BAB I PENDAHULUAN
Tujuan Umum: Mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya buku ini untuk menunjang pembelajaran sastra. Tujuan Khusus: Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kedudukan buku ini dalam pembelajaran apresiasi prosa
1.1. Pengantar Hakikatnya konsep pembelajaran sastra mengacu atau berorientasi pada: pertama, pengembangan kemampuan intuitif dan emosional subjek didik dalam upaya memahami pesanpesan yang terkandung dalam suatu karya sastra; kedua, dalam proses menuju pemahaman sastra yang komprehensif, diperlukan kemampuan intelektual sebagai sarana penunjangnya; ketiga, sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan penghargaan yang wajar terhadap semua ragam sastra dari para subjek didik (Jamaluddin, 2003:81). Secara lebih umum, dapat dideskripsikan bahwa orientasi pembelajaran sastra adalah untuk menumbuhkembangkan daya apresiasi siswa terhadap karya sastra. Siswa perlu didorong agar tumbuh dalam dirinya sikap positif terhadap karya sastra, berikut pengarangnya. Sikap positif ini dalam konteks pembelajaran tidaklah tumbuh secara alamiah. Lebih jauh dari itu, sikap positif tersebut perlu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga siswa betul-betul dapat memperoleh manfaat dari sikap positif yang diberikan. Pembelajaran sastra dalam konteks demikian mengarah pada upaya untuk mengonstruksi secara sadar sikap positif siswa tersebut.
Guru tentunya memiliki peran besar untuk mengonstruksi proses
pembelajaran tersebut.
1
1.2 Memosisikan Secara Ilmiah Apresiasi sastra Sehubungan dengan konsep pembelajaran sastra secara umum tersebut, pembelajaran apresiasi sastra merupakan konsep pembelajaran sastra yang secara spesifik, idealnya berorientasi pada upaya untuk menumbuhkembangkan potensi pembelajaran subjek didik; baik itu kognitif, afektif, dan psikomotor. Apresiasi sastra dengan demikian hakikatnya, tidaklah semata terkonsentrasi dengan dunianya sendiri, yakni aspek struktural sastra. Labih jauh dari itu, terkait dan terhubung juga dengan dunia yang melingkupinya. Oleh karena itu, memahami karya sastra dalam konteks tersebut haruslah diletakkan dalam konteks dunia yang melingkupi. Artinya, pembelajaran apresiasi sastra perlu untuk memosisikan diri lebih dekat, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan dunia sosial yang melingkupi dan membentuknya. Pembelajaran apresiasi sastra (baca:prosa) dengan demikian memiliki tanggung jawab sosial terhadap dunia sosial yang melingkupi dan membentuknya. Hal yang tidak kalah penting dalam pembelajaran apresiasi sastra ialah meletakkannya dalam koridor kajian yang ilmiah. Prinsip-prinsip dasar kajian ilmiah haruslah dijaga betul. Misalnya, prinsip objektivitas, keterbukaan, sistematis, menjaga keajegan metode yang diterapkan, dan prinsip universalitas. Artinya, upaya untuk mengonstruksi sikap positif siswa yang dilakukan secara sadar tersebut dapat dibingkai dalam koridor ilmiah. Setiap pandangan dan sikap positif tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Terdapat alasan-alasan ilmiah yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang fenomena sastra. Jelas hal demikian ini akan membedakan sikap positif masyarakat pada umumnya terhadap karya sastra dan pengarangnya. Mereka dapat berapresiasi dan improvisasi dalam bentuk apapun, terkait dengan posisinya sebagai pembaca dan penikmat sastra. Oleh Karena itu, dalam diri guru dan siswa sebenarnya teradapat dua potensi sekaligus: yang pertama, posisi pengapresiasi
sastra
yang
memiliki
keharusan
moral
akademis
untuk
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; yang kedua, terkait dengan posisinya sebagai penikmat sastra. Sebagai penikmat sastra, maka posisi guru dan siswa tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Baik sebagai pengapresiasi yang memiliki keharusan moral akademis dan semata-mata sebagai penikmat. Guru dan siswa dapat memperoleh manfaat dari fungsi yang terkandung dalam pembelajaran sastra. Manfaat tersebut misalnya, manfaat pengembangan nilai yang terkandung dalam sastra, manfaat untuk mendekatkan setiap pembaca pada dimensi kultural 2
yang melingkupi, dan manfaat praktis lainnya. Tentunya dengan mengapresiasi sastra guru dan siswa, langsung atau tidak langsung dapat terhibur karenanya. Dikatakan demikian karena ada fungsi hiburan yang dapat secara langsung dirasakan pembaca; di sisi lain, ada manfaat hiburan yang diperoleh setelah sekian waktu berjalan, karena pembaca terbawa dalam proses refleksi sastra yang lebih mendalam. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sarwadi (dalam Sayuti, 1994:83), yang mengemukakan bahwa pembelajaran sastra memiliki tiga fungsi utama, antara lain: pertama, fungsi ideologis, yakni fungsi yang berkaitan dengan suatu upaya penguatan nilai-nilai ideologis bangsa; kedua, fungsi kultural, yakni fungsi transformasi nilai budaya yang telah diwariskan oleh leluhur-leluhur bangsa sebelumnya; ketiga, fungsi praktis, yakni berkaitan dengan manfaat praktis hiburan maupun pembelajaran. Pembelajaran sastra multikultural sangat relevan dengan fungsi tersebut, baik itu fungsi ideologis, ini yang utama, fungsi kultural, dan fungsi praktispragmatisnya.
1.3 Fokus Kajian Buku Dalam konteks tersebut, buku ini difokuskan pada kajian apresiasi prosa, khususnya yang terkait dengan wacana baru dalam bidang kesastraan. Dengan pertimbangan, bahan kajian tersebut dipandang memiliki konstribusi terhadap perbaikan budi peserta didik mengembangkan dalam kehidupan sosial kebangsaannya. Sastra multikultural, sebagai bentuk perkembangan baru dalam bidang kesastraan dipandang memenuhi kebutuhan tersebut; sehingga, guru diharapkan dapat bahan kajian tersebut lebih lanjut, baik dalam proses pembelajaran sastra di PPG, maupun dalam proses pembelajaran ketika berhadapan dengan peserta didik nantinya. Fokus kajian ini bukan menutup peluang untuk munculnya wacana-wacana sastra lain yang aktual yang relevan dengan pembelajaran di tingkat pendidikan tinggi, maupun di sekolah. Misalnya,
pengembangan
wacana sastra
poskolonial,
feminisme
dalam
sastra,
dan
pengembangan wacana religiusitas dalam sastra. Ketiga wacana tersebut masih memiliki daya relevansi untuk dikembangkan lebih lanjut; baik dalam konteks transformasi wacana dan nilai kesastraan dalam diri individu siswa, maupun daya relevansinya terhadap konstruksi kebangsaan yang ada. Apresiasi prosa yang lebih spesifik mengembangkan wacana sastra multikultural dipandang memiliki urgensi yang fundamental untuk ikut memberikan jawaban dan kontribusi 3
positifnya terhadap fakta kebangsaan yang terkoyak. Fakta memang bangsa ini sedang terkoyak oleh banyaknya konflik di sana-sini, dengan berbagai latar belakang masalah sosialnya. Masalah etnisitas, agama, ras, dan golongan (SARA). Dengan demikian, fokus kajian ini diharapkan dapat memberikan daya integrasi dan penguatan sosial yang ada. Alih-alih, hal demikian ini dapat diletakkan sebagai bagian dari pendidikan multikultural secara umum yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini. Lebih lanjut, buku
ini secara keseluruhannya mendeskripsikan: pertama, tentang
apresiasi sastra secara umum dan fungsinya dalam konteks pembelajaran; kedua, Apresiasi Sastra dalam perkembangan Prosa Baru: Sastra Multikultural, yang mencakup perkembangan sastra multikultural di Indonesia, baik pada masa kolonisasi maupun pascakolonisasi; ketiga, tentang dimensi-dimensi dan nilai-nilai yang terkandung dalam apresiasi sastra multikultural di Indonesia; keempat, tentang pemanfaatan apresiasi sastra multikultural tersebut untuk peningkatan pemahaman nilai-nilai kebangsaan peserta didik; kelima, simpulan dan saran.
1.4. Rangkuman Pembelajaran apresiasi sastra merupakan proses sadar untuk menimbulkan sikap positif siswa terhadap karya sastra dan pengarangnya. Dalam proses pembelajaran, apresiasi sastra tersebut haruslah ditempatkan dalam koridor ilmiah. Siswa diarahkan untuk dapat memiliki sikap ilmiah terhadap karya yang diapresiasinya. Di sisi lain, fokus kajian buku ini yang mengembangkan wacana sastra multikultural dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kontribusi positif terhadap bangsa ini. Kontribusi positif tersebut berupa bentuk penguatan dan integrasi sosial-kebangsaan yang saat ini banyak didera konflik antarelemen bangsa. Oleh karena itu, pengembangan pembelajaran sastra multikultural dapat diletakkan sebagai bagian dari pendidikan multikultural yang sangat dibutuhkan bangsa untuk saat ini.
1.5 Daftar Acuan Jamaluddin.2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Bandung: Adicita Sayuti,Suminto A.1994. Penelitian dan Pengajaran Sastra:Beberapa Catatan Ringkas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar-FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.
4
1.6 Bahan Diskusi Setelah Anda menyimak paparan awal buku ini, terkait dengan pembelajaran apresiasi sastra yang difokuskan pada kajian sastra multikultural. Jelaskan menurut kelompok Anda keterkaitan kajian tersebut dengan pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa!
1.7 Latihan Soal 1) Jelaskan tentang hakikat pembelajaran sastra! 2)
Jelaskan terkait dengan upaya untuk memosisikan secara ilmiah pembelajaran apresiasi sastra!
3) Jelaskan, terkait dengan alasan fundamental fokus kajian sastra multikultural yang dikembangkan dalam buku ini.
5
BAB II APRESIASI SASTRA DALAM PERKEMBANGAN PROSA BARU: SASTRA MULTIKULTURAL
Tujuan Umum: Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan perkembangan sastra multikultural di Indonesia. Tujuan Khusus: Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian dan perkembangan sastra multikultural; baik pada masa kolonisasi, maupun pada masa pascakolonisasi.
2.1 Pengantar Pembahasan di bawah ini mendeskripsikan pengertian/konsep sastra multikultural dan perkembangannya. Pembahasan ini dipandang penting untuk meletakkan pemahaman awal terkait dengan apresiasi sastra multikultural; sehingga, diharapkan untuk terbentuknya pemahaman konsep yang sama terkait dengan kajian sastra multikultural yang dilakukan. Guru dan siswa selanjutnya dapat mengembangkan kajian ini lebih lanjut. Misalnya, dengan selalu mengamati perkembangan sastra Indonesia yang memiliki muatan sastra multikultural. Meskipun, pengamatan itu tidak mudah; apalagi dilakukan secara seksama dan terusmenerus, tentunya hal ini membutuhkan konsentrasi dan energi tersendiri.Guru haruslah memiliki seperangkat kemampuan untuk melakukan pengamatan secara seksama dan terusmenerus tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan, agar pembelajaran sastra tidak tercerabut akar kulturalnya dan senantiasa bersifat aktual dan kontekstual. 2.2 Pengertian Sastra Multikultural Seperti yang dikemukakan Budi Darma (2004) bahwa wacana multikultural itu muncul dan berkembang sejak dimulainya proses migrasi manusia ke daerah yang lain, yang kemudian 6
mengakibatkan terjadinya interaksi sosial dan kultural antara warga pendatang dan warga pribumi. Interaksi inilah yang kemudian melahirkan hubungan multikultural antara dua atau lebih entitas masyarakat, yang memiliki kebiasaan dan identitas kultural yang berbeda. Berpijak pada pendapat Budi Darma tersebut maka sastra multikultural merupakan refleksi hubungan multikultural itu yang tertuang di dalam karya sastra. Karya sastra- karya sastra itulah yang disebut karya sastra multikultural. Bertolak dari pendapat tersebut, maka keberadaan sastra multikultural di Indonesia dimulai sejak masa-masa kolonisasi; karena pada masa-masa ini banyak dijumpai karya sastra yang mendeskripsikan hubungan multikultural dalam konteks masyarakat Indonesia. Di sisi lain, hakikat karya sastra multikultural seperti yang dikemukakan Ratna (2005:399-400) merupakan karya sastra-karya sastra yang menghidupkan kembali sastra warna lokal, yang mencerminkan kebiasaan dalam hidup beragama, adat istiadat dalam suatu etnis tertentu, dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang lain. Indonesia, menurut Ratna (2005:399) merupakan kenyataan bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat-istiadat dan polapola perilaku serta kebiasaan yang beragam. Maka, karya sastra yang mencerminkan keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah karya sastra multikultural. Lebih lanjut, terkait dengan lingkup kajian sastra multikultural berkembang dua paradigma: pertama, kajian sastra multikultural yang memegang prinsip paradigma sastra multikultural secara nasional; yang kedua, kajian sastra multikultural yang memegang prinsip paradigma global. Yang pertama menunjuk pada lingkup kajian sastra yang berkembang dalam suatu Negara-bangsa dan ini diorientasikan untuk integrasi bangsa itu. Yang kedua, menunjuk pada lingkup kajian sastra lintas bangsa; yakni interaksi manusia yang terjadi antarnegara dan antarbangsa.
Suatu
pola
hubungan
manusia
di
tingkat
global
yang
mendunia
(baca:cosmopolitan). Fokus kajian sastra multikultural dalam pembahasan buku ini mengikuti paradigma yang pertama; yakni, paradigma nasional, yang mengaji karya sastra nasional yang merefleksikan hubungan multikultural yang diarahkan untuk integrasi bangsa.
2.3 Perkembangan Sastra Multikultural Berangkat dari pandangan di atas, analisis terhadap perkembangan karya sastra multikultural dapat diletakkan dua konstruksi pemikiran tersebut. Artinya, karya sastra 7
multikultural dalam perkembangannya mencakup seluruh karya yang pernah terbit pada masa 1920-an,
yang
mengusung
wacana
atau
isu-isu
multikulturalitas
sampai
dengan
perkembangannya saat ini. Proses kolonisasi misalnya, yang memberikan corak keberagaman tersendiri, menjadi sisi yang menarik untuk dikaji. Di sisi lain juga, pencermatan terhadap teks sastra pascakolonisasi tidak kalah pentingnya. Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan wacana multikultural yang terjadi berikut hubungan-hubungan multikulturalitas dalam konteks keindonesiaan yang saat ini terjadi.
2.3.1 Wacana Multikulturalitas Masa Kolonial Mencermati perkembangan teks sastra masa kolonial yang mengusung wacana multikulturalitas. Setidaknya, terdapat dua karya yang sangat menonjol dalam rangka mengusung wacana multikultural. Dua karya sastra itu ialah Salah Asuhan karya Abdoel Muis, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyabana (baca:STA) dan Merantau Ke Deli karya HAMKA. Salah Asuhan misalnya yang menjadi karya puncak yang diterbitkan Balai Pustaka, menjadi karya yang menarik untuk dikaji kaitannya dengan wacana multikulturalitas. Sisi menarik dari novel ini ialah karena dalam novel Salah Asuhan, melakukan proses refleksitas multikultural. Apa yang dimaksud dengan refleksivitas multikultural dalam hal ini ialah bahwa dalam interaksi multikultural yang terjadi antara pribumi, yang timur dan melayu dengan Belanda, yang barat dan yang maju, perlu semacam perenungan kembali. Hanafi dan Rapiah dalam hal ini merepresentasikan pribumi, yang timur, dan yang Melayu. Di sisi lain Corry merupakan representasi tokoh naratif Belanda, yang barat, dan yang maju. Kontruksi seperti ini yang membuat pola hubungan multikultural itu berjalan tidak seimbang. Ketidakseimbangan itu pada pada proses berikutnya menimbulkan ketimpangan hubungan kultural. Bagaimanapun usaha Hanafi untuk menyamakan diri dengan Barat dan Belanda, tetap mengalami hambatan yang luar biasa. Artinya, orang Belanda yang Barat itu masih berat menerima Hanafi sebagai orang yang memiliki kesamaan derajat dengan mereka.Hal tersebut kemudian dapat memberikan gambaran bahwa Belanda, yang barat itu tetap memandang posisi kulturalnya lebih superior, di sisi lain orang pribuni yang Melayu tetap menduduki posisi inferior.
8
Pola hubungan yang timpang tersebut, pada tingkat praksis kulturalnya banyak menimbulkan dilema kemanusiaan. Bahwa hubungan antarras, Hanafi dan Corry perlu direfleksikan ulang; atau bahkan ditinjau ulang. Pola hubungan yang timpang itu ditambah dengan konteks budaya yang belum memungkinkan akan menambah peliknya persoalan kemanusiaan, bahkan tragedi. Dorongan dan usaha untuk meninjau ulang hubungan multikultural tersebut sebenarnya sudah dilakukan. Dalam konteks cerita, posisi Ibu Hanafi dan Ayah Corry, sedari awal telah memberikan pertimbangan-pertimbangan reflektif itu. Akan tetapi, bahwa hidup itu pilihan adalah tidak dapat dielakkan. Hanafi dan Corry tetap memilih jalan untuk meneruskan pola hubungan multikultural itu, meskipun dilema persoalan kemanusiaan itu diterima, bahkan tragedi yang berupa kematian kedua tokoh tersebut. Karya yang lain yang menunjukkan wacana multikultural adalah novel Layar Terkembang karya STA. Novel tersebut pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada ahun 1936. Meskipun diterbitkan oleh Balai Pustaka, novel ini termasuk karya yang masuk periode Pujangga Baru. Sebagai karya yang termasuk periode Pujangga Baru, tema basar yang diusung oleh novel ini ialah tema-tema yang berkaitan dengan aspek kebangsaan, pendidikan. Secara khusus, novel Layar Terkembang ini mengangkat atau mengusung tema yang berkaitan dengan emansipasi
perempuan.
Yakni,
bagaimana
perjuangan
perempuan
dalam
rangka
mengembangkan dan memajukan diri; sekaligus menaikkan martabatnya sebagai manusia. Perjuangan perempuan untuk mengembangkan dan memajukan diri tersebut pada proses berikutnya menjadi daya kreatif untuk mengambil peran dalam konteks pembangunan bangsa. Oleh karena itu, proses emansipasi demikian ini menjadi kekuatan tersendiri untuk mendorong perempuan untuk tidak terkubur dalam budaya gelap yang disebut kultur patriarkhi. Sehubungan dengan hal itu, aspirasi multikultural yang muncul ialah bagaimana wacana keadilan gender menjadi daya progresif sekaligus negosiasi kultural antara perempuan dan lakilaki. STA mulai menyodorkan sebuah tawaran bagaimana dinamika multikulturalitas bangsa itu juga dilihat dari pola hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks peran kebangsaannya. Tuti dalam konteks novel tersebut menjadi pembawa ide prinsipil STA untuk terus berjuang meningkatkan derajat dan martabatnya sebagai perempuan. Sebagai tokoh yang visioner, maka Tuti dengan penuh semangat terus mengumandangkan suara-suara progresif perempuan.Titik ideal perjuangan perempuan dalam emansipatifnya ialah mampu mengambil 9
posisi yang serejat dengan laki-laki; sekaligus, dalam proses pengambilan peran kebangsaan di dalamnya. Inilah yang dalam bahasa STA merupakan aspirasi multikultural tentang pola hubungan laki-laki dan perempuan yang ideal, yang di dalamnya tidak bersifat superior dan inferior. Novel lain yang tidak kalah menariknya ialah novel yang ditulis oleh HAMKA yang berjudul Merantau Ke Deli. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Tjerdas Medan pada tahun 1941 dan dapat digolongkan karya yang termasuk dalam periode angkatan 1945. Kalau dalam novel Salah Asuhan wacana multikultural yang muncul lebih menonjolkan pola hubungan antarras, antarbangsa (Belanda dan Indonesia). Sementara itu, dalam novel Layar Terkembang wacana multikultural yang muncul lebih menonjolkan wacana keadilan gender. Maka, dalam novel Merantau Ke Deli wacana multikultural yang menonjol ialah tentang hubungan antaretnis diinternal bangsa ini. HAMKA melalui novel Merantau Ke Deli ini mengidealkan bagaimana pola hubungan antaretnis di internal bangsa ini terjadi proses kesatuan. Apa yang dimaksud dengan proses kesatuan bangsa ini ialah bagaimana pola hubungan atau pergaulan antarsuku di bangsa ini kemudian mampu melahirkan satu kesatuan budaya bangsa. Integritas kebangsaan dalam konteks demikian menjadi kuat. Bertolak dari hal itu, maka multikulturalitas bangsa tidaklah menjadi sumber masalah dan sumber konflik; sebaliknya, menjadi potensi untuk terus mendorong terjadinya integritas kebangsaan tadi. Multikulturalitas dengan demikian menjadi kekuatan. Rasa kebangsaan dalam konteks demikian, seperti yang dikemukakan Suwondo (1997:82) menjadi pesan yang kuat dikumandangkan oleh pengarangnya sjak awal. Artinya, terdapat suatu wacana yang dibangun, yang dikonstruksi secara sengaja agar novel tersebut mampu menjadi obor pencerahan kebangsaan, di tengah multikulturalitas bangsa ini. Bahkan, dari ide kesatuan antarsuku bangsa itu, HAMKA berani memberikan suatu tawaran alternatif, bahwa Indonesia Baru itu dapat dibangun melalui kesatuan antarsuku yang mengikat diri secara bersama untuk membangun budaya baru yang namanya Indonesia. Aspekaspek kedaerahan yang berkembang selama ini di tingkat suku bangsa, seyogyanya mulai ditinggalkan digantikan dengan budaya baru yang dapat berlaku umum di Indonesia (Suwondo,1997:82-83)
10
2.3.2 Wacana Multikultural Pascakolonisasi Terdapat beberapa karya sastra yang mengusung wacana multikultural pasca kolonisasi, antara lain: Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis, Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, Lasykar Pelangi karya Andrea Hirata, dan Putri Cina karya Sindhunata. Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis memuat wacana multikultural, yang dalam konteks hubungan di tingkat global, menggambarkan bagaimana interaksi multikultural tokoh naratif Sadeli yang banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain yang memiliki perbedaan ras. Akan tetapi, yang dapat dicermati dari kedekatan hubungan itu, pengarang banyak menempatkan tokoh lain untuk memberikan daya perjuangan kepada Sadeli. Sebagai tokoh utama, posisi ini penting dan strategis. Pengarang—dalam hal ini Mochtar Lubis—sangat kreatif dalam membangun cerita yang merefleksikan hubungan multikultural itu. Di sisi lain, novel yang baru selesai ditulis pada tahun 1973 dan termasuk angkatan 1960an tersebut, mengalami perjalanan panjang dari penjara ke penjara dalam proses penyelesaiannya (Lubis:1993). Novel tersebut secara khusus membidik dan menekankan secara serius kaitannya dengan hubungan multikultural ialah posisi warga Tionghoa di Indonesia. Proses kebijakan dan proses asimilasi sebagai proses kebudayaan dicermati sedemikian rupa; bahkan, yang tegas dinyatakan ialah berkaitan dengan keterlibatan mereka (warga Tionghoa) di Indonesia dalam revolusi perjuangan, hanya sedikit saja dari sebagaian warga Tionghoa itu yang mau terlibat dalam proses perjuangan. Fenomena demikian ini diakui oleh Mochtar Lubis merupakan masalah tersendiri bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia ke depan secepatnya harus menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang baik. Tekanan demikian ini penting, karena kalau tidak diselesaikan atau dibuat kebijakan yang memadai berkaitan dengan warga Tionghoa di Indonesia pasti akan mendatangkan masalah dikemudian hari bagi bangsa ini. Novel lain yang mengusung wacana multikultural ialah Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Novel ini diterbitkan pertama kali Hasta Mitra tahun 1980 dan setelah itu mengalami pelarangan penerbitan oleh kekuasaan Orde Baru. Bumi Manusia termasuk karya monumental Pram yang mendapatkan apresiasi masyarakat dunia.
11
Sehubungan dengan wacana multikultural, novel tersebut
membangun wacana
multikultural yang terjadi secara vis a vis, antara pribumi yang direpresentasikan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh dengan pihak Belanda kolonial. Annalies sebagai sosok perempuan yang cantik hasil perkawinan Nyai Ontosoroh dan Tuan Melemma, menjadi medan konflik antara pihak Minke dan Nyai Ontosoroh di satu sisi dengan Belanda kolonial di sisi lain. Perebutan dan bahkan pertaruhan kemanusiaan tersebut menjadi fenomena yang menarik ketika Minke dan Nyai Ontosoroh berprinsip untuk melakukan perlawanan pada pihak Belanda kolonial; meskipun, mereka tahu akan kalah. Pengarang dalam konteks ini, mengaduk-aduk daya empati pembaca untuk senantiasa bersemangat melakukan perlawanan terhadap pihak kolonial. Ketidakadilan yang dilakukan bangsa lain merupakan sesuatu yang tidak boleh ditoleransi. Maka, perlawanan merupakan jawaban yang dipandang memadai; meskipun tahu pada akhirnya harus dikalahkan. Dua novel terakhir yang menandai adanya wacana dan fenomena multikultural ialah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Putri Cina karya Sindhunata. Lasykar Pelangi pertama kali diterbitkan oleh Bentang pada tahun 2005, sementara Putri Cina diterbitkan pertama kali oleh Gramedia pada tahun 2007. Dilihat tahun terbitnya, maka kedua novel tersebut termasuk dalam periode angkatan 2000. Di lihat dari sisi substansinya, Laskar Pelangi sudah mampu menawarkan suatu pola manajemen multikulturalitas bangsa ini. Dari sisi manajemen multikultural, hampir memiliki kesamaan pola dengan Merantau Ke Deli karya HAMKA. Perbedaannya, dalam Laskar Pelangi tidak berupaya untuk membentuk satu kesatuan budaya. Masing-masing karakter dibiarkan berkembang dalam tokohnya masing-masing. Sementara dalam Merantau Ke Deli ada konstruksi untuk terjadinya penyatuan kultur warga bangsa ini. Hal yang lebih dikedepankan dalam novel ini ialah wujud solidaritas kebangsaan dalam lingkup kecil yang tercermin dalam lasykar pelangi. Disebut lasykar pelangi karena kelompok yang terdiri atas sepuluh orang anak bangsa ini memliki kegemaran melihat pelangi secara bersama. Berbagai persoalan hidup mereka hadapi secara bersama dengan penuh solidaritas; meskipun, di antara mereka terdapat perbedaan suku dan agama. Solidaritas itulah yang lebih dikedepankan sehingga kelompok ini menjadi kuat. Pengarang dalam hal ini—Andrea Hirata—
12
dapatlah disebut memiliki cita-cita sosial agar fenomena lasykar pelangi itu memberikan inspirasi kebangsaan. Yakni, hadirnya rasa solidaritas anak bangsa yang disebut Indonesia. Senada dengan Laskar Pelangi dalam mengangkat wacana dan aspirasi multikultural ialah Putri Cina karya Sindhunata. Dalam novel Putri Cina tersebut pengarang mencoba membuat ilustrasi naratif berkaitan dengan perjalanan panjang warga Cina di Indonesia. Yakni, jauh sebelum kemerdekaab bangsa ini warga Cina sudah eksis secara politik dan budaya di negeri ini. Hal tersebut ditunjukkan misalnya, kontribusi Putri Cina dalam menurunkan Raja Jawa yaitu Raden Patah. Putri Cina yang sebelumnya menjadi istri Prabu Brawijaya kemudian dicerai karena permaisurinya cemburu dan minta agar dicerai, maka dicerailah Putri Cina oleh Prabu Brawijaya dan dihadiahkan pada Arya Damar putranya di Palembang. Pada saat dicerai Putri Cina
tersebut sedang mengandung anak dari Prabu Brawijaya. Itulah Raden Patah yang
kemudian menjadi Raja Demak. Secara tersirat, Sindhunata memberikan deskripsi bahwa proses historis warga Cina di Indonesia tidak dapat dilihat saat ini belaka; akan tetapi harus dicermati secara historis yang bersifat menyejarah. Bahkan, menurut pengarang lewat novelnya ini konflik-konflik politik yang terjadi di bumi Jawa ini tidak ada yang terjadi karena alasan agama dan tidak berkaitan dengan agama. Konflik itu terjadi lebih dikarenakan sebuah keharusan sejarah bahwa perang bagi tanah Jawa ini akan terjadi secara turun-temurun. Dalam konteks, teks naratif novel tersebut, daya multikultural diangkat sedemikian rupa; dengan maksud merekatkan hubungan antara ”Yang Jawa” dan ”Yang Cina” dalam konteks hidup sebagai bangsa yang dapat berjalan secara berdampingan. Tidak sebaliknya, melanggengkan konflik dengan cara mencari alat pembenaran apakah itu sentimen etnis ataukah melalui sentimen agama yang diaktifkan.
2.4 Rangkuman Elaborasi teks sastra dalam konteks perspektif yang baru penting untuk dilakukan. Dalam pembahasan tersebut, penting pula dideteksi beberapa karya prose (novel) yang dipandang relevan dan sarat memuat wacana dan nilai multikultural, antara lain; Salah Asuhan karya Abdoel Muis, Layar Terkembang karya STA, Merantau Ke Deli karya HAMKA, Maut dan
13
Cinta karya Mochtar Lubis, Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, Lasykar Pelangi karya Andrea Hirata, dan Putri Cina karya Sindhunata. Karya sastra-karya sastra tersebut merupakan karya yang memuat dimensi dan nilai multikulturalitas kebangsaan, yang dieksplorasi dari angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan 60-an, Angkatan 80-an, dan Angkatan 2000. Eksplorasi karya sastra berdasarkan angkatan tersebut dilakukan karena untuk mengetahui tingkat perkembangan wacana multikulturalitas yang ada. Berdasarkan analisis yang dilakukan terdapat dinamika wacana yang cukup signifikan dari setiap angkatan; meskipun dalam tataran nilai terdapat kontinuitas yang cukup baik. Hal tersebut baik mencakup masa kolonisasi; maupun pada masa pascakolonisasi, muatan multikultural itu terefleksikan dengan cukup kuat dalam karya-karya tersebut.
2.5 Daftar Acuan Darma, Budi.2004. ”Sastra Multikultural.” Makalah pada seminar internasional Sastrawan Nusantara di Surabaya, 27-30 September 2004 Lubis, Mochtar.1993. Maut dan Cinta. Jakarta: YOI Ratna, Nyoman Kutha.2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogya: Pustaka Pelajar. Suwondo, Tirto.,Herry Mardianto.,Novi S.Kussuji Indratuti.1997. Karya Sastra Di Luar Penerbitan Balai Pustaka. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 2.6 Bahan Diskusi Refleksi multikulturalitas dalam perkembangan karya sastra Indonesia menjadi menarik untuk dilakukan pengamatan secara lebih mendalam. Perkembangan sastra multikultural; baik pada masa kolonisasi maupun pada masa pascakolonisasi patut pula untuk dicermati secara seksama. Diskusikan dalam kelompok Anda proses perkembangan itu, bila dikorelasikan dan dikontekstualisasikan dengan peristiwa sosial-budaya yang melingkupi pada masa-masa karya sastra tersebut diciptakan.
14
2.7 Latihan Soal 1) Deskripsikan karya sastra pada masa kolonisasi dari aspek muatan multikulturalitas yang terkandung! 2) Deskripsikan karya sastra pada masa pascakolonisasi dari aspek muatan multikulturalitas yang terkandung! 3) Sebutkan dan deskripsikan karya sastra di luar yang telah disebutkan dalam buku ini, yang memiliki muatan multikulturalitas!
15
BAB III DIMENSI DAN NILAI KEBANGSAAN DALAM APRESISIASI SASTRA MULTIKULTURAL
Tujuan Umum: Mahasiswa mampu memahami dan mendeskripsikan dimensi dan nilai kebangsaan dalam apresiasi sastra multikultural dalam perkembangan sastra Indonesia. Tujuan Khusus: Mahasiswa mampu memahami dan mendeskripsikan dimensi agama, etnik dan warna lokal, hubungan antarras, dan gender yang terkandung dalam sastra multiklkultural
3.1 Pengantar Pembahasan di bawah ini akan difokuskan pada kajian dimensi dan nilai kebangsaan yang terkandung dalam sastra multikultural. Dengan pembahasan demikian ini, diharapkan bagi subjek belajar dapat memahami dan sekaligus merefleksikan muatan yang terkandung dalam sastra multikultural itu. Harapan selanjutnya, dengan proses refleksi tersebut terdapat proses baru yang terbentuk. Proses tersebut ialah terinternalisasinya nilai-nilai positif yang dapat memberikan kontribusi terhadap integrasi dan penguatan kebangsaan. Pembentukan wacana pemahaman demikian seperti ini dipandang memiliki urgensi yang mendalam. Subjek didik selanjutnya penting pula untuk menyerap sebaik-baiknya pesan yang tersirat dari pengarang, berkaitan dengan dimensi dan nilai kebangsaan yang terkandung. Menyerap pesan tersirat, berarti subjek didik perlu melakukan proses interpretasi secara berani dan mendalam terhadap pesan tersirat yang disampaikan pengarang lewat karya sastra yang diciptakannya.
16
Untuk hal tersebut, di bawah ini akan dikembangkan kajian sebagai bentuk apresiasi prosa, agar terbentuk seperangkat kompetensi pemahaman dan kemudian diharapkan dapat mengembangkannya secara lebih mandiri. Pengembangan kajian tersebut mencakup; dimensi agama, dimensi etnisitas dan warna lokal, hubungan antarras, dan gender.
3.2 Dimensi Agama Salah satu dimensi yang penting untuk dikaji secara mendalam dalam wacana multikultural ialah dimensi agama. Dimensi agama ini memiliki posisi urgens ketika fakta dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari wacana agama. Wacana agama bahkan menjadi wacana yang selalu saja menarik untuk dianalisis sekaligus diperdebatkan. Menjadi wacana yang menarik untuk dianalisis, karena didalam agama terdapat dua lapis yang sama-sama penting kedudukannya; yaitu lapis esensi yang memuat nilai-nilai fundamental dalam suatu agama dan lapis normatif, berkaitan dengan refleksi normatif agama itu terhadap nilai fundamental yang dianut. Maka, keyakinan dan upaya upaya untuk merealisasikan aturan normatif agama menjadi isu yang selalu saja menggerakan banyak orang, baik untuk itu untuk menyetujui maupun sebaliknya untuk menolaknya. Dalam konteks Indonesia, wacana agama agama yang demikian ini tidak ada habishibisnya diperdebatkan orang; dan tidak jarang wacana agama banyak ditarik orang dalam ranah politik. Fenomena demikian ini tidak jarang kemudian mampu mendorong munculnya daya sensitivitas tersendiri dalam konteks bangsa Indonesia yang multikultural. Agama kemudian menjadi isu dan domain transaksional dan bahkan menjadi domain konfliktual; meskipun pada faktanya tidak banyak dijumpai, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Dalam konteks sastra, fenomena demikian dapat dicermati dan dianalisis dari teks sastra yang ditulis Sindhunata dalam novel Putri Cina. Dalam novel tersebut secara jelas dan lugas mengemukakan bahwa tidak ada konflik kekuasaan yang terjadi di bumi Indonesia ini (baca:Jawa) yang terjadi karena alasan agama.
”Jadi pertikaian antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya bukanlah karena agama mereka yang berbeda?” tanya Putri Cina. ”Bukan, Tuan Putri, bukan! Sebelum ada agama apa pun manusia di tanah Jawa ini sudah didera dengan pertikaian. Buminya sudah ditaburi dengan darah dendam dan pembalasan. Semua hanyalah lanjutan darah Kurusetra, di mana nenek moyang mereka, sesama saudara, berprang habis-habisan dengan 17
meninggalkan warisan dendam, satu sama lainnya sampai sekarang, ”kata Sabdapalon-Nayagenggong.” (PC:55)
Kutipan tersebut jelas menyatakan bahwa pengarang—dalam hal ini Sindhunata—ingin menegaskan bahwa konflik yang terjadi di bumi Jawa (baca:Indonesia) ini bukanlah disebabkan oleh alasan agama; akan tetapi, lebih jauh disebabkan oleh adanya dendam pertikaian yang diwariskan oleh para leluhur pulau ini. Leluhur atau nenek moyang orang Jawa itulah yang banyak mewariskan darah dendam pada anak cucunya. Termasuk dalam hal ini pertikaian kekuasaan antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya, yang kemudian diakhiri dengan kekalahan Prabu Brawijaya. Dalam pertikaian kekuasaan antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya, juga bukan pertikaian kekuasaan yang terjadi karena alasan agama. Pertikaian itu terjadi karena memang harus terjadi. Sebuah tuntutan dan keharusan sejarah yang menciptakan pertikaian tersebut. Sebagai proses sejarah, Pertikaian kekuasaan antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya, sebuah proses yang menandai bahwa kekuasaan di tanah Jawa sudah mencapai titik tertentu. Titik atau fase sejarah itu ditandai dengan pertikaian antara dua orang yang masih memiliki hubungan darah. Sebenarnya, Raden Patah adalah anak dari Prabu Brawijaya itu sendiri dari Putri Cina, yang diceraikannya ketika Putri Cina masih dalam proses mengandung. Yang kemudian, Putri Cina dihadiahkan pada Putranya di Palembang yang bernama Arya Damar. Setelah diperistri Arya Damar, lahirlah anak yang dikandung Putri Cina tadi, itulah Raden Patah. Raden Patah itulah yang kemudian tumbuh besar dan menjadi kesatria Jawa, yang kemudian berani mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan pada Majapahit, yang sebenarnya—sekali lagi—adalah ayahnya sendiri sebagai penguasanya. Inilah sebuah proses sejarah yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebuah proses yang menandai adanya keharusan sejarah pergantian kekuasaan di tanah Jawa. Yakni, bergesernya kekuasaan dari Prabu Brawijaya kepada Raden Patah. Bahwa pola hubungan beragama dan bagaimana masyarakat menjalankan agamanya masih terjamin. Pola hubungan yang multikultural dalam dimensi agama ini terus berlanjut. Proses tranformasi agama dalam konteks ini pun harus dibaca dan diletakkan dalam konteks kultural. Artinya, pola keagamaan yang secara kultural berdampingan pada faktanya lazim proses
18
transformasi keagamaan itu; termasuk dalam hal ini Islam di tanah Jawa ketika berdampingan dengan agama yang telah eksis sebelumnya Hindu dan Budha. Dalam teks sastra yang lain, novel Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis juga dipaparkan bagaimana pala hubungan antarpenganut agama di dalamnya. Sebuah nilai toleransi dan moderasi sikap beragama yang di tunjukkan Sadeli ketika berelasi secara sosial dengan Maria yang Katolik.
”Kita harus praktis kini, Maria,” kata Sadeli. ”Aku seorang Islam, engkau Katolik, Mungkinkah di sini kawin di kantor catatan sipil?” ”Oh, ya, tentu saja ibu ingin kita kawin memakai upacara katolik di gereja.” ”Oh, ya, hampir aku lupa ibumu,” kata Sadeli tersenyum tersipu. ”Aku harus meminangmu esok. Apakah akan bikin susah ibumu?” tanyanya kemudian khawatir. Maria tertawa kecil,” Tidak, ibu seorang perempuan tua yang bijaksana!” (MC:394).
Sadeli sebagai tokoh utama dalam novel ini menunjukkan sebuah sikap keagamaan yang toleran dan moderat. Sebuah sikap yang ingin menciptakan suatu pola hubungan sosial yang tetap menjamin keharmonisan dan kedamaian. Bahkan hal itu dilakukan Sadeli ketika menyangkut hal yang dipandang prinsip dalam hidup oleh banyak orang, yakni masalah pernikahan. Maria yang beragama Katolik bagaimanapun masalah tersendiri ketika akan melangsungkan proses pernikahan dengan Sadeli yang beragama Islam. Perbedaan agama itu haruslah dapat diatasi sedemikian rupa tanpa harus merugikan masing-masing pihak. Untuk mengatasi hal tersebut, Sadeli menawarkan sebagai bentuk penghargaan atas perbedaan agama itu untuk melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Solusi ini diambil dalam rangka untuk dapat menjamin sekaligus menghargai agama masing-masing pihak. Di sisi lain hubungan cinta mereka tetap dapat terjalin ke pelaminan. Proses pengelolaan harmonitas demikian ini jelas membutuhkan kedewasan sosial. Tanpa kedewasaan sosial proses harmoni yang berpijak pada nilai toleransi, moderasi, dan adanya sikap penghargaan itu tidak muncul. Sebaliknya, adalah sikap untuk memaksakan diri dan orang lain. Bila hal tersebut yang terjadi pola hubungan multikultural di tingkat sosial akan terganggu dan jelas jauh dari capaian keharmonisan itu. 19
Senada dengan novel tersebut, tampak pula pola hubungan multikultural dalam dimensi agama yang terdapat dalam novel Lasykar Pelangi karya Andrea Hirata. Selanjutnya, dapat disimak kutipan di bawah ini.
... Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang merasuki bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. (LP:68) Kutipan tersebut menunjukkan betapa terdapat sesuatu yang paradoks. A Kiong yang Kong Hu Cu di satu sisi, ternyata dapat bersekolah di Muhammadiyah yang Islam dan Puritan. Suatu hal yang barangkali jarang dapat ditemukan dalam kehidupan riil kita. Apalagi, hal itu berkaitan dengan sekolah yang seringkali dipandang sebagai lembaga untuk melakukan internalisasi nilai, termasuk nilai keagamaan dalam hal ini. Hal ersebut dapat terjadi karena adanya suatu alasan yang dapat merekatkan mereka, yakni kemiskinan. Kemiskinan itulah yang kemudian menumbuhkan solidaritas dan toleransi yang tinggi terhadap orang atau manusia lain. Sekolah Muhammadiyah pun tidak menolak A Kiong, bahkan dengan senang hati menerimanya. Kemiskinan itulah yang sebenarnya banyak disebabkan oleh faktor struktural yang menjadi mereka bersatu membangun solidaritas sosial. Kemiskinan struktural, dikatakan demikian karena terdapat kebijakan yang secara sosial adalah diskriminatif dan timpang. Belitong yang kaya, akan tetapi menjadi fenomena yang jomplang manakala kehidupan masyarakat (baca:kampung) di sekitar perusahaan besar eksploitasi tambang timah negara tidak memberikan perhatian terhadap penduduk di sekitarnya. Bahkan, terjadi pola kehidupan yang betul-betul jomplang antara penduduk kampung dengan karyawan perusahan negara itu. Sebuah tampilan hidup paradoks baik itu secara sosial maupun secara kemanusiaan. Kemiskinan dan ketimpangan itulah yang menyatukan mereka yang banyak disebabkan kebijakan diskriminatif dalam suatu masyarakat multikultural.
20
3.3 Dimensi Etnisitas dan Warna Lokal Dalam dimensi etnisitas, wacana multikultural muncul berkaitan dengan proses interaksi yang melibatkan dua etnis atau lebih. Interaksi demikian ini mengidealkan terjadinya proses yang produktif dalam kehidupan kebangsaa. Keanekaragaman etnis, idealnya harus dapat dikelola dengan baik dalam bingkai masyarakat Indonesia yang multikultural. Sehubungan dengan hal tersebut, wacana multikultural yang muncul berkaitan dengan dimensi etnisitas dapat dicermati dalam teks sastra Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis. Selanjutnya, dapat diamati di bawah ini. ”Penduduk Cina di Indonesia memang merupakan masalah bagi kami, ” jawab Sadeli dengan tenang, dari dahulu juga sebagian terbesar mereka tak ikut dalam gerakan kebangsaan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, kecuali sebagian kecil. Malah mereka lebih suka bekerja sama dengan Belanda. Kini pun sebagian terbesar mereka bersikap menunggu saja. Malahan kami curiga, sebagian terbesar mereka akan lebih suka melihat Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Karena ini berarti mereka akan dapat kembali menduduki tempat mereka yang lama, jadi pedagang perantara di seluruh Indonesia ... ”Tetapi pemerintah tuan tidak punya politik untuk mengusir orang-orang Cina perantauan? Tanya Kolonel Hua. ”Oh, sama sekali tidak. Kami tahu bahwa dua juta lebih penduduk Cina dan turunan Cina di Indonesia sebagian besar akan tetap hidup turun-temurun di Indonesia. Malahan pemerintah saya menganjurkan asimilasi, agar penduduk Cina mau menyatukan diri dengan sungguh-sungguh menjadi orang Indonesia. Tapi ini sukar..” (MC:388-389). Kutipan tersebut mendeskripsikan bahwa penduduk Cina di Indonesia merupakan masalah tersendiri. Setidaknya yang pertama, hal itu mencakup persoalan kultural dan kedua, mencakup persoalan politik kebijakan berkaitan dengan regulasi negara sehubungan dengan eksisnya penduduk etnis Cina di Indonesia. Dalam cakupan dua hal itu, masing dipandang menemukan masalah yang serius. Secara kultural, masih ada kesulitan interaksi yang bersifat asimilatif antara penduduk Cina di Indonesia dengan etnis yang lain. Hambatan kultural tersebut diperparah dengan adanya persoalan historis. Penduduk Cina kebanyakan dipandang tidak ikut terlibat dalam proses perjuangan kemerdekaan. Hanya sedikit saja yang terlibat. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kecurigaan terhadap komitmen dan kesetiaan penduduk Cina di Indonesia terhadap bangsa ini.
21
Secara politik, belum adanya kebijakan yang memadai berkaitan dengan eksisnya penduduk Cina di Indonesia. Pemerintah baru pada tahap memberikan himbauan untuk melakukan asimilasi budaya, sehingga terjadi proses mengintegrasikan diri sebagai warga Indonesia seutuhnya. Meskipun, dalam konteks kekinian hal tersebut sudah relatif dijawab dengan adanya UU Kewarganegaraan RI tahun 2006, yang mencoba mengakomodasi terhadap seluruh penduduk yang ingin mengintegrasikan diri sebagai warga bangsa ini, tidak hanya dari faktor etnisitas akan tetapi juga warga asing yang memiliki perbedaan ras. Persoalan etnisitas juga tampak pada novel Putri Cina. Sebuah problem identitas yang ditemukan pada sebagai penduduk Cina di Indonesia.
Sia-sialah segala kerinduan untuk pulang ke tanah air yang tidak ia ketahui di mana. Di sinilah, di Tanah Jawa ini, ia harus melengkapi takdirnya, dengan hidup sebagai Putri Cina, entah ia keturunan Cina asli dari Negeri Cina, entah ia keturunan Jawa, yang diperanakkan oleh anak cucu Jaka Prabangkara di Negeri Cina. (PC:24-25). Problem identitas yang melanda Putri Cina dapat merepresentasikan problem hampir seluruh keturunan Cina di Indonesia. Bahkan juga hal ini mencakup problem sangkan paran. Sebuah problem yang berkaitan dengan asal-muasal seseorang, yang sering dipertanyakan, baik berkaitan asal daerah secara geografis maupun asal manusia, yang berkaitan dengan faktor geneologis. Putri Cina merasakan ke dua hal itu sebagai problem identititas. Akan tetapi, hal demikian ini dapat dilerai sendiri oleh Putri Cina bahwa sebagai manusia dia telah menuaikan takdirnya sebagai orang yang besar di Jawa. Apakah ia Cina asli ataukah keturunan dari anak cucu Jaka Prabangkara. Jaka Prabangkara dalam mitologi Jawa adalah anak raja Jawa yang diterbangkan ke Cina dan di Cina Jaka Prabangkara menikah dengan putri Cina dan mempunyai anak cucu sebagai keturunan Cina. Sebagai putri Cina, Putri Cina cukup berbangga meskipun mempunyai problem identitas, yaitu keberhasilannya untuk menurunkan raja Jawa, yaitu Raden Patah. Dalam konteks tersebut, Putri Cina merasa ikut memberikan kontribusi terhadap bumi Jawa ini, sehingga dia (Putri Cina), raja Jawa, dan tanah Jawa merupakan satu kesatuan yang berhubungan bahkan sulit dipisahkan. Pola hubungan multikultural juga dapat diamati dalam teks sastra novel Lasykar Pelangi. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa dalam masyarakat multikultural itu dapat terwujud 22
proses interaksi yang damai dan toleran antaretnis yang ada. Di bawah ini teks tersebut dapat disimak. Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara yang semarak di mana seluruh warga Tinghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pula bersarung, dan orang Sawang berkumpul. (LP:259).
Interaksi multikultural antara etnis Tionghoa (Cina), Melayu, orang bersarung, dan orang Sawang berkumpul menunjukkan proses sosial yang begitu ideal. Di dalam hubungan sosial itu terdapat proses sosial yang damai, yang melibatkan semua kelompok. Maka dalam konteks dapat dilihat munculnya rasa kebersamaan sebagai masyarakat, sebagai bangsa. Chiong Si Ku adalah ritual orang Tionghoa yang diadakan setiap tahun. Sebuah ritual untuk melakukan persembahyangan bagi masyarakat Tionghoa. Tidak jarang, anak-anak Tionghoa yang berada di perantauan pulang untuk acara ini. Ritual keagamaan ini selanjtnya dapat dilihat tidak menjadi ritual keagamaan yang eksklusif. Ada dimensi sosial yang disajikan orang Tionghoa untuk memberikan, tepatnya membagi rasa kebahagiaan itu berupa aneka macam hiburan. Dalam dimensi sosial yang berupa aneka macam hiburan itulah, etnis lain Melayu, orang Pula bersarung, dan orang Sawang berkumpul ikut meramaikan. Itulah cermin masyarakat yang dapat menempatkan perbedaan dan keanekaragaman budaya sebagai kekayaan. Sebuah fakta masyarakat multikultural yang terjadi secara harmonis dan menyenangkan. Selanjutnya, dalam novel Layar Terkembang karya STA dan Merantau Ke Deli karya Hamka di bawah ini,dapat dicermati teks sastra yang berhubungan dengan pola perspektif relasi antaretnis dan relasi antardaerah/ lokal geografis dalam bingkai kebangsaan.
”Tidak, bukan begitu,” kata Maria seoalah-olah kemalumaluan.”Sangkaku tadi Tuan orang Jakarta inilah, rupanya orang Sumatra. ”Bukankah orang Sumatra itu tidak kurang dari orang Jakarta?” kata Yusuf dengan segera, meskipun perkataan gadis itu belum selesai lagi. (LT:2223) 23
”Tanah Deli chususnja dan Sumatra Timur umumnja telah terbuka sejak seratus tahun yang lalu, terbuka bagi pengusaha-pengusaha besar bangsa asing, menanam tembakau, karet, benag-nanas dan kelapa sawit. Maka, berdujunla datang ke sana orang jang mengadu untungnja, dari setiap suku bangsa kita. Kuli-kuli kontrak dari Djawa, saudagar-saudagar ketjil dari Minangkabau, Tapanuli, Bawean, Banjar dan Betawi (Djakarta) dan lain-lain. Setelah menempuh berbagai matjam kesulitan, timbullah suatu asimilasi (perpaduan bangsa). Timbullah achirnya suatu keturunan (generasi) baru jang dinamai ”Anak Deli”. Dan ”Anak Deli”inilah suatu tunas jang paling mekar daripada pembangunan bangsa Indonesia! ... Maka Merantau Ke Deli adalah salah satu gambaran daripada kesulitan yang ditempuh di dalam membina ”Anak Deli” itu, dan kesulitan itu kini kian lama kian dapat diatasi. Kemudian timbullah pembinaan yang lebih besar, jaitu kesatuan bangsa Indonesia. (MKD:6). Terdapat pola perspektif yang lebih maju dalam melihat dinamika dan hubungan antardaerah sebagai bagian dari dimensi kebangsaan. Dalam novel Layar Terkembang, sudah muncul suatu pandangan yang menempatkan bahwa status daerah yang satu dengan yang lain adalah sama. Tidak ada yang lebih menonjol dan dipandang lebih penting mengalahkan daerah yang lain. Jakarta tidak lebih sama dengan Sumatra dalam kapasitasnya sebagai bagian dari komunitas geografis bangsa ini. Pandangan seperti ini perlu dikedepanpan, apalagi kecenderungan yang muncul adalah keinginan untuk menonjolkan daerahnya masing-masing. Maka,
muncullah egosektoral
kedaerahan. Bila hal itu yang mengedepan, maka integritas bangsa ini jelas akan terganggu. Oleh karena itu, menekan ego kedaerahan menjadi penting manakala proses kebangsaan ini ingin dilanjutkan. Bertolak pada hal tersebut, HAMKA melalui novelnya Merantau Ke Deli memberikan suatu solusi yang bahkan menduduki posisi penting untuk segera direalisasikan. Solusi itu adalah terjadinya asimilasi antaretnis bangsa ini. Diharapkan dengan asimilasi itu terjadi penyatuan bangsa yang jelas akan mampu menekan egokedaerahan, sekaligus meningkatkan komitmen kebangsaan. Dalam konteks tersebut, anak Deli adalah sebagai contoh berhasilnya proses asimilasi antaretnis di Indonesia. Mereka-mereka inilah—menurut HAMKA—sebagai generasi yang produktif bagi pembangunan dan keberlanjutan bangsa ini. Penyatuan dalam hal ini, haruslah dipahami sebagai ikhtiar kultural untuk terjadinya proses asmilasi budaya yang berjalan secara 24
damai. Bukan sebaliknya, sebuah proses penyeragaman yang melibatkan kekuasaan yang sering dilakukan dengan cara represif (memaksa). Jika yang terjadi adalah penyeragaman, maka proses itu akan kontraproduktif dengan cita-cita multikultural itu sendiri, yang mengidealkan bahwa antara kelompok-kelompok etnis itu dapat hidup secara berdampingan. Sebuah proses kehidupan yang humanis dan penuh dengan penghargaan antar kelompok etnis yang satu dengan kelompok etnis lainnya.
3.4 Dimensi Hubungan Antarras Dimensi selanjutnya yang penting untuk dicermati adalah hubungan antarras. Sebagai negara yang pernah mengalami proses kolonisasi, sangat memungkin terjadinnya hubungan antarras, yakni ras Timur (berwarna) dan Barat (putih). Pola hubungan itu dapat terwujud saling menegasikan atau sebaliknya saling membantu. Di bawah ini dapat diamati teks yang menunjukkan adanya dimensi hubungan antarras dalam ranah multikultural Indonesia.
Juga sepanjang hematku, tentu engkau sudah lebih daripada insaf, bahwa aku sangat menyalahi perkawinan campuran itu. Aku heran bagaimana engkau sendiri tidak memikirkan sampai ke sana. Meskipun banyak orang sedang berusaha akan merapatkan Timur dan Barat, tapi buat jaman ini bagi bahagian orang yang terbesar masihlah, Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, takkan dapat ditimbuni jurang yang membatasi kedua bahagian itu. Jika engkau beristrikan aku, terlebih dahulu engkau harus bercerai dengan bangsamu dengan keluargamu dengan ibumu. Sudh berkali-kali engkau berkata, bahwa engkau tidak mempedulikan hal itu sekalian, tapi janganlah engkau gusar, bila aku berkata bahwa sifat serupa pada hematku amatlah rendahnya teristimewa karena masih banyak kewajibanmu terhadap bangsa dan tanah airmu, terutama pada keluarga dan ibumu. Aku tak dapat mengindahkan dan memuliakan sifat laki-laki yang serupa itu! (SA:56-57).
Dalam novel Salah Asuhan, upaya yang dilakukan Hanafi untuk memperistri Corry dan meskipun diantara keduanya saling mencintai tidak mudah dilakukan dn bukan berarti tanpa hambatan. Seperti surat yang ditulis Corry kepada Hanafi, ada suatu persyaratan yang harus dipenuhi Hanafi jika dia ingin memperistri Corry. Persyaratan itu adalah agar Hanafi memutus atau bercerai dengan bangsa, keluarga, dan dengan ibunya. Bagi orang Timur, persyaratan yang
25
demikian ini jelas sulit untuk dipenuhi. Akan tetapi, bagi Hanafi hal itu dapat dilakukan. Dalam artian Hanafi tidak keberatan untuk memutus hubungan kebangsaan, keluarga dan ibunya. Meskipun, Hanafi sudah menyetujui persyaratan dan permintaan Corry untuk memutus hubungan kebangsaan, keluarga dan ibunya, ternyata persoalan belumlah selesai.
Hanafi
bagaimanapun sulit diterima dalam pergaulan Belanda (Barat) secara seutuhnya. Hanafi tetaplah dipandang orang pribumi (inlander) yang tidak boleh dipandang sama dikalangan orang-orang Belanda. Dalam kondisi demikian, gamanglah hati Hanafi dan disitulah letak persoalan utamanya. Masalah demi masalah terus dialami oleh kedua orang itu. Sampai-sampai diantara keduanya, terutama Hanafi kehilangan kepercayaannya kepada Corry istrinya, yang berujung tragedi diantara keduanya, mereka bercerai dan kemudian disusul dengan meninggalnya Corry setelah sakit dan susul pula kematian Hanafi dengan jalan bunuh diri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Kematian dua tokoh tersebut sekaligus sebagai penanda bahwa perkawinan campuran – setidaknya dalam perspektif Abdoel Muis sebagai pengarang—banyak menyisakan persoalan kemanusiaan dan di sisi lain juga persoalan kebangsaan. Kematian Hanafi itu merupakan bentuk kematian
komitmen
kebangsaan
seseorang yang
berani
menanggalkan
ikatan-ikatan
kebangsaannya; bahwa sebenarnya, Hanafi yang Melayu dan terikat oleh kultur kemelayuannya merupakan fakta yang tidak dapat ditolak. Bahkan, kematiaannya pun berada dalam pangkuan tanah Melayu-Sumatera. Selanjutnya di bawah ini dapat diamati adanya teks sastra yang menunjukkan pola hubungan multikultural antarras yang terdapat aspek perlawanan antarras, dan aspek kerjasama sekaligus, yang terdapat di dalamnya.
”Kalau memang kau sudah sepakat menghadapi mereka di sampingku, Minke, Nak, Nyo, kau hadapi mereka sampai selesai. Kalau mereka nanti kewalahan—hati-hati—mereka akan mengeroyok. Sudah beberpa kali itu terjadi. Berani kau?” ... Tidak diduga dalam koran Melayu milik orang Eropa muncul tulisan yang membela diriku, ditulis oleh seorang yang mengaku bernama: Kommers. (BM: 416-417) Sayup-sayup terdengar roda menggelinding kerikil, makin lama makin jauh, akhirnya takterdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Wilhelmina bertahta. Kami menundukkan kepala di belakang pintu. 26
”Kita kalah, Ma,”bisikku. ”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya.” (BM:521). Dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya pola hubungan antarras dikontruksi sedemikian rupa menjadi hubungan yang berlawanan. Hampi sama dengan Abdoel Muis dalam konteks mengkontruksi hubungan antarras tersebut. Di antara kedua ras itu (Barat dan Timur) diberikan tanda perpisahan. Artinya, baik dalam perspektif Abdoel Muis, maupun Pramoedya, antara Barat dan Timur tidak dapat disatukan. Barat tetaplah Barat dan Timur tetaplah Timur. Minke dan Nyai Ontosoroh adalah representasi orang Timur yang mencoba melakukan kerjasama diantara keduanya untuk melakukan perlawanan pada Belanda sebagai representasi Barat. Perlawanan tersebut, pada akhirnya tetap membuahkan kekalahan dipihak Minke dan Nyai Ontosoroh. Dominasi Barat membuat Minke dan Nyai Ontosoroh tidak dapat berbuat banyak. Hukum kolonial yang memberikan otoritas yang tinggi pada Belandalah yang menyebabkan demikian. Sedangkan, Annelies menjadi simbol dari medan perebutan antara Minke dan Nyai Ontosoroh di satu sisi, di sisi lain adalah Robert sebagai kakaknya yang lebih mengakui kebelandaannya, meskipun dalam dirinya ada darah Indonesia. Sebagai tubuh yang diperebutkan, Annelieskan merasakan sakit bukan main secara psikologis, karena sebenarnya Annelies ingin tetap bersama Nyai Ontosoroh, mamanya dan Minke kekasihnya. Di tengah perjuangannya itu, Minke mendapat bantuan orang Belanda yang menyebut dirinya Kommers. Hal tersebut dilakukan dengan cara menulis dalam harian Melayu. Akan tetapi, bagaimanapun perjuangan itu kalah, dan ini sebagai penanda bahwa Annelies sebagai anak hasil perkawinan antara Nyai Ontosoroh dan Tn. Melemma tetap menjadi barat; bahwa Annelies tidak dapat menjadi diri yang multikultural milik bangsa ini. Hukum koloniallah yang menyebabkan demikian; sehingga, sangat mengharukan apa yang dikemukakan Nyai Ontosoroh ”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya.”
3.5 Dimensi Gender Wacana multikultural yang selanjutnya perlu dideskripsikan ialah berkaitan dengan pola hubungan antargender. Dimensi ini perlu dianalisis karena dalam perkembangan sastra Indonesia 27
wacana ini selalu mengemuka. Dalam konstruksi masyarakat multikultural seperti Indonesia, wacana ini penting untuk mendapat kajian yang memadai. Dalam perkembangan sastra Indonesia, terdapat tiga novel yang dapat diangkat untuk merepresentasikan wacana tersebut, antara lain; novel Layar Terkembang karya STA, Bumi Manusia karya Pramoedya, dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Kedua novel yang terakhir meskipun tidak sekuat Layar Terkembang; akan tetapi, dapat diletakkan dalam posisinya untuk menelusuri perkembangan wacana gender, berikut bentuk relasi yang terdapat di dalamnya. Di bawah ini dapat disimak kutipan novel Layar Terkembang yang menunjukkan pola relasi gender di dalamnya.
”Sesungguhnya hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu. Tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah perempuan sendiri insaf akan dirinya dan berjuang untuk mendapat penghargaan dan kedudukan yang lebih layak. Ia tidak boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain, apalagi golongan laki-laki yang merasa akan kerugian apabila ia harus melepaskan kekuasannya yang telah berabad-abad dipertahankannya. (LT:47). Konstruksi hubungan antara perempuan dan laki-laki digambarkan oleh STA sebagai pola hubungan yang penuh ketidakseimbangan. Laki-laki lebih banyak mendominasi dan banyak mengambil peran dalam kehidupan, khususnya dalam konteks peran kebangsaan. Perempuan dalam hal ini lebih banyak berposisi di belakang. Kondisi yang tidak ideal ini menurut STA, secepatnya untuk dilakukan perubahan. Perempuan harus berani mengambil peran dengan cara memajukan diri sebaik-baiknya dalam segala bidang. Hanya dengan itulah martabat perempuan dapat diangkat. Pola hubungan yang selama ini subordinatif karena faktanya banyak didominasi laki-laki selama berabad-abad. Idealnya, pola hubungan itu perlu segera dilakukan perubahan menjadi hubungan yang setara. Dengan pola hubungan yang demikian, bangsa Indonesia dapat maju. Peran kebangsaan dalam konteks ini haruslah diletakkan dalam konteks melibatkan semua jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Pola hubungan yang penuh dominasi
28
perlu diubah kerangkanya menjadi pola hubungan yang penuh solidaritas dan kerjasama. Maka, prinsip-prinsip persamaan dan kesetaraan haruslah dapat diterima oleh pihak laki-laki; karena pada hakikatnya—seperti yang dikemukakan STA—kemajuan perempuan juga membawa implikasi positif terhadap laki-laki dan terhadap kehidupan yang umum sifatnya. Sehubungan dangan hal itu perjuangan perempuan untuk mendapatkan kemajuan dapat dibaca bagaimana Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia dengan gigih belajar untuk mampu mengimbangi Tuan Melemma yang laki-laki dan Belanda. Selanjutnya dapat disimak kutipan di bawah ini.
Begitulah aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Melema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. Ia pun tidak pernah memaksa aku kecuali belajar. (BM:131)
Ada usaha yang luar biasa yang dilakukan Nyai Ontosoroh dalam upaya untuk dapat mengimbangi dominasi Tuan Melemma. Nyai Ontosoroh yang selama ini merasa sebagai perempuan lemah, yang budak atau yang dibudakkan oleh orong tua dan Tuan Melemma, secara perlahan-lahan belajar bangkit untuk mengahadapi fakta hidup yang dipandangnya menindas martabatnya sebagai perempuan dan sebagai manusia. Usaha ini menampakkan hasilnya, ketika Nyai Ontosoroh berhasil belajar membaca, belajar manajemen, dan sekaligus mengambil keputusan. Kemampuan yang demikian ini menjadi kekuatan Nyai Ontosoroh untuk berani menentukan segala keputusan, termasuk menentukan keputusan perusahaan Tuan Melemma dan hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Dalam kondisi demikian Nyai Ontosoroh sebagai representasi perempuan yang tertindas berbalik mampu mendominasi kehidupan keluarga Tuan Melemma. Tentunya pola hubungan yang demikian tidaklah ideal, sebuah pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang penuh dendam untuk saling mendominasi. Akan tetapi, fakta demikian menajdi lain manakala berkaitan dengan kondisi bangsa yang sedang mengalami kolonisasi. Tuan Melemma yang kolonial berhadapan dengan Nyai Ontosoroh sebagai pihak perempuan yang dikolonisasi. Dalam novel yang lain dituturkan—Lasykar Pelangi misalnya—fenomena perempuan sudah dikonstruksi sedemikian rupa menjadi ruang diri yang penuh kebebasan. Kebebasan itu 29
ditunjukkan baik dalam dalam penampilan maupun dalam pilihan hidup. Flo adalah perempuan dari anak pegawai kaya dalam perusahan timah di Blitong yang lebih memilih hidup bersama teman-temannya dalam kelompok Laskar Pelangi. Selanjutnya dapat disimak kutipan di bawah ini. Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo tersenyum puas. Ia telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari. (LP:412).
Flo adalah cermin perempuan masa kini yang penuh dengan ruang kebebasan. Sebagai pribadi Flo sangat unik, dengan penampilan yang tomboi, Flo memiliki ruang yang lebih longgar dalam hidup bersama-sama temannya di Lasykar Pelangi.Keputusan-keputusan Flo untuk haus dengan berbagai macam tantangan hidup membuat Flo dapat menemukan dirinya. Flo adalah pribadi yang mandiri, merdeka, dan berani mengambil keputusan, meskipun toh berbahaya. Dalam konteks ketokohan, Flo dikontruksi sedemikian rupa oleh pengarang sebagai sumber inspirasi dan cermin perempuan masa depan. Yakni, sosok perempuan Indonesia yang mandiri, merdeka dan berani mengambil keputusan-keputusan hidup meskipun itu berisiko dan meskipun itu mautyang dihadapinya. Bahkan, berkaitan dengan tantangan hidup yang berhubungan dengan maut, Flo sebaliknya bersyukur dapat merasakan pengalaman yang dipandang luar biasa itu. Dipandang luar biasa karena tidak semua manusia dan tidak semua perempuan pernah merasakan pengalaman hidup mengahadapi tantangan maut itu. Sebagai diri yang mandiri dan merdeka itulah Flo mampu menjalin hubungan dengan penuh persamaan dan kesetaraan dengan manusia yang lain yang labih banyak melibatkan lakilaki. Meskipun demikian, Flo tetap perempuan. Sebagai perempuan, Flo memiliki kesadaran untuk menerima pernikahan, bukan dalam konsep untuk saling mendominasi, akan tetapi dalam konsep untuk memenuhi pilihan hidup bersama laki-laki pilihannya dengan penuh solidaritas dan kerjasama. Pola hubungan demikian inilah yang diharapkan dalam konteks masyarakat multikultural kaitannya dengan pola hubungan laki-laki dan perempuan. Sebuah
konstruksi ideal untuk
30
menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai individu-individu yang mampu bekerjasama dengan penuh solidaritas.
3.6 Rangkuman Dinamika wacana yang dimakksud misalnya, dalam novel Salah Asuhan wacana multikultural yang menonjol adalah hubungan antarras, termasuk di dalamnya terdapat isu perkawinan campuran. Dalam novel Layar Terkembang wacana yang menonjol adalah relasi antargender, sekaligus berkaitan dengan perjuaang perempuan untuk mencapai kesetaraan gender itu. Novel Merantau Ke Deli lain lagi sudah mengangkat wacana pola hubungan antaretnis dibangsa ini (Jawa, Banjar, Minang, Bawean, Betawi) untuk mencapai penyatuan bangsa, sebuah bangsa yang terintegrasi dengan kuat. Novel Maut dan Cinta mengangkat wacana asimilasi etnis Tionghoa dengan warga Indonesia pada umumnya, termasuk problem hubungan antartokoh terkait dengan dimensi agama. Novel Bumi Manusia, hampir sama dengan Salah Asuhan mengangkat wacana hubungan antarras menjadi wacana yang menonjol. Novel Laskar Pelangi lebih kontekstual dengan kondisi saat ini sudah menonjolkan wacana hubungan antaretnis yang penuh dengan kesetaraan (Tionghoa, Melayu, dan etnis lain). Yang terakhir, novel Putri Cina, secara lebih khusus menonjolkan wacana multikultural berkaitan dengan asal-muasal (historisitas) dan problem identitas warga Cina di Indonesia.
3.7 Daftar Acuan Alisjabana, St. Takdir. 2006. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka Hamka.1941. Merantau Ke Deli. Medan: Tjerdas Hirata, Andrea.2008. Laskar Pelangi. Yogya: Bentang Lubis, Mochtar.1993. Maut dan Cinta. Jakarta: YOI Sindhunata.2007. Puteri Cina. Jakarta: Gramedia Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara
31
3.8 Bahan Diskusi Kemukakan pendapat kelompok Anda terkait dengan dimensi multikulturalitas yang terkandung karya sastra yang telah dianalisis di atas. Apakan dimensi itu termasuk yang memiliki urgensi mendalam dalam proses berbangsa saat ini. Cermati pula dari sisi kecenderungan konflik yang muncul terkait dengan dimensi agama, etnisitas, hubungan antarras, dan gender!
3.9 Latihan Soal 1) Deskripsikan ulang dengan bahasa Anda sendiri kajian multikulturalitas yang mencakup; dimensi agama, etnisitas dan warna lokal, hubungan antarras, dan gender! 2) Deskripsikan keempat dimensi tersebut dalam penerapan karya sastra yang lain, selain dari karya sastra yang telah dianalisis di atas!
32
BAB IV MANFAAT APRESIASI PROSA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA MULTIKULTURAL
Tujuan Umum: Mahasiswa mampu memahami dan mendeskripsikan manfaat apresiasi prosa dalam pembelajaran sastra multikultural.. Tujuan Khusus: Mahasiswa mampu memahami dan mendeskripsikan prinsip dan manfaat pembelajaran sastra multikultural untuk pembentukan nilai-nilai kebangsaan (proses transformasi dan internalisasi.
4.1 Pengantar Pembahasan di bawah ini difokuskan pada prinsi-prinsip pembelajaran sastra multikultural dan manfaaat pembelajaran sastra multikultural untuk penguatan integrasi bangsa. Pembelajaran sastra demikian ini, diharapkan terdapat proses transformasi dan internalisasi nilai kebangsaan dalam diri subjek didik. Pembelajaran sastra tersebut sekaligus menjawab posisi kajian sastra yang perlu mendapat reposisi yang memadai; sekaligus bersamaan dengan hal itu meluruskan cara pandang yang kurang tepat terhadap pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra selama ini dipandang kurang aktual dan kontekstual dengan kondisi dan tantangan kebangsaan yang ada. Pembelajaran sastra multikultural, berlaku sebaliknya, mencoba menjawab permasalahan kebangsaan itu dengan caranya sendiri. Yakni, melakukan transformasi dan internalisasi ideologi (baca;nilai) melalui kajian sastra yang dilakukan.
33
4.2 Prinsip Pembelajaran Sastra Multikultural Dalam konteks tersebut, pembelajaran sastra multikultural merupakan pembelajaran sastra yang bersifat integratif dengan dimensi kebangsaan. Artinya, membahas pembelajaran sastra multikultural idealnya haruslah dikonstruksi untuk membangun dan menguatkan proses dan integritas kebangsaan tadi. Maka, titik acuan untuk terbentuknya komitmen kebangsaan secara afektif menjadi sesuatu yang mutlak, yang ditopang dengan ranah kognitif sebagai pengetahuan dan ranah psikomotor sebagai keterampilan operasionalnya. Berpijak pada hal tersebut, maka prinsip-prinsip pembelajaran sastra multikultural dapat dikemukakan antara lain: pertama, pembelajaran sastra mengacu pada wacana dan nilai multikultural. Apa yang dimaksud wacana dan nilai multikultural dalam konteks ini ialah mencakup wacana tentang keanekaragaman budaya yang berkembang dimasyarakat, berikut nilai yang dikembangkannya. Maka, nilai multikultural itu idealnya yang muncul ialah nilai toleransi, moderasi, solidaritas, dan inklusivitas. Dengan wacana dan nilai itulah, proses kerjasama kebangsaan dalam masyarakat yang multikultural dapat dilakukan. Kedua, pembelajaran tersebut mengacu pada karya sastra yang di dalamnya mengandung teks sastra multikultural. Teks sastra multikultural tersebut diapresiasi sedemikian rupa, baik mencakup konstruksi teks sastranya, maupun substansi pesan yang dikandungnya. Oleh karena proses pembelajaran dalam konteks ini diupayakan untuk mampu melakukan proses eksplorasi dan eksplanasi teks sastra secara memadai. Ketiga, Pada tingkat operasional proses pembelajaran itu diarahkan untuk dapat berjalan secara multikultural. Oleh kareana itu, metode yang dipakai pun idealnya ialah metode yang dapat mendukung pembelajaran sastra multikultural tersebut. Metode SCL (Student Centered Learning) menjadi metode pembelajaran yang ideal dalam konteks ini. Ketiga prinsip tersebut sebanarnya, tidaklah sulit dipahami dan dijalankan. Hal yang dibutuhkan selanjutnya ialah kemauan setiap individu pembelajar untuk mengembangkan proses pembelajaran ini sebagai proses pmbelajaran sastra yang secara rasional diyakini dapat meberi kontribusi riil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; sehingga, proses pembelaran sastra multikultural tersebu penting untuk direalisasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka secara khusus berkaitan dengan materi pembelajaran sastra multikultural dapat mengacu pada ketiga prinsip tersebut. Materi pembelajaran dapat disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan bobot kajian dan level 34
subjek didik yang terlibat dalam proses pembelajaran sastra multikultural tersebut. Pengajar dan subjek didik dapat melakukan kontrak prmbelajaran dalam konteks ini untuk menyusun skenario dan sekaligus materi yang tepat dalam proses pembelajaran sastra multikultural tersebut. Termasuk juga dalam menentukan karya sastra, keterlibatan subjek didik juga penting ikut menentukannya.
4.3 Manfaat Pembelajaran Apresiasi Sastra Multikultural Pembelajaran sastra multikultural dengan demikian merupakan pembelajaran sastra yang diletakkan dalam kontruksi kebangsaan. Sebagai pembelajaran yang diletakkan dalam konstruksi kebangsaan, maka pembelajaran sastra idealnya dapat meningkatkan pemahaman nilai-nilai kebangsaan yang terdapat dalam teks sastra multikultural. Pembelajaran sastra seperti ini merupakan fakta pembelajaran yang tidak tercerabut dari basis sosial-kebangsaannya. Karya sastra sebagai bagian institusi sosial, maka karya sastra itu harus terlibat dalam memberikan kontribusi sosial yang membentuknya. Wacana multikultural dalam konteks ini merupakan wacana yang berkembang secara dinamis dalam koonteks riil dalam dimensi sosial-kebangsaan. Oleh karena itu, teks sastra multikultural sangat adaptif dan dinamis dalam merefleksikan wacana itu dalam teks sastra. Sehubungan dengan hal tersebut, peningkatan pemahaman nilai-nilai kebangsaan haruslah dibaca dan diletakkan dalam kerangka usaha dan proses dalam praktik pembelajaran yang berjalan secara dinamis. Oleh karena itu dalam strategi pembelajarannya dapat dilakukan secara fleksibel dalam upaya mencapai peningkatan pemahaman nilai kebangsaan tersebut. Hal yang sangat memungkinkan dalam konteks strategi pembelajaran untuk peningkatan pemahaman nilai-nilai kebangsaan ialah menggunakan strategi induktif model Taba. Dalam strategi induktif model Taba, pembelajaran sastra multikultural dilakukan dengan cara pembelajaran melalui tiga tahapan: pertama, tahap pembentukan konsep; kedua, tahap penafsiran dan penjelasan data; dan ketiga, tahap penerapan prinsip (Jamaluddin, 2003:87). Tahap pembentukan konsep dilakukan dengan cara subjek didik diarahkan untuk memiliki seperangkat konsep sastra multikultural dan kontribusinya terhadap dimensi sosialkebangsaan. Secara praksis, hal ini dapat dilakukan dengan cara, subjek didik merumuskan sendiri tentang konsep sastra multikultural berdasarkan referensi dan teks sastra yang ada.
35
Jika hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, proses pembelajaran selanjutnya ialah melakukan interpretasi teks sastra multikultural. Beberapa novel yang telah dikaji tersebut dapat menjadi alternatif materi teks yang dapat diinterpretasikan. Maka, kemudian subjek didik penting merefleksikan dimensi dan nilai yang terdapat dalam teks sastra itu dengan kondisi riil dalam kehidupan sosial-kebangsaan. Dalam proses interpretasi tersebut, internalisasi nilai yang terkandung dalam teks sastra multikultural sudah dapat dilakukan. Proses internalisasi nilai, selanjutnya dapat diteruskan dengan tahap penerapan. Subjek didik sudah mulai mencoba menerapkan wacana multikultura dan nilai yang terkandung itu, khususnya dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran kemudian, akan dapat diamati: pertama, bagaimana interaksi multikultural yang berlangsung terkait dengan keanekaragaman yang ada baik dalam dimensi agama, etnisitas, ras, dan relasi antargender; kedua, pengamatan terhadap nilai kebangsaan yang sudah dinternalisasikan, misalnya; nilai toleransi, nilai moderasi, solidaritas, dan inklusivitas. Keanekaragaman bangsa ini mendesak untuk terbangunnya nilai-nilai tersebut secara lebih memadai dalam suatu manajemen nasional (Taufiq:2008). Pembelajaran sastra multikultural sebagai bagian dari pendidikan multikultural secara umum, meletakkan posisinya untuk ikut mendorong terbentuknya nilai-nilai tersebut melalui sebuah proses transformasi dan internalisasi dalam ranah pembelajaran sastra.
4.4 Rangkuman Pembelajaran sastra multikultural merupakan pembelajaran sastra yang kontekstual dengan kondisi sosial-kebangsaan. Sebuah pembelajaran yang adaptif dan kontributif terhadap fakta kebangsaan yang saat ini mengalami degradasi nilai secara luar biasa. Maka, pengembangan kajian sastra yang memuat wacana dan nilai multikulturalitas kebangsaan menjadi penting. Pengembangan pembelajaran sastra multikultural menuntut dua hal sebagai urgensi kajiannya: pertama, terkait dengan prinsip-prinsip pembelajaran sastra multikultural; kedua, terkait dengan manfaat pembelejaran sastra multikultural. Secara ontologis, objek kajian apresiasi prosa dengan kajian sastra multikultural memberikan peluang yang luas. Hal ini dimungkinkan terjadi bila pengembangan kajian itu dikaitkan dengan lingkup kajian sosiologi
36
sastra dan psikologi sastra. Termasuk di dalamnya, kemungkinan pengembangan kajiannya yang dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial-keba ngsaan yang ada. Dengan pembelajaran sastra multikultural guru dapat mengembangankan lebih lanjut terkait dengan materi apresiasi prosa yang relevan, sehingga pengayaan bahan kajian dan apresiasi yang dilakukan dapat semakin berkemban. Apresiasi prosa dengan bahan kajian sastra multikultural ini diharapkan dapat memotivasi guru dalam rangka membangun inovasi baru terkait dengan materi apresiasi sastra yang relevan dengan perkembangan peserta didik. Oleh karena itu, dalam pengembangan keterampilan apresiasi prosa, selanjutnya guru disarankan untuk mempertimbangkan pengembangan materi tersebut dengan aspek afektif dan psikomotor, dan tidak terpaku pada aspek kognitif semata.
4.5 Daftar Acuan Jamaluddin.2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Bandung: Adicita Taufiq, Akhmad.2008. ”Dinamika Sastra Multikultural: Revitalisasi Nilai dalam Dimensi Kebangsaan.” Jurnal Kultur vol. 2 no.2 September 2008, hlm. 262-287 4.6 Bahan Diskusi Diskusikan di dalam kelompok Anda terkait dengan empat nilai; nilai toleransi, moderasi, inklusivitas, dan solidaritas, apakah nilai-nilai tersebut termasuk nilai yang fundamental; baik dalam konteks internalisasi individual, maupun dalam konteks integrasi kebangsaan? Berikan alasan yang memadai!
4.7 Latihan Soal 1) Deskripsikan prinsip-prinsip pembelajaran sastra multikultural! 2) Deskripsikan manfaat pembelajaran sastra multikultural, korelasikan manfaat tersebut dengan kebutuhan bangsa saat ini!
37
DAFTAR PUSTAKA
Alisjabana, St. Takdir. 2006. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka Anderson, Bennedict.2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar. Budiman, Manneke.2003. “Masih Adakah Masa Depan bagi Multikulturalisme?”. Srinthil Vol.4 tahun 2003. Darma, Budi.2004. ”Sastra Multikultural.” Makalah pada seminar internasional Sastrawan Nusantara di Surabaya, 27-30 September 2004 Dwicipta 2007. “Sastra Multikultural”. Jakarta: Kompas Edisi Minggu, 28 Januari 2007. Gumelar, Agum.2003. Jalan Alternatif untuk Menyelamatkan Bangsa. Jakarta: LEMHANAS. Hamka.1941. Merantau Ke Deli. Medan: Tjerdas Hirata, Andrea.2008. Laskar Pelangi. Yogya: Bentang Indraswari, Retno Palupi.2003. “Manajemen Moral dal Multikultural: Landasan Pengelolaan Bangsa Menuju Indonesia Baru”.Naskah tidak diterbitkan. Jamaluddin.2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Bandung: Adicita Ley Cornelis dalam Sumartana Th.2001. Nasionalisme Etnisitas. Yogyakarta:LKIS Lubis, Mochtar.1993. Maut dan Cinta. Jakarta: YOI Moody,H.L.B.1971. The Teaching Of Literature With Special Reference to Developing Countries. London: Longman. Mulyana.2002.”Sikap Multikulturalisme Bangsa Indonesia” Makalah Seminar tidak diterbitkan. Parekh, Bhiku.2000. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard University Press. Ratna, Nyoman Kutha.2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogya: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogya:Pustaka Pelajar. Sayuti,Suminto A.1994. Penelitian dan Pengajaran Sastra:Beberapa Catatan Ringkas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar-FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. 38
Sihbudi, Riza,dkk.2001.Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik Lokal Di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Jakarta: MIzan-LIPI. Sindhunata.2007. Puteri Cina. Jakarta: Gramedia Surata, Agus dan Taufiq, Tuhana A.2002. Runtuhnya Negara Bangsa.Yogyakarta: UPN’Veteran” Press. Surur, Miftahus.2003. “Menebar Perempuan Multikultural Di Tanah Bugis”. Srinthil Vol.3 tahun 2003. Suwondo, Tirto.,Herry Mardianto.,Novi S.Kussuji Indratuti.1997. Karya Sastra Di Luar Penerbitan Balai Pustaka. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Taufiq, Akhmad.2008. ”Dinamika Sastra Multikultural: Revitalisasi Nilai dalam Dimensi Kebangsaan.” Jurnal Kultur vol. 2 no.2 September 2008, hlm. 262-287 Wellek, Rene & Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia. West, Cornel.1993.”Prophetic Thought in Posmodern Times”. Dalam Beyond Eurocentrism and Multiculturalism, Vol. 1, Monroe: Common Courage Press
39
INDEKS BUKU
Abdoel Muis, 8, 13, 26, 27 afektif, 2, 34, 37, 49 Andrea Hirata, 11, 12, 14, 20, 28 Apresiasi prosa, 3, 37 Apresiasi sastra, 2 Balai Pustaka, 31, 38 Budi Darma, 6, 7 Bumi Manusia, 11, 14, 27, 28, 29, 31, 51 HAMKA, 8, 10, 12, 13, 24 inklusivitas, 34, 36, 37 internalisasi nilai, 20, 33, 36 kognitif, 2, 34, 37, 49 Laskar Pelangi, 12, 13, 31, 38, 51 Layar Terkembang, 8, 9, 10, 13, 23, 24, 28, 31, 38, 51 Maut dan Cinta, 11, 14, 19, 21, 31, 38, 51 Merantau Ke Deli, 8, 10, 12, 13, 23, 24, 31, 38, 51 Mochtar Lubis, 11, 14, 19, 21 moderasi, 19, 34, 36, 37 paradigma sastra multikultural, 7 pembelajaran sastra, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 33, 34, 35, 36, 37, 49, 50 Pembelajaran sastra multikultural, 3, 33, 35, 36 Pramudya Ananta Toer, 11, 14 psikomotor, 2, 34, 37, 49 Putri Cina, 11, 12, 13, 14, 17, 18, 22, 31, 51 Salah Asuhan, 8, 10, 13, 25, 31, 51 SARA, 4 Sastra multikultural, 3
40
Sindhunata, 11, 12, 13, 14, 17, 18, 31, 39, 45 solidaritas, 12, 20, 29, 30, 31, 34, 36, 37 STA, 8, 9, 13, 23, 28, 29 subjek didik, 1, 2, 16, 33, 35, 36 toleransi, 19, 20, 34, 36, 37
41
GLOSARIUM
Analisis
: usaha ilmiah untuk menjelaskan fenomena berdasarkan paradigma/asumsi, teori, dan atau konsep yang relevan.
Apresiasi Sastra
: berasal dari bahasa latin apreciatio yang berarti ”mengindahkan” dan ”menghargai”. Secara lebih luas apresiasi sastra merupakan kegiatan untuk menggauli karya sastra sehingga tumbuh pemahaman, penghargaan, dan kepekaan kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Squire dan Taba mengemukakan bahwa sebagai suatu proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni; aspek kognitif, emotif, dan aspek evaluatif.
Belajar
: usaha manusia baik dalam ketagori individu, maupun dalam kategori kolektif kultural untuk mendapatkan pengetahuan.
Citraan
: sesuatu yang tampak oleh indra, sengaja dikonstruksi dengan maksud tertentu; baik maksud estetik maupun nonestetik akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Fiksi
: term yang secara khusus digunakan oleh Paul Ricoeur untuk menjelaskan karya kreatif yang melukiskan sesuatu yang bersifat imajiner atau tidak nyata; akan tetapi, berpotensi untuk suatu waktu dapat menjadi kenyataan.
Pembelajaran
: proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan tertentu, yang melibatkan guru dan subjek didik dalam suatu interaksi akademis, yang berprinsip kesetaraan, keadilan, dan demokratis.
Prosa
: karya sastra yang menggunakan struktur naratif sebagai kekuatan penceritaannya. Aminuddin menyebut prosa dengan istilah prosa fiksi, yakni kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku
42
tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Teks
: kombinasi tanda-tanda, baik verbal maupun visual. Dalam konteks kesastraan, tanda-tanda itu terpola dalam suatu struktur gramatikal dan memilki fungsi pragmatikalnya.
Tema
: Suatu konstruksi gagasan yang menjadi wacana pokok dalam teks naratif.
43
Lampiran JADWAL KEGIATAN
Kegiatan ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, jadwal pelaksanaan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut. Bulan No. Kegiatan 1
2
3
1. Persiapan penelitian a. Rancangan awal b. Buat instrument pengembangan c. Susun draft 2. Pelaksanaan penyusunan Pengumpulan bahan 3. Pelaksanaan dan Pelaporan a. Pengembangan buku b. Editing laporan dan pelaporan 4.
Cetak buku
44
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap
: Akhmad Taufiq,S.S., M.Pd.
NIP
: 197404192005011001
Jabatan Fungsional/Gol
: Lektor/ IIIb
Jabatan Tugas Tambahan
: Sekretaris Puslit Budaya dan Pariwisata Lemlit Univ. Jember
Tempat/Tanggal Lahir
: Lamongan, 19 April 1974
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Bidang Keahlian
: Pendidikan Kesastraan
Kantor/Unit Kerja
: PBSI FKIP Universitas Jember
Alamat Rumah
: Jl. Kaliurang, Griya Permata Kampus Blok D1, telp. 08123593169
Alamat email
:
[email protected].
Pendidikan: No
Perguruan Tinggi
1
Universitas
Kota & Negara Jember
Jember
Indonesia
Universitas
Surabaya
Negeri Surabaya
Indonesia
2
Tahun Lulus
Gelar
Bidang Studi
1997 (S-1)
S.S.
Bahasa &Sastra Indonesia
2006 (S-2)
M.Pd.
Pend. Bahasa dan Sastra
Pengalaman Mengajar: No Judul Mata Kuliah/Status
Tahun
1.
Teori Sastra/ wajib
2003-Sekarang
2.
Sejarah sastra/wajib
2003-sekarang
3
Prosa Fiksi dan Drama/wajib
2003-Sekarang
4.
Sosiologi Sastra/wajib
2003-sekarang
5.
Psikologi Sastra/wajib
2003-Sekarang
Publikasi Ilmiah: 45
No Judul
Tahun
1.
2006
Aspek Modernitas dalam Ludruk, Jurnal Rumah Kata Jember
2.
Analisis Alih Kode dalam Kelas Sosial Masyarakat.
2006
Jurnal Lingua Franca, Pend. Bahasa dan Seni FKIP Univ. Jember. 3.
Sastra Poskolonial: Resistensi Teks terhadap Praktik 2008 Kolonisasi.
Jurnal
IPS
FKIP
Univ.
Jember
(terakreditasi) 4.
Dinamika Teks Sastra Multikultural: Revitalisasi Nilai 2008 dalam Dimensi Kebangsaan. Jurnal Kultur edisi 2 bulan September 2008
5.
Revitalisasi Strategi Kebudayaan: Antara Pertaruhan 2009 Paradigma
Pendidikan
dan
Penguatan
Politik
Multikultural, Seminar Nasional Diknas Kab. Jember 6.
Moralitas Jawa: Refleksi Moralitas dalam Teks Sastra 2009 Jawa di Era Reformasi. Jurnal Kultur edisi 2 bulan September 2009
7.
Buku Kumpulan Puisi ”Kupeluk Kau di Ujung Ufuk”, 2010 ISBN 978-602-96829-1-5, Gress Publishing Yogyakarta
8.
Konstruksi
Politik
Tubuh
dalam
Teks
Sastra 2010
Poskolonial. Jurnal Atavisme-Pusat Bahasa, edisi bulan Juni 2010 (terakreditasi nasional). Jember, 4 Desember 2010
Akhmad Taufiq,S.S., M.Pd. NIP. 197404192005011001
46
BIODATA ANGGOTA
Nama Lengkap
: Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd.
NIP
: 131 453 128
Tempat/Tanggal Lahir
: Ponorogo, 3 Nopember 1957
Jenis Kelamin
: Perempuan
Bidang Keahlian
: Pendidikan Kesastraan
Kantor/Unit Kerja
: PBSI FKIP Universitas Jember
Alamat Rumah
: Semboro Kabupaten Jember
Pendidikan: No 1
2
Perguruan Tinggi Universitas
Kota & Negara Jember
Jember
Indonesia
Universitas
Malang
Negeri Malang
Indonesia
Tahun Lulus Gelar
Bidang Studi
1983 (S1)
Bahasa&Sastra
Dra
Indonesia 2006 (S2)
M. Pd.
Pendidikan Kesastraan
Pengalaman Mengajar:
No Judul Mata Kuliah
Tahun
1
Teori Sastra
1986-Sekarang
2
Sejarah sastra
1990-sekarang
3
Prosa Fiksi dan Drama
1990-Sekarang
4
Sosiologi Sastra dan Psikologi Sastra
1990-Sekarang
47
Karya Ilmiah/Penelitian/Publikasi:
No
Judul
Tahun
1.
Pronomina Persona dalam Puisi-Puisi Jawa Modern
2003
2.
Kontemporerisme Epos Ramayana dalam Novel Anak
2004
Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata 3
Modernisasi Baratayudha dalam Novel Perang Karya
2005
Putu Wijaya 4.
Nilai-nilai Estetika dalam Novel Esey Arus Bawah
2007
Karya Emha Ainun Najib
Jember, 4 Desember 2010
Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd. NIP. 131 453 128
48
LAPORAN
Hibah Bahan Ajar Pengembangan Pendidikan Profesi Guru Calon Penididik dan Tenaga Pendidikan PENDIDIKAN PROFESI GURU
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BSI STANDARD KOMPETENSI KETERAMPILAN APRESIASI PROSA
Oleh: 1. Akhmad Taufiq,S.S. M.Pd (Ketua) 2. Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd. (Anggota)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER SEPTEMBER 2010
49
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HIBAH BUKU AJAR PPG TAHUN 2010
1. Judul
: Pengembangan Perangkat Pembelajaran BSI Standard Kompetensi Keterampilan Apresiasi Prosa
2. Nama Matakuliah
: Apresiasi Prosa
3. Pengusul
:
a. Nama Lengkap b. NIP c. Jabatan Akademik/Gol d. Jenis Kelamin e. Disiplin Ilmu f. Pangkat/Golongan g. Fakultas/Jurusan h. Alamat i. Telpon/Faks/E-mail j. Alamat Rumah k. HP/ email 4. Jangka Waktu 5. Biaya Yang diusulkan Sumber lain
: Akhmad Taufiq,S.S.,M.Pd. : 197404192005011001 : Lektor/ IIIb : Laki-laki : Pendidikan Kesastraan : Lektor/ IIIb : PBSI FKIP Universitas Jember : Jl. Kalimantan no. 37 Kampus Tegal Boto Univ. Jember : 0331-334988 : Jl. Kaliurang, Griya Permata Kampus D 1 Jember : HP. 081 235 931 69 E-mail: akhmadtaufiq1@gmail. Com. : 3 bulan : Rp.10.000.000,00 : Tidak Ada Jember, 4 Desember 2010
Menyetujui, Ketua Program Studi
Ketua Pengusul,
Drs. Arief Rijadi,M.Si., M.Pd. NIP 196701161994031002
Akhmad Taufiq,S.S.,M.Pd.. NIP 197404192005011001 Mengetahui, Dekan FKIP Universitas Jember Drs. H. Imam Muchtar, S.H., M.Hum NIP 195407121980031005
50
C. Sistematika Usulan Penyusunan Bahan Ajar PPG 1. Judul
: Pengembangan Perangkat Pembelajaran BSI Standard Kompetensi Keterampilan Apresiasi Prosa
2. Pengusul
:
a. Nama Lengkap : Akhmad Taufiq,S.S.,M.Pd. b. NIP : 197404192005011001 c. Jabatan Akademik/Gol : Lektor/ IIIb d. Jenis Kelamin : Laki-laki e. Bidang Keahlian : Pendidikan Kesastraan f. Pangkat/Golongan : Lektor/ IIIb g. Fakultas/Jurusan : PBSI FKIP Universitas Jember h. Alamat : Jl. Kalimantan no. 37 Kampus Tegal Boto Univ. Jember i. Telpon/Faks/E-mail : 0331-334988 j. Alamat Rumah : Jl. Kaliurang, Griya Permata Kampus D 1 Jember k. HP/ email : HP. 081 235 931 69 E-mail: akhmadtaufiq1@gmail. Com. 3. Anggota : Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd. a. Bidang Keahlian : Pendidikan Kesastraan b. Matakuliah yang diampu: Teori Sastra, Sosiologi Sastra, Puisi, Prosa Fiksi c. Institusi : PBSI FKIP Universitas Jember Tim Peneliti No.
Nama dan Gelar Akademik
Bidang Keahlian
Instansi
Alokasi Waktu (Jam/Mi nggu)
1.
Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd.
Pendidikan Kesastraan
FKIP UNEJ
15
2.
Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd.
Pendidikan Kesastraan
FKIP UNEJ
10
4. Matakuliah yang disusun : Keterampilan Apresiasi Prosa 5. Masa Pelaksanaan
: September-Desember 2010
6. Anggaran yang diusulkan : Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah)
51
7. Keterangan lain yang dianggap perlu: Kompetensi keterampilan apresiasi prosa ini dipandang penting karena ini terkait fokus pengembangan pembelajaran sastra, baik SMP maupun di SMA tidaklah semata-mata mengacu aspek kognitif; akan tetapi menyangkut afektif dan psikomotor. Afektif dalam konteks pembelajaran sastra mengontribusi pada aspek perbaikanbudi. Psikomotor dalam konteks empat keterampilan bersastra.
52
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjat kehadirat Allah yang telah memberikan kekuatan untuk dapat menyelesaikan bahan ajar ini. Semoga dengan bahan ajar PPG ini semakin dapat mengembangkan bahan kajian, khususnya yang terkait dengan pembelajaran sastra. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada: 1. Rektor Universitas atas ruang akademis yang diberikan sehingga kami dapat melakukan kegiatan penulisan bahan ajar ini; 2. Drs.H.Imam Muchtar,SH,M.Hum,sebagai pimpinan kami di fakultas yang telah memberikan akses kelembagaan sehingga kami dapat mengembangkan diri dalam bidang akademis, khususnya yang terkait dengan PPG ini; 3. Saudara-saudara dosen PBSI FKIP yang senantiasa berupaya membangun iklim akademis dan memberikan suasana untuk saling mendukung dan memotivasi pengembangan akademis, baik secara personal maupun institusional. Akhirnya, kami mohon maaf apabila di sana-sini masih ada kekurangan. Untuk segala masukan kami harapkan guna perbaikan kami selanjutnya.
Jember, 4 Desember 2010 Penyusun Bahan Ajar PPG
53
DAFTAR SINGKATAN
SA
: Salah Asuhan
LT
: Layar Terkembang
MKD
: Merantau Ke Deli
MC
: Maut dan Cinta
BM
: Bumi Manusia
LP
: Laskar Pelangi
PC
: Putri Cina
54
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
ii
IDENTITAS
iii
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR SINGKATAN
v
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Pengantar
1
1.2 Memosisikan Secara Ilmiah Apresiasi Sastra
2
1.3 Fokus Kajian Buku
3
1.4 Rangkuman
4
1.5 Daftar Acuan
4
1.6 Bahan Diskusi
5
1.7 Latihan Soal
5
BAB II APRESIASI SASTRA DALAM PERKEMBANGAN PROSA BARU: SASTRA MULTIKULTURAL
6
2.1 Pengantar
6
2.2 Pengertian Sastra Multikultural
6
2.3 Perkembangan Sastra Multikultural
7
2.4 Rangkuman
13
2.5 Daftar Acuan
14
2.6 Bahan Diskusi
14
2.7 Latihan Soal
15
55
BAB III DIMENSI NILAI-NILAI KEBANGSAAN DALAM APRESIASI SASTRA MULTIKULTURAL
16
3.1 Pengantar
16
3.2 Dimensi Agama
17
3.3 Dimensi Etnisitas dan Warna Lokal
21
3.4 Dimensi Hubungan Antarras
25
3.5 Dimensi Gender
27
3.6 Rangkuman
31
3.7 Daftar Acuan
31
3.8 Bahan Diskusi
32
3.9 Latihan Soal
32
BAB IV MANFAAT APRESIASI PROSA DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN SASTRA MULTIKULTURAL
33
4.1 Pengantar
33
4.2 Prinsip Pembelajaran Sastra Multikultural
33
4.3 Manfaat Pembelajaran Apresiasi Sastra Multikultural
35
4.4 Rangkuman
36
4.5 Daftar Acuan
37
4.6 Bahan Diskusi
37
4.7 Latihan Soal
37
DAFTAR PUSTAKA
38
INDEKS BUKU
40
GLOSARIUM
42
56
JADWAL KEGIATAN
44
BIODATA PENULIS
45
57