BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Santrock (2002) menjelaskan bahwa masa dewasa awal (usia 20an-30an) adalah masa pembentukan karir dan memilih pasangan hidup untuk kawin. Santrock (2002) juga mendefinisikan bahwa pada masa dewasa awal, individu yang mampu membangun hubungan yang intim dengan orang lain adalah individu yang bebas dari isolasi. Individu cenderung tertarik pada seseorang yang menunjukkan sikap dan nilai yang sama dalam membangun hubungan intim (Compton, 2005). Konsep ini dikenal dengan istilah konsensual validasi (Santrock, 2002), atau pemilihan pasangan (Bjorklund & Bee, 2009), atau perkawinan asortatif (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Rybash, Roodin, dan Santrock (1991) menjelaskan bahwa apabila dua individu menemukan bahwa mereka memiliki nilai-nilai yang sama, mulai dari sikap-sikap terhadap kehidupan, gagasan tentang peran lakilaki dan perempuan, keyakinan politik dan agama, bahkan sikap terhadap seks dan perkawinan, maka ada kemungkinan hubungan ini akan berkembang. Selain itu, pasangan yang bahagia cenderung memiliki sikap dan nilai yang sama (Compton, 2005). Hubungan yang intim dalam masa dewasa awal merupakan suatu kebutuhan akan cinta yang tidak hanya secara seksual, tetapi juga diikuti komitmen untuk setia memelihara hubungan tersebut (Horst, 1995; Tate & Parker, 2007). Sebagian besar hubungan yang penting dalam kehidupan didasari oleh cinta (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Cinta adalah aspek yang sangat penting
1
2
dan berarti bagi manusia dalam kehidupan karena merupakan suatu manifestasi dari kebutuhan dasar manusia, yaitu keterhubungan dan kelekatan (keintiman) yang menghendaki orang-orang memiliki hubungan pribadi yang tahan lama dan positif dengan melibatkan afeksi emosi yang besar, serta mencintai dan dicintai seseorang (Hendrick & Hendrick, 2009). Sternberg (1997) menjelaskan tentang cinta sempurna (consummate love). Cinta sempurna ini meliputi keintiman, gairah, dan komitmen. Keintiman adalah perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan, keterhubungan, keterikatan dan berbagi dalam hubungan. Gairah adalah daya tarik fisik dan seksual pada pasangan. Gairah juga termasuk suatu keadaan rindu yang terus-menerus untuk bersatu dengan orang yang dicintainya (Hatfield & Walster, dalam Sternberg, 1997). Seseorang mungkin bahkan merasa tersakiti secara fisik apabila tidak dapat bersama dengan yang dicintainya (cinta eros). Komitmen adalah penilaian kognitif atas hubungan dan niat untuk mempertahankan hubungan bahkan ketika menghadapi masalah (Santrock, 2002; Compton, 2005). Sternberg (1997) menyebut cinta yang hanya dibangun atas dasar gairah saja dengan istilah cinta berahi (infatuation), cinta yang hanya dibangun atas dasar keintiman disebut menyukai (liking), cinta yang hanya dibangun atas dasar komitmen saja disebut cinta kosong (empty love), cinta yang dibentuk antara keintiman dan komitmen disebut cinta persahabatan (affection love atau companionate), cinta yang dibangun antara gairah dan komitmen disebut cinta konyol (fatuous love), cinta yang dibangun antara gairah dan keintiman disebut cinta romantis (romantic love), sedangkan cinta yang dibangun dari gairah, keintiman dan komitmen adalah cinta sempurna (Sternberg, 1997; Santrock, 2002; Compton, 2005; Hendrick & Hendrick, 2009).
3
Orang muda (dewasa awal) dalam membangun hubungan dengan teman sebaya dan pasangan mencari keintiman emosi dan fisik secara timbal balik— resiprokal (Papalia, Olds, & Feldman, 2004; Harvey, 2009). Hubungan ini menghendaki sejumlah keterampilan seperti kesadaran diri (self-awareness), empati, kemampuan menyampaikan emosi, pengambilan keputusan tentang seksualitas, resolusi konflik, dan kemampuan mempertahankan komitmen. Keintiman, keterampilan menyelesaikan masalah yang baik, kematangan, dan harga diri yang sehat merupakan modal bagi kaum laki-laki dan wanita dalam memasuki perkawinan (Bjorklund & Bee, 2009). Banyak orang dewasa menginginkan hubungan mereka berakhir pada perkawinan
(Cavanaugh
&
Blanchard-Fields,
2006).
Strachman
(2009)
mengungkapkan bahwa cinta adalah sebuah komponen yang dipertimbangkan oleh laki-laki dan perempuan untuk kawin. Sheela dan Audinarayana (2003) menyatakan bahwa perkawinan dimulai sesudah pubertas yang menandakan bahwa seseorang secara biologis dan psikis telah matang. Perkawinan adalah manifestasi dari keintiman dan hubungan seksual diadik—dua orang—di mana komitmen sebagai perekat hubungan ini. Dalam perkawinan, close adult personal relationship
atau
close
personal
relationship
telah
berubah
menjadi
intergenerational relationship, yaitu hubungan pasangan (suami-istri) yang telah melibatkan tanggung-jawab untuk mengasuh anak-anak (Cere, 2005). Perkawinan heteroseksual merupakan salah satu implementasi dalam ajaran agama Protestan. Dalam Alkitab diungkapkan bahwa Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki untuk menjadi penolong bagi laki-laki, karena tidak baik jika laki-laki seorang diri saja (Kejadian 2:18-22). Laki-laki dan
4
perempuan yang telah dipersatukan Allah dalam perkawinan telah menjadi satu daging dan tidak boleh dipisahkan oleh manusia (Matius 19:5-6; Markus 10:7-9). Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membuat perkawinan bertahan meliputi: 1) kematangan pasangan (laki-laki dan perempuan) saat kawin; 2) kesamaan nilai, tujuan, sikap, status sosioekonomi, latar belakang suku, dan keyakinan agama; 3) perasaan bahwa hubungan adalah seimbang atau sama (adanya timbal-balik dari pasangan atau saling melengkapi); 4) belajar menangani perubahan pasangan selama masa dewasa adalah rahasia dari perkawinan yang bahagia dan bertahan. Referensi untuk menemukan belahan jiwa seseorang atau untuk hidup bahagia selamanya ada di mana-mana dalam budaya kita (Compton, 2005), termasuk bagi laki-laki yang berprofesi pelaut. Pelaut adalah orang yang pekerjaannya berlayar di laut (Sugono dkk, 2008) untuk mengemudikan kapal atau membantu dalam operasi, perawatan atau pelayanan di kapal. Berdasarkan
konsep
tugas
perkembangan
masa
dewasa
awal
dan
konsensual validasi, pelaut yang menemukan kesamaan nilai dan prinsip pada seorang perempuan cenderung membangun hubungan yang intim bersama. Apabila kecenderungan ini diungkapkan, diterima dan berlanjut, maka akan mengembangkan cinta yang melandasi hubungan romantis jarak-jauh bahkan perkawinan jarak-jauh (long-distance marriage) karena pekerjaan suami sebagai pelaut sehingga baik suami ataupun istri tidak tinggal bersama setiap hari tetapi dibatasi jarak geografis yang mengurangi komunikasi non-verbal (kontak fisik) keduanya. Scott (2002) menyatakan bahwa kesempatan dan tuntutan pekerjaan telah membuat pasangan menjalani perkawinan jarak-jauh.
5
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat jumlah pelaut perikanan sebanyak 2.237.640 orang pada tahun 2011, sedangkan pelaut kapal niaga berjumlah 338.224 orang (Malau, 2012). Angka ini dinilai kurang oleh Menteri Perhubungan,
E.
E.
Mangindaan.
Mangindaan
(dalam
Taufiq,
2012)
mengungkapkan bahwa jumlah lulusan pelaut (1.500) dan kebutuhan tenaga kerja pelaut Indonesia (7000 pelaut baru) untuk bekerja di sektor pelayaran jasa dan perdagangan adalah tidak seimbang. Kebutuhan ini didasarkan pada peningkatan jumlah kapal yang dapat dilihat dari tahun 2005 yang berjumlah 6.041, sedangkan 2012 sudah berjumlah 10.784. Data ini menunjukkan bahwa tidak sedikit individu yang berprofesi sebagai pelaut tetapi juga mempunyai tugas perkembangan untuk mencari pasangan hidup dan bahkan membentuk keluarga. Berdasarkan hasil wawancara awal (Asrini, komunikasi pribadi, November 8, 2012; Riyanti, komunikasi pribadi, Februari 7, 2012) pada beberapa perempuan yang menjalin hubungan romantis dengan seorang pelaut di sektor niaga, digambarkan bahwa pasangan mereka berlayar dalam kurun waktu 6 sampai 8 bulan atau bahkan lebih tanpa kepastian tanggal akan turun kapal. Rute pelayarannya pun bervariasi, mulai perairan Indonesia sampai di luar perairan Indonesia. Kondisi ini membuat akses komunikasi terganggu. Ketika kapal berada di perairan Indonesia, para pelaut dapat memberi kabar orang-orang yang dicintainya dengan menggunakan telepon, namun jika tidak (tidak ada jaringan/signal) maka komunikasi dilakukan dengan menggunakan email (lazimnya) via satelit tapi kerahasiaan isi email tersebut tidak terjamin karena email yang masuk di kapal diperiksa oleh kapten. Berikut kutipan hasil wawancara dengan seorang pelaut.
6
“…klo kirim via email ke kapal tidak sperti yahoo. di kapal pny sistem email sendiri. kalo di kapal aq, pake amos mail. klo km kirim ke kapal, captain lah org pertama yg menerima email dr manapun itu. Stelah itu captain forward ke smua crew yg bersangkutan. Pada intinya email yg keluar masuk kapal itu sangat strict. Jd gak bisa sembarangan. Klo email di kapal via satellite. Jadi kalo kirim email smua yg masuk pasti captain tau. Bahkan dicek isi dari emailnya. Jadi gak punya privacy…” (Casa, komunikasi pribadi, Februari 25, 2013).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan jarak-jauh pada keluarga pelaut penuh dengan tantangan. Kehidupan suami-istri terpisah sementara dalam jangka waktu berbulan-bulan, suami bekerja jauh dari istri dan anak-anak, istri mengurus rumah dan anak-anak sendiri, interaksi langsung suami-istri terbatas, kerahasiaan isi komunikasi melalui email tidak terjamin, bahkan adanya hambatan aksesibilitas telekomunikasi (untuk kapal yang tidak dilengkapi telepon satelit atau WiFi) saat kapal berlayar di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh sinyal jaringan telepon. Oleh sebab itu, Gomillion (2009) menyimpulkan bahwa individu yang telah lama terpisah butuh kontak intim yang lebih (misalnya bertemu atau telepon) dalam rangka mempertahankan komitmen mereka. Berdasarkan
hasil
penelitian-penelitian
sebelumnya,
Gong
(2007)
menyimpulkan bahwa alokasi waktu dan energi untuk pekerjaan dan keluarga berdampak terhadap hubungan perkawinan. Waktu yang dihabiskan pada pekerjaan dan jauh dari rumah menurunkan waktu untuk istri dan energi dalam keluarga dan meninggalkan banyak urusan rumah tangga yang tidak selesai, yang menghasilkan konflik dan stres dalam perkawinan. Secara fisik terpisah dipercaya dapat menjadi stresor, menurunkan kepuasan, dan mengancam stabilitas hubungan interpersonal (Cameron & Ross, 2007). Cinta akan tertantang dengan komitmen dan tanggung-jawab pekerjaan dan kelahiran anak.
7
Hal ini merupakan stresor yang membawa beban bagi pasangan baru. Kekurangan dan ketidakmampuan mendapatkan waktu yang berkualitas antara suami dan istri dapat mengancam cinta dalam perkawinan (Hoesni, Hashim, & Ab Rahman, 2012). Hanzal (2008) juga mengungkapkan bahwa pasangan yang menghadapi stresor dalam pekerjaan dan keluarga, cenderung kurang puas, kurang berkomitmen, dan lebih cenderung untuk bercerai. Acevedo dan Aron (2009) juga mengungkapkan sebuah keyakinan bahwa semakin lama cinta romantis semakin memudar sehingga dapat merusak hubungan. Namun, hal yang menarik adalah hubungan perkawinan istri—dengan segala tanggung-jawab sebagai ibu rumah tangga—dan suami yang berprofesi pelaut dapat bertahan sekalipun tercipta jarak yang membatasi keduanya karena suami sering meninggalkan istri (dan bahkan anak-anak) dalam jangka waktu berbulan-bulan karena tuntutan pekerjaan di laut. Jika fenomena ini dilihat dari perspektif perkembangan masa hidup, maka baik perempuan maupun laki-laki yang berada pada masa dewasa awal memang sudah memiliki ketertarikan dengan lawan jenis untuk membangun hubungan intim serta mempertahankan hubungan tersebut. Hal ini adalah normal. Di sisi lain, jika fenomena ini dilihat dari perspektif cinta sempurna Sternberg (1997, 2004), maka pertanyaan yang muncul menyangkut makna perkawinan jarak-jauh pada pasangan pelaut, yaitu antara stabilitas hubungan dengan kurangnya komunikasi non-verbal (fisik) selama suami berlayar yang mengancam cinta— gairah, keintiman, dan komitmen—pasangan suami-istri.
8
B. Pertanyaan Penelitian Kehidupan suami-istri dalam perkawinan jarak-jauh karena suami berprofesi sebagai pelaut merupakan pilihan yang sulit untuk dijalani oleh suami-istri. Kehidupan rumah tangga ini berbeda dengan kehidupan rumah tangga pada umumnya karena suami-istri menjalani siklus perpisahan-bersatu kembali dalam jangka waktu tertentu. Hidup terpisah, tugas dan tanggung-jawab istri di rumah bertambah ketika suami tidak ada merupakan hal-hal yang harus diterima oleh suami-istri ketika mereka menjalani perkawinan jarak-jauh ini. Suami-istri yang menjalani perkawinan jarak-jauh ini cenderung memiliki interaksi yang kurang sehingga mengancam keintiman bersama istri dan anakanak, serta adanya kesulitan dalam menyalurkan gairah seksual kepada pasangan. Keintiman dan gairah merupakan dua elemen lain yang secara bersama-sama dengan komitmen membentuk cinta sempurna dalam sebuah hubungan (Sternberg, 1997). Kekurangan dan ketidakmampuan mendapatkan waktu yang berkualitas antara suami dan istri dapat mengancam hubungan cinta perkawinan (Hoesni dkk, 2012), serta mengancam stabilitas hubungan interpersonal (Cameron & Ross, 2007). Ditambah lagi dengan adanya keyakinan bahwa semakin lama, cinta romantis semakin memudar sehingga dapat merusak hubungan (Acevedo, & Aron, 2009). Walaupun demikian, ada pasangan pelaut yang telah sukses dalam memelihara kestabilan perkawinan jarak-jauh mereka. Oleh sebab itu, penelitian ini hendak menjawab pertanyaan berikut. 1. Apa makna kestabilan perkawinan jarak-jauh bagi pasangan pelaut?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna kestabilan perkawinan jarakjauh pada pasangan pelaut. Selanjutnya, peneliti berharap penelitian dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan psikologi klinis dan psikologi positif terhadap fenomena kestabilan perkawinan jarak-jauh pada pasangan pelaut yang masih jarang diteliti. Pemahaman makna fenomena ini merupakan usaha preventif dalam pengembangan psikologi klinis terhadap kelemahan manusia sekaligus sebagai pengembangan psikologi positif untuk mempelajari
kekuatan
dan
kebajikan
manusia—pasangan
pelaut—yang
membuat perkawinan jarak-jauh mereka stabil serta memeliharanya agar hidup manusia lebih memuaskan. Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi pasangan pelaut yang dalam mengembangkan hal-hal yang dapat membuat perkawinan jarak-jauh stabil. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi rujukan bagi masyarakat (misalnya, keluarga, pemegang kebijakan) agar memperhatikan faktor-faktor di luar kendali pasangan yang dapat mempengaruhi kestabilan perkawinan jarakjauh. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan penelitian selanjutnya.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Secara umum, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Arditti & Kaufmann, 2004; Acevedo & Aron, 2009; Rini, 2009; Ahmetoglu, Swami, & Chamorro-Premuzic, 2010; Ng & Cheng, 2010; Hoesni dkk, 2012). Penelitian ini hendak mengungkap makna dan dinamika perkawinan jarak-jauh
10
khusus pada keluarga dengan suami yang berprofesi sebagai pelaut. Perbedaan yang muncul dengan penelitian-penelitian sebelumnya tampak jelas pada metode penelitian, termasuk di dalamnya variasi karakteristik partisipan dan lokasi penelitian. Arditti dan Kaufmann (2004) melakukan penelitian berjudul Staying Close When Apart: Intimacy and Meaning in Long-Distance Dating Relationship. Penelitian ini hanya melibatkan 10 mahasiswa (usia 23-35) yang sementara menjalin hubungan jarak-jauh—setidaknya telah menjalin hubungan/kencan 6 bulan sebelum wawancara. Sedikitnya jumlah partisipan terkait dengan metode penelitian yang digunakan, yaitu kualitatif. Hasil interpretasi data hasil in-depth dan
open-ended
interview
adalah
hubungan
jarak-jauh
penting
untuk
mengembangkan rasa saling tergantung dan motivasi, dan komitmen dalam hubungan dan pekerjaan/pendidikan, serta toleransi ambiguitas, yaitu toleransi terhadap ketidakhadiran sosok yang dicintai, namun cinta dari sosok yang dicintai itu selalu hadir. Jadi, hubungan jarak-jauh yang tetap kokoh tergantung pada kepribadian individu dan kualitas-kualitas perkembangan (seperti toleransi ambiguitas), pemahaman bahwa perpisahan geografis itu juga dibutuhkan dan kepercayaan sebagai aspek yang hakiki dalam kepuasan hubungan jarak-jauh, yang juga merupakan prasyarat dan hasil dari komitmen, serta ketergantungan melalui pemeliharaan hubungan dan persahabatan yang kuat dan teknologi (telepon dan email). Hal inilah yang membuat mereka tetap setia pada pasangan. Teknik kreatif praktis dalam menjaga komitmen dan hubungan semacam ini adalah dengan komunikasi setiap hari. Kekuatan hubungan terletak pada filosofi seseorang tentang idealisasi suatu hubungan, yaitu mekanisme pertahanan
11
emosi yang mendorong pasangan untuk melanjutkan hubungan dan mengejar pendidikan dan pekerjaan. Penelitian meta-analisis dari Acevedo dan Aron (2009) dengan judul Does a Long-Term Relationship Kill Romantic Love? dari 25 penelitian terkait dengan partisipan berupa pasangan (18-23 tahun) yang telah bertunangan atau hidup bersama kurang dari empat tahun, dan pasangan paruh baya yang telah kawin selama 10 tahun atau lebih. Hasil meta-analisis ini mengungkap bahwa panjangpendeknya suatu hubungan berkaitan dengan kepuasan dalam hubungan. Hubungan antara cinta romantis (tanpa obsesi) dan kepuasan dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang merupakan sesuatu yang penting dalam tahap pembentukan dan pemeliharaan hubungan. Hubungan romantis jangka panjang dapat dipertahankan apabila ada intensitas, ketertarikan seksual, keterlibatan, dan tanpa obsesi. Hal ini berkorelasi positif dengan kepuasan perkawinan. Penelitian tentang perkawinan jarak-jauh sudah pernah dilakukan Rini (2009) di Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang berjudul Religiusitas dan Kualitas Komunikasi dengan Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri yang Tinggal Terpisah ini melibatkan 152 pasangan suami-istri yang terdiri dari 76 orang wanita (istri) dan 76 orang pria (suami). Mereka diperoleh menggunakan purposive sampling dengan kriteria 1) pasangan suami istri yang secara geografis tinggal terpisah; 2) status perkawinan merupakan perkawinan pertama; 3) memiliki anak; dan 4) menganut keyakinan atau agama yang sama. Berdasarkan uji statistik diperoleh bahwa religiusitas berkorelasi secara signifikan dengan penyesuaian perkawinan pada suami (r = 0,501; P < 0,01) maupun istri (r = 0,329; P < 0,05). Begitu pula, kualitas komunikasi berkorelasi secara signifikan
12
dengan penyesuaian perkawinan pada suami (r = 0,628; P < 0,01) maupun istri (r = 0,645; P < 0,01). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiusitas dan kualitas
komunikasi
berkorelasi
secara
signifikan
dengan
penyesuaian
perkawinan jarak-jauh. Selain itu, tidak ditemukan perbedaan penyesuaian perkawinan pada suami dan istri jika ditinjau dari jarak antar kota, usia perkawinan, lama berpisah/usia perpisahan, dan frekuensi pertemuan. Ahmetoglu dkk (2010) melakukan penelitian dengan melibatkan 16.030 partisipan yang berjudul The Relationship between Dimensions of Love, Personality, and Relationship Length. Analisis statistik Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan AMOS 5.0 mengungkapkan bahwa usia berkorelasi negatif dengan gairah, dan berkorelasi positif dengan keintiman dan komitmen. Tipe kepribadian agreeableness berkorelasi positif dengan ketiga dimensi cinta, sedangkan tipe kepribadian conscientiousness berkorelasi positif dengan keintiman dan komitmen. Gairah berkorelasi negatif dengan panjang hubungan, sedangkan komitmen berkorelasi positif dengan panjang hubungan. Di samping itu, pasangan yang lebih tua kurang bergairah dan lebih berkomitmen tanpa memperhatikan kepribadiannya; orang yang lebih tua mungkin memiliki relasi yang lebih lama bukan karena perbedaan perilaku antara mereka dan orang yang lebih muda, tapi semata-mata karena mereka telah hidup lebih lama; sifat-sifat kepribadian tidak mempengaruhi panjangnya hubungan jika dikaitkan dengan tiga dimensi cinta Sternberg. Ng dan Cheng (2010) melakukan penelitian yang berjudul The Effect of Intimacy, Passion, and Commitment on Satisfaction in Romantic Relationships among Hong-Kong Chinese People. Seperti judulnya, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh dari tiga komponen cinta dalam Triangular Theory
13
terhadap kepuasan hubungan romantis sejumlah orang Cina di Hong-Kong. Partisipan berjumlah 263 orang Cina (108 laki-laki, 155 perempuan) dari Hong Kong yang terlibat dalam hubungan romantis dengan lawan jenis. Karakteristik partisipan ini terdiri dari: 1) 34 orang di antaranya yang sudah kawin dan 229 orang sedang dalam hubungan pacaran; 2) Usia partisipan berkisar 17-57 tahun; 3) Panjangnya hubungan mereka berkisar kurang dari satu bulan sampai 396 bulan; 4) Rata-rata partisipan pernah terlibat lebih dari tiga hubungan romantis. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepuasan hubungan dipengaruhi oleh keintiman dan komitmen, tapi gairah tidak mempengaruhi kepuasan hubungan sesudah pengaruh keintiman dan komitmen di keluarkan secara parsial. Selain itu, komitmen secara parsial memediasi pengaruh keintiman terhadap kepuasan hubungan dan secara penuh memediasi pengaruh gairah terhadap kepuasan hubungan. Penelitian tentang makna cinta dalam perkawinan juga sudah pernah dilakukan oleh Hoesni dkk (2012). Penelitian ini berjudul A Preliminary Study: What is Love in a Marriage? Hasil analisis statistik data dari 245 partisipan (114 laki-laki, 131 perempuan; usia 17-47 tahun) yang mengikuti program wajib pranikah
menunjukkan
bahwa
elemen
yang
paling
menyenangkan dalam
perkawinan berasal dari komitmen dan keintiman. Kekhasan dalam penelitian ini adalah partisipan memiliki hubungan yang kuat dengan Tuhan dalam cinta dalam perkawinan.