OPTIMALISASI PENDIDIKAN KELUARGA SEBAGAI PENYEMAI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh; ZAINAL ANSHARI (email:
[email protected]) Abstrak Pendidikan yang berwawasan untuk memperbaiki moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental, dan kepribadian yang tangguh, yang unggul, dan yang mulia harus menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Namun yang tidak kalah pentingnya, nilai-nilai tersebut harus dilanggengkan terlebih dahulu di dalam pendidikan keluarga (rumah tangga). Karena pendidikan keluargalah yang sejatinya paling kuat di dalam mewariskan pendidikan karakter kepada anak-anak bangsa ini. Namun tidak salah jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan demikian “bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran, kecerdasan, ilmu, dan pengetahuan. Tetapi juga moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental, dan kepribadian yang tangguh, yang unggul, dan yang mulia. Dan yang kedua inilah sesungguhnya karakter, karakter manusia, yang akhirnya menjadi karakter masyarakat dan karakter bangsa”. Hakikatnya, pandangan tersebut terlebih utama menjadi pesan dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap orang tua, guna mewariskan nilainilai yang utama dan mulia kepada setiap anaknya. Sebab para guru, dosen, kiai, ustad/dah pada hakekatnya hanyalah membantu tugas pokok para orang tua yang “tidak mampu” mendidik anak-anaknya sendiri, karena berbagai alasan yang tidak kalah pentingnya untuk tujuan bersama. Kata kunci: pendidikan keluarga, pendidikan karakter. A. Keluarga sebagai rumah pendidikan Keluarga merupakan lingkungan yang teridiri dari ayah, ibu dan anak. Dalam melakukan sosialisasi bagi seorang anak (peserta didik), keluarga merupakan ruang yang paling pertama dan utama dikenal oleh anak. Sehingga, lingkungan keluarga sangat berarti untuk meneguhkan eksistensi dan jati diri anak sebagai bagian dari lingkungan sosial. Mohammad Roqib menulis sebagai berikut; Keluarga sebagai institusi atau lembaga pendidikan (informal) ditunjukkan oleh hadist Nabi Saw yang menyatakan bahwa keluarga merupakan tempat pendidikan anak yang paling awal dan yang memberikan warna dominan bagi anak. Sejak anak dilahirkan, ia menerima bimbingan kebaikan dari keluarga yang memungkinkannya berjalan dijalan keutamaan sekaligus bisa berperilaku di jalan kejelekan sebagi akibat pendidikan keluarga yang salah.1 Dalam pengertian ini, kelurga sebagai basis pengembangan pendidikan, berangkat dari pandangan Nabi Saw tentang salah satu peran keluarga di atas, yakni dalam mengembangkan fungsi pendidikan. Hal itu, tentu sangat mudah untuk dipahami, sebab lingkungan keluarga merupakan tempat yang paling awal bagi anak untuk 1
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Kelurga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKIS, 2011), 123.
1
melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, yang meliputi ayah, ibu, saudara sekandung dan kemudian dengan lingkungan luas. Sejalan dengan pandangan di atas, Zakiah Daradjat menulis sebagai berikut; Keluarga sebagai wadah utama pendidikan ..... pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut aqil baligh ….. syaratsyarat pembentukan kelurga, sebelum kita berbicara tentang dasar-dasar pendidikan anak. Di antaranya; 1). larangan menikah dengan wanita yang dalam hubungan darah dan kerabat tertentu (Qs. An-Nisa’:22-23). 2). larangan menikah dengan orang yang berbeda agama (Qs. Al-Baqorah: 221). 3). larangan menikah dengan orang yang berzina (Qs. An-Nur:3).2 Dari penjelasan Daradjat di atas, nampak bahwa keluarga merupakan basis paling awal dalam rangka memperkenalkan lingkungan dan masyarakat luas (social relation). Oleh karenanya, keluarga perlu dipersiapkan secara matang dan kondusif, dalam rangka untuk membina pendidikan kepada anak dan lingkungan keluarga secara umum. Dalam proses selanjutnya, pembentukan sendi-sendi keluarga yang gagal, akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan anak-anak di masa depan. Sehingga akan melahirkan anak-anak yang beringas, tidak terurus, dan dis-orientasi.3 Sekitar satu setengah tahun yang lalu, tepatnya tanggal 19-22 April 2012, penulis mengikuti pelatihan pendampingan bagi para pekerja anak. Program tersebut dalam rangka untuk mengurangi pekerja anak Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Pelatihan itu diselenggarakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI di hotel Oval Surabaya. Namun, sebelum berangkat ke Surabaya, penulis menerima data pekerja anak di Jember yang putus sekolah sekitar 1500-an (seribu lima ratus) anak. Mereka bekerja karena minus secara ekonomi (miskin) dan minus kesadaran berpendidikan.4 Yang jelas, data yang sebenarnya lebih dari angka tersebut. Kita prediksikan, masih cukup banyak anak-anak putus sekolah yang tidak terdata oleh pemerintah daerah atau pusat. Sedangkan laporan tertulis dari hasil pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) oleh BPS tahun 2011, bahwa di dalam rumah tangga sangat miskin (RTSM) ditemukan anak yang berusia antara 7-17 tahun yang tidak sekolah dan bekerja sebanyak 177.374 anak. Anak usia 13-15 tahun dengan jam kerja di atas 25 jam/ perminggu mencapai 42.408 anak, dan anak usia 16-17 dengan jam kerja di atas 25 jam/ perminggu, mencapai 181.316 anak. Anak tersebut bekerja pada sektor pertanian, perikanan, perdagangan, jasa dll. Faktor mereka tidak sekolah karena kemiskinan dan keterbatasan akses dan pelayanan pendidikan.5 Dan “berdasarkan data BPS tahun 2013, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7–12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13–15 tahun sebanyak 2
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1993), 41-44. Sebagai bahan perbandingan akademis tentang penyimpangan remaja, selain narkoba ada juga penyimpangan pada dunia pelacuran, lihat Nur Syam, Agama Pelacur; Drama Turgi Transendental, (Yogyakarta: LKIS, 2011). 4 Data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Jember tahun 2012. 5 Data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2012: 01 3
2
2,21 persen, atau 209.976 anak; dan usia 16–18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen atau 223.676 anak”.6 Dengan potret data di atas, tentu untuk merealisasikan keluarga sebagai rumah pendidikan bukanlah tugas yang ringan. Karena terkadang, keluarga yang tidak sejahtera, sulit menjalankan tugas-tugas meng-edukasi anak-anaknya. Namun bukan suatu yang mesti terjadi, sebab walau banyak keluarga yang tidak sejahtera, justru banyak SDM berkualitas dihasilkan dari keluarga yang taraf hidupnya tidak sejahtera tersebut. Namun demikian, Negara tetap bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan warganya agar setiap keluarga lebih mudah menjalankan tugas-tugas pendidikan rumah tangga. Kita dapat membayangkan, di tengah-tengah persaingan negara-negara maju untuk meningkatkan kualitas SDM anak negerinya, kita dapat membandingkan dengan Negara ini. Misalkan penyajian data oleh Zamakhsyari Dhofier, ia menulis, antara China dan AS terjadi persaingan yang sangat kuat, AS yang setiap tahunnya meluluskan sekitar 150.000 insinyur teknik, sedangkan China meluluskan 600.000 insinyur teknik, sementara Indonesia masih jauh dari angka tersebut, sebagai akibat ketidakmampuan kelurga membiayai pendidikan anak-anaknya, ditambah kebijakan dan keberpihakan Negara yang belum dirasakan secara merata oleh rakyat Indonesia, misalnya dalam aspek pendidikan.7 Ditambah merebaknya fenomina ijazah ASPAL (asli tapi palsu).8 Misalkan kalau kita mencari sebuah perbandingan. India sebagai Negara yang pernah di jajah oleh Inggris, ternyata perkembangan pendidikannya jauh lebih menggembirakan, dibandingkan dengan Indonesia yang pernah di jajah oleh Belanda. 9 Inggris mendidik anak India pada tahun 1880, sampai 6.000 orang dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana,10 bandingkan dengan Indonesia yang merdeka pada tahun 1945, masih memiliki sarjana 175 orang. Ketika Indonesia baru merdeka, masih menurut Zamakhsyari Dhofier, hanya memiliki sarjana sekitar 175 orang.11 Kita bisa membayangkan, dengan 175 orang tersebut akankah Indonesia dapat mengalami kemajuan yang cepat. Sementara mereka 6
Data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2012. Dan menurut laporan Surya Online, Jember (Rabu, 20 Maret 2013) “data terbaru, Kabupaten Jember masih masuk dalam 10 kabupaten paling banyak penyumbang angka kemiskinan. Penerima Raskin di Jember mencapai 192 ribu rumah tangga sasaran. Sementara jumlah penerima program Jamkesmas sebanyak 930 ribu jiwa”. Sedangkan gambaran lain sebagai berikut; “pada bulan Maret 2012, penduduk miskin Jawa Timur masih sebanyak 13,40 persen atau 5,071 juta. Angka ini memang sudah turun dibandingkan dengan data setahun sebelumnya (Maret 2011) yang mencapai 14,23 persen. Namun persentase angka kemiskinan Jawa Timur ini masih relatif jauh di bawah angka Nasional. Pada Maret, persentase penduduk miskin secara Nasional sudah tinggal 11,96 persen. Bahkan, khusus untuk di Pulau Jawa, pada Maret 2012, angka kemiskinan sudah di angka 11,57 persen”. (http://regional.kompasiana.com/2013/07/21/jawa-timur-miskin-atau-kaya). 7 Dalam aspek pemerataan pendidikan, baca Darmaningtiyas, Sekolah Rusak-Rusakan, (Yogyakarta: LKIS, 2009). 8 Perhatikan dalam Mahfud MD, Gus Dur; Islam, Politik dan Kebangsaan, (Yogyakarta: LKIS, 2010). 9 Walaupun sebenarnya, tidak ada masyarakat yang menginginkan agar daerahnya di jajah oleh penguasa manapun. Janji kesejahteraan oleh Negara-negara penjajah, sebenarnya hanya ilusi yang sulit untuk diwujudkan. Karena hakekat penjajahan adalah eksploitasi, baik SDM maupun SDA. 10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), 168. 11 Ibid, 165.
3
berpusat di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Lalu, bagaimana dengan daerah-daerah kepulaun? kita saja dapat menilai dengan akal sehat, bagaimana kira-kira perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Di sisi yang lain, dalam sebuah data tertulis disebutkan sebagai berikut; Majalah Forbes merilis orang paling kaya di dunia 2013, dan Indonesia menyumbang 24 orang dari 1.426 orang terkaya sejagat. Nilai kekayaan ratarata orang-orang ini adalah US$3,8 miliar, naik 3 persen dibandingkan data pada 2012. Sedangkan total kekayaan mereka ini mencapai US$5,4 triliun, naik dibandingkan US$4,6 triliun tahun lalu. Wakil-wakil Amerika Serikat tetap yang terbanyak, mencapai 442 orang, diikuti oleh negara-negara Asia Pasifik 386 orang, Eropa (366), Amerika (129), serta Timur Tengah dan Afrika (103). Dari 386 orang terkaya Asia Pasifik, terdapat 24 orang kaya yang berasal dari Indonesia. Keluarga Hartono masih memimpin daftar orang terkaya di Indonesia”.12 Di tengah-tengah ketidakmampuan kebanyakan warga Indonesia mendidik putra-putrinya dalam pendidikan rumah tangga, begitu juga pendidikan secara formal dan non formal, di ruang yang lain banyak warganya yang kaya dan menikmati kesejahteraan. Hal ini tentu merupakan pandangan realitas yang sangat miris, sebab telah terjadi ketimpangan yang akut, tanpa ada usaha serius untuk menuju keseimbangan dan kestabilan bernegara dengan cara memperhatikan mereka yang lemah dan akut secara ekonomi. Nampaknya ketimpangan ini berjalan secara masif dan kondusif di tengah-tengah sebagian rakyat tidak mampu berpendidikan dengan baik dan mulus. Disinilah pentingnya kita memperhatikan ulang institusi keluarga sebagai basis pengembangan pendidikan. Setelah tanggal 17 Agustus 1945, sang merah putih dikibarkan, sebagai tanda tidak ada lagi yang berhak menjajah bangsa Indonesia. Tidak boleh lagi ada penjajahan, penghisapan, pemerasan keringat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Itulah Indonesia baru, bangsa yang menyatakan kemerdekaannya, ingin berdaulat, ingin bersatu padu menyambut Indonesia baru, sehingga berdirilah negeri ini.13 Sebagai generasi bangsa yang tahu diri dan tahu berterimakasih kepada para pendahulunya, maka negeri ini harus dimerdekakan dengan pembangunan karakter, mental, intelektual dan spritual yang beradab, tentunya dengan jalan pendidikan. Jika pendidikan dalam keluarga belum bisa dilaksanakan dengan baik, maka sudah pasti, generasi bangsa ini akan mengalami disorientasi. Siapakah yang akan peduli kepada mereka? Haruskah kita menunggu saluran tangan dan belasan tangan asing, yang selalu memiliki minat untuk menghisap potensi alam Indonesia? Jawabannya, Indonesia harus dimerdekakan oleh keringat dan kerja keras anak negerinya sendiri. Yang perlu dicatat, tidak ada bantuan gratis dari asing untuk
12
http://www.beritasatu.com/ekonomi/100434-24-orang-indonesia-masuk-daftar-orang-terkaya-didunia.html. diunduh Mei 2013. 13 Darah, harta, jabatan, anak dan istri, suami atau bahkan anak cucu negeri ini yang tidak bersalah, telah menjadi korban dari keganasan granat Belanda dan sekutunya, begitu juga Jepang. Mereka berjuang, berkorban dan merelakan hartanya untuk meraih kemerdekaan bumi pertiwi.
4
Indonesia, semuanya memiliki kepentingan, keinginan, untuk menguras kekayaan alam bangsa Indonesia. B. Pendekatan Pemecahan Masalah Pendidikan Adapun berbagai pendekatan tersebut adalah pertama, pendekatan spekulatif (speculative approach) atau lebih pasnya pendekatan reflektif. Kedua, pendekatan normatif. Ketiga, pendekatan analisis konsep. Keempat, anlisis ilmiah terhadap realitas yang aktual. Dalam konteks ini, penulis menggunakan pendekatan yang keempat, yakni analisis ilmiah terhadap realitas yang aktual. Sebagaimana diuraikan oleh Abdul Haris dan Kivah A Putra sebagai berikut; Pendekatan ilmiah terhadap masalah yang aktual sesungguhnya adalah masalah pendidikan yang aktual yang menjadi problem masa kini yang perlu untuk dicarikan solusinya dengan sebaik-baiknya. Dengan menggunakan metode ilmiah …maka akan dapat dijelaskan dan kemudian dipahami permasalahan yang berkembang dalam masyarakat dan dalam proses pendidikan serta kegiatan yang kaitannya dengan pendidikan.14 Beberapa masalah dalam pendidikan, harus terlebih dahulu diidentifikasi sebelum dilanjutkan pada mencari jalan pemecahannya. Selama ini, problem anak-anak putus sekolah yang bekerja karena ketiadaan biaya, pergaulan yang salah atau disorientasi, selain dikaji secara akademis perlu ditindaklanjuti dengan melaksanakan program riil dalam pemberdayaan anak. Apakah melalui membuka taman baca dan bermain seperti dilakukan oleh Ayu Sutarto di Jember, Andiono Putra di Bondowoso, saudara Farid dengan sekolah alamnya di Genteng Banyuwangi, Farhah Ciciek dengan Tanokernya di Ledokombo Jember dan berbagai lembaga-lembaga pemberdayaan lainnya. Menurut hemat penulis, masalah pendidikan di negeri ini, khsusunya anak putus sekolah merupakan ketiadaan kemampuan dalam aspek ekonomi dan kesadaran untuk menjalankan program pendidikan melalui sekolah atau madrasah karena tingginya biaya pendidikan yang selama ini kita rasakan bersama. Salah satu jalan yang dapat dilakukan adalah menjadikan atau memaksimalisasi fungsi keluarga sebagai institusi pendidikan. Tentu hal ini tidaklah mudah dilakukan, namun jalan ini dapat dilakukan dengan mengfungsikan keluarga-kuluarga yang lain untuk memberikan fungsi lebih kepada anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan di dalam keluarganya sendiri, karena kelemahan dan keterbasan keluarga induk untuk menjalankan tugastugas pendidikan. Sehingga pendidikan dalam keluarga (in formal) dan madrasahmadrasah sebagai bentuk pendidikan non formal, dapat mengelaborasi diri dengan pendidikan berbasis masyarakat (small club) yang menjalankan fungsi pendidikan pula, sebagaimana disebutkan di atas. Tantangan dimasa depan Berbicara masalah pendidikan karakter di Indonesia, ada banyak hal yang harus dihadapi secara riil oleh anak negeri ini, di antaranya hal-hal penting yang akan penulis uraikan di bawah ini, yaitu; 14
Abdul Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 19-21.
5
Pertama, jangan silau dengan perkembangan dan data tentang perkembangan pendidikan di dunia Eropa, karena kita sebagai bangsa yang merdeka memiliki konsep dan latar belakang yang berbeda dengan mereka, senyatanya 100 %, berbeda dengan mereka. Misalkan dengan negara Israel, yang memiliki 16.000 doktor dalam setiap 1 juta penduduknya. Selain itu, jangan silau dengan AS yang memiliki 6.000 doktor, setiap ada 1 juta kepala di negaranya. Begitu juga dengan Negara-negara eropa lainnya.15 Kenyataan ini semakin merunyamkan keadaan saja, bagaimana tidak, kemajuan bangsa Indonesia dalam konteks pendidikan harus disamakan dengan mereka, padahal kita hidup dilubuk, lobang dan bumi yang berbeda. Standart-standart kemajuan Eropa harus dipakai di Indonesia, tentu jawabannya 190% akan berbeda dengan mereka. Kenapa kita tidak mengukur kemajuan bangsa ini dengan standart-standart moral yang kita miliki? Sebagai negara berkembang yang menerima globalisasi, memang naif sekali kalau akan bebas dari berbagai kepentingan dan cengkraman asing terhadap berbagai sektor yang dimiliki dan dikuasai bangsa Indonesia.16 Namun demikian, semua itu tetap bisa kita atasi, dengan catatan, kita semua mau belajar tentang sejarah masa lalu kita. Penulis curiga, kenapa sejarah nasional bangsa Indonesia hendak dihapuskan dari kurikulum Nasional? Dengan alasan, bahwa sejarah selalu ditulis oleh mereka yang menang, atau dalam kata lain, selalu ditulis oleh para penguasa. Nah, sudah barang tentu, sejarah yang ditulis, akan melegitimasi posisi mereka sebagai pemegang kendali kuasa. Namun demikian, dari berbagai pembacaan penting di atas, ada satu hal yang sangat penting yang harus disadari bersama, yaitu bagaimana kita dapat mewariskan sejarah masa lalu kepada generasi masa sekarang dan generasi masa depan. Sejarah, wajib hukumnya untuk diwariskan kepada anak-anak bangsa Indonesia. Agar mereka tidak lupa diri, bahwa bangsa ini direbut dengan penuh keringat, darah, cucuran air mata bahkan ratusan juta jiwa melayang, hanya karena satu alasan, yaitu untuk merdeka. Oleh karenanya, memahami pendidikan karakter dan cengkraman neo imperialisme di Indonesia, sangat penting diketahui oleh anak-anak bangsa. Hal-hal penting yang harus diketahui juga semisal berikut ini; Kedua, anak bangsa wajib hukumnya mengetahui skenario politik tahun 19651966, sebab jika anak bangsa tidak mengetahui sejarah itu, maka Soeharto akan mendapatkan pembenaran sejarah di masa-masa yang akan datang. Konsolidasi yang dilakukan Soeharto untuk menggulingkan Soekarno, berkat bantuan beberapa negara yang memiliki kepentingan untuk masa depan bangsa Indonesia, misalkan: Jepang, Inggris, Jerman dan Australia, Amerika Serikat. Penggulingan kekuasaan dan pembantaian massal masyarakat sipil, dilakukan oleh militer, dengan bantuan Amerika Serikat dan CIA, Yayasan Ford Rand (ford foundation), rand corporation, serta perorangan.17 Dari gerakan pembantaian tersebut, sehingga berbuntut pembunuhan 15
Lihat Ridwan Nasir, dalam Ahmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal: V-VI). 16 Secara detail tentang keterlibatan asing dalam mengoyak-ngoyak Indonesia, baca dalam Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 1999). 17 Lihat dalam Peter Dale Scott, Amerika Serikat dan penggulingan Soekarno 1965-1967, seri dokumenter, (Depok: Vision, 2007), 20.
6
terhadap beberapa jenderal yang diperkirakan akan menjadi saingan Soeharto ketika kudeta kelak dia lakukan. Makanya, ketika kudeta terjadi, dengan sangat mulus, ia tampil dengan lenggang-lenggong sebagai pengganti Soekarno.18 Dinamika sosial politik di atas, sebenarnya menjadi catatan sejarah yang tidak banyak diketahui oleh anak-anak bangsa. Sehingga, kalau ini dibiarkan tanpa ada pelurusan sejarah, kita akan memberikan penghargaan yang luar biasa kepada orang yang telah melacurkan bangsa ini dengan negara asing. Dari sejarah ini juga, kita ingatkan kepada anak bangsa, agar tidak menjadi pelacur, pecundang, pengkhianat dan penipu terhadap konstitusi pancasila, konstitusi bangsa yang telah dibangun oleh para pejuang kemerdekaan 1945. Ketiga, dana jutaan dolar yang disalurkan CIA kepada Masyumi dan PSI pada pertengahan tahun 1950-an adalah faktor yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa tahun 1965-1966, ketika bekas anggota PSI yakni Syam Komaruzzaman, yang diduga kuat sebagai otak perencana Gestapu, dan para perwira yang cenderung kepada PSI-terutama Soeharto dan Sarwo Edhi yang terkemuka dalam merencanakan dan melaksanakan respon anti PKI terhadap gestapu.19 Bantuan AS untuk AD di Indonesia mencapai 39,5 juta dolar dalam empat tahap 1962-1965 dengan puncaknya pada tahun 1962 sebesar 16,3 juta dolar.20 Artinya apa? Bahwa tidak ada atau bahkan kalau ada, sulit rasanya partai politik dapat eksis di Indonesia, jika tidak mendapatkan sokongan dana dari luar negeri. Baik partai yang berhaluan nasionalis, agamis atau bahkan liberalis komunis sekalipun. Sebenarnya dunia “besar”-lah yang sedang bertempur memperebutkan bangsa Indonesia. Namun apakah anak-anak Indonesia sudah tahu kalau bangsanya diingini oleh negara-negara maju yang lain? Nah itulah masalahnya. Kita harus berpendidikan sesuai dengan karakter bangsa sendiri, agar kita tidak dengan mudah menjual kekayaan alam Indonesia ke luar negeri. Yang diingini dari Indonesia bukan kualitas SDM atau manusianya, akan tetapi SDA yang menjadi kekayaan tanah airnya. Keempat, mahasiswa Islam Indonesia, dirasuki melalui kekuatan-kekuatan Islam trans nasionalis, pendanaan yang sungguh luar biasa, jaringan kaderisasi yang menguat, dan mazhab-mazhab Islam kosmopolitan.21 Yang menjadi ancaman adalah kampus-kampus perguruan tinggi umum negeri (PTUN). Semisal, UI, ITB, IPB, UNS, UGM, UNAIR, UM, UNMER, UNEJ, UNUD dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, Lihat dan baca dalam Harold Crouch, Suatu Sorotan Lain Terhadap “Coup” 1965, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003) hal: 80-108. Tulisan yang lainnya dapat dilihat dalam Rumekso Setiyadi dan Saiful H Shodiq, Dari Kesatria Menjadi Paria; degradasi peran dan pembunuhan politik sistematik, catatan awal peristiwa 65/66 di Jogjakarta, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003) hal: 109120. 19 Lihat dalam Peter Dale Scott, Amerika Serikat dan penggulingan Soekarno 1965-1967, seri dokumenter, (Depok: Vision, 2007, hal: 22). 20 Bandingkan dengan Tri Chandra AP, Banser Antara Perebutan dalam Ketidakpastian dan Kekerasan Politik 1965-1966, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003), 121-138. 21 Lihat dalam Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam; ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, 2009). Lihat juga dalam Nurhayati Djamarah, Pola Aktifitas Keagamaan Mahasiswa Islam Perguruan Tinggi Umum Negeri Pasca Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2009). Lihat juga dalam As’ad Said Ali, Negara Pancasila; Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). 18
7
PTAI bukan tidak menjadi ancaman dan sasaran, yang paling baik adalah harus selalu waspada. Pendidikan di nusantara yang awalnya berjalan dengan prinsip-prinsip toleransi, damai dan saling menghargai, akhir-akhir ini hendak dipalingkan arahnya. Kita bisa membayangkan, mahasiswa yang ikut terlibat di dalam LDK, HTI, Jamaah Tabligh, salafi dan semacamnya, sudah membiasakan diri untuk menyesatkan golongan lain yang berbeda dengan dirinya. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, disintegrasi bangsa sedang menunggu kita di depan mata. Kelima, lihat dan perhatikan pemberian beasiswa asing terhadap mahasiswa Indonesia, juga kepada pesantren dan PBNU serta PP Muhammadiyah. Pada abad 16 hingga akhir penjajahan tahun 1945, Islam Indonesia belajar tentang Islam kepada guru Islam, dosen Islam, dan di negara Islam. Setelah itu, bantuan mengucur luar biasa, untuk belajar Islamic Studies ke Eropa.22 Data tentang Indonesia diangkut ke luar negeri melalui kreatifitas anak-anak negeri Indonesia, melalui studi tesis, disertasi atau sekadar research yang dibiayai oleh LSM atau lembaga donor dari luar negeri. Pada saat yang sama, tema tentang kiai, menjadi tema yang semakin tidak menarik untuk didiskusikan dan diperbincangkan secara ilmiah. Karena dihabisi melalui kekuatan media massa. Kiai sebagai sosok pendidik sentral di dunia pesantren, wibawanya dirong-rong mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai tingkat yang paling inti. Sehingga pada saat para tokoh agama dan para tokoh pendidikan tidak berdaya, asing gencar merampok bangsa dan negeri Indonesia. Merampok bukan hanya kekayaan alamnya saja, akan tetapi sistem sosial, ekonomi, politik dan pendidikan juga di-“habisi” dan mereka menawarkan sistem baru, yang menurut perspektif mereka, sistem paling baik. Ada banyak pembacaan kritis atau bahkan kekecewaan anak bangsa terhadap sikap-sikap asing yang secara terus-menerus berminat untuk mengais keuntungan dari Indonesia. Salah satu kekecewaan Noe ‘Letto’ dan Mohammad Sobari dapat kita lihat dalam Membunuh Indonesia; Konspirasi Global Penghancuran Kretek.23 Lihat juga suara anak negeri Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia,24 buku ini sekarang dilarang terbit, karena dinilai mengungkap borok, busuk, kebejatan dan kebiadaban negara-negara Eropa sebagai penghisap darah negara-negara berkembang. Lihat juga dalam Mustafid, Perampok Negara, (Yogyakarta: Alienasi). Negara-negara asing berupaya dengan sangat gigih untuk merebut Indonesia dengan segala bentuk dan rupanya. Sungguh luar biasa tahun 2025 yang diprediksi sebagai tahun kekuatan bangsa Indonesia, ternyata sudah dibaca oleh asing, sehingga bangsa ini di awasi mulai dari arah kanan-kiri, depan-belakang. Sementara pada saat yang sama, “kita” tidak terlalu memperhatikan peperangan dingin yang digencarkan oleh mereka.
Perhatikan Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006). 23 Karya Abhisam DM, dkk, Membunuh Indonesia; Konspirasi Global Penghancuran Kretek, (Jakarta: Kata-Kata, 2011). 24 Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 1999). 22
8
Pembacaan yang lain, adanya konspirasi Eropa dengan gerakan dunia Islam ala Wahhabi, dapat kita lihat dalam Nur Khalik Ridwan. Tulisannya terdiri dari 3 jilid, yang mengungkap tentang doktrin wahhabi, dan benih-benih radikalisme Islam (jilid I), Perselingkuhan Wahhabi, dalam agama, bisnis, dan kekuasaan (jilid II), dan Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi (jilid III).25 Paling mudah kita pahami, Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 ternyata masih banyak menerlantarkan generasi dan masa depan anak negerinya sendiri. Secara nyata eksistensi UU RI No 04 tahun 1950/ 1954 dan UU RI No 02 tahun 1989 serta UU RI No 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, ternyata belum mampu membebaskan negeri ini dari belenggu ke kebodohan. Kita banyak memiliki sarjana hukum yang berprofesi sebagai makelar, sarjana ekonomi yang berprofesi pedagang (mendagangkan kekayaan Indonesia untuk dinikmati asing, sementara kita sendiri tetap sengsara), sarjana kedokteran yang berprofesi sebagai pedagang (menjalankan fungsi ganda), dan lain sebagainya. Jika demikian, lalu siapa yang akan bergegas untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari belenggu kepentingan asing, yang setiap hari setiap jam, setiap detik menggonggong, karena karena ngidam dengan kekayaan alam Indonesia. Sarjana kita lebih bangga menjual karyanya ke negara lain, ketimbang negara sendiri, karena alasan di negeri sendiri tidak dihargai dan tidak dapat berkembang dan dengan setumpuk alasan. Dosendosen kita lebih senang belajar di luar negeri dengan alas an lebih kredibel dan lain sebagainya. Padahal, ketika pulang dari luar negeri, para dosen kita juga tidak dapat berbuat banyak untuk perbaikan Indonesia. Lalu, siapa yang harus berkarya untuk Indonesia tercinta ini?
Menyemai pendidikan karakter Abdul Halim Soebahar mengutip pandangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai berikut; Saya mengingatkan kepada para pendidik, … bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran, kecerdasan, ilmu, dan pengetahuan. Tetapi juga moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental, dan kepribadian yang tangguh, yang unggul, dan yang mulia. Dan yang kedua inilah sesungguhnya karakter, karakter manusia, yang akhirnya menjadi karakter masyarakat dan karakter bangsa (sambutan SBY, 2011).26 Pendidikan moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental, dan kepribadian yang tangguh, yang unggul, dan yang mulia sebenarnya bukan serta merta tanggung jawab tunggal guru untuk membina dan mendidiknya. Namun yang paling bertanggung jawab terhadap semua itu adalah orang tua sebagai pembina pendidikan di dalam rumah tangga. Oleh karenanya, pendidikan moral, etika, mental dan kepribadian sebenarnya 25
Nur Khalik Ridwan, Doktrin Wahhabi, dan benih-benih radikalisme Islam (jilid I), Perselingkuhan Wahhabi, dalam agama, bisnis, dan kekuasaan (jilid II), dan Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi (jilid III) (Yogyakarta: Tanah Air, 2009). 26 Lihat dalam Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru samapi UU Sisdiknas, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 210.
9
tugas utama orang tua untuk menyemainya. Hal ini bukan semata-mata teori dalam pendidikan, bahkan agamapun mengatakan, bahwa warna dan corak seorang anak dimasa depan sangat ditentukan oleh para orang tua. Guru, pada hakekatnya, hanyalah membantu para orang tua untuk membina itu semua. Masih menurut Seobahar, tujuan pendidikan karakter adalah “untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu pancasila”. 27 Dalam konteks ini, semua warga Negara Indonesia wajib hukumnya untuk mendidik para anak, remaja dan semua individu yang hidup di Indonesia untuk mengerti dan menjalankan prinsip-prinsip ber- Pancasila. Untuk tahu dan mengerti tentang prinsip tersebut, maka setiap jiwa dan setiap raga manusia Indonesia harus di didik, di bina, diarahkan dan diberi wawasan masa depan tentang Indonesia yang bermartabat dan beradab. Untuk mencapai semua itu bagaimana? Disinilah kewajiban negara untuk memfasilitasinya, karena Negara telah memaksa setiap warganya untuk tunduk dan patuh kepada Negara, termasuk dalam hal urusan membayar pajak dan sebagainya. Dan ketika semua itu telah dipenuhi oleh warga negaranya, maka kewajiban Negara bertanggung jawab terhadap pendidikan dan masa depan warganya. Sehingga tujuan kebersamaan, kemakmuran, keadilan, pemerataan dalam proses sejarah pendirian sebuah Negara dapat dicapai. Kesimpulan Pendidikan moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental, dan kepribadian yang tangguh, yang unggul, dan yang mulia, harus ditanamkan dari sejak dini dari pendidikan dalam keluarga. Jika banyak keluarga yang gagal di dalam mendidik putraputrinya, maka bukan tidak mungkin dan bukan musthail pula, jika sendi-sendi kebersamaan yang mengikat kita dalam rumah Indonesia ini akan rapuh dan hancur dikemudian hari. Pendidikan karakter yang dimaksud di atas adalah pola dan model pendidikan khas bangsa Indonesia yang tidak eksklusif. Pendidikan yang dimaksud adalah model dan corak pendidikan yang saling menghargai, menghormati, berpijak pada toleransi, inklusif dan berjiwa damai dalam menyikapi setiap perbedaan dan berbagai macam corak yang berbeda dan hadir di dalam masyarakat yang majemuk dan plural. Pendidikan di Indonesia, menurut hemat penulis, jangan sampai tidak berbicara tentang sejarah nasional bangsa Indonesia. Apalagi tidak berbicara tentang sejarah peradaban dunia. Ketika pelajaran sejarah dihapuskan dari mata pelajaran bangsa Indonesia, maka wajar jika dikemudian hari, anak-anak bangsa akan lupa kepada jasa para pendahulunya. Jika hal ini terus berjalan, maka kita sebagai generasi penerus bangsa akan kehilangan arah dan menjadi dis-orientasi masa depan. Maka untuk menanamkan nasionalisme, perlu kiranya pendidikan dalam keluarga menjadi perhatian yang serius serta mendapatkan perhatian yang lebih intensif, agar kita sebagai bangsa yang besar tidak mengalami kehilangan arah dalam membina tujuan berbangsa dan bernegara. Sebuah buku yang ditulis oleh Nur Syam, Agama Pelacur dan tulisan Moammar Emka, Jakarta Undercover; Sex in the City, serta Jakarta Undercover #3; 27
Ibid.
10
Forbidden City, setidaknya perlu menjadi perhatian bersama, agar kita tidak terjerembab dalam jurang yang curam nan dalam yang akan mengantarkan kita gagal berbangsa dan bernegara serta menjadikan kita komunitas yang gagal pula untuk beradab dan bermoral.28
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru samapi UU Sisdiknas, (Jakarta: Rajawali Press, 2013). Abdul Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012). Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; jejak intelektual arsitek pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006). Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam; ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, 2009). Abhisam DM, dkk, Membunuh Indonesia; konspirasi global penghancuran kretek, (Jakarta: Kata-Kata, 2011). As’ad Said Ali, Negara Pancasila; Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Darmaningtiyas, Sekolah Rusak-Rusakan, (Yogyakarta: LKIS, 2009). Data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Jember tahun 2012. Data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI tahun 2012. Harold Crouch, Suatu Sorotan Lain Terhadap “Coup” 1965, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003). Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 1999). Mahfud MD, Gus Dur; Islam, Politik dan Kebangsaan, (Yogyakarta: LKIS, 2010). Moammar Emka, Jakarta Undercover #3; Forbidden City, (Jakarta: Gagas Media, 2007). _____________, Jakarta Undercover; Sex in the City, (Yogyakarta: Galang Press, 2005). Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Kelurga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKIS, 2011). Nur Khalik Ridwan, Doktrin Wahhabi, dan benih-benih radikalisme Islam (jilid I), (Yogyakarta: Tanah Air, 2009). ________________, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi (jilid III) (Yogyakarta: Tanah Air, 2009). ________________, Perselingkuhan Wahhabi, dalam agama, bisnis, dan kekuasaan (jilid II), (Yogyakarta: Tanah Air, 2009). Nur Syam, Agama Pelacur; Drama Turgi Transendental, (Yogyakarta: LKIS, 2011). 28
Lihat Nur Syam, Agama Pelacur; Drama Turgi Transendental, (Yogyakarta: LKIS, 2011), dan Moammar Emka, Jakarta Undercover; Sex in the City, (Yogyakarta: Galang Press, 2005) serta penulis yang sama, Jakarta Undercover #3; Forbidden City, (Jakarta: Gagas Media, 2007).
11
Nurhayati Djamarah, Pola Aktifitas Keagamaan Mahasiswa Islam Perguruan Tinggi Umum Negeri Pasca Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2009). Peter Dale Scott, Amerika Serikat dan penggulingan Soekarno 1965-1967, seri dokumenter, (Depok: Vision, 2007). Ridwan Nasir, dalam Ahmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal: V-VI). Rumekso Setiyadi dan Saiful H Shodiq, Dari Kesatria Menjadi Paria; degradasi peran dan pembunuhan politik sistematik, catatan awal peristiwa 65/66 di Jogjakarta, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003). Surya Online, Jember (Rabu, 20 Maret 2013) Tri Chandra AP, Banser Antara Perebutan Dalam Ketidakpastian Dan Kekerasan Politik 1965-1966, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003). Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1993). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009). http://regional.kompasiana.com/2013/07/21/jawa-timur-miskin-atau-kaya. http://www.beritasatu.com/ekonomi/100434-24-orang-indonesia-masuk-daftar-orangterkaya-di-dunia.html. diunduh Mei 2013.
12