BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebagai negara yang beriklim tropis, penularan penyakit oleh parasit menjadi
semakin mudah dan cepat. Hingga saat ini penyakit yang disebabkan oleh parasit masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Salah satunya adalah penyakit toksoplasmosis. Penyakit ini disebabkan oleh parasit T.gondii yang salah satunya dapat ditularkan melalui feses kucing (Moura et al., 2009). Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi di dunia, terutama pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan memelihara kucing dan konsumsi daging mentah/setengah matang (Chahaya, 2003). Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang tersebar hampir di seluruh dunia. Parasit ini pertama kali ditemukan oleh Nicole dan Splendore pada tahun 1908 pada hewan pengerat Ctenodactylus gondii di Afrika. Sejak saat itu, T. gondii ditemukan pada berbagai jenis mamalia dan burung (Soeharsono, 2002). Menurut Hendri (2008) dalam Yaudza (2010), diperkirakan sebagian besar penduduk dunia telah terinfeksi T. gondii. Di Amerika Serikat diperkirakan 60 juta penduduk terinfeksi T. gondii (CDC, 2013). Sedangkan di Asia Tenggara, prevalensi toksoplasmosis baik pada manusia maupun hewan diperkirakan dari 2% hingga 70% (Nissapatorn, 2007). Selain itu, menurut Dharmana (2007), berbagai wilayah di
Indonesia juga telah terinfeksi T. gondii, di antaranya Jakarta (10%), Lembah Lindu (9,9%), Yogyakarta (51%), dan Kalimantan Barat (3%). Menurut Gandahusada (2003) dalam Yaudza (2010), angka kejadian toksoplasmosis di Indonesia ditunjukkan dengan adanya zat anti T. gondii, pada 1
2
manusia sebesar 2-63%, pada kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Di Malaysia, infeksi toksoplasmosis pada hewan peliharaan cukup tinggi, khususnya kambing (35,5%) dan kucing (15,5%) (Chandrawathani et.al., 2008 dalam Indrayanthi, 2014). Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa wanita yang dalam usia subur bila terinfeksi T. gondii dapat menyebabkan aborsi dan gangguan fertilitas. Menurut Ma’ruf dan Soemantri (2003) dalam Yaudza (2010),
dilaporkan bahwa ibu-ibu
hamil yang berumur 20-35 tahun sebanyak 72,3% terinfeksi T. gondii. Penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara oleh Yaudza (2010) menunjukkan bahwa prevalensi toksoplasmosis pada wanita usia subur (WUS) sebesar 69,86%. Begitu pula penelitian yang dilakukan di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung yang ditemukan sebanyak 41,3% ibu hamil menderita toksoplasmosis (Sukaryawati, 2011 dalam Indrayanthi, 2014). Salah satu bahaya yang ditimbulkan jika mengalami infeksi toksoplasma saat kehamilan adalah tertularnya T. gondii pada janin. Risiko tertularnya janin dari ibunya pada trimester pertama adalah 15%, 25% pada trimester kedua dan 65% pada trimester ketiga. Namun dampak yang paling besar yang ditimbulkan oleh infeksi T. gondii adalah pada trimester pertama. Infeksi T. gondii sekitar 75% kasus yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala saat persalinan. Namun, 25-50% bayi yang dilahirkan akan mengalami hidrosefalus, korioretinitis, mikrosefali, mikroptalmia, hepatosplenomegali, kalsifikasi serebral, adepati, konvulsi dan perkembangan mental terganggu (Widjanarko, 2009 dalam Yaudza (2010). Tingginya prevalensi penyakit toksoplasmosis disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan terkait toksoplasmosis. Penelitian yang dilakukan oleh Yaudza (2010) di Jakarta menunjukkan bahwa hanya
3
18,1% WUS (Wanita Usia Subur) yang mengetahui penyakit toksoplasmosis. Angka tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan WUS mengenai toksoplasmosis masih sangat rendah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Prawita (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 75% petugas kesehatan di Kabupaten Badung memiliki tingkat pengetahuan yang masih rendah terkait penyakit toksoplasmosis. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan terkait penyakit toksoplasmosis ini tentunya akan mempengaruhi perilaku tertular penyakit tersebut. Penemuan terkini menyebutkan bahwa telah terdapat infeksi T. gondii pada satwa laut (berang-berang laut), yang menunjukkan bahwa parasit ini telah mengontaminasi air laut yang berasal dari tanah (Dubey, 2008). Menurut Bowie et.al., (1997), salah satu media penularan infeksi toksoplasmosis adalah melalui air minum yang terkontaminasi ookista T. gondii. Di Greater Victoria Canada pada bulan Maret 1995 terjadi outbreaks toksoplasmosisis yang diperkirakan disebabkan oleh air minum yang tercemar. Setelah dilakukan uji parasitologik terhadap sumber air minum ternyata ditemukan ookista T. gondii (Isaac-Renton et al., 1998 dalam Hanafiah et al. (2010). Selain itu, penelitian yang dilakukan di Perancis oleh Villena et al. (2004) menunjukkan bahwa dari 125 sampel air yang digunakan, hanya 10 sampel (8%) yang ditemukan terkontaminasi T. gondii, yaitu pada 3 sampel air permukaan (RSW), 6 sampel air tanah (UW), dan 1 sampel air perpipaan (PDW). Sedangkan di Indonesia, penelitian pencemaran air minum oleh T. gondii belum pernah dilakukan. Prevalensi penyakit ini akan semakin meningkat tergantung dari sanitasi lingkungan dan pola konsumsi masyarakat. Penularan penyakit toksoplasmosis dapat terjadi pada tempat-tempat dengan sanitasi lingkungan yang kurang bersih, seperti dari tanah maupun sampah atau feses kucing yang mengandung ookista T. gondii
4
(Robert-Gangneux & Marie-Laure Dardé, 2012). Penyakit toksoplasmosis dapat pula dideskripsikan
sebagai
penyakit
yang
bersumber
dari
lingkungan
karena
penularannya dapat terjadi karena sanitasi lingkungan yang buruk, kepadatan penduduk yang tinggi, kemiskinan, kebiasaan makan masyarakat, dan perilaku higiene yang buruk (Gyang et.al., 2015; Jones et.al., 2001; Nissapatorn et.al., 2003). Pasar tradisional merupakan salah satu tempat untuk melaksanakan kegiatan jual beli daging. Tempat ini dapat menjadi salah satu sumber penularan infeksi T. gondii, baik pada daging yang dijual maupun pada penjual daging tersebut karena jenis pekerjaan yang berhubungan dengan daging mentah merupakan pekerjaan yang berisiko untuk terinfeksi T. gondii. Penelitian yang dilakukan oleh Wiyarno (2013) menunjukkan bahwa prevalensi toksoplamosis pada penjual daging kambing di pasar tradisional Surabaya sebesar 85%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penjual daging di pasar tradisional telah terinfeksi T. gondii. Kabupaten Karangasem merupakan salah satu wilayah di Provinsi Bali yang belum memiliki data prevalensi penyakit toksoplasmosis di masyarakat. Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di Kabupaten Karangasem terkait penyakit toksoplasmosis. Selain itu, belum juga dilakukan penelitian terhadap sumber air yang digunakan penjual daging pasar tradisional di Karangasem. Sumber air tersebut digunakan untuk mencuci tangan, daging, dan peralatan berdagang. Jumlah pasar tradisional di Kabupaten Karangasem sebanyak 16 pasar yang tersebar di 7 kecamatan di Kabupaten Karangasem. Untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti keberadaan T. gondii pada air cucian daging, air cuci tangan, dan sumber air bersih serta perilaku berisiko terinfeksi T.gondii pada pedagang daging pasar tradisional di Karangasem.
5
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana perilaku berisiko terinfeksi T.gondii pada pedagang daging dan deteksi T.gondii pada air yang digunakan pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem?
1.3
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah perilaku berisiko terinfeksi T. gondii terkait praktik higiene dan sanitasi pada pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem? 2. Bagaimanakah keberadaan T. gondii pada air cucian daging, air cuci tangan, dan sumber air bersih pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem?
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku berisiko
terinfeksi T.gondii pada pedagang daging dan deteksi T.gondii pada air yang digunakan pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem. 1.4.2
Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui perilaku berisiko terinfeksi T. gondii gondii terkait praktik higiene dan sanitasi pada pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem. 2. Untuk mengetahui keberadaan T. gondii pada air cucian daging, air cuci tangan, dan sumber air bersih pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem.
6
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan masukan bagi keilmuan
epidemiologi, khususnya mengenai epidemiologi T. gondii pada sumber air serta perilaku berisiko terinfeksi T. gondii pada pedagang daging di pasar tradisional Karangasem. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan T. gondii. 1.5.2
Manfaat praktis Memberikan informasi kepada semua pihak mengenai epidemiologi T. gondii
pada sumber air serta perilaku berisiko tertular penyakit toksoplasmosis pada pedagang daging di pasar tradisional Karangasem. Sedangkan dari aspek kesehatan masyarakat, dapat dilakukan upaya pencegahan infeksi T. gondii secara cepat dan tepat sesuai dengan kondisi di masyarakat. Selain itu, dapat pula memberikan masukan kepada pemerintah dan institusi kesehatan terkait pengadaan program pencegahan dan penanggulangan penyakit toksoplasmosis sehingga mampu membantu menekan prevalensi toksoplasmosis di masyarakat.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang epidemiologi, khususnya
epidemiologi penyakit infeksi yang menganalisis perilaku berisiko terinfeksi T.gondii pada pedagang daging dan deteksi T.gondii pada air yang digunakan pedagang daging di pasar tradisional Kabupaten Karangasem.