1 Pendahuluan
1.1 Perkembangan oral medicine. Saatoral medicine merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang belum banyak dikenal oleh masyarakat umum bahkan mungkin oleh sebagian tenaga kesehatan yang lain. Dibandingkan dengan cabang ilmu kedokteran gigi lainnya cabang ilmu ini relatif masih muda, berkembang dari Eropa khususnya di Inggris dan Amerika. Disiplin ilmu kedokteran khususnya dermatology dan surgery banyak memberi kontribusi dalam perkembangan oral medicine. Selama abad 19 diskripsi mengenai penyakit mulut hanya ditemukan pada bqku text dermatology, antara lain dalam buku Portrait of disease of the skin yang dipublikasikan oleh E. Wilson (1855). Sir Jonathan Hutchinson (1828 —1900) seorang ahli bedah dari London Hospital banyak memberi perhatian pada oral medicine, bahkan dipandang sebagai bapak oral medicine. la mengungkap manifestasi dental sifilis akibat infeksi intra uterin ( Hutchinson's teeth ), dan pigmentasi di dalam mulut yang berhubungan dengan pigmentasi di luar mulut. Lebih lanjut oleh Peutz dan Jehger dikemukakan bahwa pigmentasi tersebut banyak terkait dengan polyposis intestinal ( Peutz Jehger's Syndrome) Tonggak sejarah oral medicine juga ditandai dengan publikasi Henry T. Bultin, (1885) seorang staf bedah di London mengenai Disease of the Tongue. Buku ini dipandang sebagai referensi yang bagus, diantaranya dikemukakan mengenai kelainan yang dilengkapi dengan keterangan dan gambar berbagai bentuk lesi sifilis, kanker, dan tuberkulose. Diperkenalkan juga oleh Huchitson istilah leukoma untuk menyebut smoker's patch atau white smooth patches yang pada masa-masa berikutnya oleh Schwimmer disebut sebagai leukoplakia. Pada era tahun 1900-1920, melalui pernyataannya A man's practice is as his knowledge of pathology Osler menekankan patologi sebagai ilmu pengetahuan dasar yang penting dalam praktek kedokteran gigi. Berdasarkan pengalamannya memeriksa mulut dan tenggorok anak, ia menyimpulkan bahwa Iidah dan mukosa mulut merupakan barometer atau cermin kesehatan. Penyakit darah, gangguan metabolik tertentu, defisiensi vitamin dan beberapa jenis penyakit kulit sering menifestasi di mulut. William Hunter berdasarkan makalahnya The Role of Sepsis and Antisepsis in Medicine (1911) banyak mengkritisi conservative dan prosthetic dentistry sebagai sumber sepsis oral yang dapat menjadi penyebab reumatik atau penyakit kronis lain. Teori focal infection dari Rosenow (1909) mencuat kembali, diantaranya dikemukakan bahwa gigi yang mati merupakan sumber infeksi dan toksinnya dapat menyebabkan arthritis, penyakit ginjal, jantung, saluran pencemaan dan penyakit sistemik yang lain. Sebelumnya juga dilaporkan Universitas Gadjah Mada
1
oleh Hypokrates sebuah kasus rematik yang sembuh setelah gigi yang terinfeksi dicabut. Kejadian demikian banyak memberi perubahan dalam praktek kedokteran gigi pada masa berikutnya. Kenneth Goadby dalam bukunya Disease of the gum and oral mucous membrane (1923) ia banyak menjelaskan tentang peran bakteri dalam berbagai macam penyakit. Dalam kurun delapan tahun buku tersebut diterbitkan sampai empat edisi, ini menunjukkan adanya perubahan yang menyeluruh konsep focal infection. Dikemukakan juga bahwa karies dan pyorrhoe alveolaris pada awalnya merupakan penyakit defisiensi. Bahkan is menulis tentang kemungkinan vaksinasi untuk terapi penyakit mulut. F.W. Broderick (1928) dalam bukunya Dental medicine mencoba menjelaskan penyakit gigi dan mekanisme reaksinya melalui dasar biokimia. Reaksi pada darah dan jaringan tetap konstan, dan saliva dapat dipakai sebagai indeks kesehatan seperti darah dan urin. Ia memandang bahwa karies dan pyorrhoe alveolaris sebagai kondisi yang antagonistik, karies disebabkan karena asidosis saliva sedang pyorrhoe alveolaris karena alkalosis. Wilfred Fish dan Hubert Stone banyak memberikan kontribusi dalam oral medicine, dimana Fish banyak memberi perhatian ke penyakit periodontal sedang Stone pada manifestasi oral penyakit sistemik. Melalui publikasinya Oral and Dental disease, Stone (1948) menjadi orang pertama yang menekankan pentingnya aspek medik un ;um untuk penyakit oral. Tiga tokoh terkemuka dari Amerika yang banyak berperan dalam perkembangan awal oral medicine, antara lain Kurth Thoma dalam bukunya Diagnosis and Treatment planning (1936) menekankan pentingnya aspek patologi dalam perawatan kedokteran gigi. Pada tahun 1941 is menerbitkan buku Oral Pathology yang mendasarkan diagnosis penyakit pada patologi jaringan. Ia merintis terbentuknya departemen yang mengajarkan oral diagnosis sebagai displin ilmu di kedokteran gigi. Thoma bersama Lester Chan, menjadi anggota pendiri Academy of Oral Pathology yang banyak memberi kontribusi literatur untuk oral medicine. Pada waktu itu oral medicine dan pathologi sating tum-pang tindih. Lester Burket seorang profesor oral medicine dari School of Dental Medicine, University of Pennsylvania, mencurahkan hidupnya untuk oral medicne, dan pada tahun 1946 menerbitkan Oral Medicine sebagai buku yang pertama kali hanya menfokuskan pada oral medicine. Robert Bradlaw, Evelyn Sprawson dan Martin Rusthon (1950) banyak memperbincangkan oral surgery dan oral pathology, karena lebih menaruh perhatian ke gigi dari pada mukosa oral bersama dengan William, Kelsey dan Fry, Bradlaw mendirikan Dental medicine. Dalam perkembangan lebih lanjut Bradlaw banyak mengembangkan oral medicine dan diagnostik, sedang Ruston melalui berbagai riset medik banyak mengemUniversitas Gadjah Mada
2
bangkan oral medicine dan oral pathology. Perlu dicatat bahwa sebagian besar dari mereka adalah dosen oral medicine yang qualified di bidang medik dan dental. Mereka menekankan bahwa basic sciences untuk praktek kedokteran juga diperlukan untuk praktek kedokteran gigi, sehingga dari sini muncul ungkapan dentistry moved forward as a great sister profession to medicine. Sejak era 1950 dan 1960 pendidikan oral medicine makin banyak diminati, dan seiring dengan perkembangan terapi, prosedur diagostik dan etiologi penyakit mulut yang didasarkan pada hasil riset, oral medicine berkembang lebih lanjut menjadi salah satu disiplin ilmu atau cabang ilmu kedokteran gigi. Perkembangan oral medicine telah membawa perubahan yang besar dalam bidang kedokteran gigi. Diantaranya falsafah praktek kedokteran gigi yang bersifat tooth centered philosophy dirasakan kurang sesuai dengan kenyataan dan beragamnya kasus di klinik. Sesuai dengan konsep oral medicine maka orientasi praktek kedokteran gigi berubah ke patient centered philosophy, yaitu praktek kedokteran gigi yang berorientasi pada pasien sebagai individu seutuhnya. (Morris 1969) Walaupun praktek oral medicine sebenarnya telah dilakukan sejak jaman Hypokrates, tetapi perkembangannya sangat lambat, karena masih banyak pendapat yang beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab dokter gigi terbatas pada penanganan penyakit gigi saja. Pasien dengan lesi mukosa oral sering minta pertolongan dokter umum. Disisi lain dokter gigi sendiri jarang memperhatikan atau kurang memahami bahwa penyakit atau lesi di mulut dapat merupakan manifestasi penyakit sistemik yang menjadi tanggung jawabnya. Pemahaman yang kontroversial tersebut akan menimbulkan dampak kasuskasus di mulut seolah-olah tidak bertuan atau disebut dengan The patient in no man's land (Sutterland 1974), akibatnya kasus demikian belum mendapatkan pelayanan yang memada.i atau bahkan jadi terlantar. Untuk menyelesaikan masalah kesehatan gigi dan mulut, pasien akan berpindah dari dokter ke dokter lain. Selama dua dekade berikutnya ilmu kedokteran gigi juga berkembang luas. Ini tentu tidak akan terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sociodemografi, serta tuntutan akan pelayanan kesehatan dental dari masayarakat yang juga berubah. Oral medicine sendiri telah berkembang menjadi displin ilmu kedokteran gigi yang memberikan pelayan spesialistik. Craig, S. Miller dkk. (1997) dari hasil penelitiannya tentang kebutuhan dan tuntutan pelayanan oral medicine pada tahun 1966 melaporkan bahwa hampir 90% pasien yang datang ke bagian oral medicine dengan medically compromising condition, oral mucocutaneous disease, atau chronic orofacial pain. Mereka menekankan perlunya pelayanan
kesehatan
oral
untuk
pasien-pasien
dengan
kondisi
medik
yang
kurangThenguntungkan ke dalam lingkup oral medicine.
Universitas Gadjah Mada
3
1.2 Difinisi dan lingkup oral medicine Oral medicine didifinisikan sebagai cabang ilmu kedokteran gigi yang berkompetensi khusus mengelola kesehatan pasien secara menyeluruh meliputi diagnosa dan perawatan yang bersifat non-bedah untuk kelainan primer ataupun sekunder di rongga mulut dan sekitarnya. ( Mazzeo dan Chasens 1975) Menurut American Academy of Oral Medicine (1996), Oral medicine merupakan spesialisasi di kedokteran gigi yang memberikan perhatian khusus perawatan kesehatan oral pasien dengan kondisi medik kurang menguntungkan dan diagnosis serta manajemen non-bedah kondisi di mulut dan regio maksilofasial yang berkaitan dengan penyakit sitemik. Melalui diagnosis dan manjemen penyakit mulut demikian, praktek oral medicine akan mampu memberikan kesehatan optimal kepada seluruh masyarakat. Secara luas oral medicine dapat diartikan sebagai salah satu aspek kedokteran gigi untuk mengetahui hubungan antara mulut dengan bagian tubuh yang lain, balk dalam keadaan sehat atau sakit; atau diformulasikan sebagai suatu kemampuan khusus dalam praktek kedokteran gigi yang berkaitan dengan pengelolaan kesehatan pasien secara menyeluruh (holistic). Mengacu pemahaman oral medicine yang demikian maka ruang lingkup oral medicine tidak terbatas pada penyakit mulut primer atau penyakit lokal di mulut, melainkan juga penyakit skunder atau manifestasi oral dari penyakit sistemik. Dalam Third World Workshop on Oral Medicine di Chicago 1998, diantaranya dikemukakan empat bidang utama yang termasuk lingkup oral medicine yaitu, (1) penyakit mukosa oral, (2) penyakit infeksi di daerah orofacial, (3) nyeri orofacial dan (4) gangguan kemosensoris dan gangguan pada kelenjar ludah. Perlu diperhatikan bahwa sebagian besar penyakit atau gangguan tersebut mempunyai latar belakang sistemis, oleh karena itu maka pemahaman akan pentingnya kerjasama antara dokter gigi dengan dokter umum sangat diperlukan. Sebelum memulai perawatan, dokter gigi yang mempunyai tanggungjawab kesehatan oral mempunyai kewajiban untuk mengetahui latar belakang penyakit setiap pasien. Perawatan gigi dan mulut dapat gaga) jika klinisi tidak tanggap akan status pasien yang sedang dalam pengawasan medik untuk penyakit sistemiknya, atau bahkan dapat terjadi resiko medik yang lebih gawat akibat perawatan atau tindakan dental. Dalam upaya meningkatkan kesehatan penderita secara utuh tidak tertutup kemungkinan dilakukannya sistem petayanan multidisioliner. Dalam kasus-kasus medik-dental khususnya, praktek oral medicine kiranya dapat menjembatani hubungan antara bidang kedokteran umum dan kedokteran gigi.
1.3 Mulut sebagai bagian integral tubuh Mengacu pada bidang garapan oral medicine dapat dipahami bahwa pengelolaan kasus oral dengan pendekatan secara sectoral balk atas dasar anatomis atau jenis Universitas Gadjah Mada
4
perawatan sudah tidak sesuai lagi. Kemajuan iptek telah menunjukkan bahwa penelusuran mengenai penyakit telah berkembang dengan pesat sampai pada tingkat seluler. Disisi lain dampak perkembangan iptek sendiri yaitu berubahnya pola kehidupan manusia tidak dapat dikesampingkan peranannya dalam perubahan pola penyakit. Oleh karena itu maka kelola kasus di mulut dengan pendekatan secara holistic, yaitu memandang pasien sebagai manusia seutuhnya merupakan cara yang tepat. Cara pendekatan demikian sebenarnya bukan hal Baru dalam bidang kedokteran, dalam easy klasik dari Francis Peadbody (1927): The Care of Patient, diantaranya tertulis pernyataan sebagai berikut: .............................................................................................................................................. The treatment of disease may be entirely impersonal, the care of patient must be
completely personal ....................................................................................
What is spoken of as a clinical picture is not just a photograph of a man sick in bad; it is an impressionistic painting of patient surrounded bay his home, his work, his relations, his friends, his joys, sorrows, hope and fears ................................
..............................................................................................................................................
Mencermati pernyataan tersebut di atas dan merujuk pada implementasi pendekatan secara holistik seperti dikemukakan sebelumnya, maka orientasi praktek kedokteran gigi yang saat ini bersifat patient centered philosophy kiranya dapat lebih dikembangkan sehingga perencanaan perawatan yang tepat untuk "seorang pasien" dapat ditegakkan. 1.4 Status fungsional mulut Fungsi mulut bagi kehidupan secara umum telah diketahui, namun demikian melalui pendekatan fungsional berikut ini diharapkan dapat membuka wawasan lebih luas. Sebagai jalan awal masuk ke dalam tubuh mulut berfungsi untuk mastikasi, penelanan dan bicara. Dari aspek psikologis mulut mempunyai fungsi yang penting. Walaupun aspek fungsional demikian tidak didukung fakta anatomis dan fisiologis yang nyata, melalui mulut dapat terungkap berbagai rasa ( percaya diri, cerminan kepribadian, dan rasa kepuasan atau kebahagiaan). Ditinjau dari struktur anatomis fungsi-fungsi tersebut melibatkan berbagai komponen dalam sistem stomatognasi yang meliputi; sendi rahang dengan sistem neuromuskuler, gigi geligi, gingiva, jaringan keras (tulang) dan jaringan lunak, kelenjar saliva, sistem limfatika dan vaskuler. Jika hanya melalui pendekatan secara segmental, misalnya hanya melihat pada salah sate komponen sistem stomatognasi, maka fungsi mulut yang sangat kompleks seperti di atas sulit dijelaskan. Tetapi dengan pendekatan ,secara utuh sistem stomatognasi, dapat dipahami bahwa berbagai fungsi tadi berlangsung karena aktivitas setiap komponen yang terintegrasi dalam kesatuan unit fungsional. Sebagai contoh misalnya fungsi mastikasi; perlu dicermati bahwa fungsi ini tidak semataUniversitas Gadjah Mada
5
mata fungsi mekanis yaitu melembutkan makanan, tetapi di dalamnya terkandung berbagai fungsi sensoris kompleks untuk identifikasi dan analisis makanan yang masuk ke mulut. Fungsi demikian menentukan apakah makanan tersebut perlu di kunyah lebih dulu, langsung di telan atau bahkan harus dimuntahkan. Ini semua memerlukan pengendalian yang tidak sederhana dari berbagai struktur di mulut, faring dan laring, dan aktivitas komponen yang lain. Pada waktu mengunyah terdapat beberapa tahap kegiatan yang terorganisir secara rind. Di mulut makanan akan diseleksi dan dianalisis oleh sistem sensoris seperti pengecapan, pembau, sentuhan dan persepsi suhu. Berbagai informasi sensoris tersebut akan diintegrasikan ke pusat sensoris di sistem syaraf pusat. Berdasarkan hasil integrasi di otak maka akan terjadi sekresi saliva, gerakan mengunyah dan setelah mencapai tingkat kelembutan tertentu makanan tersebut akan ditelan. Pengaturan secara bertahap seperti pengecapan, pengendalian neuromuskuler untuk mastikasi, atau sekresi saliva, masing-masing merupakan fungsi yang sangat kompleks. Untuk dapat menjelaskan fungsi-fungsi tersebut memerlukan pemahaman dari setiap unsur antara lain mekanisme reseptor, pengiriman informasi ke otak, neurotransmiter pada synapsis, sistem integrasi motorik, atau mekanisme efektor di perifer. Perlu diperhatikan bahwa didalam kesatuan unit fungsuonal tersebut terkandung pula suatu mekanisme perlindungan agar fungsi sistem secara keseluruhan tidak terganggu. Sebagai contoh sederhana misalnya pada waktu makan mengapa lidah kita tidak tergigit? Kejadian tersebut dapat dijelaskan melalui mekanisme reseptor. Di mulut terdapat jenis reseptor untuk menanggapi berbagai ragsangan mekanis yang dikenal dengan mekanoreceptor. Receptor ini mempunyai dua fungsi utama, pertama ialah bertanggung jawab untuk mengirimkan informasi tekstural yang merupakan komponen penting untuk merasakan makanan. Sentuhan makanan di mulut dan sensasi tektural seperti makanan kering, kasar,
lembut atau kenyal semua informasi tersebut diperoleh melalui
mekanoreseptor. Fungsi kedua ialah memberikan umpan balik sensoris yang esensial dalam pengendalian fungsi motorik daerah orofasial. Selama mengunyah reseptor tadi memberikan informasi kedudukan makan di mulut, dan selama bicara memonitor kedudukan lidah. Fungsi demikian yang memberi perlindungan lidah agar tidak tergigit selama mastikasi. Mekanoreseptor banyak terdapat di jaringan periodontal. Jika ada makanan yang membahayakan gigi akan terjadi umpan balik pada fungsi motorik untuk terjadinya gerak menghindar mandibula. Fungsi perlindungan demikian memungkinkan terjadinya adaptasi fungsional agar mulut dapat tetap berfungsi, tetapi jika kapasitas adaptasi fungsional sistem ini terlewati akan rnenimbulkan masalah baru yang kurang menguntungkn bagi kesehatan mulut secara keseluruhan. ( lihat kembali fisiologi oral & reseptor ) Universitas Gadjah Mada
6