Optimalisasi Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Bangsa Oleh, Husni*
Abstrak: Keluarga adalah napas dan tulang punggung masyarakat. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cermin dari keadaan keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa itu sendiri. Keselarasan kebijakan pemerintah dalam semua sektor pembangunan termasuk pembinaan keluarga menjadi penting untuk menunjukkan kekonsitenan membangun keluarga bahagia dan sejahtera serta manusia Indonesia seutuhnya, yang bermutu, sehat, cerdas dan sejahtera (sakinah mawaddah warahma). Dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), tahun 2005-2015, pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, berbudaya, beretika, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Kata Kunci: Keluarga, Karakter Bangsa Pendahuluan Mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis sebagai unit terkecil dari satu negara Islam melalui syariatnya menetapkan sekian banyak petunjuk dan peraturan baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang lebih luas untuk menata kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Kehidupan keluarga, apabila diibaratkan sebagai suatu bangunan, demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, ia harus didirikan di atas suatu pondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Pondasi kehidupan kekeluargaan tidak lain adalah ajaran agama, disertai
*
Husni, Guru Mata Pelajaran PKn pada SMA Negeri 2 Palopo
129
130
Volume 14, Nomor 1, Juni 2012
dengan kesiapan fisik dan mental. Kokohnya bangunan keluarga tercermin antara lain dalam mendidik anak-anak sejak dalam kandungan sampai masa dewasanya dengan karakter bangsa, berbudi pekerti yang luhur dan berkhlak mulia. Adapun jalinan perekat bagi bangunan itu adalah hak dan kewajiban yang disyariatkan Allah, untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga yang pada akhirnya menciptakan suasana aman, bahagia, dan sejahtera bagi seluruh masyarakat dan Bangsa. Diversifikasi Peran keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan berdasarkan agama dan hukum yang sah. Dalam arti yang sempit, keluarga terdiri dari ayah, ibu (dan anak) dari hasil perkawinan tersebut. Sedangkan dalam arti luas, keluarga dapat bertambah dengan anggota kerabat lainnya seperti sanak keluarga dari kedua belah pihak (suami dan istri) maupun pembantu rumah tangga dan kerabat lain yang ikut tinggal dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga (ayah). Setiawati, (http:buletinlitbang.dephan.go.id) mengemukakan bahwa kehidupan keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya. 2. Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain. 3. Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik pikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain, pembentukan kepribadian, melaksanakan peran, fungsi, dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga. 4. Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pencapaian fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga. Pada hakikatnya keluarga merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio berbagai unsur sistem sosial manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang baik karena di dalam
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
131
keluargalah seluruh anggota keluarga belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat. Perkembangan peradaban dan kebudayaan, terutama sejak iptek berkembang secara pesat, telah banyak memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan umat manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif. Kehidupan keluarga pun, banyak mengalami perubahan dan berada jauh dari nilai-nilai keluarga yang sesungguhnya. Di era modernisasi dan globalisasi, banyak pihak yang menilai bahwa kondisi kehidupan masyarakat dewasa ini khususnya generasi muda cukup mengkhawatirkan, yang hal ini bermula dari kondisi kehidupan dalam keluarga. Oleh karena itu, pembinaan terhadap anak secara dini dalam keluarga merupakan suatu yang paling esensial. Pendidikan agama, budi pekerti, tatakrama, dan baca-tulis-hitung yang diberikan secara dini di rumah serta teladan dari kedua orangtuanya akan membentuk kepribadian dasar dan kepercayaan diri anak yang akan mewarnai perjalanan hidup selanjutnya. Keluarga dalam hal ini orang tua memegang peranan yang sangat penting dan utama dalam memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara fisik maupun psikologis) kepada putra-putrinya dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas selaku warga negara (WNI) yang berkarakter dan bertanggung jawab baik sosial maupun agama. Sebagai makhluk hidup, anggota keluarga setiap saat akan selalu beraktivitas atau berperilaku (baik yang tampak ataupun yang tidak tampak) untuk mencapai tujuan tertentu ataupun sekedar memenuhi kebutuhan. Adakalanya tujuan atau kebutuhannya itu tercapai, tetapi mungkin juga tidak, atau adakalanya perilaku yang tampak itu selaras dengan yang tidak tampak, adakalanya tidak, dalam kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil akan menimbulkan konflik dan akan mengakibatkan beban mental/stress. Keluarga adalah umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban masingmasing anggotanya. Alquran menamakan satu komunitas sebagai umat, dan menamakan ibu yang melahirkan anak keturunan sebagai umm. Kedua kata tersebut terambil dari akar yang sama. Mengapa demikian? Agaknya karena ibu yang melahirkan dan dipundaknya dibebankan pembinaan anak dan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keuarga. Sebagai unit terkecil yang menjadi embrio lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama embrio itu dalam keadaan kuat dan sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi kuat dan sehat. Keluarga ibarat sekolah tempat putraputri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia,
132
Volume 14, Nomor 1, Juni 2012
seperti kesetiaan, rahmat, dan kasih sayang, ghirah (kecemburuan positif) dan sebaginya. Dari kehidupan keluarga seorang ayah dan ibu memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dalam membina keluarga bahagia, sejahterah dan kasih sayang ( M. Quraish Shihab, (1992: 253). Berdasarkan uraian di atas, keluarga mempunyai andil yang lebih besar dalam membentuk karakter bangsa yang berakhlak mulia, oleh karena dari sebuah keluarga lahir putra-putri bangsa yang merupakan amanat dan rahmat dari Tuhan, generasi penerus serta pelestari norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan utama bagi anak seyogyanya mampu menjadi peletak dasar dalam membangun moral sebagai landasan pengembangan kepribadian anak yang akan membentuk karakter bangsa di kemudian hari. Keteladanan keluarga sangat mendukung dalam membangun karakter bangsa yang berakhlak mulia, karena hal tersebut terbentuk dari adanya suasana rumah tangga yang bahagia, sejahtera, dan kasih sayang dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sebagai rumah teladan. Haya Binti Mubarok Al-Barik (2006: 166) menguraikan ciri-ciri rumah teladan sebagai berikut: a. Rumah teladan adalah rumah tangga yang pondasinya dibangun berdasarkan cinta dan kasih sayang. Yang demikian itu, karena masyarakat pada akhirnya hanyalah merupakan sekumpulan keluarga. Menumbuhkan keluarga yang saling mencintai dan saling mengasihi, berarti telah membentuk masyarakat yang saling mencintai dan saling mengasihi. b. Rumah teladan adalah rumah tangga yang merupakan bangunan sederhana, baik itu bangunan materi maupun rohaninya. Segi materinya jauh dari pemborosan, mencakup makanan, minuman, perlengkapan rumah dan sebagainya. Adapun pondasi bangunan rohani yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan perilaku dan pemikiran. Dalam hal ini, muslim yang teladan senantiasa mengikuti perilaku Nabi saw sebagaimana diceritakan Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw tidak pernah bimbang kecuali beliau memilih yang lebih sederhana. c. Rumah teladan adalah rumah tangga yang suci, bersih, dihuni oleh orang-orang yang mencintai kesucian, karena mereka mengetahui bahwa Allah mencintai orang-orang yang senantiasa mensucikan diri. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menampakkan rumahnya
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
133
dalam keadaan indah karena mereka mengetahui bahwa Allah mencintai keindahan, dan mengetahui pula bahwa kebersihan itu sebagian dari pada iman. d. Rumah teladan adalah rumah tangga yang berlandaskan pada kaidahkaidah, bijaksana, berupa ketentraman, cinta dan kasih sayang, terlepas dari kegaduhan dan keresahan, tidak ada suara-suara yang keras dan tidak pula ada teriakan-teriakan. Allah berfirman dalam QS. Luqman (31):19, yang terjamahnya yaitu: “ Dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” e. Rumah teladan adalah rumah tangga yang para penghuninya saling bahu membahu dan berbagi tugas-tugas rumah di antara mereka, semuanya berdasarkan kemampuan masing-masing dan kesesuaiannya dengan kecenderungan masing-masing. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang besar dengan yang kecil. Rasulullah saw telah memberikan suri teladan. Beliau membantu isterinya dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, memperbaiki sandalnya, memeras susu kambing, mengasuh anak-anaknya, dan lain sebagainya. f. Rumah Teladan adalah rumah tangga yang agamis di dalamnya lahir putra-putri yang islami, dan cerdas dengan pendidikan fisik, akal fikiran, dan kejiwaan yang benar. Alquran menamakan anak seperti ini sebagai “qurrah a’yun” (buah hati yang menyejukkan) (QS.25: 74) serta “zinah hayah al-dunya” (hiasan kehidupan dunia) (QS.18:46). Menghidupkan rumah teladan seperti ciri di atas agar senantiasa fresh dan eksis mesti berpangkal dari pendidikan karakter. Pendidikan Karakter Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai anrata lain, nilai moral, jujur, toleransi, berani bertindak, dapat dipercaya, peduli lingkungan sosial dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter bangsa yang berakhlak mulia. Pendidikan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pendidikan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pendidikan
134
Volume 14, Nomor 1, Juni 2012
karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pendidikan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan baik formal maupun non formal yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa berlandaskan Pancasila; karena itu pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai budaya dan Pancasila. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang berakhlak mulia berarti mengembangkan nilai-nilai budaya dan Pancasila pada diri dan lingkungan sosialnya utamanya dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan bangsa (Zulfikri Anas, dkk., 2011:2) Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan juga sebagai suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Pendidikan sebagai proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda, dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut secara aktif peserta didik dalam kapasitasnya sebagai generasi muda mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupannya di masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat dan berkarakter. Syaiful Sagala, dkk.,(2011: 10), mengemukakan lebih lanjut bahwa dalam proses pendidikan karakter merupakan proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat ddibedakan dengan orang lain. Membangun karakter harus dimulai dari rumah, dilanjutkan di sekolah dan juga di masyarakat. Karena itu, prioritas pembangunan dewasa ini adalah unsur manusia, terutama generasi muda dan unsur sosial-budaya perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua komponen bangsa. Pemuda adalah harapan bangsa, mereka merupakan motor penggerak akan kemajuan sebuah negara, ibarat napas dalam setiap tubuh komunitas atau kelompok, baik itu dalam lingkungan keluarga ataupun dalam lingkungan yang lebih luas seperti negara. Makanya tidak heran, jika ada yang mengatakan bahwa sebuah negara akan menjadi kuat eksistensinya ketika para pemudanya mampu tampil aktif dan dinamis di tengah-tengah masyarakat.
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
135
Realita menunjukkan bahwa masalah kenakalan remaja adalah masalah yang tidak henti-hentinya dibincangkan oleh berbagai elemen masyarakat. Hal itu merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap generasi muda, dikarenakan posisi generasi muda itu sendiri dipandang sangat strategis demi kemajuan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sebagai generasi penerus kaum muda selalu dituntut untuk meningkatkan kualitasnya di berbagai dimensi kehidupan, utamanya dalam dua hal yang dipandang sangat mendasar yaitu karakter dan akhlak mulia. Namun di era globalisasi dengan kemajuan iptek yang begitu pesat dan cepat, pemuda kadang kehilangan kendali, memiliki sikap rasa ingin tahu begitu tinggi, yang bersumber pada eforia kebebasan yang nyaris kebablasan sehingga mereka tidak segan-segan untuk melakukan hal-hal negatif tanpa mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan. Dalam keadaan yang masih labil ini, anak-anak perlu mendapatkan pembinaan dari semua komponen untuk mengarahkannya kepada hal-hal yang positif dan mencegahnya dari yang negatif. Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Bangsa Keluarga adalah saluran atau channel yang paling utama untuk membangun karakter bangsa khususnya di kalangan generasi muda. Oleh karena dari sebuah keluarga lahir anak-anak yang merupakan amanat dan rahmat dari Tuhan, keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan utama bagi anak seyogyanya mampu menjadi peletak dasar dalam membangun moral sebagai landasan pengembangan keperibadian anak yang akan membentuk karakter bangsa di kemudian hari. Keteladanan dalam suasana hubungan yang harmonis serta komunikasi yang efektif antar anggota keluarga merupakan hal yang fundamental bagi berkembangnya kepribadian anak. Berdasarkan hasil penelitian, anak-anak dan remaja bermasalah (terlibat perkelahian/tawuran, pergaulan bebas, perkosaan, narkoba, miras, dll) pada umunnya adalah anak-anak yang tidak dibesarkan dalam lingkungan kelurga yang harmonis dan agamis. Unsurunsur keagamaan tidak akan dapat dilaksanakan oleh seorang anak kalau tidak diwariskan secara dini dalam kelurga. Contoh, seorang anak tidak akan pernah melaksanakan salat bila orang tua sendiri tidak melaksanakannya. Keteladanan orang tua sangat menentukan karakter anak-anaknya. Oleh karena peran orang tua sangat penting dalam membangun karakter bangsa, yang berakhlak mulia sejatinya senantiasa
136
Volume 14, Nomor 1, Juni 2012
meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya walau hanya sesaat, jangan karena alasan kesibukan hak-hak anak terabaikan. Setiawati, (http:buletinlitbang.dephan.go.id) menegaskan bahwa sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan pondasi utama perilaku baik dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakan. Pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang /diyakini akan membentengi seseorang dari perilaku amoral dan kriminal serta budaya asing yang negatif. Nilai moral, agama dan budi pekerti yang diberikan secara dini akan tertanam dengan kuat menjadi keyakinan/keimanan sehingga menjadikan seseorang tidak mudah tergoda melakukan perbuatan negatif yang tidak sesuai dengan nilai budaya dan agama yang dianutnya. Kunci utama keberhasilan orang tua dalam mendidik anak-anaknya bukan hanya terletak pada tingkat pendidikan atau kapasitas keilmuannya melainkan juga pada kepeduliannya yang konsisten dalam mengajarkan hal-hal yang baik (ma’ruf) dan mencegah/melarang perbuatan buruk (mungkar) kepada anak-anaknya. Era globalisasi yang berbarengan dengan liberalisasi dan tidak melonggarnya pendidikan keluarga di rumah karena orang tua terlalu sibuk bekerja, akibatnya perhatian terhadap anak jadi terabaikan. Sebagian dari orang tua beranggapan dengan memberikan sejumlah uang dan fasilitas sudah merasa cukup memberikan perhatian kepada anak. Padahal yang dibutuhkan anak adalah sentuhan kasih sayang dan perhatian dalam bentuk komunikasi langsung yang intensif. Anak-anak butuh bimbingan yang menuntun perilaku mereka dan dapat membedakan mana yang boleh dan yang tidak boleh, mana yang baik dan yang buruk. Boleh jadi anak bermasalah juga dikarenakan salah asuh. Contoh, anak yang terlalu dimanja dapat mengakibatkan dia kurang percaya diri, dan cengeng. Anak yang terlalu dikekang (over protective), menyebabkan dia bertindak liar, binal dan lepas kendali ketika jauh dari rumah. Sebaliknya, anak yang selalu dibebaskan (dimasabodohkan), dia juga akan masa bodoh (permisif) tentang apa-apa yang terjadi di sekitarnya, dia akan sulit membedakan sesuatu yang benar daripada yang salah serta apa arti sebuah tanggung jawab. Ketika gejala negatif anak-anak semakin meningkat sungguh sangat mencemaskan, karena hampir tidak ada upaya signifikan untuk mengatasinya. Seharusnya masalah anak dan remaja itu menjadi perhatian bersama, pemerintah dan semua komponen masyarakat, khususnya para orang tua dalam sebuah keluarga. Perlu ada upaya pencerahan guna merevitalisasi peran keluarga dalam pendidikan, bimbingan dan
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
137
pengasuhan anak, karena orang tua utamanya ibu yang memiliki kelembutan dan paling banyak berhubungan dengan anak. (St. Muriah, 2004:32). Sebagian besar orang terkenal dan berhasil dalam kariernya adalah mereka yang di masa kecil banyak mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari keluarga, khususnya dari ibunya. Dengan kedekatannya orang tua dan anak, orang tua akan tahu persis potensi dan kelemahan anak sehingga orang tua akan dapat mengarahkan pendidikan anak selanjutnya ke jurusan yang tepat dan atau pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat anak. Seorang anak/remaja yang sejak kecil mendapatkan pendidikan moral, agama, budi pekerti dan pengetahuan umum yang seimbang serta keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, cenderung menjadi seorang yang berkepribadian baik, bermanfaat bagi sesama, siap mengabdi bagi nusa dan bangsa serta bela negara. Karena mencintai nusa, bangsa dan bela negara merupakan sebagian dari iman dan kewajiban (right or wrong is my country). Generasi seperti itulah yang diperlukan untuk membangun Indonesia ke depan yang siap menghadapi tantangan globalisasi, khususnya ancaman budaya. Demikian juga dengan ancaman dan tantangan internal, seperti pengangguran, melemahnya daya saing, masalah narkoba dan miras, dan lainnya di tengah masyarakat. Masalah-masalah tersebut hanya mungkin dapat diatasi dengan kebersamaan, kebulatan tekad dan kerja keras yang sinergis dalam suasana yang adil, aman dan damai di bawah kepemimpinan orang-orang yang jujur, berani, dan bersih. Lembaga keagamaan sebagai salah satu di antara sekian banyak sektor yang harus mendapat perhatian besar bagi bangsa dibandingkan dengan sektor kehidupan yang lain. Sebab pencapaian pembangunan bangsa bermoral dan beradab sangat ditentukan oleh aspek keberagamaan, terutama dalam hal pembinaan karakter generasi muda dalam konteks menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus tatanan nilai agama agar segala perilaku kehidupan senantiasa di atas norma-norma keagamaan. Pembinaan tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi tindakan-tindakan negatif dari suatu lingkungan yang bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk mengurangi perilaku buruk khususnya bagi generasi muda. Pendidikan karakter bangsa yang berakhlak mulia bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal karena memerlukan adanya kesadaran. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkannya, sebab dengan cara tersebut akan terwujud secara dinamis dan berkesinambungan.
138
Volume 14, Nomor 1, Juni 2012
Lembaga keagamaan mempunyai pengaruh yang sangat besar karena berhubungan dengan aspek mental atau jiwa manusia. Aspek mental ini akan membentuk pandangan hidup, ide, gagasan, etika, sikap, dan perilaku sebagai landasan dalam berkarya. Pemerintahpun mempunyai kewenangan dan kekuasaan menentukan suatu kebijakan dengan berbagai program untuk membuat bangsa ini pulih dari krisis moral utamanya di kalangan generasi muda. Berbagai strategi dan pendekatan untuk pembangunan karakter generasi muda. Upaya membangkitkan kembali semangat patriotisme kebangsaan juga tak kalah pentingnya. Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah salah satu unsur pembinaan moralitas generasi muda dalam membentuk karakternya sebagai pengembang amanah dalam pembangunan di masa yang akan datang. Karena karakter berkaitan dengan aktivitas manusia yang dipandang baik atau positif, adil, dan wajar, maka sekolah dan lembaga pendidikan lainnya sebagai salah satu channel yang sengaja dibentuk untuk menerima dan menyalurkan ide, gagasan, pengetahuan, keterampilan dalam membangun moralitas generasi muda. Sekolah harus selalu berorientasi kepada kebutuhan dan tuntutan masyarakat sesuai dengan kemajuan iptek. Jika tuntutan dan kebutuhan masyarakat berkembang, kurikulum yang menjadi acuan pendidikan perlu ditinjau ulang dengan tetap mengedepankan aspek budaya dan karakter bangsa yang berakhlak mulia. Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UUSPN menyebutkan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Selanjutnya Susanti Ratna Dewi ((http://www.radar-bekasi.com) menguraikan lebih lanjut bahwa, budaya diartikan sebagai keseluruhan
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
139
sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Budaya, yang menyebabkan anak tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat yaitu keluarga, berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh umat manusia yang mengandung nilai-nilai sebagai berikut : 1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. 2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilainilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara yang berkarakter dan berakhlak mulia. 3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. 4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia.
140
Volume 14, Nomor 1, Juni 2012
Berdasarkan uraian di atas, peran orang tua memotivasi putraputrinya agar dapat lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi, maka pendidikan karakter yang terbaik adalah jika dimulai sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan “jika gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa akan menjadi orang yang bermasalah atau orang jahat”. Pendidikan karakter bagi anak usia dini harus diterapkan, sebab pada anak-anak usia seperti itu sangat mudah meniru apa yang dilihatnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional sebagai sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, harus saling keterkaitan dan seiring dengan peran keluarga dalam pendidikan karakter bangsa secara optimal. Penutup Mengingat begitu pentingnya membangun karakter bangsa yang berakhlak mulia, seyogyanya pendidikan, bimbingan dan pengasuhan anak secara dini dalam keluarga menjadi perhatian utama para orang tua. Untuk itu dalam keadaan sesibuk apapun, sediakan waktu untuk berceritera, mendongeng untuk anak-anak dengan ceritera yang bernuansa Islam atau yang edukatif dan mengandung nilai-nilai budaya bangsa sendiri, sediakan ruang baca yang berisikan buku-buku agama dan buku-buku bacaan lainnya sesuai jenjang pendidikannya, dampingi ketika mereka menonton TV, dan perkenalkan kepada mereka chanel/jadwal yang berkaitam dengan kajian-kajian pendidikan, utamanya pendidikan Islam, serta tanamkan kehidupan demokratis, kebersamaan dan saling menghargai dengan sesama anggota keluarga dan lingkungan terdekat. Putra-putri akan tumbuh dan dapat memposisikan dirinya sebagai manusia yang berkarakter dan berkhlak mulia, bila dibesarkan dalam sebuah keluarga yang dibangun di atas prinsip monogami, saling melindungi, dan saling menghargai serta memiliki komitmen yang tulus untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, Dengan demikian peran kelurga dalam membangun karakter bangsa yang berakhlak mulia dapat terwujud secara optimal Daftar Rujukan Al-Barik Haya Binti Mubarok. 2006. Ensiklopedi Wanita muslimah. Jakarta: tp.
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
141
Dewi, Ratna Susanti. (http://www.radar-bekasi.com). Muri’ah, Siti. 2004. Wanita Karier dalam Bingkai Islam. Cet.I; Bandung: Angkasa. Ratna Dewi, Susanti. (http://www.radar-bekasi.com). Sagala, Syaiful. 2011. Praktik Pendidikan Etika di Seluruh Wilayah NKRI. Cet. I; Bandung: Alfabeta. Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Alquran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia. Cet.II; Bandung: Mizan. Setiawati. (http:buletinlitbang.dephan.go.id). Tim Penyusun. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: tp. Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa. 2011. Pendidikan Karakter Bangsa di Sekolah, Jakarta: PT Gramedia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional:2005.