70 STUDI NILAI BUDAYA PADA LEMBAGA ADAT SUKU SASAK SEBAGAI KEKUATAN DALAM MEMBANGUN NILAI LUHUR BUDAYA BANGSA STUDY OF CULTURAL VALUE AT THE CUSTOMARY INSTITUTION OF SASAK ETHNIC AS A STRENGTH IN DEVELOPING SUPREME VALUE OF NATION CULTURE M. Rasyidi Fakultas Pertanian Universitas Mataram ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai budaya Suku Sasak yang terdapat dalam lembaga adat yang dapat dijadikan modal sosial dalam membangkitkan dan membangun nilai luhur budaya bangsa.Penelitian menggunakan pendekatan kualititaf yang didesain dengan model studi kasus, pada Lembaga Adat Suku Sasak yang terdapat di Desa Sesait Kecamatan Kayangan. Pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi, yaitu dengan mengawinkan 5 teknik penelitian secara bersama-sama, yaitu: pengamatan lapang, dokumentasi, wawancara mendalam dengan para informan dan nara sumber, studi pustaka dan diskusi terfokus (FGD). Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai budaya Suku Sasak yang dapat dijadikan modal sosial dalam pembangunan budaya bangsa adalah: a) nilai kepemimpinan yang berlandaskan kemampuan menjalankan pemerintahan; kemampuannya menjalankan adat dan kemampuannya menjalankan agama; b) nilai kesetiaan terhadap pemimpin dan keputusan-keputusan yang dibuat; c) nilai keadilan dalam penegakan norma (awig-awig) dan sanksi-sanksi sosial; d) nilai kemakmuran yang diciptakan dengan penanaman nilai tolong menolong melalui lembaga banjar; e) nilai kepedulian terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial; f) nilai tolerasi terhadap warga dari luar desa; lain suku, lain agama dan lain bangsa. ABSTRACT This research aimed at finding the cultural value of Sasak ethnic existing in customary institution that can be used as social capitals in rising and developing supreme value of nation culture. Research applied qualitative approach which was designed with the case study model. This research was conducted at customary institutions of Sasak Ethnic at Sesait Village, Kayangan district. Data were collected using triangulation technique, by incorporating 5 research techniques, i.e. field observation, documentation, indepth interview, library research and focus group discussion (FGD). Qualitative and descriptive analyses were used. Results of the research indicated that the culture values of Sasak Ethnic that can be used to form social capitals in the development of nation culture were: a) value of the leadership based on the ability in running the governance; its ability in running the custom and its ability in running the religion; b) value of the faithfulness to the leader and the decisions made; c) the value of the justice in straightening the norm (awig-awig) and social sanction; d) value of prosperity created by implementing the value of helping each other through “banjar”; e) value of caring the physical environment and social environment; f) value of the tolerance to the citizen from outside the village, who are from different ethnic, religion and/or nation. _________________________ Kata kunci: Nilai budaya, lembaga adat, suku Sasak, budaya bangsa Keywords: Cultural value, customary institution, Sasak ethnic, nation culture PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensional tampaknya belum nyata tanda-tanda dapat di atasi. Era reformasi yang penuh dengan kebebasan diharapkan dapat memunculkan pemikiran-pemikiran yang mampu mengangkat
M. Rasyidi: Studi nilai budaya …
bangsa Indonesia dari krisis multidimensial tersebut tampaknya tidak sesuai dengan harapan. Bahkan sebaliknya justru muncul benturanbenturan pemikiran yang berkembang menjadi benturan wacana bahkan benturan fisik dalam bentuk konflik kekerasan yang membahayakan integritas bangsa. Krisis ekonomi yang diikuti oleh krisis sosial tersebut diperburuk lagi dengan derasnya
71 arus globalisasi infomasi melalui media komunikasi massa (TV, internet, CD dan sebagainya) yang semakin menjadi primadona dan nampak semakin bebas membawa masyarakat pada sistem nilai yang amat pragmatis, materialistis, konsumtif dan mengagungkan kenikmatan (hidonistic), karena sepertinya tidak ada pihak yang melindungi atau mengaturnya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila di tengah masyarakat banyak ditemukan anak di bawah umur melakukan perbuatanperbutanan kriminal, seperti kekerasan, pembunuhan, perbuatan asusila sexual sebagaimana dicontohkan melalui layar media massa. Mencermati masalah-masalah di atas, nampaknya bangsa Indonesia pada dasarnya sedang mengalami krisis budaya yang selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun dari para pakar pembangunan. Karena itu, untuk mengatasi masalah-masalah di atas, harus dimulai dari pembangunan budaya dalam arti pembangunan nilai-nilai, seperti nilai keadilan, kerukunan, kepedulian, kemandirian, kejujuran, kebersamaan (Wirutomo, 2005) yang disertai dengan penanaman rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut terhadap perbuatan yang menyimpang atau melanggar kepentingan umum. Nilai-nilai luhur sebagaimana digambarkan di atas pada dasarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila, namun penanaman nilai Pancasila melalui penataran P4 selama bertahun-tahun pada masa Orde Baru belum mengakar dan menjadi keperibadian bangsa Indonesia, terbukti pada waktu yang sama pimpinan negara sampai masyarakat kelas bawah melanggar semua nilianilai tersebut. Artinya penanaman nilai-nilai Pancasila melalui penataran P4 tersebut baru sampai tingkat pelembagaan (institutionalization), belum sampai tingkat penanaman (internalization). Untuk menemukan dan membangkitkan kembali nilai-nilai luhur budaya bangsa tersebut, maka perlu digali di setiap daerah, termasuk di Pulau Lombok. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai budaya masyarakat Suku Sasak yang terdapat dalam lembaga adat yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam membangkitkan dan membangun nilai-nilai luhur budaya bangsa. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didesain dengan model “studi kasus”, ditujukan untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang nilai budaya yang berkembang pada lembaga adat Suku Sasak di
Pulau Lombok, khususnya di Desa Sesait, Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat NTB. Pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi, yaitu dengan mengawinkan 5 teknik penelitian secara bersama-sama, yaitu: (a) pengamatan lapang (field observation); (b) dokumentasi (documentation); (c) wawancara mendalam (in-depth interview); (d) studi pustaka (desk study) dan (e) diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion = FGD). Sebagai sumber informasi adalah tokoh-tokoh masyarakat yang yang terdapat dalam lembaga adat, yaitu: Pemusungan (Kepala Desa yang merangkap kepala adat), Penghulu; Mangku Gumi, Jintaka, Keliang, pemekal adat, Lang-Lang jagad dan tokoh-tokoh adat lainnya. Selain itu juga diwawancarai nara sumber yang mengetahui banyak tentang nilai budaya Suku Sasak. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh di lapangan, diseleksi kemudian dikelompokkan berdasarkan masalah yang diteliti. Selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian, sebagai bahan diskusi dan penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Lembaga Adat Suku Sasak Desa Sesait Suku Sasak adalah penduduk asli Pulau Lombok yang sebagian besar beragama Islam yang sangat religius. Karena itu dalam menjalankan kehidupan sehari-hari selain berpedoman pada adat istiadat yang sudah diwariskan secara turun temurun, juga berpedoman pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran agama Islam; sehingga sekarang ini adat istiadat atau sistem nilai budaya yang dijalankan masyarakat Desa Sesait banyak bernuansa pada ajaran agama Islam. Secara umum, Suku Sasak yang berada di Desa Sesait memiliki sistem nilai dan norma yang disepakati sebagai aturan normatif dalam menciptakan keharmonisan hubungan, baik antara manusia dengan manusia (hubungan silaturrahmi), hubungan manusia dengan alam (hubungan keseimbangan antara manusia dengan alam) dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan). Ketiga hubungan keharmonisan ini menjadi pedoman warga Suku Sasak bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan menjadi cerminan jati diri Suku Sasak dalam menjalankan kehidupannya. Untuk menjalankan, mengawasi dan menegakkan sistem nilai atau adat istiadat ini maka dibentuk suatu institusi atau lembaga adat yang disebut krama adat. Dalam krama adat terdapat Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
72 aturan-aturan informal yang disebut awig-awig. Awig-awig disepakati, dilaksanakan dan dijadikan pedoman sebagai nilai normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Krama adat memiliki tingkatan-tingkatan. Di tingkat desa dibentuk Krama Desa yang berfungsi menjalankan, mengawasi dan menegakkan awig-awig adat ditingkat desa. Ditingkat dusun dibentuk Krama Gubuk yang berfungsi menjalankan, mengawasi dan menegakkan awig-awig adat ditingkat dusun. Sedangkan perkumpulan-perkumpulan yang dibentuk oleh sekelompok masyarakat yang berkumpul dan mempunyai visi dan misi yang sama disebut Krame Banjar, seperti Banjar Merarik (perkumpulan untuk mengatasi masalah perkawinan); Banjar Mate (perkumpulan untuk mengatasi masalah-masalah kematian); dan lainlain yang pada umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh sekelompok masyarakat. Secara hirarki, krame gubuk dan krame banjar berada di bawah krame desa. Dalam menyusun krama desa di Desa Sesait bertumpu pada empat tokoh, yang oleh masyarakat Desa Sesait disebut Tau Lokak Empat (empat orang yang dituakan). Keempat tokoh tersebut adalah Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jentaka. Secara historis, struktur kelembagaan Krama Desa di Desa Sesait mengikuti bentuk
pemerintahan tradisional, dimana Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jentaka merupakan tokoh-tokoh pemimpin dalam suatu desa. Pemusungan merupakan tokoh kepala adat dan pimpinan tertinggi pemerintahan desa. Penghulu desa merupakan tokoh pemegang, penegak dan pengatur masalah hukum dan norma-norma agama dan adat. Mangku Gumi merupakan tokoh yang merumuskan dan penentu awig-awig atau sanksi adat serta pemberi petunjuk mengenai pertanian. Jentaka merupakan tokoh adat yang menangani masalah perekonomian. Untuk meringankan dan melaksanakan tugas Tau Lokak Empat (Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jintaka), maka dibentuk Pemekal Adat. Di tingkat kampung atau krame gubuk diwakili oleh Keliang, yaitu kepala pemerintahan sekaligus tokoh adat di tingkat kampung atau gubuk. Struktur organisasi Lembaga Adat Desa Sesait dapat dilihat pada Gambar 1. Bila struktur organisasi lembaga adat pada Gambar 1 dikaitkan dengan organisasi pemerintahan desa, terlihat ada hubungan yang sangat erat sebagaimana tergambar dalam struktur pemeritahan desa yang terpampang di Kantor Pemusungan/Desa Sesait, seperti tampak pada Gambar 3.
PEMUSUNGAN
PENGHULU
MANGKU GUMI
JENTAKA
PEMEKAL ADAT Krama Gubuk 1 Krama Gubuk 2 dst
Masyarakat adat Gambar 1. Struktur Lembaga Adat Suku Sasak di Desa Sesait
M. Rasyidi: Studi nilai budaya …
73
Penghulu, Mangku Gumi, Jentaka Pemekal Adat
Kepala Desa (Pemusungan)
Juru Tulis
Juru Teknis
Pekasih (Pengatur Air)
Majelis Krama Desa (MKD)
Keliang-Keliang (Kepala Dusun – Kepala Dusun)
Lang-Lang Jagad (Hansip)
Kepala UrusanKepala Urusan
Gambar 3. Kaitan Struktur Organisasi Pemerintahan Desa dengan Struktur Organisasi Lembaga Adat Pemusungan Sesait
Dari struktur organisasi pemerintahan Desa atau Pemusungan Sesait di atas, jelas bahwa pemusungan atau kepala desa selain sebagai kepala pemerintahan juga merupakan kepala adat di tingkat desa. Dalam melaksanakan pemerintahan berkoordinasi dengan Majelis Krama Desa (MKD) atau yang lebih dikenal dengan Badan Pertimbangan Desa (BPD); dan dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan adat berkoordinasi dengan Penghulu, Mangku Gumi dan Jentaka. Setiap keputusan Tau Lokak Empat ini (Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi, Jentaka) kemudian dilaksanakan dan diteruskan oleh Pemekal Adat ke Pekasih, Lang-Lang Jagad atau kepada Keliang sebagai tetua krama adat ditingkat dusun (krame gubuk). Karena itu Keliang selain bertindak sebagai kepala pemerintahan juga bertindak sebagai kepala adat di tingkat dusun. Karena adanya keterkaitan yang erat antara lembaga desa dan lembaga adat ini yang menyebabkan Desa Sesait disebut sebagai Desa Adat. Nilai Budaya Suku Sasak Yang Hidup dan Berkembang dalam Lembaga Adat Nilai-nilai budaya asli Suku Sasak yang masih hidup pada lembaga adat Suku Sasak di Desa Sesait ditelusuri dari naskah-naskah kuno yang ditulis pada daun lontar yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti naskah kuno Babat Selaparang dan naskah kuno Kotaragama; dari literatur-literatur yang mem-
bahas tentang nilai budaya; dan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil kajian pustaka tersebut selanjutnya dikonfirmasi dengan hasil wawancara mendalam dengan para informan kunci yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, terutama yang duduk dalam lembaga adat Suku sasak yang ada di Desa Sesait. Berikut ini adalah uraian tentang nilai-nilai budaya Suku Sasak yang hidup dan berkembang dalam Lembaga Adat Suku Sasak di Desa Sesait. (1) Nilai Budaya Menyangkut Kepemimpinan Nilai-nilai budaya yang menyangkut kepemimpinan yang terdapat pada naskah kuno Kotaragama, tercermin dari tatacara dan persyaratan untuk menjadi raja. Dalam naskah Kotaragama, seorang raja atau pemimpin harus berpedoman atau taat menjalankan syariat agama, bertanggung jawab (mengurus dan mengayomi rakyatnya), bersifat sosial (suka memberikan bantuan), disiplin, tidak ingkar janji, tidak putus menuntut ilmu (selalu meningkatkan pengetahuannya), mencegah terjadinya malapetaka, adil dan tidak suka kawin. Seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat yang dipimpinnya, baik dalam menjalankan agama, bertindak maupun berperilaku. Seorang pemmpin dalam mengadakan hubungan dengan masyarakat atau manusia lainnya digambarkan dengan perumpamaan benda yang ada pada alam semesta. Seperti Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
74 seorang pimpinan harus memiliki sifat gunung yang suci dan kokoh; bersifat laut, sebagai tempat menampung barang yang berbau amis dan busuk; bersifat api, menghanguskan yang kotor; bersifat matahari, menerangi seluruh jagad; bersifat bulan, menerangi dan menyejukkan; bersifat langit biru, tetap teguh pada pendirian. Kepemimpinan yang digambarkan dalam naskah kuno Kotaragama sejalan dan mewakili kepemimpinan menurut Pancasila, yaitu: ing ngarso sung tulada, seorang pemimpin harus mampu bersikap sehingga perilakunya dapat menjadikan dirinya sebagai pola anutan orangorang yang dipimpinnya; ing madya mangun karsa, seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dipimpinnya; tut wuri handayani, seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Di Desa Sesait, pemimpin tertinggi lembaga adat adalah Pemusung yang sekaligus merangkap sebagai Kepala Desa. Karena merangkap sebagai Kepala Desa, maka Pemusung harus dipilih secara demogratis melalui pemungutan suara sebagaimana menurut undang-undang yang berlaku; namun masyarakat hampir sudah dapat memastikan orang yang terpilih sebelum dilakukan perhitungan suara, karena landasan yang dipergunakan oleh masyarakat dalam memilih pemimpinnya adalah sama, yaitu orang yang taat menjalankan agama, bersifat adil, memiliki karisma dan umumnya berasal dari keturunan pemimpin terdahulu. Hal ini tergambar dari cerita Lalu Satriadi, SPd (seorang peneliti muda yang tinggal atau berdomisli dekat Desa Sesait) berikut: “dalam memilih pemimpin di desa ini (maksudnya kepala Desa Sesait) hampir tidak ditemukan persaingan, meskipun ditentukan secara rahasia melalui pemungutan suara. Karena sebelum dilakukan pemilihan, súpertinya masyarakat sudah menentukan dan menyebarkan pimpinan yang akan dipilih. Memang dalam melakukan pilihan, masyarakat tanpaknya masih sangat tergantung pada pendapat dan keputusan tetua kampung atau tetua desa, terutama tau lokak empat, namun tau lokak empat juga tidak sembarang dalam mengambil keputusan. Mereka harus dapat memberikan dasar yang kuat kepada masyarakat, seperti ketaatan dalam menjalankan agama, M. Rasyidi: Studi nilai budaya …
jujur, adil, bertanggung jawab, pemurah, pengayom dan sifat-sifat lain yang mulia sebagaimana digambarkan dalam naskah Kotaragama. (Wawancara tanggal 17 Juli 2008)” Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak Sekat (mantan kepala desa Sesait keturunan pemimpin adat terdahulu) berikut ini: “Untuk menjadi Kepala Desa di desa ini tidak cukup dengan hanya bisa menjalankan pemerintahan desa atau program-program pemerintah dari atas, tapi harus mampu menjadi pemimpin adat sekaligus pemimpin agama. Karena adat istiadat dan ajaran agama Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di desa ini. Karena itu orang luar tidak bisa atau tidak akan mau menjadi kepala desa; selain karena masyarakat sangat selektif dalam memilih kepala desanya. Saya dulu mungkin dipilih dan selalu dipertahankan untuk tetap menjadi kepala desa karena masyarakat menganggap saya mampu menjalankan pemerintahan desa dan sedikit tau tentang adat istiadat dan agama. Kebetulan saya berasal dari sini dan turunan pemimpin mereka dahulu yang dianggap karismatif, merupakan tokoh adat sekaligus tokoh agama di desa ini. Pada tahun 2007 saya minta mengundurkan diri, karena tua selain karena saya sering ke luar daerah. Karena itu kepala desa sekarang masih muda, masih energik dan masih dalam lingkup keluarga saya.... alhamdulillah semuanya berjalan baik (wawancara tanggal 20 Juli 2008)” Dari informasi di atas, jelas untuk menjadi pemimpin di desa ini harus mempunyai kemampuan lebih, selain merupakan keturunan pemimpin terdahulu, juga harus mampu menjalankan pemerintahan desa, menegakkan adat istiadat dan mampu menjalankan ajaran agama Islam secara bersamaan dan konsisten. Tanpa kriteria dan kemampuan tersebut, maka masyarakat tidak akan memilihnya menjadi pemimpin desa. Persyaratan pimpinan pemerintahan desa inilah yang menyebabkan nilai budaya suku Sasak di Desa ini bisa bertahan sampai sekarang, meskipun tidak seideal sebagaimana digambarkan dalam naskah kuno Kotaragama. Hal yang berbeda antara masa Kotaragama dengan masa sekarang adalah proses penentuan pemimpin itu sendiri, dimana
75 pemimpin pada masa lalu secara otomatis berasal dari turunan pemimpin sebelumnya. Tapi pada masa sekarang, penentuan pemimpin didasarkan atas hasil pemungutan suara anggota masyarakat, meskipun hasilnya sama seperti pada masa Kotaragama. (2) Nilai Budaya Menyangkut Kesetiaan Untuk mengetahui nilai luhur menyangkut kesetiaan dapat dilihat dari perilaku dan sikap rakyat terhadap pemimpin, yaitu: (a) nganut: artinya tidak berperilaku sekehendak hati, (b) sadu, artinya tidak mengambil milik raja atau orang miskin; (c) tahu, artinya tidak memiliki dua raja; (d) guna, artinya sudah banyak makanan yang dimakannya; (e) kawanten, artinya tidak membicarakan raja; (f) jahil, artinya tidak menyampaikan berita yang tidak benar. Sebaliknya seorang pemimpin untuk mendapat kesetiaan atau ketaatan dari rakyat atau masyarakat, maka pemimpin harus bersikap : (a) giri suci, artinya pemimpin harus tetap suci dan anggun; (b) jaladri (laut): raja harus menampung yang buruk, (b) bahni pawaka, api pemimpin harus menghapus yang kotor/na’jis; (c) surya (matahari), menerangi orang sebumi atau orang banyak, (d) sasangka (bulan) : tiada dinyalakan; (f) nila tadu, artinya tetap pada keagungan. Nilai budaya menyangkut kesetiaan dalam naskah Kotaragama digambarkan dari kesetiaan masyarakat terhadap pemimpinnya; namun hal ini dapat diperluas pada kesetiaan seorang istri kepada suaminya atau sebaliknya, kesetian sesorang kepada orang lain, kesetian individu kepada kelompoknya dan lain-lain. Nilai budaya tentang kesetiaan tentu tidak dipaksakan, tapi berasal dari hati yang paling dalam. Untuk mendapat kesetiaan seperti ini maka orang yang disetiakan harus memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana digambarkan oleh naskah Kotaragama di atas, seperti harus bersih dari perbuatan ternoda (giri suci), mampu menghilangkan hal-hal yang kotor (bahni pawaka), mampu mengayomi dan menerangi orang banyak (surya); berprilaku lembut dan teduh (sasangka) dan berwibawa (nila tadu). Bentuk kesetiaan masyarakat terhadap pemimpinnya dapat dilihat dari ketaatan masyarakat dalam menjalankan aturan-aturan (awig-awig) dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemimpin; dan ada perasaan malu masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Kepatuhan atau kesetiaan masyarakat terhadap pemimpin desa atau terhadap pemimpin adat (tau lokak empat) di Desa Sesait masih sangat kentara, misalnya
ketaatannya dalam menjalankan gotong royong, kepatuhan-kepatuhannya dalam menjalankan keputusan pemimpin. Perasaan malu terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang juga masih nampak. Bila ada anggota masyarakat yang melakukan perbuatan menyimpang dan diketahui oleh masyarakat; maka dengan sendirinya masyarakat tersebut akan ke luar dari desa atau membayar denda sebagai sanksi adat, karena bila tidak maka sanksi adat akan tetap ditegakkan oleh lembaga adat kepada siapapun yang menyimpang. Untuk mendapat gambaran tentang kesetiaan dan penerapan sanksi adat ini, dapat disimak dari penuturan Aq.Saidi (54 tahun) berikut: ”Pernah ada kasus di desa ini, seorang warga dituduh berselingkuh dengan Jamal (singkatan dari Janda Malaysia untuk istri yang ditinggal suami menjadi TKI di Malaysia). Saking malunya pria tersebut meninggalkan desa ini sampai sekarang. Begitu pula perempuan dan keluarganya terpaksa pindah ke desa lain, karena malu dengan cibiran masyarakat atau diusir secara paksa oleh masyarakat. Padahal perbuatan berselingkuh itu tidak diakui oleh perempuan tersebut, hanya sering digoda oleh pria itu yang semasa gadis pernah mencintainya (Wawancara tanggal 25 Juli 2008)” Kasus perselingkuhan memang merupakan kasus yang besar yang selalu diingat oleh masyarakat. Karena itu warga masyarakat yang mengahadapi kasus seperti itu, lebih memilih ke luar dari lingkungannya meskipun lembaga adat belum memutuskan untuk mengusirnya. Kasuskasus kecil juga kadangkala terjadi, seperti perkelahian antar warga, kawin lari pada siang hari, mencela dan menfitnah; namun permasalahannya biasanya sampai Pemekal Adat, tidak sampai ke tingkat yang lebih tinggi, seperti sampai dirapatkan dalam pertemuan Tau Lokak Empat. Ini artinya warga masyarakat masih taat mengikuti aturan atau awig-awig dan sanksisanksi sosial yang telah ditetapkan oleh lembaga adat. (3) Nilai Budaya Menyangkut Keadilan Nilai-nilai budaya yang menyangkut keadilan dalam Kotaragama tercermin dari tatacara dan persyaratan penentuan Jaksa dan Hakim sebagai penegak keadilan dan tatacara dalam pelaksanaan hukum mulai dari penentuan saksi sampai penentuan hukuman. Berdasarkan hasil penelitian persyaratan untuk menjadi Jaksa adalah bijaksana, cerdas Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
76 dan pandai; sedangkan persyaratan untuk menjadi Hakim adalah berpengetahuan luas, bertata susila, adil, berpegang pada peraturan. Jika persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar, sanksinya adalah diusir dan ditempatkan di daerah terpencil selama satu tahun. Jika sudah memenuhi sanksi tersebut, maka dapat diangkat kembali, tapi bila melanggar lagi maka hukumannya adalah dibunuh (dihukum mati). Dalam hal penegakan keadilan pada lembaga adat di Desa Sesait terdapat suatu aturan bahwa landasan penegakan keadilan adalah sebagai sabda pemimpin tertinggi isinya : ”jangan dibedakan, keluarga, pejabat, besar kecil, bangsawan, rakyat biasa, semua dikenakan hukum. Jangan pilih kasih, jangan bingung, jangan segan pada yang besar dan jangan kasihan kepada yang kecil. Bila datang, laksanakan menurut patokan hukum”. Sabda pemimpin tertinggi tersebut memberi rasa aman dan jaminan keadilan kepada semua rakyat; karena hukum tidak hanya berlaku pada rakyat kecil, tapi kepada siapa saja termasuk kepada penegak hukum sendiri ataupun kepada raja sekalipun. Pada lembaga adat Suku Sasak di Desa Sesait, penegak keadilan adalah Pemusung sebagai kepala adat tertinggi di desa (Krama Desa) dibantu oleh Tau Lokak Empat yang lain, Pemekal adat, Lang-Lang Jagad dan Keliang ditingkat Dusun. Tapi komponen lembaga adat yang paling berperan menegakkan hukum adat adalah Pemekal Adat. Pemekal Adat inilah sebagai eksekutif dalam menjalankan adat. Karena itu dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana adat, dalam struktur Pemekal adat, terdapat tiga komponen atau bagian yang membantu mengatur hubungan antar warga. Untuk jelasnya tentang hal ini dapat disimak dari penuturan Bapak Jekat (mantan Pemusung Sesait) berikut: a.
b.
Bagian Tata Krama, yaitu bagian yang mengatur dan bertugas menangani warga yang kawin, baik antar warga Pemusungan Sesait maupun dengan warga dari luar Sesait. Bersama Keliang dan Ketua banjar, bagian tata krama ini membicarakan seluruh proses perkawinan sebelum akhirnya diserahkan hasilnya ke Penghulu. Bagian Tap Sila, yaitu bagian yang bertugas mengatur dan mengawasi tingkah laku dan etika warga, seperti adat bertamu, bergaul, berperilaku sehari-hari. Bagian ini yang memberi teguran kepada warga yang bertamu
M. Rasyidi: Studi nilai budaya …
melewati batas waktu, berperilaku di luar kebiasaan. c.
Bagian Luir Gama: Bagian ini khusus menangani masalah-masalah agama. Bagian ini yang memperhatikan bagaimana kegiatan keagamaan dijalankan oleh warga. Bila terjadi penyimpangan, maka bagian inilah yang berperan menyelidiki sekaligus mengambil tindakan. Setiap permasalahan keagamaan akan dikoordinasikan dengan Penghulu Desa dan Penghulu Dusun (Wawancara tanggal 20 Juli 2008)
Untuk efektifnya pelaksanaan adat ini, maka dalam lembaga adat di Desa Sesait juga dibangun dan dijalankan sanksi-saksi sosial, sebagaimana kutipan cerita Jekat (55 tahun), diantaranya adalah: a)
Gila mampu : Sanksi adat bagi warga yang memukul warga lain. Dendanya berupa uang sebesar Rp. 2.500 dan ayam 1 ekor. Sanksi adat ini disebut ”duangtali limangatus”
b) Gila bibir: Sanksi adat bagi warga yang mencela, mengumpat dan memfitnah warga lain. Bila dilaporkan maka dendanya adalah uang Rp. 2.500 ditambah beras secukupnya. c)
Ilen pati: sanksi adat bagi orang yang berzina, berselingkuh atau berencana membunuh. Dendanya berupa kerbau/sapi 1 ekor atau kambing 2 ekor.
d) Bala gendang: sanksi adat bagi warga yang kawin lari yang dilakukan pada sore hari dari jam 3 sampai sebelum magrib. Dendanya berupa uang berdasarkan nilai yang ditentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati Pemekal adat. e)
Ombak suara: sanksi adat bagi warga yang kawin lari yang dilakukan jam 10 pagi sampai siang. Dendanya berupa uang dan ternak; nilai dan besarnya ditentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati Pemekal adat (Wawancara tanggal 20 Juli 2008).
Untuk mengetahui kedalaman penanaman hukum dan sanksi adat yang ditetapkan oleh lembaga adat di Desa Sesait ini dapat disimak dari cerita Aq.Samad (54 tahun) yang anaknya pernah melanggar hukum adat berikut:
77 ”...sekitar 4 tahun yang lalu (sekitar tahun 2004) anak saya pernah dituduh mencuri ayam tetangga, karena bulu ayam yang dicuri tersebut ada dihalaman rumah saya. Tuduhan itu ditimpakan kepada anak saya karena anak saya dianggap paling nakal dikampung. Meskipun saya sudah mengganti ayam tersebut dengan ayam yang lebih besar, tapi perasaan malu sampai sekarang masih terasa. Setiap ada tetangga yang kecurian, sepertinya mereka melihat saya dan menuduh keluarga saya, padahal anak saya sejak kejadian itu saya suruh menjadi TKI ke Malaysia dan sampai sekarang tidak pulang-pulang, kemungkinan dia malu seperti saya....lebih baik mati rasanya dibandingkan dengan menanggung rasa malu yang berkepanjangan ini” (wawancara tanggal 25 Juli 2008). Penegakan hukum dan sanksi adat secara tegas dan adanya perasaan malu masyarakat terhadap perbuatan yang menyimpang ini sangat besar pengaruhnya dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat di Desa Sesait. Setiap pelanggaran adat langsung ditindak dan pelaksanaan hukumannya disaksikan oleh masyarakat banyak. Hal ini menyebabkan warga masyarakat berfikir panjang untuk melakukan pelanggarann adat. Karena meskipun dia sendiri yang melakukan pelanggaran adat, yang kena getahnya bukan hanya dia sendiri, tapi semua keluarganya. Hal ini yang mendorong anggota masyarakat senantiasa bertindak dan berperilaku sesuai ketentuan adat. Karena itu tidaklah mengherankan bila di Desa Sesait kerukunan antar warga terjalin dengan baik; bahkan dengan warga di desa-desa sekitarnya. (4) Nilai Budaya Menyangkut Kesejahteraan Masyarakat Nilai-nilai budaya yang terdapat pada naskah kuno Kotaragama menyangkut peningkatan kesejahteraan masyarakat tercermin dari bagaimana raja atau pemimpin memberikan bantuan kepada masyarakat. Dalam pemberian bantuan tersebut, raja atau pemimpin diibaratkan sebagai candra, baskara dan warsa. Maksudnya seorang pemimpin harus memiliki sifat candra (bulan), artinya menerangi tanpa panas; bersifat baskara (matahari), artinya memberikan terang tanpa samar; dan bersifat warsa (hujan), artinya bersifat merata. Urutan kelompok masyarakat yang mendapat bantuan adalah: anak yatim, orang kaya yang jatuh melarat, janda yang tidak punya anak laki-laki (dewasa), orang yang baru datang
menunaikan ibadah haji, para pendatang, orang yang setia berbakti kepada pemimpin, orang yang tetap datang kepada pemimpin, orang melarat yang tidak mampu makan walau sehari. Nilai budaya yang terkandung dalam naskah Kotaragama di atas memberi tauladan kepada pemimpin agar dalam memberikan bantuan harus bersikap adil supaya tidak menimbulkan gejolak dan tidak menyebabkan masyarakat yang mendapat bantuan rendah diri; diberikan secara terbuka (transparan) tanpa ada yang disembunyikan; dan berlaku merata kepada segenap masyarakat yang berhak menerimanya. Prioritas masyarakat yang mendapat bantuan juga harus memiliki kriteria yang jelas, sehingga dalam pemberian bantuan tersebut tidak ada masyarakat yang merasa dikesampingkan atau dirugikan. Kondisi pemimpin pada masa Kotaragama bebeda dengan pemimpin adat pada masa sekarang, dimana pada masa lalu pemimpin adalah orang yang kaya karena menguasai kekayaan seluruh negeri, sehingga mereka lebih leluasa membagi kelebihan kekayaan kepada masyarakatnya. Sedangkan pemimpin adat di Desa Sesait kondisi ekonominya relatif sama dengan masyarakat lainnya; perbedannya adalah mereka diberikan menguasai ”tanah pecatu” yang luasnya relatif sama sebagaimana yang dikuasai oleh masyarakat lain, sehingga tidak memungkinkan membagi kekayaan atau hasil kekayaannya kepada orang lain. Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana lembaga adat memberikan kesejahteraan kepada segenap warganya dapat disimak dari cerita Maidi yang dipanggil Aq.Genail (45 tahun) Mangku Gumi Pemusungan Sesait berikut: ”...masyarakat di desa kami tidak ada yang terlalu kaya dan tidak ada yang terlalu miskin, hampir merata kondisi ekonominya. Kalau ada yang kelihatan rumahnya bagus biasanya itu berasal dari hasil kerjanya di luar negeri; kalau dari hasil kerjanya disini, ya seperti ini lah rumahnya (sambil memandang rumah tempat kami duduk yang semi permanen). Kami bisa saling tolong menolong melalui banjar yang ada di setiap kampung. Jadi banjarlah yang banyak mengatasi setiap masalah yang kami hadapi. Kalau ada acara kematian, banjar yang menangani, kalau ada acara perkawinan banjar yang menangani, bahkan kalau kami gagal panen, banjar yang membantu, ....hampir semua masalah dan kegiatan Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
78 banjar yang menangani....tidak pandang kaya atau miskin diperlakukan sama. Dalam bekerjapun biasanya kami saling tolong menolong (istilah setempat: siru balas) seperti dalam membangun rumah, jarang kami saling upah dengan uang, paling bantar dikasih makan. Bahkan pada warga yang kelihatannya kurang mampu tidak dibebankan apa-apa, kami makan dirumah kami sendiri, selain kami bantu memberikan bahan-bahan yang diperlukan. Cuma sekarang ada sedikit perubahan setelah ada warga luar yang masuk ke desa kami atau ada warga yang pergi menjadi TKI, pengupahan dengan uang mulai muncul, karena mereka tidak bisa membalasnya dengan tenaga..” (Wawancara tanggal 23 Juli 2008) Dalam menjalankan program bantuan pemerintah dari atas, Pemusungan Sesait berkoordinasi dengan Lembaga Krama Desa, Keliang di masing-masing dusun dan lembagalembaga lain yang berkaitan dengan pelaksanaan program bantuan tersebut. Pembagian bantuan atau proyek antar warga lebih bersifat selektif berdasarkan bentuk bantuan. Misalnya proyek perbaikan atau pengadaan infrastruktur ditentukan pekerjanya dari masing-masing dusun yang dipilih oleh Keliang atau Ketua Banjar. Kriterianya berdasarkan keahlian warga dan spesialisasi pekerjaan yang dibutuhkan oleh proyek tersebut. Bila proyek bantuan tersebut tidak membutuhkan keahlian khusus seperti pryek padat karya, maka setiap dusun diberikan proporsi yang sama; diutamakan yang tidak memiliki pekerjaan atau kondisi ekonomi paling lemah. Namun diakui oleh bapak Murdan (48 tahun, Kepala Pemusung Sesait sejak tahun 2007) dalam menyalurkan bantuan dari atas seringkali mengalami kesulitan, dimana disatu sisi Pemusung harus tunduk pada ketentuanketentuan dari atas sebagai pelaksana pemerintahan desa, disisi lain harus tunduk pada kebiasaan-kebiasaan lembaga adat, sehingga seringkali pelaksanaannya tidak sesuai harapan, seperti dalam menyalurkan batuan Raskin dan BLT. Salah satu permasalahan yang dicontohkan adalah sebagai berikut: ”Dalam pelaksanaan program raskin dan BLT, kita diminta data tentang orang-orang yang berhak menerimanya, tapi pada saat pelaksanaannya bantuan tersebut kurang, sehingga pada waktu pembagiannya menjadi M. Rasyidi: Studi nilai budaya …
susah. Kalau kita berikan sesuai dengan jatah yang telah ditetapkan, berarti ada sebagian masyarakat yang sudah kita data tidak memperoleh bagian. Kalau kita berikan secara merata, berarti setiap rumahtangga memperoleh jatah kurang dari ketentuan. Jadi serba salah. Akhirnya setelah berkoordinasi dengan perangkat desa, Lembaga Krama Desa dan dengan keliang-keliang (KadusKadus), akhirnya kami sepakat untuk memberikan secara merata, tapi yang kami nilai lebih miskin kami berikan lebih banyak. Sebenarnya ini tidak apa-apa karena kami berikan sesuai hasil rapat desa dan rapat adat yang kami lakukan bersama-sama. Cuma kekhawatiran kami jangan sampai masyarakat tidak mempercayai kami dan menganggap kami tidak berlaku adil, karena di desa lain ada yang memberikan jatah sesuai ketentuan dari atas (wawancara tanggal 21 Juli 2008). Apa yang dikhawatirkan oleh Kepala Pemusungan Sesait tersebut perlu diwaspadai, jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau kabupaten dapat meruntuhkan kerukunan antar warga dan meruntuhkan budaya saling tolong menolong melalui banjar yang sudah terbina lama dengan baik. (5) Nilai Budaya Menyangkut Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup Secara umum kepedulian lembaga adat dalam kaitannya dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti fisik dan kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti sosial. Ruang lingkup lingkungan hidup dalam arti fisik di daerah Sesait terkait dalam 4 wet (batas/daerah), yaitu: Wet Santong, Wet Sesait, Wet Pendua dan Wet Kayangan. Dalam berbagai hal ke empat wet ini telah membangun kesepakatan bersama terutama dalam menangani masalah lingkungan. Ini didasarkan karena ke empat wet ini memiliki kepentingan yang sama terhadap kebutuhan air untuk pertanian, keamanan, kelestarian hutan dan pelaksanaan gawe agama (maulid adat). Ke empat wet ini menggunakan seorang Jentaka yang sama untuk menjaga kepentingan distribusi air untuk usaha pertanian. Untuk kelestarian hutan dan pencegahan terjadinya erosi, ke empat wet
79 bersepakat untuk melarang dan memberikan sanksi penebangan kayu di hutan dan disepanjang jalan wet desa. Bila ada yang melanggar maka sanksinya adalah denda berupa sapi/kerbau atau pengusiran dari desa. Kesepakatan ini sangat ditaati oleh warga; dan dijaga dengan ketat oleh Lang-Lang Jagad yang ada di empat wet tersebut. Hal ini dapat disimak dari cerita Amaq Karuni (50 tahun, Pemekal Adat Sesait) berikut: ”.... dalam 10 tahun terakhir kami tidak pernah mendengar penduduk di empat wet ini menebang kayu hutan untuk diperjual belikan. Penebangan kayu hanya boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan ke empat wet dan hanya untuk kepentingan pembangunan rumah adat. Kayu yang kami pakai untuk membangun rumah berasal dari luar atau dari hasil kebun sendiri...” (Wawancara tanggal 23 Juli 2008). Untuk menjaga keamanan lingkungan hutan dan lingkungan sekitarnya masyarakat juga dilarang membuang sampah dan membakar di dalam hutan; termasuk membuang sampah atau limbah rumahtangga di sungai, got atau selokan. Pelarangan ini juga cukup ditaati oleh masyarakat, meskipun tidak ada sanksi yang disebutkan secara explesit. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hutan dan kebersihan ini tanpaknya karena ada rasa kebersamaan dan senasib sepenanggungan antara warga. Selain kepedulian warga terhadap lingkungan fisik, warga Desa Sesait juga sangat peduli terhadap lingkungan sosialnya, seperti dalam menghadapi warga yang sedang menghadapi musibah (baik musibah perampokan, pencurian, kematian) atau sedang menghadapi acara-acara tertentu, seperti pesta perkawinan, sunatan, aqiqah dan sebagainya; semua warga banjar ikut berpartisipasi, baik dengan tenaga, barang atau dengan uang. Sampai saat ini peran banjar masih sangat menonjol bahkan semakin terorganisir. Dalam pemberian bantuan, tidak melihat status warga yang bersangkutan, semua warga yang masuk dalam banjar memiliki hak dan kewajiban yang sama. (6). Nilai Budaya Tentang Toleransi Suku Sasak dalam bergaul dengan suku, agama dan bangsa lain bersifat terbuka dan lugu (innocent) (Windia, 2007). Dalam hal toleransi dalam bergaul, ada kecenderungan berlebihan. Ini terlihat jelas dengan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Sasak dalam percakapan dengan orang Sasak yang belum dikenal. Ini menyebabkan
orang luar Suku Sasak jarang mau mempelajari bahasa Sasak, karena orang Sasak sendiri jarang menggunakan bahasa sukunya. Berbeda sekali dengan suku Mbojo di Dompu dan Bima, dimana saja mereka berada dan ketemu dengan orang sesukunya langsung menggunakan bahasa sukunya, sehingga tidak mengherankan orang lain di daerah itu, seperti orang Cina sudah terbiasa menggunakan Bahasa Mbojo, bahkan dengan logat yang susah dipisahkan antara Suku Bima asli dengan dirinya. Namun dilain pihak orang Suku Sasak memiliki sifat yang tindih (konsisten). Mereka tidak pintar bersandiwara dan melakukan tipu daya. Janjinya dapat dipegang dan pernyataanpernyataannya tidak mengandung kebohongan, walaupun tanpa berikrar atau bersumpah (Windia, 2007). Sifat Suku Sasak yang terbuka dan lugu ini menyebabkan orang lain suku, lain agama dan lain bangsa senang tinggal di Pulau Lombok. Bahkan fakta menunjukkan penghargaan terhadap suku lain berlebihan dibandingkan suku sendiri. Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah perkawinan antara wanita bangsawan Sasak dengan pria dari masyarakat umum, maka wanita bangsawannya langsung dibuang oleh keluarganya, meskipun sekarang sedikit demi sedikit berubah. Tapi bila wanita bangsawan Lombok kawin dengan suku lain, bisa diterima selama persyaratan yang diperlukan dipenuhi. Ini menunjukkan kecenderungan bangsawan Suku Sasak memandang Suku Sasak luar bangsawan lebih rendah daripada suku dan bangsa lainnya. Peristiwa sarak yang terkenal dengan peristiwa 171 yang terjadi pada tahun 2001 telah mencoreng budaya toleransi Suku Sasak, namun banyak orang Sasak yang tidak mempercayai peristiwa tersebut dimotori oleh orang Sasak, terlebih-lebih oleh nilai budaya Sasak yang terkenal terbuka dan lugu. Salah satu contoh dari budaya penerimanya Suku Sasak adalah kehidupannya yang berdampingan mesra dengan Suku Bali yang beragama Hindu yang notabene sebelumnya pernah menjajah Suku Sasak. Mereka hidup saling bantu membantu dan saling menghargai meskipun suku dan agamanya berbeda. Kondisi yang sama juga diperlihatkan pada Lembaga Adat Suku Sasak di Sesait, meskipun jumlah penduduk Suku Bali hanya 10 orang, namun mereka tetap menerimanya sebagai warga Desa Sesait. Begitu juga penghargaannya terhadap orang dari luar desa sangat tinggi. Misalnya dalam tradisi midang (bertamu di rumah gadis desa), maka orang luar yang lebih diutamakan atau didulukan selama tidak Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
80 melampaui waktu yang telah ditentukan oleh lembaga adat, yaitu sampai jam 9 malam. Tingkat toleransi yang tinggi masyarakat Desa Sesait ini juga diperlihatkan pada saat ada keramaian atau pekanan atau pasaran yang diadakan pada setiap hari Sabtu. Hampir semua pedagang yang datang pada saat pasaran berasal dari luar desa, luar kecamatan bahkan luar kabupaten yang berasal dari berbagai suku dan agama; namun keamanan di desa ini tetap terjaga, tidak ada yang berperilaku jahat dengan melihat kemajuan orang lain. Terhadap bangsa lain, toleransi masyarakat tidak diketahui secara pasti, karena desa ini jarang dikunjungi oleh bangsa asing. Desa ini memang bukan tempat yang ideal sebagai tempat wisata, apalagi menetap bagi bangsa asing. Namun melihat pola pergaulan masyarakat yang bersifat terbuka dan lugu, diperkirakan masyarakat akan menerimanya dengan baik selama kehadirannya tidak mengganggu adat istiadat dan kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat.
c.
Saran a.
KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal yang berkenaan dengan tujuan penelitian: a. Nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam lembaga adat Suku Sasak di Desa Sesait yang menjadi pedoman masyarakat bertindak dan berperilaku berasal dari adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun dan dari ajaran agama Islam yang sudah ditanam sejak masa Kotaragama. Nilai budaya Suku Sasak yang dominan berasal dari ajaran agama Islam adalah nilai kepemimpinan, nilai kesetiaan, nilai keadilan dan nilai kemakmuran, sedangkan nilai budaya yang dominan berasal dari adat istiadat adalah nilai yang berkaitan dengan adab pergaulan, nilai toleransi, dan nilai kepedulian terhadap lingkungan hidup dan lingkungan sosial. b. Nilai budaya yang dijadikan pedoman masyarakat bertindak dan berperilaku ditanam melalui proses pelembagaan pada lembaga adat, penegakan awig-awig dan sanksi sosial secara konsisten dan tegas, penanaman rasa malu, rasa takut dan rasa bermasalah terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang; serta penanaman kesadaran masyarakat akan pentingnya
M. Rasyidi: Studi nilai budaya …
menjunjung norma-norma adat dan agama yang terdapat dalam lembaga adat. Nilai budaya Suku Sasak yang dapat dijadilkan modal sosial dalam pembangunan budaya bangsa adalah: (a) nilai kepemimpinan yang berlandaskan kemampuan menjalankan pemerintahan; adat istiadat dan agama; (b) nilai kesetiaan terhadap pemimpin dan keputusankeputusan yang dibuat; (c) nilai keadilan dalam penegakan hukum (awig-awig) dan sanksi-sanksi sosial kepada semua warga secara adil, termasuk kepada orang miskin atau pemimpin sekalipun; (d) nilai kemakmuran yang diciptakan dengan penanaman jiwa tolong menolong dan semangat gotong royong melalui lembaga banjar; (e) nilai kepedulian terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial; (f) nilai tolerasi terhadap warga dari luar desa; lain suku, lain agama dan lain bangsa.
b.
c.
Dalam memilih pemimpin atau penegak hukum, baik ditingkat lokal, kabupaten, provinsi maupun pada tingkat nasional sebaiknya didasarkan oleh kemampuannya bukan hanya dari aspek pemerintahan, politik, hukum atau aspek-aspek praktis lainnya; tapi juga kemampuannya dalam menjalin hubungan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan dengan semua lapisan masyarakat, sesuai dengan yang diisyaratkan oleh nilai agama dan adat. Untuk menegakkan keadilan, maka harus dimulai dari penanggung jawab dan penegak keadilan itu sendiri dan dilembagakan dalam lembaga-lembaga formal dan non formal (lembaga adat) dan ditanam rasa malu, rasa takut dan rasa bersalah terhadap perbuatan yang menyimpang serta penanaman kesadaran akan pentingnya menjaga kepentingan bersama. Untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Suku Sasak yang terdapat dalam lembaga adat, maka setiap program yang datang dari atas harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan lembaga adat, agar program tersebut tidak merusak keutuhan dan kebersamaan anggota masyarakat. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995/1996. Pengungkapan Nilai Budaya Naskah Kuno KOTARAGAMA. Departemen Pendidikan dan
81 Kebudayaan.Dirjen Kebudayaan. Musium Negeri Prop. NTB. Mataram Budiwati, E., 2000. Islam Sasak: Waktu Telu Versus Waktu Lima. LkiS, Yogyakarta. Juniarsih, N., 2005. Studi Perubahan Nilai Budaya Masyarakat Etnis Samawa Kawasan Tambang PT.NNT di Kabupaten Sumbawa Barat NTB (Tesis S-2). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Juniarsih, N., 2007. Studi Perubahan Orientasi Nilai Budaya Pada Masyarakat Lokal Suku Sasak di Kawasan Wisata Senggigi Pulau Lombok. Koentjaraninggrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia Jakarta.
Rasyidi, M., 2004. Eksistensi dan Peranan Lembaga Adat Masyarakat Sasak Dalam Pembangunan Desa (Tesis S-2). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Tjondronegoro, Sediono. M.P., 2005. Pembangunan, Modal dan Modal Sosial. Jurnal Sosiologi Indonesia. Ikatan Sosiologi Indonesia, Jakarta. Windia, B., 2006. Manusia Sasak, Bagaimana Menggaulinya. Genta Press, Yogyakarta. Wirutomo, P., 2005. Mencari Format Pembangunan Berbasis Nilai. Jurnal Sosiologi Indonesia. Ikatan Sosiologi Indonesia, Jakarta.
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008