SENI BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA Muhammad Takari
Departemen Adat, Seni, dan Budaya Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia
Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan 2012
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
SENI BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA Muhammad Takari Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya PB MABMI dan Ketua Departemen Etnomusikologi FIB USU
1.
Pendahuluan Sebagai warga negara Indonesia, kita bangga dengan berbagai “keunggulan” bangsa ini. Misalnya kita selepas tiga setengah abad dijajah Belanda, dapat merdeka dengan perjuangan yang panjang. Begitu pula pada masa sekarang ini, kita memiliki jumlah penduduk nomor kelima terbesar di dunia, yaitu lebih dari 240 juta jiwa, dengan segala masalah dan keberhasilan sosiobudaya dan teknologinya. Bahkan kalau di tingkat Asia Tenggara, Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) adalah negara yang terbesar penduduknya yaitu sekitar 240 juta jiwa, dengan wilayah kepualauan yang terluas, dan memiliki peran dan geopolitik yang paling menonjol. 1 Seterusnya bangsa ini juga memiliki prestasi-prestasi internasional, seperti berkali-kali siswa-siswi sekolah menengahnya memenangkan olimpiade fisika dan matematika. Seni budaya di Asia Tenggara pun sebahagian besarnya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kawasan Indonesia juga merupakan induk dari Dunia Melayu bersama Malaysia dan Brunei Darussalam. Peran strategis dapat dimainkan dalam rangka mengintegrasikan umat Melayu di kawasan ini, serta diaspora Melayu di seluruh dunia. Ke masa depan peran ini terus perlu dikembangkan oleh organisasi sosiobudaya atau antar pemerintah di kawasan ini, sambil 1
Di peringkat internasional kita pernah menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika, tahun 1955, yang menghasilkan dasasila Bandung. Prinsipnya melalui konferensi ini bangsa-bangsa Asia dan Afrika ingin bebas dari cengkeraman kolonialisme, yang telah berabad-abad berlangsung. Mereka juga tidak mau ditarik dalam dua polarisasi ideologi dan kekuasaan yaitu liberalisme dan sosialis-komunisme. Muncullah kelompok negaranegara non-blok, yang dampak positifnya terasa sampai sekarang dalam konteks politik internasional. Indonesia juga berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Bahkan merelakan Timor Timur (kini Timor Leste) menjadi negara merdeka, untuk membuktikan kepada dunia kita bukan bangsa penjajah. 1
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
memperbaiki kinerja sosiobudaya dari dalam, yang lazim disebut sebagai inovasi. Namun di tengah-tengah keberhasilan dan kebanggan tersebut, kita juga tidak lupa, ada berbagai faktor yang berasal dari dalam atau dari luar, yang bisa menghambat daya lesat perkembangan segala bidang, bangsa Indonesia dalam konteks Dunia Melayu, Dunia Islam, dan global. Yang dapat kita rasakan adalah “penyakit” korupsi yang tidak mereda. Kemudian pencarian demokrasi cara kita, yang selalu menimbulkan permasalahan. Kita masih mencari-cari format yang tepat bentuk pemerintahan, antara sentralisasi atau desentralisasi, antara unitarianisme atau federalisme, antara pemusatan pemerintahan atau otonomi provinsialis. Begitu juga kita masih “kebingungan” menentukan kebijakan perekonomian. Haruskah kita menjadi negara yang liberal, yang semua keputusan ditentukan oleh mekanisme pasar. Atau kita menjadi negara yang sosialis, yang serba diatur oleh negara, atau gabungan keduanya, atau memiliki ciri khas sendiri, misalnya perekonomian khas Indonesia yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila. Dalam kenyataannya berbagai aset negeri ini “dikuasai” oleh asing, menyebabkan kita sebagai tuan rumah menjadi asing di negeri sendiri. Namun demikian, sebagai warga Indonesia yang mencintai negeri ini, kita pun tidak boleh apatis dan serba menyalahkan pemimpin atau orang lain, yang kita pandang tidak betul dan bijaksana. Masih ada Tuhan yang selalu beserta kita. Rintisan-rintisan menuju ke masa depan yang lebih baik, tidak pernah berhenti kita lakukan. Kita pun percaya ada campur tangan Tuhan dalam memelihara negeri ini dari perbuatanperbuatan insan yang tidak bertanggung jawab. Ikhtiar perlu terus kita lakukan untuk menjadikan bangsa ini menjadi unggul dan bermartabat, dengan tetap menjunjung konsistensi integrasi sebagai makhluk, baik secara internal dan eksternal. Di antaranya adalah melalui pembentukan karakter yang didukung oleh identitas atau jatidiri, yang mengakar pada kebudayaan kita. Kebudayaan yang salah satu unsurnya adalah seni, merupakan dasar kita dalam membentuk karakter yang kuat. Sebelum kita merdeka, kita belum mempunyai budaya nasional, yang ada barulah budaya etnik. Kemudian selepas kita merdeka pada menjelang paruh kedua abad kedua puluh, barulah kita memiliki seni budaya kebangsaan. Namun demikian gagasan budaya nasional itu sudah mulai diwacanakan oleh para pemikir budaya di dasawarsa 1930-an.
2
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Melalui tulisan ini, penulis akan menguraikan hubungan seni budaya, baik dari lingkup etnik atau nasional dalam rangka mendukung karakter kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk (multikultur). Karaker yang dimaksud adalah karakter positif, seperti karakter religius, nasionalis, menjunjung kebersamaan, musyawarah dan mufakat, dan sejenisnya. Pendekatan yang digunakan adalah melalui multidisiplin ilmu, dan tentu saja pengalaman penulis sebagai seorang ilmuwan di bidang etnomusikologi dan pengkajian media, khususnya untuk seni budaya Melayu. 2.
Muncul dan Berkembangnya Istilah Indonesia Kepulauaan yang ada di Nusantara ini, sejak awal dihuni oleh berbagai kelompok etnik, dengan bahasa dan kebudayaan mereka masing-masing. Sebelum lahirnya negara-negara bangsa, di kawasan ini muncul kerajaan-kerajaan yang besar atau kecil, baik dilihat dari kekuasaan atau wilayahnya. Yang paling besar dan menonjol adalah Kerajaan (Melayu) Sriwijaya dan Kerajaan (Jawa) Majapahit. Setelah Islam datang pun, sistem kerajaan itu terus berlanjut, yaitu pemerintahan dalam sistem kesultanan. Akhirnya masyarakat yang demikian heterogen di Nusantara ini membentuk negara-negara bangsa, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand. Di antara negara-negara rumpun Melayu di atas, yang paling besar jumlah penduduk dan wilayahnya adalah Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang dibentuk berdasarkan realitas keberagaman, baik itu agama, etnik, ras, maupun golongan. Sejak awal, pembentukan Indonesia telah dirintis oleh para pendiri bangsa untuk menjadi sebuah negara yang plural, namun diikat oleh berbagai persamaan. Konsep bhinneka tunggal ika, walau berbeda tetap satu jua, adalah yang dipandang paling sesuai untuk berdirinya negara Indonesia merdeka. Dalam sejarah perjuangan bangsa, umat Islam yang mayoritas, dengan berbesar hati merelakan Piagam Jakarta digantikan dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang setiap umatnya wajib beragama. Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari akar kata Indo yang artinya Hindia dan nesos yang artinya pulaupulau. Jadi Indonesia maksudnya adalah pulau-pulau Hindia (jajahan Belanda). Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, pencipta awal istilah Indonesia adalah James Richardson Logan tahun 1850, ketika ia menerbitkan jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and 3
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Eastern Asia, di Pulau Pinang, Malaya. Jurnal ini terbit dari tahun 1847 sampai 1859. Selain beliau, tercatat juga dalam sejarah, yang menggunakan istilah ini adalah seorang Inggris yang bernama Sir William Edward Maxwell tahun 1897. Ia adalah seorang pakar ilmu hukum, pegawai pamongpraja, dan sekali gus sekretaris jendral Straits Settlements, kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai Emas (Goudkust). Ia memakai istilah Indonesia dalam bukunya dengan sebutan The Islands of Indonesia. Selain itu, ilmuwan yang paling membuat populer istilah Indonesia di kalangan ilmuwan dunia, adalah Prof. Adolf Bastian, seorang pakar etnologi (antropologi) yang ternama. Dalam bukunya yang bertajuk Indonesian Order die Inseln des Malayeschen Archipels (1884-1849), ia menegaskan arti kepulauan ini. Dalam tulisan ini ia menyatakan bahwa kepulauan Indonesia meliputi suatu daerah yang sangat luas--termasuk di dalamnya Madagaskar di Barat, sampai Formosa di Timur. Nusantara adalah pusatnya. Keseluruhan wilayah itu adalah sebagai satu kesatuan wilayah budaya. Pengertian istilah Indonesia ini juga digunakan oleh William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk secretaris Bengkulen. Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan Inggris (1811-1816), Sir Stanford Raffles (1781-1826) dalam bukunya yang bertajuk The History of Java, menyebut juga istilah Indonesia, dengan pengertian yang sama. Kesatuan kepulauan dan lautnya itu disebut dan dijelaskan pula oleh John Crawfurd (1783-1868), seorang pembantu Raffles. Pada awalnya, istilah Indonesia hanya digunakan sebagai istilah ilmu pengetahuan saja. Namun, ketika pergerakan nasional muncul di sini, nama tersebut digunakan secara resmi oleh para pemuda Indonesia untuk mengganti istilah Nederlandsch-Indië. Organisasi yang pertama kali memakai istilah Indonesia adalah Perhimpunan Indonesia, yaitu satu perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda. Di zaman penjajahan Belanda, tokoh-tokoh nasional kita telah mencoba mengganti istilah Nederlandsch-Indië dengan istilah Indonesia. Juga mencoba menukar istilah Inboorling, Inlander dan Inheemsche, dengan Indonesiër. Namun pemerintah Hindia Belanda tetap kukuh dengan pendiriannya, dengan alasan yuridis. Namun setelah Undangundang Dasar Belanda diubah, sejak 20 September 1940, istilah Nederlandsch-Indië diubah menjadi Indonesië.
4
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Selain istilah Indonesia, dikenal pula istilah sejenis yang juga merujuk kepada pengertian Indonesia. Istilah itu adalah Nusantara. Istilah ini awal kali dikemukakan oleh Patih Gadjah Mada, seorang panglima kerajaan Majapahit di abad ke-12, ketika ia mengucapkan sumpah palapa. Istilah Nusantara ini mengandung makna kawasan pulau-pulau yang terletak di antara dua samudera dan dua benua. Berdasarkan sejarah, kawasan Nusantara pernah diperintah oleh dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Secara historis, masyarakat Indonesia mengalami sejarah yang hampir sama. Dimulai dari masa animisme dan dinamisme sampai abad pertama Masehi. Dilanjutkan masa Hindu dan Budha dari abad pertama sampai ketiga belas. Selanjutnya Islam datang secara masif sejak abad ketiga belas, dan kontinuitasnya terjadi sampai sekarang ini. Sementara pengaruh Eropa sudah masuk sejak dasawarsa kedua abad keenam belas. Penjajahan Belanda selama tiga setengah abad dan Jepang selama tiga setengah tahun, menciptakan polarisasi masyarakat Nusantra membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian merdeka tahun 1945. Dalam era kemerdekaan ini, bangsa Indonesia melalui masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, dengan penonjolan paradigmanya masing-masing. Orde Lama dengan ideologinya, Orde Baru dengan ekonominya, dan Era Refomasi dengan demokratisasinya. Kini bangsa Indonesia dihadapkan dengan globalisasi, yaitu proses sosiobudaya dalam tingkatan global, yang memandang manusia berada dalam satu kampung dunia (global village). Dalam keadaan sedemikian rupa, berbagai dampak positif maupun negatif akan datang dan menggerus semua bangsa atau kelompok manusia di dunia. Dalam rangka mengisi dan menghadapi proses globalisasi, serta untuk mengisi kemerdekaan dan pembangunan, diperlukan penguatan karakter bangsa Indonesia, yang heterogen. 3.
Aneka Agama, Budaya, dan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia Karakter bangsa Indonesia sangat didukung oleh eksistensinya yang beragam, dalam konsepsi multikultural. Gagasan tentang multikultural yang dikembangkan di dunia sains sosial, baru muncul di dekade 1970an. Agama dan budaya, dan dalam way of life nasional, yaitu konsep bhinneka tunggal ika, yang ada di Indonesia sendiri sudah sangat mendukung bagaimana menerima, menghargai, menghormati, dan melakukan toleransi kepada orang yang lain dari diri kita, dalam rangka menuju cita-cita bersama dalam sebuah negara bangsa. 5
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Dalam rangka menerima orang lain yang berbeda, baik itu agama, suku, atau ras, masing-masing agama juga telah menganjurkannya. Sebagai contoh, agama Islam mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia di dunia ini terdiri dari laki-laki, perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Untuk saling kenal mengenal sesamanya. Semuanya sama di depan Tuhan. Yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa. Ukuran takwa ini juga Allah langsung yang menilainya, bukan manusia. Konsep menghargai perbedaan manusia ini, dalam ajaran Islam tercermin dalam Al-Qur’an, surat Hujurat ayat 13, seperti berikut.
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Secara teologis dan sosioreligius, Islam tidak memaksa manusia mana pun di muka bumi ini untuk masuk Islam (mualaf). Islam menghargai orang menganut agama atau religi apapun. Bahkan ketika Islam ditawari untuk beribadah di tempat ibadah agama bukan Islam dan mesjid secara bersama-sama dan bergantian, maka muncul ajaran Allah, bahwa dalam ibadah tidak mungkin disatukan atau dicampuradukkan perbedaan teologis dan tata cara ibadahnya antara agama Islam dengan agama lainnya. Ini tercermin dalam Al-Qur’an, surat Al-Kafirun, ayat 6 sebagai berikut.
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Nabi Muhammad sendiri sejak awal telah mendisain masyarakat multikultur melalui Piagam Madina. Dalam konsepnya, Nabi Muhammad
6
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
ingin menciptakan masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, yaitu Islam, Kristen, Yahudi dan lainnya (Majusi dan Musyrikin Arab) dalam sebuah negara, yang diperintah langsung oleh Nabi. Jauh sebelum munculnya Perserikatan Bangsa-bangsa dengan Deklarasi Hak Azasi Manusia, Nabi Muhammad telah mengkonsepkan dan melakukannya. Dalam teologi Kristen pula, penghargaan dan menghormati orang yang berbeda agama juga diajarkan oleh agama ini. Ajaran tentang menghormati perbedaan ini dikonsepkan dalam inkulturasi, yaitu sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani, terutama dalam Gereja Katolik Roma, yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja pada saat diajukan kepada kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran Gereja. Selain agama yang telah berabad-abad mengajarkan multikulturalisme, budaya-budaya yang ada di Nusantara juga mengajarkannya. Sebagai contoh, orang Aceh bukanlah satu entitas monokultur tetapi mereka terdiri dari berbagai suku. Di antara suku-suku yang ada di Aceh adalah: (1) Aceh Rayeuk memiliki wilayah budaya di Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik Alas berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya. Etnik Tamiang secara budaya mempergunakan beberapa unsur kebudayaan yang sama dengan etnik Melayu Sumatera Utara, dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu. Keadaan multikultur ini secara etnik ini, diwujudkan juga dalam kesenian mereka. Katakanlah kesenian saman awalnya ada di Alas dan Gayo, kesenian ula-ula lembing ada di Tamiang. Dalam proses interaksi, akhirnya semua kesenian yang beridentitaskan suku-suku di Aceh ini dipandang sebagai milik bersama. Di Sumatera Utara, hal yang sama juga terjadi. Antara orang yang disebut Batak itu sendiri, bukanlah masyarakat yang homogen. Mereka terdiri dari sub-sub etnik, yang berbeda kebudayaan dan bahasanya. Di antaranya adalah suku Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Mereka memiliki kesenian yang berbeda-beda. Bahkan bahasa pun misalnya antara Karo dengan Batak Toba juga 7
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
berbeda. Namun demikian ada pula persamaan di antara mereka yaitu tiga struktur sosial masyarakat yang dilihat dari keturunan dari pihak ayah (patrialineal) dan hubungan perkawinan. Kesemua suku tersebut mendasarkan pengelompokan manusia berdasarkan tiga komposisi, yaitu yang pertama saudara satu klen dari pihak ayah yang disebut dongan sabutuha di Batak Toba, kahanggi di Mandailing, dengan sibeltek di Pakpak-Dairi Yang kedua adalah pihak pemberi isteri, yang disebut hulahula di Toba, mora di Mandailing, kalimbubu di Karo. Yang ketiga adalah pihak penerima isteri yang disebut anak boru, atau boru. Masyarakat yang disebut Batak ini juga telah secara alamiah menerapkan konsep multikultural. Masyarakat Minangkabau, yang kita anggap homogen pun, sebenarnya memiliki konsep-konsep multikulturalis-menya sendiri. Secara wilayah budaya, orang Minangka-bau terdiri dari tiga kawasan, yaitu darek, pasisie, dan rantau. Darek berada di kawasan Pegunungan Bukit Barisan dengan pusatnya di Parahyangan Padangpanjang. Wilayah pasisie adalah seputar pantai Barat Minangkabau. Yang ketiga adalah wilayah rantau yang terdiri dari kawasan seperti Riau, Deli, Jambi, Bangka-Belitung, sampai Negeri Sembilan Malaysia. Mereka juga mengenal suku-suku yang ditarik dari garis keturunan ibu (matrilineal). Suku-suku itu antara lain: Piliang, Koto, Sikumbang, Bodi, Chaniago, Sijambak, Malayu, dan Mandahiling. Sistem pemerintahan tradisionalnya juga ada dua yaitu sistem katamanggungan dan sistem datuk perpatih nan sabatang. Dalam sejarah pun mereka memiliki hubungan dengan kerajaan di Jawa, yakni dengan dikirimnya Dara Petak dan Dara Jingga, yang mencerminkan sejak awal budaya Minangkabau telah mengakui keberagaman (multikultur) sosiobudaya. Bhinneka tungal ika sendiri adalah konsep kebangsaan Indonesia, yang didasari secara realitasnya Indonesia itu adalah multikultur. Terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan sistem religi yang berbeda. Ras yang menghuni Indonesia juga bermacam-macam. Apalagi kebudayaan etnik atau kebudayaan pendatang muncul di kawasan ini. Bagi bangsa Indonesia, perbedaan itu adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perbedaan adalah mozaik atau zamrud di Khatulistiwa. Perbedaan membuat pribadi bangsa Indonesia semakin dewasa dan matang. Perbedaan yang dapat menimbulkan konflik, semestinya dimanaje-meni menjadi pemicu integrasi dalam perbedaan.
8
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Di sisi lain, selain dari perbedaan-perbedaan yang ada, semestinya setiap warga negara Indonesia juga paham bahwa di antara mereka ada persamaan-persamaan--baik itu agama, ras, atau budaya. Sebagai contoh, Indonesia terdiri dari berbagai agama. Di antara agama-agama yang berbeda ini terdapat berbagai kesamaan. Agama Islam, Katolik, dan Protestan berasal dari induk agama Ibrahim, dengan pusat persebaran awal di Timur Tengah. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan untuk saling menghujat, menghina, atau sampai berperang, meneteskan darah ke bumi pertiwi. Antara Islam, Hindu, dan Budha juga memiliki hubungan genealogis, terutama di awal perkembangan Islam di Jawa. Orang yang beragama Islam saat itu, keluarganya ada yang beragama Budha atau Hindu. Ini pun terus berlanjut sampai sekarang. Islam yang mayoritas menjadi rahmat kepada semua penganut agama sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, persamaan lainnya adalah bahwa bangsa Indonesia ini dalam tataran yang general, terdiri dari ras Melayu Tua, Melayu Muda, dan Melanesia, dan pendatang. Ras ini sebenarnya dapat menjadi unsur pemersatu mereka. Bahwa kawasan kebudayaan (atau bahasa) MelayuPolinesia pada prinsipnya memiliki kesamaan kultural. Sama halnya masyarakat Semit dan Arab di Timur Tengah. Jadi selain multikultur, di dalamnya juga terkandung persamaan kultur, tetapi kita tidaklah menganut monokultur, seperti yang diterapkan dan dianut beberapa negara di dunia ini. Yang penting dipahami adalah bahwa di antara perbedaan ada faktor pemersatu budaya. Di antaanya adalah sumbangan bahasa Melayu kepada bahasa nasional. Demikian juga seni-seni Melayu seperti Serampang Dua Belas, Orkes Melayu, dangdut, kini sudah menjadi identitas kebudayaan nasional Indonesia. Genre sastra seperti syair, talibun, gurindam, ghazal, pantun, dan lain-lainnya sudah menjadi bahan kajian di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, yang berdampak memberikan karakter dan identitas bangsa Indonesia, yang sedang menjalani proses pembentukan kebudayaan nasionalnya. 4.
Gagasan Kebudayaan Nasional Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika
9
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
(yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu). Selengkapnya pasal 32 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****) (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****) Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali yang keempat tersebut di atas, pada pasal (1) memberikan arahan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa Indonesia sadar bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi, namun untuk mempertahankan jatidiri masyarakat diberi kebebasan dan bahkan sangat perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi atau etniknya). Pada pasal (2) pula, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa bahasa daerah (dan juga kesenian atau budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting dari kebudayaan nasional. Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan (bahasa) etnik atau daerah—bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, ran bukan penjumlahan budaya etnik. Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya kita telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini, mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an. Sebahagian tulisan ini merupakan hasil dari Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Juni 1935. Di
10
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa (lihat Koentjaraningrat 1995). Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana yang berasal dari Sumatera, berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikelnya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai muncul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. STA menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia, dan dapat membebaskan diri dari kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan satu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama dalam 4 bidang yaitu teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains (ilmu pengetahuan). Orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya. Sanusi Pane yang juga berasal dari Sumatera, menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur, harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan, dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang sangat berorientasi kepada materi, intelektualisme, dan individualisme. Sanusi Pane tidak begitu setuju dengan STA yang dianggapnya dalam menggagas kebudayaan nasional Indonesia terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan pra-Indonesia. Karana itu berarti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budaya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru. Poerbatjaraka yang berasal dari Jawa, menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus
11
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan praIndonesia. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Soetomo menganjurkan pula agar dasar-dasar sistem pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang ditentang oleh STA. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudayaannya harus memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat. Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, agar fungsional dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat (1995) seorang ilmuwan antropologi kenamaan Indonesia, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut. Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat dipahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan
12
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa. Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia, selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya. Budaya nasional kita yang dapat kita rasakan wujudnya adalah bahasa Indonesia. Kemudian pakaian dalam bentuk peci, batik, jas, kebaya, baju kurung juga menjadi pakaian nasional. Kesenian seperti keroncong, tari Serampang Dua Belas, tari Poco-poco, dangdut, dapat pula kita kategorikan sebagai kesenian nasional Indonesia. Sistem pertanian subak di Bali, budaya kegotongroyongan, sikap peramah, pemaaf, suka mengolah secara kreatif budaya seluruh dunia, adalah beberapa hal yang mendukung kebudayaan nasional. Budaya nasional ini menjadi jatidiri tersendiri bagi bangsa Indonesia. Budaya nasional dibentuk dan didukung terutama oleh budaya etnik atau daerah. Untuk itu diperlukan pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya etnik atau tradisi Indonesia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Agar kita memiliki jatidiri yang kokoh seacara etnik dan nasional maupun transnasional. Caranya ialah seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pagelaran seni pertunjukuan, pameran seni rupa, penayangan budaya etnik dalam media massa seperti televisi, koran, video, internet, dan media-media lainnya. Selain itu, setiap etnik di Indonesia juga jangan hanya mengapresiasi kesenian etniknya sendiri. Mereka harus mampu menjadi pengamat outsider bagi kesenian-kesenian etnik lain. Kesadaran kultural tentang keberanekaragaman adalah anugerah dan kekayaan dari Tuhan dan perlu terus menerus ditumbuhkembangkan, bukan saling menghina dan mengejek. Agama, budaya, dan konsep ketatanegaraan kita juga menganjurkan tentang pentingnya menghargai perbedaan kultural ini.
13
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
5.
Aneka Seni Budaya sebagai Dasar Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat2 yang heterogen dan kompleks. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari aneka-ragam agama, bahasa, kebudayaan, kelompok etnik, ras, dan lainnya tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial lazim dikenali dengan mayarakat multikultural. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap berbagai kebudayaan. Masyarakat multikultural dapat dimaknakan sebagai sekelompok manusia yang hidup menetap di satu tempat, namun memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri. Dari istilah multikultural akhirnya muncul istilah derivatnya yaitu multikulturalisme. Istilah ini dapat diartikan sebagai pandangan tentang realitas keanekaragaman budaya. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition (Azyumardi Azra 2007). Dari wilayah Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai Talaud, terdapat berbagai kesenian tradisi yang hidup menyatu dengan kebudayaan masyarakatnya. Kesenian tradisi ini sangat banyak jenis dan 2
Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmlah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti "kawan.” Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti "ikut serta, berpartisipasi.” Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling bergaul (berinteraksi). Satu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Satu negara modem adalah kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya berinteraksi secara intensif. Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, sebuah masyarakat mempunyai ciri lain, yaitu satu rasa identitas. Mereka merupakan satu kesatuan khusus yang berbeda dengan kesatuan manusia lainnya. Ciri-ciri memang dimiliki oleh penghuni suatu asrama kos atau anggota suatu sekolah, tetapi tidak adanya sistem norma yang menyeluruh serta tidak adanya kesinambungan, menyebabkan penghuni suatu asrama atau murid suatu sekolah tidak disebut masyarakat. Sebaliknya suatu negara, kota, atau desa, merupakan kesatuan manusia yang memiliki ciri-ciri: (a) interaksi antara warga-warganya, (b) adat-istiadat, (c) norma-norma, (d) hukum dan aturan-aturan khas; (e) kontinuitas dalam waktu; dan (f) memiliki rasa identitas yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya satu negara atau desa dapat kita sebut masyarakat. Dari uraian di atas dapat didefinisikan istilah masyarakat dalam konteks antropologi: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1990:146-147).
14
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
genrenya. Di Aceh ditemui genre seni: shaman, rapai Pasai, rapai dabus, rapai lahee, rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola Aceh, meurukon, dan sandiwara Aceh. Pada masa kini berkembang tari kreasi baru, yang berbasis dari tari-tarian tradisional. Di antara contoh tari kreasi baru adalah Tari Ranup Lampuan, Rampoe Aceh, Pemulia Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan lainnya. Istilah seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna pernyataan atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh delapan orang lakilaki dan dua orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan Tari Seudati berada di bawah pimpinan seorang syeh seudati. Musik dalam Tari Seudati hanya berbentuk bunyi yang ditimbulkan oleh hentakan kaki, kritipan tangan, serta tepukan dada para penari, yang diselingi dengan syair lagu dari aneuk syeh. Ini baru sebahagian kecil kesenian Aceh, masih banyak lagi yang lainnya. Sumatera Utara yang terdiri dari delapan kelompok etnik setempat ditambah suku-suku pendatang dari Nusantara dan etnik-etnik dunia, menjadikan kawasan ini kaya akan seni budaya. Di antara seni budaya yang khas berasal dari Sumatera Utara adalah tari tortor dalam kebudayaan Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Repertoar tortor itu di antaranya adalah Tortor Somba-somba, Tortor Nauli Bulung, Tortor Saoan, Tortor Hatasopisik, Tortor Naposo Bulung, dan lainnya. Dalam budaya Karo dikenal pula landek, seni tari tradisional Karo. Contohnya Tari Peseluken, Mulih-mulih, Piso Surit, Guro-giro Aron, dan lainnya. Seni musik tradisional dari kawasan ini di antaranya ensambel gondang sabangunan Batak Toba, gondang hasapi, berbagai lagu (ende), gordang sambilan, gordang tano, gondang aek, gonrang sipitu-pitu, gonrang dua, gendang telu sedalanen, gendang lima sedalanen, sikambang, musik ronggeng Melayu, musik Makyong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Lagu-lagu Melayu Deli yang berasal dari Sumatera Utara juga memberikan identitas yang khas Melayu Sumatera Utara. Lagu seperti Kuala Deli, Seri Langkat, Zapin Deli, Zapin Serdang, menguatkan identitas kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Dari kawasan Mandailing ada musik jeir dan onang-onang. Begitu juga dari Nias ada tarian hombo batu (melompati batu), maena, faluaya, maluaya, dan lain-lainnya. Di Sumatera Barat, wilayah budaya Minangkabau terdapat ensambel musik tradisional talempong, dengan berbagai derivatnya seperti 15
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
talempong unggan, talempong jao, talempong rea, talempong pacik, talempong pentatonik, dan talempong diatonik. Kemudian ada genre musik dan tari gamat, tari piring, tari galombang, randai, dikie, salawaik talam, zapin, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini memperlihatkan betapa kayanya seni budaya di kawasan ini. Selanjutnya di Jawa ada pula tradisi wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang di dalamnya terdapat perpaduan antara seni suara, seni musik (gamelan), dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian sangat disukai masyarakat Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa yang dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkem-bangan selanjutnya juga menampilkan cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita-cerita tersebut pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula pertunjukan kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang menjadi pertunjukan wayang golek, wayang beber, wayang orang (wong), dan sebagainya. Selain itu ada pula reyog Ponorogo yang berasal dari kawasan Ponorogo Jawa Timur. Ditambah lagi dengan teater ludruk. Begitu pula dengan tari-tarian seperti Bedhaya Ketawang, Srimpi, Tari Tayub atau Ronggeng, dan lain-;lainnya. Ensambel gamelan yang sebahagian besar merupakan alat musik yang terbuat dari logam perunggu dengan tangga nada pelog dan slendronya menjadi ciri khas tradisi karawitan atau musik Jawa. Di Kalimantan dijumpai tarian jepen, yaitu tarian zapin yang berasal dari Timur Tengah dan menjadi ciri khas kawasan Kalimantan. Lagu Paris Berantai menjadi ciri khas daerah ini pula, khususnya di wilayah Selatan Kalimantan. Tari-tarian dan musik sapeh dari budaya masyarakat Dayak dengan suku-sukunya seperti Modang, Kenyah, Iban, Muruts, Kadazan, Iban, Melanau, dan lainnya memberikan suasana dan nuansa tersendiri kesenian-kesenian di Pulau Kalimantan.
16
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Sulawesi pula menyumbangkan berbagai kesenian tradisinya seperti ensambel gendangnya, dengan berbagai tarian dan musik. Ada genre musik kecapi, musik gendang tradisi Bugis, suling culalabai, suling buluh. Ada pula Tari Pelangi, Tari Paduppa Bosara, Tari Pattenung, Tari Pajoge, Tari Anak Masari, dan lain-lainnya. Kesemua ini memberikan identitas khas kepada seni budaya di kawasan Sulawesi. Begitu juga di wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia. Keberadaan seni tradisi di seluruh kepulauan di Indonesia ini, merupakan perwujudan alamiah, bahwa secara realitas Indonesia adalah multikultur, tidak monokultur. Seni budaya yang ada ini menjadi modal dasar dalam membina karakter dan jatidiri bangsa kita. Di dalam kesenian terkandung nilai-nilai pendidikan untuk menyemai dan mengambangkan karakter dan jatidiri bangsa kita. Karaker yang kuat akan menghasilkan kepercayaan diri yang kuat dan mandiri, tidak mudah diintervensi oleh siapa pun juga. Berikut ini menurut penulis adalah karakter dan identitas khas bangsa Indonesia yang juga tercermindalam seni budaya 6.
Karakter dan Jatidiri Bangsa dalam Seni Di dalam kesenian terdapat berbagai macam karakter bangsa. Karakter bangsa dalam disiplin antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang terekspresi dalam kebudayaan suatu masyarakat, dan memancarkan ciri-ciri khas ke luar. Sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut (Armando et al., 2008:8). Karakter ini biasanya ditransmisikan melalui pendidikan budaya. Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah untuk mengembangkan potensi kalbu peserta didik sebagai manusia dan warga negara, yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa Indonesia yang religius. Karakter adalah sebuah kualitas individu yang kompleks dan bersifat unik, yang menjadikan sikap maupun perilaku setiap orang saling berbeda. Namun dalam konteks yang lebih luas pasti terwujud latar belakang budaya yang menyebabkan karakkter mereka sama, karena memiliki sistem nilai yang sama. Karakter, sikap, dan perilaku dalam praktiknya muncul bersamaan. Oleh karena itu, pembahasan tentang karakter tidak dapat dipisahkan dengan sikap dan perilaku. Karakter ini akan muncul pada saat seseorang berinteraksi dengan orang lain atau
17
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
makhluk lain cipataan Allah, yang dalam ajaran Islam disebut dengan hablum minannas. Secara psikologis konsep awal karakter ini adalah bersifat perseorangan. Namun selepas itu, apabila menjadi karakter bangsa, maka perlu adanya acuan nilai-nilai karakter, yaitu kebudayaan bangsa (nasional). Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma, dan kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarakat pendukungnya. Dampaknya sebahagian besar anggota masyarakat dalam wilayah budaya ini memiliki kecenderungan yang sama dalam hal mengamalkan sistem nilai, norma, dan kepercayaannya. Bahwa prilaku merupakan resultan dari berbagai aspek pribadi dan lingkungan. Jadi membincangkan karakter bangsa, akan melibatkan diskusi dalam ranah psikologi dan kebudayaan. Karakter bangsa bersifat dinamis. Dapat berubah dalam dimensi waktu yang dilaluinya, walau tidak mudah. Contohnya adalah, dahulu sering dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur (Oriental) yang mempunyai karakter sopan, santun, ramah-tamah, berperasaan halus, tenggang rasa, toleran, dan lainnya yang menggambarkan sebuah sikap atau prilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti kita. Kini sedikit demi sedikit karakter tersebut telah mengalami degradasi, distorsi, dan disorientasi. Pada masa awal kemerdekaan kita, Bung Karno telah memancangkan istilah nation and character building. Maknanya saat itu telah wujud karakter bangsa, yang perlu terus dikembangkan dalam rangka pembangunan bangsa. Jika perlu, karakter sebagai “abdi” harus diubah menjadi egaliter. Pencanangan perlunya membangun karakter atau watak bangsa sebagai bangsa Indonesia baru, sesungguhnya telah direalisasikan. Karakter bangsa yang telah terbentuk ratusan tahun sebagai pengabdi kepada penjajah, kegelapan, takhyul, feodalisme, dan lainnya tidak sesuai lagi dengan polarisasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, bertakwa, beradab, bersatu, bermusyawarah, adil, dan makmur. Kini kita sepakat hendak membangun karakter bangsa. Namun muncul persoalan yaitu karakter bangsa Indonesia itu seperti apa dan di mana? Karakter bangsa berasal dari karakter-karakter etnik di seluruh wilayah Indonesia, yang menjadi bahagian dari identitas nasional. Oleh karena itu, karaker bangsa ini berjalan dan berkembang seiring dengan terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia.
18
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Karaker bangsa ini telah digagas oleh para pendiri negara dan budayawan kita. Karakter tersebut tercermin dalam landasan ideal kita yaitu Pancasila. Dengan menghayati dan mengamalkan Pancasila, sejumlah besar karakter bangsa yang positif maka otomatis terwujud. Kini yang menjadi hambatan dan tantangan adalah Pancasila tidak tertransmisikan ke generasi muda secara baik. Bahkan beberapa tahun belakangan di peringkat perguruan tinggi mata kuliah Pancasila dihapus. Baru dua tahun belakangan dimunculkan kembali. Sama juga dengan sejumlah mata elajaran pada kurikulum pesantren hendak dihapus. Ini jelas adanya campur tangan pihak yang tidak setuju tegaknya karakter bangsa yan berlandaskan Pancasila dan nilai-nilai agama yang dianut. Tantangan lainnya adalah penerapan demokrasi di Indonesia cenderung ke arah anarkis yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur pendiri bangsa. Demokrasi yang serba bebas mengalahkan nurani dan nilai religi. Demokrasi menjadi sarana pemenuhan kehendak individu yang memaksakan kehendak. Tentu bukan karakter seperti ini yang kita inginkan. Berdasarkan akar budaya dan seni universal milik bangsa Indonesia, kita memiliki beberapa karakter positif seperti berikut ini. Bahwa kita berkarakter religius, terekspresikan dalam sikap dan prilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dan toleran terhadap pemeluk agama lain. Bahkan kebudayaan etnik kita pun selalu mengacu kepada ajaran agama, misalnya di Aceh menyatunya adat dan agama dikonsepkan dalam adat bak petumeuruhom, hukom bak syiah kuala. Dalam budaya Melayu dan Minangkabau dikonsepkan adat bersendikan syarak. Dalam Pancasila nilai religius ini juga terdapa dalam sila-silanya. Nilai-nilai religius ini juga terdapat dalam seni di Indonesia, lihat saja contohnya pada seni saman, hadrah, nasyid, kasidah, genjring bonyok, salawaik dulang, dan lain-lainnya. Karakter bangsa Indonesia lainnya adalah berjiwa merdeka, bebas, dan tak mau dijajah. Ini tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Bahwa bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan adalah hak semua bangsa oleh karena itu penjajahan harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dalam kesenian pun karakter ini muncul, dalam bentuk kita harus berjiwa merdeka. Muali dari lagu, pantun, puisi, prosa, dan lainnya mengekspresikan karakter ini. Karakter bangsa kita lainnya adalah cinta kepada tanah air, walaupun apa yang terjadi kita igin selalu menjaga keutuhannya. Wlu terjadi pemberontakan, namun tidak sampai membuat negara baru. 19
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Pemberontaka di daerah sebenarnya adalah sebagai bentuk kritik ketidakdilan pemerintah pusat kepada daerah. Dalam seni pun kita memiliki karakter demikian. Yang paling kuat adalah pada lagu-lagu nasional seperti pada lagu kebangsaan Indonesia Raya, Padamu negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, Dari Sabang Sampai Merauke, dan lainnya. Karakter bangsa Indonesia lainnya adalah jujur, yatu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Kejujuran ini terdapat dalam kearifan lokal di Indonesia. Di lingkungan masyarakat adat kejujuran ini amatlah diutamakan. Karakter bangsa kita lainnya adalah membangun keadilan. Dalam berbagai kebudayaan etnik keadilan ini menjadi inti dari hukum adat mereka. Bahkan walau diperintah raja pun, masyarakat kita tetap menginginkan adanya pembahagian kuasa. Rakyat bisa mengawasi raja. Ini tercermin dalam ajaran politis raja adil raja disembah dan raja lalim raja disanggah. Di dalamnya telah termuat nilai-nilai demokrasi ala Indonesia. Karakter bangsa Indonesia lainnya adalah ingin menegakkan peradaban yang abadi, yang berdasar kepada panduan religi dan konsistensi internal masyarakat. Ini tercantum dalam konsep biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya kesinambungan peradaban lebih utama ketimbang penonjolan hak pribadi. Seterusnya kita memiliki karakter disiplin, yang merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kita juga berkarakter sebagai pekerja keras. Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Selain itu bangsa kita memiliki karakter kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Kita juga memiliki karakter mandiri yang merupakan ikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Selanjutnya bangsa kita juga berkarakter untuk menjdi orang yang berilmu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. Karakter bangsa Indonesia lainnya yang menonjol adalah menjaga keseimbangan alam atau kosmologi. Budaya kita mengenal pembagian alam seperti pada masyarakat Batak yang mengenal trikotomi
20
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
alam (banua datas, banua tengah, dan banua teruh). Adanya kepercayaan dunia ini ada dua yaitu dunia nyata yaitu bumi dan alam semesta dengan dunia makhluk gaib yang perlu dijaga keseimbangannya. Orang rumpun Melayu seperti masyarakat Talang Mamak, Solai, dan Bonai di Riau juga hidupnya bergantung kepada hutan, dan cenderung berladang berpindah-pindah tempat untuk menjaga kelestarian alam. Sayangnya habitat itu kini telah diubah, yang membuat ketidakseimbangan ekosistem. Dalam kesenian misalnya terdapat dalam ensambel gendang telu sidalanen Karo yang digunakan dalam upacara erpangir ku lau, yang merupakan komunikasi dengan alam gaib. Masih bayak karakter positif lainnya yang melekat kepada jatidiri bangsa Indonesia. Dari sema karakter positif tersebut penulis menggeneralisasiannya dengan sebutan bahwa bangsa Indonesia yang berasal dari budaya etniknya, memiliki karakter yang menjaga harmonisasi manusia degan manusia dan makhluk lain, serta manusia dengan Tuhannya. Karakter ini dipancarkan melalui jatidiri atau identitas yang kuat secara humaniora. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia (versi elektronik 2012) jatidiri atau identitas (iden·ti·tas/ idéntitas, noun) dimaknakan sebagai ciri-ciri atau keadaan seseorang. Misalnya dalam kalimat: Identitas pembunuh itu sudah diketahui polisi. Kata turunan lainnya, yaitu beridentitas (verbal), maknanya adalah mempunyai identitas Identitas merujuk kepada kesadaran diri terhadap berbagai kelompok karakteristik yang unik dan kesadaran diri individu dimasukkan dalam kelompok tersebut. Kesadaran diri mungkin dirumuskan dalam bentuk budaya yang komprehensif (identitas etnik), menyangkut pula biogenetik (identitas ras), identitas jenis kelamin atau orientasi seksual, dan gender. Individu dan kelompok manusia ada pula yang sering mengikuti beberapa identitas yang sifatnya tentu saja lentur dan cair. Jatidiri atau identitas bangsa Indonesia dibentuk oleh setiap warga negara Indonesia. Jatidiri sangat diperlukan dalam rangka memperkuat ketahanan sosiokultural masing-masing warga Indonesia. Seperti apa jatidiri yang kita konsepkan dan amalkan? Menurut penulis, jatidiri ini berada dalam empat dimensi dasar. Yang pertama, adalah jatidiri individu atau setiap orang. Jatidiri individu ini adalah ciri-ciri khusus yang membedakan seorang dengan orang lainnya. Jatidiri individual ini merupakan anugerah Tuhan kepada setiap orang. Ia menjadi bahagian dari takdir dirinya, untuk menjadi siapa dan apa dirinya di dunia ini. Jatidiri individu ini dapat pula dibentuk oleh 21
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
lingkungan dan pendidikan di mana individu itu hidup dan berinteraksi sosial. Contoh jatidiri individual adalah sifat-sifat yang dimiliki seseorang. Bisa juga ciri-ciri fisik. Atau juga perilaku dalam pergaulan sosialnya. Dimensi jatidiri yang kedua adalah jatidiri dalam kelompok, bisa jadi keluarga, klen, masyarakat, atau lazim dikenali sebagai identitas kelompok etnik. Jatidiri etnik ini biasanya dilatarbelakangi oleh kebudayaan di mana kelompok itu berkembang. Misalnya jatidiri orang Aceh dibentuk oleh konsep-konsep adat seperti yang termaktub dalam adat bak petomeuruhom, hukom bak syiah kuala. Orang Minangkabau jatidiri etniknya didasari oleh konsep adat basandikan syarak—syarak basandikan kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Etnik Batak Toba mengenal konsep 3h yaitu: hagabeon, hamoraon, dan hasangapon, sebagai jatidiri mereka. Konsep ini mengarahkan setiap warga Batak Toba dalam hidup di dunia untuk mencari kedudukan, pangkat, harta, agar terhormat dan dihormati orang. Dalam konteks sosial juga, jatidiri etnik ini bisa terwujud. Misalnya dalam masyarakat Karo, terdapat organisasi sosial yang khas bersifat etnik Karo yaitu persatuan merga silima. Persatuan ini merupakan wadah silaturahmi etnik Karo, baik di wilayah budaya Karo atau di perantauan, seperti Medan, Riau, Jakarta, dan lainnya. Begitu juga dengan organisasi sirombuk-rombuk, yang mewadahi aspirasi dan keinginan persatuan etnik Mandaling dan Angkola. Gereja-gereja di Sumatera Utara juga ada yang mendasarkan kepada kelompok etnik tertentu. Misalnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang berdasar kepada budaya etnik Batak Toba. Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang berdasar kepada budaya etnik Simalungun. Selain dari tataran konseptual dan sosial, jatidiri etnik ini bisa pula berwujud dalam bentuk fisik atau material. Orang Minangkabau memiliki jatidiri rumah adatnya dalam bentuk bagonjong, serta makanan khas Minangkabau seperti randang, nasi kapau, gulai cubadak, karupuak jangek, sanjai, dan lainnya. Orang Melayu Deli memiliki bentuk arsitektur seperti Mesjid Raya Al-Manshon yang merupakan paduan antara arsitektur Melayu, India, Persia, dan Eropa. Begitu juga makanan khas Melayu Deli seperti kue karas-karas, kari kambing, roti jala, dodol Melayu, lemang Tebingtinggi, dan lain-lainnya. Dalam bentuk pakaian Melayu misalnya penggunaan songket, destar, teluk belanga, seluar, dan
22
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
lain-lainnya. Semuanya itu memberikan jatidiri etnik yang membedakan setiap etnik di dunia ini. Jatidiri etnik ini juga selalu dihubungkaitkan dengan budaya tradisi. Budaya tradisi ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah digunakan oleh sekelompok masyarakat tertentu, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan telah dianggap menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Budaya tradisi ini mencakup semua unsur kebudayaan, termasuk religi, bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, pendidikan, dan kesenian. Dimensi jatidiri yang ketiga adalah identitas nasional. Jatidiri kebangsaan menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini. Jatidiri bangsa, terbentuk ketika satu atau beberapa kelompok etnik membentuk secara bersama sebuah negara bangsa (nation state). Unsur jatidiri budaya nasional ini, mungkin diambil dari nilai-nillai budaya tradisi yang membentuk negara bangsa tadi, namun dengan berbagai persyaratan, seperti bisa diterima dan menjadi kebanggaan dari mayoritas warga negara bangsa berkenaan. Dimensi jatidiri yang keempat adalah jatidiri yang berskala internasional. Jatidiri ini terwujud karena proses pengadunan (akulturatif) dengan berbagai budaya dunia. Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia telah melakukan kontak budaya dengan berbagai bangsa di dunia. Misalnya dengan Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris, China, India, Arab, Persia, dan lain-lainnya. Unsur kebudayaan asing yang kemudian diolah atau diadun dengan cara Indonesia juga memberikan jatidiri mereka secara khas. Sebagai contoh, penyerapan ilmu pengetahuan dunia menjadi pengetahuan bangsa Indonesia, dan kemudian penemuanpenemuannya, seperti teori aerodinamikanya Habibie, disumbangkan kepada dunia internasional. Bahasa-bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Korea, Perancis, Arab, dan lain-lainnya yang diserap dan dipelajari orang Indonesia menjadi identitas tersendiri pula. Walau bagaimanapun, seorang Indonesia yang dapat menguasai bahasa asing, jangan terus menomorduakan bahasa nasional sendiri, yaitu bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu. Ia harus tetap memperkuatkan jatidirinya dengan mengutamakan bahasa Indonesia, terutama di lingkungan yang semestinya. Tidak pula berusaha untuk mencampuradukkan bahasa. Jatidiri yang diambil dari pergaulan internasional ini adalah seperti band-band musik populer, rumah makan Jepang, Kentucky Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, makanan khas China (Chinese Food) di Indonesia, dan lain-lainnya. 23
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Keempat dimensi jatidiri tersebut memerlukan kemahiran penanganan dan menempatkan polarisasi yang tepat untuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, berkepribadian, berperadaban, dan disegani oleh bangsa-bangsa lain dalam proses globalisasi. 7.
Penutup Dari uraian di atas tergambar dengan jelas bahwa di dalam seni budaya secara khusus, dan kebudayaan Nusantara secara umum, terkandung sejumlah karakter dan identitas bangsa kita. Karakter dan identitas bangsa ini berasal dari lingkup budaya etnik yang kemudian secara alamiah selepas terbentuknya negara bangsa menjadi milik bersama. Dengan tetap mengolah dengan budaya global. Tidak semua karakter budaya etnik yang menjadi karakter bangsa. Umumnya yang bersifat universal dan mendukung karakter bangsa. Nilai-nilai budaya etnik yang kemudian menjadi karakter bangsa, telah dengan sangat baiknya diekspresikan dalam ideologi Pancasila. Selain itu kita pun dalam proses pembentukan budaya dan karakter bangsa secara nasional. Kita sudah punya gagasan dan aplikasi tentang budaya nasional. Beberapa budaya etnik mendukung budaya nasional ini. Misalnya dari budaya Melayu kita menyumbangkan bahasa Indonesia (mengingat bahasa Melayu sebagai lingua franca), pakaian nasional seperti peci, kebaya, sanggul, musik nasional orkes Melayu dan dangdut sebagai musica franca, tari nasional Serampang Dua Belas, penyebutan sistem kekerabatan, dan seterusnya. Budaya Jawa menyumbang pakaian nasional batik, sistem pemerintahan kelurahan, kabupaten (kadipaten), sistem irigasi, organisasi, dan lainnya. Budaya Minangkabau menyumbangkan makanan Minangkabau, yang eksis dari Sabang sampai Merauke bahkan di beberapa negeri Melayu lainnya. Begitu juga dengan sistem perekonomian Minangkabau, silat, dan seterusnya. Begitu juga dari etnik-etnik lainnya seperti erahu Pinisi dari masyarakat Bugis dan Makasar di Sulawesi yang menjadi identitas maritim nasional. Lukisan dari masyarakat Asmat di Irian Jaya (Papua) yang juga sudah dipandang menjadi identitas dan kebanggaan Indonesia. Yang paling jelas adalah tim sepak bola nasional, yang terdiri dari para pemain yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia, ada Markus Horison, Firman Utina, Bambang Pamungkas, Titus Bonay, Ely Eboy, Christan Gonzales, dan kawan-kawannya.
24
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Jadi seni budaya mengandung karakter bangsa, yang perlu terus diasuh dan dikembangkan dalam rangka menuju bangsa yang beradab, berdaulat, mandiri, tidak mudah diintervensi, memiliki jatidiri, serta berorientasi untuk selalu lebih maju dalam dimensi ruang dan waktu yang dilaluinya. Tentu saja jangan lupa selalu berdoa dan memohon kepada Tuhan, untuk selalu memberkati negeri tercinta ini sebagai negeri baldatun thoyibatun warobbun ghofur, atau meminjam istilah Sukarno gemah ripah, lohjinawi, kertaraharja, lan tatatentrem, atau meminjam istilah Mahathir Mohammad negeri yang madani di bawah lidungan Allah. Semoga saja.
25
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Bagan 1: Hubungan antara Seni Budaya dan Karakter Bangsa dalam Konteks Budaya Global
26
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Bibliografi Ade Armando dkk., 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi. Alfian (ed.), 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Azyumardi Azra, 2007. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan. Azyumardi Azra, 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta: Kanisius. Batara Sangti, 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar. Crawfurd, J. 1820. History of the Indian Archipelago. Edinurg: Archibald Constable and Co. Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi elektronik), 2012. Kincaid, D.L. & W. Schramm, 1978. Asas-asas Komunikasi antara Manusia. (Terjemhan Ronny Adhikarya, Wan Firuz Wan Mustafa, dan Habsah Ibrahim). Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1985. “Konsep kebudayaan Nasional” dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Alfian (ed.). Jakarta: Gamedia. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Leo Suryadinata, 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES. Malinowski, 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I. Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Nortwestern University. Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Muhammad Takari, 2009. “Kebudayaan Nasional Indonesia dan Malaysia: Gagasan, Terapan, dan Bandingannya.” dalam Setengah Abad Hubungan Malaysia— Indonesia. (ed. Mohammad Redzuan Othman dkk.) Kuala Lumpur: Arah Publications, pp. 439-472. Onong U. Effendy, 1988. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Rosdakarya. Radcliffe-Brown, A.R., 1952, Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Raffles, Sir Thomas Stanford, 1830. The History of Java. (Volume Satu). London: Muray. Syed Ameer Ali, 1002. Sejarah Evolusi dan Keunggulan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia. Internet www.wikipedia.org www.sumut.go.id www.aceh.go.id http://karakterbangsa.net/Our-Services/Cakes-Cookies/Membangun-KarakterBangsa.html
27
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa
Tentang Penulis Muhammad Takari bin Jilin Syahrial, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, lahir pada tanggal 11 Januari 1966 di Labuhanbatu. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Labuhanbatu. Tahun 1990 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 1998 menamatkan studi magister humaniora pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2010 menyelesaikan studi S-3 Pengajian Media Komunikasi di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media dan jurnal dalam dan luar negeri. Juga sebagai seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam rangka kunjungan budaya dan seni ke luar negeri. Kini juga sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara dan Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya, Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI). Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/fax.: (061)8215956, e-mail:
[email protected].
28