BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan sosial dalam sastra tidak terlepas dari gejolak sosial waktu ditulisnya teks. Salah satu periode perubahan dalam sastra Melayu adalah ketika datangnya Islam. Kehadiran Islam di tanah Melayu secara perlahan menggeser posisi sastra pengaruh hindu. Djamaris, dkk (1985:1—3) menjelaskan bahwa masuknya agama Islam merupakan awal mula zaman sastra berhaluan sastra dari negeri Islam, yang menggeser dominasi sastra hindu (Hikayat Pandawa, Hikayat Sri Rama, Pancatantra). Sebagian besar jenis sastra tersebut tersimpan di PNRI beraksara Arab-Melayu. Dalam tulisan Liaw Yock Fang, sastra pengaruh Islam digolongkan dalam sastra kitab. Menurut Roolvink, kajian tentang Al quran, tafsir, tajwid, arkan ulislam, usuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarikat, zikir, rawatib, doa, jimat, risalah, wasiat dan kitab tib (obat-obatan, jampi-menjampi), dapat digolongkan ke dalam sastra kitab (2011:380). Berbeda dengan Roolvink, menurut Siti Baroroh Baried, yang dimaksud dengan sastra kitab adalah sastra tasawuf yang berkembang di Aceh pada abad ke-17 (Sulastin Sutrisno dan kawan-kawan dalam Fang, 2011:380). Akan tetapi, klasifikasi sastra pengaruh Islam lebih detail pada karya Edwar Djamaris. Hal tersebut disebabkan oleh klasifikasi Djamaris mencakup hal yang diungkapkan Roolvink dan Siti Baroroh Baried. Djamaris membagi sastra Melayu pengaruh Islam menjadi lima golongan, yaitu (1) kisah tentang para nabi dan hikayat tentang Nabi Muhammad S.A.W dan keluarganya, 1
2
(2) sastra ketatanegaraan, (3) sastra tasawuf, (4) sastra yang berisi kepercayaan dan ajaran Islam, serta (5) sastra kitab (Djamaris, dkk, 2004:317). Sastra melayu pengaruh Islam merupakan karya yang cukup berpengaruh dalam masyarakat. Kehadiran sastra jenis tersebut bahkan dapat memicu perpecahan antargolongan disebabkan oleh perbedaan penafsiran, seperti konflik antara pengikut Ibn Arabi dan Nuruddin Ar-Raniri di Aceh yang berimbas pada pembumihangusan karyakarya yang berbau ajaran wujudiyah. Beberapa contoh sastra melayu pengaruh Islam ialah Hikayat Seribu Masalah, Tajus Salatin, dan Hikayat Iblis dan Nabi (pada kelanjutannya akan disingkat HIDN). HIDN merupakan sastra melayu klasik yang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Berdasarkan katalog terbaru yang disusun oleh Behrend dkk, dijelaskan bahwa naskah HIDN tersimpan dengan kode W 93, Hikayat Iblis dan Nabi, 35 hlm, [R # 274], Rol 373. 10. (Behrend, dkk, 1998:329). Naskah HIDN pada katalog terbaru hanya tesisa satu buah. Informasi tentang HIDN tidak terdapat pada Katalog PNRI. Informasi mengenai HIDN terdapat dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1909:232), yang menjelaskan bahwa hikayat tersebut serupa dengan cerita di Persia dan India. Katalogus Suttarga memberikan informasi bahwa teks HIDN ada dua. Naskah pertama merupakan yang tersimpan di Jakarta bertanggal 6 dzulkaidah tanpa tahun. Naskah pertama berkode w. 93 dengan informasi 19 x 11 cm, berhalaman 36, memiliki 11 baris tiap halaman, serta berhuruf Arab jelas dan baik. Naskah kedua berkode Br. 421 B, huruf Arab jelas dan baik, isinanya sama dengan naskah pertama, 20,5 x 13 cm, halaman 26—40
3
berisi 15 baris. Sutttarga juga menjelaskan bahwa tidak ada yang istimewa dari naskah cerita tersebut dan terdapat pula teks serupa di Leiden yang dapat dicek pada katalog Juynboll (Suttarga, 1972:180). Informasi tentang HIDN pada katalog Juynboll ialah teks HIDN telah dialihaksarakan dari Melayu menjadi Sunda, Makassar, dan Hindustan. Teks HIDN juga dijelaskan bahwa dibeli dari perpustakaan Prof. S Keyzer pada 9 Juli 1868 (Juynboll, 1899:185—186). Pada kalog P&K, Suttarga berpendapat bahwa HIDN tidak memiliki keistimewaan. Bersebrangan dengan pendapat Suttarga, menurut penulis teks HIDN merupakan teks yang unik. Keunikan teks HIDN ialah teks yang dominan berbentuk dialog tanya jawab dan dibiarkan menggantung pada bagian akhir. HIDN diawali dengan cerita Malaikat membawa firman Tuhan untuk Iblis. Firman Tuhan tersebut memerintahkan Iblis untuk menemui Nabi Muhammad dan menjawab segala pertanyaannya. Iblis pun menyamar menjadi orang tua dan menemui Nabi Muhammad. Pada pertemuan tersebut, terdapat 62 pertanyaan dan 2 pernyataan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membahas hal-hal sebagai berikut, (1) perihal seteru Iblis, (2) perihal yang terjadi kepada Iblis ketika umat Muhammad melakukan suatu pekerjaan, (3) hal yang menyakitan Iblis, (4) pertanyaan perihal subjek yang dekat dengan Iblis, (5) perihal diri Iblis, (6) perihal Muhammad, umat, kerabat, dan perempuan yang lepas dari Iblis. Keunikan lain dari HIDN ialah Iblis, yang merupakan makhluk yang dilaknat oleh Allah, justru yang menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi Muhammad, pemimpin Islam.
4
Sebelum Ferdinand de Saussure, dan juga sesudahnya dalam berbagai universitas, ilmu bahasa lazimnya disebut “filologi”. Hal tersebut disebabkan dahulu, terutama pada abad ke-19, ahli bahasa sering menyelidiki masa lampau dari bahasa-bahasa tertentu (Inggris, Jerman, Latin, dan lain sebagainya) dengan tujuan untuk dapat menafsirkan naskah-naskah kuno (Verhaar, 2010:8). Studi filologi erat kaitannya dengan heremeneutika. Schleiermacher, seorang filolog dan ahli hermeneutika, merupakan tokoh yang mula-mula memisahkan filologi dan hermeneutika. Hermeneutika Schleiermacher dapat melebihi batasan filologi – sebagai kajian Bibel-. Seiring dengan perkembangan hermeneutika. Orientasi interpretasi teks mengalami pergeseran lewat hadirnya tokoh Heidegger dan Ricoeur, yang sebelumnya berfokus pada pengkajian maksud penulis. Heidegger berasumsi bahwa keberadaan adalah sama halnya dengan kemunculan, tidak akan terjadi keberadaan tanpa ada kemunculan dan tidak akan ada kemunculan tanpa keberadaan. Heidegger juga menyatakan bahwa untuk menjadi orang haruslah berbicara (Palmer, 2005:177—178). Melalui asumsinya tersebut, Heidegger meletakkan pondasi bahwa bahasa ialah sarana mengada. Pemikiran Heidegger pun dimasukkan Ricoeur dalam kerangka teori interpretasinya. Akan tetapi, yang membedakan ialah Ricoeur menggunakan kajian teks seperti skema subjek-objek sementara Heidegger tidak. HIDN merupakan hikayat yang cukup rumit untuk dikaji. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya identitas pengarang dan informasi yang cukup mengenai aspek historis teks. Berdasarkan model teks HIDN kemungkinan teks tersebut dekat dengan pergerakan intelektual Islam pada sekitar abad-17. Azra
5
(2000:124—126) menjelaskan bahwa pada abad-17 terjadi suatu kesadaran akan urgensi pembaruan sosio-moral masyarakat muslim di banyak bagian dunia Islam. Aktor-aktor dari gerakan tersebut merupakan serangkaian jejaring intelektual ulama di tanah suci abad-17. Jejaring ulama tersebut tidak ditentukan afiliasi mazhab fikih tetatapi menganut mazhab Syafi’i. Jejaring ulama tersebut berfokus pada penekanan studi hadis. Kecenderungan tersebut sudah dimulai sejak akhir abad-16, berupa usaha-usaha kalangan ulama Haramayn dan Mesir memperluas pengkajian ilmu hadis kutub al-sittah. Lebih dari sekedar mengamankan, menjelaskan, dan menyusun kembali hadis, ulama-ulama tersebut juga berusaha mencari hadis baru dan menyebarkannya kepada umat untuk diamalkan. Pada perjalan penyebarannya, karya sastra menjadi medium yang mendukung dalam pergerakan tersebut. Tokoh-tokoh yang menyejarah dalam bidang tersebut semisal Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Collingwood (dalam Purwanto, 2006:96) menjelaskan bahwa karya sastra bukan hanya merupakan potret dari berbagai realitas sosial melainkan juga refleksi intelektual dari masyarakat ketika karya ditulis. Taufik Abdullah (dalam Purwanto, 2006:99—101) menjelaskan bahwa teks dapat menjadi pantulan atau keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkannya sehingga peneguhan nilai menjadi hal yang penting. Sastra juga dapat mengekspresikan ketidaksetujuan secara personal atau bahkan masyarakat terhadap sesuatu yang sedang berlangsung. Pada model pengkajian teks terbaru, terjadi proses dikotomi antara penulis dan teks. mengkaji dunia teks tidak memerlukan penulis atau pengarangnya.
6
Proposisi justru terletak pada teks yang sudah lepas dari pengarangnya. Hal tersebut disebabkan teks yang masih dalam ranah pengarang akan memiliki beban psikologis. Otonomi teks ada tiga macam, yaitu intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi kultural pengadaan teks, dan audien tujuan dimaksudkan (Sumaryono, 1999:109). Bertitik tolak dari otonomi tersebut, teks akan
mengalami
proses
dekontekstualisasi
dan
rekontekstualisasi.
Dekontekstualisasi adalah proses pelepasan teks dari beban intensi pengarang, sosio-kultural konteks penciptaan teks, dan audiens awal teks, sehingga terjadilah proses rekontekstualisasi yang membuat teks terbuka kepada pembaca yang baru. Memaknai teks terbagi menjadi dua, yaitu memaknai hal yang dikatakan pembicara dan memaknai hal yang dimaksudkan kalimat. Sisi objektif wacana adalah sisi pemaknaan kalimat atau wacana. Sisi objektif tersebut dapat dipahami melalui dua cara, yaitu “apa wacana itu?” dan “ tentang apa wacana itu?”. Pertanyaan ”apa wacana itu?” merujuk pada penjabaran makna kontekstual; makna yang terbangun dari tanda-tanda dalam keseluruhan wacana. Pertanyaan “tentang apa wacana itu?” merujuk pada reference; hal yang terdapat di balik bahasa, hal yang menyambungkan wacana dengan dunia ontologis di luar teks (Ricoeur: 2014:46). Dunia yang diacu oleh reference tidak harus dunia yang empiris, melainkan juga dunia yang mungkin, terlebih dalam ranah sastra. Dunia yang empiris dalam ranah sastra akan dikesampingkan untuk dunia yang mungkin. Sebelum tahap reference terdapat simbol. Pengungkapan simbol tersebut tergantung kemampuan interpretator untuk memudahkan membawa makna objektif menuju dunia yang mungkin.
7
Hal lain yang perlu dikaji adalah penyajian suntingan teks. Hal tersebut berdasarkan teks HIDN yang ditulis dengan aksara jawi. Tanpa suntingan, teks akan sukar diterima di masa kini karena terputuskan oleh aksara. Hal tersebut juga bersangkutan dengan tujuan khusus kerja filologi yaitu menyajikan teks dalam bentuk yang terbaca oleh masyarkat masa kini, yaitu dalam bentuk suntingan (Baried dan kawan-kawan, 1994:8). Pengkajian filologi melalui teori Paul Ricoeur belum ditemukan. Penelitian menggunakan teori Paul Ricoeur terdapat dalam beberapa tesis ilmu sastra, yaitu Muhib Thabri (2005) melalui tesisnya Menelusuri Makna Saman Karya Ayu Utami Melalui Hermeneutika Paul Ricoeur, Abdul Wachid B. S yang menulis Konsep Cinta dalam Gandrung Karya A. Mustofa Bisri tahun 2007, Heru Kurniawan menulis Mistisme Cahaya tahun 2009. Salah satu karya tentang sastra kitab adalah Hikayat Seribu Masalah Konsepsi Surga dan Neraka: Sebuah Telaah Reseptif yang merupakan tesis Syamsul Hadi pada tahun 1984.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah ketidakterbacaan aksara yang disebabkan oleh hikayat ditulis dengan aksara Jawi. Tidak adanya identitas pengarang dan berbagai informasi mengenai teks juga menjadi masalah dalam memudahkan mendapatkan informasi.
8
1.2.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana suntingan teks Hikayat Iblis dan Nabi? 2. Apakah sense yang terkandung dalam Hikayat Iblis dan Nabi? 3. Bagaimana dunia yang mungkin yang diarahkan oleh simbol dan reference Hikayat Iblis dan Nabi? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. 1.3.1 Tujuan Teoretis Tujuan teoretis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menyajikan suntingan Hikayat Iblis dan Nabi dengan metode kritis. 2. Mendeskripsikan sense yang terkandung dalam Hikayat Iblis dan Nabi. 3. Mendeskripsikan simbol dan reference Hikayat Iblis dan Nabi. 1.3.2 Tujuan Praktis Adapun tujuan praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menambah khazanah penelitian pernaskahan
2.
Menyajikan suntingan Hikayat Iblis dan Nabi agar memudahkan pembaca.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap Hikayat Iblis dan Nabi dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur belum pernah dilakukan sebelumnya,
9
Akan tetapi, penelitian yang menggunakan objek yang sejenis –sastra melayu pengaruh Islam- pernah beberapa kali dilakukan, termasuk katalogus. Katalog
Juynboll
(1899)
menjelaskan
bahwa
teks
HIDN
sudah
dialihaksarakan dari bahasa Melayu menjadi Sunda, Makassar, dan Hindustan. Dijelaskan pula bahwa teks dibeli dari Prof. S. Keyser pada 9 juli 1868. Buku Verhandelingen van het Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen (1909) yang ditulis van Ronkel menjelaskan bahwa Hikayat Iblis dan Nabi berupa percakapan dan dijumpai juga seperti cerita di Persia dan India. Buku ini juga menyajikan sepotong bagian wacana dengan transliterasi dalam Bahasa Belanda. Terdapat dua naskah dalam keterangan katalog. Identitas naskah seperti yang tercatat pada katalog Suttarga. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat DEP P&K (1972) menjelaskan bahwa Teks HIDN ada dua di Jakarta. Teks bertanggal 6 dzulkaidah tanpa tahun. Naskah pertama berkode w. 93 dengan informasi 19 x 11 cm, berhalaman 36, memiliki 11 baris tiap halaman, serta berhuruf Arab jelas dan baik. Naskah kedua berkode Br. 421 B, huruf Arab jelas dan baik, isinanya sama dengan naskah pertama, 20,5 x 13 cm, halaman 26—40 berisi 15 baris. Terdapat naskah serupa di Leiden yang dirujuk pada katalog Juynboll. Muhib Thabri (2005) melalui tesisnya Menelusuri Makna Saman Karya Ayu Utami Melalui Hermeneutika Paul Ricoeur. Kesimpulan dari tesis tersebut ialah Saman menggunakan teknik sorot balik, Saman memiliki tema politik dan seks, Saman berkomposisikan perjuangan tokoh. Saman menawarkan dunia partikular,
10
mandiri, individual, tanpa agama, tanpa cinta yang hipokrit, dunia tanpa kelas, dunia tanpa dosa, dunia tanpa kekerasan, dan dunia yang memanusiakan manusia. Abdul Wachid B. S (2007) melalui tesisnya menulis Konsep Cinta dalam Gandrung Karya A. Mustofa Bisri. Kesimpulan dari penelitian itu adalah, dengan menggunakan metode pengkajian simbol, puisi Mustofa Bisri memberikan tangga ruhani menuju Allah, puisi Mustofa Bisri merepresentasikan posisi penting Tuhan sebagai kekasih, dan puisi sufi Mustofa Bisri merupakan upacara bersih diri. Edwar Djamaris dkk, (2008) menulis Sastra Melayu Lintas Daerah. Lewat tulisannya ini Djamaris memberi fragmen transliterasi HIDN. Akan tetapi, dari kutipan tersebut terdapat kesalahan pembacaan misalnya kata Adam ditulis aku. Heru Kurniawan (2009) melalui tesisnya –yang sudah diterbitkan menjadi buku- menulis Mistisme Cahaya. Penelitian tersebut mengkaji metafora, simbol, dan konsep mistisme dalam puisi Rumah Cahaya Karya Abdul Wachid B. S. hasil penelitian itu adalah puisi tersebut merepresentasikan subyek yang taubat, ayat Tuhan, dan konsep cahaya ialah hidayah. Syamsul Hadi (1984) melalui tesisnya berjudul Hikayat Seribu Masalah Konsepsi Surga dan Neraka: Sebuah Telaah Reseptif mengemukakan bahwa bentuk tanya jawab dalam Hikayat Seribu Masalah berfungsi untuk membuat pembaca tegang dan menanti jawaban, Hikayat Seribu Masalah berisi jawaban yang hanya diketahui Tuhan, Hikayat Seibu Masalah berisi ajaran akidah dan syariat, Hikayat Seribu Masalah banyak mengandung unsur bahasa Arab, uraian surga dan neraka tidak dijelaskan secara sistematis, dan konsepsi surga dan neraka sesuai dengan ayat Al quran dan hadis.
11
Hingga penelitian ini dilakukan, belum ada yang menyajikan suntingan dan meneliti Hikayat Iblis dan Nabi dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Oleh karena itu, penelitian ini memberi kebaruan dibandingkan penelitianpenelitian sebelumnya. 1.5 Landasan Teori Filologi secara harfiah berarti “cinta kata”. Filologi merupakan suatu cara tertentu untuk mengkaji teks masa lampau (Sudibyo, 2015:127). Filologi bekerja karena terdapat banyaknya variasi teks masa lampau. Variasi tersebut dapat terjadi karena faktor manusia yang dapat lalai dalam pekerjaannya. Salah satu tujuan teori filologi ialah menyajikan teks dalam bentuk suntingan agar terbaca di masa kini. Hal tersebut juga dapat sekaligus memberikan informasi yang tersimpan pada peninggalan teks (Baried dkk, 1994:5—8). Teori filologi menawarkan dua metode transliterasi, yaitu edisi diplomatis dan edisi kritis. Edisi diplomatis yaitu menerbitkan suatu naskah seteliti-telitinya tanpa mengadakan perubahan. Edisi diplomatik yang baik adalah hasil pembacaan yang teliti oleh seorang pembaca yang ahli dan berpengalaman (Barried dkk, 1994:62). Edisi kritis yaitu penyunting mengidentifikasi sendiri bagian di dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Terdapat dua alternatif. Pertama, jika penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam teks tersebut, ia dapat memberikan tanda yang mengacu pada “aparatus kritis”; penyunting dapat menyarankan bacaan yang lebih baik. Kedua, penyunting dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas yang mengacu pada aparatus krittis; bacaan asli akan didaftar dan ditandai sebagai “naskah” (Robson, 1994:25).
12
Terpecah-pecahnya teks menjadi varian-varian membuat fokus teks yang diteliti harus ditentukan dengan beberapa cara. Metode pemilihan naskah berdasarkan teori filologi ada ada dua, yaitu landasan (legger) dan stemma. Metode legger
atau landasan diterapkan jika menurut tafsiran ada satu atau
sebagian teks yang dianggap unggul kualitasnya dengan mempertimbangkan segi bahasa, sastra, sejarah, dsb. Metode stemma diterapkan apabila terdapat kesalahan yang sama dan tempat yang sama pada beberapa naskah sehingga dapat ditentukan silsilah naskah (Sudibyo, 2015:88). Pemikir kontemporer hermeneutika adalah Paul Ricoeur. Sebagai pemikir kontemporer, Ricoeur berhasil meng-up-date dan meng-up-grade pemikiran hermeneutika sebelumnya. Josep Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics (1981) menempatkan pemikiran Ricoeur di luar tiga tradisi pemikiran hermeneutika:
hermeneutika
metodologis,
hermeneutika
filosofis,
dan
hermeneutika kritis (Ricoeur, 2014:179—180). Pada proses pembacaan teks, hal yang diajukan Ricoeur ialah pembaca harus membuka diri kepada teks. Konsep tersebut merupakan konsep yang diambil Ricoeur dari tradisi filsafat fenomenologi Tugas hermeneutika adalah mampu mengidentifikasi baik formasiformasi ideologis maupun kemungkinan-kemungkinan pembebasan utopian (Kaplan, 2010:18). Salah satu kajian mengenai hal tersebut adalah kajian tentang fiksi atau teks sastra, yang mengonstruksi alternatif kepada realitas. Teks menurut Ricoeur adalah “any discourse fixed by writing”. Terdapat dua jenis discourse, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan tidak terlalu memerlukan kajian hermeneutika karena disampaikan langsung oleh pembicara.
13
Sedangkan teks membutuhkan hermeneutika karena merupakan korpus yang otonom. Ricoeur menganggap bahwa sebuah teks memiliki totalitas yang dicirikan dalam empat hal, yaitu (1) sebuah teks memiliki “apa yang dikatakan?” terlepas dari pengungkapannya, (2) makna teks tidak terikat pada pembicara, (3) karena tidak terikat dialog, teks lepas dari konteks, (4) teks tidak terikat pada audiens awal (2006:19). Totalitas pada teks membuatnya memiliki sisi objektif berupa kalimat dalam wacana yang telah memiliki makna tetap. Sisi objektif tersebut dapat dipahami melalui dua cara, yaitu “apa wacana itu?” dan “tentang apa wacana itu?”. Pertanyaan ”apa wacana itu?” merujuk pada penjabaran makna kontekstual; makna yang terbangun dari tanda-tanda dalam keseluruhan wacana. Pertanyaan “tentang apa wacana itu?” merujuk pada reference; hal yang terdapat di balik bahasa, hal yang menyambungkan wacana dengan dunia ontologis di luar teks (Ricoeur: 2014:46). Dunia yang diacu oleh referensi tidak harus dunia yang empiris, melainkan juga dunia yang mungkin, terlebih dalam ranah sastra. Dunia yang empiris dalam ranah sastra akan dikesampingkan untuk dunia yang mungkin. Pada proses interpretasi terjadi duahal, yaitu penjelasan dan pemahaman. Penjelasan (explanation) adalah cara kerja yang menghubungkan metafor kepada teks, sementara interpretasi (interpretation) adalah cara kerja dari teks ke metafor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis ke bahasa lisan. Penjelasan berlangsung pada tataran “apa wacana itu?”. Pemahaman berlangsung pada tahap “tentang apa wacana itu?”
14
Puncak dari interpretasi adalah mendaku ‘appropriate’. Mendaku dalam kerangka teoretis Ricoeur ialah menjadikan sesuatu yang sebelumnya asing menjadi
milik
sendiri
sehingga
interpretasi
bersifat
menyatukan
dan
mengontemporerkan. Akan tetapi, puncak dari interpretasi belum tentu bersifat ontologis dan merupakan formulasi ada (being) yang berserakan dan belum rampung; namun fragmentasi yang terdapat dalam cakrawala hermeneutika ini tidak bisa dijadikan dasar untuk menolaknya atau menyerah (Ricoeur, 2006:26— 27).
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan empat metode, yaitu metode pemilihan teks, metode pengumpulan data, metode kritis, dan metode analisis data.
1.6.1 Metode Pemilihan Teks Metode pemilihan teks ada dua, yaitu legger dan stemma. Berdasarkan studi katalog dan keterjangkauan naskah. Kedua metode tersebut tidak dapat diterapkan sehingga naskah yang dipilih adalah naskah satu-satunya yang terdapat di Jakarta. 1.6.2 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini tidak terpaku pada teks HIDN dan teks lain yang membahasnya. Akan tetapi, penelitian ini mengumpulkan data pendukung dengan mencari segala informasi tentang sastra kitab yang lebih general daripada HIDN.
15
1.6.3 Metode Kritis Ketidakterbacaan teks adalah salah satu masalah dalam hikayat ini. Oleh karena itu, pentransliterasian harus dilakukan. Dalam proses transliterasi, metode yang digunakan adalah metode kritis atau standar dengan pembenaran ejaan. Hal tersebut berkaitan dengan kesanggupan peneliti dalam menyajikan edisi diplomatis. 1.6.4 Metode Analisis Data Setelah teks selesai ditransliterasi, maka data akan dianalisis dengan teori hermeneutika Paul Ricoeur. Tahap pertama adalah mengidentifikasi sense dalam wacana dengan teori tindak tutur Austin yang telah dilengkapi oleh J. L. Searle. Setelah didapatkan makna. Tahap selanjutnya adalah interpretasi terhadap simbol sense sehingga tercapainya reference.
1.7 Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini disajikan dalam empat bab. Pembagian pembahasan pada tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi sajian suntingan teks HIDN. Bab III berisi deskripsi sense dari HIDN. Bab IV berisi deskripsi simbol dan reference HIDN, dan Bab V merupakan penutup berupa simpulan dan saran.