Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa Hj. Emosda Universitas Jambi
Abstract: In context of education in Indonesia, the phenomenon of declined moral values has become a kind of red light that urged all parties to immediately view a synergy essential for the development of character education. Honesty is an important character in order to build a strong nation. Through honesty we can learn and understand about balance and harmony. The values of honesty on the students can not be taught theoretically. A good example of parents and teachers will lead the students to get the right model to be used as a mirror of personality in their lives, so it will form a whole person of character. Keywords: Character Education, Honesty.
I. Pendahuluan Dalam konteks pendidikan di Indonesia, fenomena tentang kemerosotan nilai-nilai moral telah menjadi semacam lampu merah yang mendesak semua pihak untuk segera memandang penting sebuah sinergi bagi pengembangan pendidikan karakter. Banyak bukti menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ternyata membantu menciptakan kultur sekolah menjadi lebih baik, peserta didik merasa lebih aman, dan lebih mampu berkonsentrasi dalam belajar sehingga prestasi mereka meningkat. Menyiapkan karakter bangsa bukan hanya berurusan dengan Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
151
Hj. Emosda
penanaman nilai-nilai pada terdidik, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan suatu lingkungan pendidikan sebagai tempat dimana setiap individu dapat menghayati kebebasannya, sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Menyiapkan karakter bangsa merupakan sebuah pedagogi yang memiliki tujuan agar setiap pribadi semakin menghayati individualitasnya, mampu menghargai kebebasan yang dimilikinya sehingga dia dapat semakin bertumbuh sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang bebas dan bertanggung jawab, bahkan sampai pada tanggung jawab moral integritas atas kebersamaan hidup dengan orang lain di dalam dunia.1 Penanaman nilai-nilai kejujuran sebagai salah satu karakter bangsa memunculkan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Apakah penanaman nilai-nilai kejujuran dapat menjamin terwujudnya nilainilai kejujuran dalam perbuatan seseorang? Sekiranya pendidikan hanya diartikan sebagai penanaman nilai, betapa mudahnya menjadi pendidik. Pendidik dapat saja menyusun urutan nilai-nilai yang seyogianya dimiliki terdidik, kemudian dipikirkan teknik penanamannya, dan selanjutnya diterapkan kepada mereka, maka tertanamlah nilainilai itu pada diri terdidik. Apakah demikian? Dalam kenyataannya, pendidikan itu tidak semudah yang diduga. Mungkin masih banyak orang yang berhipotesis bahwa “Knowing is behaving”, sementara jika kita membaca dalam sejarah, ternyata sejarah kemanusiaan menunjukkan bahwa orang yang telah memiliki banyak nilai, belum tentu mengamalkan nilai-nilai itu. Tampaknya penanaman nilai-nilai belum menjamin lahirnya pribadi-pribadi yang berkarakter seperti yang diharapkan. Pendidikan tidak mampu mewariskan nilai-nilai positif dalam sebuah proses pendidikan.2 Berbagai buku tentang pendidikan ada mengupas bahwa peradaban manusia merupakan warisan yang diambil oleh generasi sekarang dari generasi terdahulu melalui upaya yang sungguh-sungguh. Per1 Lihat Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter Menuju Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT Grasindo, 2007). 2 Kompas, 8 Juni 2007.
152
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
adaban merupakan warisan sosial yang diupayakan manusia dalam memperoleh dan memeliharanya. Warisan itu tidaklah berpindah dengan sendirinya dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya, kecuali dengan pendidikan yang berperan mentransfer kekayaan pemikiran, nilai-nilai mulia, serta tradisi yang baik dari nenek moyang ke generasi berikutnya. Aktivitas pendidikan sejak awal telah menjadi cara bertindak dari sebuah masyarakat, sebagai upaya melanggengkan peradab annya. Kepada generasi yang lebih muda mereka mewariskan nilainilai yang penting dalam kultur masyarakat tempat mereka hidup. Jika proses pewarisan ini tidak terjadi, maka nilai-nilai yang telah menghidupi masyarakat dan kebudayaan tersebut terancam punah dengan kematian para anggotanya. Oleh karenanya pendidikan memiliki peran penting, sebab tidak hanya menentukan keberlang sungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam sebuah masyarakat. Dari sinilah landasan kita untuk berpikir bahwa penanaman nilainilai (dalam hal ini kejujuran) perlu dilakukan secara terus-menerus, sekaligus lebih dalam mempertanyakan tentang penanaman nilai-nilai (kejujuran) dari keseluruhan pendidikan yang utuh.
II. Penanaman Nillai-nilai Kejujuran Melalui Pendidikan Jujur jika diartikan secara baku adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran.3 Dalam kamus bahasa Indonesia4, kata jujur berarti tidak bohong, lurus hati, dapat dipercaya kata-katanya, tidak khianat. Jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyata an atau tidak mengakui suatu hal sesuai dengan apa adanya, maka orang tersebut dapat dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik dan sebagainya. Jujur adalah suatu karakter yang berarti berani menyatakan keyakinan pribadi menunjukkan siapa dirinya. 3 Albert Hendra Wijaya, Kejujuran dalam Pendidikan, http://aliranim. blogspot.com/2010/09/kejujuran.html 4 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 420.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
153
Hj. Emosda
Sesuai kitab suci Al-Qur’an pengertian “jujur” terkandung dalam surat Al-Maaidah (8): Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebenaranmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan definisi di atas maka pengertian jujur (kejujuran) akan tercermin dalam perilaku yang diikuti dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai dengan kenyataan, berbuat sesuai bukti dan kebenaran. Dengan demikian kejujuran merupakan salah satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian. Tujuan utama sebuah pendidikan adalah membentuk kejujuran, sebab kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama dan kunci menuju keberhasilan. Melalui kejujuran kita dapat mempelajari, memahami, dan mengerti tentang keseimbangan-keharmonisan. Jujur terhadap peran pribadi, jujur terhadap hak dan tanggung jawab, jujur terhadap tatanan yang ada, jujur dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. Kecurangan adalah sebuah bentuk ketidakjujuran yang acap kali terjadi dalam kehidupan. Bila kejujuran sudah hilang, maka kekacauan dan ketidakharmonisan akan menguasai situasi. Yang ada hanya rekayasa dan manipulasi, penyerobotan hak, penindasan, dan sebagainya.5 Nilai kejujuran merupakan satu di antara 5 nilai moral Islam. Nilai kejujuran yang dilandasi oleh nilai-nilai religius, paralel dengan nilai-nilai etika moral yang berlaku secara umum. Pengembangan nilai-nilai bijak tersebut diyakini sangat efektif melalui pendidikan dan hasilnya akan tercermin dalam kehidupan masyarakat. Ini merupakan cita-cita ideal dari dunia pendidikan sebagai basis untuk belajar kejujuran. Proses penanaman nilai-nilai kejujuran pada anak didik sesungguhnya tidak bisa diajarkan secara teoritis, seperti hafalan definisi atau 5
154
Albert Hendra Wijaya, Kejujuran dalam Pendidikan. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
pendapat para ahli. Penanaman nilai-nilai kejujuran menuntut tata kehidupan sosial yang merealisasikan nilai-nilai tersebut. Keteladanan yang baik dari orang tua dan guru, akan mengantarkan anak didik untuk mendapatkan modelling yang tepat untuk dijadikan cermin kepribadian dalam kehidupan mereka. Tanpa menyertakan keteladanan (dalam hal ini kejujuran) pada pribadi orang tua dan guru, boleh jadi anak didik akan kehilangan public figure yang bisa membawa mereka menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter. Orang bijak mengatakan bahwa kejujuran itu berawal dari rumah dan sekolah. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya peranan orang tua dan guru dalam penanaman nilai-nilai kejujuran itu. Untuk membahasnya lebih jauh, dapat digunakan pendekatan historis agar terlihat jelas peristiwa dan situasi pendidikan yang pernah terjadi. Berikut kisah yang diperankan secara nyata dan transparan oleh seorang khalifah, yaitu khalifah Umar bin Khatab yang penuh hikmah. Pada suatu hari yang tidak membahagiakan bagi anak Umar bin Khatab yaitu ketika dia pulang dari sekolah, dia menangis tersedu-sedu, lalu Umar bertanya kenapa anaknya menangis. Anaknya menjawab dengan polos bahwa ia diolok-olok teman-temannya di sekolah karena baju yang dipakainya banyak tambalan. Ada yang mengatakan kepada anak Umar: Hai kawan-kawan, perhatikanlah dengan mata kalian berapa banyak tambalan baju anak ini. Kata-kata pedih yang mengiris hati ini menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan kawan-kawannya di sekolah. Kesedihan dan kepedihan hati anak Umar disampaikan kepada ayahandanya tercinta. Dalam merespon apa yang disampaikan anaknya, Umar menunjukkan tingkah bijaksana, Umar tidak naik pitam, tidak marah kepada anak-anak yang mencaci anak kandungnya. Umar bin Khatab dalam keluarganya memang tidak pernah berpola hidup konsumtif, beliau menerapkan pola hidup sangat sedehana, padahal beliau menjabat sebagai khalifah di Mekah, bahkan baju beliau sendiri juga banyak tambalannya. Setelah mendengarkan keluhan dan kesedihan anaknya. Sayyidina Umar berangkat menemui pejabat kas Negara, dengan suatu Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
155
Hj. Emosda
tujuan ingin meminjam uang untuk membelikan baju buat anak kesayangngannya. Kiranya niat belum tercapai karena Umar tidak bertemu dengan pejabat yang ia cari, hingga akhirnya beliau menitipkan surat untuk pejabat tersebut yang isinya adalah: Dengan perantaraan surat ini perkenankanlah aku untuk meminjam uang kas Negara sebanyak 4 dinar sampai akhir bulan. Pada awal bulan nanti akan langsung aku bayar dengan gajiku untuk melunasi hutangku tersebut. Demikianlah pesan dan permohonanku, dan atas perhatian saudara aku ucapkan terima kasih. Tertanda Umar bin Khatab Khalifah di Mekkah.
Surat yang ringkas dan penuh pengharapan itu dibaca dengan teliti oleh pejabat kas Negara. Setelah memahami apa yang diinginkan Umar, maka dengan cepat ia membalas surat tersebut dengan penuh ketakjuban dan penghormatan. Isinya sebagai berikut: Dengan segala hormat. Surat balasan kepada jujungan Khalifah Umar bin Khatab. Wahai Khalifah mantapkah keyakinanmu untuk hidup sebulan lagi, melunasi hutangmu, agar kami tidak ragu meminjamkan uang kas Negara, seandainya meninggal sebelum melunasinya? Demikianlah kurang lebih mohon maaf. Hormat kami pejabat kas Negara.
Surat itupun dikirim ke Umar. Setelah beliau menerima dan membaca, Umar menangis tersedu-sedu, lalu Umar berseru kepada anak kesayangannya “…. Hai anakku, sungguh aku tidak mampu membelikan baju baru untukmu, dan berangkatlah ke sekolah seperti biasanya, sebab aku tidak dapat meyakinkan akan pertambahan usiaku, sekalipun hanya sesaat. Anak Umar itupun menangis mendengarkan apa yang disampaikan ayahnya. Anak Umar itupun tetap tegar dan tabah bagai sebatang pohon tinggi yang tumbuh di padang pasir yang luas. Biar angin kencang, angin puting beliung pun, namun ia tidak goyah. Ia tetap aktif masuk sekolah dengan baju yang bertambal itu. Kini ia tahu pasti bahwa Allah tidak akan pernah melihat penampilan orang secara hakikinya, tapi yang akan dilihat dan dinilai Allah adalah hati orang tersebut. Kemuliaan di sisi Allah bukanlah orang-orang yang indah dan gemerlap pakaiannya, tetapi kemuliaan di sisi Allah adalah bagi orang-orang yang penuh takwa, yang jujur, dan manusia yang tulus ikhlas terhadap 156
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
Allah. Kini bagi anak Umar sudah mantap di hatinya, semenjak ayahnya berbicara dengannya, lebih baik berpakaian penuh tambalan asal pakaian yang dipakai itu halal dan diridlai Ilahi, daripada memakai pakaian yang bagus, gemerlap dan serba mahal, namun dibeli dengan uang yang tidak halal. Dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran tersebut peran orang tua sangat penting. Hal ini berlangsung dalam interaksi yang berkesinambungan dengan anak sejak anak berusia dini. Lingkungan keluarga merupakan faktor dominan, efektif dan terpentingdalam mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan, dan reproduksi langsung nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Mochamad Isa Soeleman menegaskan bahwa perimbangan antara kualitas dan intensitas hubungan dalam keluarga akan dirasakan anak dan dihayatinya secara psikologis. Ini perlu agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa akan tetap dihormati, mewarnai sikap dan perilaku anaknya.6 Orang tua hendaknya melatih dan membiasakan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan acuan moral dan kontrol. Jika orang tua mampu membantu anak menyadari dan menghayati perilakuperilakunya, niscaya anak akan memiliki penilaian diri. Orang tua hendaknya membantu mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya penyimpangan nilai-nilai dan selanjutnya diubah atas dasar kesadaran diri terhadap adanya nilai-nilai moral atau perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku. Dalam kondisi yang lebih luas, dapat disimak dari peristiwa dan situasi pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membina umatnya? Berdasarkan pengalaman para sahabat yang berada di sekeliling Nabi Muhammad SAW, pendidikan yang mampu membina sejarah besar dibalik pribadi-pribadi besar itu adalah: antara Nabi Muhammad dengan pengikutnya dibangun pertalian antar sahabat dengan sahabat, bukan pertalian antara guru-murid. Semua orang yang bertemu 6 Lihat Mochamad Isa Soeleman, Pendidikan Keluarga, (Bandung: Alfabeta, 1994).
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
157
Hj. Emosda
dengan Rasulullah SAW yang mengikuti ajarannya disebut sahabat. Derajat mereka diangkat naik, bukan semata-mata sebagai murid. Ini saja sudah merupakan langkah awal yang sangat penting bagi pembinaan pribadi sahabat. Demikian cintanya para sahabat kepada Nabinya, dan sebaliknya Rasulullah SAW sangat cinta kepada mereka. Hubungan itu diabadikan dalam Al-Quran surat At-Taubah (128): Telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (kebaikan) bagi kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Pada barisan para guru/pendidik, sepatutnya pula bertanya: Apakah sebenarnya yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membina sahabatnya? Situasi pendidikan yang bagaimanakah yang Beliau ciptakan agar lahir manusia yang berwatak kokoh kuat dan berperilaku baik? Satu ilustrasi sederhana ini akan menggambarkan betapa tingginya nilai pendidikan yang telah lahir dari situasi pendidikan yang diciptakan oleh Baginda Rasulullah SAW. Dalam sebuah sejarah terungkap peristiwa sebagai berikut: “Seorang sahabat Rasulullah SAW yang tidak begitu dikenal, ditangkap dan ditawan kaun Quraisy. Ketika akan dibunuh, dia ditanyai: Manakah yang akan engkau pilih, lehermu dipancung sekarang ini, atau engkau aku bebaskan dengan selamat, tetapi Muhammad akan menjadi penggantimu? Sahabat itu dengan lantang menjawab: Potonglah leherku sekarang juga, tak perlu kau lambat-lambatkan. Janganlah engkau sebut-sebut lagi Muhammad akan menggantikan kedudukanku sebagai tawananmu. Tergores saja kulitnya sedikit, aku bersedia mati untuk memberikan nyawaku sebagai penebus diri beliau.” Apakah ungkapan sahabat tersebut merupakan hasil penanaman nilai-nilai keagamaan, atau hasil upaya membaca, memahami, mengadopsi situasi pendidikan yang telah diciptakaan oleh Rasulullah? Kalau disimak berbagai tokoh sahabat yang pernah memperoleh pendidikan langsung dari Rasullah SAW. Ternyata hasil karya besar beliau telah menumbuhkan kekaguman berbagai pihak. Banyak tokoh pendidikan yang bertanya: “maha guru macam apakah beliau itu?” 158
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
Dengan membaca karakteristik dari situasi pendidikan dan pribadi yang melaksanakannya, akan diperoleh kesan yang mendalam tentang peranan pendidik dalam menciptakan situasi pendidikan yang mengestafetkan pengalaman nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Rasullah SAW tampil sebagai pribadi yang penuh kebesaran, kejujuran, dan ketinggian. Banyak orang terpesona melihat kebesarannya, dan mereka ini tidak dapat dipersalahkan. Sementara orang yang ada di sekeliling beliau bersedia menebus dirinya dengan nyawa mereka, dan justru mereka akan memperoleh keberuntungan. Dari sejarah tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan yang bermuara pada pembinaan manusia-manusia yang kokoh dan kuat, tidak dapat terjadi melalui indoktrinasi, bukan pula melalui penyampaian nilai-nilai (kejujuraan) secara lisan, melainkan harus diwujudkan dalam perbuatan nyata dengan menampilkan ciri-ciri kejujuran dalam kegiatan sehari-hari secara sungguh-sungguh. Dari situasi pendidikan tersebut lahir tokoh-tokoh besar yaitu manusia-manusia yang memiliki karakter sebagai berikut: a. Manusia yang bersedia hidup dengan penuh usaha dan perjuangan. Aktivitas mereka tidak sekedar menjadi kegiatan rutin,melainkan bersifat kreatif dan orisinal. Berkat kreatifitas itulah manusia telah berhasil mengubah dunia yang belum tergarap dan terselesaikan, yang kemudian mengisinya dengan aturan dan keindahan. Sehari-hari manusia hidup dalam kaitan yang aktif dengan lingkungannya, dan secara dinamis mengubahnya, sesuai dengan maksud dan kebutuhan dirinya. Senandung Iqbal memperlihatkan karakter manusia seperti itu. Hidup ini selalu menyongsong kesulitan Menolak segala sikap gemampang, Hidup itu selalu mencipta Selalu meraih yang serba baru, Hidup itu laksana mengubah busana indah Dari sari pati air dan tanah, Hidup itu memanfaatkan tangan dan kaki, Memfungsikan mata dan kaki.
b. Manusia yang mampu menerapkan inteligensinya untuk menInnovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
159
Hj. Emosda
jelajahi dan mengendalikan daya dan kekuatan alam, sambil aktif menambah dan mengembangkan pengetahuan dan kekuatan dirinya sendiri. Intelek itulah yang memberikan kekuatan kepada manusia untuk selalu sibuk dan bergerak sejalan dengan ridla dan perkenan Allah SWT. Ia akan mempersembahkan segala dayanya dalam rangka mewujudkan maksud penciptaan manu sia, mengemban tugasnya sebagai khalifah di bumi. Kedudukan seperti ini menuntut ketegasan dan kejelasan dalam memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Ia tidak mengenal kompromi dengan segala bentuk kejahatan maupun kecurangan (ketidakjujuran). Gambaran manusia seperti ini disenandungkan Iqbal sebagai berikut. Ia mengembalikan segala kepada Allah semata: Bangun dan tidurnya, Makan dan minumnya, Melihat maupun menutup mata. Dalam segala perilakunya ia merasa: Dekat dan terlibat kepada ALLAH, Dan kebesaranNya memancar dalam segalanya.
Tiga sifat utama yang seyogianya diraih manusia yang bertindak sebagai khalifah di bumi, yaitu: (1) keberanian untuk selalu berada dalam kebenaran. Ia akan terhindar dari perbuatan kasar, kejam, kuasa sendiri dan eksploitasi. Demikianlah ajaran tauhid akan menumbuhkan kesadaran dan keberanian dan harga diri, (2) toleran, yaitu menghargai ego sendiri dan ego orang lain. Ini berarti bahwa pendidikan seyogianya mengarahkan terdidik untuk menghargai pendapat, pikiran, kepercayaan, perbuatan, dan individualitas orang lain, dan (3) faqr dalam arti memanfaatkan dunia dalam mencapai maksud baik, penuh makna, dan berbobot nilai. Ini berarti bahwa manusia yang memiliki sifat faqr akan selalu berupaya menjadi pejuang rohani yang gigih dan menjadi perisai untuk melindungi dirinya dalam setiap langkah hidupnya.7 Di balik gambaran hasil upaya didikan Rasulullah itu, makin jelas bagi kita upaya didikan tangan halus beliau dalam merentangkan prinsip-prinsip pendidikan yang menunjukkan kebesaran sang guru 160
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
dan kebenaran ajarannya, cahaya risalah dan rahmatnya, ketinggian rasa santunnya, akal budi, dan buah pikirannya. Masa remajanya bersih dan suci, lebih terang dan lebih terbuka, malahan perhatian kaumnya lebih tertumpah kepadanya. Begitu pula ketika dia dewasa, Ia menjadi tumpuan pengamatan, pusat pembicaraan, sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Al-Ahzab (21): “Telah ada bagi kalian contoh yang baik pada diri Rasulullah, bagi orangorang yang mengharap Allah dan hari akhir, serta bagi yang banyak ingat kepada Allah”. Cahaya terang dari sinar yang memancar yang bersumber dari pribadi Rasulullah telah memikat cinta kasih umatnya yang beriman, dan menyebabkan mereka memandangnya sebagai panutan, pedo man, sebagai guru dan teladan. Pribadi sang guru yang memiliki keutamaan dan keistimewaan. Pribadi yang memancarkan kesucian, kesederhanaan, kejujuran, keberanian dan keteguhan pendiriannya, ketinggian rasa santunnya, akal budinya dan buah pikirannya. Ia menjadi tumpuan pengamatan, pendengaran, penglihatan. Segala gerak-gerik dan tindak-tanduknya menjadi ukuran bagi penilaian mereka terhadap yang haq, baik dan terpuji. Demikianlah kehidupan Beliau, contoh gamblang sejak dari ayunan hingga ke liang lahat, semenjak beliau lahir ke dunia hingga wafat. Semua patut menjadi milik umat manusia. Bahasan mendalam tentang pribadi yang berdiri di balik keberhasilan pendidikan yang digambarkan di atas tidak dapat diabaikan terutama sebagai pedoman bagi kita dalam “penanaman nilai-nilai kejujuran melalui pendidikan”. Kita ketahui bahwa nilai-nilai kejujuran adalah bagian dari nilai-nilai kehidupan berbangsa yang bersifat penting dan berguna bagi kemanusiaan sebagai patokan dalam melakukan sesuatu dan merupakan satu butir garapan pendidikan dalam menyiapkan karakter bangsa. Dalam pendidikan, banyak unsur yang terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai 7 Lihat M.D. Dahlan, Internalisasi Nilai-Nilai Agama dalam Kehidupan Remaja, (Bandung: Unisba, 1991).
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
161
Hj. Emosda
tenaga pendidik. Seorang guru (pendidik) hendaknya memiliki sifatsifat pribadi sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Proses penanaman nilai-nilai kejujuran mungkin hanya menghasilkan pemahaman dan pemilikan saja, namun belum tentu sampai terwujud dalam pribadi yang utuh. Berbicara tentang penanaman nilai-nilai, maka peran dan sikap pendidik tidak terbatas pada sekedar menyusun situasi belajar, lalu membiarkan terdidik menentuan pilihannya sendiri tanpa memikirkan akibatnya. Pendidik harus terlibat secara mendalam untuk membina pribadi anak didik, dan merasa susah apabila terdidik gagal mencapai standar normatif yang ditetapkan sebelumnya. Upaya pendidik agar nilai-nilai kejujuran berperan dalam kehidupan anak bangsa, dapat ditimba dari kehidupan Rasulullah SAW yang menunjukkan besarnya peranan pendidik dalam upaya membina nilai-nilai keagamaan kepada umatnya seperti yang telah dipaparkan di atas. Demikian pula dalam penanaman nilai-nilai kejujuran, dimana kejujuran adalah satu butir garapan pendidikan. Penanaman nilai-nilai kejujuran berlangsung dalam situasi pendidikan, di mana pendidikan hendaknya menjadi tempat identifikasi bagi terdidik. Seorang pendidik tidaklah cukup hanya dengan mempertontonkan dirinya sebagai penyangga perilaku normatif. Penanaman nilai-nilai kejujuran seperti itu mungkin akan menggiring terdidik pada tahap perbuatan yang diformalkan saja dan tidak berlangsung dalam kewajaran. Artinya pendidikan tidak mampu mewariskan nilai-nilai positif dalam sebuah proses pendidikan.8 Untuk memulai penciptaan situasi mendidik, Rasulullah telah menggariskan rambu-rambu dengan sabdanya: “Mulailah dari diri mu”. Keteladanan yang baik dari guru akan mengantarkan seorang murid mendapatkan model (public figure) yang tepat untuk cerminan hidup sehari-harinya, sehingga mereka menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter. Sekolah yang di dalamnya terdapat para guru adalah media untuk mewujudkan manusia-manusia yang berkarakter. Untuk itu sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk 162
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan nilai-nilai meliputi segala aspek kepribadiannya. Rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan adalah roh pendidikan. Roh pendidikan merupakan nafas kehidupan di setiap lini, lorong, dan sudut pendidikan.9 Dalam realitas di dunia pendidikan roh pendidikan yang dimak sudkan sepertinya sudah sirna bahkan hilang dari sekolah. Banyak sekolah yang kehilangan roh pendidikan sehingga hubungan guru dan anak didik, antar sesama anak didik, dan antar guru menjadi hubungan yang formalistis dan mekanistis belaka. Seyogianya dibangkitkan dan disegarkan kembali karena kegiatan pendidikan pada dasarnya merupakan pengkhususan komunikasi personal antar guru dan siswa. Kompetensi kepribadian dan sosial keguruan menunjukkan perlunya struktur kepribadian dewasa yang mantap, susila, dinamik, dan bertanggung jawab. Nilai-nilai hidup yang dihayati serta mengarahkan seluruh tindak keguruannya hendaknya bersumber pada pengalaman iman yang hidup. Kompetensi kepribadian personal dan sosial memiliki beberapa konsekuensi atau karakter guru, antara lain: (a) Guru menghayati serta mengamalkan nilai hidup (termasuk nilai moral dan keimanan). Mengamalkan nilai hidup berarti guru yang bersangkutan dalam situasi mau melakukan perbuatan nyata yang baik, yang mendamaikan diri beserta lingkungan sosial. Proses pendidikan selalu bersifat normatik, yaitu memperjuangkan nilai-nilai luhur baik yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tindakan keguruan hendaknya bertolak dari keyakinan tertentu, yang sekaligus perlu dikaji atau direfleksi terus menerus. Nilai luhur kemanusian yang mendasar selalu bersifat universal. (b) Guru hendaknya bertindak jujur dan bertanggung jawab. Kejujuran dan kesediaan bertanggung jawab atas segala tindak keguruannya tersebut, merupakan pengakuan akan berbagai keterbatasannya yang perlu dibenahi atau dikembangkan terus-menerus. Dengan demikian, berkaitan dengan upaya guru dalam mena 8 9
Kompas, 8 Juni 2007. Lihat Supriyoko, Membangkitkan Roh Pendidikan, (Yogyakarta, 2008).
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
163
Hj. Emosda
namkan nilai-nilai kejujuran pada anak didik, ada empat (4) hal yang penting diperhatikan, sebagai berikut: Pertama, Isi yang diajarkan kepada anak didik hendaknya dikaitkan dengan kenyataan dan praktek yang ada di lingkungan luar. Kesadaran akan kesenjangan antara yang diajarkan dengan praktik, hal ini dapat menumbuhkan sikap kejujuran realistik yang mendorong upaya-upaya menemukan solusi. Kedua, Adanya atmosfir lingkungan yang jujur, mulai dari kelu arga, sekolah, teman sebaya, sampai perguruan tinggi. Kurikulum dan isi pengajaran secanggih apapun akan kurang berdaya guna apabila atmosfer tersebut tidak bisa diiklimkan atau diciptakan. Sangat ironis bila pendidik memberikan teladan ketidakjujuran dalam pelaksanaan tugasnya. Ketiga, Pengenalan diri, tugas, fungsi dan perannya serta kemampuan bertindak sesuai tugas, fungsi, dan martabatnya perlu menjadi atmosfer dunia pendidikan. Keempat, Pentingnya pembentukan kemauan dan kehendak yang kuat dalam proses pendidikan untuk membiasakan siswa dengan soft skill yang diperlukan dalam kehidupan.
III. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa dalam penanaman nilai-nilai kejujuran pendidik hendaklah mengerjakan tugasnya dengan rasa kasih sayang, penuh keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan dalam suasana kekeluargaan. Kinerja atau perestasi kerja guru adalah keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang bermutu sehingga tercapai hasil belajar tingkat tertinggi ranah afektif, yaitu karakteristik/internalisasi atau dikatakan juga penghayatan nilai-nilai yang ada sehingga nilai-nilai tersebut menjadi milik pribadi anak didik. Kejujuran sebagai suatu nilai adalah landasan dan dasar dari prilaku manusia yang baik. Berbuat dan bekerja dengan hati yang lurus dapat memenuhi nilai kejujuran. Mari kita mulai dari diri baik sebagai orang tua maupun sebagai guru. Semoga strategi ini membawa hasil yang optimal dalam menyiapkan karakter bangsa. 164
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran dalam Menyiapkan Karakter Bangsa
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
165
Hj. Emosda
BIBLIOGRAFI Abdullah, Taufik.,(2005), Ensiklopedi Tematis-Dunia Islam, Ajaran. PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Bostoni, Hepi Andi (2008), Sejarah Para Khalifah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta. Koesoema A, Doni (2007), Pendidikan Karakter Menuju , Strategi mendidik anak di zaman Global, PT Grasindo, Jakarta. Linda & Richard(1995), Mengajarkan Nilai-nilai kepada Anak. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. M.D. Dahlan (1991), Internalisasi Nilai-nilai Agama dalam Kehidupan Remaja, Unisba Bandung. Prayitno (2007), Profesionalitas tenaga pendidik, UNP Padang. Supriyoko, (2008), Membangkitkan roh pendidikan, Yogyakarta. Wijaya, Albert Hendra (2008), Kejujuran dalam Pendidikan. Webbset.
166
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011