BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Depkes RI (2007 dalam Nastiti, 2012) menjelaskan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini sedang mengalami masa peralihan, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Indonesia juga menghadapi dampak perubahan tersebut dalam bidang kesehatan, yaitu beban ganda pembangunan di bidang kesehatan. Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan kesehatan tersebut adalah transisi epidemiologi, dimana masih tingginya jumlah kejadian penyakit menular yang diikuti dengan mulai meningkatnya penyakit-penyakit tidak menular yang sebagian besar bersifat multikausal (disebabkan oleh banyak faktor). Amiruddin (2007) mengatakan, dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kesehatan, pola penyakit dalam masyarakat telah berubah dari penyakit infeksi menjadi penyakit tidak menular dan penyakit degeneratif, antara lain penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal, hal tersebut disebabkan karena perubahan gaya hidup dan perilaku masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO) dalam Israr (2008) stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Sedyaningsih (2011 dalam Hariandja, 2013); Depkes RI (2011, dalam Sikawin, Mulyadi, dan Palandeng, 2013) menjelaskan bahwa, di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian utama dengan prevalensi 8 kasus per 1000 jiwa. Dinata, Safrita, dan Sastri (2012) menjelaskan bahwa di Negara-negara ASEAN penyakit stroke merupakan
1
2
masalah kesehatan utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asian Medical Information Center (CEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Miller, at al (2010) menjelaskan bahwa saat ini di seluruh dunia diperkirakan sekitar 50 juta pasien menghadapi defisit fisik, kognitif, dan emosional yang signifikan akibat stroke, dan 25% sampai 74% dari mereka membutuhkan beberapa pendampingan atau sepenuhnya tergantung pada caregivers untuk aktivitas sehari-hari atau activity daily living (ADL). Pendapat Gemari (2009) diperkirakan 500 ribu penduduk Indonesia terkena serangan stroke setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 2,5% meninggal dunia, sementara sisanya mengalami kecacatan dari ringan hingga berat. Menurut Hariandja (2013) penderita stroke akan menjadi bergantung pada bantuan orang lain dalam menjalankan aktivitas sehari-hari atau activity daily living (ADL) seperti makan dan minum, mandi, berpakaian, dan lain sebagainya. Kemandirian dan mobilitas seseorang yang menderita stroke dapat berkurang atau bahkan hilang. Serangan stroke yang dialami dapat menyebabkan kerusakan neurologis seperti berkurangnya kemampuan motorik anggota tubuh dan otot, kognitif, visual dan koordinasi secara signifikan. Berkurangnya tingkat kemandirian dan mobilitas seseorang dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup yang dimiliki. Melcon (2006, dalam Sonatha, 2006) menjelaskan berdasarkan skala Rankin dikatakan penyandang stroke (stroke survivors) mengalami cacat ringan apabila pasien masih mampu melaksanakan aktivitasnya sehari-hari atau memerlukan sedikit bantuan. Sebaliknya dikatakan cacat berat jika pasien tidak dapat berjalan dan memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan, berada di tempat tidur, inkontinensia, dan memerlukan
3
perawatan dan perhatian sepenuhnya. Sebagian besar aktivitas kehidupan pasien stroke memerlukan bantuan, bahkan sampai aktivitas kehidupan paling dasar berupa makan, berkemih, dan mandi. Pendapat yang diungkapkan oleh Hanger et al. (2000, dalam Yuliastuti, 2012) menyatakan bahwa kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke akan menimbulkan perubahan kehidupan individu karena penurunan fungsi sehingga menimbulkan ketergantungan. Mulyatsih (2003, dalam Yuliastuti, 2012) menyatakan bahwa stroke menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi, maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam jangka waktu yang lama bahkan sepanjang sisa hidup pasien. Untuk menjalani masa pemulihan tersebut, maka seseorang harus memiliki motivasi sembuh. Wardana (2011, dalam Yuliastuti, 2012) menjelaskan bahwa orang yang mempunyai keinginan sembuh dari sakit karena serangan stroke, biasanya ada dorongan dari dalam dirinya untuk sembuh. Dorongan ini secara umum dapat disebut motivasi dan motivasi inilah yang harus dibangkitkan. WHO (2001, dalam Hallams & Baker, 2009) mendefinisikan motivasi sebagai “global mental funtion-pengendali sadar dan tidak sadar yang menghasilkan dorongan untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan Maclean dan Pound (2000, dalam Hallams & Baker, 2009) menjelaskan bahwa motivasi adalah sebuah konsep yang selalu berhubungan dengan rehabilitasi. Pendapat yang diungkapkan oleh Becker dan Kaufman (1995, dalam Hallams & Baker, 2009) dan White et al (2012) mengatakan bahwa kebanyakan ahli kesehatan percaya bahwa motivasi merupakan faktor terpenting dalam menentukan functional outcomes dari rehabilitasi stroke. Beberapa studi terdahulu telah menunjukkan hubungan antara motivasi dan outcome rehabilitasi (Friedrich et al 1998, Grahn et al 2000, Maclean et al 2000).
4
Samino (2008, dalam Anggleni, 2010) mengatakan bahwa kesembuhan penderita stroke bervariasi, kesembuhan ini tergantung dari parah tidaknya serangan stroke, kondisi tubuh penderita, ketekunan serta semangat untuk sembuh dan kepatuhan penderita dalam menjalani proses kesembuhan.
WHO (2003)
mendefinisikan kepatuhan sebagai kemampuan pasien dalam berprilaku untuk melakukan pengobatan, mengikut diet, dan melakukan perubahan pola hidup, sesuai dengan arahan dan rekomendasi dari petugas kesehatan. Kemampuan pasien untuk mengikuti rencana perawatan secara optimal seringkali dihalangi oleh beberapa hal, seperti faktor sosial dan ekonomi, tim/sistem kesehatan, karakteristik penyakit, terapi penyakit, dan faktor yang terkait dengan pasien. Selain itu, jika pasien tidak patuh dalam menjalani terapi jangka panjang dapat menyebabkan kesehatan memburuk dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Menurut Niven (2002, dalam Kosassy, 2011), saat ini ketidakpatuhan pasien menjadi isu dan masalah serius di kalangan profesional kesehatan. Pengembangan riset atau program di bidang kesehatan tidak akan ada artinya jika tidak diikuti oleh kepatuhan pasien. Dari penelitian-penelitian tentang kepatuhan pasien terhadap pengobatan, ketidakpatuhan banyak ditemukan pada pasien dengan penyakit kronis. Berdasarkan data WHO (2003) diketahui bahwa rata-rata kepatuhan terhadap terapi jangka panjang bagi penyakit kronis di negara maju sebesar 50%. Di negara-negara berkembang, nilai rata-rata ini bahkan lebih rendah. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa banyak pasien mengalami kesulitan dalam mengikuti rekomendasi pengobatan. Selamiharja (2005, dalam Kosassy, 2011) menjelaskan bahwa cepat lambatnya proses kesembuhan pasien stroke dari kecacatan dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan pasien dalam melakukan rehabilitasi. Oleh karena itu, kepatuhan pasien dalam
5
menjalani rehabilitasi sangat penting. Semakin teratur pasien stroke dalam menjalani rehabilitasi maka resiko komplikasi yang ditimbulkan dapat dicegah dan pengembalian fungsi dengan cepat, sebaliknya jika rehabilitasi tidak dijalani dengan sungguh-sungguh dan teratur maka dapat mempercepat terjadinya kelumpuhan permanen pada anggota tubuh yang pernah mengalami kelumpuhan. Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 September 2014 sampai dengan 3 Oktober 2014 di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang diperoleh data jumlah pasien pasca stroke pada tahun 2013 berjumlah 125 orang, sedangkan pada tahun 2014 yang terhitung mulai Januari sampai September 2014 berjumlah 71 orang. Pasien pasca stroke yang menjalani rehabilitasi di Klinik Fisioterapi ini memiliki motivasi, tingkat kepatuhan rehabilitasi, dan tingkat ketergantungan yang berbeda-beda. Studi pendahuluan ini dilakukan pada 18 orang pasien didapatkan hasil: pasien dengan motivasi tinggi sebanyak 12 orang (66,66%) dan pasien dengan motivasi rendah sebanyak 6 orang (33,33%). Pasien-pasien dengan tingkat motivasi tinggi mengaku memiliki keinginan untuk sembuh yang besar meskipun membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dari keterbatasan yang dialami. Pasien-pasien tersebut mengaku rutin mengikuti rehabilitasi di Rumah Sakit dan tetap menjalani latihan-latihan ringan di rumah. Sedangkan pasien-pasien dengan motivasi sedang sampai lemah mengatakan bahwa mereka tidak rutin mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit. Kemudian pasien yang dinyatakan patuh menjalani rehabilitasi sebanyak 11 orang (61,11%) dan tidak patuh sebanyak 7 orang (38,88%). Sedangkan pasien dengan tingkat ketergantungan berat sebanyak 6 orang (33,3%), pasien dengan tingkat ketergantungan sedang sebanyak 4 orang (22,2%), pasien dengan tingkat ketergantungan ringan sebanyak 5 orang (27,8%), dan pasien mandiri sebanyak 3 orang (16,7%). Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti merasa
6
perlu melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara motivasi dan tingkat kepatuhan rehabilitasi terhadap tingkat ketergantungan dalam activity daily living pada pasien pasca stroke di layanan Rumah Sakit di Kota Malang, dimana studi ini dilakukan di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat
diangkat adalah sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimana gambaran motivasi pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang?
1.2.2
Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan rehabilitasi pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang?
1.2.3
Bagaimana gambaran tingkat ketergantungan pasien pasca stroke dalam activity daily living di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang?
1.2.4
Adakah hubungan antara motivasi terhadap tingkat ketergantungan dalam activity daily living pada pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang?
1.2.5
Adakah hubungan antara tingkat kepatuhan rehabilitasi terhadap tingkat ketergantungan dalam activity daily living pada pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
motivasi dan tingkat kepatuhan rehabilitasi terhadap tingkat ketergantungan dalam
7
activity daily living pada pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang. 1.3.2 1.
Tujuan Khusus Untuk mengetahui gambaran motivasi pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soeproen Malang.
2.
Untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan rehabilitasi pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soeproen Malang.
3.
Untuk mengetahui gambaran tingkat ketergantungan pasien pasca stroke dalam activity daily living di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soeproen Malang.
4.
Untuk
mengetahui
hubungan
antara
motivasi
terhadap
tingkat
ketergantungan dalam melakukan activity daily living pada pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang. 5.
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan rehabilitasi terhadap tingkat ketergantungan dalam melakukan activity daily living pada pasien pasca stroke di Klinik Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.4.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang hubungan antara motivasi dan tingkat kepatuhan rehabilitasi terhadap tingkat ketergantungan dalam melakukan activity daily living pada pasien pasca stroke.
8
1.4.2
Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Peneliti Sebagai pengalaman awal dalam melakukan riset keperawatan yang memberi manfaat di masa yang akan datang. 1.4.2.2 Bagi Institusi Pendidikan (Fakultas Ilmu Kesehatan UMM) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan dapat dijadikan sumber belajar untuk meningkatkan dan mengembangkan materi perkuliahan. 1.4.2.3 Bagi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada rehabilitasi medik sehingga dapat menentukan strategi alternatif dalam rehabilitasi pasien sesuai motivasi dan tingkat kepatuhan pasien demi peningkatan outcome rehabilitasi. 1.4.2.4. Bagi pasien pasca stroke di Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang Membantu meningkatkan motivasi dan kepatuhan pasien dalam menjalani rehabilitasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesembuhan pasien. 1.4.2.5 Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam pengkajian dan penelitian yang terkait dengan topik yang peneliti angkat. 1.5
Keaslian Penelitian 1. Muhliksa (2002), meneliti tentang “Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Pasien Stroke Melakukan Mobilisasi Dini”. Penelitian ini
9
merupakan penelitian deskriptif korelasi yang bersifat cross sectional dimana sampel yang digunakan sebanyak 30 orang. Dalam penelitian ini, Muhliksa meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien stroke dalam melakukan mobilisasi dini berdasarkan karakteristik demografi responden, yang terdiri dari usia, agama, pendidikan terakhir, status perkawinan, pekerjaan terakhir, dan lama dirawat di rumah sakit. Hasil dari penelitian ini adalah 12 responden (40%) dikategorikan tidak patuh dan 18 responden
(60%)
dikategorikan
patuh
melakukan
mobilisasi
dini.
Karakteristik demografi berupa usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan pekerjaan dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan pasien melalukan mobilisasi dini. Sedangkan karakteristik demografi seperti usia, agama, dan lama perawatan menunjukkan ada hubungan dengan kepatuhan melakukan mobilisasi dini. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Gesti Rifandini pada (2013) dengan judul “Perbedaan Motivasi Diri Terhadap Rehabilitasi pada Penderita Pasca Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragik di Poli Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang”. Penelitian yang dilakukan pada 20 orang sampel ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian comparative dan menggunakan uji T-test dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil dari uji T-test didapat P<0,05 maka H0 diterima atau tidak ada perbedaan motivasi diri pada penderita pasca stroke hemoragik dan non-hemoragik di Poli Fisioterapi Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang. 3. Santoso (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Kemandirian Aktivitas Makan, Mandi, Dan Berpakaian Pada Penderita Stroke 6-24 Bulan Pasca Okupasi Terapi”. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan
10
pendekatan cross sectional. Data primer diperoleh dari kunjungan rumah untuk mengamati kemampuan ADL personal yang dicatat dengan kuesioner. Kemampuan ADL personal dinilai menggunakan Indeks Barthel. Data tersebut dibandingkan dengan data sekunder dari catatan rekam mediknya 624 bulan yang lalu. Hasil penelitian menyebutkan terdapat 39 orang yang dapat dijadikan responden. Distribusi responden yang tidak mau mandiri dalam melakukan aktivitas sebagai berikut: mandi sebanyak 28 orang (71,7%), berpakaian sebanyak 27 orang (69,2%), dan makan sebanyak 32 orang (82%). Sedangkan distribusi responden yang tidak mampu melalukan aktivitas adalah sebagai berikut: mandi sebanyak 8 orang (20,6%), berpakaian sebanyak 9 orang (23,1%), dan makan sebanyak 4 orang (10,3%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien stroke sangat tergantung dalam melakukan ADL.