1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara komersial di negara-negara tropis. Tercatat berbagai spesies cabai yang telah didomestikasi, namun hanya Capsicum annuum L. dan C. frutescens L. yang memiliki potensi ekonomis (Sulandari, 2004). Cabai yang dibudidayakan secara luas di Indonesia juga termasuk kedua spesies ini. Cabai besar dan cabai keriting, misalnya, termasuk spesies C. annuum sedangkan cabai rawit termasuk C. frutescens. Penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu faktor pembatas penting dalam budidaya cabai. Beberapa macam virus telah dilaporkan dapat menyerang berbagai kultivar cabai di Indonesia (Duriat et al., 1995; Suryaningsih dkk., 1996), empat virus penting di antaranya yaitu cucumber mosaic virus (CMV), chilli veinal mottle virus (ChiVMV), potato virus Y (PVY) dan tobaco mosaic virus (TMV) dapat menginduksi gejala mosaik (Nurdin, 1998), tiga di antaranya ditemukan berasosiasi dengan penyakit mosaik yaitu TMV, CMV dan ChiVMV. Penyakit mosaik menjadi penting karena kerugian yang ditimbulkannya cukup besar. Penurunan hasil panen akibat penyakit mosaik pada tujuh kultivar cabai berkisar mulai dari 32 sampai 75% (Sulyo, 1984). Bahkan hasil penelitian Sari dkk. (1997) menunjukkan bahwa serangan virus penyebab penyakit mosaik
1
2
dapat menurunkan jumlah dan bobot buah per tanaman berturut-turut sebesar 81,4 dan 82,3%. Penurunan produksi juga semakin tinggi karena virus penyebab penyakit mosaik ini dapat dengan cepat tersebar ke pertanaman di sekitar sumber virus sesuai dengan aktivitas kutudaun (aphids) yang berfungsi sebagai vektornya. Sampai saat ini beberapa usaha yang dilakukan untuk pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai belum memberikan hasil seperti yang diharapkan (Gallitelli, 1998; Suryaningsih dkk. 1996). Sampai sekarang tindakan pengendalian yang dilakukan masih kurang memberikan hasil yang memadai karena beberapa alasan, tanaman cabai yang terlanjur terinfeksi tidak dapat disembuhkan karena belum ada bahan kimia yang yang mampu membasmi virus, hampir semua varietas cabai yang dibudidayakan di Indonesia rentan terhadap infeksi virus ( Duriat, 1997; Sulandari, 2004; Taufik, 2005); sumber inokulum virus di lapang selalu tersedia karena pola penanaman cabai yang umumnya tidak serempak; serangga vektor selalu pada tingkat populasi yang efektif menularkan virus, sehingga kedua faktor terakhir ini memberikan tekanan infeksi yang sangat berat pada tanaman cabai muda yang baru dipindahtumbuhkan ( transplanting ). Sifat-sifat bioekologi dari ketiga virus ini (TMV, CMV, dan ChiVMV) sudah banyak dipelajari (Palukaitis et al. 1992; Laemmlen, 2004; Taufik, 2005). Berdasarkan peta bioekologi ini beberapa desain tindakan pengendalian mungkin dapat disusun. TMV misalnya, dapat terbawa benih cabai namun tidak dapat ditularkan oleh serangga, sehingga penggunaan benih cabai bebas virus bisa digunakan sebagai alternatif pengendalian. Teknologi dry heat treatment
3
(perlakuan panas) terhadap benih cabai mampu menghilangkan sumber inokulum primer di lapangan. CMV dan ChiVMV ditularkan oleh kutudaun, maka untuk menghindarkan tanaman cabai dari infestasi kutudaun yang membawa virus (viruliferous) perlu dicegah agar tidak terjadi infeksi. Dua pendekatan yang mungkin dapat dilakukan agar kutudaun infektif tidak mendatangi pertanaman cabai yaitu dengan pemasangan mulsa yang bersifat menolak (repellent) kedatangan kutudaun dan menggunakan tanaman penghalang. Di samping itu, pemanfaatan RNA satellite ( Satellite RNA/SatRNA) sebagai agen proteksi silang juga mungkin menjadi salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai. Beberapa penelitian pengendalian penyakit mosaik sudah dilakukan berdasarkan bioekologi virusnya di antaranya dengan perlakuan panas dan pemanfaatan strain virus lemah. Hasil penelitian Nyana, 2008 pada benih cabai dengan perlakuan dry heat pada suhu 70°C selama 72 jam dapat menginaktifkan TMV, dan meningkatkan daya kecambahnya. Hasil Penelitian Siadi, 2006 (belum dipublikasikan) pada tanaman cabai dengan perlakuan penggunaan strain lemah CMV-T1 dan CMV-T2 sebagai vaksin menunjukkan bahwa penggunaan vaksin CMV-T2 dapat meningkatkan hasil sebesar 57.68% dan 50.48% berturut-turut dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan perlakuan attenuated-CMV -T1. Kemungkinan penelitian untuk menghindarkan tanaman cabai dari infestasi vektor belum ada dilaporkan. Pada kondisi udara tenang, kutudaun (vektor virus mosaik) akan lebih banyak terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman.
4
Kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan warna yang disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutudaun. Dari spesies-spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya menghindari pantulan cahaya perak (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari cahaya perak ini memberi peluang kepada kita untuk menggunakan mulsa plastik perak sebagai pemantul cahaya yang bersifat repellent terhadap kutudaun. Penularan virus dilakukan secara non persisten dan cara penularan ini bisa menjadi celah untuk menghindari penularan virus ke tanaman utama dengan menggunakan suatu tanaman berukuran lebih tinggi sebagai tanaman penghalang. Oleh karena itu, cara pengendalian yang perlu dilakukan dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencegah kontak antara kutudaun infektif membawa virus (viruliferous) dengan tanaman cabai yang dibudidayakan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan mulsa plastik hitam perak dan tanaman penghalang. 1.2
Rumusan Masalah Beberapa masalah yang perlu dirumuskan dalam melaksanakan penelitian
ini antara lain : 1. Apakah tanaman penghalang mampu menurukan persentase gejala mosaik pada pertanaman cabai. 2. Apakah mulsa plastik hitam perak mampu menurukan persentase gejala mosaik pada pertanaman cabai.
5
1.3 Tujuan Penelitian Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Penggunaan tanaman penghalang mampu menurukan persentase gejala mosaik pada pertanaman cabai.
2.
Penggunaan mulsa plastik hitam perak mampu menurukan persentase gejala mosaik pada pertanaman cabai.
1.4
Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh luaran seperti: 1. Secara akademis, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang Virologi Tumbuhan, yang dapat digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan atau referensi untuk mengembangkan teknik pengendalian penyakit mosaik.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self – pollinated crop). Namun demikian, persilangan antar varietas secara alami sangat mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono,2003), sehingga bisa juga terjadi penyerbukan silang. Beberapa sifat tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya (Prajnanta,1999). Bunga pada tanaman cabai terdapat pada ruas batang dan jumlahnya bervariasi antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada spesiesnya. C. annuum mempunyai satu bunga tiap ruas. Sedangkan cabai rawit (C. frutescens) mempunyai 1-3 bunga tiap ruas. Ukuran ruas tanaman cabai bervariasi dari pendek sampai panjang. Makin banyak ruas makin banyak jumlah bunganya, dan diharapkan semakin banyak pula produksi buahnya. Buah cabai bervariasi antara lain dalam bentuk, ukuran, warna, tebal kulit, jumlah rongga, permukaan kulit dan tingkat kepedasannya. Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai besar dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu : cabai merah, cabai keriting dan cabai paprika (Prajnanta,1999).
Karakteristik
agronomi cabai merah (besar)
buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal, berumur genjah, kurang tahan simpan dan tidak begitu pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Timur,
6
7
Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi. Sedangkan cabai merah keriting buahnya bergelombang atau keriting, ramping, kulit buah tipis, berumur lebih lama, lebih tahan simpan, dan rasanya pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Barat dan Sumatera. Cabai paprika buahnya berbentuk segi empat panjang
dan biasa
dipanen saat matang hijau (Nawangsih dkk., 1999; Semangun,2000). Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70 –75 hari setelah tanam. Sedangkan waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3 – 4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Nawangsih dkk., 1999). Cabai rawit juga memiliki banyak varietas, di antaranya adalah cabai mini, cabai cengek/ceplik (rawit putih), cabai cengis (rawit hijau) dan lombok japlak. Tinggi tanaman cabai rawit umumnya dapat mencapai 150 cm. Daunnya lebih pendek dan menyempit. Posisi bunga tegak dengan mahkota bunga berwarna kuning kehijauan. Panjang buahnya dari tangkai hingga ujung buah hanya mencapai 3,7 – 5,3 cm. Bentuk buahnya kecil dengan warna biji umumnya kuning kecoklatan (Setiadi,1997). Pemanenan pertama cabai rawit dapat dilakukan setelah tanaman berumur 4 bulan dengan selang waktu satu sampai dua minggu sekali. Tanaman cabai rawit dapat hidup sampai 2 – 3 tahun, berbeda dengan cabai merah yang lebih genjah (Nawangsih dkk., 1999; Cahyono,2003). Tanaman cabai akan tumbuh baik pada lahan dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik, tekstur ringan sampai sedang, pH tanah
8
berkisar antara 5.5 – 6.8, drainase baik dan cukup tersedia unsur hara bagi pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 18 – 30oC (Cahyono, 2003). Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0–1200 m di atas permukaan laut. Pada dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600–1250 mm dengan bulan kering 3–8,5 bulan dan pada tingkat penyinaran matahari lebih dari 45 % (Suwandi dkk., 1997). 2.2
Penyakit Virus pada Tanaman Cabai Terjadinya
infeksi
virus pada tanaman cabai dapat menurunkan
pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Syamsidi et al., 1997). Tanaman cabai yang terinfeksi virus menunjukkan gejala mosaik; klorosis, keriting, nekrotik, dan kerdil. Gejala mosaik yang terjadi, dapat disebabkan oleh beberapa virus yang menyerang tanaman cabai secara bersamasama (sinergi). Penyakit virus mosaik pada tanaman cabai umumnya disebabkan oleh gabungan beberapa patogen virus, yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus), PVY (Potato Virus Y), TMV (Tobacco Mosaic Virus). Beberapa virus yang umum menyerang tanaman cabai yaitu : virus CMV (Cucumber mosaic virus), TMV (Tobacco mosaic virus ), TEV (Tobacco etch virus), PVY (Potato virus Y), ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) dan TYLCV (Tomato yellow leaf curl virus) (Semangun, 1994; dan Pracaya, 1994). Virus yang menginfeksi tanaman cabai juga menginfeksi tanaman spesies lain. Lebih dari 1800 spesies tanaman dilaporkan dapat terserang virus yang sama
9
dengan virus yang menyerang tanaman cabai. Untuk mengendalikan virus yang menyerang tanaman, hal yang sangat penting dilakukan adalah mendiagnosis virus yang menyerang tanaman tersebut. Dengan hasil diagnosis tersebut, dapat digunakan sebagai panduan untuk pemberantasan (eradikasi) beberapa sumber virus yang potensial, sehingga tanaman cabai maupun tanaman dari spesies lain terhindar dari infeksi virus yang menyerang tanaman cabai (Edwarson dan Christie, 1997). Tanaman cabai seringkali terserang virus dengan menunjukkan gejala mosaik, sehingga dapat menurunkan produksi buah cabai. Penyakit virus tersebut pada umumnya tersebar karena adanya vektor misalnya, Myzus persicae (aphids), Bemisia tabaci (lalat putih), Thrips tabaci (Pracaya, 1994). TMV merupakan virus yang diketahui dapat ditularkan melalui benih (seed transmission).
2.2.1 CMV (Cucumber Mosaic Virus) CMV termasuk dalam kelompok Cucumovirus, bersama-sama dengan Peanut stunt virus (PStV) dan Cabaio aspermy virus (CAV) (Palukaitis et al., 1997). CMV mempunyai tiga RNA genom beruntai tunggal (RNA 1, 2, 3), satu RNA subgenom (RNA 4). Masing-masing RNA ini mempunyai fungsi genomik yang berbeda (Kaper dan Waterwoth 2001). Virus ini mempunyai kisaran inang terluas di antara virus tanaman yang diketahui saat ini, dilaporkan dapat menginfeksi lebih dari 800 spesies tumbuhan, dapat menyebabkan kerugian besar pada berbagai jenis tanaman (Palukaitis et al., 1997). Lebih dari 60 isolat CMV sudah diketahui sifat-sifatnya (Kaper dan Waterwoth 2001). Berdasarkan
10
beberapa kriteria, isolat CMV dibagi menjadi subgroup I dan II. Wang et al., (1998) membaginya berdasarkan bobot RNA 1 dan RNA 2, Edward dan Gonsalves (1999) berdasarkan peptide mapping dari protein mantel (coat protein), dan Piazolla et al. (2000) dengan menggunakan hibridisasi RNA. cDNA probe yang dikembangkan oleh Owen dan Palukaitis (1998), Wahyuni dan Francki, (1996) juga berhasil membedakan isolat CMV subgroup I dari isolat subgroup II. CMV terdapat hampir di semua negara dengan strain dan sifat biologinya yang berbeda-beda. Dengan kisaran inang yang luas maka gejala yang ditimbulkannya pun beragam (Siregar, 1993). CMV mempunyai kisaran inang yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran, hias dan buah-buahan. Selain menyerang
mentimun, CMV juga menyerang tanaman melon, labu, cabai,
bayam, tomat, seledri, bit, polong-polongan, pisang, tanaman famili crucifereae, delphinium, gladiol, lili, petunia, tulip, zinia, dan beberapa jenis gulma (Agrios, 2005). CMV membutuhkan 3 buah RNA untai tunggal fungsional (RNA 1,2, dan 3) untuk dapat menginfeksi. Subgenom RNA ke-4 (RNA4) adalah kurir lapisan protein subgenomik, komponen RNA ke-5 (CARNA 5) merupakan molekul RNA berukuran kecil yang sepenuhnya bergantung pada virus penolong untuk replikasinya tetapi tidak mendukung virus penolong dengan fungsi esensial apapun (Gallitelli, 1998). Ketergantungan satRNA pada virus penolongnya dan ketergantungan CMV pada suatu inang yang menyediakan komponen dan proses enzimatik yang diperlukan untuk replikasinya, merupakan suatu contoh yang baik dari parasitisme
11
tingkat molekuler. Serangan CMV pada cabai dapat menyebabkan berbagai perubahan
pada
daun
seperti
perubahan
warna
belang/mottle); perubahan bentuk (menggulung,
(mosaik/mosaic
atau
deformasi, menyempit,
mengkerut atau berubah seperti tali sepatu/shoestring, berukuran lebih kecil); dan mengalami nekrosis (membentuk cincin-cincin nekrotik). Gejala pada batang adalah batang mengalami stunt (kerdil). Sedangkan pada buah adalah buah akan mengalami distorsi, diskolorasi, deformasi, sunken areas, black spot, bercak dan cincin-cincin nekrotik, serta buah bengkok. Pada tanaman cabai, CMV dapat menyebabkan gejala mosaik yang parah pada daun. Pada daun yang lebih tua akan tampak gejala nekrotik cincin, buah akan mengalami malformasi, serta terdapat bercak atau cincin berwarna kuning di tengah, pada buah dari tanaman yang terserang CMV (Gallitelli, 1998). Adanya variasi gejala yang ditimbulkan CMV akan sangat sulit untuk mengidentifikasinya hanya berdasarkan gejalanya saja. Selain itu, juga sulit untuk membedakan isolat CMV dari Cucumovirus lainnya (seperti; Alfalfa mosaic virus, Tomato aspermy virus, dan Peanut stunt virus). CMV melakukan infeksi secara sistemik pada banyak tanaman. Organ atau jaringan tanaman lebih tua yang berkembang sebelum terinfeksi virus biasanya tidak dipengaruhi oleh keberadaan virus, namun jaringan atau sel-sel muda yang berkembang setelah terinfeksi virus sangat dipengaruhi dan umumnya memperlihatkan gejala akut. Gejala virus akan meningkat beberapa hari setelah terjadinya infeksi, kemudian menurun sampai pada taraf tertentu atau sampai tanaman mati. CMV relatif kurang stabil dalam ekstrak tanaman (sap). Pada suhu ruang infektivitasnya cepat menurun dan akan
12
hilang setelah beberapa jam. Pada perlakuan suhu 70oC atau lebih infektivitasnya akan hilang sama sekali setelah pemanasan selama 10 menit (Agrios, 2005). Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid, khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara non-persisten. Virus ini bisa ditularkan hanya dalam waktu 5-10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan menurun kirakira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutudaun tertentu tapi tetap dapat ditularkan oleh spesies kutudaun yang lain. Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah subtropis CMV dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma-gulma tahunan (Agrios, 2005).
2.2.2 ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) ChiVMV (Chilli veinal mottle virus ) merupakan salah satu virus yang menginduksi gejala mosaik, yang dapat menginfeksi tanaman cabai, sehingga menjadi kendala dalam produksi cabai Indonesia. Survei yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2005 melaporkan kejadian penyakit ChiVMV di lapangan mencapai 100% (Opriana, 2009). Pengendalian secara konvensional terhadap ChiVMV seringkali tidak efisien. Survei juga telah dilakukan di Bali menunjukkan bahwa ChiVMV telah menyebar di seluruh kabupaten di Bali (hasil pengamatan Nyana,dkk 2010 data tidak diperlihatkan). Karakteristik gejala dari virus ChiVMV ini adalah daun belang dan berwarna hijau gelap. Gejala yang
13
paling keras akan tampak pada daun yang paling muda, tanaman yang terinfeksi pertumbuhannya akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Sebagaian besar terjadi pada bunga sebelum pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan (Opriana, 2009). ChiVMV ditularkan oleh beberapa jenis kutudaun seperti: Myzus persicae, Aphis gossypii, A craccivora, A spiraecola, dan Hysteroneura setariae. Penularan virus ini melalui kutudaun dilakukan secara non persisten, dimana aphids mendapat virus dengan mengisap tanaman yang terinfeksi hanya dengan waktu beberapa detik, kemudian aphids akan menularkan virus dengan cepat pada tanaman
sehat, setelah itu dia akan kehilangan virus dan tidak mampu lagi
menularkan virus pada tanaman yang lain (Millah, 2007). 2.2.3 TMV (Tobacco Mosaic Virus) TMV merupakan virus yang menyerang tanaman dan pertama kali ditemukan pada tanaman pada tahun 1880. TMV dapat menginfeksi lebih dari 350 spesies tanaman dan menyebabkan kerugian yang besar pada tembakau. TMV dapat memperbanyak diri jika berada pada sel hidup, tapi virus ini dapat tetap bertahan hidup pada fase dorman dan jaringan tanaman yang mati selama bertahun-tahun maupun di luar tanaman baik itu di dalam tanah, di permukaan tanah maupun pada peralatan yang telah terkontaminasi virus ini. TMV menyebar secara mekanis dan serangga seperti aphids tidak dapat menjadi vektor bagi virus ini (Garry, 2002).
14
Tanaman yang terserang TMV menunjukkan gejala, yaitu daun-daun muda berubah menjadi warna belang kuning hijau, keriting serta berkerut, tanaman kerdil, buah belang dan berwarna kuning. Gejala lain yang terlihat adalah munculnya garis nekrosis pada daun cabai yang menyebabkan terjadinya gugur daun (Widodo dan Wiyono, 1995). Virus ini dapat ditularkan secara mekanis melalui cairan perasan tanaman sakit, gesekan antar daun yang sakit dan daun sehat, melalui biji dan melalui tanah. Usaha pengendalian yang dapat dilakukan terhadap TMV adalah dengan menghindari bekas tanah yang telah terinfeksi sebelumnya untuk areal pembibitan cabai. Selain itu, agar steril tangan pekerja harus dicuci dahulu dengan alkohol pada waktu perempelan daun, bunga dan pemindahan bibit ke kebun produksi (Nawangsih et. al., 1999). Teknologi dry heat treatment dengan suhu 70º selama 48 jam mampu untuk menghilangkan kontiminasi TMV pada benih cabai, tanpa merusak daya kecambahnya (Nyana et.al., 2008). 2.3 Tanaman Penghalang (Barier) CMV mempunyai lebih dari 800 spesies tanaman inang termasuk beberapa gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman inang utama (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995). Banyaknya jenis tanaman inang akan memudahkan virus ini untuk bertahan pada saat tanaman inang utama tidak ada di lapangan. Virus ini juga dengan mudah dapat ditularkan oleh berbagai spesies kutudaun termasuk di antaranya Aphis glycines, A. craccivora dan Myzus persicae yang banyak mengkoloni tanaman cabai (Palukaitis et.al., 1992; Ong, 1995). Penularan dilakukan secara non-persisten yaitu kutudaun dapat langsung menularkan virus
15
ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman sakit sumber virus. Namum demikian, kutudaun akan hilang kemampuannya untuk menularkan virus setelah makan inokulasi pada tanaman sehat. Kutudaun infektif (membawa virus) yang mendatangi pertanaman cabai akan segera menularkan virus pada tanaman baru yang dihinggapinya, sehingga walaupun kutudaun tersebut mungkin mati akibat pestisida yang diaplikasikan namun tanaman sudah terlanjur tertular virus. Cara penularan non-persisten ini menjadi penyebab kegagalan pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai melalui pemberantasan kutudaun dengan insektisida. Pola penularan virus non-persisten yang tidak mempunyai masa retensi, yaitu kemampuan penularan kutudaun akan hilang segera setelah vektor probing pada tanaman yang dihinggapi (Matthews, 1992), dapat menjadi celah untuk menghindari penularan ke tanaman utama dengan menggunakan suatu tanaman berukuran lebih tinggi sebagai tanaman penghalang. Kutudaun yang baru hinggap pada suatu pertanaman, akan melakukan probing yaitu mencucukkan styletnya ke dalam jaringan tanaman untuk mencari tahu apakah tanaman yang dihinggapinya itu merupakan inangnya atau bukan. Bila tanaman tersebut mengandung komponen yang sesuai bagi kebutuhan hidupnya maka dia akan menetap pada tanaman tersebut dan mengkoloninya. Namun kalau tanaman tersebut tidak sesuai dengan kebutuhannya maka ia akan meninggalkannya dan terbang ke tempat lain sampai inang ditemukan. Bagi kutudaun yang membawa virus, maka kemampuan untuk menularkan akan hilang setelah melakukan probing (Hull, 2002). Peristiwa ini dapat digunakan untuk melindungi tanaman cabai yang berukuran lebih
16
pendek dengan mengitarinya dengan tanaman yang lebih tinggi, misalnya jagung. Kutudaun bersayap yang membawa virus, bila datang ke pertanaman cabai cenderung hinggap terlebih dahulu pada tanaman yang lebih tinggi (jagung yang mengitari tanaman cabai), lalu melakukan probing sehingga virus yang dibawanya habis tercuci, dan apabila kemudian kutudaun pidah ke tanaman cabai tidak akan menularkan virus. 2.4 Mulsa Mulsa dapat didefinisikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk menutup sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan mikro tanah yang ditutupi tersebut. Penggunaan mulsa plastik sudah menjadi standar umum dalam produksi cabai, baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penggunaan mulsa plastik, terutama mulsa plastik hitam perak, dalam produksi sayuran yang bernilai ekonomis tinggi seperti cabai, tomat, terong, semangka, melon dan mentimun, semakin hari semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan permintaan konsumen terhadap produk sayuran tersebut. Meskipun penggunaan mulsa plastik ini memerlukan biaya tambahan, tetapi nilai ekonomis dari hasil tanaman mampu menutupi biaya awal yang dikeluarkan (Lamont 1993). Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sayuran terutama ditentukan melalui pengaruhnya terhadap keseimbangan cahaya yang menerpa permukaan plastik yang digunakan. Secara umum sebagian cahaya matahari yang menerpa permukaan plastik akan dipantulan kembali ke udara, dalam jumlah yang kecil diserap oleh mulsa plastik, dan diteruskan mencapai
17
pemukaan tanah yang ditutupi mulsa plastik. Kemampuan mulsa plastik dalam memantulkan, menyerap dan melewatkan cahaya tersebut ditentukan oleh warna dan ketebalan mulsa plastik tersebut (Decouteau et al., 1988, 1989 ; Lamont, 1993). Cahaya yang dipantulkan permukaan mulsa plastik ke amosfir akan mempengaruhi bagian atas tanaman, sedangkan cahaya yang diteruskan ke bawah permukaan mulsa plastik akan mempengaruhi kondisi fisik, biologis dan kimiawi rizosfir yang ditutupi. Cahaya matahari yang diteruskan melewati permukaan mulsa terjebak di permukaan tanah yang ditutupinya dan membentuk efek rumah kaca dalam skala yang kecil (Tanner, 1974 ; Mahrer, 1979). Panas yang terjebak ini akan meningkatkan suhu permukaan tanah, memodifikasi keseimbangan air tanah, karbondioksida tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Secara umum, peningkatan suhu permukaan tanah mungkin bukan merupakan yang menguntungkan bagi sayuran yang ditanam di daerah tropis, tetapi hal ini sangat menguntungkan bagi tanaman yang ditanam di daerah yang dingin dan beriklim sub-tropis. Namun demikian di daerah tropis, pengaruh mulsa plastik terhadap aktifitas mikroorganisme (sebagai akibat peningkatan suhu rizosfir) sangat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melalui peningkatan konsentrasi karbon dioksida di zona pertanaman (Fahrurrozi et al., 2001) dan suplai beberapa hara makro (Hill et al., 1982). Efektifitas penggunaan mulsa plastik di daerah tropis juga diperoleh dari kemampuan fisik mulsa
plastik
melindungi
tanah
dari
terpaan
langsung
butir
hujan,
mempertahankan kegemburan tanah-tanah di bawahnya, mencegah pencucian
18
hara, mencegah percikan butir tanah ke tanaman, mencegah penguapan air tanah, dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil respirasi aktivitas mikroorganisme. Mulsa plastik yang berwarna perak memiliki kemampuan memantulkan sekitar 33 persen cahaya matahari yang menerpa permukaannya (Fahrurrozi dan Stewart, 1994), tergantung jumlah zat pewarna yang digunakan dan ketebalan mulsa. Pantulan cahaya ini mampu mengurangi efek pemanasan rizosfir di bawah permukaan plastik, dan juga merupakan rentang cahaya yang disukai oleh serangga, sehingga serangga akan mengikuti arah pantulan dan meninggalkan pertanaman, akibatnya populasi serangga, misalkan aphids dan thrips, dapat berkurang di areal pertanaman yang diusahakan. Kemampuan menekan populasi serangga ini dan mencegah terjadinya pemanasan berlebihan merupakan salah satu alasan mengapa plastik bewarna perak digunakan dalam produksi tanaman sayuran. Fungsi lain dari mulsa hitam perak adalah agar pemanfaatan sinar matahari tidak hanya secara langsung terkena tanaman cabai, sehingga proses fotosintetsis dapat berlasung pada kedua sisi daun. Keuntungan lain dari adanya warna perak itu adalah sinar yang dipantulkan oleh mulsa dapat mengurangi perkembangan hama aphids dan tungau yang selalu bersarang pada tanaman cabai serta secara tidak langsung dapat menekan serangan penyakit virus (Fahrurrozi et al., 2001). Pada kondisi udara tenang, telah diketahui bahwa kutudaun akan lebih banyak terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman. Telah diketahui pula bahwa kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan
19
warna yang disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutudaun. Dari spesies-spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya menghindari pantulan cahaya perak (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari cahaya perak ini memberi peluang kepada kita untuk menggunakan mulsa plastik hitam perak sebagai pemantul cahaya yang bersifat repellent terhadap kutudaun.
20
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian Tingkat produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah, dengan rata-rata hasil 6,35 ton/ha, apabila dibandingkan dengan potensi produksi cabai yang dapat mencapai 10 ton/ha. Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi cabai diakibatkan oleh penyakit mosaik. Kerugian atau penurunan hasil akibat adanya serangan dari virus mosaik ini berkisar antara 32% sampai dengan 75%. Virus yang berasosiasi dengan mosaik di antaranya CMV, TMV dan ChiVMV. Masingmasing virus memiliki karakter tertentu, dimana TMV yang ditularkan melalui benih dapat dikendalikan dengan DHT (dry heat treatment), untuk CMV dan ChiVMV pemanfaatan RNA satelit (Satellite RNA/SatRNA) atau CMV avirulen sebagai agen proteksi silang juga menjadi salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai. CMV dan ChiVMV diketahui sangat mudah ditularkan oleh kutudaun, maka menghindarkan tanaman cabai dari infestasi kutudaun yang membawa virus (viruliferous) dapat dilakukan dengan pemasangan mulsa yang bersifat menolak (repellent) kedatangan kutudaun, dan penanaman tanaman penghalang diharapkan agar kutudaun infektif tidak sampai membawa virus ke pertanaman cabai. Desain pengendalian dalam penelitian ini berdasarkan sifat dan prilaku kutudaun sebagai vektor yang menginduksi gejala mosaik pada tanaman cabai. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna menentukan penyebab gejala mosaik dilakukan melalui uji ELISA. Penelitian ini dilakukan pada lahan yang memiliki
20
21
sumber inokulum penyakit mosaik yang cukup tinggi, sehingga hasilnya akan mendekati kondisi pertanaman cabai yang dimiliki oleh petani. Secara skematis kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Produksi cabai rendah
Faktor Pembatas Penyakit mosaik berasosiasi dengan TMV, CMV dan ChiVMV
Pengendalian
1.CMV avirulent 2. Dry Heat 3. Pencegah vektor (mulsa plastik dan tanaman penghalang
Uji Lapang
Gambar 3.1 Kerangka berpikir dan konsep penelitian 3.2 Hipotesis Beberapa hipotesis yang diajukan dan akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan tanaman penghalang mampu menurunkan persentase gejala mosaik pada pertanaman cabai. 2. Penggunaan mulsa plastik hitam perak mampu menurunkan persentase gejala mosaik pada pertanaman cabai.
22
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Udayana Jalan Pulau Moyo Kecamatan Denpasar Selatan pada ketinggian tempat enam (6) meter di atas permukaan laut. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Maret 2010 – Oktober 2010. 4.2 Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai rawit lokal yang sudah diberi perlakuan dry heat, benih jagung, mulsa plastik hitam perak, sekam, bambu, pupuk kandang dan pupuk NPK, Reagen untuk ELISA, Antiserum CMV, TMV, dan ChiVMV. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tray, gunting, cangkul, sabit, cawan Petri, pinset, kertas merang, timbangan, meteran, penggaris, selang, dan ember.
4.3 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (Latin Square) dibagi menjadi 3 kelompok dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan dalam masing-masing petak atau perlakuan. Perlakuan terdiri dari : penanaman cabai menggunakan
tanaman
penghalang
(Barier),
penanaman
cabai
dengan
menggunakan mulsa (Mulsa) dan tanpa tanaman penghalang dan mulsa (Kontrol). Jarak tanam yang digunakan 50 cm x 100 cm , dengan jumlah tanaman per petak 22
23
22 tanaman, sehingga jumlah tanaman seluruhnya adalah 198 tanaman. Tata letak petak percobaan diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan bujur sangkar latin. Penempatan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Barier
Mulsa
Kontrol
I
Mulsa
Kontrol
Barier
II
Kontrol
Barier
Mulsa
III
Keterangan : I, II, III = Kelompok Ukuran petak : 200 X 600 cm Jarak tanam : 50 X 100 cm
U
S Gambar 4.1 Denah Penempatan Percobaan di Lapangan 4.4 Pelaksanaan Penelitian 4.4.1 Pembenihan Pembuatan benih cabai rawit dilakukan dengan penyeleksian benih yaitu dengan cara merendam biji cabai rawit dalam air. Biji yang baik akan tenggelam sedangkan biji-biji yang keriput akan mengambang dan yang mengambang dibuang. Sebelum disemai, benih cabai rawit diperam dengan cara meletakkan benih di atas kertas merang lembab kemudian di tempatkan di germinator selama dua hari. Pemeraman ini bertujuan untuk mendapatkan benih-benih yang perkecambahannya seragam sebelum ditanam dalam persemaian.
24
4.4.2 Penanaman Benih di Pesemaian Selama pemeraman benih dilakukan penyiapan media pesemaian, berupa tanah yang sudah diayak halus dan ditempatkan pada tray. Tray dengan 128 lubang yang sudah berisi media ditanami benih-benih yang sudah berkecambah dalam pemeraman sebanyak 2-3 biji per lubang. Setelah penanaman selesai, ditaburi sekam padi untuk mengamankan benih dari gangguan fisik pada saat penyiraman. Benih yang sudah ditanam dipelihara secara intensif. Pemeliharaan tersebut meliputi penyiraman, penyiangan, penyulaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit. Pemeliharaan benih di pesemaian sejak semai sampai siap pindah ke lapangan memerlukan waktu kurang lebih 32 hari. Pemeliharaan benih dilakukan di rumah kaca yang kedap serangga. 4.4.3 Persiapan Lahan dan Penanaman Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 600 cm dan lebar sekitar 200 cm. Setiap lubang tanam diisi dengan pupuk kandang dengan dosis 5 kg dan pupuk NPK sebanyak 20 g per lubang sebagai pupuk dasar. Untuk perlakuan mulsa, guludan ditutup dengan mulsa plastik yang berwarna hitam perak dan dibuatkan lubang berdiameter 10 cm dengan jarak 50 cm x 100 cm sesuai dengan jarak tanam. Demikian juga untuk perlakuan tanaman penghalang dan kontrol, dilakukan pengolahan tanah yang sama.Petak-petak perlakuan dibuat sedemikian rupa sehingga masing-masing memiliki 3 guludan. Tata letak petak percobaan diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan acak latin.
25
Bibit cabai ditanam pada lubang-lubang yang sudah ditentukan sesuai dengan jarak tanamnya, dan dilakukan pemeliharaan tanaman yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Untuk perlakuan barier, tiga minggu sebelum bibit cabai ditanam, di sekeliling petak perlakuan ditanami dua baris tanaman jagung dengan jarak tanam rapat (20 cm) sebagai barier. Penanaman jagung sebagai barier untuk kedua kalinga dilakukan setelah jagung yang ditanam pertama mencapai umur 70 hari.
4.4.4 Pemeliharaan Tanaman di Lapangan Pemeliharaan tanaman di lapangan meliputi: penyiraman, penyulaman, penyiangan, dan pemupukan. Penyiraman tanaman dilakukan secara intensif pada pagi hari atau sore hari pada awal pertumbuhan. Setelah tanaman tumbuh kuat dan perakarannya dalam, pengairan berikutnya dilakukan dengan cara leb dan dilakukan setiap minggu. Penyulaman dilakukan untuk menggantikan tanaman yang mati, dan ini dilakukan sampai umur tanaman dua minggu di lapangan. Penyiangan dilakukan untuk mengendalikan gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman dan dilakukan tiap dua minggu sekali. Pemupukan dilakukan setelah umur tanaman mencapai satu bulan di lapangan dengan menggunakan pupuk NPK dengan dosis 20 g tiap tanaman, selanjutnya pemberian pupuk dilakukan setiap satu bulan sekali. 4.5 Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengamati perkembangan gejala mosaik yang terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak
26
percobaan. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman yang bergejala mosaik dilakukan melalui uji ELISA. Data dari pengamatan-pengamatan selama pertumbuhan tanaman dikumpulkan dan data tersebut disusun dalam bentuk tabel. Beberapa variabel pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati dalam percobaan ini adalah : 1. Gejala penyakit Gejala yang diamati adalah gejala mosaik yang tampak pada tanaman cabai. Seperti daun belang hijau tua atau hijau muda, perubahan bentuk daun menjadi lengkung kriting atau memanjang. Pengamatan gejala dilakukan setiap minggu mulai minggu ke-3 setelah tanam dengan mencatat perkembangan gejala mosaik yang terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. 2. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai pucuk tanaman tertinggi. Pengamatan mulai dilakukan ketika cabai sudah berumur 2 minggu setelah tanam dan diteruskan setiap minggu sampai tercapai hasil maksimum. 3. Jumlah cabang primer per tanaman (buah) Jumlah cabang primer per tanaman diperoleh dengan menghitung semua cabang yang tumbuh pada batang utama, yang sudah mempunyai panjang 2 cm dan dua pasang daun telah terbuka. Pengamatan dimulai pada minggu ketiga setelah penanaman di lapangan. Selanjutnya diamati setiap minggu sampai mencapai jumlah cabang maksimum.
27
4. Hasil buah per tanaman (g) Hasil panen adalah berat segar buah panen per tanaman (g). Berat segar buah panen didapat dengan menimbang buah yang baru dipanen per tanaman kemudian dihitung secara kumulatif berat segar dari setiap kali panen, selama tujuh kali penen.
4.6 ELISA. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman yang bergejala mosaik dilakukan melalui uji ELISA sebagai berikut: Sebanyak 0,5 ul antiserum terhadap virus TMV, CMV atau ChiVMV (Agdia, USA) di campurkan ke dalam 100 ul coating buffer (0.1 g magnesium klorid, 0,2 g sodium azid, dan 97 ml dietanolamin dilarutkan dalam 1000 ml dengan pH akhir 9,8) dan dimasukkan ke plat mikrotiter sebanyak 100 ul tiap sumuran plat kemudian diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 2 jam atau -4ºC semalam. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci sebanyak 6 kali dengan bafer PBST 1X (8 g sodium klorid, 1,15 g sodium fosfat dibasic, 0,2 g potassium fosfat monobasic, dan 0,5 g tween-20 yang dilarutkan dalam 1 liter air dengan pH 7,4). Sebanyak 0,1 g jaringan daun cabai bergejala dilumatkan dengan mortar dalam 1 ml general extract buffer ( 1,3 g sodium sulfite, 20 g polyvinylpyrolidone, 0,2 g sodium azide, 2 g powdered egg (chiken) albumin, dan 20 g tween-20 yang dilarutkan ke dalam 1 l PBST 1X dengan pH 7,4. Cairan perasan (sap) yang dihasilkan diambil sebanyak 100 ul kemudian dimasukkan ke dalam sumuran plat mikrotiter dan kemudian diinkubasikan selama waktu seperti tahap sebelumnya. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci lagi sebanyak 6 kali dengan PBST 1X. Setelah dicuci dengan bufer PBST 1X, pada sumuran yang sama diisi
28
100 ul enzim konjugat yang sudah diencerkan dengan ECI buffer (2 g bovine serum albumin, 20 g polyvinylpyrrolidone, dan 0,2 g sodium azide yang dilarutkan dalam 1 l PBST 1X dan ph 7,4) dan diinkubasi pada 37ºC selama 2 jam. Setelah pencucian, sumuran kemudian ditambah 100 ul larutan PNP (1 mg/ml p-nitrophenyl phosphate dalam 10% triethanolamine, pH 9,8) dan diinkubasi sampai muncul warna kuning (+ 30 menit). Nilai absorban diukur pada 405 nm dengan ELISA Reader.
4.7 Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang diberikan, maka data hasil pengamatan ditabulasikan sehingga diperoleh nilai rata-rata. Selanjutnya dilakukan analisis keragaman sesuai rancangan yang digunakan. Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nilai rata-rata dengan uji BNT.
29
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gejala Penyakit Gejala yang diamati dengan adanya infeksi virus mosaik pada penelitian ini adalah dengan gejala mosaik yang tampak pada tanaman cabai. Seperti daun belang hijau tua atau hijau muda, perubahan bentuk daun menjadi lengkung kriting atau memanjang dan kerdil. Dari hasil penelitian ini didapatkan, terjadinya infeksi mosaik pada kontrol sebesar 60.6% menunjukkan bahwa tempat dimana penelitian ini dilakukan memiliki sumber inokulum mosaik yang cukup tinggi. (Tabel 5.1). Tabel. 5.1 Persentase tanaman bergejala mosaik Perlakuan
Jumlah Tanaman
Tanaman bergejala mosaik pengamatan minggu ke(%) 3
4
5
6
Konfirmasi dengan ELISA pada pengamatan minggu ke ke-7 (%) 7
CMV
TMV Chi VMV
Barier
66
12.1
18.2
21.2
24.2
57.6
13.6
7.6
3.0
Mulsa
66
3
4.5
9.1
12.1
22.7
4.5
4.5
-
Kontrol
66
24.2
27.3
60.6
93.9
95.5
48.5
19.7
12.1
Gejala mosaik tertinggi didapatkan pada kontrol, dan setelah dikonfirmasi dengan ELISA hasilnya menunjukkkan positif terinfeksi virus mosaik. Kejadian ini berpengaruh nyata terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah cabang dan hasil.
29
30
Persentase tanaman yang menunjukkan gejala mosaik pada perlakuan kontrol sudah mulai terlihat paling tinggi pada umur 3 minggu setelah tanam (mst), sampai dengan pengamatan 7 mst, yang kemudian diikuti oleh perlakuan barier dan perlakuan mulsa yang terendah. Demikian juga dengan konfirmasi uji ELISA menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol, infeksinya paling tinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan barrier dan mulsa, baik terhadap infeksi CMV, TMV dan ChiVMV. Tingginya infeksi CMV pada perlakuan kontrol, disebabkan karena CMV mempunyai banyak jenis tanaman inang, yaitu lebih dari 800 spesies tanaman inang termasuk beberapa gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman inang utama (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995). Banyaknya jenis tanaman inang akan memudahkan virus ini untuk bertahan pada saat tanaman inang utama tidak ada di lapangan. Virus ini juga dengan mudah dapat ditularkan oleh berbagai spesies kutudaun termasuk diantaranya Aphis glycines, A. craccivora dan Myzus persicae yang banyak mengkoloni tanaman cabai (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995). Penularan CMV dilakukan secara non-persisten yaitu kutudaun dapat langsung menularkan virus ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman sakit sumber virus. Namum demikian, kutudaun akan hilang kemampuannya untuk menularkan virus setelah menginokulasi tanaman sehat (barier). Cara penularan non-persisten ini menjadi penyebab kegagalan pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai melalui pemberantasan kutudaun dengan insektisida. Kutudaun infektif (membawa virus) yang mendatangi pertanaman cabai akan segera menularkan virus pada tanaman baru yang dihinggapinya, sehingga walaupun kutudaun tersebut mungkin mati akibat pestisida yang diaplikasikan
31
namun tanaman sudah terlanjur tertular virus. Pola penularan virus non-persisten akan hilang segera setelah ia probing pada tanaman yang dihinggapi (Matthews, 1992). Bagi kutudaun yang membawa virus, maka kemampuan untuk menularkan akan hilang setelah melakukan probing (Hull, 2002). Peristiwa ini dapat digunakan untuk melidungi tanaman cabai yang berukuran lebih pendek dengan mengitarinya dengan tanaman yang lebih tinggi, misalnya jagung. Kutudaun bersayap yang membawa virus, bila datang ke pertanaman cabai cenderung hinggap terlebih dahulu pada tanaman yang lebih tinggi (jagung yang mengitari tanaman cabai), lalu melakukan probing sehingga virus yang dibawanya habis tercuci, dan apabila kemudian kutudaun pidah ke tanaman cabai tidak akan menularkan virus. Kutudaun akan lebih banyak terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya barier. Kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan warna yang disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutudaun. Spesies-spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya menghindari pantulan cahaya perak yang berasal dari mulsa plastik (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari cahaya perak ini memberi peluang untuk menggunakan mulsa plastik hitam perak sebagai pemantul cahaya yang bersifat repellent terhadap kutudaun (Fahrurrozi et al., 2001). Munculnya gejala penyakit sebagai interaksi antara patogen, inang dan lingkungan, yang sering dinyatakan dalam bentuk hubungan segi tiga, dimana untuk bisa terjadi dan berkembangnya penyakit secara optimal, makaharus terdapat kondisi seperti; tumbuhan inang yang rentan, patogen yang aktif, dan
32
kondisi lingkungan yang menguntungkan. Pengaruh keadaan lingkungan terhadap penyakit virus terutama adalah terhadap inang, mengingat virus tidak dapat mengadakan metabolisme sendiri sehingga tidak dapat dimodifikasikan. Sinar matahari dan suhu sering bersifat menentukan terhadap sifat dan beratnya gejala. Pada kondisi yang sangat ekstrem, gejala bahkan mungkin tidak nampak untuk sementara waktu, dan baru akan muncul kembali bila kondisinya sudah sesuai lagi. Unsur hara dan air adalah merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan juga, karena kebanyakan virus memerlukan metabolisme inang yang aktif untuk keperluan perbanyakannya (Bos, 1994). Adapun gejala mosaik yang dijumpai dalam penelitian ini adalah ; daun menguning, menggulung, belang, nekrotik, tanaman kerdil, sampai terjadinya perubahan bentuk (malformasi). Munculnya gejala penyakit virus pada tanaman inang disebabkan oleh adanya asam nukleat virus (RNA atau DNA) yang masuk kedalam jaringan tanaman. Walaupun demikian dalam jumlah asam nukleat virus yang cukup besar dalam tumbuhan belum tentu dapat memperlihatkan gejala. Konsentrasi virus yang tinggi pada tumbuhan bukan hanya memerlukan protein sebagai selubung yang disintesis oleh virus untuk kebutuhan sendiri, tetapi yang lebih penting adalah pengaruh secara tidak langsung terhadap metabolisme inang. Pengaruh tersebut mungkin terjadi melalui sintesis protein baru (asing) oleh tumbuhan yang disebabkan oleh virus (enzim, hormon, dan lain-lain) yang menyebabkan metabolisme inang menjadi terganggu (Bos, 1994). Gejala yang disebabkan oleh CMV, TMV dan ChiVMV. (Gambar 5.1.)
33
A
C
B
D
Gambar 5.1 Karakteristik tanaman cabai yang terinfeksi virus mosaik
(A) tanaman sehat ; (B) gejala CMV : Bagian daun berwarna lebih hijau dari bagian lain sebagai akibat klorofil di sekitarnya telah mengalami klorosis ; (C) gejala ChiVMV : Daun belang, berwarna hijau gelap, paling keras pada tanaman yang paling muda, pertumbuhannya terhambat, dan memiliki garis hijau gelap pada batang dan cabang ; (D) gejala TMV : Daun-daun muda berubah menjadi warna belang kuning hijau, keriting serta berkerut, tanaman kerdil, buah belang dan berwarna kuning, nekrosis pada daun sampai bisa terjadi gugur daun.
34
5.2 Tinggi Tanaman Hasil analisis menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada perlakuan mulsa berbeda nyata (P< 0,05) dengan perlakuan kontrol dan barier, berdasarkan uji BNT pada taraf 5%. Tabel 5.2. Tinggi tanaman maksimum tertinggi terdapat pada perlakuan mulsa yaitu 81.8 cm, yang diikuti oleh perlakuan barier yaitu 62.06 cm, dan paling rendah ditunjukkan oleh perlakuan kontrol yaitu 47.6 cm. Perkembangan tinggi tanaman akibat pengaruh perlakuan mulsa dan barier dapat dilihat pada Gambar 5.2.
90 80
Tinggi Tanaman (Cm)
70 60 50
BARIER
40
MULSA
30
KONTROL
20 10 0 II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 5.2 Grafik perkembangan tinggi tanaman selama 9 minggu yang diberi perlakuan barier, mulsa dan kontrol
Gejala yang muncul dari tanaman yang terinfeksi virus pada umumnya dapat menyebabkan terjadinya khlorosis yang dapat mengganggu sistem metabolisme dari tanaman itu sendiri. Hampir pada semua penyakit virus tanaman, virus tersebut terdapat pada seluruh bagian tanaman dan gejala yang
35
dihasilkan disebut gejala sistemik. Gejala sistemik yang dihasilkan oleh interaksi antara inang dengan virus tertentu sangat bervariasi dari ringan, lemah (mild) sampai kuat atau tajam (severe). Infeksi virus yang sudah menyebar secara sistemik pada jenis atau kultivar inang tertentu mengakibatkan gejala yang bervariasi, misalnya kerdil. Mosaik ditandai dengan terbentuknya pulau-pulau hijau yaitu bagian daun berwana lebih hijau dari bagian lain sebagai akibat klorofil disekitarnya mengalami klorosis. Perubahan morfologi juga terjadi karena malformasi, yaitu perubahan bentuk bagian tumbuhan. Epinasti yaitu terjadinya pertumbuhan anak daun yang kecil dan memanjang pada permukaan bawah tulang utama daun. Distorsi yaitu pengurangan ukuran bagian tumbuhan, gejala lain yaitu daun mengeriting, daun menggulung atau nekrosis yang meluas. Gejala yang sangat nyata dari tanaman yang terinfeksi virus biasanya muncul pada daun, tetapi beberapa jenis virus mungkin menyebabkan gejala yang lebih kuat pada batang, buah dan akar dengan atau tanpa gejala yang berkembang pada daun. Beberapa virus yang sudah berhasil menyebar secara sistemik dalam inang tertentu ada yang tidak memberikan gejala makroskopis. Banyak virus yang menginfeksi inang tertentu tanpa pernah menyebabkan gejala yang dapat dilihat, dan virus tersebut disebut virus laten dan inangnya disebut pembawa tanpa gejala. Tanaman yang menghasilkan gejala setelah infeksi oleh virus tertentu mungkin tetap tanpa gejala dibawah lingkungan tertentu, dan gejala yang demikian disebut gejala terselubung. Gejala berat yang muncul segera setelah inokulasi yang mungkin dapat menyebabkan kematian inang, namun jika inangnya dapat bertahan hidup pada permulaan fase serangan , maka gejala cenderung menjadi
36
lebih lemah pada bagian tanaman yang berkembang, kemudian yang mungkin dapat sembuh sebagian atau secara total dan keadaan ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman (Agrios, 1996). Tinggi tanaman sangat berkaitan dengan gejala yang muncul pada tanaman yang terinfeksi. Tanaman yang menunjukkan adanya gejala infeksi virus akan mengalami gangguan dalam sistem metabolismenya. Penurunan produksi hormon tumbuh yang dihasilkan tanaman yang disertai dengan penurunan jumlah khlorofil adalah merupakan pengaruh umum yang terjadi pada tanaman yang terinfeksi virus, hal ini akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam pertumbuhan tanaman yang akan mempengaruhi tinggi tanaman (Agrios, 1996). Pada umumnya virus dapat menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis melalui penurunan jumlah khlorofil, meningkatkan respirasi, meningkatkan aktivitas enzim, menurunkan jumlah zat pengatur tumbuh yang dapat mempengaruhi sistem fungsional sel tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Bila kekacauan metabolik tersebut dapat ditolerir oleh tumbuhan maka tidak menyebabkan gejala, sedang yang lain mempunyai pengaruh buruk terhadap inang sehingga menimbulkan gejala (Agrios, 1996). 5.3 Jumlah Cabang Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah cabang tanaman cabai pada perlakuan mulsa berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan barier dan kontrol, namum perlakuan barier dan kontrol tidak berbeda nyata (P>0,05) berdasarkan uji BNT. (Tabel 5.2 ).
37
Jumlah cabang maksimum tertinggi terdapat pada perlakuan mulsa yaitu 10.6 buah, yang diikuti oleh perlakuan barier yaitu 8.9 buah, dan paling rendah ditunjukkan oleh perlakuan kontrol yaitu 7.8 buah Gambar 5.3.
12
Jumlah Cabang (Buah)
10 8 BARRIER
6
MULSA 4
KONTROL
2 0 III
V
VII
IX
Waktu Pengamatan (Minggu ke)
Gambar. 5.3 Grafik perkembangan jumlah cabang tanaman cabai selama 9 minggu pada petak yang diberi perlakuan barier, mulsa dan kontrol Pertumbuhan vegetatif tanaman yang lebih baik pada perlakuan mulsa dapat mengakibatkan terjadinya proses metabolisme yang lebih baik terutama dalam proses fotosintesis. Proses metabolisme yang lebih baik pada periode vegetatif sangat mempengaruhi proses dimana tanaman memasuki periode generatif. Keadaan ini menunjukkan bahwa tanaman yang diberikan perlakuan barier dan kontrol akan mengalami gangguan awal pada periode pertumbuhannya. Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman ditentukan melalui keseimbangan cahaya yang menerpa permukaan plastik yang digunakan. Secara umum seluruh cahaya matahari yang menerpa permukaan plastik, sebagian akan dipantulan kembali ke udara, dan hanya sebagian kecil diserap dan diteruskan mencapai pemukaan tanah. Kemampuan mulsa plastik dalam memantulkan, menyerap dan melewatkan cahaya tersebut ditentukan oleh
38
warna dan ketebalan mulsa plastik tersebut (Decouteau et al., 1988, 1989 ; Lamont, 1993). Cahaya yang dipantulkan permukaan mulsa plastik ke amosfir akan mempengaruhi bagian atas tanaman, sedangkan cahaya yang diteruskan ke bawah permukaan mulsa plastik akan mempengaruhi kondisi fisik, biologis dan kimiawi rizosfer yang ditutupi. Cahaya matahari yang diteruskan melewati permukaan mulsa terjebak di permukaan tanah yang ditutupinya dan membentuk efek rumah kaca dalam skala yang kecil (Tanner, 1974 ; Mahrer et al., 1979). Panas yang terjebak ini akan meningkatkan suhu permukaan tanah, memodifikasi keseimbangan air tanah, karbondioksida tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme.
5.4 Berat Segar Buah Hasil analisis menunjukkan bahwa berat segar buah yang dicapai pada perlakuan mulsa berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji BNT pada taraf 5% dengan perlakuan barier dan kontrol Tabel 5.2. Tabel 5.2 Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, dan berat segar buah. Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Cabang (Buah)
Berat segar buah/Tanaman (kg)
Hasil/ha (ton/ha)
Barrier
61.9 b
8.9 b
0.8 b
16 b
Mulsa
81.8 a
10.6 a
1.1 a
22 a
Kontrol
47.6 c
7.8 b
0.28 c
5.6 c
Angka yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT pada taraf 5%
39
Berat segar buah dari hasil panen yang didapatkan dalam penelitian ini sangat berfluktuasi dari masing-masing waktu panen. Hasil buah segar tertinggi dicapai pada panen ke-5 untuk perlakuan mulsa dan kontrol, sedangkan untuk perlakuan barier panen tertinggi dicapai pada panen ke-4 seperti terlihat pada gambar 5.4.
Berat segar buah (g)
250 200 150 BARRIER 100
MULSA KONTROL
50 0 1
2
3
4
5
6
7
Waktu Panen ( minggu)
Gambar. 5.4 Berat segar buah cabai selama 7 kali panen pada perlakuan barier, mulsa dan kontrol
Penggunaan mulsa plastik hitam perak dan penanaman tanaman penghalang terbukti sangat berpengaruh terhadap hasil berat segar buah tanaman cabai. Berat segar buah tertinggi tanaman cabai dicapai pada perlakuan mulsa yaitu 22 ton/Ha, yang diikuti oleh perlakuan barier yaitu sebesar 16 ton/Ha, dan paling rendah dicapai oleh perlakuan kontrol yaitu sebesar 5.6 ton/Ha seperti terlihat pada Gambar 5.5.
40
25
Hasil (ton/ha)
20
15 22 10
16
5 5.6 0 BARRIER
MULSA
KONTROL
Perlakuan
Gambar 5.5 Pengaruh perlakuan terhadap berat segar buah cabai pada perlakuan barier, mulsa dan kontrol
Peningkatan berat segar buah pada perlakuan mulsa dan barier yaitu sebesar 74.54% dan 65% dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Tingginya berat segar buah pada perlakuan mulsa disebabkan karena pertumbuhan tanaman dari awal sudah lebih baik dari perlakuan barier dan kontrol. Pada perlakuan barier dan kontrol dari awal pertumbuhannya sudah mengalami hambatan, karena terjadinya infeksi virus mosaik pada tanaman cabai yang cukup tinggi sehingga dapat mengganggu veriabel pertumbuhan tanaman yang akan berpengaruh terhadap berat segar buah. Penurunan berat segar buah sebagai akibat dari adanya infeksi virus mosaik akan menyebabkan terjadinya
gangguan dalam sistem metabolisme
inangnya. Gejala yang biasanya dominan muncul pada tanaman yang terinfeksi virus mosaik terdapat pada daun maupun pada batangnya. Penurunan hormon
41
tumbuh yang dihasilkan tanaman yang disertai dengan penurunan jumlah khlorofil, adalah merupakan pengaruh umum yang terjadi pada tanaman yang terinfeksi virus. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam pertumbuhan tanaman, khususnya tinggi tanaman (Agrios, 1996). Pengaruh mulsa plastik terhadap aktivitas mikroorganisme (sebagai akibat peningkatan suhu rizosfir) sangat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melalui peningkatan konsentrasi karbon dioksida di zona pertanaman (Fahrurrozi et al., 2001) dan suplai beberapa hara makro (Hill et al., 1982). Efektifitas penggunaan mulsa plastik dapat melindungi tanah dari terpaan langsung butir hujan, mempertahankan kegemburan tanah-tanah di bawahnya, mencegah pencucian hara, mencegah percikan butir tanah ke tanaman, mencegah penguapan air tanah, dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil respirasi aktivitas mikroorganisme. Mulsa plastik yang berwarna perak memiliki kemampuan memantulkan sekitar 33 persen cahaya matahari yang menerpa permukaannya (Fahrurrozi dan Stewart, 1994), tergantung jumlah zat pewarna yang digunakan dan ketebalan mulsa. Pantulan cahaya ini mampu mengurangi efek pemanasan rizosfir di bawah permukaan plastik, dan juga merupakan rentang cahaya yang disukai oleh serangga, sehingga serangga akan mengikuti arah pantulan dan meninggalkan pertanaman, akibatnya populasi serangga, seperti aphids dan thrips, yang merupakan vektor virus penyebab penyakit mosaik dapat berkurang di areal pertanaman yang diusahakan. Kemampuan menekan populasi serangga ini dan mencegah terjadinya pemanasan berlebihan merupakan salah satu alasan mengapa
42
plastik bewarna perak digunakan dalam produksi tanaman sayuran. Fungsi lain dari mulsa plastik hitam perak adalah agar pemanfaatan sinar matahari tidak hanya secara langsung terkena tanaman cabai, sehingga proses photosintesis dapat berlasung pada kedua sisi daun. Keuntungan lain dari adanya warna perak itu adalah sinar yang dipantulkan oleh mulsa dapat mengurangi perkembangan hama aphids dan tungau yang selalu bersarang pada tanaman cabai serta secara tidak langsung dapat menekan serangan penyakit virus, sehingga jika pertumbuhan lebih baik maka ketahanan tanaman akan lebih meningkat. (Fahrurrozi et. al., 2001).
43
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Dalam penelitian ini mulsa plastik dan barier terbukti mampu untuk menurunkan persentase gejala infeksi virus mosaik pada areal pertanaman cabai.
2.
Produksi cabai tertinggi dicapai pada perlakuan mulsa plastik yaitu sebesar 22 ton/ha.
6.2 Saran Mulsa plastik hitam perak bisa dijadikan alternatif pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai melengkapi perlakuan dry heat dan attenuated CMV yang sudah dibuktikan mampu mengendalikan serangan virus mosaik.
43
44
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th Ed. Academic Press, New York. Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the World’s Crop. An identification and Information Guide 2nd eds. New York : John Wiley and Sons. Bos, L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan. Penerjemah Triharso. Gajah Mada University Press. Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai rawit dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. Dauffus, J. 1971. Role of weeds in the incidence of virus diseases. Annu. Rev. Phytopathol. 9: 224-319. Decoteau, D.R., M.J. Kasperbauer, D.D. Daniels and P.G. Hunt. 1988. Plastic mulch color effects on reflected light and tomato plant gowth. Scientia Hortic. 34:169-175. Dolores, L. M. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-23 Februari 1995. AVRDC. Duriat, A. S., Y. Sulyo, N. Gunaeni, E. Korlina. 1995. Screening of pepper cultivars for resistance to Cucumber mosaic virus (CMV) and Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-23 Februari 1995. AVRDC. Edwardson, J.R., R.G. Christie. 1997. Virus Infecting Peppers and Other Solanaceus Crop. University of Florida. USA. Edwards, M. C., D. Gonsalves. 1999. Gouping seven biologically defined isolates of Cucumber mosaic virus (CMV) by peptide mapping. Phytopathology 73: 1117-1120. Escriu, F., K. L. Perry, F. Garcia-Arenal. 2000. Transmissibility of Cucumber mosaic virus (CMV) by Aphis gossypii correlates with viral accumulation and is affected by the presence of its satellite RNA. Phytophathology 90: 1068-1072. Fahrurrozi, K.A. Stewart. 1994. Effects of mulch optical properties on weed gowth and development. HortScience 29 (6):545 Fahrurrozi, K.A. Stewart, S. Jenni. 2001. The early gowth of muskmelon in mulched mini-tunnel containing a thermal-water tube. I. The carbon dioxide concentration in the tunnel. J. Amer. Soc. For Hort. Sci. 126:757-763.
44
45
Gallitelli. D. 1998. Present status of controlling Cucumber mosaic virus (CMV). In: Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H (eds.) Plant Virus Disease Control. APS Press. pp: 507-523. Garry. 2002. Tobacco Mosaic Virus. In: Plant disease Facts. Departemen of Plant Phatologhy. University of Pennsyvania State University. Geenleaf , W. H. 1986. Pepper breeding. In: Hawkes JG (ed.) Breeding Vegetable Crops. The Avi Publishing Company Inc. Connecticut. pp: 67-134. Hill, D.E., L. Hankin, G.R. Stephens. 1982. Mulches: Their effect on fruit set, timing and yield of vegetables. Conn. Ag. Exp. Sta. Bulletin. 805. Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Fourth Ed. San Diego: Academic Press. [IISR] Indian Institute of Spices Research. 2004. Chillipepper database of varieties. India. Khetarpal, R. K., B. Maisonneuve, Y. Maury, B. Chalhouh, Dinant, H. Lecoq, A. Varma. 1998. Breeding for resistance to plant viruses. In: Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H (eds.) Plant Virus Disease Control. APS Press. pp: 14-32. Kaper, J. M., H. E. Waterworth. 2001. Cucumoviruses. In: E. Kurstak (ed.) Handbook of Plant Virus Infections: Comparative Diagnosis. Elsevier/North Holland Biomedical Press. pp: 257-332. Lamont, W. J. 1993. Plastic mulches for the production of vegetable crops. HorTechnology. 3 (1) : 35-38. Mahrer, Y. 1979. Prediction of soil temperatures of a soil mulched with transparent polyethylene. J. Applied Meteorology. 18:1263-1267. Matthews, REF. 1991. Plant Virology. Academic Press. San Francisco. Matthews, REF. 1992. Foundamentals of plant virology. Academic Press, Inc. California. Millah, Z. 2007. Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman CabaiTerhadap Infeksi ChilliVeinal Mottle Virus. Tesis. Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Nawangsih, A.A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot Beauty. Cetakan kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurdin. 1998. Identifikasi Virus Penyebab Mosaik dan Kerdil pada Cabai Besar (Capsicum annuum L.). Thesis Pascasarjana IPB. Nyana, D.N. 2002. Penggunaan Attenuated-CMV untuk mengendalikan Cucumber Mosaic Virus (CMV) Starin Bali pada Tanaman Tomat. Tesis. Progam Studi Bioteknologi Pertanian Progam Pasca Sarjana Universitas Udayana. Denpasar.
46
Nyana, D.N., G.Suastika, K.T.Natsuaki, H.Sayama. 2008. Control of Cucumber Mosaic Virus on Tobacco by Attenuated-CMV. ISSAAS Journal 11 (3) : 97102. Ong C.A. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop. Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Opriana, E. 2009. Metode Deteksi Untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV). Tesis. Departemen Proteksi Tanaman IPB. Owen, J., P. Palukaitis. 1998. Characterization of Cucumber mosaic virus. I. Molecular heterogeneity mapping of RNA 3 in eight CMV strains. Virology 166: 495-502. Palukaitis, P., M. J. Roossinck, R. G. Dietzgen, R. I. B. Francki. 1997. Cucumber mosaic virus. Adv. Virus Res. 41: 281-348. Parker, W .E., R. H. Collier, P. R. Ellis, A. Mead, D. Chandler, J. A. Blood Smyth, G. M. Tatchell. 2002. Matching control options to a pest complex: The integated pest management of aphids in sequentially-planted crops of outdoor lettuce. Crop Protection 21: 235-248. Piazolla, P., J. R. Diaz-Ruiz, J. M. Kaper. 2000. Nucleic acid homologies of eighteen Cucumber mosaic virus isolates determined by competition hybridization. J. Gen. Virol. 45: 361-369. Prajnanta, F. 1999. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4. Penebar Swadaya. Jakarta. Sari, C. I. N., R. Suseno, Sudarsono, M. Sinaga. 1997. Reaksi Sepuluh Galur Cabai Terhadap Infeksi Isolat Cucumber mosaic virus (CMV) dan Potato virus Y (PVY) asal Indonesia. In: Prosiding Konges Nasional XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang 27-29 Oktober 1997. pp: 116-119. Sayama, H. M. Kominato, M. Ubukata, T. Sato. 2001. Three-year assessment of the practical application of cross-protection in processing tomato fields using an attenuated Cucumber mosaic virus (CMV) strain containing an ameliorative satellite RNA. In: Hartz TK (ed.) Proceeding of the Seventh International Symposium on the Processing Tomato. Acta Horticulture Number 542: VII. International symposium on the processing tomato. Sayama, H., T. Sato, M. Kominato, K. T. Natsuaki, J. M. Kaper. 1999. Field testing of a satellite-containing attenuated strain of Cucumber mosaic virus (CMV) for tomato protection in Japan. Phytophathology: 83: 405-410. Setiadi. 1997. Bertanam Cabai. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
47
Siregar, E.B.M, 1993. Assosiasi Virus Mosaik Ketimun-Satelit RNA-5 dalam Memproteksi Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dan Cabai Merah (Capsicum annuum L.) terhadap Virus Mosaik Ketimun Patogenik. Laporan Penelitian Progam Pascasarjana. IPB. Sulyo, Y. 1984. Penurunan hasil beberapa varietas Lombok akibat infeksi Cucumber mosaic virus (CMV) di rumah kaca. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Hortikultura Lembang 1982/1983. Sulandari S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan Analisis Sidik Jari DNA Virus Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Disertasi SPs IPB. Bogor. Suryaningsih, Sutarya R, Duriat AS (1996) Penyakit tanaman cabai merah dan pengendaliannya. In: Duriat AS, Wijaya W, Hadisoeganda A, Soetiarso TA, Prabaningum L (eds.) Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p: 64-84. Sutarya, R., A. S. Duriat. 1991. Respon beberapa kultivar cabai terhadap Cucumber mosaic virus (CMV), Tobacco etch virus (TEV) dan campuaran dari CMV+TEV. Buletin Penelitian Hortikultura. 21(1): 72-76. Suwandi, N., Nurtika, S. Sahat. 1997. Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang. pp: 3.1-3.6. Syamsidi, S.R., T. Hasdiatono., dan S.S Putra. 1997. Ketahanan cabai merah terhadap Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada umur tanaman pada saat inokulasi. Prosiding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopalogi Indonesia. Tanner, B. 1974. Microclimate modification : Basic concepts. HortScience, 9:555560. Wewerarane, W. A. P. G., D. R. Yapa. 2002. Reaction of chilli accession to local isolates of Cucumber mosaic virus (CMV) and Chilli veinal mottle virus (ChiVMV). Annals of the Sri Lanka Department of Agiculture 4: 345-352. Wahyuni, W.S., R. I. B. Francki. 1996. Responses of some gain and pasture legumes to 16 strains of Cucumber mosaic virus (CMV). Austr. J. Agic. Res. 43: 465-477. Wahyuni, W.S. 2005. Dasar-Dasar Virologi Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta. Wang, W. Q., K. T. Natsuaki, S. Okuda, M. Teranaka. 1998. Comparison of Cucumber mosaic virus (CMV) isolates by double-stranded RNA analysis. Ann. Phytophathol. Soc. Japan 54: 536-539.
48
Widodo., S. Wiyono. 1995. Agrotek. Wahana Informasi dan Alih Teknologi Pertanian. 2(2) : 70-72