1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Persoalan budaya dan karakter bangsa Indonesia kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undangundang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat (Kemendiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010:1). Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi
penyebab
berbagai
masalah
budaya
dan
karakter
bangsa
(Kemendiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010:1). Pendidikan nasional yang diselenggarakan sampai sekarang ini terlihat belum menjamin perwujudan ide mengenai keseimbangan imtak dan iptek serta
1
2
prinsip-prinsip akhlak mulia dalam praktik. Pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia selama ini belum berhasil membantu agar manusia Indonesia dan bangsa kita menjadi cerdas dalam pengertian manusia Indonesia itu haruslah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hendak dicapai oleh dan dari setiap kegiatan pendidikan dapat didampingi secara seimbang oleh penghayatan, pemahaman, dan pengamalan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang secara konkrit tercermin dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan kita masih terlalu bersifat kognitif dengan orientasi konten yang dari waktu ke waktu terus menerus dibebani titipan oleh aneka kepentingan dari sekeliling. Dalam kenyataan, taksonomi Bloom yang menggambarkan adanya tiga elemen pokok dalam pendidikan, yaitu aspek-aspek affective, cognitive, dan psychomotoric tidaklah berkembang secara seimbang antara satu dengan yang lain. Pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk melakukan menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik. Pendidikan di Indonesia sampai sekarang masih terus berorientasi kepada ‘konten’ pengetahuan. Memang benar kebijakan kurikulum kita sudah sejak lama diubah dari orientasi konken (content-base curriculum) ke kompetensi (competence-base curriculum). Namun dalam praktik orientasi konten atau orientasi kepada materi muatan pengetahuan, terus saja dipraktikkan. Bahkan, setiap muncul kritik akan kinerja pendidikan, selalu muncul tawaran yang dianggap solusi yang baik, yaitu penambahan jam pelajaran atau penambahan mata pelajaran yang dinilai sangat penting. Padahal, pengetahuan dan ilmu
3
pengetahuan dewasa ini terus berkembang sifatnya akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dipraktikkan secara luas. Informasi pengetahuan mengalami proses globalisasi yang cepat dan memudahkan bagi siapa saja untuk menguasainya. Karena itu, pola-pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi penguasaan konten atau materi ilmu pengetahuan haruslah mengalami perubahan secara mendasar. Guru cukup berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing teknis cara mencari dan memahami informasi pengetahuan itu melalui sarana teknologi komunikasi dan informasi modern. Peran guru di masa mendatang tentang keteladanan dan kepemimpinannya sangat diharapkan dalam membawakan suasana belajar di kelas dan di luar kelas yang tidak berorientasi konten. Guru harus menjadi teladan, membimbing, dan mengarahkan tuntunan sikap dan akhlak mulia untuk membentuk kepribadian dan watak atau karakter, sekaligus kemampuan-kemampuan teknis bagi para peserta didik. Karena itu, orientasi pendidikan kita haruslah mengutamakan aspek-aspek afektif dan psikomotorik, dan bukan kognitif yang dapat dicari sendiri oleh para peserta didik. Sikap, karakter dan motivasi yang kuat disertai kemampuan teknis untuk mencari, menemukan, mengumpulkan, memahami, dan menguasai ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup, bekerja, dan untuk bertindak dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi dan kualitas hidup bersama dalam masyarakat dan bangsa harus ditanamkan kepada siswa. Proses pembentukan watak atau karakter dan peningkatan kemampuankemampuan bertindak atau beraksi menurut Jimli Assiddiqie (2012:3), tentu saja diperlukan penguasaan banyak informasi pengetahuan. Namun, selain informasi pengetahuan, yang jauh lebih penting lagi adalah pengaruh keteladanan dan hasil
4
tempaan pengalaman praktik. Oleh sebab itu, pendidikan karakter haruslah berorientasi pada pengalaman praktik, pada proses kegiatan, bukan pada output atau hasil pada nilai ujian, pada ‘ranking’ prestasi akademis, dan sebagainya. Pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh keteladanan yang ada di lingkungan belajar, dan pengalaman praktik dan pengalaman bekerja yang dialami langsung oleh para peserta didik. Untuk itu, perlu dipikirkan kemungkinan mengubah format pendidikan agama, misalnya, tidak lagi berorientasi konten dan output yang diukur dengan jumlah jam pelajaran dan dengan hasil ujian. Pendidikan agama lebih baik dilakukan melalui praktik kegiatan untuk sholat berjamaah misalnya, untuk berperilaku mulia dalam bertutur kata dan dalam bersikap terhadap guru, terhadap teman, terhadap tetangga, dan sebagainya. Proses belajar mengajar yang diterapkan di sekolah dan di perguruan tinggi dewasa ini sudah semestinya dievaluasi dengan sungguh-sungguh. Jangan menjadikan peserta didik hanya pandai berkata-kata tetapi tidak pandai mewujudkan kata-kata itu dalam kenyataan praktik. Revolusi, hanya dapat dilakukan dengan kata-kata yang mengandung aksi, yaitu kata-kata yang praksis, bukan yang verbalis ataupun sekedar aktifistis. Dalam hal ini yang dimaksud adalah revolusi pendidikan. Guru sekali lagi memegang peranan sangat penting sebagai ujung tombak tercapainya keberhasilan pendidikan budaya dan karakter bangsa ini. Berpijak dari kurikulum yang ada saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pengembangan budaya karakter tidak perlu dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam
mata pelajaran,
pengembangan diri dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu
5
mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Pendidikan karakter bangsa selama ini seakan hanya menjadi milik mata pelajaran tertentu, yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Lingkungan Hidup, begitu juga di SMA Negeri 1 Gresik. Umumnya pada mata pelajaran tersebut pendidikan karakter diajarkan sebagai materi pelajaran. Misalnya bagaimana beriman, taqwa, sopan santun, gotong royong, cinta lingkungan dan sebagainya. Sehingga untuk mengukur seorang siswa itu berkarakter atau tidak, sama dengan mata pelajaran-mata pelajaran lain yaitu melalui tes mengerjakan soal-soal tentang materi tersebut. Mata pelajaran Pendidikan Agama bisa saja mendapatkan nilai sangat bagus walaupun di rumah seorang siswa yang beragama Islam tersebut tidak melaksanakan sholat. Penerapan pendidikan karakter seperti tersebut menjadi tidak relevan, apalagi saat
6
ini terlihat karakter bangsa mulai terpuruk sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu penguatan nilai pendidikan budaya dan karakter kepada semua mata pelajaran menjadi penting untuk mewujudkan peserta didik yang lebih berbudaya dan berkarakter sebagaimana yang diharapkan. Mata pelajaran Sains sebagai salah satu mata pelajaran eksakta juga dapat mengembangkan penguatan nilai budaya dan karakter. Seluruh nilai budaya dan karakter bangsa dapat diintegrasikan ke dalam materi pelajaran kimia, fisika dan biologi, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bermaksud menganalisis secara mendalam penguatan nilai budaya dan karakter bangsa pada Mata Pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana nilai budaya dan karakter bangsa diintegrasikan dalam penyusunan Silabus mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik? 2. Bagaimana nilai budaya dan karakter bangsa diintegrasikan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik? 3. Bagaimana penguatan nilai budaya dan karakter bangsa dalam proses pembelajaran mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik? 4. Bagaimana model evaluasi penguatan nilai budaya dan karakter bangsa oleh guru mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik?
7
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menjelaskan penerapan nilai budaya dan karakter bangsa pada penyusunan Silabus mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik. 2. Menjelaskan penerapan nilai budaya dan karakter bangsa pada penyusunan RPP Mata pelajaran sains di SMA Negeri 1 Gresik. 3. Menjelaskan penguatan nilai budaya dan karakter bangsa pada proses pembelajaran mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik. 4. Menjelaskan model evaluasi penguatan nilai budaya dan karakter bangsa oleh guru mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik.
D. Manfaat Penelitian Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Memberi informasi kepada pihak pengambil kebijakan (pemerintah) tentang penguatan nilai budaya dan karakter bangsa pada Mata Pelajaran Sains jenjang SMA. b. Sebagai sumber referensi kepada kepala sekolah SMA tentang penguatan nilai budaya dan karakter bangsa pada Mata Pelajaran Sains. c. Memberi masukan kepada para pendidik / guru SMA dan para peserta didik berkenaan dengan penguatan nilai budaya dan karakter bangsa pada Mata Pelajaran Sains.
8
d. Sebagai sumber referensi kepada para peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan tema sejenis. 2. Manfaat Teoritis a. Memperkuat teori tentang pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai salah satu pilar pelaksanaan pendidikan nasional. b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kebijakan dan pengembangan pendidikan.
E. Pembatasan Masalah Masalah dalam penelitian ini terdiri dari empat macam masalah penguatan nilai budaya karakter bangsa pada mata pelajaran Sains di SMA Negeri 1 Gresik, yaitu penguatan nilai budaya karakter bangsa pada penyusunan silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), proses pembelajaran, dan model evaluasi di SMA Negeri 1 Gresik.