya sama (Potter dan Perry, 1997). Tekanan darah paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari yang dapat mencapai 80-90 mmHg sistolik dan 40-60 mmHg diastolik (Kusmana, 2002). e. Jenis Kelamin Secara klinis tidak ada perbedaan yang signifikan dari tekanan darah pada anak laki-laki atau perempuan. Setelah pubertas, pria cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi, sedangkan setelah menopause wanita cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dari pada pria pada usia tersebut (Potter dan Perry, 1997). Peningkatan tekanan darah pada lansia juga merupakan pengaruh dari proses penuaan yang menyebabkan terjadinya perubahan dan penurunan fungsi pada sistem kardiovaskuler, seperi katup jantung akan menebal dan menjadi kaku, kehilangan elastisitas pembuluh darah, dan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Mubarak, 2006). Tekanan darah tinggi (hipertensi)
14
merupakan salah satu factor resiko penting yang biasa dimodifikasi, yang menyebabkan terjadinya penyakit arteri koronaris (coronary artery disease) dan stroke. Selain tekanan darah tinggi, factor resiko lain yang juga menyebabkan terjadinya penyakit jantung, diantaranya makanan berkolesterol, kebiasaan merokok, aktivitas fisik yang kurang, kegemukan, diabetes, kebiasaan asupan garam berlebihan, kebiasaan minum alkohol, rangsangan kopi yang berlebihan, dan faktor keturunan (Smeltzer dan Bare, 2002; Lili dan Tantan, 2007).
2.1.6
Cara Pengukuran Tekanan Darah Menurut Potter dan Perry (1997), pengukuran tekanan darah dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini : a. Kaji tempat paling baik untuk melakukan pengukuran tekanan darah. b. Siapkan sphygmomanometer dan stetoskop serta alat tulis. c. Anjurkan klien untuk mengindari kafein dan merokok 30 menit sebelum pengukuran. d. Bantu pasien mengambil posisi duduk atau berbaring. e. Posisikan lengan atas setinggi jantung dan telapak tangan menghadap keatas. f. Gulung lengan baju bagian atas lengan.
15
g. Palpasi arteri brakialis dan letakkan manset 2,5 cm diatas nadi brakialis, selanjutnya dengan manset masih kempis pasang manset dengan rata dan pas sekeliling lengan atas. h. Pastikan manometer diposisikan secara vertical sejajar mata dan pengamat tidak boleh lebih jauh dari 1 meter. i. Letakkan earpieces stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak redup (muffled). j. Ketahui letak ateri brakialis dan letakkan belt atau diafragma chestpiece diatasnya serta jangan menyentuh manset atau baju klien. k. Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang. l. Gembungkan manset 30 mmHg di atas tekanan sistolik yang dipalpasi kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik. m. Catat titik pada manometer saat bunyi pertama jelas terdengar. n. Lanjutkan mengempiskan manset dan catat titik dimana bunyi redup timbul. o. Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik pada manometer sampai 2 mmHg terdekat/ saat bunyi tersebut hilang. p. Kempiskan manset dengan cepat dan sempurna. Buka manset dari lengan kecuali jika ada rencana untuk mengulang. q. Bantu klien untuk kembali ke posisi yang nyaman dan rapikan kembali lengan atas serta beritahu hasil pengukuran pada klien.
16
Beberapa hal yang harus diingat dalam pengukuran tekanan darah, diantaranya : 1) Ukurlah tekanan darah sebelum makan atau 30 menit sesudah makan,
merokok, mengkonsumsi
alkohol,
maupun kafein (Lili dan Tantan, 2007). 2) Ukurlah tekanan darah sebelum dan setelah berolahraga atau ukurlah tekanan darah segera sesudah latihan (Lili dan Tantan, 2007; Mahler dkk. 1995).
2.1.7. Tekanan arteri rata-rata ( MAP/Mean Arterial Pressure ) Pada pengukuran tekanan darah arteri, yang perlu di perhatikan adalah kondisi jantung dalam memompa darah. Ada dua macam tekanan yang ditemukan pada pengukuran tekanan darah yaitu tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan sistolik adalah tekanan tertinggi yang terjadi saat jantung berkontraksi yaitu kondisi dimana ventrikel berada dalam titik kontraksi terrendah, dan angka normal 120mmHg. Sedangkan tekanan diastolik terjadi pada saat ventrikel berelaksasi, dengan angka norma 80mmHg. Selisih tekanan sistolik dan diastolik disebut pulse pressure atau tekanan nadi. Dan akan terus berubah sesuai dengan pertambahan usia. Sedangkan tekanan darah vena, dapat dideteksi pada CVP (Central Venous Pressure) yang berlokasi di sternum dan Mid Axillar Line dengan nilai
17
normalnya pada daerah sternum 0 - 5 cmH2O dan Mid Axillar line = 5-15 cmH2O (Nugroho, 2008). Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong kearah jaringan. Tekanan ini diukur secara ketat dimana tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup. Tanpa tekanan ini, otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran darah yang adekuat seberapapun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-organ. Selain itu tekanan ini tidak boleh terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja tambahan jantung dan meningkatkan resiko kerusakan serta kemungkinan ruptur pembuluh darah halus. Setelah hasil pengukuran dua tekanan darah (sistolik dan diastolik) didapati, tekanan arteri rata-rata bisa di ukur dengan menggunakan rumus (Motzer & Bridges : 2009) : MAP = (S+2D)/3 MAP = Mean Arterial Pressure / Tekanan arteri rata-rata S
= Tekanan darah sistolik
D
= Tekanan darah diastolik
Jadi perhitungannya, apabila seseorang mempunyai tekanan darah arteri 120/80 mmHg, maka MAPnya adalah (120+160)/3 yaitu 93,4 mmHg. Ini merupakan hal penting yang perlu diketahui karena tekanan darah arteri rata-rata menggambarkan kondisi tekanan darah
18
yang ada pada darah saat keluar dari jantung. Tekanan yang rendah mengakibatkan suplai darah kurang ke jaringan sehingga oksigen dan zat gisi makanan tidak tersampaikan dan akhirnya dapat terjadi penurunan metabolisme tubuh. Kondisi ini disebut hipoksia (Fildzania, 2011).
2.2 LANJUT USIA ( LANSIA ) 2.2.1
Pengertian lanjut usia Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses menua. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi,aspek ekonomi, dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan yang secara terus menerus yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistim organ. Secara ekonomi penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan
19
bahwa kehidupan masa tua sering kali dipersepsikan secara negative sebagai beban keluarga dari masyarakat (Darmojo, 2006). Dari aspek sosial, penduduk lansia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Suhartini, 2009). Menurut Darmajo (2006) masa tua adalah suatu dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilan lainnya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat
tersebar
luas
dewasa
ini.
Pandangan
ini
tidak
memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbedabeda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasip dan pembrontakan, penolakan, dan keputusasaan (Darmojo, 2006).
20
Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri. Disamping itu untuk mendifinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologi. Usia kronologi merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologi, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu
tersedia
pada
berbagai
sumber
data
kependudukan
(Notoatmojo, 2007). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO ) menggolongkan lanjut usia menjadi empat yaitu; usia pertengahan 45-59 tahun, lanjut usia 60-74 tahun, lanjut usia tua 75-90 tahun, dan usia sangat tua 90 tahun. Batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang- Undang No 4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undangundang tersebut menyatakan bahwa lanjut usia adalah yang berusia 56 tahun ke atas. Namun demikian masih terdapat perbedaan dalam menetapkan batasan usia seseorang untuk dapat dikelompokkan ke dalam penduduk lanjut usia. Dalam penelitian ini digunakan batasan umur antara 60 tahun keatas untuk menyatakan orang lanjut usia (Notoatmojo, 2007).
21
2.2.2
Konsep Usia Lanjut Usia lanjut a dalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologik yang terdiri dari tiga fase yaitu fase progresif, fase stabil, fase regresi. Dalam fase regresif mekanisme lebih kearah kemunduran yang dimulai dalam sel, komponen terkecil manusia. Sel-sel menjadi aus karena lama berfungsi sehingga mengakibatkan kemunduran yang dominan dibandingkan terjadinya pemulihan. Di dalam struktur anatomi proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus menerus dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada jaringan tubuh dan akhirnya akan
mempengaruhi
fungsi
dan
kemampuan
badan
secara
keseluruhan. Pada tahun 1977 Birren dan Jenner (Anonim, 2001) mengusulkan untuk membedakan antara: a. Usia biologis yaitu jangka waktu seseorang sejak lahir berada dalam keadaan hidup, tidak mati. b. Usia psikologis yaitu kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. c. Usia sosial yaitu peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya. Ketiga hal ini saling mempengaruhi dan prosesnya saling berkaitan.
22
Menjadi tua ditandai oleh kemunduran-kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik antara lain; a. Kulit mulai mengendur dan pada wajah timbul keriput serta garis-garis yang menetap. b. Rambut mulai beruban dan menjadi putih. c. Gigi mulai berlubang. d. Penglihatan dan pendengaran berkurang. e. Mudah lelah. f. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah. g. Kerampingan tubuh menghilang, disana sini terjadi timbunan lemak terutama dibagian perut dan pinggul. Kemunduran kemampuan kognitif antara lain sebagai berikut; a. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi baik. b. Hal-hal dimasa muda lebih banyak diingat dari pada hal-hal yang baru terjadi, hal yang pertama dilupakan adalah nama-nama. c. Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang/ waktu juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingat yang sudah mundur dan juga karena pandangan biasanya sudah menyempit. d. Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman, skor dicapai dalam test-test intelegensi menjadi lebih rendah. e. Tidak mudah menerima hal-hal atau ide-ide baru
yang
23
Kemandirian pada usia lanjut dinilai dari kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari ( Activities of Daily Life = ADL) . Apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi, ke WC, kerja ringan, olah raga, berpakaian rapi, membersihkan kamar, tempat tidur, mengunci pintu dan jendela, pergi kepasar, dll. Yang normal dilakukan pada masa muda. Menurut tingkat kemandiriannya para usia lanjut dapat digolongkan dalam kelompok-kelompok sebagai berikut; a. Usia lanjut mandiri sepenuhnya. b. Usia lanjut mandiri dengan bantuan langsung keluarganya. c. Usia lanjut mandiri dengan bantuan secara tidak langsung. d. Usia lanjut dengan bantuan badan sosial. e. Usia lanjut di panti werda. f. Usia lanjut yang dirawat di rumah sakit. g. Usia lanjut dengan gangguan mental Salah
satu
faktor
yang
sangat
menentukan
tingkat
kemandirian pada usia lanjut adalah keadaan mental , karena pada usia lanjut sering mengalami apa yang disebut dementia yaitu kemunduran dalam fungsi berfikir. Gangguan biasanya dimulai dengan sukar mengingat apa yang didengar atau dibaca sampai dengan bicara tanpa ada ujung pangkalnya. Gangguan kesehatan pada usia lanjut seringkali disebabkan oleh proses degenerative yang dialami oleh usia lanjut. Hasil survey rumah tangga (Anonim, 1995)
24
menunjukkan angka kesakitan dan disability sebesar 11,5% pada usia 45-59 tahun dan 9,2% pada usia lebih dari 60 tahun dengan berbagai jenis penyakit degenerative seperti gangguan pernafasan, gangguan pencernaan, dan penyakit infeksi.
2.2.3
Perubahan Kondisi Fisik Meskipun
perubahan dari tingkat sel sampai kesemua
system organ tubuh, diantaranya system pernafasan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler,
sistem
pengaturan
tubuh,
muskuluskletal, gastrointestinal, integument dan lain-lain. Masalahmasalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lanjut usia menurut Mubarak ( 2006 ) adalah sebagai berikut; 1) Mudah jatuh 2) Mudah lelah 3) Kekacauan mental akut 4) Nyeri pada dada, berdebar debar 5) Sesak nafas pada saat melakukan aktifitas fisik 6) Pembengkakan pada kaki bawah 7) Nyeri pinggang atau punggung dan pada sendi panggul 8) Sulit tidur dan sering pusing 9) Berat badan menurun
25
10) Gangguan pada fungsi penglihatan, pendengaran, dan sukar menahan air kencing Perubahan fungsi organ yang terjadi akibat proses penuaan, tidak sama antara satu dengan yang lainnya, secara umum dijumpai penurunan fungsi secara menyeluruh. Perubahan fungsi organ yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut : a.
Sistem integumen Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adipose, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah ke kulit dan menurunnya selsel yang memproduksi pigmen kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh, rambut menipis dan botak, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya (Ganong, 2002).
b.
Temperatur tubuh Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek, menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak yang diakibatkan oleh merendahnya aktifitas otot.
c.
Sistem muskuloskletal, kecepatan dan kekuatan otot skeletal berkurang , pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot.
d.
Sistem penginderaan (pengecapan dan pembau), menurunnya
26
kemampuan atau melakukan pengecapan dan pembauan, sensitifitas terhadap empat
rasa menurun setelah usia 50
tahun. e.
Sistem perkemihan Ginjal mengecil, nefron menjadi atropi, aliran darah menurun sampai 50% fungsi tubulus berkuranng akibatnya kurang mampu memekatkan urine, BJ urin menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan pada pria akibatnya retensi urine (Guyton, 2001).
f.
Sistem pernapasan Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktifitas selia, berkurangnya aktifitas paru, alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, serta berkurangnya reflek batuk.
g.
Sistem gastroentestinal Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esophagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan
lambung
menurun,
peristaltik
melemah
sehingga dapat mengakibatkan konstipasi, kemampuan absorbsi menurun, hati mengecil, produksi saliva menurun, produksi HCL dan pepsin menurun pada lambung. h.
Sistem penglihatan
27
Kornea lebih berbentuk selindris, spingter pupil timbul sclerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan sinar ( daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat cahaya gelap ). Berkurang atau hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, berkurang luasnya pandangan, berkurangnya sensitifitas terhadap warna. i.
Sistem pendengaran Presbiakusis atau berkurangnya pendengaran pada lanjut usia, membran timpani
menjadi atropi menyebabkan
otoklerosis, penumpukan serumen hingga mengeras karena peningkatan kratin, berkurangnya persepsi nada tinggi (Darmojo, 2006). j.
Sistem saraf Berkurangnya berat otak hingga 10-20 %, berkurangnya sel kortikal, reaksi menjadi lambat, kurang sensitive terhadap sentuhan, berkurangnya aktifitas sel, bertambahnya waktu jawaban motorik, hantaran neuron motorik melemah, kemunduran fungsi saraf otonom (Darmojo, 2006).
k.
Sistem endokrin Produksi hampir semua hormone menurun, fungsi paratiroid dan sekresi tidak berubah, berkurangnya ACTH, TSF, FSH, LH, menurunnya aktifitas tiroid akibatnya basal metabolisme
28
menurun, menurunnya
produksi aldosteron, menurunnya
sekreksi hormone, progesterone,estrogen, dan aldosteron, bertambahnya insulin (Darmojo, 2006). l.
Sistem reproduksi Selaput lendir vagina kering atau menurun, menciutnya ovarium dan uterus, atropi
payudara, testis masih dapat
memproduksi, meskipun adanya
penurunan berangsur-
angsur dan dorongan seks menetap sampai diatas usia 70 tahun, asal kondisi kesehatan
baik, penghentian produksi
ovum pada saat menopause (Darmojo, 2006). m.
Sistem kardiovaskuler Jantung normal yang menua pada lanjut usia masih mampu menghasilkan curah jantung secara normal pada suasana biasa,
tetapi
kemampuannya
merespons
situasi
yang
menimbulkan stres fisik maupun mental menurun (Smeltzer & Bare, 2002). Perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskuler dapat dipahami dari organ jantung dan pembuluh darah. Pada lansia jantung kirinya mengalami pengecilan karena rendahnya beban kerja, terjadi penebalan dan kekakuan/penebalan katup jantung, serta terdapatnya jaringan ikat pada sistem hantaran khusus jantung (nodus SA, AV, dan berkas his). Hal ini mengakibatkan penurunan kontraktilitas miokardium, lamanya waktu pompa ventrikel
29
kiri, dan perlambatan sistem hantaran jantung. Katup jantung menebal dan menjadi kaku , kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % per tahun mulai umur 30 tahun. Lanjut usia juga menyebabkan menurunnya elastistas pembuluh darah arteri perifer yang meningkatkan tahanan perifer total (total perifer resisten) (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3 Senam Lanjut Usia ( Senam Lansia ) 2.3.1
Pengertian dan manfaat kesegaran jasmani Senam adalah suatu bentuk latihan fisik yang teratur yang merupakan representasi dari ciri kehidupan. Senam merupakan suatu bentuk latihan fisik yang dikemas secara sistimatis yang tersusun dalam suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan kesegaran tubuh. Memberikan pengaruh baik (positif ) terhadap kemampuan fisik seseorang, apabila dilakukan secara
baik dan benar. Hasil
survey pembuatan norma kesegaran jasmani pada usia lanjut yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1992-1993 menemukan bahwa sekitar 90%
usia lanjut memiliki tingkat
kesegaran jasmani yang rendah, terutama pada komponen daya tahan kardio- respiratori dan kekuatan otot. Hal tersebut dapat dicegah dengan melakukan latihan fisik yang baik dan benar. Manfaat latihan fisik bagi kesehatan adalah sebagai upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Manfaat tersebut ditinjau secara fisiologis, psikologis dan sosial (Nugroho, 2008).
30
2.3.2 Aspek Fisiologi Senam Lansia Selama melakukan senam lansia terjadi kontraksi otot skletal (rangka) yang akan menyebakan respons mekanik dan kimiawi. Menurut Ronny (2009), respons mekanik pada saat otot berkontraksi dan berelaksasi menyebabkan kerja katup vena menjadi optimal sehingga darah yang balik ke ventrikel kanan menjadi meningkat. Aliran balik jantung yang meningkat mempengaruhi peningkatan regangan pada ventrikel kiri jantung sehingga curah jantung meningkat sampai mencapai 4-5 kali dibandingkan curah jantung saat istirahat (Latief, 2002). Respons kimiawi menghasilkan penurunan pH dan kadar PO2, terakumulasinya asam laktat, adenosin dan K+ oleh metabolisme selama otot aktif berkontraksi (Ronny, 2009). Akumulasi zat metabolik ini menyebabkan pembuluh darah mengalami dilatasi yang akan menurunkan tekanan arteri, namun berlangsung sementara karena adanya respon arterial baroreseptor dengan meningkatkan denyut jantung dan isi sekuncup sehingga tekanan darah meningkat (Latief, 2002). Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan stimulus impuls pada pusat baroresptor di arteri karotis dan aorta. Impuls ini akan menuju pusat pengendalian kardiovaskuler di medula oblongata melalui
neuron sensorik yang akan mempengaruhi kerja saraf
simpatis dan melepaskan NE (norepinephrin dan epinephrin), dan
31
saraf parasimpatis yang akan melepaskan lebih banyak ACH yang mempengaruhi SA node yang akan menurunkan tekanan darah (Guyton, 2001). 2.3.3
Prinsip Program Latihan Senam Program senam mempunyai prinsip antara lain: a.
Membantu tubuh agar tetap bergerak/ berfungsi.
b.
Menaikkan kemampuan daya tahan tubuh
c.
Memberi kontak psikologis dengan sesama, sehingga tidak merasa tersaing
d.
Mencegah terjadinya cedera
e.
Mengurangi / menghambat proses penuaan
Ketentuan- ketentuan senam : Dosis latihan senam adalah; Lama latihan minimum ; 30 - 40 menit (termasuk pemanasan dan pendinginan). 1. Pada awal senam lakukan dahulu pemanasan, peregangan, kemudian latihan
inti dan pada akhir latihan lakukan
pendinginan dan peregangan lagi. 2. Sebelum senam boleh minum cairan terlebih dahulu untuk menggantikan keringat yang hilang. Selalu diingat untuk minum air sebelum , selama dan sesudah berlatih.
32
3. Makan sebagian telah selesai dua jam sebelum latihan, agar tidak mengganggu pencernaan. Kalau latihan pada pagi hari tidak perlu makan sebelumnya. 4. Senam diawasi oleh para pelatih, agar tidak terjadi cedera. 5. Senam dilakukan secara lambat, tidak boleh cepat dan dan gerakan tidak boleh menyentak dan memilir ( memutar ) terutama untuk tulang belakang. 6. Pakaian yang dikenakan terbuat dari bahan ringan dan tipis, jangan memakai pakaian tebal dan sangat menutup badan, seperti training spak lengkap dan tebal. 7. Jenis sepatu yang dianjurkan adalah sepatu lari atau sepatu untuk berjalan kaki yang mempunyai sol/ bantalan yang tebal pada daerah tumit. 8. Waktu senam sebaiknya pagi dan sore hari, bukan pada siang hari, bila latihan diluar gedung. 9. Tempat senam sebaiknya berupa lapangan atau taman. 10. Landasan tempat senam sebaiknya tidak terlalu keras dan dianjurkan berlatih diatas tanah atau rumput dan bukan diatas lantai ubin atau semen yang keras, hal ini untuk mengurangi cedera kaki dan tungkai (Menpora, 2008).
33
2.3.4
Hal-hal Yang menjadi Perhatian Dalam Melakukan Senam Demi Keselamatan Lansia a. Komponen-komponen kesegaran jasmani yang dilatih selama senam
meliputi; Ketahanan kardio pulmonal, kelentukan,
kekuatan otot, komposisi tubuh, keseimbangan, kelincahan gerak. b. Selalu memperhatikan keselamatan/menghindari cedera c. Senam dilakukan secara teratur dan tidak terlalu berat,sesuai dengan kemampuan d. Senam dilakukan dengan dosis berjenjang atau dosis dinaikkan sedikit demi sedikit e. Hindari kompetensi dalam bentuk apapun f. Perhatikan
kontraindikasi
senam
dan
sebaiknya
dikonsultasikan ke dokter terlatih dahulu. Pengukuran tingkat kesegaran jasmani diperlukan untuk penjaringan kesehatan dan merupakan tahap persiapan senam.
2.3.5
Teknik dan Cara Senam Latihan senam yang dilakukan dalam tiga segmen a. Pemanasan (warming up) Gerakan umum (yang dilibatkan sebanyak-banyaknya otot dan sendi) di lakukan secara lambat dan hati-hati. Dilakukan bersama dengan peregangan (stretching). Lamanya kira-kira 8-10 menit. Pada 5 (lima) menit terakhir pemanasan dilakukan lebih cepat.
34
Pemanasan
dimaksud
untuk
mengurangi
cedera
dan
mempersiapkan sel-sel tubuh agar dapat turut serta dalam proses metabolisme yang meningkat (Menpora, 2008). b. Latihan inti Tergantung pada komponen/faktor yang dilatih maka bentuk latihan tergantung pada faktor fisik yang paling buruk. Gerakan senam dilakukan berurutan seperti contoh dalam buku ini dapat diiringi dengan musik yang disesuaikan dengan gerakan.
Untuk usia lanjut biasanya dilatih : 1. Daya tahan (endurance) 2. Kardio–pulmonal dengan latihan latihan yang bersifat aerobik 3. Fleksibilitas dengan peregangan 4. Kekuatan otot dengan latihan beban 5. Komposisi tubuh dapat diatur dengan pengaturan pola makan , latihan aerobik, kombinasi dengan latihan beban kekuatan. c. Pendinginan (cooling down) Dilakukan secara aktif artinya sehabis latihan shit-up perlu dilakukan gerakan umum yang ringan sampai suhu tubuh kembali normal yang ditandai dengan pulihnya denyut nadi dan terhentinya keringat. Pendinginan dilakukan seperti pada pemanasan yaitu selama 8-10 menit.
35
2.4
Pengaruh Senam Lansia Terhadap Tekanan Darah Menurut Martha dkk. (1995), olahraga dapat menurunkan tekanan darah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Psffenbarger dari Universitas Stanford yang meneliti 15.000 tamatan Universitas Havard untuk 6-10 tahun. Selama pendidikan berlangsung didapatkan bahwa 681 tamatan Havard tersebut menderita peningkatan tekanan darah ( 160/95). Ternyata alumni yang tidak terlibat olahraga dan kegiatan mempunyai resiko untuk mendapat peningkatan tekanan darah 35% lebih besar dari mereka yang berolah raga. Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah kapiler yang baru
sehingga dapat mengurangi
penyumbatan dalam pembuluh darah yang berarti dapat menurunkan tekanan darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk melakukan pekerjaannya
bertambah
melalui
olah
raga,
pengaruh
dari
berkurangnya hambatan tersebut memberikan penurunan tekanan darah yang berarti. Prinsip yang penting dalam olahraga untuk mereka yang menderita tekanan darah tinggi ialah melalui dengan olahraga ringan lebih dahulu sepert jalan kaki atau senam. Berjalan kaki secara teratur sekitar 30-45 menit setiap hari dan makin lama jalan dapat dipercepat akan menurunkan tekanan darah. Dengan olah raga seperti senam maka sel, jaringan membutuhkan peningkatan oksigen dan glukosa untuk membentuk ATP. Terkait dengan pembuluh darah
36
maka dapat digambarkan bahwa pembuluh darah mengalami pelebaran (vasodilatasi), serta pembuluh darah yang belum terbuka akan terbuka sehingga aliran darah ke sel, jaringan meningkat (Darmojo, 2006).
37
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1
Kerangka Berpikir Menurut UU No.13 Tahun 1998, seseorang yang berusia diatas 60 tahun yang disebut lansia sangat rentan terhadap penyakit kardiovaskuler, dan paling penting untuk diketahui adalah lansia sangat rentan mengalami labilitas tekanan darah, salah satunya tekanan darah tinggi. Hal ini sesuai dengan teori menurut Potter dan Perry (1997) yang mengatakan bahwa setiap orang akan mengalami tekanan darah tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan tekanan darah pada lansia merupakan pengaruh dari proses penuaan (lansia), yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan penurunan fungsi
pada sistem kardiovaskuler (Mubarak, 2006).
Selain itu tekanan darah tinggi pada lansia akibat adanya berbagai faktor
yang mempengaruhi seperti stress, jenis kelamin, variasi
diurnal, medikasi, kegemukan, diabetes, makanan berkolesterol, pola hidup yang tidak sehat, pekerjaan, lingkungan kerja, lingkungan sosial, dan olah raga. Meskipun lansia mengalami penyakit terutama tekanan darah tinggi, hal tersebut dapat dicegah. Adapun caranya adalah dengan terapi
farmakologis dan terapi
nonfarmakologis. Terapi
farmakologis, yaitu dengan mengkomsumsi obat penurunan tekanan
38
darah yang harus diminum seumur hidup. Tetapi farmakologis banyak menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan bagi tubuh
sehingga
penggunaannya
diikuti
dengan
terapi
nonfarmakologi, salah satunya dengan melakukan senam lansia. Hal ini sesuai dengan teori Ronny (2009) yang mengatakan bahwa saat berolahraga seperti senam lansia
akan merangsang
kerja saraf
simpatis dan parasimpatis yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah lansia.
39
3.2
Konsep Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat kerangka konsep dalam
bentuk bagan sebagai berikut :
SENAM LANSIA
Faktor Eksternal
Faktor Internal -
-
Umur Jenis Kelamin Berat Badan Genetik
Penurunan tekanan darah sistole, diastol dan tekanan arteri rata-rata
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Makanan Stres Obat-obatan Lingkungan kerja Lingkungan sosial Pekerjaan Olahraga
40
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep dapat dirumuskan hipotesis sebagai jawaban sementara dari penelitian ini sebagai berikut: 1.
Pelatihan Senam Lansia dapat menurunkan tekanan darah sistolik pada lansia di Banjar Tuka Dalung.
2.
Pelatihan Senam Lansia dapat menurunkan tekanan darah diastolik pada lansia di Banjar Tuka Dalung.
3.
Pelatihan Senam Lansia dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata pada lansia di Banjar Tuka Dalung.
41
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian
ini
adalah
penelitian
eksperimental
dengan
ranc
angan penelitian yang digunakan adalah Pre and Post test Kontrol Group Design (Pocock, 2008) Masing-masing kelompok yang terdiri dari 16 orang kelompok-1 dan 16 orang kelompok-2. Semua kelompok kontrol (kelompok satu) tidak diberi pelatihan, sedangkan kelompok perlakuan (kelompok dua) diberi pelatihan senam lansia. Rancangan penelitian seperti pada gambar 4.2 di bawah ini :
P0
RA
P
R
O1
02
O3
04
S
Keterangan: P : Populasi R : Randomisasi S : Sampel RA : Random alokasi P1 : perlakuan yaitu senam lansia 3 kali seminggu selama 6 minggu P0 : tanpa perlakuan O1: pengukuran pertama kelompok kontrol O2: pengukuran kedua kelompok kontrol O3 : pengukuran pertama kelompok perlakuan O4 : pengukuran kedua kelompok perlakuan
P1
Gambar 4.1. Rancangan Penelitian Quasi-Exsperimental dengan Pre and Posttes Kontrol Group Design
42
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Banjar Tuka Dalung selama 6 minggu pada bulan Juni sampai Juli 2013 (minggu pertama Juni sampai minggu kedua Juli) setiap sore pukul 17. 00 WITA pada hari Senin, Rabu, dan Jumat.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1
Populasi Populasi Target
: Seluruh penduduk lanjut usia hipertensi di Banjar
Tuka Dalung Populasi Terjangkau
:
Penduduk lanjut usia yang memiliki tekanan darah tinggi di Banjar Tuka Dalung pada bulan Juni – Juli 2013 4.3.2
Sampel Sampel didapat dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut : a. Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah karakteristik subjek penelitian dari suatu populasi target yang diteliti (Nursalam, 2009). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : 1. Berdomisili di Banjar Tuka Dalung 2. Jenis kelamin perempuan 3. Usia 60 tahun keatas
43
4. Memiliki tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, sistolik antara 140-160 mmHg, diastolik antara 90-100 mmHg 5. Tidak sedang mengkonsumsi obat hipertensi b. Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2009). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : 1. Memiliki penyakit penyerta (demam, pusing, nyeri dada, sesak nafas). 2. Baru sembuh dari sakit c. Kriteria drop out 1. Menderita sakit atau cidera pada saat pelatihan 2. Menarik diri sebagai subjek penelitian d. Besar Sampel Besar
sampel
ditentukan
berdasarkan
hasil
penelitian
pendahuluan sebanyak enam orang lansia di Banjar Tuka Dalung. Rerata tekanan darah sebelum pelatihan (μ ) = 142 mmHg standar deviasi ó = 9,8 Rerata tekanan darah setelah pelatihan ( μ )= 130 mmHg. Besar sampel (n) dihitung dengan rumus Pocock (2008) sebagai berikut = µ
ó µ
. f ( α.β)
44
Keterangan : n
= jumlah sampel
ó
= Standar deviasi = 9,8
µ
= 142 (rerata tekanan darah systole sebelum perlakuan)
µ
= 130 ( rerata tekanan darah systole sesudah perlakuan)
f (α.β) = 10,5 (konstanta dalam tabel Pocock) (Pocock, 2008)
dapat dihitung : = µ
ó µ
. f ( α.β)
(,)
= ( )
x 10,5
= 13,45 dibulatkan menjadi 14
Dari perhitungan dengan menggunakan rumus diatas di dapat besar sampel jumlah minimal sebanyak 14 orang, untuk mengantisipasi apabila sampel yang terpilih droup out karena kriteria eksklusi maka jumlah sampel ditambah 10%. Maka didapat jumlah sampel 14+2 =16 orang dikalikan dua sesuai dengan jumlah kelompok, sehingga banyak seluruhnya 32 orang.
e. Teknik penentuan Sampel Penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di tentukan dengan secara acak sederhana mendapatkan banyaknya sampel sesuai dengan hasil perhitungan dengan rumus Pocock. 2. Sampel dibagi dua kelompok dengan masing-masing kelompok sejumlah 16 orang lansia. pembagian kelompok dilakukan dengan
45
cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok 1 tidak dilakukan senam lansia dan kelompok 2 dilakukan senam lansia.
4.4 Variable Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 4.4.1
Variabel penelitian Variabel bebas : Pelatihan Senam Lansia Variabel tergantung : Tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, dan rerata tekanan darah arteri (MAP)
4.4.2
Definisi operasional a.
Senam lansia adalah aktivitas senam yang dilakukan oleh lansia sesuai tahap-tahapan dalam protap dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu selama 6 minggu, intensitas 80 % denyut nadi maksimal, dan dengan durasi 40 menit.
b.
Tekanan darah adalah besarnya tekanan yang diukur dengan spignomanometer
dan
dinyatakan
dalam
satuan
mmHg
(milimeterHidragirum). c.
Lansia hipertensi adalah penduduk yang mengalami proses penuaan terus menerus dan ditandai dengan perubahan dan penurunan biologis dan memiliki tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg
d.
Tekanan darah sistol adalah tekanan yang terjadi saat jantung memompa darah ke dalam pembuluh darah sesuai bunyi Korotkov I.
46
e.
Tekanan darah diastol merupakan tekanan darah pada saat jantung relaksasi, ditentukan sesuai bunyi Korotkov IV.
f.
Mean Arterial Presure ( MAP) atau tekanan arteri rata-rata adalah nilai yang diperoleh dengan rumus (systole + 2 diastole)/3.
4.5 Instrumen Penelitian a.
Tensi meter merk Riester untuk mengukur tekanan darah lansia yang dilakukan secara auskultasi dengan stetoskop dalam satuan mmHg.
b.
Alat tulis untuk mencatat data dan dokumentasi untuk merekam hasil penelitian.
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1
Tahap persiapan Sebelum melakukan penelitian, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mempersiapkan dan mengurus surat izin penelitian untuk menggunakan lansia di Banjar Tuka sebagai subyek penelitian. b. Mempersiapkan subjek penelitian, peralatan dan alat tulis. c. Menentukan kelompok penelitian, dalam hal ini ada dua kelompok yaitu: kelompok 1 sebagai kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan senam lansia, Kelompok 2 sebagai kelompok perlakuan yang diberikan pelatihan Senam Lansia.
47
d. Melakukan pengambilan data pretest yang terdiri dari pengukuran tekanan darah systole, diastole, dan perhitungan rerata tekanan darah arteri (MAP) pada kedua kelompok. e. Melakukan pelatihan senam lansia kepada kelompok -2 sebanyak 3 kali perminggu selama 6 minggu. Sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan senam. f. Setelah selesai pelatihan senam lansia sesuai protap dilakukan pengukuran post test meliputi pengukuran tekanan darah sistol, distol dan perhitungan rerata tekanan darah arteri pada kedua kelompok (kelompok perlakuan dan kelompok kontrol).
4.6.2
Tahap pelaksanaan Pelatihan senam lansia pada kelompok perlakuan yang dilakukan dengan frekuensi 3 kali seminggu dengan lama 30 menit setiap latihan. Senam lansia dilakukan dengan tahap gerakan pemanasan, gerakan inti, dan gerakan pendinginan.
48
4.7 Pelatihan Senam Lansia 4.7.1 Tahap Persiapan a. Persiapan Peserta (Lansia yang sudah sesuai kriteri inklusi). 1) Menjelaskan tujuannya dilakukannya penelitian. 2) Menjelaskan langkah dan prosedur yang dilakukan. 3) Penandatangan inform consent. b. Persiapan Lingkungan Mempersiapkan tempat untuk melakukan latihan senam lansia (di Balai Banjar Tuka Dalung). c. Persiapan Alat 1) Sphygmomanometer air raksa 2) Stetoskop 3) Tape recorder 4) Kaset senam lansia 5) Catatan tekanan darah 6) Alat tulis, dan kamera digital untuk dokumen 4.7.2 Tahap pelaksanaan 1. Ukur
tekanan darah lansia sebelum
pelatihan senam lansia pada
keadaan tenang. Catat hasil pengukuran. 2. Instruktur senam memberi pelatihan senam lansia dengan durasi 40 menit yang terdiri dari : pemanasan selama 10 menit, latihan inti selama 20 menit dan pendinginan selama 10 menit.
49
3. Setelah pelatihan senam
lansia, peneliti dan pendamping peneliti
sebanyak 15 orang mengukur kembali tekanan darah lansia. Catat hasil pengukuran. 4. Pelatihan senam lansia dilakukan setiap sore pukul 17.00-18.00 WITA pada hari Senin, Rabu dan Jumat, dengan frekuensi tiga kali seminggu pada hari yang bergantian selama 6 minggu.
50
4.8
Alur Penelitian Populasi Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel
Random Alokasi
Pre test (pengukuran tekanan darah)
Pre test (pengukuran tekanan darah
Kelompok 1 Tidak diberikan pelatihan senam lansia
Kelompok 2 Diberikan pelatihan senam lansia
Post test (Pengukuran tekanan darah)
Post test (Pengukuran tekanan darah)
ANALISIS DATA
PENYUSUNAN LAPORAN
Gambar 4.3 Alur Penelitian
51
4.9 Analisis Data 4.9.1 Analisis Deskriptif Untuk menganalisis data karakteristik subjek penelitian seperti jenis kelamin, usia, dan tekanan darah baik sebelum maupun sesudah pelatihan. 4.9.2
Analisis komparasi a.
Uji Normalitas Bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing-masing kelompok perlakuan dari kedua kelompok pelatihan. Data terdistribus normal jika didapatkan nilai p > 0,05 berarti data berdistribusi normal.
b.
Uji Homogenitas Bertujuan untuk mengetahui variasi data. Nilai p pada uji homogenitas yang didapatkan > 0,05 berarti data homogen.
c. Uji Komparatif Jenis uji statistik komparasi yang digunakan adalah uji Man Whitney karena data tidak berdistribusi normal dan homogen untuk data pretest dan post test pada masing-masing kelompok.
52
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Banjar Tuka Dalung selama 6 minggu dengan menggunakan rancangan quasi eksperimen. Subyek penelitian berjumlah 32 orang yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, yang masing-masing berjumlah 16 orang.
5.1
Karakteristik subjek penelitian Responden dalam penelitian ini semuanya berjenis kelamin perempuan . Hasil analisis umur reponden ditunjukkan dalam tabel 5.1 berikut [
Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan umur di Banjar Tuka Dalung Tahun 2013 Variabel Umur (Th) Klp Kontrol
Mean
SD
Minimal-maksimal
66,56
4,926
61-80
Klp Intervensi n = 16
64,88
4.113
60 -74
Berdasarkan tabel 5.1, rata-rata umur lansia pada kelompok kontrol adalah 66,56 tahun, dengan standar deviasi 4,926 tahun. Umur termuda tahun dan umur tertua tahun. Rata-rata umur ibu pada kelompok perlakuan yaitu 64,88 tahun dengan standar deviasi 4,113 tahun. Umur termuda pada kelompok intervensi 60 tahun dan umur tertua 74 tahun.
53
5.2
Tekanan darah systole, diastole dan MAP sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok Setelah dilakukan analisis secara univariat maka diperoleh hasil tekanan darah systole, diastole dan tekanan arteri rata-rata pada tabel 5.2 berikut: Tabel 5.2 Tekanan darah systole, diastole dan tekanan arteri rata-rata (MAP) dari responden pada lansia kelompok kontrol dan perlakusndi Banjar Tuka Dalung tahun 2013 VARIABEL
Kelompok kontrol
Kelompok perlakuan
Rerata
SD
Rerata
SD
Tekanan sistolik sebelum (mmHg)
145,00
4,926
145,63
10,935
Tekanan sistolik sesudah (mmHg)
143,13
6,325
136,88
9,465
Tekanan diastolik sebelum (mmHg)
91,25
6,021
90,63
2,500
Tekanan diastolik sesudah (mmHg)
89,38
4,425
79,38
9,287
MAP sebelum (mmHg)
109,29
3,944
108,96
3,794
MAP sesudah (mmHg)
107,29
3,696
98,54
8,774
Tabel 5.2 menunjukkan perolehan rata-rata tekanan darah sistolik pada kelompok perlakuan sebesar 145,63 mm Hg sebelum senam menjadi 136,88 setelah senam. Sedangkan tekanan sistolik pada kelompok kontrol sebesar 145 mmHg sebelum senam menjadi 143, 13 setelah minggu ke 6. Rata-rata tekanan darah diastolik pada kelompok perlakuan sebesar 90,63 mm Hg sebelum senam menjadi 79,38 setelah senam. Sedangkan tekanan diastolik pada kelompok kontrol sebesar 91,25 mmHg sebelum senam menjadi 89,38 setelah minggu ke 6. Tekanan arteri rata-rata pada kelompok perlakuan sebesar 108,96 sebelum senam menjadi 98,64 setelah senam. Sedangkan tekanan arteri rata-rata pada kelompok kontrol sebesar 109,29 sebelum senam menjadi 107,29 setelah minggu ke 6.
54
Untuk mengetahui adanya pengaruh senam lansia terhadap penurunan tekanan darah maka dilakukan uji statistik. Sebelum uji statistik, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk dengan tingkat kepercayaan 95% untuk sampel kurang dari 50. Dari uji Saphiro Wilk didapatkan nilai probabilitas signifikansi pada tabel 5.3 berikut : Tabel 5.3 Hasil uji normalitas data pada lansia kelompok kontrol dan perlakuan di Banjar Tuka Dalung tahun 2013 VARIABEL
Saphiro wilk test - p Value Kelompok kontrol
Kelompok perlakuan
Tekanan sistolik sebelum
0,0001
0,0001
Tekanan sistolik sesudah
0,001
0,017
Tekanan diastolik sebelum
0,0001
0,0001
Tekanan diastolik sesudah
0,0001
0,042
MAP sebelum
0,030
0,0001
MAP sesudah
0,0001
0,837
Berdasarkan
hasil uji normalitas data pada tabel 5.3, didapatkan data tidak
berdistribusi normal sehingga dilakukan uji nonparametrik yaitu uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kepercayaan 95%.
55
Tabel 5.4 Hasil uji homogenitas data pada lansia kelompok kontrol dan perlakuan di Banjar Tuka Dalung tahun 2013 VARIABEL
LEVINE TEST p value
Tekanan sistolik sebelum
0,293
Tekanan sistolik sesudah
0,030
Tekanan diastolik sebelum
0,237
Tekanan diastolik sesudah
0,079
MAP sebelum
0,954
MAP sesudah
0,024
Berdasarkan hasil uji homogenitas data pada tabel 5.3, didapatkan data setelah perlakuan tidak berdistribusi normal sehingga untuk mengetahui perbedaan tekanan darah systole, diastole dan MAP antar kelompok dilakukan uji nonparametrik yaitu Mann-Whitney U test dengan tingkat kepercayaan 95%.
5.3 Uji hasil perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap tekanan systole, diastole dan tekanan arteri rata-rata pada kedua kelompok Hasil analisa data menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) didapatkan bahwa nilai signifikansi pada kedua kelompok dalam tabel 5.4 berikut:
56
Tabel 5.5 Perbedaan tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan arteri rata-rata pada lansia kelompok kontrol dan kelompok perlakuan di Banjar Tuka Dalung tahun 2013 VARIABEL
Nilai p Kelompok kontrol
Kelompok perlakuan
Tekanan sistolik sebelum
0,257
0,008
0,180
0,002
0,072
0,003
dan sesudah senam Tekanan diastolik sebelum dan sesudah senam MAP sebelum dan sesudah senam
Berdasarkan table 5.4 di atas, tekanan darah sistolik, diastolik maupun tekanan arteri rata-rata pada lansia kelompok perlakuan sebelum dan sesudah senam menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan
p < 0,05. Sedangkan tekanan
darah sistolik, diastolik dan tekanan arteri rata-rata pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna p > 0,05.
5.4 Perbedaan tekanan systole, diastole dan tekanan arteri rata-rata antar kedua kelompok Hasil analisis data menggunakan Mann-Whitney U test dengan tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) didapatkan bahwa nilai probabilitas Asymp.Sig. tailed) antara kedua kelompok pada tabel 5.5 berikut:
(2-
57
Tabel 5.6 Perbedaan tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan arteri rata-rata pada lansia antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan di Banjar Tuka Dalung tahun 2013 Kelompok kontrol Rata-rata
SD
Kelompok perlakuan Rata-rata
SD
VARIABEL
(mmHg)
P Value
Tekanan sistolik
145
4,926
145,63
10,935
0,628
143,13
6,325
136,88
9,465
0,043*
91,25
6,021
90,63
2,500
0,551
89,38
4,425
79,38
9,287
0,0001*
MAP sebelum
109,29
3,944
108,96
3,794
0,831
MAP sesudah
107,29
3,696
98,54
8,774
0,0001*
(mmHg)
sebelum Tekanan sistolik sesudah Tekanan diastolik sebelum Tekanan diastolik sesudah
(*) = signifikan Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa tekanan sistolik, diastolik dan tekanan arteri rata-rata antar kelompok sebelum dilakukan senam tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. ( p >0,05), hal ini menunjukan kedua kelompok komparabel, sedangkan setelah dilakukan senam selama 6 minggu pada kelompok perlakuan, ditemukan
adanya
perbedaan bermakna baik pada tekanan sistolik, diastolik maupun tekanan arteri rata- rata antar kelompok ( p <0,05).
58
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik subjek penelitian Berdasarkan jenis kelamin, baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan semuanya berjenis kelamin perempuan. Rata-rata umur lansia pada kelompok kontrol adalah 66,56 tahun, dengan standar deviasi 4,926 tahun. Umur termuda
tahun dan umur tertua
tahun. Rata-rata umur ibu pada
kelompok perlakuan yaitu 64,88 tahun dengan standar deviasi 4,113 tahun. Umur termuda pada kelompok intervensi 60 tahun dan umur tertua 74 tahun. Berdasarkan rata-rata dan standar deviasi menunjukkan perbedaan usia yang tidak terlalu jauh, dimana kedua kelompok rata-rata berusia di atas 60 tahun. Berdasarkan karakteristik umur tidak ada perbedaan pada kedua kelompok subjek.
6.2 Efek Senam Lansia Terhadap Penurunan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Rata- rata tekanan darah sistolik kedua kelompok sebelum perlakuan di atas 140 mmHg, demikian juga tekanan diastolik di atas 90 mmHg, karena sesuai dengan kriteria inklusi responden yang dipilih adalah responden yang mengalami hipertensi. Secara teoritis, lansia memang cenderung mengalami peningkatan tekanan darah seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan tekanan darah pada lansia umumnya terjadi akibat penurunan fungsi organ pada
59
sistem kardiovaskular. Katup jantung menebal dan menjadi kaku, serta terjadi penurunan elastisitas dari aorta dan arteri-arteri besar lainnya (Ismayadi, 2004). Rata-rata tekanan darah sistolik pada kelompok kontrol adalah 145±4,926 mmHg pada hari pertama, dan setelah 6 minggu diukur lagi menjadi rata-rata 143,13 ± 6,325. Rata-rata tekanan darah diastolik pada kelompok kontrol adalah 91, 25 ± 6,021 mmHg pada hari pertama, dan setelah 6 minggu diukur lagi menjadi rata-rata 89,38 ± 4,425. Subjek penelitian pada kelompok perlakuan memiliki rata-rata tekanan sistolik
sebelum perlakuan sebesar
145,63 ±10,935 mmHg dan tekanan darah sistolik setelah perlakuan sebesar 136,88 ± 9,465 mmHg. Tekanan sistolik pada kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara sebelum senam dengan sesudah senam p value = 0,008 ( p < 0,05). Rata-rata tekanan darah diastolik pada kelompok perlakuan sebesar 90,63 mm Hg sebelum senam menjadi 79,38 setelah senam. Tekanan diastolik pada kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara sebelum senam dengan sesudah senam p value = 0,002 ( p < 0,05). Tekanan arteri rata-rata pada
kelompok perlakuan sebesar 108,96 sebelum senam menjadi 98,64
setelah senam. Tekanan diastolik pada kelompok perlakuan
menunjukkan
perbedaan yang bermakna secara statistik antara sebelum senam dengan sesudah senam p value = 0,003 ( p < 0,05). Hal ini menunjukkan ada efek senam yang diberikan terhadap penurunan tekanan darah diastolik maupun tekanan arteri rata-rata.
baik sistolik,
60
Penurunan tekanan darah yang terjadi pada kelompok lansia yang diberi senam terjadi karena pembuluh darah kapiler yang baru(Bompa, 1999). Darmojo (2006) juga menjelaskan bahwa dengan olahraga maka jaringan membutuhkan peningkatan oksigen dan glukosa untuk membentuk ATP. Terkait dengan pembuluh darah maka dapat digambarkan bahwa pembuluh darah mengalami pelebaran (vasodilatasi), serta pembuluh darah yang belum terbuka akan terbuka sehingga aliran darah ke sel, jaringan meningkat. Hal ini sesuai dengan teori Ronny (2009) yang mengatakan bahwa saat berolahraga seperti senam lansia
akan merangsang lebih terkoordinasinya kerja saraf
simpatis dan parasimpatis yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah lansia.
6.3 Efek Senam Lansia Terhadap Penurunan Tekanan Darah Arteri Ratarata. Berdasarkan data dari table 5.5 dapat dijelaskan bahwa perbedaan ratarata tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan arteri rata-rata antar kelompok sebelum perlakuan tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan p value > 0,05 (masing –masing 0,628 untuk sistolik, 0,551 untuk diastolik dan 0,831 untuk MAP). Sedangkan setelah 6 minggu, dimana pada kelompok perlakuan diberikan latihan senam lansia sebanyak 3 kali seminggu, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada tekanan darah sitolik, diastolik dan tekanan arteri rata-rata antar kelompok. Berdasarkan hasil uji statistik dengan MannWhitney U test dengan tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) didapatkan bahwa
61
nilai p < 0,05 (0,043 untuk sistolik, 0,0001 untuk diastolik dan 0,0001 untuk MAP).
MAP
pada hari pertama dan setelah minggu ke enam terdapat
penurunan, tetapi tidak bermakna secara statistik ( p < 0,05). Penurunan tekanan darah secara signifikan pada lansia yang diberi senam didukung oleh teori bahwa selama melakukan senam lansia terjadi kontraksi otot skletal (rangka) yang akan menyebakan respons mekanik dan kimiawi. Menurut Ronny (2009), respons mekanik pada saat otot berkontraksi dan berelaksasi menyebabkan kerja katup vena menjadi optimal sehingga darah yang balik ke ventrikel kanan menjadi meningkat. Aliran balik jantung yang meningkat mempengaruhi peningkatan regangan pada ventrikel kiri jantung sehingga curah jantung meningkat sampai mencapai 4-5 kali dibandingkan curah jantung saat istirahat (Latief, 2002). Respons kimiawi akibat senam lansia menghasilkan penurunan pH dan kadar PO2, terakumulasinya asam laktat, adenosin dan K+ oleh metabolisme selama otot aktif berkontraksi (Ronny, 2009). Akumulasi zat metabolik ini menyebabkan pembuluh darah mengalami dilatasi yang akan menurunkan tekanan arteri, namun berlangsung sementara karena adanya respon arterial baroreseptor dengan meningkatkan denyut jantung dan isi sekuncup sehingga tekanan darah meningkat (Latief, 2002). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sukartini dan Nursalam (2009), yang menemukan ada pengaruh senam tera terhadap kestabilan tekanan darah pada lansia yang merupakan salah satu parameter kebugaran lansia (Sukartini dan Nursalam, 2009).
62
6.4. Kelemahan Penelitian a. Jumlah sampel yang kecil dan tempat penelitian hanya terbatas pada satu banjar sehingga menimbulkan tendensi bias dalam menggeneralisasi hasil penelitian. b. Pengukuran tekanan darah pada kedua kelompok subjek penelitian tidak dilakukan secara blind.
63
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 7.1.1
Pelatihan senam lansia menurunkan tekanan darah sistolik pada lansia di Banjar Tuka Dalung secara bermakna (p < 0,05).
7.1.2
Pelatihan senam lansia menurunkan tekanan darah diastolik pada lansia di Banjar Tuka Dalung secara bermakna (p < 0,05).
7.1.3
Pelatihan senam lansia menurunkan tekanan arteri rata-rata pada lansia di Banjar Tuka Dalung secara bermakna (p < 0,05).
7.2 Saran Bagi lansia yang ingin menurunkan tekanan darah secara non farmakologik dapat dapat dibantu dengan melakukan latihan senam lansia, tanpa mengurangi atau menghindari terapi farmakologik yang sudah berjalan. Di Banjar yang lain, senam lansia yang tidak aktif supaya di aktifkan lagi dibawah pengawasan Puskesmas.
64
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Pengertian Hipertensi, Availabe from: http://www.majalah – farmacia.com (Cited 2013 Feb 17) Anonim 2001. Konsep Lansia, Available from: http://www.repository.usu .ac.id/chapter2011. (Cited 2013 Mar 02) Anonim, 2010. Perubahan Pada Tekanan Darah Manusia. Available from : www. wikipedia.co.id/tekanan_darah (Cited, 2013 Sept 12). Bompa T. O. 1999. Programs For Peak Strength in 35 Sports. Periodization, Training for Sports. USA. Human Kinetics Publishing Bondan, P. 2005. Ranah Keperawatan Gerontik,, Availabe from: http://www.inna-ppni.or.id/ index.php, (Cited 2013 Feb 22). Corwin, E. C. 1997. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC. Darmojo, B. 2006. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Lanjut Usia, Edisi 3, Jakarta: Bala Penerbit FKUI. Evelyn, C, P. 2001. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis , Jakarta: EGC. Fildzania, Y. 2011. Tekanan Darah Arteri Rata-Rata. Available from : repository.usu.ac.id/bitstream/23287/chapter52011.pdf. (cited 2013 Nov 30) Ganong, W, F. 2002. Fisiologi Kedokteran Edisi 20, Jakarta: EGC. Guyton. 2001. Fisiologi Manusia Edisi 9, Jakarta: EGC.
65
Hakin, L. 2011. Pengaruh latihan sepeda santai terhadap tekanan darah. Available from http://digilib.unipasby.ac.id/, diakses tanggal 31 Agustus 2013 Hasurungan, S, J, 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Lansia di Kota Depok, Available from: http://www.digilib.ui.ac.id (Cited 2013 Mar 12). Ismayadi. 2004. Proses Menua (Aging Proses), (online), Skripsi. Medan: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera
Utara.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3595/1/kepe rawatan-ismayadi.pdf, diakses 31 Agustus 2013). Latif,
N,
2002.
Sosialisasikan
Senam
Lansia,
Available
from:
http://www.epsikologi.com , (Cited 2013 Mar 16) Menpora. 2008. Senam Lanjut Usia. Jakarta, Kementrian Pendidikan dan Olahraga. Mubarak, W, I, 2005. Buku Ajar Ilmu KeperawatanKomunitas 2, Jakarta: Sagung Seto. Notoatmojo, S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho . 2008 Keperawatan Gerontik dan Geriatrik, Edisi 3, Jakarta: EGC. Nursalam, Haryanto, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Rokhaeni, H., Purnamasari, E. & Rahayoe, A.U. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Jakarta: Bidang Diklat PK.Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Roni S. 2009. Senam Vitalisasi otak meningkatkan kognitif lansia. Jakarta: Salemba Medika
66
Poccock, S.J. 2008. Clinical Trials, A Practical Approach. London; John Willey & Sons Publication. Potter T, Perry S. (1997). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,. Proses, dan Praktik. Edisi 4 Vol 2. Jakarta:EGC.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penelitian Riset Keperawatan. Edisi Pertama Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiawan, Z, 2006. Prevalensi dan Determinan Hipertensi di Pulau Jawa, Tahun 2004. KESMAS : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 1 (2): 57-62. Suhartini.
2009.
Pengertian
Lanjut
Usia,
Available
from
http://www.digilib.unimus.ac.id/download.php. (Cited 2013 April 5). Sukartini, T, Nursalam. 2009. Pengaruh senam tera terhadap kebugaran lansia. J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 3, Des 2009: 153-158, Available from : http://journal.unair.ac.id, diakses tanggal 31 Agustus 2013