BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kota Yogyakarta memiliki predikat sebagai kota pelajar dan kota pariwisata. Predikat ini mampu membawanya menjadi destinasi untuk melanjutkan pendidikan maupun destinasi berwisata. Berbagai perguruan tinggi tersebar di Yogyakarta baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Salah satu universitas terbaik di Indonesia pun ada di kota ini yaitu Universitas Gadjah Mada. Sebab itulah yang membuat banyak pendatang tinggal di kota Yogyakarta meneruskan pendidikannya. Wisata Yogyakarta dengan basis budaya menjadi daya tarik yang kuat bagi pelancong di seluruh penjuru dunia. Keberadaan Kasultanan Yogyakarta mengambil peran sebagai pusat kebudayaan Jawa. Ragam kekayaan budaya ada di kota ini mulai dari tata kotanya, kesenian, peri kehidupan sehari-hari, bangunan bersejarah, upacara adat, tradisi, maupun kerajinan dan kulinernya menjadi sebuah ragam kekayaan yang menjadi kekuatan Yogyakarta. Selain wisata budaya, Yogyakarta memiliki berbagai objek wisata alam berupa pantai, gumuk pasir, goa, air terjun, gunung api, telaga, hutan, dsb. Wisata alam ini tersebar di seluruh penjuru daerah di Yogyakarta. Wisata ini mendukung wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menjelajahi setiap sudut Kota Yogyakarta. Jumlah pendatang yang selalu bertambah dimanfaatkan oleh beberapa kalangan untuk membuka lapangan usaha yang menjanjikan. Hal ini secara otomatis akan 1
menambah pula tenaga kerja dari berbagai daerah sehingga ragam penduduk pun bertambah. Ragam penduduk yang memiliki jumlah cukup besar membuat industri hiburan semakin gencar memadati kota Yogyakarta, salah satunya adalah hiburan karaoke. Ruangan berkedap suara, suara dihentakkan, dan bernyanyi sekencangnya. Tidak perlu susah-susah untuk menghapal syair lagu karena telah tersedia pada layar monitor. Tersedia pula perangkat audio visual untuk menuntun sang penyanyi kapan mulai bernyanyi dan kapan harus jeda dengan urutan pewarnaan naskah di layar monitor. Berkaraoke ini bisa dilakukan sendiri ataupun berkelompok. Karaoke menjadi hiburan yang tidak asing lagi di telinga masyarakat Yogyakarta. Hiburan yang mampu menjadi pelepas penat ini telah digandrungi semua kalangan. Tempat karaoke yang terjaga privasinya memberi ruang bebas untuk bernyanyi sepuasnya. Stigma negatif dalam masyarakat tentang hiburan karaoke yang lekat dengan seksualitas dan obat-obatan terlarang lambat laun mulai berkurang seiring berkembangnya tempat hiburan karaoke berbasis keluarga. Lantas, tidak kemudian mengurangi adanya karaoke penyedia wanita pemandu lagu atau biasa disebut dengan istilah Lady Companion (LC). Istilah LC terdengar asing bagi telinga beberapa masyarakat umum, tetapi dalam dunia karaoke di Yogyakarta, Lady Companion atau biasa disingkat dengan istilah LC adalah sebuah istilah yang populer di Yogyakarta sebagai wanita pemandu lagu. Bagi tamu yang menginginkan ditemani wanita saat berkaraoke, mereka dapat
2
membooking LC melalui mami1 ataupun server2 karaoke. LC bertugas menemani tamu bernyanyi, berjoget, ngobrol, hingga minum alkohol bersama. Dalam satu room karaoke, kedekatan diantara tamu dan LC terjalin sangat intens. LC memikat tamu dengan penampilan dan aksinya yang nakal. Tubuhnya seksi menggoda dengan balutan sexydresses yang memperlihatkan bagian dada serta pahanya yang mulus. Mereka mengenakan sepatu highheels atau sepatu berhak tinggi. Mereka bernyanyi, bergoyang, dan merayu tamu dengan tutur katanya yang manja. Trik ini bisa menjadi cara untuk menjaga hubungan baik supaya tamu datang kembali. Menjadi LC tidak membutuhkan latar belakang pendidikan yang tinggi. Ketrampilan dalam bernyanyi pun bukan menjadi prioritas. Mereka hanya dituntut memiliki penampilan yang menarik, sesuai dengan rata-rata tamu yang menginginkan LC berparas cantik nan seksi. Pada profesi pekerjaan yang dilakoninya, LC tidak hanya sekedar mengiringi tamu bernyanyi, tetapi juga memiliki tanggung jawab atas kepuasan tamu. Nilai kepuasan tamu didasarkan pada pelayanan LC yang baik dan hal ini merupakan penentu bayaran yang diterima oleh LC. Semakin tamu merasa puas dengan pelayanan LC maka semakin besar pula uang tip yang akan diterima oleh LC.
1
Mami adalah istilah wanita yang berprofesi sebagai penyalur LC pada club malam. Server adalah istilah pelayan pada sebuah tempat karaoke. Pada beberapa tempat karaoke di Yogyakarta, tak jarang server menawari LC pada tamu. 2
3
Demi menjaga eksistensi dirinya terhadap profesi yang dilakoninya mereka berupaya mengeksplorasi tubuhnya agar terlihat cantik dan seksi di mata pelanggannya. Mereka memiliki mindset yang tertanam bahwa semakin cantik dirinya maka semakin banyak pelanggan yang akan memilih dirinya. Kecantikan bukanlah sebuah konstruk fisik yang dapat diukur secara eksak, tetapi kecantikan adalah suatu konstruk sosial yang subyektif dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh tren, mode dan kesukaan temporer banyak orang (Nasiruddin, 2008:1). Cantik bagi LC dapat ditunjukkan dengan kulitnya yang putih mulus tanpa jerawat dengan paras wajahnya yang dapat dilihat dari bentuk setiap bagian wajah yang sempurna. Para LC berupaya untuk ‘memoles’ bagian tubuh yang mereka rasa masih kurang ‘menjual’. Perawatan dari luar maupun dalam dilakukannya agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Tak jarang mereka yang menginginkan kesempurnaan fisik menggunakan cara yang instan dan ekonomis dengan mengesampingkan efek samping yang ditimbulkan. Perawatan ini menggunakan zatzat-zat kimia berdasarkan kebutuhan setiap bagian tubuh LC. Tak heran jika LC senang mencoba-coba produk kimia ketika dirinya merasa tidak cocok pada suatu produk karena tidak ada perubahan yang signifikan atau timbul rasa ‘sakit’. Mereka rela menderita agar bisa menjadi sosok yang cantik. Menjadi sosok yang cantik dan seksi pun saat ini tidak mahal lagi, banyak cara yang dapat diakses. Saat ini telah banyak produk-produk kecantikan yang menawarkan para LC agar badannya lebih langsing, kulit menjadi putih dan cerah, 4
rambut yang dapat diwarna sesuka hati, dsb. Toko kosmetik maupun klinik kecantikan pun saat ini telah banyak ditemui di Yogyakarta. Akses produk yang bermacam juga dipermudah dengan transaksi melalui internet atau biasa disebut dengan shopping online. Salah satu tuntutan sebagai LC adalah melayani tamu dengan minum alkohol, oleh karena itu maka mereka sangat lekat dengan minum-minuman alkohol. LC biasanya akan ditawari tamu untuk minum bersama hingga mabuk bersama. Demi menjaga pelayanan atau servis yang terbaik, sebisa mungkin LC tidak menolak setiap permintaan tamu. Kebiasaan LC minum alkohol ini berakibat pada tubuhnya seperti sakit atau badan drop. Stamina tubuh LC yang menurun mempengaruhi performa saat bekerja. Mengkonsumsi produk-produk kimia berupa vitamin ataupun dopping menjadi jalan keluar supaya LC dapat selalu menjalankan pekerjaannya. Setiap produk-produk kimia yang menempel pada tubuh LC memiliki peran dan manfaat masing-masing dalam menunjang pekerjaannya. Penampilan dan stamina adalah 2 hal yang menjadi perhatian LC. Make-up, skin care, dan zat adiktif3 adalah komponen penunjang pekerjaan pada umumnya LC. Cara ini dilakukan agar menjadi daya tarik bagi pelanggan untuk membookingnya. Mereka beraksi untuk berkompetisi diantara para LC. Mereka berkompetisi dengan membawa tubuh mereka
3
Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organism hidup, maka dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus. Jika dihentikan dapat member efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Zat_adiktif)
5
yang dipasarkan. Setiap geliat dari tubuhnya memiliki fungsi dalam merangsang tamu supaya memberinya uang. Jumlah LC semakin bertambah seiring berkembangnya tempat hiburan karaoke. Semakin cantik dan seksi tubuh LC maka semakin menunjukkan kelas LC yang tinggi, terlebih ditunjang dengan kenakalan aksi juga akan mempengaruhi. Dibalik penampilan LC ini terdapat peran produk-produk kimia yang digunakannya. Penggunaan zat-zat kimia inilah yang mampu menunjang setiap penampilan, aksi, dan motivasi diri dalam menjalankan pekerjaannya. B. Tinjauan Pustaka Tidak banyak tulisan yang meneliti tentang kehidupan LC terlebih dalam hal konsumsi produk-produk kimia. Bukan berarti tidak ada tulisan yang membahas fenomena LC sebagai pemandu lagu pada suatu daerahnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Aprizal Wahyu Darmawan yang berjudul Konstruksi Sosial Pekerja Purel Karaoke: (Studi Deskriptif tentang Arti Purel pada para Pekerja Purel yang Aktif Berstatus Pelajar), menjelaskan mengenai arti makna purel dimana dalam masyarakat luas definisi purel atau Public Relation lebih dikenal sebagai serangkai atau system kegiatan yang terjadi dalam suatu organisasi. Disisi lain masyarakat juga mengenal arti purel itu sendiri seperti wanita panggilan yang pekerjaannya menemani tamunya untuk bernyanyi di tempat karaoke. Fokus penelitian ini adalah bagaimana pemaknaan seorang purel terhadap sebuah perilaku purel yang berstatus sebagai pelajar. Penelitian yang berlokasi di Mojokerto ini mendapatkan hasil terbentuknya
6
purel pelajar melalui tiga tahapan, yaitu eksternalisasi sebagai tahap awal seorang pelajar mengetahui dan memahami pekerjaan sebagai purel, mulai dari apa itu purel, hingga bagaimana pekerjaan purel itu. Hingga pada akhirnya ia mengalami posisi dilematis, ketika yang dipahami di awal (realitas objektif) mulai bertolak dengan apa yang benar-benar nyata dilihat (realitas subjektif) (Aprizal 2012). Penelitian yang lain mengenai perilaku pemandu lagu dilakukan oleh Satria Indra Wiguna yang berjudul Perilaku Seorang Pemandu Lagu Karaoke di Kota Bandung, bertujuan untuk mengetahui perilaku pemandu karaoke di Bandung dengan konsep panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage). Permainan peran yang diteliti oleh Satria ini memperlihatkan bagaimana perilaku pemandu karaoke ketika mereka dihadapkan dengan tamu sehingga mereka berperan seperti layaknya aktris pada sebuah drama. Pada panggung belakang (back stage) pemandu lagu karaoke benar-benar menunjukkan karakter diri mereka yang seutuhnya, dan perilaku yang tumbuh pada dirinya adalah hasil dan cara ia bersosialisasi di lingkungan, baik dalam profesi maupun diluar profesi (Satria 2013). Buku yang ditulis oleh Emka berjudul “Jakarta Undercover #3; Forbidden City” mengungkap situasi, dan kondisi kehidupan malam menjelang akhir tahun 2006. Dengan berani Emka menggambarkan kawasan-kawasan hiburan di Kota Jakarta yang penuh dengan transaksi seks yang bervariasi. Para laki-laki ‘berduit’ menghabiskan waktunya di karaoke, nite club, kelab kebugaran, atau strip-bar yang di dalamnya menyediakan aneka macam jasa sex-entertainment. Salah satu pelaku jasa hiburan seks ini adalah Lady Companion (Emka, 2006). Dalam tulisan ini Emka 7
menyorot pengalamannya dalam membooking LC dan menceritakan pengalaman pribadi dari LC tersebut. Lingkup kerja seorang LC adalah tempat hiburan karaoke. Hiburan karaoke adalah ladang pekerjaan LC. Penelitian mengenai karaoke telah dilakukan oleh Frieda Rizqi Agustin dimana penulisan hasil penelitian ini berjudul Karaoke: Sebuah Kebudayaan Populer di Jepang. Dalam penelitian ini Frieda mampu mengungkapkan bahwa karaoke merupakan kebudayaan yang muncul pada era Jepang kontemporer dan sejak itu terus berkembang dan semakin diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Tulisan ini mampu menjelaskan awal mula berkembangnya industri hiburan karaoke di Jepang. Dalam tulisan ini pula diungkapkan bahwa karaoke dulunya memang identik dengan minum-minum dan bersenang-senang dengan wanita peneman karaoke. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi pada masyarakat kalangan pebisnis yang ingin mengobati rasa stres kerjanya. Bergulirnya waktu industri karaoke semakin berkembang dengan mengikuti penikmat karaoke yang juga beragam. Muncullah tempat karaoke bebas alkohol yang dapat dinikmati oleh semua kalangan tanpa memandang ekonomi, usia, pengetahuan, dsb. Perempuan selalu merasa kekurangan terhadap tubuhnya. Perempuan menempuh berbagai cara untuk menutupi kekurangan tubuhnya, begitu halnya dengan LC yang bekerja dengan modal tubuhnya seksi dan wajahnya yang cantik sebagai upaya menarik hati tamu. Mahetasari, dalam penelitiannya yang berjudul Kecemasan Perempuan Terhadap Citra Tubuhnya mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan perempuan selalu tidak puas dengan kecantikannya, mengetahui makna 8
kecantikan sebelum dan sesudah ke klinik kecantikan. Penelitian yang dilakukannya di Solo ini juga berlatar belakang ingin mengetahui perubahan sosial-budaya sejak menjamurnya klinik kecantikan di Solo. Temuan yang didapatkan oleh Mahetasari ialah perawatan tubuh di klinik kecantikan dipilih sebagai alternatif perawatan tubuh yang cukup singkat dan hasil yang memuaskan daripada perawatan di rumah yang memakan banyak waktu dan banyak resiko karena tidak ditangani oleh ahlinya (Mahetasari 2008). Belum banyak tulisan mengenai LC dan belum ada yang mengkaji mengenai penggunaan zat-zat kimia sebagai upayanya dalam menunjang pekerjaan LC. Dalam tulisan ini dibahas bagaimana setiap pekerjaan yang dilakukan oleh LC dapat mempengaruhi macam produk kimia yang dikonsumsi. Klasifikasi zat-zat kimia ini diantaranya adalah kosmetik, pelangsing, alkohol, narkotika, dan obat-obatan yang masuk dalam tubuh. Tubuh bagi seorang LC menjadi aset terpenting dalam menunjang pekerjaannya. Seperti yang dilakukan oleh perempuan-perempuan yang bekerja di club malam lainnya, kosmetik menjadi hal yang tidak boleh ditinggalkan. Demi menunjang penampilannya saat melakukan aksi didepan tamu, kewajiban LC adalah memoles wajahnya secara tebal dan mendapatkan kesan yang lebih glamour. Pemakaian kosmetik pada kalangan LC memang belum pernah dikaji sebelumnya, namun Suriptiasih pernah meneliti mengenai kosmetik dengan objeknya adalah pramuniaga, yang kemudian ditulis dalam ujian akhirnya pada tahun 1997 dengan judulnya Gaya Hidup Pramuniaga Wanita: Studi tentang Pemakaian Kosmetika 9
Pramuniaga Wanita. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa perilaku pemakaian kosmetika pada awalnya timbul karena tuntutan atau kewajiban pekerjaan, tetapi kemudian berubah menjadi kebiasaan. Bila kebiasaan ini tidak dilakukan maka akan timbul akibat yang tidak diinginkan, misalnya kurang percaya diri atau hati menjadi kacau. Kehidupan dunia malam tidak bisa lepas dengan konsumsi rokok, alkohol, hingga narkoba. Tidak hanya laki-laki saja, perempuan pun saat ini mengkonsumsi produk-produk kimia tersebut begitu pula dengan LC. Telah banyak kajian yang membahas tentang perempuan pengkonsumsi rokok, alkohol, juga narkoba tetapi belum ada yang secara spesifik membahas di kalangan LC. Kajian ini diantaranya adalah; Representasi Wanita Merokok dalam Novel Rara Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya ditulis pada 2011 oleh Atika Rusy Kuncoro dimana dalam penelitian ini terdapat sebuah penemuan yang didapatkan dari novel Rara Mendut bahwa wanita merokok sebagai sosok yang jauh dari moral buruk. Sebaliknya dalam masyarakat berbagai penilaian moral miring sangat mudah terlontar bagi perempuan yang melakukan kegiatan merokok di depan umum. Anggapan buruk seperti perempuan “tidak benar”, perempuan “nakal”, perempuan “liar”, bahkan perempuan “brandal” dapat mudah terbersit dalam benak masyarakat ketika melihat seseorang wanita merokok. Terlebih lagi penggambaran wanita merokok dalam media yang cenderung negatif. Di sisi lain pada novel Rara Mendut disebutkan wanita merokok telah ada sejak zaman Mataram. Dalam novel ini Atika mendapatkan sebuah temuan bahwa 10
wanita merokok digambarkan sebagai wanita dengan kekuatan dan pendirian serta kepribadian yang baik. Rokok menjadi simbol dari keberanian, penolakan penindasan, serta kekuasaan atas diri sendiri. Selain itu diperoleh pula pesan bahwa kaum istana zaman kerajaan menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh apa saja yang diinginkan tanpa memikirkan hak rakyat sebagai sesama manusia. Tulisan lain mengenai perokok perempuan juga ditulis oleh Yuni Lestari pada tahun 2010 dengan mengangkat judul Perilaku Kesehatan Reproduksi pada Perokok Wanita di Kota Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti karakteristik social ekonomi para perokok wanita, mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai faktor-faktor yang menyebabkan mereka merokok sampai pada perilaku perokok
wanita
dalam
kaitannya
dengan
kesehatan
reproduksinya.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa faktor lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan dan keinginan untuk mencoba hal baru menjadi penyebab wanita menjadi perokok. Wanita merokok dianggap wanita yang modern, seksi, glamour, matang, dan mandiri. Tidak hanya itu saja, wanita memilih untuk merokok yang kemudian menjadi kebiasaan disebabkan lingkungan. Biasanya wanita yang banyak dililit oleh masalah yang pelik lebih memilih merokok sebagai tempat pelarian dan ada yang beralibi sebagai penghilangan stress. Salah satu syarat dalam kerja LC adalah bisa minum alkohol. Hal ini dipastikan karena setiap tamu LC pasti membawa minuman alkohol dan LC sebagai pendamping tamu atau pemandu karaoke diharuskan memberikan pelayanan yang terbaik dengan tidak menolak tawaran minum dari tamu. Mengkonsumsi zat adiktif 11
seperti rokok dan minuman alkohol menjadi kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan ini memungkinkan terjadinya keinginan untuk mencoba mengkonsumsi zat adiktif yang lebih menenangkan yaitu berupa narkoba. Penemuan ini juga belum ada yang mengkaji sebelumnya. Di sisi lain penelitian tentang konsumsi minuman alkohol dan narkoba telah dikaji sebelumnya. Yuriska Afrinanda (2009) dalam tulisannya yang berjudul Self-Esteem pada Wanita Usia Dewasa Awal yang Bekerja sebagai Waiters di Bar, memperlihatkan bagaimana gambaran self-esteem pada wanita penyalahguna alkohol usia dewasa muda yang bekerja di bar sebagai waiters, dan faktor-faktor penyebab wanita dewasa muda tersebut dapat menjadi penyalahguna alkohol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menjadi penyalahguna alkohol karena faktor lingkungan kerja subjek yang cenderung selalu banyak hal-hal negatif didalamnya. Selain faktor lingkungan ada juga faktor diri sendiri, maksudnya semua yang terjadi pada subjek dapat dihindari jika memang ada niat dari subjek sendiri. Namun memang dirasa sulit selama subjek sendiri masih bekerja ditempat tersebut, dimana mengkonsumsi alkohol dianggap sah saja, dengan alasan mencari uang tambahan. Penelitian oleh Ilyas Roni Hartoto pada 2001 dengan judul Pengalaman Empat Orang Mahasiswa dan Seorang Mantan Bandar Ekstasi sebagai Pemakai Shabu-Shabu serta Upaya Penyembuhan yang Dilakukan (Kasus di Yogyakarta) mendapatkan sebuah temuan bahwa shabu-shabu diintepretasikan dan digunakan oleh para pemakai sebagai wujud dari ketertarikan pemakai terhadap shabu-shabu tersebut. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa pemakaian shabu-shabu dengan kadar 12
yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek impotensi bagi para pemakainya. Oleh karena itu sangatlah tidak tepat apabila shabu-shabu digunakan sebagai obat perangsang seksual. Penelitian mengenai pemakaian zat-zat kimia di kalangan LC di Yogyakarta belum pernah dilakukan. Di sisi lain mengenai hal-hal terkait produk-produk kimia berupa kosmetik, zat adiktif, konstruksi tubuh perempuan, dan perilaku perempuan pemandu karaoke telah dikaji sebelumnya. Penelitian ini ingin memperlihatkan bahwa kehidupan LC tak lepas dari pemakaian zat-zat kimia sebagai tuntutan dalam kerjanya. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu 1. Apa saja zat-zat kimia yang digunakan oleh LC dalam menunjang pekerjaan yang mereka geluti dan mengapa mereka banyak menggunakan zat-zat kimia tersebut? 2. Bagaimana manfaat zat-zat kimia tersebut dalam mendukung profesinya sebagai LC? 3. Mengapa kota Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota budaya dan pendidikan justru melahirkan pekerja LC yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi?
13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui produk kimia apa saja yang telah digunakan LC sebagai penunjang aktivitas kerjanya serta menjelaskan alasan penggunaan zat-zat kimia tersebut berdasarkan fungsi dari setiap bagian tubuhnya. 2. Untuk memahami manfaat produk-produk kimia dalam menunjang perofesi LC. 3. Untuk memahami terjadinya kontradiksi dimana predikat kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan terdapat pekerja LC yang justru tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya adalah: 1.
Manfaat Akademis Harapan dari penelitian ini dari segi akademis yakni dapat memberikan
sumbangan penelitian akademis, khususnya bagi antropologi yang membahas tentang masalah manusia dan budayanya, terutama dalam konteks ini adalah masalah konsumerisme. Selain itu dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi penelitian selanjutnya yang juga ingin membahas permasalahan tentang budaya konsumsi. 2.
Manfaat Praktis Diharapkan dari penelitian ini memberikan hasil yang sarat informasi mengenai
latar belakang pekerja LC dalam mengkonsumsi zat-zat kimia dan dapat memberikan informasi bagaimana tubuh begitu memiliki nilai jual yang tinggi bagi LC dengan memperlihatkan peran zat-zat kimia dalam menunjang aktivitas kerja LC. 14
E. Kerangka Pemikiran Lahirnya profesi LC bermula dari berkembangnya tempat hiburan karaoke. Hubungan keduanya tidak bisa lepas. Istilah karaoke terdiri dari dua kata bahasa Jepang, yaitu kara yang merupakan singkatan dari karappo yang berarti kosong, dan oke singkatan dari okesutora yang berarti orkestra. Jadi secara harafiah karaoke berarti melodi yang tidak ada vokalnya. Kepopuleran karaoke sekarang ini tak bisa lepas dari asal usul lahirnya entertainment yang berbasis pada lagu kosong ini. Pertama muncul di Kobe, Jepang, pada awalnya karaoke merupakan sekadar hiburan ringan yang biasa disajikan para pebisnis Jepang selepas jam kantor atau saat menjamu klien. Berkat kepiawaian karaoke yang bisa menetralisir perasaan stres dengan cara bernyanyi, hiburan ini pun berkembang ke arah yang lebih massal. Maka dikenallah tempat-tempat khusus karaoke (http://indonesiaindonesia.com/f/93185asal-kata-karaoke/ diunduh pada 25 Mei 2014). Bermula dari menjamurnya tempat karaoke sebagai pelepas penat melalui bernyanyi, tempat karaoke di Jepang semakin bervariasi dengan ditambahnya pelayanan berupa host dan hostess. Host dan hostess ini adalah seorang pria dan wanita yang bekerja sebagai peneman tamu bercerita/ngobrol dan minum-minum. Kepopuleran karaoke hingga ke penjuru benua melahirkan definisi menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford (www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/ english/karaoke diunduh pada 25 Mei 2014) yang didefinisikan sebagai: A type of entertainment in which a machine plays only the music of popular songs so that people can sing the words themselves. 15
(Sebuah jenis hiburan dimana sebuah mesin memainkan hanya musik dari lagu-lagu popular sehingga orang-orang dapat menyanyikan lirik lagu tersebut sendiri). Karaoke telah menjadi hiburan yang tersebar di Indonesia. Banyak kalangan yang menyukai jenis hiburan ini. Pelaku bisnis yang mengembangkan hiburan karaoke di seluruh kota di Indonesia melahirkan definisi karaoke tersendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 507) karaoke di artikan sebagai salah satu jenis hiburan dengan menyanyikan lagu-lagu popular dengan iringan musik yang telah direkam terlebih dahulu. Karaoke telah mengubah gaya hidup masyarakat Yogyakarta. Tempat hiburan karaoke yang telah tersebar memudahkan seluruh lapisan masyarakat menikmati hiburan ini. Tak heran tempat hiburan karaoke selalu ramai hingga malam hari. Karaoke menjadi satu kebutuhan masyarakat ketika mereka dilanda stress entah karena pekerjaan ataupun stress masalah pribadinya. Kebutuhan ini berkembang sejalan dengan tempat hiburan karaoke yang menjamur. Menurut pasal 1 ayat 9 Permen Kebudayaan dan Pariwisata tentang tata cara pendaftaran usaha penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, Karaoke didefinisikan sebagai usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas menyanyi dengan atau tanpa pemandu lagu. Pemandu lagu atau biasa disebut dengan istilah Lady Companion menjadi satu fasilitas yang disediakan oleh beberapa tempat karaoke. Mereka menjadi wanita pelengkap dalam dunia hiburan karaoke.
16
Pekerjaannya sebagai LC tidak lepas dari perhatian akan penampilan dan stamina tubuhnya dalam menghandle tamu. Berhadapan dengan tamu yang akan membeli jasanya membuat LC harus selalu menjaga kecantikan wajahnya dan seksi tubuhnya. Selain itu, jam kerja yang tinggi ditambah dengan seringnya LC mengkonsumsi alkohol membuatnya harus selalu menjaga ketahanan fisiknya agar dapat melanjutkan aktivitas kerja. Mengkonsumsi produk-produk kimia memiliki peran yang tinggi dalam menunjang aktivitas kerja LC. Naomi Wolf (2004: 56) dalam bukunya Mitos Kecantikan mengungkapkan, “Kecantikan” menjadi sesuatu yang terkategorisasikan. Dalam hal profesi dan perdagangan, kategori ini menjadi semakin jauh lagi dari (definisi) profesi penghias di masa awalnya, menjelma sebagai sebuah versi dari apa yang disebut dalam peraturan diskriminasi seks Amerika Serikat sebagai BFOQ (a bona fide occupational qualification/ kualifikasi pekerjaan yang bonafid), sedang dalam peraturan di Inggris disebut GOQ (a genuine occupational qualifications/ kualifikasi pekerjaan yang sah). Apa yang terjadi sekarang adalah semua profesi yang dirambah oleh perempuan diklasifikasikan kembali secara cepat—sejauh perempuan tetap menjadi pihak yang diperhatikan—sebagai profesi penghias. “Kecantikan” menjadi sesuatu yang terkategorisasikan. Menjaga penampilan tubuh dilakukan oleh LC. Salah satunya dengan perawatan yang dilakukan dari dalam maupun dari luar. Menurut Irwan Abdullah (1998), ada tiga alasan yang dapat menjadi dasar penjelasan mengapa kecenderungan perawatan tubuh di kalangan wanita menjadi sangat penting. Alasan pertama adalah 17
alasan ekonomis. Merawat dan memperindah tubuh sama artinya dengan memberikan nilai tambah pada tubuh, yang dapat mempertinggi nilai jual tubuh. Semakin ideal dan indah bentuk tubuh, semakin tinggi nilai tukar (nilai) ekonomi yang diperoleh. Alasan yang kedua adalah penolakan terhadap ketuaan dan nasib. Ketakutan untuk tampil tua dan tidak cantik hampir identik dengan trauma kematian. Kematiaan atau ketuaan bertentangan dengan ideologi manusia sebagai makhluk pencari makna dalam kehidupannya. Ketuaan dan kematian (kekurangan secara fisik) menyebabkan manusia tidak bermakna atau kurang mendapatkan penghargaan terhadap dirinya. Alasan yang ketiga adalah bentuk pelarian dari rutinitas. Dari ketiga alasan tersebut, bagi LC alasan yang pertama adalah alasan pokok mengapa mereka merawat tubuhnya. Tubuhnya adalah sumber pendapatan yang tinggi sehingga upaya perawatan tubuh ditempuh LC guna menjaga kualitas. Tubuh LC yang mampu menghasilkan modal membuat LC memperbaiki setiap bagian tubuhnya yang kurang. Hal ini sesuai dengan konsep Bourdieu tentang “body capital” (modal tubuh), yang memerlihatkan bahwa aset-aset fisik tertentu dapat berfungsi sebagai modal yang dapat ditukar untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, banyak usaha yang dilakukan untuk memperbaiki penampilan agar dapat mencapai citra tubuh yang ideal (1984, hal. 201-8). Dalam budaya konsumen, penampilan adalah faktor utama dalam menentukan “nilai jual”, karena tubuh diyakini sebagai sarana untuk menikmati kesenangan dan ekspresi diri sehingga ia mencerminkan jati diri seseorang (Featherstone, 1982).
18
Kosmetik adalah hal yang tidak bisa lepas dalam kerja LC. Bisa dikatakan bahwa menggunakan kosmetik adalah kewajiban. Menggunakan kosmetik yang tebal pun menjadi aturan tak tertulis guna menonjolkan wajah cantiknya terlebih pada ruangan yang kurang cahaya seperti room karaoke. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosok, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan obat. Definisi tersebut jelas menunjukkan bahwa kosmetika bukan satu obat yang dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakit (Wasitaatmadja, 1997). Menurut Brauer EW dan Principles of Cosmetics for The Dermatologist membuat klasifikasi sebagai berikut : 1. Toiletries : sabun, shampo, pengkilap rambut, kondisioner rambut, piñata, pewarna, pengeriting, pelurus rambut, deodorant, antipespiran,dan tabir surya. 2. Skin care : pencukur, pembersih, astringen, toner, pelembab, masker, krem malam, dan bahan untuk mandi. 3. Make up : foundation, eye make up, lipstick, rouges, blushers, enamel kuku. 4. Fragrance : perfumes, colognes, toilet waters, body silk, bath powders. Dunia LC tidak jauh dengan konsumsi zat adiktif berupa rokok, alkohol, hingga zat-zat psikotropika. Awalnya zat-zat adiktif ini digunakan untuk penghilang setres
19
atau penambah semangat. Tamu yang selalu minum alkohol dalam berkaraoke membuat LC menjadikan minuman alkohol adalah minuman sehari-hari. Kebiasaan ini pun terbangun seiring tinggiya jam handle tamu. Merokok menurut Sitepoe dalam bukunya Kekhususan Rokok Indonesia (2000: 87) adalah membakar tembakau kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap rokok yang dihisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua komponen. Pertama, komponen yang lekas menguap berbentuk gas. Kedua, komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang dihisap dapat berupa gas sejumlah 85 persen dan sisanya berupa partikel. Menurut Shiffman (dalam Davison, Neale & Ann M. Kring, 2006 dikutip dalam Skripsi Afrinanda berjudul Self-Esteem pada Wanita Usia Dewasa Awal yang Bekerja sebagai Waiters di Bar) penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol sering kali merupakan bagian dari penyalahgunaan banyak zat, menggunakan atau menyalahgunakan lebih dari satu zat pada satu waktu. Diperkirakan, bahwa 80 hingga 85 persen penyalahguna alkohol adalah perokok. Selain itu, alkohol berfungsi sebagai isyarat merokok, frekuensi merokok dua kali lebih sering dalam berbagai situasi dimana orang tersebut juga minum alkohol. Tingkat komorbilitas yang sangat tinggi tersebut dapat terjadi karena alkohol dan nikotin berkorelasi silang yaitu, nikotin dapat menimbulkan toleransi terhadap efek alkohol yang menyenangkan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, konsumsi kedua zat tersebut dapat lebih tinggi
20
untuk mempertahankan efeknya yang menyenangkan. Sama halnya dengan penggunaan kopi dan rokok secara bersamaan. Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1997 mendefinisikan Psikotropika sebagai zat atau obat bukan narkotik tetapi berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Melalui pengaruhnya pada susunan saraf pusat, ia dapat menyebabkan efek ketergantungan. Psikotropika dapat digolongkan atas4: 1. Amphetamine adalah sekelompok zat/obat yang mempunyai khasiat sebagai stimulant susunan syaraf pusat. Amphetamine menimbulkan rangsangan serupa dengan adrenalin, suatu hormon yang merangsang kegiatan susunan syaraf pusat dan meningkatkan kinerja otak. 2. ATS yaitu (Amphetamine Type Stimulants) adalah nama sekelompok zat/obat yang mempunyai khasiat sama dengan atau seperti amphetamine. Nama lain yaitu Speed, Crystal dan Ecstasy. a. Shabu adalah nama jalanan untuk amfetamin b. Ice adalah bentuk amfetamin baru yang pada akhir-akhir ini memasuki pasaran gelap. Ice dibuat dari bahan methamfetamin dalam bentuk kristal biru yang dapat dihisap dengan hidung.
4
Diambil dari BNN “Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi Pemuda”, 2004, Jakarta, hal 19-22
21
Lady Companion dalam bekerja yang menuntut dirinya bertubuh seksi dan berwajah cantik semata-mata menjadi hiburan atas kepuasan seorang pelanggan. Pelanggan LC yang didominasi oleh kaum laki-laki membuat LC untuk selalu memoles tubuhnya yang dirasa sangat perlu. Simone de Beauvoir (dikutip dalam Wolf, 2004) dalam gagasannya yang menyentil bahwa tak seorang lelakipun yang sungguh-sungguh bebas untuk mencintai seorang perempuan yang gemuk. Baudrillard (2004) dalam bukunya Masyarakat Konsumsi mengatakan Individu harus menganggap dirinya sendiri sebagai objek, sebagai objek terbaik, sebagai alat tukar yang paling berharga, agar dapat berdiri pada tingkat tubuh yang melemah (decontruit), seksualitas yang melemah, sebagai proses ekonomi yang mampu mendatangkan laba. Tidaklah mengherankan jika perempuan menjadi target utama para kapitalis karena mereka mudah dibuat untuk tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan kondisi fisiknya (Kompas, 15 Maret 2004), dan karena ‘cantik’ kerap dikaitkan dengan keindahan. Keindahan hadir atas kepentingan kapitalisme, konsumerisme, dan identitas (Prabasmoro 2003:17). Tuntutan LC untuk menjaga penampilan rasanya menjadi hal yang prioritas diperhatikan. Beberapa pihak juga diuntungkan dengan adanya hasrat LC untuk memperbaiki penampilannya. Selain berguna untuk dirinya sendiri, LC menjadi satu aset yang menjual sebuah club karaoke yang menaunginya. Penampilan LC yang menarik dipertaruhkan untuk para tamu seberapa besar mereka mampu mengeluarkan uang sebagai patokan nilai tukar. Inilah mengapa konsumsi zat-zat kimia menjadi penting dilakukan LC guna memaksimalkan 22
penampilan tubuhnya. Konsumsi zat-zat kimia bukan lagi menjadi kebutuhan sampingan melainkan kebutuhan pokok guna menyambung hidup. F. Metode Penelitian Awalnya istilah LC atau lady companion sangat asing di telinga saya. Tidak semua pun tahu apa itu LC. Beberapa orang akan paham dengan istilah yang berbeda misalnya PL (pemandu lagu) atau PK (pemandu karaoke). Pada beberapa masyarakat khususnya dalam industry karaoke di Yogyakarta, LC dikenal dengan wanita yang dibooking oleh tamu laki-laki untuk menemani karaoke. LC ini dikenal dengan penampilan dan gayanya yang menggoda. Kesempatan mengkaji LC pertama kali datang dari teman saya yang akan menelitinya saat awal bergabung dalam sebuah proyek Chemical Youth 2013, penelitian yang mengkaji tentang penggunaan zat-zat kimia di kalangan remaja. Awal penelitian, teman saya merasa kesulitan dengan kurangnya informasi dan akses untuk masuk ke dunia LC, sehingga ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari proyek dan lepas dari penelitian LC. Keingintahuan saya terhadap dunia LC membuat saya ingin menelitinya dan menjadikannya sebagai tugas akhir. Penelitian pun tidak semulus yang dibayangkan. Saya sempat ingin menyerah karena susahnya melakukan pendekatan dengan LC. Sangat disayangkan jika penelitian ini tidak dilanjutkan karena sarat akan informasi mengenai LC di Yogyakarta, disamping itu masih belum banyak yang mengkaji mengenai
23
penggunaan zat-zat kimia di kalangan LC. Penelitian ini dilakukan secara mandiri dengan memanfaatkan ilmu yang didapatkan dari penelitian Chemical Youth 2013. F.1 Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini terdapat 5 orang LC yang terdiri atas LC freelance (2 orang), LC tetap (3 orang). Mereka memiliki rentang usia antara 22 hingga 28 tahun. Observasi dilakukan di beberapa tempat karaoke kecil yang menyediakan LC. Banyak masalah yang muncul saat proses pencarian LC terlebih saya sebagai peneliti melakukan observasi seorang diri. Awalnya saya melakukan pendekatan dengan tukang parkir pada tempat karaoke untuk menjembatani saya dengan LC. Metode ini tidak berjalan karena LC curiga dengan identitas saya seorang perempuan berjilbab, seorang diri yang ingin membookingnya walaupun tukang parkir merayunya dengan bahasanya yang akrab. Tidak mampunya saya memberikan uang tip yang besar juga menjadi alasan penguat LC menolak saya. Tidak menemukan apa yang diharapkan, maka saya melakukan pendekatan dengan berbagai sumber yang sekiranya dapat langsung menjembatani antara saya dan LC di tempat dimana mereka tinggal. Sumber pihak ketiga ini adalah pemilik kos LC, dan pelanggan LC. Kedua perantara pihak ketiga ini adalah orang yang memiliki jasa besar bagi LC. Awal kedatangan saya di kos LC ditemani oleh ibu kos yang sangat akrab dengan para penghuni kos. Inilah gerbang yang baik untuk bisa mengambil hati 3 LC sekaligus. Kendala datang di akhir, ketika pada suatu waktu ketiga LC ini ternyata sudah tidak di kos lagi. Menurut informasi ibu kos, ada yang
24
pindah kos dan ada pula yang pindah kerja di Jakarta. Nomor kontak tidak bisa dihubungi mengingat mereka yang hobi mengganti simcard. Pendekatan dengan LC ternyata lebih efektif saat saya mengajak teman SMA saya yang pernah menjadi pelanggan LC. Hubungan yang pernah terjalin intens diantara LC dan pelanggan memberikan rasa percaya sehingga mengambil hati LC dirasa lebih mudah. Bukan berarti kemudian saya lancar menghubungi LC untuk follow up. Bahkan mereka menghapus kontak bbm (blackberry message) saya di tengah proses mengakrabkan diri dengan dunianya. Mendatangi di kosnya setiap waktu tanpa melakukan janji terlebih dulu adalah jalan keluar walaupun tak jarang LC ini tidak ada di kosnya. Walaupun banyak rintangan didalamnya karena kesusahan komunikasi, tidak menyurutkan langkah untuk selalu melakukan pendekatan hingga akhirnya 5 LC tersebut dapat dijadikan sebagai informan. F.2 Teknik Pengumpulan Data Penulisan skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Pendekatan ini merupakan suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah yang terdapat pada kehidupan manusia. Pada pendekatan kualitatif, peneliti menekankan sifat realistis yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subyek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview). Observasi dilakukan untuk
25
mendapatkan informasi dimana peneliti bisa menemukan LC saat bekerja di tempat karaoke ataupun di tempat tinggalnya diluar jam kerja. Wawancara dilakukan guna mendapatkan data tentang produk-produk kimia yang digunakan oleh LC demi memperoleh penampilan yang menarik guna menunjang dirinya agar memiliki nilai jual tinggi didepan tamu. Penelitian ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan dengan berbagai tahap, antara lain observasi, snowball sampling, wawancara mendalam (indepth interview) dengan strategi head to toe (HTT)5. Observasi pertama dilakukan dengan mendatangi tempat karaoke dimana LC bekerja dan memberanikan diri untuk membooking LC melalui tukang parkir. Hal ini dilakukan sebagai upaya pendekatan awal dengan sumber yang mampu digali informasinya. Selain itu observasi ini sekaligus bertujuan untuk mencari LC yang dapat dijadikan sebagai informan penelitian. Langkah awal ini tak semulus yang dibayangkan, bahkan bisa dikatakan gagal karena tak ada LC yang mau dibooking dengan gadis berjilbab seorang diri yang tak mampu membayar tip tinggi. Langkah pertama yang gagal tidak menyurutkan untuk terus melakukan penelitian. Langkah kedua adalah dengan teknik sampling yakni dengan metode snowball sampling dimana informan didapatkan dari bantuan seorang teman yang pernah menjadi pelanggan seorang LC di salah satu tempat hiburan karaoke di 5
Strategi head to toe (HTT) adalah strategi yang dilakukan dengan menggali informasi mengenai zat-zat kimia yang digunakan pada setiap bagian tubuh, dari rambut hingga kaki. Pada strategi HTT ini peneliti membuat sebuah gambar tubuh manusia dimana informan diminta untuk mengisi zat-zat kimia yang telah digunakan pada setiap bagian tubuh tersebut.
26
Yogyakarta. Beberapa informan yang lain dikenalkan oleh pemilik kos belakang Boshe VVIP Club dimana area kos tersebut dihuni oleh pekerja-pekerja LC tetap di Liquid ataupun Boshe. Observasi pun dilakukan kembali untuk melihat secara langsung zat-zat kimia macam apa yang digunakan oleh LC. Selain itu observasi ini dilakukan guna mengetahui setiap kegiatan LC dan lingkungan tempat tinggal LC. Dalam menggali data mengenai zat-zat kimia dilakukan wawancara yang diawali menggunakan pendekatan dengan pembicaraan ringan agar terbangun hubungan emosional diantara informan dan peneliti, sehingga timbul kepercayaan untuk saling terbuka. Penggunaan strategi head to toe (HTT) dimaksudkan agar informan diberikan kewenangan untuk mengisi zat kimia apa saja yang mereka gunakan pada setiap bagian tubuhnya. Hal ini dapat menjadi strategi efektif guna membangun keterbukaan dari informan ketika mereka susah untuk mengungkapkan atau susah mengingat apa saja zat kimia yang telah mereka pakai. Metode head to toe (HTT) dalam wawancara digunakan untuk desentizing topik penelitian mengingat bahwa penelitian dengan topik zat-zat kimia selalu dianggap sebagai topik sensitif. Temuan spesifik dari penelitian ini adalah terkait dengan penggunaan zat kimia untuk kecantikan, membentuk tubuh seksi, dan menjaga stamina tubuh. Ketiga aspek tersebut bagi LC adalah kriteria untuk berpenampilan menarik dan bernilai jual tinggi.
27
F.3 Etika Penelitian Melakukan penelitian diperlukan etika untuk menghormati hak informan. Etika ini juga dilakukan untuk menjaga kenyamanan dari informan dan memberikan pemahaman mengenai latar belakang penelitian. Sebagai tahap awal, pertemuan antara peneliti dan informan dilakukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan memperhatikan kenyamanan dari pihak informan. Seluruh informan dalam penelitian ini lebih memilih peneliti datang di kosnya. Sebelum melakukan wawancara peneliti menjelaskan maksud dari penelitian skripsi, topik yang peneliti ambil, kemungkinan-kemungkinan manfaat yang diperoleh dan resiko yang timbul. Selanjutnya peneliti mempersilahkan informan untuk membaca sendiri information and consent form serta menandatangani jika setuju dengan keterlibatan dalam penelitian ini. Tidak lupa untuk selalu memberikan informasi tentang kerahasiaan identitas pribadi, setiap nama orang, nama klinik, dan semua yang sekiranya dapat diakses akan disamarkan. Saling menjaga privasi dari setiap informan adalah keharusan, hak dari mereka perlu di pahami. Karena wawancara ini direkam maka data dan rekaman disimpan di file pribadi peneliti. Kesulitan dalam melakukan wawancara disini adalah tidak semua informan mau untuk direkam, sehingga harus melakukan follow up berulang dengan mendatanginya tiap waktu.
28