PERANAN NILAI BUDAYA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA Indonesia merupakan negara yang memiliki beraneka budaya dengan lebih dari 700 suku bangsa. Terdapat 74.754 desa yang memiliki hukum/aturan lokal di Indonesia. Oleh karenanya, nilai budaya yang dianut penduduk Indonesia pun beraneka ragam dipengaruhi perbedaan kondisi geografis, agama, suku, dan nilainilai adat setempat yang dianut. Nilai merepresentasikan sebuah pendirian. Nilai adalah sebuah acuan yang menjadi dasar pola perilaku (mode of conduct) yang dipilih. Nilai yang dianut merupakan dasar penilaian dalam menentukan benar dan salah. Nilai yang tumbuh melembaga dalam diri seseorang dan menentukan perilakunya membentuk karakter orang tersebut. Teori tindakan hingga pelembagaan menyebutkan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh dua hal, yakni nilai yang dianut dan motivasi yang dimilikinya. Kondisi situasional yang terjadi dimana orang tersebut berada berperan dalam membangun mindset, mental, dan motivasinya. Kedua hal ini (nilai dan motivasi) akan menentukan tipe tindakan yang akan dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Adapun tipe tindakan ada tiga, yaitu: instrumental, ekspresif, dan moral. Tindakan instrumental artinya tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tindakan moral merupakan cerminan dari nilai yang dianut seseorang. Sementara tindakan
ekspresif
adalah
tindakan
yang
dilakukan
seseorang
untuk
mengekspresikan dirinya. Interaksi antara seseorang dengan orang lain di sekitarnya turut
menguji
nilai-nilai
yang
dianutnya
sehingga
menyebabkan
pelembagaan/internalisasi tindakan dan membentuk sistem perilaku orang tersebut.
1
Nilai yang dianut seseorang membentuk karakter orang tersebut. Karakter adalah orientasi evaluasi yang berfungsi untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Karakter tumbuh dalam diri seseorang dalam rangka memenuhi kewajiban, mengikuti acuan standar social yang disepakati bersama (Damon 1988). Gavin (2003) menyatakan bahwa kepribadian adalah apa yang kita tunjukkan pada dunia luar, sedangkan karakter adalah siapa diri kita yang sesungguhnya. Sementara Hendrix (2003) menyebutkan bahwa karakter adalah keunggulan moral. Karakter tidak sama dengan kecerdasan. Kecerdasan adalah fungsi utama dari pemikiran, sedangkan karakter ialah fungsi utama dari tindakan. Berikut adalah pendapat beberapa tokoh terkenal di dunia mengenai karakter. Seseorang seharusnya dinilai berdasarkan karakter, bukannya warna kulit (Marthin Luther King Jr). Bung Hatta menyatakan bahwa pembentukan karakter atau watak harus dijadikan titik berat pendidikan apabila kita ingin membentuk manusia susila dan demokratis yang sadar akan tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat nasional dan dunia. Presiden Joko Widodo mengemukakan bahwa kita harus menghidupkan kembali karakter masyarakat Indonesia yang asli dan otentik. Belakangan ini marak media yang memberitakan mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender); gaya hidup bermewah-mewahan dimana banyak tokoh agama mempertontonkan kemewahan harta yang dimilikinya; terorisme; tawuran antar pelajar ataupun tawuran antar warga, yang tak jarang melibatkan senjata; pungli yang dilakukan oleh oknum polisi; dan ujian nasional yang diwarnai dengan bocornya soal dan aksi contek-mencontek. Semua ini tentulah bukan nilai atau karakter yang diharapkan dari bangsa kita, khususnya dari anak-anak kita, calon generasi penerus bangsa. Kesemua contoh soal ini menunjukkan bahwa kita harus segera mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki dan mencegah munculnya
perilaku
negatif
yang
akan
menghancurkan bangsa
Indonesia.
Bagaimana caranya? UNESCO, pada Oktober 1998, telah menetapkan empat ranah pendidikan, yaitu: belajar untuk mengetahui, belajar untuk menjadi, belajar untuk melakukan, dan belajar
untuk
hidup
bersama.
Ada
enam
mentalitas
unggul
yang
harus
dikembangkan untuk kehidupan bangsa Indonesia: jujur, adil, tanggung jawab, rasional, toleran, dan pemberani.
2
Pembangunan karakter suatu bangsa dimulai dari lingkungan keluarga. Seyogyanya setiap keluarga di Indonesia menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasional, toleran dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan pemberani kepada anak-anaknya. Nilai-nilai positif yang tertanam dalam diri anak tersebut diharapkan dapat membentuk masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap sesama dan bersifat egaliter. Kondisi ini akan mempermudah tercapainya bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian luhur secara sosial budaya sebagaimana yang dicita-citakan Bapak Proklamator kita, Bung Karno, dalam Revolusi Mental dengan konsep Trisakti yang digagasnya pada tahun 1963. Keluarga diharapkan dapat menumbuhkan rasa dan sifat kasih sayang dari kecil dengan menginternalisasi nilai-nilai luhur kepada anak-anaknya. Tradisi gotong royong dan musyawarah untuk mencapai mufakat hendaknya dihidupkan kembali dalam masyarakat Indonesia. Dunia pendidikan seyogyanya memasyarakatkan nilai sopan santun, tolong-menolong, dan keramahan pada anak didiknya. Pendidikan dan internalisasi nilai-nilai luhur pada anak tidak hanya dilakukan oleh sekolah dan lembaga pendidikan formal. Keluarga merupakan institusi utama dalam menanamkan nilai luhur dan membentuk karakter anak. Keluarga memiliki beberapa fungsi, antara lain: fungsi pengaturan aktivitas seksual, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, serta fungsi rasa aman dalam hal ekonomi dan emosional. Fungsi pengaturan aktivitas seksual berarti bahwa masyarakat mengatur aktivitas seksual. Fungsi sosialisasi keluarga artinya keluarga merupakan agen pertama dalam menyosialisasikan nilai agama, moral, dan budaya kepada anakanaknya. Norma yang berlaku dalam masyarakat disosialisasikan kepada anak-anak oleh keluarga. Orangtua, saudara, dan anggota keluarga yang lain berperan sebagai teladan (role model) yang paling awal. Keluarga memiliki fungsi reproduksi karena ia merupakan unit sosial yang didukung dan sah menurut hukum untuk melahirkan anak-anak yang kelak akan menggantikan generasi pendahulunya. Adapun fungsi rasa aman dalam hal ekonomi dan emosional terjadi karena keluarga merupakan unit ekonomi dasar. Keluarga diharapkan dapat memandu perkembangan psikologis anggota keluarga dan menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang. Ada beberapa tantangan hubungan keluarga akibat perubahan struktur dalam keluarga. Sulitnya pendapatan keluarga mengakibatkan banyak perempuan harus 3
bekerja di luar rumah yang berakibat timbulnya masalah siapa yang mengasuh anak. Banyak perempuan yang harus menghadapi dilema tuntutan fungsi keluarga dan kerja. Akibatnya, tidak sedikit perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah yang mengalami stres dalam menghadapi “hari ganda” (double day). Hal ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara perempuan dan suaminya. Mensikapi kondisi seperti ini, kaum lelaki dituntut untuk lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibanding sebelumnya, meskipun tanggung jawab masih bertumpu pada perempuan. Tantangan berikutnya adalah semakin banyak ragam bentuk rumah tangga. Semakin banyak orang tinggal seorang sendiri. Tidak sedikit orang berkeluarga pada umur yang lebih tua, bahkan banyak orang yang tidak menikah. Semakin banyak keluarga “reconstituted” (penggabungan baru) akibat
tingginya perceraian yang
berakibat semakin sulitnya pendidikan keluarga. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, perlu pelajaran parenting (pola asuh), pelajaran bagaimana menjadi orangtua yang baik. Pola pengasuhan yang baik menganut prinsip kepercayaan diri, ketenangan, konsistensi, dan kepedulian. Cara kita berbicara dan bersikap pada anak akan diinternalisasi dan ditiru oleh anak. Terdapat empat jenis pola asuh: authoritative parenting, authoritarian parenting, permissive parenting, dan rejecting-neglecting parenting. Dalam pola asuh authoritative parenting, orangtua menerima anak-anaknya apa adanya dan berfokus pada upaya untuk menjadikan anak-anaknya menjadi pribadi yang lebih baik seperti harapan mereka. Hubungan dan komunikasi antara orangtua dan anak bersifat dua arah. Sedangkan dalam authoritarian parenting, hubungan dan komunikasi bersifat satu arah dimana orangtua mengendalikan dan memaksakan kekuasaannya pada anak-anaknya. Hal ini dilandasi oleh tingginya harapan orangtua pada anak. Fokus utama dalam pola asuh ini adalah pada harapan orangtua, bukan kebaikan anak. Orangtua yang menganut pola asuh permissive parenting tidak memiliki harapan yang terlalu banyak/tinggi pada anak-anaknya sebagaimana dua tipe sebelumnya. Orangtua mengutamakan anak sehingga seringkali memanjakan anakanaknya dan kurang memberikan kontrol atau kendali terhadap anak-anaknya. Sementara rejecting-neglecting parenting terjadi ketika orangtua tidak memiliki harapan yang tinggi pada anak dan lebih berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Orangtua cenderung mengabaikan anak. 4
Pola asuh terbaik yang hendaknya diadopsi oleh setiap orangtua dan keluarga di Indonesia tentu saja adalah authoritative parenting. Orangtua fokus pada pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik sesuai harapan mereka dengan membangun hubungan dan menciptakan komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. (ypi) Sumber: Prasodjo, IB 2016, Peranan Nilai Budaya dalam Membangun Karakter Bangsa, Juni, disajikan dalam Konferensi Keluarga Indonesia 2016.
5