Tujuan Pembelajaran Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: 1. Tantangan kecenderungan global dan nasional yang ada di Indonesia 2. Beberapa permasalahan pokok yang menyangkut pendidikan di Indonesia 3. Keterkaitan antara permasalahan pendidikan dengan kebijakan pendidikan 4. Kebijakan pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.
RINGKASAN MATERI 3.
Jenis-jenis Permasalahan Pokok Pendidikan a. Kualitas Pendidikan Penduduk Indonesia pada tahun 1990 berjumlah 184 juta dengan
komposisi 72% tamat SD ke bawah dan 4% bekerja di sektor primer (dimana sekitar 29% menganggur tak kentara) jelas menjadi beban dari pada menjadi modal pembangunan. Dalam pembangunan jangka panjang tahap II ini pendidikan menjadi
sasaran
utama
dan
pertama
untuk
mendukung
keberhasilan
pembangunan. Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai rambu-rambu untuk mengukur kualitas pendidikan kita, antara lain: 1) Mutu guru yang masih rendah ada semua jenjang pendidikan (kompetensi, kinerja maupun profesionalisme) 2) Alat bantu proses belajar mengajar seperti buku teks, peralatan laboratorium dan bengkel kerja yang belum memadai. 3) Tidak meratanya kualitas lulusan yang dihasilkan untuk semua jenjang pendidikan 4) Kualitas Lulusan / Output Pendidikan yang masih rendah.
1
Siswa sebagai Input maupun Output pendidikan belum mampu memperoleh standar nilai murni minimal yang ditetapkan pada Ujian Nasional pada jenjang sekolah dasar, tingkat menengah maupun tingkat atas . Kemampuan kompetensi sikap, karakter dan keterampilan/ vokasi (soft and hard skill) belum dijadikan sebagai standar kelulusan, karena standar kelulusan masih berorientasi pada kompetensi akademik kurikulum. 5) Belum diterapkan 8 Standar Nasional Pendidikan pada semua jenjang pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar pendidik, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian belum diterapkan oleh semua sekolah. 6) Kelengkapan media belajar dan sumber informasi berbasis teknologi yang masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah sekolah di Indonesia.
Hal ini tergantung pula pada besarnya dukungan anggaran yang diperuntukan bagi pendidikan per unit maupun alokasi dana bagi pendidikan dari APBN yang ada. Presentase alokasi pendidikan terhadap GNP di negara-negara ASEAN dari dua negara lainnya, berdasar hasil studi World Bank tahun 1984 menunjukan bahwa biaya pendidikan di Indonesia tahun 1982/83 telah menjadi 8,7% dari GNP tahun 1982, bila dibanding tahun 1975 (3,02%, tahun 1980 (1,9%)) keadaan ini menujukan kenaikan presentase, namun untuk tahun 1984, kembali menurun menjadi 2,2% dari GNP tahun 1984. Meskipun demikian untuk negara-negara di lingkungan ASEAN, Indonesia angka absolutnya ternyata masih rendah. Negara Taiwan 4,2%, Malaysia 4,6%, Singapura 4,4%, dan Korea Selatan 48% (World Bank) Tabel 7.1 Presentase biaya sektor pendidikan dari GNP beberapa Negara Antara tahun 1970 sd 1984 Negara Korea Selatan Singapura Hongkong Taiwan
Tahun 1970 3,7 3,1 2,9 3,4
1975 2,2 2,9 2,7 3,1
2
1980 3,7 2,9 2,5 3,6
1984 4,8 4,4 2,8 4,2
Indonesia 2,5 3,0 1,9 2,2 Malaysia 4,3 6,3 6,2 6,4 Philipina 2,6 1,9 1,6 1,3 Sumber: ADB, Education and Development in Asian and The Pacific
b. Relevansi Pendidikan Menurut Riwanto (1993) masalah tidak relevannya pendidikan kita bukan hanya disebabkan oleh adanya kesenjangan antara “supply” sistem pendidikan dan “demand” tenaga yang dibutuhkan oleh berbagai sektor ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh ketidaksesuaian isi kurikulum sistem pendidikan kita di berbagai jenjang pendidikan (terutama kurikulum SLTA Kejuruan dan kurikulum di Perguruan Tinggi) dengan perkembangan diferensiasi lapangan pekerjaan di dunia usaha dan berkembangnya iptek. (Tilaar,1991:7) c. Elitisme Elitisme dalam pendidikan adalah kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok masyarakat yang kecil atau justru mampu ditinjau dari segi ekonomi. (Tilaar,1991:8). Tabel 7.2 memberikan gambaran bagaimana kesenjangan subsidi yang diterima oleh mahasiswa pendidikan tinggi dibandingkan dengan siswa sekolah dasar. Contoh bentuk elitisme pendidikan adalah: a) Muncul sekolah berlabel standar nasional dan internasional. b) Munculnya sekolah inklusif seperti home schooling c)
Sekolah yayasan/ golongan tertentu yang hanya diperuntukkan satu golongan
d) Biaya masuk pendidikan tinggi yang masih tinggi e) Sudah mulai muncul sekolah kalangan ekomoni kelas atas
3
Tabel 7.2 Subsidi Per Siswa sebagai Presentase dari GNP Keadaan tahun 1985-an. Negara
Subsidi
Subsidi Kumulatif
SD SL PT SD SL PT Indonesia 10,8 16,3 30 65 149 197 Malaysia 13,6 20,5 170 82 225 905 Philipina 5,4 4,5 6 33 51 77 Thailand 11,6 13,3 30 70 149 209 Korea Selatan 16,6 8,3 12 100 149 197 China 8,8 26,7 248 53 213 1025 Sumber: ADB, Education and Development in Asian and The Pacific
GNP US$S 470 1860 581 712 2040 273
Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa kepincangan dalam pemberian subsidi pada siswa memang bukan monopoli sistem pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi merupakan gejala umum, dan terutama di negara-negara berkembang. Secara kumulatif subsidi yang diberikan pemerintah di negaranegara di Asia pada umumnya memberikan proporsi yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan tinggi. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan dan pemberian subsidi di negara berkembang belum menganut pola keadilan merata. d. Manajemen Pendidikan Sebagai contoh masalah pengelolaan sekolah dasar (SD) merupakan kasus klasik dari kesemrawutan model management pendidikan negara kita, yang pada gilirannya memberikan efek pada setiap usaha untuk meningkatkan mutu keluaran sistem
pendidikan. Munculnya UU Tahun 1989 mengenai sistem
pendidikan nasional beserta beberapa peraturan pelaksanaannya, ternyata belum banyak menolong dan membenahi manajemen sekolah dasar, begitu pula otonomi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah menengah dan pendidikan tinggi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah akademik dan finansiil masih perlu penyesuaian dengan kelembagaan-kelembagaan yang ada pada sistem pendidikan nasional. Lembaga pendidikan kita yang dibentuk tidak dapat lagi mengikuti cepatnya laju pembangunan. Tidak mengherankan Tilaar mengatakan bahwa pengelolaan pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga dan sistem pendidikan nasional perlu ditata kembali atau direstrukturasi. 4
e. Pemerataan Pendidikan Pada awal tahun Repelita I Indonesia dalam bidang pemerataan pendidikan dapat dikatakan berhasil. Namun, para ahli ekonomi mengemukakan bahwa mutu tenaga kerja mempunyai peran besar terhadap pertumbuhan ekonomi. (NoengMuhadjir, 1986:3). Sementara itu perencanaan pendidikan di Indonesia belum mengarah pada kebutuhan lapangan kerja. 4.
Keterkaitan antara Jenis Masalah Pendidikan dengan Kebijakan Pendidikan a. PermasalahandanKebijakanPendidikan Pada awal Repelita 1 keadaan pendidikan Indonesia mengalami
ketidakseimbangan, antara lain: 1) Ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang berumur cukup sekolah dengan fasilitas yang disediakan sekolah 2) Ketidakseimbangan pendidikan secara horizontal yaitu antara jenis dan bidang pendidikan 3) Ketidakseimbangan vertikal yaitu perbandingan antara SD, SLTP dan Perguruan Tinggi Selain ketidakseimbangan tersebut, di Indonesia juga masih banyak permasalahan pendidikan yaitu seperti masih banyak buta aksara dan angka, banyaknya drop out SD dan Perguruan Tinggi, rendahnya kualitas hasil pendidikan, masih kurangnya tenaga pengajar yang berwenang serta di dalam administrasi pendidiakan masih terdapat berbagai macam kekurangan. (Repelita 1, 1969: 443-444). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pada waktu Repelita 1 dilaksanakan beberapa kebijaksanaan dan langkah-langkah antara lain: 1. Program pendidikan secara horizontal lebih diarahkan kepada kebutuhankebutuhan pendidikan dan latihan untuk sektor-sektor pembangunan yang diprioritaskan seperti pertanian, industri ringan dan kerajinan rakyat, prasarana serta pariwisata. 2. Secara vertical program pendidikan diarahkan kepada perbaikan keseimbangan. Masalah-masalah pendidikan dalam Repelita II antara lain:
5
1. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengembangan sistem pendidikan 2. Pemeliharaan dan peningkatan mutu pendidikan 3. Perluasan mutu pendidikan pada semua sistem 4. Perluasan kesempatan belajar 5. Pengembangan sistem penyajian 6. Pendidikan di luar sistem sekolah (pendidikan non formal) 7. Usaha-usaha lain dalam pembianaan generasi muda 8. Pengembangan sistem informasi dan kemampuan pengelolaan 9. Pengarahan penggunaan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia (Repelita II, 1974: 137-138) Pada Repelita IV memprogramkan tiga kebijaksanaan antara lain: 1. Pendidikan seumur hidup 2. Pendidikan semesta, menyeluruh dan terpadu 3. Kebijaksanaan untuk membina kemajuan adat, budaya dan persatuan (Repelita IV, 1984: 526) Sedangkan pada Repelita V arah kebijaksanaan pendidikan diprioritaskan pada perbaikan sistem dan multi pendidikan dalam keseluruhan unsur, jenis, jalur dan jenjangnya.(Repelita V, 1989:590).Beberapa kebijaksanaan umum pada Repelita V antara lain meliputi: 1. Meningkatakan pembudayaan nilai-nilai Pancasila 2. Meningkatkan mutu pendidikan 3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan 4. Menata kembali sistem pendidikan guru dan tenaga pendidikan lainnya 5. Melaksanakan penelitian dan pengembangan pendidikan dan kebudayaan 6. Penyeragaman mutu pendidikan melalui pengembangan institusi dan sistem pengujian untuk semua jenis dan jenjang pendidikan b. Kebijaksanaan Pendidikan dan Keterkaitannya dengan Masalah Ketenagakerjaan Pembangunan bidang pendidikan yang dilakukan pemerintah secara terus-menerus sejak Pelita I sampai Pelita V telah berhasil meningkatkan taraf
6
pendidikan rakyat Indonesia. Banyak indikator, terutama yang bersifat kuantitatif, dapat dikemukakan sebagai bukti dari adanya peningkatan tersebut. Dalam periode PJPT I (1969 sampai sekarang) kebijaksanaan umum bidang ketenagakerjaan selalu dituangkan dalam kebijaksanaan dan program kerja pada setiap pelita, yang semuanya memprioritaskan upaya perluasan kesempatan kerja. Keadaan ini
menunjukkan bahwa selama Repelita Pemerintah telah
berhasil mencipatakan lapangan kerja baru. Peningkatan mutu angkatan kerja dilandasi dengan bertambahnya kemampuan dalam menghasilkan produksi barang dan jasa bagi pemenuhan masyarakat Indonesia, yang berarti meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kalau kita lihat periode PJPT I, kebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan mencakup beberapa aspek, yaitu (a) perluasan kesempatan tenaga kerja dan perlindungan, (b) pengaturan penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja yang lebih baik melalui perbaikan informasi serta pembinaan dan peningkatan keterampilan, (c) perlindungan kerja, (d) pembinaan hubungan perburuan, (e) aspek pengupahan (Riwanto Tirto, Sudarmo, 1994:32). Untuk melaksanaan kebijakan tersebut pemerintah telah menetapkan tiga program pokok yang langsung di bawah lingkup Departemen Tenaga Kerja ialah (1) Program pembinaan dan peningkatan latihan keterampilan, (2) Program pembinaan hubungan dan perlindungan tenaga kerja, (3) Program pengaturan dan penyebaran tenaga kerja. Ga Dari kebijaksanaan umum beserta tiga program utama di bidang ketenagakerjaan selama PJPT I terlihat bahwa tekad pemerintah menunjukkan dengan sangat sungguh-sungguh untuk memecahkan masalah kesempatan tenaga kerja. Menurut catatan dalam Repelita ke Repelita berikutnya yakni akhir repelita V ternyata masih terdapat beberapa permasalahan ketenagakerjaan yang masih menjadi permasalahan ketenagakerjaan yang masih menjadi masalah sentral antara lain (1) masalah kesempatan kerja yang berkaitan dengan jumlah pencari kerja, (2) masalah angkatan kerja yang lebih cepat dengan pertumbuhan ekonomi, (3) masih terdapat belum meratanya tenaga kerja yang ada di Jawa dan luar Jawa, (4) masalah tingginya pengangguran di pedesaan dan perkotaan, (5) terdapat banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang tidak terserap di lapangan kerja.
7
Untuk memperbaiki kemampuan dan mutu tenaga kerja yang produktif antara lain dapat ditempuh melaui pendidikan dan latihan serta peningkatan keterampilan, yag pelaksanaan ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja lewat Balai Latihan Kerja yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. c. Kebijakan Pendidikan Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 Pada abad XII ini, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat krisis ekonomi, dunia pendidikan dismabut untuk mepertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan masyarakat
yang
konduktif,
demokratis,
memperhatikan
keberagaman
kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Pada saat ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol yaitu: (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan disamping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis. Berbagai permasalahan tersebut akan diatasi melalui pelaksanaan berbagai program pembangunan yang mengacu pada arah kebijakan pendidikan seperti yang diamanatkan oleh GBHN 1999-2004 antara lain sebagai berikut: 1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas dengan peningkatan anggaran yang berarti.
8
2) Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga pendidikan sehinggan mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan. 3) Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi peserta didik. 4) Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip disentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen. d. Kebijakan Pendidikan Rentra 2005-2009 Di dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas)Tahun 2004-2009 tidak jauh berbeda dengan Propenas sebelumnya, namun apabila dilihat dalam Rencana Strategis (Renstra) 2005-2009 Departemen Pendidikan Nasional terdapat Kebijakan Pembangunan Lima Tahun 2005-2010. Dalam kebijakan itu memuat Kegiatan Pokok Strategis di antaranya adalah Bidang Mutu, Relevansi dan Daya saing. Salah satu kegiatan pokok dalam bidang ini adalah Program Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Perluasan Paket A dan Paket B untuk menunjang wajib belajar 9 tahun serta ekstensifikasi Paket C. Selain itu juga guna peningkatan mutu, relevansi dan daya saing ditingkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran. Bapenas selaku badan yang melakukan perencanaan nasional sudah menuangkan program-program Depdiknas kedalam 15 program. Kelimabelas program kebijakan Depdiknas tersebut antara lain: 1) Pendidikan anak usia dini (PAUD)-TK, RA, KB, TPQ 2) Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun – SD, MI, SMP, MTs 3) Pendidikan Menengah 4) Pendidikan Tinggi
9
5) Pendidikan Non-formal 6) Peningkatan Mutu Pendidik dan TenagaKependidikan 7) Penelitiandan Pengembangan Pendidikan 8) Manajemen Pelayanan Pendidikan 9) Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan 10) Program Penelitian dan PengembanganIptek 11) Program Penguatan Kelembagaan Pengaruh utama Gender danAnak 12) Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara 13) Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan 14) Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur 15) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara
10