Membangun Budaya dan Karakter ... (A. Syukur Ghazali)
1
MEMBANGUN BUDAYA DAN KARAKTER ANAK BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH1 oleh A. Syukur Ghazali2 ABSTRAK Tulisan ini berkenaan dengan pembentukan budaya dan karakter anak bangsa melalui pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini dilandasi oleh dasar pemikiran bahwa (a) sadar akan pentingnya pendidikan sebagai upaya membentuk generasi berkarakter dan bermartabat, (b) persoalan itu erat kaitannya dengan aspek sikap mental/karakter, diharapkan akan ikut terbentuk dan terbina pula aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang dalam pendewasaan dirinya, dan (c) salah satu kemungkinan yang perlu kita pertimbangkan adalah terwujudnya “hidden curriculum dengan penerapan kearifan lokal. Oleh karena itu, lingkup tulisan meliputi ketiga aspek itu, yaitu (1) konsep pendidikan karakter, (2) sikap mental dan aspek kehidupan, dan (3) kearifan lokal. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mendapatkan pemahaman yang lengkap mengenai pembentukan budaya dan karakter anak bangsa melalui pembelajaran sastra di sekolah. Gambaran lengkap ini meliputi (1) pro-kontra orientasi pendidikan karakter di Indonesia, dan (2) pembelajaran pendidikan budaya dan karakter melalui bahasa dan sastra Indonesia berbasis kearifan lokal. Tulisan ini menunjukkan bahwa gagasan memanfaatkan pembelajaran apresiasi sastra yang menekankan pada pengintegrasian nilai moral dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa didasarkan pada kenyataan bahwa sastra menjadi institusi yang memberi harapan bagi manusia untuk berbicara tentang realitas kehidupan yang hakiki. Realitas yang tidak berpijak pada gejala yang tampak, tetapi pada makna dari gejala yang tampak. Karya sastra merupakan tawaran imajinatif yang kaya dengan pilihan kemungkinan tentang struktur kehidupan yang kompleks. Di sini, kita bisa mengutip pandangan Michael Novak (Lickona, 1991: 50) yang menyatakan bahwa unsur pembentuk sikap bisa dilacak dari tradisi keagamaan, cerita sastra, nasihat kebijakan (sage), dan pandangan hidup tokoh yang mengalir secara turun-temurun secara historis. Kata kunci: budaya, karakter, pembelajaran 1 Disajikan pada seminar nasional dalam rangka Bulan Bahasa Sastra 2012 yang dilaksanakan oleh Forum Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala, bekerja sama dengan Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia, FKIP Unsyiah , di Auditorium FKIP Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 16 November 2012. 2 Penulis adalah Guru Besar Universitas Negeri Malang, Dosen pasca Sarjana Universitas Negeri Malang, Dosen Pasca sarjana Universitas Syiah Kuala
2
Master Bahasa Vol. I No. 1; Januari 2013: 1-14 ABSTRACT
This paper deals with building culture and character of young citizens by teaching them literature at schools. The research was based on the rationale that (a) the importance of education has been now considered as an effort to build a generation with good character and dignity, (b) that issue is closely related to the aspects of mental attitude/character which was expected to form other required life aspects, and (c) one of the possibilities we need to consider is the realization of “hidden curriculum” with the application of local wisdom. Therefore, the scope of this paper covered three aspects, i.e. (1) the concept of character education, (2) mental attitudes and life aspects, and (3) local wisdom. This paper is aimed at describing, interpreting, and gaining a complete understanding of the formation of culture and character of young citizens by teaching them literature at schools. This detailed overview includes (1) pros and cons in the orientation of character education in Indonesia, and (2) teaching culture and character through local-wisdom-based Indonesian Language and Literature. This paper showed that the idea of making use of learning to appreciate literature which emphasizes on integrating moral value in culture and character education for citizens, which was based on the fact that literature have become an institution which brings hope for people to talk about the ultimate reality of life. Such reality does not rest on observed phenomenon but on the meaning of the phenomenon. Literary works are imaginative products which were rich with the selection of possibilities about complex life structures. Keywords: culture, character education, teaching Di pintu masuk sebuah sekolah tertulis sebuah puisi yang ditulis oleh Aron (Reigeluth, 1999:594) seperti berikut: Hati-hati dengan pikiranmu Karena dari pikiranmu akan meluncur kata-katamu Hati-hati dengan kata-katamu Karena kata-katamu akan menjadi tindakanmu Hati-hati dengan tindakanmu Karena tindakanmu akan menjadi kebiasaanmu Hati-hati dengan kebiasaanmu Karena kebiasaanmu akan membentuk karaktermu Hati-hati dengan karaktermu Karena karaktermu itulah akan mengukir nasibmu Menyadari pentingnya pendidikan sebagai upaya sadar membentuk generasi berkarakter
dan bermartabat, dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 pemerintah sebagai penyelenggara dan fasilitator pembangunan sektor pendidikan menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan mencermati fungsi tujuan pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa 5 (lima) dari 8 (delapan) potensi peserta didik yang ingin dikembangkan tersebut sangat terkait dengan karakter anak bangsa yang ingin ditumbuhkan melalui pendidikan. Itu berarti bahwa sebenarnya tugas pendidikan yang paling utama adalah membentuk watak atau sikap mental
Membangun Budaya dan Karakter ... (A. Syukur Ghazali) (karakter) yang kuat dan tangguh, sebab watak atau sikap mental yang terbentuk merupakan kunci dari kemajuan suatu bangsa. Schriber, sebagaimana dikutip oleh Summahamijaya [tanpa tahun:3], menyatakan bahwa peran pendidikan dalam menentukan keberhasilan seseorang hanya 15%, yang 85% ditentukan oleh nilai sikap mental atau kepribadian seseorang. Lebih lanjut Summahamijaya [tanpa tahun: 66] mengungkapkan: “Sebenarnya sejak lama kita sering mendengar perlunya pendidikan sikap mental atau watak. Bahkan dalam kumpulan suratsurat RA. Kartini yang dibukukan dengan judul ‘Door Duisternis Tot Licht’, menunjukkan bahwa hampir setiap tulisan beliau penuh dengan katakata tentang perlunya pengembangan watak dan pembentukan watak di atas pendidikan otak. Karena di dalam pembentukan watak, menurut RA. Kartini, bahwa manusia akan lebih mampu untuk berdiri sendiri tidak tergantung dari kerabat dan dari siapa pun dengan menekankan perlunya kepercayaan pada diri sendiri”. Pendirian R.A. Kartini yang tertuang dalam pernyataan di atas dikuatkan oleh temuan penelitian di Harvard University Amerika Serikat [Akbar, 2000], yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan sematamata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill); kesuksesan ditentukan oleh sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Terbukti bahwa orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil karena lebih banyak didukung oleh kemampuan soft skill daripada hard skill. Dengan demikian, sudah selayaknyalah apabila pendidikan kita lebih memusatkan perhatian pada peningkatan mutu pendidikan karakter peserta didik (siswa). Secara logis, apabila aspek sikap mental/ karakter sudah terbentuk dengan baik, diharapkan akan ikut terbentuk dan terbina pula aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang dalam pendewasaan dirinya. Termasuk di dalamnya amanat Pembukaan
3
UUD 1945 alinea 4 yang bercita-cita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya, jika watak atau sikap mental (karakter) bangsa belum terbentuk dan terbina dengan baik, kemungkinan besar juga sulit mewujudkan bangsa yang cerdas dan maju. Stigma masyarakat yang cerdas dan maju akan memberikan nuansa kehidupan yang cerdas dan maju pula, serta secara progresif akan terbentuk sifat dan sikap mandiri. Oleh karena itu, kita sebagai pendidik sudah seharusnyalah mulai berpikir serius tentang bagaimana seharusnya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa direalisasikan dan diimplementasikan di dalam dunia pendidikan kita. Apa saja yang mungkin dapat kita lakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi anak-anak kita agar mereka kelak menjadi anak bangsa yang bermartabat, mampu bersaing dengan bangsa lain, dan bermanfaat bagi agama, dunia, dan akhiratnya. Salah satu kemungkinan yang perlu kita pertimbangkan adalah terwujudnya “hidden curriculum”, kurikulum tersembunyi yang berisikan pengalaman-pengalaman yang disediakan oleh sekolah, baik lahiriah maupun batiniah, yang dalam jangka panjang yang kemungkinan membuahkan hasil belajar yang kita harapkan. Yang perlu kita wujudkan bukan hanya tercapainya hasil belajar ranah kognitif yang prima, melainkan juga anak yang secara pribadi dan sosial menurut agama tergolong ke dalam qurrota a’yunin, anak yang menyenangkan apabila dipandang secara mata lahiriah, terutama mata batiniah. Pro-Kontra Orientasi Pendidikan Karakter di Indonesia Jika dilihat dari budaya sebagai sumber pendidikan karakter bagi anak bangsa, terdapat dikotomi yang cukup tajam dalam orientasi pendidikan di Indonesia. Kotraversi pertama bersumber dari anggapan bahwa leluhur kita menyediakan budaya yang lengkap dan sempurna; penerus bangsa tinggal bekerja keras menggalinya untuk kemaslahatan pendidikan anak bangsa, khususnya untuk tujuan pendidikan
4
Master Bahasa Vol. I No. 1; Januari 2013: 1-14
karakter anak. Adapun kubu kedua beranggapan bahwa masa depan adalah dunia berbeda. Untuk itu, penerus bangsa berkewajiban mencari dan menemukan ratna mutu manikam yang patut untuk hiasan mereka yang hidup di era yang berbeda. Faruk (1995: 3) menyebut kedua kubu itu dengan sebutan nasionalisme sentripetal untuk kubu pertama dan nasionalisme sentrifugal untuk kubu kedua. Bahkan, junjungan kita, Nabi dan Rasul Muhammad SAW mengingatkan kita akan pentingnya menyiapkan anak kita dengan metode dan strategi yang tepat dalam sabdanya: ‘allimu ‘auladakum fainnahum makhlukuuna li zamanin ghaira zamaanikum.” Didiklah anakmu dengan cara yang sesuai dengan zamannya, karena mereka dilahirkan pada zaman yang cara mendidiknya berbeda dengan cara yang diterima oleh orang tuanya. Berorientasi ke Timur Dari analisis terhadap pikiran dan hasil renungan di dalam karya sastra yang mereka tulis, ditemukan ada tiga cara memanfaatkan kearifan lokal. Pertama, local genious secara sentripetal digunakan sebagai landasan untuk mencari model: seperti apakah bentuk dan isi kebudayaan “Indonesia” pada masa yang akan datang. Pada tahap ini, bayangan Indonesia baru belum menemukan bentuknya. Kedua, kearifan lokal digunakan sebagai batu loncatan untuk menghasilkan subject-matter, tokoh, latar, peristiwa yang lebih mendarat di bumi “Indonesia”. Akan tetapi para pelaku budaya masih ragu-ragu terhadap budaya barat sepenuhnya, namun mereka sadar, bahwa budaya timur tidaklah dapat mewadahi pikiran mereka sepenuhnya. Ketiga, ketika berada di buminya sendiri yang merdeka, para pelaku budaya mulai menyadari bahwa di lingkungannya sendiri cukup banyak masalah yang dapat diangkat menjadi ide tulisan kreatif dengan kendaraan muatan lokal/warna lokal /local genious. Dengan kata lain, warna lokal merupakan mutiara yang menunggu penggosok yang terampil agar menjadikannya berkemilau. Bergerak ke dalam secara sentripetal akan membuat para pelaku
berjumpa dengan arus kekuatan sejati kearifan lokal yang bermanfaat bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai contoh, ketika ingin menyampaikan hasil perenungan dan penghayatannya terhadap budi luhur nilai-nilai kehidupan orang Jawa untuk pendidikan anak, Umar Kayam menulis dalam novelnya “Para Priyayi”, melalui tokoh Sosro Darsono dan Lantip, bahwa anak perlu diajak mengerti tentang siapa dirinya, mempersiapkan masa depannya. Dengan sareh dan sabhar, tokoh masa depan Lantip dibesarkan melalui pendidikan keluarga nilai berupa ngenger, tirakat, sabar, nariman, sregep, ngalah, temen, dan jhujhur. Melalui pendidikan Ing ngarso asung tuladha, ing madya hambangun karso, dan Tut wuri handayani di dalam keluarga, Lantip digulawentah (didik dengan cara keras dan disiplin) dengan nilai-nilai sebagaimana diyakini oleh keluarga Jawa sebagai peranti kehidupan untuk menjadi “orang Jawa”. Melalui pendidikan yang kurikulumnya sudah dihayati, dengan pelaksanaan pendidikan sepanjang hari di sepanjang waktu, dengan kesadaran bahwa Lantip-lah penerima tongkat estafet keluarga, Den Mantri Guru Sosro Darsono membesarkan keponakannya di rumahnya sendiri. Lantip TIDAK dibesarkan dengan gaya hidup keluarga priyayi, melainkan dengan gaya hidup orang biasa dengan cara berpikir priyayi yang berorientasi pada pemikiran modern, dengan gaya yang sangat disiplin, dan siap memberikan hukuman apalagi ‘anak didiknya” berbuat kesalahan. Berorientasi ke Barat Untuk kalangan budayawan, seniman, ilmuwan, yang oleh sebab latar-belakang pendidikannya yang berwarna barat, mereka memiliki pikiran dan perasaan yang berorientasi ke barat, mereka selalu beranggapan bahwa timur itu penuh dengan pikiran yang diwarnai oleh mitos, penuh dengan keanehan, dan selalu mengkhayalkan dunia impian (dream land) atau dunia masa lalu yang damai sentosa. Oleh karena itu, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan kaum
Membangun Budaya dan Karakter ... (A. Syukur Ghazali)
5
sentripetal tidak didasarkan pada dunia nyata. tetapi saya sama sekali hidup sezaman Golongan ini secara sentrifugal bergerak keluar, dengan saudara-saudara saya perempuan dan mereka menjadi dunia impian yang lebih berkulit putih di barat yang jauh.” menjanjikan, yaitu dunia barat. Pandangan yang demikian terdapat dalam The Oxford Companion Kartini dengan tegas menolak sikap dan to American Literature yang menyatakan bahwa: pandangan hidup saudara-sudaranya yang sama-sama berkulit sawo matang yang masih “In local-color literature one finds the berpendirian terbelakang, terikat oleh masa dual influence of romanticism and realism, lampaunya, dininabobokkan oleh masa lalunya, since the author frequently looks away dikekang oleh mitos dan warna lokal yang from ordinary life to distant lands, strange menyilaukan pemiliknya. customs, or exotic scenes, but retains Dalam pandangan Kartini di atas, warna through minute detail a sense of fidelity and kulit tentunya bukan menjadi sasaran utama accuracy of description. Its weaknesses Kartini. Fokus sasarannya adalah sikap dan may include nostalgia or sentimentality” pikiran yang telah dicapai oleh kaum kulit (p. 439). putih, yaitu cara berpikir maju, berpandangan jauh ke depan, tidak yang meninggalkan harta Kutipan di atas menyatakan bahwa sastra karun leluhur yang “tidak tepermanai nilainya”. yang mengangkat warna lokal yang berorientasi Dengan demikian, memilih barat merupakan di dua alam, yaitu romantisisme dan realisme. solusi bagi ketertinggalan, cara berpikir lokal, Menurut definisi di atas, pengarang menjauh dan tindakan yang tidak rasional, melainkan dari dunia nyata, dan pengarang berakrab-akrab emosional. dengan dunia eksotis, kebiasaan yang asing, dan Cara pandang yang relatif sama dengan alam yang berada jauh dari dunia kita sekarang Kartini dianut juga oleh Sutan Takdir Alisjahbana. ini. Menurut pembuat definisi ini, dunia yang Pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang diciptakan oleh penulis berwarna lokal itu dimiliki oleh Tuti membuatnya tidak canggung bersifat nostalgia dan sentimental. berada di depan masyarakatnya. Ia begitu mudah Dari kutipan di atas tampak bahwa kubu bergaul, keluar masuk desa dan kota tanpa ada kedua ini beranggapan bahwa dalam warna rasa canggung. Di dalam “Layar Terkembang” lokal tidak ada kearifan karena di dalamnya Takdir menggambarkan bahwa pendidikan dan penuh kelemahan, karena di dalam pandangan organisasi mampu membuat keterbelakangan kubu ini yang ada hanya nostalgia dan perasaan menjadi terkuat terbuka lebar bak “Layar yang penuh sentimental. Dengan kondisi yang Terkembang”. Namun, Takdir dengan berani demikian, kubu sentrifugal telah memberikan menghadapkan Tuti, tokoh protagonis dalam penghakiman bahwa kubu sentripetal tidak roman “Layar Terkembang”, pada pilihan yang mampu memberikan pikiran dan paparan tidak populer di kala itu: ia dijauhi oleh laki-laki yang tegas dan rinci, dan uraian yang cermat karena Tuti berperangai tidak seperti wanita pada serta seksama. Sikap yang demikian dapat kita umumnya di zaman itu. Dengan demikian Takdir lihat dari pandangan Kartini (1985:1), pelopor telah sejak awal telah menyadari bahwa memilih gerakan pencerdasan kaum wanita, di bawah ini: barat pun, dan tentu saja meninggalkan Timur (warna lokal atau kearifan lokal) bukan tanpa “... Hati saya menyala-nyala karena konsekuensi. Pelaku-pelakunya harus berani semangat yang menggelora akan zaman menghadapi konsekuensi apa pun yang bakal baru. Ya, bolehlah saya katakan, bahwa dihadapi oleh pelakunya, baik konsekuensi yang dalam hal pikiran dan perasaan saya, saya bersifat pribadi atau pun yang bersifat sosial. tidak turut menghayati Zaman Hindia ini,
6
Master Bahasa Vol. I No. 1; Januari 2013: 1-14
Pembelajaran Pendidikan Budaya Dan Karakter Melalui Bahasa Dan Sastra Indonesia Berbasis Kearifan Lokal Ciri-ciri manusia pasca era industri berbeda dengan karakter manusia era industri.
Pemahaman terhadap ciri-ciri tuntutan zaman itu akan membuka pikiran dan wawasan kita untuk merekayasa seperti apakah kurikulum bahasa Indonesia kita, kegiatan belajar-mengajar yang bagaimana yang diperlukan.
CIRI-CIRI INDIVIDU ERA INDUSTRI >< PASCA INDUSTRI
1. Karier dipertahankan dalam jangka relatif lama 2. Mempertahankan kesetiaan kepada majikan 3. Jenis pekerjaan menjadi identitas 4. Pendalaman pekerjaan dilakukan secara konsisten 5. Ikut organisasi profesi 6. Kepegawaiannya stabil 7. Gaji meningkat secara bertahap
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Berkarier Tempat bekerja lebih dari satu Identitas kabur Pendalaman terhadap pekerjaan tidak searah Bekerja sebagai free-lance Keluar-masuk tempat kerja Pendapatan tidak menentu Status sering berubah Masa depan tidak bisa diprediks
Dengan tuntutan yang demikian, anak didik yang harus kita persiapkan harus memiliki karakteristik individu pasca industri berikut. INDIVIDU ERA INDUSTRI
1. Memiliki rasa Percaya Diri 2. Memiliki ketrampilan khusus 3. Menguasai Perencanaan dan implementasinya 4. Mampu mengendalikan birokrasi 5. Cenderung mengikuti jejak pendahulunya
INDIVIDU PASCA INDUSTRI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Menuntut kemampuan berkomunikasi Harus mampu bekerja kelompok Mampu menjalin hubungan antarmanusia Mampu memecahkan masalah Berani menghadapi resiko ketidak-pastian dari keputusan yang diambil. Menghasilkan rancangan inovatif Pribadi yang besar tanggung-jawabnya Belajar terus-menerus Mampu mengelola dirinya sendiri tanpa tergantung pada orang lain Berpegang teguh pada etika, nilai-nilai, dan prinsip.
Dalam menghadapi tantangan era industri era IT, masyarakat menaruh harapan besar pada lembaga pendidikan sekolah untuk mengasuh putra-putrinya. Masyarakat beranggapan bahwa sekolah sebagai sebuah komunitas belajar akan menyediakan kesempatan kepada putra-putri mereka untuk mengeksplorasi dan mengelola dunia secara lebih produktif melalui kemahirwacanaan: membaca berbagai bidang pengetahuan, terampil menulis dan berkomunikasi lisan, dan peka terhadap perubahan. Orang tua
siswa juga berharap agar putra-putrinya memiliki pemahaman tentang kehidupan sosial, ketekunan mengembangkan diri, sopan santun, menjadi lebih bermartabat, dan secara pribadi memberikan sumbangan untuk terbentuknya generasi yang memiliki kualitas yang tinggi (Joyce, 1992:1). Pada saat ini, pertumbuhan dan perkembangan siswa selain diarahkan melalui pendidikan sekolah, juga dipengaruhi oleh produk teknologi komunikasi dan informasi. Tayangan televisi, siaran radio, pemberitaan media cetak,
Membangun Budaya dan Karakter ... (A. Syukur Ghazali) dan internet (Ingat fenomena Ariel Peterporn dan Luna Maya) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses berbagai perkembangan informasi yang berlangsung dengan sangat cepat. Era globalisasi memposisikan siswa sebagai bagian dari arus perkembangan teknologi komunikasi informasi yang cenderung meniadakan batas-batas geografis negara dan identitas budaya. Pada saat ini, yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tatanilai yang menyertainya, tetapi sudah merupakan peleburan budaya. Salah satu konsekuensi sulit yang dihadapi oleh siswa ialah seringnya siswa mengalami dilema moral ketika harus membuat keputusan dengan tepat pada situasi kehidupan yang terus berubah. Di sinilah tugas mulia dari lembaga pendidikan: memberdayakan siswa agar mampu mengatasi dilema moral, sehingga, pada gilirannya mereka dapat bertahan dengan nilai moral yang terus-menerus mengalami perubahan. Besarnya tanggung-jawab lembaga pendidikan terhadap pembangunan moral anak bangsa diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional RI melalui terbitnya salah satu kebijakan pendidikan nasional. Melalui Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP, Depdiknas sejak tahun 2001 telah mengimplementasikan Program Pembangunan Karakter Bangsa. Melalui Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas melakukan upaya sadar untuk memperbaiki, meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat-istiadat, nilainilai, potensi, kemampuan, bakat, pikiran, dan cita-cita bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur yang dibangun sebagai prioritas karakter bangsa yakni: iman, takwa, jujur, disiplin, demokrasi, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, mandiri, sehat, kreatif, berilmu/berkeahlian, dan berakhlak mulia (Muhammad, 2003: i). Mengapa pendidikan nilai dan akhlak mulia itu perlu dilakukan? Semiawan (2000: 4) menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan bahwa kekerasan dan benturanbenturan sosial dapat dicegah sejak dini dengan mengedepankan kebersamaan dan pluralitas, prinsip-prinsip toleransi, dan anti terhadap
7
segala bentuk kekerasan. Berdasarkan gagasan itu, proses pembelajaran dapat diberdayakan untuk mengembangkan kompetensi nilai moral sebagai fondasi tumbuhnya power of culturing. Hal yang terpenting bagi guru adalah melatih kesadaran, sikap berdisiplin, dan etos ilmiah peserta didik. Fungsi pendidikan tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang ditanamkan. Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah budaya, pendidikan, dan ideologi. Pengalam-an belajar yang diberikan di lembaga pendidikan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan dirinya menjadi makhluk yang mengedepankan nilai moral, dan kelak, bekal itu akan membawa-nya menjadi manusia Indonesia berakhlakul karimah. Salah satu kebijakan yang dapat dipilih untuk mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang mengedepankan semangat moral sebagai titik tolak berpikir, bersikap, dan bertindak yakni dengan memberdayakan pembelajaran apresiasi sastra untuk pendidikan nilai moral. Mengapa pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu memanfaat-kan sastra sebagai wahananya? Jawabnya terletak pada hadirnya upaya tokoh-tokoh novel yang bergelut dengan zamannya, menghadapi tantangan dengan pantang menyerah. Bahkan, dalam karya sastra banyak diciptakan tokoh protagonis yang menunjukkan pribadi yang tangguh ketika berhadapan dengan tokoh antagonis yang menguras tenaga, pikiran, bahkan sampai pada peristiwa yang menguji ketangguhan kepribadian sang tokoh. Sastra dapat dijadikan sumber bahan pelajaran yang kaya nuansa. Oller (1983:12) memberikan pernyataannya sebagai berikut, “Literature (again, referring to those pieces involving plots and character) can provide contexts for language learning in which the language itself (its syntax, semantics, and pragmatic) becomes more memorable.” Menurut Oller, salah satu keunggulan sastra karena jenis wacana ini disusun secara periodik. Dengan menggunakan “Hipotesis Episode”, Oller menyatakan bahwa urutan logis dalam karya sastra menjadi lebih memudahkan siswa untuk memproduksi, memahami, dan
8
Master Bahasa Vol. I No. 1; Januari 2013: 1-14
menghapalkannya. Penyusunan cerita secara periodik itu dapat membangkitkan kembali ingatan siswa terhadap kebiasaan mendengarkan cerita dari orang tuanya. Selain itu, pada umumnya penyusunan cerita konsisten dengan pengalaman yang didapat oleh anak dalam kehidupannya yang nyata. Sastra juga dapat memajankan budaya setempat kepada anak. Dengan membaca “Umi Kulsum” kumpulan cerpen karya Djamil Suherman, anak dapat mengetahui budaya pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren. Dengan membaca roman “Tenggelamnya Kapal van Der Wijck” anak akan mengetahui sedikit tentang seluk-beluk kehidupan di Sumatera Barat, bagaimana cara orang Minangkabau memilih menantu, dan bagaimana orang lakilaki Minangkabau menjalankan tugasnya sebagai penanggung-jawab kemenakannya.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan sastra sebagai sumber bahan pelajaran banyak memberikan keuntungan baik dari segi bahasa maupun dari sudut budaya. Beberapa aspek yang telah disebutkan di muka merupakan faktor yang amat mendukung upaya menciptakan atmosfer alamiah di dalam kelas. Pembelajaran apresiasi sastra untuk pendidikan nilai moral memberikan kesempatan kepada siswa mengonstruksi pengalaman dan pengetahuan baru untuk memahami moralitas kehidupan manusia. Pengalaman belajar apresiasi sastra memberikan pencerahan batin kepada siswa untuk memahami diri sendiri, orang lain,
alam semesta, dan Tuhan. Siswa sebagai subjek belajar aktif mencari, memikirkan, merenungkan, menghayati, dan menilai nilai-nilai moral yang diangkat, diolah, didistilasi, dan disublimasikan oleh sastrawan dalam bentuk karya sastra. Pemahaman, penghayatan, dan internalisasi nilai moral dalam karya sastra yang dialami oleh siswa memiliki potensi besar mengantarkan siswa tumbuh menjadi manusia dewasa yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaannya. Dengan demikian, siswa akan menjadi individu yang memiliki dan menghargai nilai-nilai moral. Apresiasi nilai moral dapat menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat kewajiban moral (oughtness) pada tiap-tiap keputusan dalam kehidupan, dan pengingkaran terhadap kewajiban tersebut membawa sanksi secara langsung atau tidak langsung. Kesadaran terhadap kewajiban moral ditunjukkan tidak dalam wujud seperangkat pengetahuan tentang hukum atau kaidah moral, melainkan dalam wujud keterampilan berpikir kritis atas setiap keputusan nilai dan sikap moral yang dipilihnya, dan secara konsisten teramati dalam hidup yang nyata. Di sinilah pentingnya pendidikan untuk melakukan hibridasi terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu, sebagai titik tolak untuk mendeskripsikan, mengidentifikasi, menglasifikasi, memilih, dan memutuskan nilai yang perlu dipelajari oleh siswa. Nilai yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional untuk kepentingan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ada 16 Nilai.
Nilai dan Deskripsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Religius Jujur Toleransi Disiplin Kerja keras Kreatif Mandiri Demokratis Rasa ingin tahu
10. Semangat kebangsaan 11. Cinta tanah air 12. Menghargai prestasi 13. Bersahabat/komunikatif 14. Cinta damai 15. Gemar membaca 16. Peduli lingkungan 17. Peduli sosial 18. Bertanggung-jawab
Membangun Budaya dan Karakter ... (A. Syukur Ghazali) Penggunaan karya sastra untuk pendidikan nilai moral selaras dengan Program Pendidikan Karakter bangsa dan standar kompetensi lintas kurikulum. Tujuan Program Pembangunan Karakter Bangsa, yakni memfasilitasi kegiatan penanaman nilai moral dan etika, sebagai dasar pembangunan karakter individu melalui program pendidikan. Adapun pelaksanaannya tercermin pada program intrakurikuler, ekstrakurikuler, kerjasama dengan masyarakat, dan penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif (Muhammad, 2003:4). Akan halnya pencapaian kompetensi lintas kurikulum, guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat bekerja sama dengan guru lain, khususnya mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam membahas topik-topik yang saling berhubungan. Kerja sama dengan guru ketiga mata pelajaran tersebut diarahkan pada pencapaian standar kompetensi misalnya, siswa memiliki keyakinan, menyadari, serta menjalankan hak dan kewajiban, dan saling menghargai dan memberi rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dengan berbagai budaya dan agama; serta siswa berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual; serta siswa menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat yang beradab. Tema yang dikembangkan oleh pengarang dalam karya sastra bersifat tak terbatas mencakup berbagai problematika kehidupan manusia seperti kemiskinan, penindasan, kesewenang-wenangan, kelicikan, kerakusan, tanggung jawab, kegigihan menegakkan kebenaran, kejujuran, dan ketulusan cinta menjadi sorotan pengarang dari abad ke abad. Tokoh-tokoh atau peristiwa yang ditampilkan berasal dari berbagai bangsa, kelompok etnis, kelas sosial baik yang tinggal di istana, rumah-rumah penduduk, hingga gubukgubuk di pinggir sungai. Tokoh-tokoh atau peristiwa menjadi media ekspresi pengarang untuk menggambarkan nilai yang hidup dan berkembang pada suatu kelompok atau
9
gagasan atas sebuah nilai yang ditawarkan pengarang. Simbol-simbol dalam sastra mengisyaratkan pengalaman hidup pengarang. Pengalaman hidup dapat berupa hasil belajarnya maupun tanggapan khas pengarang terhadap fakta-fakta kehidupan. Setiap pengarang adalah individu yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan dengan semangat moral tertentu dalam masyarakat. Dalam diri seorang pengarang akan terjadi dialog yang terus-menerus antara semangat moral yang dimilikinya dengan hasil serapannya terhadap semangat moral masyarakat yang menjadi sumber inspirasi penulisan karyanya. Pengarang dapat menjadi wahana dinamika persentuhan antara semangat moral lokal dan yang mondial. Persentuhan ini dapat terlihat pada konsep, imaji, dan nilai-nilai yang ditawarkan pengarang dalam karyanya. Jika pembelajaran apresiasi nilai moral dalam karya sastra memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan, dan meningkatkan pengetahuan, maka masalah penting yang harus dipikirkan yakni tersedianya model pembelajaran yang dapat menyediakan kesempatan bagi siswa mengakomodasi dan mengasimilasikan informasi, mengonstruksi pengetahuan melalui proses interaksi, memecahkan masalah melalui proses inkuiri, menemukan model, melakukan refleksi atas proses belajar yang telah dan akan dilakukannya, dan merancang kegiatan lain untuk melakukan ekspansi dan transformasi pemahaman moral yang telah diperolehnya. Shaver dan Strong (1982: 22-31) memberikan penjelasan yang panjang-lebar tentang peringkat nilai moral yang semestinya diinternalisasikan pada anak didik kita. Dua orang ahli berkebangsaan Amerika itu menyebutkan ada 2 (dua) nilai moral penting yang harus mendapatkan perhatikan, yaitu nilai moral pribadi dan nilai moral sosial. Nilai moral pribadi dan sosial itu tidak boleh dilihat sebagai dua hal terpisah karena keduanya terletak dalam sebuah kontinum,
10 Master Bahasa Vol. I No. 1; Januari 2013: 1-14
Nilai moral Pribadi Dari kedelapan nilai moral yang perlu direalisasikan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa terdapat nilai moral pusat, yaitu jujur/ dapat dipercayai. Nilai moral ini menjadi nilai moral dasar bagi nilai moral pribadi dan juga bagi nilai moral sosial. Selain nilai noral, Shaver dan Strong (1982: 22-31) juga menyebutkan ada 4 (empat) nilai non-moral yang perlu mendapatkan perhatian kita. Nilai non-moral yang dimaksud adalah: 1) nilai estetika, meliputi kemampuan menilai keindahan seperti dalam lukisan, pentas teater, karya sastra, termasuk di dalamnya menilai keindahan/kelezatan dalam seni memasak tradisional atau modern, serta menilai keindahan alam dan lingkungan sekitar; 2) nilai kinerja dan penampilan, yaitu kemampuan seseorang menunjukkan kinerja yang sebaik-baiknya, memuaskan banyak pihak karena kinerjanya memenuhi persyaratan baku seperti layaknya ketepatan jam tangan diukur dari ketepatannya menunjuk waktu, bukan dari merk-nya atau pun dari perhiasan yang menempel pada permukaan jam tersebut; 3) nilai intrinsik, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar yang bersifat pribadi, yaitu wisma, wanita, curiga, turangga,
Menjaga diri dari perbuatan tercela / melanggar kaidah moral masyarakat
Bebas bicara tetapi bertanggung-jawab
Berjiwa patriotisme
Jujur/dapat dipercaya
Bekerja sama
Pekerja keras
Rapi/pembersih
Diam dan berpikir
sebuah garis lurus yang berhubungan, seperti tampak pada gambar berikut.
Nilai moral Sosial dan kukila. Tiga kebutuhan, yaitu wisma, wanita, curiga merupakan kebutuhan primer, sedangkan dua yang terakhir, yaitu turangga (kendaraan), dan kukila (burung, atau bunyi-bunyian sebagai hiburan) merupakan kebutuhan sekunder. Seseorang akan dinilai oleh orang lain dari caranya memenuhi kebutuhan primer dan sekunder tersebut, apakah dia hidup samadya (sederhana) sebagaimana layaknya orang, ataukah dia memenuhinya secara berlebih-lebih sehingga dia digolongkan orang sebagai seseorang yang dumeh, aji mumpung (orang yang memenfaatkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri), bahkan mungkin dicap orang sebagai adigang, adigung, adiguna (menindas orang lain yang berada di bawah kekuasaannya). 4) nilai instrumental, yakni ukuran nilai yang sangat pribdi, misalnya warna cat tembok atau perhiasan yang ada di dalam kelas: adakalanya seseorang menyenangi warna cerah, tetapi adakalanya pula orang lain menyukai warna yang kalem atau lembut. Begitu juga dengan musik: ada yang suka irama lembut, tetapi ada pula yang suka irama cepat dan meninggi. Itu semua adalah nilai instrumental.
Membangun Budaya dan Karakter ... (A. Syukur Ghazali)
11
Perhatikan puisi K.H. Mustofa Bisri dan Taufik Ismail berikut ini.
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Pilihan K.H. Mustofa Bisri
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi Murid-murid itu termenung sendirisendiri Ada yang memutar-mutar pensil dan balpoin Ada yang meletakkan ibu jari di dahi Ada yang salah tingkah, duduk gelisah Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
Antara kaya dan miskin tentu kau pilih miskin Lihatlah kau seumur hidup tak pernah merasa kaya Antara hidup dan mati tentu kau memilih mati Lihatlah kau seumur hidup matimatian Antara perang dan damai tentu kau memilih damai Lihatlah kau habiskan umurmu menyembunyikan Kebiadaban dalam peradaban Antara nafsu dan nurani tentu kau memilih nurani Lihatlah kau sampai menyimpannya rapi jauh dari kegalauan dunia Antara dunia dan akhirat tentu kau memilih akhirat Lihatlah kau sampai menamakan amal duniamu Sebagai amal akhirat Antara ini dan itu Benarkah kau memilih itu? Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang Taufik Ismail “Murid-murid, pada hari Senin ini Marilah kita belajar Tatabahasa Dan sekaligus juga belajar mengarang Bukalah buku pelajaran kalian Halaman enam puluh sembilan “Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi ‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’ Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
“Ayo siapa yang sudah siap?” Maka tak ada seorang mengacungkan tangan Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru Murid-murid itu berpandangan saja Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan Dan dia pun memberikan jawaban “Mengeritik itu boleh, asal membangun” Membangun itu boleh, asal mengeritik Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak Membangun mengeritik itu boleh asal Mengeritik itu membangun itu asal boleh Mengeritik itu membangun Membangun itu mengeritik Asal boleh mengeritik, boleh itu asal Asal boleh membangun, asal itu boleh Asal boleh itu mengeritik boleh asal Itu boleh asal membangun asal boleh Boleh itu asal Asal itu boleh Boleh boleh Asal asal