UNIVERSITAS GADJAH MADA BAHAN AJAR MATA KULIAH
: FILSAFAT INDIA PRA MODERN
DOSEN
: DRS. WAGIYO, M.S.
FAKULTAS
: FILSAFAT
FILSAFAT INDIA PRA MODERN A. Pendahuluan 1. Pengertian Filsafat India Pengertian Filsafat India yaitu suatu pemikiran Bangsa India yang menyeluruh dan mendalam yang mencakup suatu rentang waktu yang meliputi masa antara tahun 2000 SM hingga masa kontemporer atau dewasa ini. Akan tetapi ada yang menyatakan bahwa kegiatan pemikiran India itu telah ada jauh lebih awal, yaitu mulai masuknya Bangsa Arya ke India yaitu pada tahun 3500 SM. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut masih terbagi-bagi dalam berbagai macam periode yang masing-masing mempunyai cara pemikiran sendiri-sendiri. Secara umum Filsafat India mempunyai pola dan tujuan akhir yang sama yaitu untuk mencapai kebahagiaan tertinggi atau kesempurnaan atau kelepasan. Adapun cara pencapaian kelepasan itu berbeda antara aliran pemikiran yang satu dengan yang lain. Filsafat India lahir dari kandungan agama (Hindu), atau setelah lahir antara filsafat dengan agama tidak pernah terpisah dan tetap merupakan satu kesatuan. Dalam hal ini agama berusaha jalan bagi manusia untuk memperoleh kelepasan. Sementara filsafat berusaha membuktikan dan menerangkan eksistensi serta kenyataan yang terakhir, baik personal maupun impersonal. 2. Pengertian Filsafat India Pra Modern Pengertian Filsafat India Pra Modern, yaitu suatu bagian dari Filsafat India yang mencakup pemikiran Bangsa India dalam rentang antara tahun 2000 SM sampai dengan masuknya pengaruh Islam, dan masa awal masuknya pengaruh Barat. 3. Latar Belakang Lahirnya Filsafat India Apabila diperhatikan secara seksama dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya lahirnya pemikiran suatu bangsa erat sekali hubungannya dengan kehidupan bangsa yang bersangkutan, baik yang berhubungan dengan keadaan alam, kebudayaan, sosial, ekonomi maupun kepercayaannya. Demikian pula lahirnya pemikiran Filsafat India ialah karena keadaan alam India yang beraneka ragam, yaitu sebagian tanahnya berupa daratan dengan sungai-sungai yang besar, bergunung-gunung yang di sela-selanya terdapat bukit-bukit dengan hutannya yang lebat, tanah kering dan padang pasir, serta keadaan cuaca yang kadang-kadang cukup besar perbedaannya antara panas
dan dingin (Ghallab, 1950, hal 52). Disamping itu, letak geografis India yang sebagian besar dibatasi oleh pegunungan dan Samudra Hindia, yang pada masa lampau mempunyai arti penting bagi pertahanan dan kemungkinan adanya serangan dari bangsa lain, juga ikut mendorong orang India untuk menggunakan pemikirannya dalam menatap kehidupan mereka. Bagi orang yang tidak semata-mata menitikberatkan pada persoalan dunia, hal tersebut akan memberikan kecenderungan untuk memikirkan kehidupan yang lebih tinggi yang didasarkan pada kerohanian. Hal ini mendorong orang India menggunakan kodrat manusia yang paling bebas yaitu pikiran (Bakker, 1976, hal. 1). Sebagai akibat penggunaan pikiran tersebut lahirlah pemikiran mendalam. Para perenung dalam memikirkan persoalan hidup memilih tempat-tempat yang sunyi yaitu di asrama-asrama ataupun pertapaan-pertapaan di hutan. Sesungguhnya India telah memiliki benih-benih pemikiran filsafati sejak 2000 tahun Sebelum Masehi, yaitu dalam hymne yang berusaha mengungkap misteri alam semesta. Pada masa itu isi hymne berupa pujian-pujian pada para dewa, misalnya untuk mengundang mereka agar menghadiri upacara persajian. Akan tetapi sebenarnya pemikiran filsafati India menjadi kenyataan pada zaman Upanisad, sekalipun belum merupakan sistem pemikiran filsafati yang bulat. 4. Pengertian Hinduisme Ada
beberapa
pendapat
yang
menyatakan
tentang
pengertian
Hinduisme, dan secara berturut-turut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Suatu paham dari India yang merupakan suatu tradisi religius yang sangat tua di India kuno, tetapi sulit diterima secara keseluruhan karena juga merupakan tradisi-tradisi religius yang sangat banyak penggolongannya. (John Tondowidjojo, 1983, hal. 12). b. Suatu aliran yang pada mulanya tidak menunjukkan sistem filsafat, tetapi hanya merupakan cara hidup dan agama nasional. (M. sastropratedja. S.J., 1973, hal. 5). c. Suatu agama bukan dalam arti biasa, tetapi suatu bidang keagamaan dan kebudayaan yang meliputi kira-kira tahun 1500 sebelum Masehi sampai sekarang (Harun Hadiwijono, 1976, hal. 1). d. Suatu “way of life” dan bukan suatu agama dalam arti yang sebenarbenarnya (O. D. P. Sihombing, 1962, hal. 15).
e. Suatu proses antropologi yang karena nasib yang ironis saja diberi nama agama (Harun Hadiwijono, 1976, hal. 11). f.
Suatu agama yang bersifat universitas di India yang berdasarkan pada kitab Weda (Swami Vivekananda, 1946, hal. 1).
g. Suatu sistem sosial yang diperkuat oleh cita-cita keagamaan. Dan dengan demikian lalu mempunyai tendensi keagamaan (C.J. Bleeker, tanpa tahun, hal. 7-8). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa Hinduisme merupakan suatu aliran yang bersifat kerohanian yang telah lama dianut oleh orang India sejak berabad-abad yang lalu sampai sekarang. Hinduisme dapat diibaratkan sebagai suatu rimba raya yang penuh pohon-pohonnya yang beraneka warna, karena di dalamnya terkandung agama, bentuk-bentuk kultus, mistik, etika, estetika, dan mashab-mashab agama yang berdasarkan filsafat. (C.J. Bleeker, tanpa tahun, hal. 6). Selanjutnya mengingat dalam Hinduisme, maka akan terlibat dalam aliranaliran rohani yang rumit dan gelap, sehingga orang hampir tidak akan menemukan jalan (A. G. Honig, Jr., 1959, hal. 62). Dalam
pertumbuhan
serta
perkembangannya
Hinduisme
telah
mengalami perubahan-perubahan, baik berupa suatu usaha penyempurnaan maupun upaya untuk menentangnya. Hal yang demikian itu mengakibatkan dalam Hinduisme itu lahir berbagai macam aliran yang berdasarkan pada cara pemikiran yang berlainan. Hinduisme oleh para pengikutnya sering diberi nama agama Hindu, dan lebih sering pula disebut dengan istilah Sanatana Dharma, yang artinya agama yang kekal atau hukum yang abadi. Akan tetapi di lain pihak para pengikutnya juga sering menyebut dengan istilah Arya Dharma, yang artinya agama bangsa Arya. Namun demikian mereka juga sering menyebut agama itu dengan istilah Waidika Dharma, yang artinya agama Weda. Hal yang demikian itu dapat dimaklumi, sebab bagi pengikut Hinduisme mempunyai suatu keyakinan bahwa apa yang termuat/terkandung dalam Weda itu benar, sebab hal tersebut merupakan wahyu, disamping Weda itu sendiri dipandang sebagai suatu kitab yang tiada awal dan akhir (Swami Vivekananda, 1946, hal. 2).
Dengan demikian pemikiran atau filsafat yang terkandung dalam Hinduisme yaitu mencakup sejak Zaman Weda sampai Zaman Kontemporer, sejauh pemikiran itu masih mendasarkan pada otoritas Weda. B. Ciri dan Tujuan Filsafat India 1. Ciri Filsafat India Pemikiran filsafati suatu bangsa mempunyai corak tersendiri yang merupakan kekhasannya sesuai dengan akar budaya yang melandasinya. Menurut Radhakrishnan (1957) dan Raju (1970) dinyatakan bahwa corak pemikiran filsafati India mempunyai kecenderungan (1) mempunyai motif yang bersifat spiritual dan ada gejala bersifat kultus; (2) menitikberatkan pada subyektivitas daripada obyektivitas; mendasarkan diri pada Weda, dan bukan kepada sekte-sekte yang berpandangan sempit, akan tetapi ada yang menerima komentar-komentar yang berasal dari para pemikir, serta ada pula yang menolak Weda yaitu Buddhisme dan Jainisme; dan (4) mempunyai hubungan yang erat antara filsafat dengan hidup; (5) mengarah pada monisme yang idealis, terutama sekali dalam Hinduisme; (6) pemikiran dan pengetahuan intelek dipandang tidak mencukupi, dan hanya intuisilah yang dianggap mampu mencapai kebenaran Yang Tertinggi; (7) ada suatu pertanda bahwa pemikirannya senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tradisional; (8) dalam mengadakan pendekatan terhadap berbagai aspek pengalaman dan realita digunakan cara-cara sintesis. Selain kecenderungan seperti tersebut di atas, pemikiran Filsafat India yang lahir dari Agama Hindu senantiasa tidak lepas dari agama dan keduanya senantiasa saling melengkapi. Apabila agama tidak menunjukkan dinamikanya, maka muncullah pemikiran filsafati yang berupa kritik untuk mempertahankan kebenaran. Sementara apabila agama tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan karena adanya perubahan zaman, maka tampillah tokoh-tokoh baru dengan maksud untuk mengadakan perubahan dalam bidang kerohanian. Hal tersebut menunjukkan
bahwa
Filsafat
India
bersifat
kritis,
karena
senantiasa
mengadakan koreksi terhadap agama. Sebaliknya meskipun agama dan tradisi sosial besar sekali pengaruhnya terhadap rakyat, namun hal itu tidak menghambat penyelidikan filsafat, karena setiap orang India mempunyai kebebasan untuk menggunakan pendapatnya. Filsafat India memberikan penekanan pada faktor subyek, dalam arti membahas manusianya sendiri
dengan maksud untuk meningkatkan derajat manusia sampai pada tingkat yang setinggi-tingginya. Hal tersebut mengandung suatu makna bahwa filsafat India dianggap sebagai pengatur dalam kehidupan manusianya, dalam arti senantiasa memberikan petunjuk serta bimbingan orang India
dalam
melaksanakan segala macam kegiatannya. 2. Tujuan Filsafat India Semua aliran dalam Filsafat India mempunyai tujuan akhir yang sama yaitu untuk mencapai kebahagian tertinggi atau kesempurnaan atau kelepasan. Adapun berbagai macam jalan untuk dapat mencapai kelepasan yaitu: a. Cinta (Bhakti) Cinta (bhakti) kepada Realitas Tertinggi sebagai yang dipertuhan merupakan jalan mencapai kelepasan. b. Karya (Perbuatan) Karya atau perbuatan yang baik, tanpa pamrih dan tidak memperhitungkan imbalan, dan bekerja untuk bekerja itu sendiri, dapat digunakan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi atau kelepasan. c. Yoga (Disiplin Pikiran) Yoga
yaitu jalan untuk
mencapai
kelepasan, dengan
cara
pengengkangan diri dan pengendalian pikiran. d. Jnana (Pengetahuan) Jnana (pengetahuan) dapat digunakan untuk mencapai kelepasan yaitu dengan jalan perwujudan (realisasi) roh pribadi dengan Roh Tertinggi sebagai yang dipertuhan yaitu Brahman. C. Periode Pemikiran Zaman Weda Periode pemikiran Zaman Weda digolongkan menjadi beberapa zaman, yaitu: 1. Pemikiran Zaman Weda Kuno a. Konsep tentang realitas Pada prinsipnya rakyat India adalah cinta kepada Tuhan (Lin Yutang, 1949, hal. 17). Filsafat India, selain manusia berfikir pada masalahmasalah yang bersifat keduniawian, juga mengutamakan hal-hal yang bersifat kerohanian, sehingga dalam melaksanakan sesuatu dikandung suatu maksud yang suci dan luhur. Bagi orang India, masalah keyakinan dan ketaatan kepada Sang Tunggal (Realita Tertinggi), merupakan prinsip,
tujuan, dan jiwa dari pandangan kefilsafatannya. (Boekhandel “Bing Sien”, 1939, hal. 30). Dalam pertumbuhan serta perkembangan Filsafat India mempunyai istilah yang berbeda untuk menyebut realitas tertinggi sebagai yang dipertuhan. Anggapan yang demikian ini sangatlah penting, mengingat suatu hal yang tidak mungkin dalam kehidupan keagamaan tanpa adanya sesuatu yang dipertuhan, sebab hal itu merupakan sumber dalam segala macam kegiatan keagamaan. Pada zaman Weda Kuno, orang India menyembah kepada dewa, sebab merekalah (para dewa) yang dianggap dapat menolong manusia, sehingga dewa inilah yang dianggap sebagai Tuhan (Realitas Tertinggi). b. Pandangan tentang penjadian India yang sering mendapat julukan “Arya Varta” yang artinya tanah orang Arya, ternyata mempunyai suatu konsekuensi dalam bidang pemikiran. Sesuai dengan nama yang demikian, maka sejak semula orang India merasa bahwa dirinya keturunan bangsa Arya, dan merasa berjasa dalam memikirkan rahasia alam semesta, yang menyangkut siapakah yang mengatur dan dimanakah adanya. Selanjutnya dengan perkembangan pengertian tentang hakikat realitas tertinggi, maka dalam diri mereka mempertanyakan pula mengenai proses penjadian alam semesta ini. Adapun pandangan orang India yang mayoritas mendasarkan pemikirannya pada Hinduisme, maka konsep mereka tentang penjadian dapat dikemukakan sebagai berikut: Pada zaman Weda Kuno disebutkan bahwa dunia ini dijadikan oleh dewa, dan di lain pihak dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Wiswakarman yang dianggap sebagai yang melihat segala sesuatu, sehingga sering disebut Bapak Pandangan, Kebijaksanaan dan Spirit (Nicol Macnicol, 1958, hal. 27). c. Konsep tentang manusia Filsafat India selain mempersoalkan dewa, alam semesta, juga membahas tentang manusia. Semula pandangannya tentang manusia ialah bahwa jika manusia tidak dapat mati. Atas dasar anggapan yang demikian maka dalam kehidupannya manusia harus berbuat baik agar jiwanya masuk nirwana bersama-sama para dewa.
d. Pandangan tentang kelepasan Tujuan akhir Filsafat India ialah kelepasan, yaitu suatu pembebasan dan lingkaran kehidupan yang tidak henti-hentinya. Sering dikatakan bahwa Hinduisme
sedemikian
tenggelam
dalam
persoalan
kelepasan/
pembebasan, sehingga kurang adanya perhatian terhadap moralitas dan hubungan sosial (M. Sastropratedja, S.J., 1973, hal. 9). Hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya kesan bahwa dalam Hinduisme kurang menaruh perhatian terhadap hal-hal yang menyangkut aspek keduniawian. Berkaitan dengan hal tersebut di atas sering pula dikatakan bahwa dalam Hinduisme manusia menyelami misteri Ilahi dan mengungkapkannya dalam jumlah myte, yang berlimpah-limpah dari dalam sistem-sistem filsafat. Di dalamnya seorang Hindu mencari pembebasan dari kegelisahankegelisahan hidup melalui tiga jalan yaitu dengan bermacam-macam karya, dengan
mengheningkan
cipta
secara
mendalam
atau
dengan
mempercayakan diri ke hadirat Tuhan, bersikap ayik hati dan berbakti (Y. W. M. Bakler, S. Y., 1976, hal. 22). Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka makna kelepasan ialah suatu pembebasan dari kondisi manusiawi dari semua perbuatan dalam segala bentuknya, apakah itu perbuatan baik atau buruk, untuk mencapai suatu keadaan yang mengatasi waktu dan tempat. Adapun konsep kelepasan dalam Filsafat India dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada mulanya yaitu pada zaman Weda Kuno, masalah kelepasan di tangan para dewa, dan untuk mencapainya haruslah ditempuh dengan jalan mempersempahkan korban kepada mereka. Dengan demikian maka para dewa mempunyai kekuasaan yang menentukan terhadap kelepasan yang diinginkan oleh manusia. 2. Pemikiran Zaman Brahmana Pemikiran Zaman Brahmana dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Konsep tentang realitas Pada zaman Brahmana, peranan para dewa terdesak oleh korban, namun oleh karena mengharuskan adanya sesuatu yang dipertuhan, maka timbullah banyak dewa baru yang dipandang mempunyai kesamaan sifat. Atas dasar inilah maka lahirlah pandangan bahwa segala sesuatu berasal dari satu asas (monisme). Pada masa ini realitas tertinggi yang dianggap
sebagai penyebab dari segala sesuatu yang ada ialah Brahman atau Prajapati. b. Konsep tentang penjadian Pada zaman Brahmana, yang dianggap sebagai pencipta dunia ialah Prajapati yang dipandang dengan berbagai macam cara. Ada anggapan bahwa setelah Prajapati mengalirkan dunia dari dirinya, maka sudah tidak memperhatikan lagi. Kecuali itu di lain pihak Prajapati dianggap memelihara semua makhluk, namun adakalanya Prajapati dijadikan awal adanya dunia sebagai prinsip pertama dari segala sesuatu. c. Konsep tentang manusia Pada zaman Brahmana pandangannya tentang manusia ialah bahwa manusia itu terdiri dari dua hal yaitu bagian yang tampak dan bagian yang tidak tampak dan bagian yang tidak tampak tersebut disebut jiwa yang tidak dapat mati. Selain itu pada zaman ini memandang juga bahwa pelaksanaan korban mempunyai peranan yang sangat penting, karena dianggap mampu menolong manusia untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. d. Konsep tentang kelepasan Pada Zaman Brahmana, karena masalah kelepasan ditentukan oleh korban yang dipimpin oleh para imam, yang menganggap bahwa upacara tersebut dipandang mempunyai arti yang sangat penting. Hal yang demikian itu menyebabkan para imam mempunyai peranan yang sangat penting, karena keberhasilan/kegagalan pelaksanaan korban sangat ditentukan oleh para imam. 3. Pemikiran Zaman Upanisad Mengenai pemikiran Zaman Upanisad dapat dikemukakan yaitu: a. Konsep tentang realitas Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada zaman Upanisad, pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari pantheisme, sehingga Brahman dianggap sebagai asas alam semesta, sedangkan Atman dipandang sebagai asas manusia. Dalam Upanisad termuat pengertian monisme yang dialektik, karena Atman merupakan diri empiris yang eksistensial, berkembang menjadi Brahman sebagai diri metafisik (A. H. Bakker, 1978, hal. 8).
b. Konsep tentang penjadian Selanjutnya pada zaman Upanisad dinyatakan bahwa yang dianggap sebagai pencipta dunia adalah Brahman yang mengalir dari dirinya setelah melalui proses perenungan. Akhirnya sesudah zaman Buddha, proses penjadian dipengaruhi filsafat Sankhya, dan sekalipun nama yang digunakan berbeda, namun prinsipnya tetap Brahman, dengan anggapan bahwa segala sesuatu mengalir dari Brahman. c. Konsep tentang manusia Pada zaman Upanisad, manusia dipandang terdiri dari dua hal yaitu badan dan jiwa yang mengalir dari Brahman. Dengan demikian hakikat manusia sama dengan Brahman, dengan pengertian bahwa manusia itu sebagai mikrokosmos yang di dalamnya mengandung makrokosmos. d. Konsep tentang kelepasan Pada zaman Upanisad masalah kelepasan tidak ditentukan oleh amalan ataupun upacara korban, tetapi dengan menggunakan jalan yang lebih tepat yaitu dengan pengetahuan yang diperoleh dari berguru. Dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui bahwa Atman adalah Brahman. Dalam Upanisad orang berkeyakinan bahwa setelah orang itu mati, maka Atman (inti manusia) akan kembali ke asalnya yaitu Brahman. Dalam hal ini pengetahuan sangat penting, karena mempunyai daya untuk membebaskan dari penderitaan menuju ke hal yang bersifat spiritual (Frans Vreede, 1953, hal. 60). Atas dasar hal tersebut, maka pengetahuan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam konsep Upanisad. Selanjutnya menurut penganut Hinduisme, jalan pengetahuan ini merupakan jalan yang terpendek, tercepat, tetapi tercuram karena membutuhkan kombinasi kekuatan intelek dan rohani yang luar biasa (Thomas S., Michael, 1979, hal. 8). D. Periode Pemikiran Zaman Wiracarita Ada berbagai macam peristiwa yang terjadi yang mempengaruhi munculnya Zaman Wiracarita di Negara India. Peristiwa itu antara lain berupa krisis di bidang politik dan moral serta kepercayaan. Dalam bidang politik yaitu berupa labilnya keamanan berkenaan dengan masuknya bangsa lain ke India.
Dalam bidang moral dan kepercayaan yaitu lunturnya kepercayaan kepada para
dewa.
Di
samping
itu
juga muncul
pemikiran
yang
semata-mata
mementingkan faktor dunia. Hal tersebut menyebabkan munculnya pemikiran yang bertujuan
untuk
memperoleh
ketenangan
yang
bersifat
batiniah
(Harun
Haduwijono, 1971, hal. 24). Adapun pemikiran-pemikiran itu terwujud dengan lahirnya aliran-aliran yaitu: 1. Jainisme Aliran ini lahir hampir bersamaan dengan Buddhisme yang menentang terhadap Weda. Aliran ini mempunyai anggapan bahwa pengetahuan yang benar dapat dicapai lewat upaya pribadi. Pembangunan kembali ajaran ini Wardhamana, dan penyebar pertama kali yaitu Mahawira. Aliran ini berpendapat bahwa setiap pendapat itu sah, dan perbedaan pendapat itu terjadi karena adanya perbedaan titik tolaknya, dan oleh karena itu tidak ada pengetahuan yang absolut (mutlak). Dengan demikian maka pendekatan yang benar yaitu yang menganggap bahwa keabsahan itu bersifat relative. Adapun titik tolak untuk memandang sesuatu ada tujuh sudut pandang yaitu ada, tiada, tak dapat dilukiskan, ada dan tak dapat dilukiskan, tiada dan tak dapat dilukiskan, ada dan tiada, dan yang terakhir yaitu ada, tiada dan tak dapat dilukiskan (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal. 30). Menurut Jainisme ada lima penyebab yaitu mati (ingatan, pemahaman); sruti (tanda, symbol, kata); avadhi (pengetahuan yang terjangkau dalam ruang dan waktu); manahparyaya (pengetahuan langsung yang dipikirkan orang); kevala (pengetahuan sempurna). Pengetahuan absolute tidak ada karena manusia masih menggunakan titik tolak, sementara pengetahuan sempurna tidak menggunakannya, tetapi lewat intuisi. Selanjutnya dinyatakan bahwa jiwa atau diri yaitu berupa kesadaran, sementara tujuan tertinggi ialah realisasi kondisi murni, mengembalikan jiwa itu ada pada hakikatnya, yaitu pengetahuan tidak terbatas (ananta jnana), persepsi tidak terbatas (ananta virya), dan kebahagiaan tidak terbatas (ananta sukha) (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal. 30 – 31). Jiwa itu banyak jumlahnya dan tiada bagian tubuh tanpa jiwa. Dalam hal ini apabila jiwa (diri) itu bebas secara total akan memperoleh kondisi murninya, yaitu dengan jalan memutuskan hubungan dengan dunia yang meliputi diri tersebut. Perlu diketahui bahwa Jainisme tidaklah bermaksud menegatifkan hidup, akan tetapi justru ingin menghidupkan keutamaan positif dalam jiwa
(ahimsa), penghargaan terhadap hidup, harta benda, bicara yang benar, tidak mencuri, dan ketidaklekatan dengan dunia (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal. 31). Adapun metafisika Jainisme yaitu “sama sekali subtansi” atau draviya. Artinya apa yang tidak dianggap suatu subtansi dianggap sebagai subtansi. Subtansi digolongkan menjadi dua yaitu jiwa dan ajiwa. Subtansi jiwa yaitu roh dan benda yang hidup, sedangkan subtansi ajiwa yaitu benda (pudgala), waktu (kala), ruang (akasa), dharma dan adharma (Harun Hadiwijono, 1971, hal. 25). 2. Buddhisme Buddhisme berasal dari kata “Buddh” yang artinya bangun, yaitu bangun dari malam kesesatan (A. G. Honig, 1959, hal. 126). Kata “Buddha” artinya sudah “dicerahi” yaitu suatu istilah yang diberikan kepada seorang pendiri dan pengajar dalam bidang kerohanian yang bernama Siddharta, yang artinya “mendatangi cahaya”, sejak usia remaja, ia merasa tidak puas terhadap tradisi Brahmanisme, yang hidup dan berkembang di India pada waktu itu, yang senantiasa diliputi oleh upacara-upacara dalam rangka mencapai kebahagiaan atau kesempurnaan. Rasa tidak puas tersebut didasarkan atas pengalaman dan pemikirannya selama berada di lingkungan istana Kapilawastu yang penuh dengan kemewahan. Oleh karena itu, ia beusaha mengambil jalan pintas, dalam arti menggunakan cara lain dalam mencapai kesempurnaan. Dalam akhir suatu pengembaraannya, ia mendapat penerangan atau pencerahan, dan atas dasar itulah ia memberikan ajaran-ajaran lewat khotbahkhotbahnya. Selanjutnya ajaran-ajaran yang diberikan secara lisan itulah yang disebut Buddhisme, karena ia merupakan penjelmaan Buddha dalam perwujudannya yang terakhir. Dengan demikian dapatkah dikatakan bahwa Buddhisme adalah suatu aliran yang bersifat spiritual yang bertujuan mencapai kesempurnaan, yang tumbuh dan berkembang di India dan Negara tetangganya. Ajaran Buddhisme mencakup tiga hal yang disebut “Triratna”, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha (Sarvapalli Radhakrishnan, 1929, hal. 473). Bagi penganutnya, sering dikatakan bahwa Buddhisme merupakan agama yang pertama kali menjadi agama Internasional (Robert, E. Hume, 1956, hal. 61). Buddhisme sebagai suatu sistem filsafat mempunyai corak sebagai berikut:
a. Pesimistik Hal ini mempunyai pengertian bahwa hidup yang merupakan penderitaan, dipandang sebagai suatu yang riil dan eksistensial. Akan tetapi pengertian pesimis di sini tidak cenderung pada sikap putus asa, sebab Buddhisme berusaha mengatasi penderitaan. b. Positivistik Buddhisme menolak terhadap hal-hal yang bersifat spekulatif, dan berupaya menyampingkan apa yang tidak secara pasti dapat diketahui. Dalam membebaskan dirinya dari belenggu penderitaan, haruslah bertolak dari fakta kehidupan dan bukan dengan ritus seperti tradisi yang diajarkan dalam Hinduisme, terutama Brahmanisme. c. Pragmatik Dalam hal ini Buddhisme lebih mengutamakan “apa yang perlu” dalam mengatasi penderitaan. Hal ini mempunyai pengertian bahwa pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari harus dijadikan titik tolak dalam mencapai kesempurnaan. d. Saintifik Hal tersebut mempunyai pengertian bahwa pengalaman pribadi digunakan sebagai sarana untuk mencari hubungan sebab-akibat. e. Empiristik Maksudnya ialah bahwa pengalaman pribadi dijadikan sebagai sesuatu yang benar. f.
Demokratis Mempunyai pengertian bahwa Buddhisme tidak membedakan status manusia satu dengan lain dalam kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh ialah adanya sikap Buddhisme yang menolak kasta sebagaimana yang terdapat dalam Hinduisme.
g. Therapeutik Hal ini dikandung maksud bahwa Buddhisme senantiasa berusaha “menyembuhkan” penderitaan manusia. Buddhisme sebagai sistem filsafat memiliki berbagai macam konsep pemikiran sebagai berikut: a. Hakikat realitas Pandangannya tentang realitas bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang tetap, tetapi selalu dalam keadaan berubah. Segala
sesuatu itu menjadi dan hilang lagi, sehingga hidup ini sebenarnya adalah sesuatu penjadian dan peniadaan, dan yang ada kemarin bukanlah yang ada sekarang, dan bukan yang ada besok. Teori tentang gerak yang tidak henti-hentinya itu adalah paduan antara dua anggapan yang bertolak belakang, yaitu yang percaya yang percaya akan “Ada” dan “tidak ada”. Dengan demikian segala sesuatu yang benar itu bukanlah “Ada” dan bukan pula “tidak ada” melainkan “menjadi”. Selanjutnya bertolak dari anggapan yang demikian, maka realitas itu tidak disangkal, namun realitas tersebut diberi makna lebih dinamik, dalam arti bahwa ada perubahan, tetapi tidak ada sesuatupun yang berubah, dengan maksud tidak ada subyek yang permanen (M. Sastropratedja, 1973, hal. 38). b. Pandangan tentang manusia Suatu
anggapan
yang menyatakan
bahwa
pribadi
manusia
merupakan sesuatu yang tetap, adalah merupakan khayalan belaka. Pribadi manusia itu sebenarnya ialah kelompok “nama dan rupa”, yaitu kelompok batiniah dan lahiriah yang dibedakan dalam lima skandha (pengumpulan). Pengumpulan itu adalah: rupa
(apa yang tampak), wedana (perasaan),
sanjna (pengamatan), samskara (kehendak), wijnana (kesadaran). Hal tersebut selalu berubah, dan tidak merupakan diri manusia yang substansial dan permanen. Suatu anggapan bahwa manusia mempunyai “aku” yang benar ada, dan tampak serta sebagai suatu hal yang tetap, adalah karena ketidaktahuan (awidya), yang menimbulkan keinginan. Hal tersebut diajarkan dalam “pratitya samutpada” atau “hukum pokok permulaan yang bergantungan” (Harun Hadiwijono, 1971, hal. 29). c. Konsep tentang nirwana dan kelepasan Secara harafiah nirwana artinya “meniup” atau menjadi dingin atau menjadi tenang (M. Hiriyana, 1932, hal. 152). Selain itu ada beberapa tafsiran tentang nirwana yaitu diartikan sebagai “peniadaan”, tetapi ada juga yang mengartikan sebagai “ada yang kekal” atau kebahagiaan abadi. Namun ada pula yang menafsirkan sebagai suatu yang tidak dapat digambarkan dan tidak dapat diketahui apakah ada atau tidak (M. Sastropratedja, 1973, hal. 42). Akan tetapi menurut Buddhisme, nirwana tidak menunukkan keadaan sesudah mati, melainkan lebih menggambarkan kondisi kesempurnaan yang dihasilkan sewaktu manusia itu masih hidup. Jadi dalam hal ini nirwana merupakan suatu keadaan yang menunjukkan
bahwa nafsu yang hidup sudah dimatikan dan orang menghayati suatu hidup amat tenteram. Selanjutnya dalam Buddhisme dinyatakan bahwa dalam kondisi semacam inilah dikatakan bahwa manusia telah mencapai kelepasan, yang merupakan tujuan hidup yang terakhir dari Buddhisme. d. Makna reinkarnasi Pandangan Buddhisme tentang reinkarnasi sebenarnya merupakan suatu hal yang bersifat kontradiksi, karena tidak konsisten dengan pandangannya tentang manusia yang dianggap sebagai suatu yang tidak mempunyai substansi. Akan tetapi dalam Buddhisme dijelaskan bahwa memang ada kelahiran kembali tetapi bukan jiwa dan pula aku, melainkan watak atau sifat-sifat manusia, atau boleh juga dikatakan sebagai kepribadiannya, sebagai kepribadian yang tanpa pribadi dan tanpa aku. e. Pandangan tentang Tuhan Konsep Buddhisme tentang Tuhan tidaklah begitu jelas, namun pada aliran ini ada suatu pengakuan terhadap adanya suatu misteri yang terdalam dan suatu keberadaan yang dapat menimbulkan rasa segan, takut dan hormat manusia. Dalam perkembangan selanjutnya Buddhisme pecah dalam bentuk aliran-aliran. Perpecahan ini timbul setelah pemimpin agungnya yaitu Siddharta meninggal dunia, karena sebagian pengikutnya ingin tetap memegang teguh ajarannya yang asli, tetapi di lain pihak membiarkan ajaran Buddhisme yang asli tersebut dipengaruhi oleh aliran yang lain. Adapun aliran-aliran yang terdapat dalam Buddhisme itu ialah: a. Mahayana Mashab Mahayana bercorak monisme dialetik, karena manusia berusaha menjadi Bodhisattwa dalam kesatuannya dengan Buddha (A. H. Bakker, 1978, hal. 9). Dalam Mashab ini ada suatu istilah yang senantiasa disebut-sebut, yaitu Bodhisatwa dan Sunyata, yang kiranya dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Bodhisattwa Bodhisattwa adalah manusia yang tabiatnya bodhi (hikmat) yang sempurna. Akan tetapi sekalipun manusia tersebut telah diterangi, terpaksa masih menangguhkan kenaikannya ke nirwana dengan maksud untuk member pertolongan kepada orang lain dalam mencapai penerangan (pencerahan).
Bodhisattwa adalah orang yang telah melepaskan dirinya, dan dapat menemukan sarana untuk menumbuhkan benih pencerahan dan menjadikan masak pada orang lain untuk dapat mencapai pencerahan. Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
sekalipun
seorang
Bodhisattwa telah tiba saatnya mencapai nirwana, namun ia terpaksa menangguhkan dengan maksud untuk memberi pertolongan kepada orang lain. 2) Sunyata Sunyata mempunyai pengertian bahwa segala sesuatu dalam keadaan kekosongan, dalam arti tiada pribadi, dan oleh karena itu tidak ada sesuatupun yang dicari. Kekosongan itu meliputi dunia, nirwana, dharma, dan juga kebenaran tertinggi. Oleh karena itu kebenaran tertinggi
inipun
tidak
dapat
dijadikan
tujuan
akhir
dari
suatu
kepercayaan. Mengenai “Yang Mutlak” tidak dapat dipegang, dan sekiranya dapat dipegang tidak dapat dikenalnya, oleh karena “Yang Mutlak” tidak mempunyai ciri yang dapat membedakan dengan yang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, Mahayana terpengaruh oleh ajaran Bhakti dari aliran Tantra, sehingga menimbulkan suatu keyakinan bahwa tempat perlindungan itu adalah Buddha, anak-anak Buddha atau Bodhisattwa dan Darmakaya, dan hal itu akan menimbulkan suatu anggapan adanya banyak Buddha. Akan tetapi kemudian dalam Mahayana timbul Adhi Buddha yaitu Buddha yang pertama yang tanpa asal, yang berada dengan sendirinya, dan yang tidak pernah tampak karena berada di nirwana. Dalam Buddhisme Mahayana, pada dasarnya Buddha adalah sesuatu yang transenden, dan nirwana disamakan dengan Buddha sendiri (A.H. Bakker, 1976, hal. 1). Dalam mashab Mahayana terdapat aliran yaitu: 1) Yogacara Aliran ini didirikan oleh Asanga, yang berpandangan bahwa semua realitas itu hanya berada untuk sementara waktu saja, dan tidak ada sesuatu yang berada lebih dari satu saat saja. Ini berarti bahwa realitas itu mengalir silih berganti, dan jika realitas itu menampakkan diri, kemudian bukan menghilang begitu saja, tetapi meninggalkan bekas, berupa gambaran-gambaran tidak sadar, dan aliran serta
pengalaman hidup itu disebut smrti (Harun Hadiwijono, 1971, hal. 31). Smrti ini menyebabkan segala sesuatu di dalam kesadaran itu menampakkan diri dalam bentuk individualitas. Hal semacam itu tidaklah benar, karena hakikat realitas tidak dapat diungkapkan dengan bahasa apapun, berhubung keadaannya merupakan suatu tathata (suatu kebegituan). Tathata tidak dapat dikatakan ada, ataupun sekaligus ada dan tidak ada, karena berupa kekosongan. Namun demikian Yogacara bertujuan bahwa dengan Yoga orang akan mencapai pencerahan. 2) Madhyamika Aliran ini didirikan oleh Nagarjuna pada abad ke dua Masehi (Sarvepalli Radhakrishnan, 1952, hal. 184). Aliran ini menolak adanya realitas, baik bagi dunia luar maupun bagi pribadi. Dunia luar bukanlah proyeksi dan batin, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa kita terus-menerus mimpi sekalipun dalam keadaan bangun. Sesuatu itu merupakan bilangan realitas yang secara berganti merupakan diri. Selanjutnya dikatakan bahwa realitas itu benar ada, tetapi hanya untuk sementara waktu saja, dan segera ditiadakan. Tiap realitas ada sebabnya, namun yang menjadi sebab itu adalah realitas yang mendahului penampakannya. Berhubung hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada sesuatu yang ada karena dirinya sendiri, tetapi pasti ada hubungannya dengan yang lain, sekalipun hubungan itu hanya bersifat semu saja. Sebagai contoh bahwa segala sesuatu itu tidak nyata, ialah bahwa apa yang kita lihat dalam waktu jaga (bangun), tidak dapat kita lihat dalam waktu tidur, dan apa yang kita lihat pada waktu mimpi, tidak dapat kita lihat pada waktu jaga. Namun demikian akhirnya Madhyamika mengakui bahwa kebenaran tertinggi itu ada tetapi tidak dapat dihampini dengan pengetahuan, yaitu nirwana. Dalam nirwana semua penampakan itu hilang, dalam arti bahwa tidak ada hakikat yang tampak. Aliran ini mengakui adanya kebenaran yang dimiliki manusia, yaitu berupa buah akal manusia, namun pada hakikatnya kebenaran itu tidak berarti, karena keadaannya kosong. b. Hinayana Aliran ini menyatakan bahwa segala sesuatu bersifat fana, dan berada untuk sesaat saja, sehingga tidak ada sesuatu yang tetap. Hal ini
berarti kejadian yang ada di dunia ini hanyalah berupa rangkaian kejadiankejadian yang berlangsung hanya sekejab mata saja (Harun Hadiwijono, 1971, hal.30). Dalam mashab atau aliran ini terdapat suatu cita-cita yang tertinggi yaitu menjadi “Arhat” yaitu yang sudah berhenti keinginannya, yang ditempuh secara perseorangan. Selain itu dalam aliran tersebut juga mengajarkan sebagaimana ajaran Buddhisme yang asli yaitu ajaran tentang “empat kebenaran mulia”. (Edward Conze. 1981, hal. 211). 3. Carvaka Sistem filsafat Carvaka didirikan oleh Brhaspati. Aliran ini bercorak materialistik hedonistik oleh karena itu kurang dapat berkembang di India yang secara umum pemikirannya bercorak spiritual. Menurut aliran Carvaka pengetahuan itu didasarkan pada suatu persepsi yang bersifat langsung, sekalipun ada pula yang menyatakan bahwa penyimpulan sebagai sumber pengetahuan. Aliran Carvaka menolak tentang pendapat yang menyatakan adanya suatu kehidupan sesudah mati. Hal ini disebabkan tidak ada seorang pun yang sudah melihatnya, dan kiranya sudah ada yang melihatnya akan tetapi tidak ada sarana yang digunakan untuk menceknya. Atas dasar keyakinan ini, maka hanya keberadaan yang bersifat duniawi yang dapat diterima, dan keabadian jiwa sama sekali tidak diakui keberadaannya. Adapun mengenai materi sebagai suatu realitas itu terdiri dan empat unsur yaitu tanah, air, udara, dan api. Ajaran etikanya menyatakan bahwa manusia boleh berbuat atau bertindak apa saja ( Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal.29). 4. Ramayana Kitab Ramayana dituliskan oleh Walmiki yang terdiri dari 24.000 sloka. Para tokoh yang disebut dalam kitab tersebut yaitu Rama, Sinta, Laksmana, Hanuman di satu pihak dan Rahwana di pihak lain. Kitab Ramayana ini juga dianggap sebagai kitab favorit dalam Hinduisme (Klostermaier K., Klaus, 1998, hal. 52). Dalam Kitab Ramayana dikemukakan tentang gambaran dan hal-hal yang bersifat etik antara lain menyangkut bagaimana seseorang harus bertingkah laku, bagaimana raja memerintah, bagaimana manusia harus hidup di dunia ini, bagaimana cara manusia dapat memperoleh kebebasan, kemerdekaan, dan kesempurnaan.
Gambaran moral ideal ditunjukkan dengan kehidupan Rama, Bharata, dan Laksmana yang merupakan suatu model cinta kasih. Sinta dipandang sebagai model atau contoh wanita yang sempurna. Sementara Hanuman dianggap sebagai Karma Yoga yang kharakteristik (Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1996, hal 23). 5. Mahabharata Kitab Mahabharata yang sering disebut sebagai Kitab Weda kelima, sering mendapat julukan Kitab Epos yang sangat besar dalam Hinduisme. Kitab Mahabharata ditulis oleh Wyasa dan terdiri dari 100.000 sloka, dan dalam kitab ini isinya mencakup mistik, agama, dan filsafat. Kisah peperangan antara Pandhawa dan Kurawa di medan Kurusetra sebenarnya mengisahkan perlawanan antara benar dengan salah dan baik dengan buruk yang pada akhirnya dimenangkan pihak yang benar dan yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam Mahabharata penuh dengan ajaran moral yang sangat mulia (Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1996, hal 24.; Klostermaier, K., Klaus., hal 50- 51). 6. Bhagawadgita Bhagawadgita adalah merupakan Kitab Weda yang kelima yang terdiri dari 18 bab dan 700 sloka. Bhagawadgita berasal dari kata Bhagawad (n) = Tuhan dan Gita = kidung = nyanyian. Jadi kata Bhagawadgita artinya Nyanyian Tuhan. Dalam kaitannya dengan Bhagawadgita sering dinyatakan bahwa Bhagawadgita adalah sari susu Upanisad, dan Upanisad merupakan sari susu Weda. Dalam hal ini orang yang dianggap bijaksana adalah orang yang mampu mereguk air susu dari Bhagawadgita. Dengan demikian sering dikatakan bahwa Bhagawadgita merupakan permata yang tidak ternilai harganya dalam Hinduisme. Dalam Bhagawadgita dinyatakan adanya petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia dengan hati yang pasrah menjalani hidup sehingga dapat menyatu dengan Sat-Cit-Ananda (menyatu dengan Tuhan) (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal 64-65). Hal tersebut ditunjukkan dalam Bhagawadgita yaitu dalam dialog antara Kresna (penjelmaan Tuhan) dengan Arjuna (manusia) yang menyebabkan Arjuna tidak merasa ragu-ragu dalam melaksanakan tugas sebagai seorang ksatria dalam membasmi ketidakbenaran dan ketidakbaikan
(Klostermaier, 1998, hal 54-5 5; Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal 64; Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1996, hal 24). E. Periode Pemikiran Zaman Sutra-Sutra 1. Latar Belakang Di muka telah dikemukakan bahwa dalam Hinduisme terkandung agama, mashab-mashab keagamaan, mistik, etika dan filsafat. Selanjutnya dalam pertumbuhan serta perkembangannya, Hinduisme mengalami pasang surut, baik dalam bentuk suatu pemikiran kearah penyempurnaan maupun yang
berusaha
menentangnya.
Di
tengah
masa
pertumbuhan
serta
perkembangan Hinduisme tersebut, terdapat suatu reaksi, baik tehadap ajaran maupun pemikiran yang ada pada waktu itu. Salah satu bentuk reaksi itu ialah tampilnya pemikiran yang berusaha mengadakan rasionalisasi dan sistemasi. Gerakan yang demikian melahirkan apa yang kemudian disebut dengan “sistem filsafat”. 2. Sistem Filsafat Secara garis besar sistem-sistem filsafat dalam Hinduisme adalah membahas hakikat Ilahi dalam hubunganya dengan pribadi manusia (J.W.M., Bakker, S.Y., 1976, hal 24). Adapun sistem-sistem filsafat yang percaya pada otoritas Weda (orthodox atau golongan astika), yaitu: a. Nyaya Pendiri aliran Nyaya yaitu Rsi Gautama pada abad ke-4 SM. Dalam Nyaya tidak hanya memuat logika tetapi juga epistemologi (Yayasan Sanatara Dharmasrama, 1996, hal 171-173). Sistem ini mempunyai anggapan bahwa dunia di luar kita ini berdiri sendiri dan lepas dari pikiran kita, namun dunia kita ini hanya dapat diketahui lewat pikiran kita. Indra kita berfungsi sebagai pembantu pikiran untuk dapat mengetahuinya. Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar maka digunakan alat pengamatan, penyimpulan, perbandingan dan kesaksian. Menurut Nyaya bahwa pengetahuan itu benar atau tidak benar tergantung pada alat yang digunakan (pramana), dan pengetahuan yang benar itu disebut prama. Alat untuk mengetahui kebenaran itu ada 4 (empat) yaitu pratyaksa (pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana ( perbandingan), dan sabda (kesaksian). Dalam Nyaya dinyatakan bahwa
pengetahuan yang benar yaitu pengetahuan yang berisi gagasan yang cocok dengan objeknya (Harun Hadiwijono, 1971, hal 38-40). b. Waisesika Pendiri aliran Waisesika adalah Rsi Kanada. Sistem ini bercorak metafisik, dan pokok persoalannya ialah tentang dharma untuk mencapai kelepasan. Untuk menerangkan persoalan dharma, maka perlu dijelaskan bahwa yang tampak ini adalah tiga kategori dari tujuh kategori yang ada menurut pandangannya. Adapun empat kategori yang lainnya tidak dapat dikenal, dan harus diterangkan dengan daya yang tidak dapat diterangkan. Kategori menurut pandangannya yaitu: substansi, kualitas, aktivitas, sifat umum,
sifat
perseorangan,
perlekatan
dan
ketidakadaan
(Harun
Hadiwijono, 1971, hal 41). Akan tetapi ada juga yang menggunakan dengan istilah yang lain yaitu bahwa objek yang pengalaman yang dipikirkan oleh manusia (padharta) yaitu benda-benda (drawya), sifat (guna), kegiatan (karma), kemauan (samanya), kekhususan (wisesa), dan ketidakadaan atau penyangkalan (abhawa) (Yayasan Sanatana Dharasrama, 1996, hal. 177) c. Sankhya Pendiri aliran ini ialah Sri Kapila Muni sekitar abad ke-6 SM. Sankhya, artinya jumlah, hitungan dan pendirian, dan system ini merupakan darsana (pandangan) yang tertua. (Y. W. M. Bakker, S. Y., 1976, hal. 7). Pandangannya menyatakan bahwa realitas di dunia ini terdiri dari purusa dan prakrti, atau roh dan benda yang bersifat dualistis. Hal tersebut berarti bahwa purusha dan prakri bukanlah merupakan kesatuan, karena perusa dalam prakrti merasa tertindas, sehingga purusha ingin bebas dan prakrti. Mengenai sesuatu pandangan (jiwaroh) itu dapat dijelaskan sebagai berikut 1) Alam semesta berikut susunannya yang terdiri dari beberapa bagian itu diperuntukkan bagi sesuatu yang berbeda dengan alam semesta atau dunia yaitu purusha. 2) Segala sesuatu yang ada itu berdiri secara sendiri-sendiri (lahir sendiri, mati sendiri), dan hal yang demikian membuktikan bahwa purusha itu banyak sekali dan berdiri sendiri. 3) Adanya suatu kecenderungan bagi manusia untuk mencapai kelepasan, merupakan suatu bukti bahwa ada sesuatu yang dapat mencapai
kelepasan yang sifatnya berbeda dan hal yang bersifat kebendaan, yaitu purusha. Adapun realitas yang kedua adalah prakrti (benda=bahan=raga) yang merupakan prinsip dari segala sesuatu yang bersifat materiil dan merupakan sebab pertama dari alam semesta ini, prinsip menjadikannya segala sesuatu prinsip aktivitas, produktivitas dan evolusi. Sebagaimana purusha, maka prakrti juga tidak dapat dilihat dan diamati. Sebagai suatu bukti bahwa prakrti itu dapat dijelaskan sebagai berikut 1) Segala sesuatu yang ada itu sifatnya terbatas, dan yang terbatas tersebut keberadaanya bergantung pada yang tidak terbatas, dan yang menyebabkan hal-hal yang terbatas, yaitu prakrti. 2) Segala sesuatu itu memiliki sifat-sifat tertentu dan penyebab sifat-sifat tersebut, yaitu prakrti. 3) Semua akibat itu timbul sebagai hasil dan sesuatu sebab, dan aktivitas yang menimbulkan perkembangan dunia itu timbul dan sebab pertama, yaitu prakrti. 4) Segala sesuatu tidaklah mungkin menjadi sebabnya sendiri, karena ada sebab yang asasi, yaitu prakrti. 5) Kesatuan alam semesta itu menunjukkan ada satu sebab, yaitu prkrti. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka realitas itu terdiri dari purusha dan prakrti. d. Yoga Aliran yoga disistematisasikan oleh Maharsi Sri Patanjali. Perlu diketahui bahwa yoga yang berasal dari akar kata “yuj” yang artinya menghubungkan. Dalam hal ini yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan pernyataan roh pribadi dengan roh tertinggi. (Yayasan Sanantana Dharmasrama, 1996, hal. 196). Konsepsinya dilandasi oleh
filsafat
Sankhya,
terutama
yang
menyangkut
realitas
dan
kesempurnaan. Dalam hal ini yoga adalah suatu cara untuk mencapai kesempurnaan, yaitu dengan jalan menindas citta atau wnitti, yaitu suatu perkembangan lebih lanjut dari prakrti sebagaimana tersebut dalam filsafat Sankhya. e. Purwa Mimansa Aliran Purwa Mimansa didirikan oleh Sri Jainini. Purwa Mimansa adalah suatu sistem filsafat yang menyatakan bahwa sesuatu bersifat
pluralistis dan realistis, yang artinya mempunyai banyak jiwa, dan memandang bahwa objek-objek pengamatan itu nyata. Adapun tujuannya ialah bagaimana cara menerangkan agar dapat membantu orang untuk dapat menguraikan arti Weda, terutama masalah dharma. Atas dasar hal tersebut ada yang menyatakan bahwa Purwa Mimansa itu merupakan suatu sistem penafsiran Weda, dan bukan merupakan suatu sistem filsafat (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal 204). Di antara pendukung aliran Purwa Mimansa yaitu Kumarila dan Prabhakara. Ada delapan kategori menurut aliran Purwa Mimansa, yaitu subtansi, kualitas perbuatan (aksi), universal, enheren, energi (sakti), persamaan (sadrsya) dan jumlah. Suatu hal yang perlu diinggat bahwa upacara korban dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal 38). f.
Wedanta Pendiri aliran Wedanta yaitu Sri Wiyasa (Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1996, hal.209). Upaya untuk memberikan tafsir Weda senantiasa berjalan terus dari waktu ke waktu. Sementara itu timbullah golongan pemikir India untuk memberikan tafsir Weda dengan tetap berpegang pada sumber Weda sebagai sumber subsider yang juga telah dibenarkan oleh Weda. Adapun sumber tambahan atau subsider tersebut yaitu 1) Anumana, yaitu menarik kesimpulan khusus dari kebenaran yang bersifat umum. 2) Anupalabdhi, artinya meniadakan hal-hal yang tidak ada 3) Artapatti, artinya mengesampingkan kontradiksi semu. 4) Upamara, artinya mengadakan perbandingan. 5) Pratyaksa, artinya mengunakan intuisi. Adapun usaha para pemikir yang demikian itu disebut dengan istilah Wedanta yang artinya akhir dari puncak pengetahuan, sedangkan para pemikir itu sendiri lazim disebut Wedantin. Wedanta berpandangan mengingkari dunia indra dan menganggap bahwa dunia ini semu, maka manusia harus dapat mencapai kesatuannya dengan Brahman. Perlu diketahui bahwa dalam sistem filsafat Wedanta, apa yang dikatakan oleh Sankara dan Ramanuja kesemuanya itu menunjukkan
pandangan non dualismenya dalam arti bahwa diri individual merupakan kesatuan dengan diri universal (Tim Redaksi Driyarkara, 1993, hal 40-4 1). F. Periode Pemikiran Zaman Skolastik Menurut Harun Hadiwijono (1971, hal. 60) dinyatakan bahwa ada hubungan antara Zaman Skolastik dengan Zaman Sutra-Sutra. Akan tetapi yang jelas bahwa pada Zaman Skolastik ditandai oleh munculnya tokoh-tokoh besar yang mampu menyusun ajaran-ajaran kuno yang telah diwarnai pemikiran-pemikiran baru. Pemikiran-pemikiran tersebut menampilkan aliran-aliran yang secara berturut-turut dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Adwaita Kata adwaita artinya tidak ada dualisme. Di samping itu dalam Adwaita juga menolak adanya realitas yang banyak, tetapi tidak pula bersifat monistis. Akan tetapi menurut aliran ini dinyatakan bahwa segala sesuatu yang nyata lepas dari Brahman. Adapun penganjur aliran ini ialah Sankara (788-820). Menurut Sankara dinyatakan bahwa Brahman adalah nyata, sementara dunia adalah suatu penampakan yang semu, sedang jiwa individu adalah juga Brahman. Menurut Sankara ada dua macam Brahman, yaitu Brahman dalam bentuk yang tinggi tanpa sifat-sifat (Para Brahman atan Nirgura Brahman), dan Brahman dalam bentuk yang lebih rendah yang mepunyai sifat-sifat (Apara Brahman atau Saguna Brahman) (Harun Hadiwijono, 1971, hal. 61-62)). Jiwa individu pada hakikatnya Brahman yang menampakkan diri (atman). Akan tetapi jiwa individu itu bukanlah merupakan sebagian Brahman, akan tetapi Brahman sepenuhnya. Mengenai pengetahuan dianggap benar apabila tidak ada bagian dari isinya yang dibuang karena semu, artinya jika pengetahuan itu tidak bertentangan
dengan
pengetahuan-pengetahuan
yang
lain
tetapi
mengimbanginya. Dalam hal ini kebenaran yang tertinggi haruslah merupakan suatu kesatuan yang ada yaitu Brahman. Jadi Brahman itu adalah ke-beradaan, akan tetapi sekaligus merupakan pengetahuan (jnana). Menurut Sankara ada dua macam pengetahuan yaitu prawidya (pengetahuan yang lebih tinggi), yang menyebabkan orang menerima pendirian yang mengatasi kodrat dan mengakui Brahman yang bebas dan segala sifat. Selain itu ada pengetahuan aparawidya (pengetahuan yang lebih rendah) yang berpedoman pada
pandangan umum akan adanya dunia yang tampak, dan yang memberikan keterangan yang umum akan alam semesta ini. Dalam hal ini Brahman tampak sebagai memiliki sifat-sifat perorangan (Harun Hadiwijono, 1971, hal. 63-65; Sarwepalli Radhakrishnan, 1952, hal. 274-283). 2. Wisistadwaita Sepeninggal Sankara, ada suatu pembahasan yang menyangkut apakah Brahman itu nirguna atau saguna. Salah seorang tokoh yang mepunyai anggapan bahwa Brahhhman itu Saguna yaitu Ramanuja (10 171137). Menurut Wisistadwaita dinyatakan bahwa kenyataan tertinggi itu ada tiga yaitu Tuhan (Iswara), Jiwa (cit), dan benda (acit). Tuhan adalah kenyataan yang mempunyai kebebasan dan kedua kenyataan yang lain tergantung Tuhan. Tuhan adalah prinsip immanent dari jiwa dan benda, sementara itu Tuhan itu ada dengan sendirinya. Dalam hal ini jiwa dan benda itu harus dibedakan dengan Tuhan, akan tetapi tidak boleh dipisahkan (Harun Hadiwijono, 1971, hal. 66-67). Dalam aliran Wisistadwaita, Wisnu dan Narayana dipandang sama dengan Brahman. Tuhan itu memiliki sifat-sifat kebenaran, kebaikan, keindahan dan kebahagiaan yang abadi. Dalam hal ini Tuhan itu sebab bendani dan sebab yang menghasilkan dunia ini. Sebagai sebab Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan dunia. Tuhan dapat menjelma atau menitis dengan maksud untuk melepaskan jiwa manusia. Selain itu Tuhan dapat menampakkan dalam bentuk arca untuk keperluan pemujaan. Mengenai Jiwa (cit) tersebut pada hakikatnya roh. Jiwa tersebut yaitu pengetahuan dan memiliki pengetahuan. Jiwa sebagai pengetahuan bersifat tetap, akan tetapi sebagai yang memiliki pengetahuan ia berubah. Ada banyak jiwa yang dapat digolongkan menjadi tiga yaitu jiwa yang kekal (nitya), yang menikmati kebahagiaan, bebas dari karma dan prakrti dan belum pernah terbelenggu. Di samping itu jiwa yang bebas (mukta) yang sudah mencapai kelepasan. Yang terakhir yaitu jiwa terbelenggu (badda) yaitu yang berada dalam penderitaan Adapun mengenai tujuan hidup manusia yaitu mencapai alam Narayana (Wisnu) untuk menikmati kebahagiaan dan kesempurnaan. 3. Dwaita Tokoh yang dapat dikatakan sebagai wakil dari aliran ini yaitu Madhwa (1199-1278). Yang menjadi dasar dari ajaran ini yaitu adanya kenyataan
(realitas) yang banyak (Harun Hadiwijono, 1971, haL.70). Menurut Dwaita ada lima macam perbedaan antara Tuhan dan jiwa, jiwa dan jiwa, Tuhan dan benda, jiwa dan benda, benda yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini Tuhan, jiwa dan benda mempunyai sifat yang abadi, akan tetapi hanya Tuhan yang bebas, karena Tuhan merupakan kenyataan yang tertinggi. Jiwa memiliki tiga tingkatan yaitu jiwa yang kekal (nitya), jiwa yang sudah mencapai kelepasan (mukta), dan jiwa yang terbelenggu (baddha). Adapun mengenai benda atau prkrti dinyatakan bahwa meskipun kekal, akan tetapi tidak mepunyai perasaan. Mengenai
sarana
yang
dapat
digunakan
untuk
memperoleh
pengetahuan yang benar ada dua yaitu alat primer (kewala pramana) dan alat yang sekunder (anupramana). Yang disebut alat primer yaitu pengetahuan yang benar itu sendiri. Sedangkan alat sekunder yaitu alat yang digunakan untuk mencari pengetahuan, akan tetapi menggunakan perantaraan. Menurut aliran Dwaita pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan realitas yang ada di luar. Adapun tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kelepasan dengan terlebih dahulu menunaikan tugas tanpa mengharap imbalan (Harun Hadiwijono, 1971, hal.71-73; Sarvepalli Radhakrishnan, 1952, hal. 322-337). 4. Saiwa Siddhanta Aliran Saiwa Siddhanta mempunyai anggapan bahwa Siwa itu merupakan realitas tertinggi. Aliran ini berkembang di India bagian selatan, dan juga merupakan aliran yang sangat terkenal di daerah tersebut. Siwa yang merupakan realitas tertinggi pada dasarnya adalah merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada di mana-mana, maha kuasa, maha tahu, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Di samping itu ia tidak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dan cacat, maha pelaku, dan maha mengetahui (Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1996, hal 254) Pandangannya tentang alam semesta ialah bahwa alam semesta itu mengalami perubahan (evolusi) untuk kebaikan roh-roh dan keseluruhan proses penciptaan adalah untuk pelepasan roh-roh. Di samping itu dinyatakan bahwa alam semesta itu nyata dan kekal. Tujuan akhir kehidupan manusia
adalah pembebasan dan belenggu maya (sumber segala dosa), karma (yang menyebabkan kelahiran kembali), dan pengertian salah dari diri yang terbatas (Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1996, hal 25 5-256). 5. Saktaisme Aliran Saktaisme yaitu suatu pemikiran yang mendasarkan pada energi Tuhan, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk sakti (istri) dewa Siwa. Hal tersebut karena manusia mendambakan energi yang mempesona untuk memperoleh kebahagiaan. Dalam Saktaisme dibahas mengenai aspek realitas tertinggi sebagai yang dipertuhan sebagai yang berpribadi dan yang tidak berpribadi. Jadi dalam hal ini Brahman itu dengan prakrti dan tanpa prakrti. Dalam Nirguna Brahman, Sakti adalah merupakan potensi, dan dalam Saguna Brahman, Sakti merupakan dinamika. Adapun tujuan hidup manusia menurut Saktaisme yaitu penggabungan diri dengan realitas tertinggi, setelah roh pribadi membebaskan dirinya dan belenggu yang mengikatnya. Realitas tertinggi itu bertabiat sacidananda (keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan). 6. Sikh Sekitar abad ke-12 M masuklah pengaruh Islam ke India, sehingga ajaran Islam memberikan pengaruh terhadap orang-orang Hindu. Seorang tokoh yaitu Kabir (1440-1518) berusaha agar antara Hindu dan Islam saling mempengaruhi. Di kelak kemudian hari ajaran Kabir tersebut menjadi sumber bagi Nanak untuk mendirikan aliran Sikh. Kabir mengajarkan adanya zat yang tertinggi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan yang disembah oleh semua agama. Menyembah banyak Tuhan dilarang, dan dalam rangka pencarian Tuhan haruslah dipandu oleh seorang yang mengajar dirinya mengenal Tuhan, yang disebut dengan istilah Ram. Atas dasar hal tersebut, maka aliran Sikh menentang keberadaan patung dan kasta. Seorang tokoh lain yang dikenal yaitu Nanak (1467-1538). Ia menyatakan tidak ada orang Hindu atau Islam, karena keduanya adalah palsu. Adapun tujuan hidup menurut pendapatnya yaitu suatu kelepasan yang berupa kesatuannya dengan Tuhan di dalam Cinta (Harun Hadiwiyono, 1971 dan 1976, Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1966, hal 147).