PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN KELUARGA (Studi Komparatif Teori Al-Ghazali dan Teori Kornadt)
Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat memperoleh gelar doktor dalam Kajian Islam Oleh Charletty Choesyana Sofat 98.3.00.1.09.01.0065 Promotor: Prof. Dr. Zakiah Daradjat Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Charletty Choesyana Soffat
NIM
: 98.3.00.1.09.01.0065
Tempat /Tgl Lahir
: Jakarta, 07 Maret 1957
Pekerjaan
: Dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin
Alamat
: Perumahan Buaran Regency, Blok C No. 10 Kel. Pondok Kelapa. Kec.Duren Sawit. Jakarta Timur
Menyatakan
dengan
sesungguhnya
bahwa
disertasi
yang
berjudul:
“PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN KELUARGA” (Studi Komparatif Teori Al-Ghazali dan Teori Kornadt), adalah benar-benar merupakan karya asli saya, kecuali kutipan yang dijelaskan sumbernya. Apabila ternyata di kemudian hari terbukti tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang berakibat pada pencabutan gelar Doktor. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 10 Mei 2008 Yang membuat pernyataan,
Charletty Choesyana Soffat
BUKTI PENYERAHAN DISERTASI Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama NIM Konsentrasi Judul
: Charletty Choesyana Soffat : 98.3.00.1.09.01.00065 : Kajian Islam : PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN KELUARGA (Studi Komparatif Teori Al-Ghazali dan Teori Kornadt)
Dengan ini menyampaikan bahwa guna memenuhi persyaratan administratif, saya telah menyerahkan disertasi kepada pihak-pihak yang tertera di bawah ini: Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Ketua Sidang/Merangkap Penguji)
(........................................)
Prof. Dr. Zakiah Daradjat (Pembimbing/Merangkap Penguji)
(........................................)
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Pembimbing/Merangkap Penguji)
(....................................... )
Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA (Penguji)
(........................................)
Prof. Dr. Suwito, MA (Penguji)
(.......................................)
Perpustakaan SPs UIN Jakarta (beserta CD Disertasi bentuk file PDF)
(........................................)
Perpustakaan Pusat UIN Jakarta (beserta CD Disertasi bentuk file PDF)
(.......................................)
Demikian bukti penyerahan ini dibuat dengan sesungguhnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, Maret 2010 Yang menyatakan, Charletty Choesyana Soffat
ABSTRAK Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia pada masa kini yang diwarnai dengan maraknya tindakan agresi, merupakan indikasi tengah terjadi krisis karakter atau krisis akhlak bangsa Indonesia. Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik. Menurut Kornadt (1981), tindakan melanggar tabu dan pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi. Ditinjau dari segi dakwah, pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan hukum, “Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga” penting untuk diteliti. Kondisi lingkungan yang berubah cepat dan dinamis memerlukan pemikiranpemikiran baru dalam pendidikan keluarga terutama pada era digital ini. Kehidupan keluarga sebenarnya lebih kompleks dibanding dunia pendidikan, tetapi pendekatan psikologis terhadap masalah-masalah keluarga masih sedikit sekali yang dilakukan secara profesional. Mengkaji pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga adalah bermanfaat. bagi keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan. Hasil penelitian Achmad Mubarok (1999) membuktikan kualitas tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas nafs. Sistem nafs yang dimiliki manusia menyebabkan tingkah laku manusia dapat diukur dengan kriteria tanggungjawab. Selain itu, hasil penelitian Charletty Choesyana Soffat (1998) membuktikan, antara lain: Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan motif agresi dari orang tua dengan motif agresi anak Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan hambatan agresi dari orang tua dengan hambatan agresi anak Kaitannya dengan perkembangan motif agresi melalui praktik pengasuhan anak, peneliti melakukan studi komparatif teori Al-Ghazali tentang pengembangan akhlak/karakter berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs dan teori Kornadt tentang agresi berdasarkan teori motivasi. Titik temu dari kedua teori tersebut secara mendasar terletak pada tema tentang (1) sistem motif, (2) interaksionisme, (3) orientasi nilai, (4) rasa marah, dan (5) aspek praktek pengasuhan anak. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan pendekatan komparatif,
1
Masalah pokok yang diteliti: “Apakah pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak?”. Hasil pokok penelitian adalah “Pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan Pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak.”. Adapun argumen yang mendasari kesimpulan penelitian yakni: pemikiran al-Ghazali bersifat deduktif sedangkan pemikiran Kornadt bersifat induktif; teori al-Ghazali tidak menggunakan data empirik sedangkan teori Kornadt menggunakan data empirik. Hasil penelitian juga membuktikan adanya kemungkinan teori al-Ghazali dan teori Kornadt dapat diperbandingkan dan dapat diintegrasikan pada tataran praktis sehingga memberi kontribusi keilmuan di bidang Kajian Islam dan Psikologi Agama. Penelitian menghasilkan teori baru dari peneliti yakni teori pendidikan akhlak tentang agresi, menggunakan pendekatan ilmu agama Islam dan psikologi. Teori tersebut memandang sistem motif agresi berkembang sejalan dengan perkembangan pendidikan akhlak (konsep tazkiyat al-nafs sebagai metode pendidikan). Praktik pengasuhan anak, pendidikan akhlak melalui orang tua, yang berkaitan dengan perkembangan motif agresi, terdiri dari lima aspek, yakni (a) orientasi nilai-nilai agama (b) kasih sayang/kepedulian, (c) dukungan, (d) penerimaan dan (e) pengawasan.
2
KATA PENGANTAR «!$# ÉOó¡Î0 ÉOŠÏm§•9$# Ç`»uH÷q§•9$# Syukur alhamdulillah, setelah perjalanan panjang selama kurun waktu delapan belas semester lebih (1998-2008), menempuh pendidikan jenjang Strata-3 (program doktor) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mendapat berbagai macam ilmu pengetahuan dalam Kajian Islam dari para Dosen dan Guru Besar. Akhirnya dengan rahmat dan pertolongan Allah swt, penulis dapat memenuhi syaratsyarat memperoleh gelar doktor. Karya disertasi ini merupakan salah satu wujud bimbingan dan transformasi ilmu pengetahuan sebagai salah satu kualifikasi bagi penulis untuk menyelesaikan program doktor dalam Kajian Islam. Dalam proses penyelesaian disertasi ini sejak awal hingga akhir, penulis memperoleh banyak masukan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dari hati yang paling dalam, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebagai Promotor dan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono sebagai Ko-Promotor. Penulis dan keluarga berdoa semoga budi baik mereka mendapat balasan Allah swt. Selain itu, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya kepada Tim Penguji yakni: (1) Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, (2) Prof. Dr. Zakiah Daradjat, (3) Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, (4) Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA, (5) Prof. Dr. Suwito, MA. Tiada kata selain doa semoga mereka mendapat limpahan rahmat dan perlindungan Allah swt. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada suami, H. Soffatturrachman dan anak-anak kami (drg. Febyna Annastasya; Albar Aljabbar, SH, MM; Kapten Laut (P) Rasyid Al-Hafiz; Chaerul Charles, SH; Sofia Fahrani, MA; Takbiratul Ichram, SE; Safira Fannisa, S.Ked; Sultan Fatahillah; dan Kaisar Akhir) atas bantuan dan dukungan doa restu sehingga penulisan disertasi ini dapat selesai. Ucapan terima kasih penulis haturkan pula kepada H. Tarub, H. Ary Ginanjar Agustian, dan Dr. Dewi Motik atas motivasi dan doa yang diberikan. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas dan dunia pendidikan utamanya pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. Semoga Allah meridhoi usaha penulis. Jakarta, 10 Mei 2008 Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PROMOTOR KETERANGAN PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN ABSTRAK TRANSLITERASI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...........................................................1 B. Permasalahan........................................................................ 16 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan........................................23 D. Tujuan Penelitian.....................................................................26 E. Manfaat Penelitian...................................................................27 F. Metodologi Penelitian..............................................................28 G. Sistematika Penulisan.............................................................29 BAB II AGAMA DAN PSIKOLOGI A. Keterkaitan Agama dan Psikologi................................................................................31 B. Psikoanalisis dan Agama.......................................................34 C. Behaviorisme dan Agama..................................................... 46 D. Psikologi Humanistik dan Agama...........................................52 BAB III TINJAUAN UMUM JIWA, AKHLAK DAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU AGAMA ISLAM A. Jiwa/Nafs dan Akhlak............................................................. 60 B. Perkembangan Keagamaan Remaja......................................73 C. Pendidikan Akhlak Melalui Keluarga..................................... 81 BAB IV TINJAUAN UMUM MOTIF, AGRESI DAN PRAKTIK PENGASUHAN ANAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI A. Remaja dan Perkembangan Perilaku......................... .......... 90 B. Motif dan Perkembangan Perilaku Agresif............................. 97 C. Praktik Pengasuhan Anak.....................................................111
1
BAB
V TEORI AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK BERDASARKAN KONSEP TAZKIYAT AL-NAFS A. Jiwa dan Akhlak dalam Pandangan Al-Ghazali.................... 118 B. Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali....................................124 C. Pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali.................................134 D. Konsep Tazkiyat al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn..............141
BAB VI TEORI KORNADT TENTANG AGRESI BERDASARKAN TEORI MOTIVASI A. Teori Kornadt tentang Sistem Motif Agresi............................162 B. Perkembangan Agresivitas dalam Perspektif Kornadt ......... 172 C. Praktik Pengasuhan Anak dan Motif Agresi Anak ................182 BAB VII PERBANDINGAN TEORI AL-GHAZALI DAN TEORI KORNADT A. Sistem Motif sebagai Penggerak Tingkah Laku....................192 B. Tingkah Laku Hasil Interaksi Sosial .................................... 195 C. Orientasi Nilai........................................................................197 D. Peranan Amarah/Frustrasi dalam Perilaku Agresif............. .199 E. Aspek-Aspek Praktik Pengasuhan Anak - Berkaitan Pengembangan Karakter..................................................... 202 BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................208 B. Saran.....................................................................................220
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN CURRICULUM VITAE
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka kriminalitas di dunia terus meningkat termasuk kriminalitas dengan kekerasan.1 Tambahan pula, berdasarkan catatan Statistik Kriminalitas yang dikeluarkan oleh Kepolisian Internasional diperoleh informasi bahwa kriminalitas dengan kekerasan di dunia terus meningkat dalam angka dan keragaman bentuk.2 Begitu pula di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 1985–1994 peningkatan angka jumlah laki–laki pelaku tindakan kriminal kelompok umur 18–25 tahun (remaja akhir). Kelompok umur 18–25 tahun tersebut merupakan kelompok terbanyak dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.3 Pengertian kriminalitas dengan kekerasan (Violent-Crime) menurut Dinas Penelitian dan Pengembangan Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia meliputi sembilan jenis
kriminalitas, yaitu : pemerasan, penodongan, pembajakan, penjambretan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, pembunuhan, penganiayaan berat dan perkosaan.4
1
lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal.58 2 Lihat Supra Wimbarti, Child-rearing Practices and Temperament of Children dalam Psikologika Nomor 2 Tahun II Januari 1997. 3 Data Direktorat Reserse POLRI dalam Angka, 2000 4 lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal.47
1
Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia pada masa kini, seperti krisis moral, krisis ekonomi (tingkat korupsi tinggi), krisis penegakan hukum dan krisis sosial budaya,
memberi gambaran adanya realita perilaku
sosial di kalangan umat Islam Indonesia (penduduk mayoritas) yang secara empirik berlawanan atau tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai Islam. Dengan maraknya tindakan agresi5 yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa tengah terjadi krisis karakter atau krisis akhlak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa metode pendidikan akhlak di kalangan umat Islam Indonesia terutama pendidikan keluarga perlu ditingkatkan. Pada umumnya, ajaran agama Islam belum dijadikan pedoman hidup dalam berperilaku sebagai individu/muslim, anggota masyarakat, warga negara, pemimpin (termasuk pemimpin dalam keluarga) dan pejabat negara. Pendapat umum mengatakan para remaja adalah kelompok sosial yang paling rentan terhadap tingkah laku agresi dan kriminalitas. Tambahan pula, hasil penelitian membuktikan bahwa masa remaja adalah masa yang rawan terhadap perbuatan kriminal dan dapat dikatakan merupakan masa puncak keterlibatan seseorang dengan beberapa tipe agresivitas tertentu terutama tindak kekerasan.6 Remaja merupakan suatu periode di mana individu mengalami perubahan, baik fisik maupun mental dari seorang anak yang menjadi dewasa. Masa remaja (adolescent) dibagi menjadi dua, yaitu early adolescent (remaja awal) dan late adolescent (remaja akhir), di mana perubahan tingkah laku terjadi lebih cepat pada masa awal daripada masa akhir tersebut.
5
Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik. Menurut Kornadt, tindakan melanggar tabu dan pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi. 6 Lihat Moffitt dalam Rutter, M. & Hay, D. F. Development through life. (Great Britain: Blackwell Scientific Publications. 1994), hal. 506. Lihat pula Wolfgang dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995), hal. 564.
2
Hasil penelitian
yang
dilakukan oleh
Achmad
Mubarok
(1999)
menunjukkan Kualitas tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas nafs. Tingkah laku positif yang dikerjakan secara berkesinambungan oleh sesorang berperan dalam menumbuh suburkan dorongan-dorongan kepada kebaikan dan menekan dorongan-dorongan kepada keburukan. Usaha mengubah tingkahlaku manusia dapat diukur dengan mengubah kualitas nafs, yakni dengan mengubah cara berfikir dan cara merasanya. Sistem nafs yang dimiliki manusia menyebabkan
tingkahlaku
manusia
dapat
diukur
dengan
kriteria
tanggungjawab.7 Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Charletty Choesyana Soffat (1998) menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain: Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan motif agresi dari ibu dengan motif agresi anak Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan hambatan agresi dari ibu dengan hambatan agresi anak Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan motif agresi dari ayah dengan motif agresi anak. Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan hambatan agresi dari ayah dengan hambatan agresi anak.8 Tambahan pula, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ponpon Harahap (1987) membuktikan bahwa terdapat sejumlah korelasi positif yang sangat signifikan antara perlakuan orang tua yang meningkatkan maupun perlakuan orang tua yang menghambat, baik dari ayah maupun ibu, dengan kedua komponen sistem motif agresi pada remaja dan nilai-nilai budaya Batak9
7
Achmad Mubarok, Konsep Nafs dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian tentang Nafs dengan Pendekatan Tafsir Maudu’i, Disertasi, Jakarta, 1999 8 Charletty Choesyana, Sistem Motif Agresi Remaja, Studi Perbandingan Mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada kelompok Remaja Pelaku Tindakan Kriminal dan Remaja Non Pelaku Tindakan Kriminal di Jakarta dalam kaitannya dengan Prakti Pengasuhan Anak, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, 1998. 9 Ponpon Harahap, Sistem Motif Agresi Pada Remaja (Suatu Studi Mengenai Cerminan Adat dalam Praktek Pengasuhan Anak, terhadap Pembentukan Sistem Motif Agresi, pada Remaja Batak-Toba). Disertasi. Program Pascasajana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1987.
3
Adalah suatu hal yang menarik untuk mengkaji pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. Karakter merupakan tema sentral dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di segala bidang kehidupan, baik kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh kualitas karakter bangsa Indonesia. Kualitas karakter generasi penerus bangsa amat berperan dalam menentukan kualitas bangsa Indonesia mendatang. Adapun yang dimaksud dengan karakter menurut bahasa Indonesia adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Berkarakter diartikan mempunyai kepribadian.10 Sementara menurut psikologi, karakter (character) adalah istilah yang dikaitkan dengan standar moral (moral standard) atau sistem nilai (value system) yang digunakan dalam mengevaluasi tingkah laku seseorang. Selain itu, karakter dapat pula diartikan sebagai kepribadian yang dinilai.11 Penggunaan kata karakter menjadi permasalahan semantik dalam teori kepribadian (personality theory). Seringkali makna kata karakter disamakan dengan makna kata kepribadian (personality) dan watak/ciri sifat (trait).12 Sebenarnya karakter bukanlah sinonim dari kepribadian. Karakter menggambarkan standar moral yang dianut dan nilai yang diyakini.13 Ajaran Islam memiliki hubungan yang erat dan mendalam dengan ilmu jiwa/psikologi dalam soal pendidikan akhlak, pengembangan karakter dan pembinaan mental karena keduanya sama-sama bertujuan untuk mencapai kesehatan psikis dan tingkah laku baik (good behavior). Kerasulan Nabi Muhammad S.A.W – kalau ditinjau dari pandangan pendidikan secara luas – 10
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1996) Lihat Allport G.W dalam Hjelle, L.A. Personality Theories. Third Edition. (Singapore: McGraw Hill, Inc. 1992), hal. 291 12 Lihat Allport G.W dalam Corsini, R.J. Personality Theories, Research, & Assessment, (USA : F.E. Peacock Publishers, 1983), hal. 5 13 Mengenai penjelasan Personality versus Character lihat Hurlock, E. B. Personality Development. Fifth edition (New Delhi : Tata McGraw-Hill, Publishing Company LTD, 1980), hal. 8 11
4
adalah bertujuan untuk mendidik dan mengajar manusia, memberi petunjuk mensucikan jiwa, memperbaiki dan menyempurnakan akhlak, serta membina kehidupan mental spiritual. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau dalam ajaran Islam banyak terdapat petunjuk dan ketentuan yang berhubungan dengan soal pendidikan akhlak dan kesehatan mental. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam adalah petunjuk (hudâ), obat ( syifâ’ ), rahmat dan pengajaran (mau’izhat) bagi manusia dalam membangun kehidupannya yang berbahagia di dunia dan akhirat.. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Isrâ’/17:82 dan surat Yûnus/10:57:
ãAÍi”t\çRur z`ÏB uqèd $tB Èb#uäö•à)ø9$# ×puH÷qu‘ur Öä!$xÿÏ© Ÿwur tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 žwÎ) tûüÏJÎ=»©à9$# ߉ƒÌ“tƒ 14 ÇÑËÈ #Y‘$|¡yz ô‰s% â¨$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ `ÏiB ×psàÏãöq¨B Nä3ø?uä!$y_ Öä!$xÿÏ©ur öNà6În/§‘ Í‘r߉•Á9$# ’Îû $yJÏj9 ×puH÷qu‘ur “Y‰èdur 15 ÇÎÐÈ tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 Dapat dikatakan bahwa semua misi ajaran Islam yang berintikan pada ajaran akidah, ibadat, syariat dan akhlak pada dasarnya adalah mengacu kepada pendidikan akhlak (pengembangan karakter).16 Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat dan mendalam antara ilmu agama Islam dengan psikologi. 14
Q.S 17:82, artinya: dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian. 15 Q.S 10:57, artinya: Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. 16 Lihat Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. Kedua (Jakarta : Ruhama), 1995
5
Al-Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan memasukkan pendidikan ke dalam filsafat, Ghazali membuat keduanya sebagai dua disiplin ilmu yang terintegrasi. Menurut Hasan Langgulung pandangan AlGhazali mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu jiwa (psikologi). Pemikiran- pemikirannya tentang kejiwaan dan pengembangan akhlak dalam Islam kalau dikaji secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa Al-Ghazali adalah seorang “Psikolog Muslim Terbesar”. Memiliki pengaruh besar dalam psikologi
dan
pemikirannya
tentang
pembagian
jiwa
dan
fungsinya
mempengaruhi psikologi modern. Pendapatnya tentang motivasi, pembentukan kebiasaan, kemauan, pengamatan dan ingatan, merupakan sumbangan yang besar terhadap perkembangan psikologi modern. Lebih daripada itu ia mampu mengkaji jiwa sebagai substansi rohani dari manusia, suatu kajian yang belum mampu dilakukan para psikolog modern dewasa ini.17 Disamping itu, Zakiah Daradjat juga mengatakan bahwa kalau dikaji ajaran Islam mengenai kejiwaan, dan dibandingkan dengan pemikiran Al-Ghazali tentang kejiwaan, maka hasil dari pengkajian itu nanti akan sampai kepada kesimpulan bahwa ia adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau “Psikolog Agung”, yang karya-karyanya tentang ilmu jiwa bersumberkan pada Alquran dan Hadis.18 Pendapat kedua ahli ilmu jiwa ini tidak bisa dipisahkan dari ketinggian konsepsi Al-Ghazali tentang manusia, serta pendapatnya tentang jiwa dan akhlak. Sebab ia tidak saja menganggap ilmu jiwa sebagai ilmu tingkah laku, tetapi menganggapnya sebagai suatu ilmu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini aspek ketuhanan (agama) termasuk bagian ilmu jiwa di samping ilmu akhlak. 17
Lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Ma’arif, 1980), hal. 132 18 Zakiah Darajat, “Aspek-aspek Psikologi dalam karya al-Ghazali, Makalah disampaikan pada simposium tentang al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKS Perg. Tinggi Islam Swasta Indonesia di Jakarta, 26 Januari 1985, hal. 8.
6
Ditinjau dari segi dakwah, pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan hukum, penulis memandang
“Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga”
penting untuk diteliti. Dari segi dakwah, adanya kaum muslimin Indonesia yang memiliki karakter baik/akhlak terpuji (tingkah laku non agresif) merupakan salah satu indikator keberhasilan dakwah, mengingat tugas dakwah Nabi Muhammad S.A.W adalah menyempurnakan akhlak manusia.19 Dari segi pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan akhlak merupakan prasyarat keberhasilan pendidikan lainnya.20 Dari segi sosial, karakter berperan penting dalam membangun kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.21 Dari segi politik, implementasi kebijakan-kebijakan publik amat bergantung pada kualitas karakter para pelaku politik. Dari segi ekonomi, karakter yang berkaitan dengan pola hidup berperan penting bagi peningkatan kesejahteraan umat. Dari segi hukum, karakter berperan penting bagi implementasi penegakan hukum. Karakter adalah hasil pendidikan melalui pembiasaan, pengamatan, pembelajaran, pemberian stimulus, dan belajar sosial. Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga merupakan hal yang penting untuk diteliti. Keluarga terutama orang tua adalah lingkungan yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak, karena keluarga adalah tempat dimana relasi–relasi kemanusiaan dicontohkan, kepribadian–kepribadian dibentuk, tujuan–tujuan dan pandangan–pandangan hidup dibentuk. Kondisi lingkungan yang berubah cepat dan dinamis memerlukan pemikiran-pemikiran baru dalam pendidikan keluarga terutama pada era digital ini. Kehidupan keluarga sebenarnya lebih kompleks
19
Fenomena umum dan mencuat yang mencerminkan umat Muslim Indonesia berakhlak terpuji dapat menjaga citra agama Islam dan mendukung syiar dakwah agama Islam (khususnya di Indonesia). 20 Manusia yang berpendidikan tinggi, memiliki intelektualitas yang tingggi, namun memiliki karakter buruk atau bahkan cacat karakter (misal koruptor), bertingkah laku agresif, merupakan indikator kegagalan pendidikan ditinjau dari sudut pandang pendidikan Islam. 21 Tingkat harkat kemanusiaan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kualitas karakter bangsa itu sendiri. Untuk mencapai tingkat kualitas karakter bangsa yang mendukung terbentuknya HANKAMNAS dan keadilan sosial, diperlukan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik, berakhlak terpuji.
7
dibanding dunia pendidikan, tetapi pendekatan psikologis terhadap masalahmasalah keluarga masih sedikit sekali yang dilakukan secara profesional. Mungkin karena kehidupan berkeluarga merupakan fenomena universal maka para ahli lebih memillih membiarkan kehidupan keluarga berjalan secara alamiah di masyarakat dibanding memikirkannya secara ilmiah profesional. Ditinjau dari ilmu agama Islam, kedua orangtua memiliki kewajiban penuh dalam mempersiapkan anak menjalani kehidupan dan melindunginya dari kehinaan serta mengarahkannya agar tumbuh menjadi insan Tuhan yang berakhlak terpuji. Pendidikan merupakan hak anak dari orangtuanya, bukan sebagai hadiah atau pemberian dari orangtua kepada anak Dengan kata lain, pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua. Allah S.W.T telah memerintahkan kepada setiap orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, dan bertanggung jawab atas pendidikan anak. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Tahrîm/66:6:
tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ ö/ä3|¡àÿRr& (#þqè% (#qãZtB#uä #Y‘$tR ö/ä3‹Î=÷dr&ur â¨$¨Z9$# $ydߊqè%ur $pköŽn=tæ äou‘$yfÏtø:$#ur žw ׊#y‰Ï© ÔâŸxÏî îps3Í´¯»n=tB öNèdt•tBr& !$tB ©!$# tbqÝÁ÷ètƒ tbrâ•sD÷sム$tB tbqè=yèøÿtƒur 173 ÇÏÈ Dari sudut pandang psikologi, tingkah laku kriminal adalah tingkah laku melanggar hukum yang berlaku (legal offenses) dan merupakan salah satu bentuk
17
Q.S 66:6. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
8
dari tingkah laku antisosial yang dimunculkan dalam tingkah laku yang nyata.18 Kornadt memandang bahwa tindakan melanggar tabu dan pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi.19 Sementara Gunarsa menyatakan bahwa agresivitas adalah reaksi khas terhadap frustasi yang biasanya dihukum oleh masyarakat, tetapi tidak selalu dilampiaskan secara terbuka dan kadangkala dialihkan pada obyek, orang lain atau diri sendiri.20 Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik.21 Tingkah laku agresif adalah fenomena universal yang ditemukan pada setiap tahap perkembangan kepribadian. Sementara kepribadian melalui tingkah laku yang nyata (overt behavior) adalah fenomena yang dihadapi dalam kehidupan sehari–hari. Pendapat umum mengatakan para remaja adalah kelompok sosial yang paling rentan terhadap tingkah laku agresif dan kriminalitas22 Dalam perspektif psikologi, menurut Sarlito W. Sarwono, agresi merupakan hal yang penting untuk dikaji mengingat pengaruhnya amat besar terhadap individu maupun kelompok, sebagaimana kutipan berikut ini: Agresi dan altruisme adalah perilaku-perilaku yang sangat penting dalam psikologi, khususnya psikologi sosial, karena pengaruhnya yang sangat besar, baik terhadap individu maupun kelompok. Banyak peristiwa
18
Lihat Wenar, C. Developmental Psychopathology. Third Edition (USA : McGraw-Hill, Inc, 1994), hal. 253 dan 507 19 Kornadt, H. J, Deveploment of Aggressiveness : Motivation Theory Perspective. In : R. M. Kaplan, V. J. Konecni, R. W. Novaco (eds.). Aggression in Children and Youth. (The Hague : Martinus Nijhoff Publishers, 1984), hal. 5 20 Gunarsa, S. D. & Yulia Gunarsa, Psikologi Perawatan (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 1989), hal. 83 21 Lihat Feshbach dan Bandura dalam Achenbach, T. M, Deveplomental Psychopathology. Second Edition. (New York : John Wiley & Sons, Inc., 1982), hal. 340 22 Lihat Elliot & Feldman dan Rice dalam Durkin K, Deveploment Social Psychology. (Great Britain : T. J. Press Ltd., 1995), hal. 506
9
bersejarah, baik dalam skala individu, bangsa, maupun dalam skala umat, terjadi karena agresi dan altruisme ini.23 Perkembangan tingkah laku (behavioral deveploment) telah lama menjadi pusat perhatian para ahli. Para ahli telah berhasil menunjukkan bahwa perkembangan tingkah laku adalah sesuatu yang penting diperhatikan dalam usaha memperkembangkan manusia menuju ke keadaan sejahtera dan bahagia. Dalam perkembangan tingkah laku, tampak jelas bahwa lingkungan hidup (ecological environment) anak adalah faktor yang sangat penting, sebagai sumber dari munculnya berbagai perangsangan (stimulation). Lingkungan hidup anak berpengaruh secara bertingkat, yakni dari microsystem, dimana orang tua atau benda secara langsung mempengaruhi anak, kemudian mesosystem dimana lingkungan lebih luas, menghubungkan antara rumah dengan kehidupan sosial yang lebih luas misalnya sekolah yang mempengaruhi anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Selanjutnya exosystem yakni latar belakang kekhususan yang dimiliki oleh orang tuanya.24 Untuk meneliti Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga, penulis melakukan studi komparatif teori Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak (tingkah laku non agresif) dan teori Kornadt tentang perkembangan tingkah laku agresif. Dengan membandingkan kedua teori tersebut, penulis berharap akan menghasilkan suatu kontribusi keilmuan. Hal ini dikarenakan penulis memandang perlu mengintegrasikan keislaman, keilmuan dan kemanusiaan. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa adanya realitas konstruk yang lahir dari dua sistem nilai berbeda melahirkan nilai yang sama merupakan suatu hal yang mungkin. Pendapat ini berlawanan dengan pendapat Huntington yang memandang bahwa menyatukan dua sistem nilai yang berbeda (agama dan sekuler) untuk melahirkan nilai yang sama adalah hal yang tidak mungkin. Rasionalisasi, diferensiasi 23
Sarlito W, Sarwono, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Cet. Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 294 24 Lihat Bronfenbrenner dalam Gunarsa, Child and Adolescent Development in Urban Area : Anticipation to the Future Challenge and Problems. (Jakarta, 1992)
10
struktur dan partisipasi massa adalah prasyarat modernisasi dan dapat memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan modernisasi itu. Nilainilai sekuler dan rasionalisasi mendukung pembangunan dan perubahan masyarakat,
sedangkan
nilai-nilai
agama
menghambat
perubahan
masyarakat/modernisasi.25 Pada proses munculnya tingkah laku manusia, sebenarnya tingkah lakunya tersebut digerakkan suatu sistem yang ada di dalam dirinya, yakni sistem nafs. Al-Qur’ân mengisyaratkan bahwa
nafs sebagai sisi dalam manusia yang
berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku. Nafs sebagai penggerak atau dorongan tingkah laku, berhubungan erat dengan tingkah laku manusia. Di dalam sistem nafs manusia ada potensi (potensi positif dan potensi negatif) yang menggerakkan manusia melakukan suatu tingkah laku tertentu. Dengan adanya kemampuan berpikir logis manusia diberi peluang untuk memilih. Manusia bisa mengalahkan tuntutan keinginan bertingkah laku tercela dengan memenangkan keinginan bertingkah laku terpuji. Potensi positif berkembang sejalan dengan pengalaman dan stimulasi hasil interaksi sosial (interaksi manusia dengan lingkungan). Pada dasarnya manusia mempunyai insting atau naluri merusak walaupun manusia memiliki predikat khalifah di muka bumi.25 Dalam ajaran Islam ada beberapa metode (jalan atau cara) yang ditempuh dalam melaksanakan pendidikan akhlak dan pengembangan karakter. Salah satu di antaranya adalah metode tazkiyat al-nafs (pensucian jiwa). Tazkiyat al-nafs sebagai tugas pokok dan terpenting dari para nabi dan rasul Allah, yang sudah tercatat dalam sejarah, ditegaskan Al-Qur’an dalam ayat berikut:
’n?tã y]yèt/ ô`ÏiB
ª!$# £`tB ô‰s)s9 øŒÎ) tûüÏZÏB÷sßJø9$# Zwqß™u‘ öNÍkŽÏù
25
Lihat Huntington, S.P, Political Order in Changing Societies, (New Haven: Yale University Press), 1968 25 Mengenai Sistem Nafs lihat dalam Achmad Mubarok, Jiwa Dalam Al-Qur’an, Cet. Pertama, (Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 143-160
11
(#qè=÷Gtƒ ôMÎgÅ¡àÿRr& ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍköŽn=tæ ãNßgßJÏk=yèãƒur öNÍkŽÅe2t“ãƒur spyJò6Ïtø:$#ur |=»tGÅ3ø9$# ’Å"s9 ã@ö6s% `ÏB (#qçR%x. bÎ)ur 26 ÇÊÏÍÈ AûüÎ7•B 9@»n=|Ê Berkaitan dengan akhlak, Al-Ghazali mengemukakan konsep tazkiyat alnafs sebagai metode pendidikan akhlak. Menurut Al-Ghazali, berakhlak baik bisa diartikan dengan baik secara lahir dan baik secara batin. Yang dimaksud dengan baik secara lahir adalah baik dalam penampilan. Sedangkan baik secara batin adalah menangnya sifat-sifat terpuji yang ada pada jiwa/diri seseorang atas sifatsifat tercelanya. Sebagai upaya untuk memenangkan sifat-sifat terpuji atas sifatsifat tercela yang ada pada jiwa seseorang, maka dilakukan tazkiyat al-nafs, dengan cara pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela dan pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Tazkiyat al-nafs berfungsi sebagai penguat motif, penggerak tingkah laku dan memberi warna corak tingkah laku manusia. Adapun pemikiran konsep tazkiyat al-nafs berdasarkan al-Qur’ân surat al-Syams/91:7-10:
ÇÐÈ $yg1§qy™ $ydu‘qègéú
$tBur <§øÿtRur $ygyJolù;r'sù ÇÑÈ $yg1uqø)s?ur ÇÒÈ $yg8©.y— `tB yxn=øùr& ô‰s% 27 ÇÊÉÈ $yg9¢™yŠ `tB z>%s{ ô‰s%ur Menurut Sa’id Hawwa, kata tazkiyat secara harfiah memiliki dua makna, yakni tathhîr dan al-ishlâh. Tzn dalam pengertian pertama berarti membersihkan 26
Q.S 3:164, artinya. sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. 27 Q.S. 91:7-10, artinya: dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
12
diri dari sifat-sifat tercela, sedangkan dalam pengertian kedua berarti memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat terpuji.28 Dengan demikian arti dari tzn tidak saja terbatas pada pembersihan diri, tetapi juga meliputi pembinaan dan pengembangan diri. Kitab-kitab tafsir, seperti Fakhr al-Razi dalam Tafsîr alKabîr juga mengartikan tazkiyat dengan tathhîr dan tanmiyat, yang berfungsi untuk menguatkan motivasi seseorang dalam beriman dan beramal saleh. Secara tegas ia mengatakan bahwa tazkiyat adalah ungkapan tentang tathhîr dan tanmiyat.29 Disamping itu, Mufasir Muhammad Abduh mengartikan tzn dengan tarbiyat al-nafs (pendidikan jiwa) yang kesempurnaannya dapat dicapai dengan tazkiyat al-‘aql (pensucian dan pengembangan akal) dari akidah yang sesat dan akhlak yang jahat. Kesempurnaan tazkiyat al-‘aql dapat pula dicapai dengan tauhid yang murni.30 Pendapat Abduh ini sejalan dengan arti kata tazkiyat itu sendiri, dan pengertian pendidikan dalam arti yang luas, yang tidak saja terbatas pada tathhîr al-nafs, tetapi juga tanmiyat al-nafs. Dari segi pendidikan dan ilmu jiwa banyak pula pendapat para ahli tentang tzn, misal Ziauddin Sardar, Muhammad Fazl-ur-Rahman Ansari, dan Hasan Langgulung. Sardar mengartikan tzn sebagai pembangunan karakter (watak) dan transformasi dari personalitas manusia, di mana seluruh aspek kehidupan memainkan peranan penting dalam prosesnya. Sebagai konsep pendidikan dan pengajaran, tzn tidak saja membatasi dirinya pada proses pengetahuan yang sadar, tetapi lebih merupakan tugas untuk memberi bentuk pada tindakan hidup taat bagi individu yang melakukannya, dan mukmin adalah karya seni yang dibentuk oleh tzn.31 Sedangkan Hasan Langgulung mengartikan tzn sebagai metode penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. 28 29
Sa’id Hawwa, al-Mustakhlash Fi Tazkiyat al-Anfus, (Mesir: Dâr al-Salam, 1984) Fakhr al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, juz 4, (Teheran: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyat, t.t.), hal. 75 dan
143. 30
Muhammad Rasyid Ridha, (ed.), Tafsir al-Manar, juz 4, (Mesir: Maktabat al-Qahirat, t.t.), hal 222-223. 31 Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilization, terj. HM. Mochtar Zoerni dan Ach. Hafas Sn :Masa Depan Peradaban Muslim”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hal. 383.
13
Jika semua nilai Islam itu tersimpul dalam ketakwaan, maka tzn adalah metode pembentukan orang yang bertakwa.32 Kornadt berangkat dari dasar pemikiran bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya digerakkan oleh kekuatan dari dalam diri (innate forces) seperti dorongan biologis, sifat dan disposisi, maupun rangsangan yang berasal dari luar diri (external stimulus) seperti kondisi situasional, tetapi juga diaktifkan oleh motif (learned motive) yang mengarahkan tingkah laku tersebut ke tujuan yang akan dicapai berdasarkan harapan-harapan yang dimiliki. Dengan memahami motif (faktor intrinsik) sebagai salah satu faktor utama penyebab munculnya tingkah laku agresif, maka Kornadt mengusulkan pemakaian kerangka pembahasan teori motivasi mengenai agresi dalam menganalisis permasalahan di bidang agresi. Teori Kornadt tentang agresi mencakup beberapa pendekatan teoretis, yaitu : 1) teori biologis, 2) teori frustrasi-agresi, 3) teori belajar, 4) teori sosial-belajar, dan 5) teori kognitif dari motivasi. Apalagi analisis yang sistematis teori motivasi tentang agresi jarang dilakukan dan kurang digali. 33 Dalam usaha membentuk teori agresi, Kornadt mengembangkan beberapa konsep dasar dengan menggunakan berbagai pendekatan teoretis. Konsep-konsep dasar tersebut adalah bahwa (1) agresi mempunyai akar biologis, tingkah laku agresif didasari oleh fungsi otak khusus
(fungsi hypothalamus) dan sistem
endokrin sehingga agresi mempunyai komponen herediter; (2) frustrasi dapat mengarahkan manusia pada beberapa bentuk tingkah laku agresif; (3) tingkah laku agresif diperoleh melalui proses belajar dan merupakan akibat pengaruh rangsangan yang berulang kali dari lingkungan ataupun pengalaman yang disertai penguatan; (4) tingkah laku agresif dapat dipelajari dan terbentuk dengan meniru atau mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang diamati; dan (5) pemunculan agresi melibatkan interprestasi kognitif terutama berkaitan dengan 32
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), hal. 371-377. 33 Lihat Olweus, Kornadt, Miller & Miller dalam Kornadt, Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981b), hal. 23-25
14
penentuan tujuan yang akan dicapai dan pelaksanaan suatu tingkah laku agresif yang diharapkan.34 Sungguhpun konsep tazkiyat al-nafs yang terdapat dalam kitab Ihyâ’ ‘ulûmudîn tersebut memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan karakter dan pendidikan akhlak, namun belum pernah diteliti sebagai suatu konsep untuk pendidikan akhlak dan pengembangan karakter dalam Islam. Apalagi penelitian konsep tersebut dikaji dan dibandingkankan dengan psikologi. Padahal antara tazkiyat al-nafs dan psikologi terdapat hubungan yang erat. Keduaduanya merupakan kebutuhan pokok hidup manusia dalam
mencapai
kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Baik tazkiyat al-nafs (ilmu agama Islam) maupun pengembangan perilaku agresif (psikologi), membahas hal-hal yang sama (kesamaan substansi), namun menggunakan istilah yang berbeda. Keduanya dapat saling melengkapi. Dengan menggabungkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt diharapkan akan dapat menghasilkan satu teori baru tentang pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga, teori yang lebih aplikatif dan berpedoman pada nilai-nilai Islam Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga” adalah penting untuk diteliti. Akhlak (karakter) adalah hasil pendidikan sejak dini. Hal ini bukan hanya untuk kepentingan kehidupan berkeluarga namun juga untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tingkat harkat kemanusiaan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kualitas karakter bangsa itu sendiri. Untuk mencapai tingkat kualitas karakter bangsa yang mendukung terbentuknya HANKAMNAS dan keadilan sosial, diperlukan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik, berakhlak terpuji, berbudi pekerti luhur, tidak berperilaku agresif. 34
Lihat Kornadt, H. J. L. H. Eckensberger & W. B. Emminghaus. Cross Cultural Research On Motivation and Its Contribution to a General Theory Of Motivation. (Beston : Allyn and Bacon. 1980). hal. 54-70
15
Sehubungan dengan itu, penulis tertarik untuk melakukan studi komparatif teori Al Ghazali (ilmu agama Islam) dan teori Kornadt (psikologi/sekuler) dalam kaitannya dengan pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. Teori Al-Ghazali tentang pengembangan karakter (akhlak) hasil pendidikan orang tua berdasarkan konsep
tazkiyat al-nafs, sedangkan teori Kornadt tentang
pengembangan karakter (perilaku agresif) hasil praktik pengasuhan orang tua berdasarkan teori motivasi. Tentunya keinginan penulis melakukan penelitian ini, tidak terlepas dari kajian penelitian-penelitian terdahulu yang relevan.
Dengan membandingkan
kedua teori yang berlawanan nilai tersebut, penulis berharap dapat memberikan suatu kontribusi yang merupakan perpaduan keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan. Adapun materi utama obyek pembahasan dalam penelitian adalah konsep tazkiyat al-nafs (pensucian jiwa), pendidikan akhlak, sistem motif agresi dan perlakuan orang tua. Selain itu, penelitian ini dilakukan penulis untuk menguji hipotesis: Ada persamaan dan perbedaan persepsi pada pemikiran AlGhazali tentang pendidikan akhlak dan pemikiran Kornadt tentang perkembangan motif agresi.
B. Permasalahan Identifikasi Masalah Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia pada masa kini, seperti krisis moral, krisis ekonomi (tingkat korupsi tinggi), krisis penegakan hukum dan krisis sosial budaya, memberi gambaran adanya realita perilaku sosial di kalangan umat Islam Indonesia (penduduk mayoritas) yang secara empirik berlawanan atau tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai Islam. Dengan maraknya tindakan agresi35 yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan 35
Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik. Menurut Kornadt, tindakan melanggar tabu dan
16
bahwa tengah terjadi krisis karakter atau krisis akhlak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa metode pendidikan akhlak di kalangan umat Islam Indonesia terutama pendidikan keluarga perlu ditingkatkan. Pada umumnya, ajaran agama Islam belum dijadikan pedoman hidup dalam berperilaku sebagai individu/muslim, anggota masyarakat, warga negara, pemimpin (termasuk pemimpin dalam keluarga) dan pejabat negara. Pendapat umum mengatakan para remaja adalah kelompok sosial yang paling rentan terhadap tingkah laku agresi dan kriminalitas. Tambahan pula, hasil penelitian membuktikan bahwa masa remaja adalah masa yang rawan terhadap perbuatan kriminal dan dapat dikatakan merupakan masa puncak keterlibatan seseorang dengan beberapa tipe agresivitas tertentu terutama tindak kekerasan.36 Remaja merupakan suatu periode di mana individu mengalami perubahan, baik fisik maupun mental dari seorang anak yang menjadi dewasa. Masa remaja (adolescent) dibagi menjadi dua, yaitu early adolescent (remaja awal) dan late adolescent (remaja akhir), di mana perubahan tingkah laku terjadi lebih cepat pada masa awal daripada masa akhir tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja meliputi berbagai segi kehidupan. Sebagai masa transisi dalam status biososial individu, perubahan ini meliputi perubahan fisik dan diikuti oleh perubahan mental. Perubahan fisik meliputi perubahan yang cepat dari fisik itu sendiri dan hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan mental si anak. Si anak harus mulai menerima bahwa dirinya dapat dikatakan mulai menjelma menjadi orang dewasa, dan ini membawa akibat terhadap tuntutan akan kewajiban dan tanggungjawab mengalami perubahan. Namun perlakuan orangtua atau orang dewasa lainnya seringkali membuat remaja bingung di satu saat ia diperlakukan seperti anakpelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi. 36 Lihat Moffitt dalam Rutter, M. & Hay, D. F. Development through life. (Great Britain: Blackwell Scientific Publications. 1994), hal. 506. Lihat pula Wolfgang dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995), hal. 564.
17
anak, tetapi jika bertindak seperti anak-anak ia akan ditegur dan dituntut bertingkahlaku sesuai dengan usianya. Tetapi bila ia berusaha untuk kelihatan dewasa, ia disalahkan karena bertindak tidak sesuai dengan usianya. Tampaknya orangtua sering menolak untuk mengubah konsepnya tentang kemampuan anak mereka yang telah semakin besar, sehingga perlakuannya tetap seperti ketika mereka masih kecil. Tetapi jika mereka di minta untuk menerima tanggungjawab orangtua mengharapkan anak-anak mereka untuk bertindak sesuai dengan usianya. Sumber konflik lain adalah penggunaan dasar tingkah laku yang berbeda antara remaja dengan masa ketika orangtuanya mereka masih remaja, misalnya orang tua tumbuh di daerah yang berbeda dengan daerah dimana si remaja tumbuh. Konflik ini akan berkurang jika remaja percaya bahwa orangtua mereka mengerti tentang mereka dan tentang kehidupan mereka. Ada sebagian orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi remaja mereka seolah-olah tidak mempunyai pegangan bagaimana mereka harus bertindak dalam mendidik anak-anaknya. Akibatnya timbullah berbagai macam sikap orangtua dalam memberikan aturan bagi tingkah laku remaja, disiplin atau pun bentuk hukuman yang harus diberikan. Untuk itu setiap orangtua akan menentukan cara yang dianggap terbaik oleh mereka sendiri, misalnya dengan memanjakannya, dengan sikap kekerasan, dengan sikap acuh tak acuh atau dengan sikap penuh kasih sayang. Sikap-sikap ini bisa menimbulkan ketegangan di rumah atau justru mengurangi ketegangan. Apabila hubungan anak dan orangtua cukup akrab, orangtua yang selalu ramah terhadap kawan anak-anaknya, orangtua merupakan tempat untuk membagi suka dan duka dan memiliki waktu yang cukup bagi mereka. Hal ini lebih memungkinkan bagi remaja untuk mengadakan penyesuaian yang baik dengan tuntutan sosialnya. Namun bila hubungan orangtua dan remaja tidak harmonis, maka stres yang dialami dalam masa remaja akan bertambah dan mengalami gangguan dalam penyesuaian diri (maladjustment) dalam bentuk tingkah laku yang agresif, namun hal inipun tergantung pada dasar yang
18
didirikan pada masa anak-anak seperti kesabaran, pengertian dan bimbingan yang diberikan orangtua. Pada masa remaja kelompok teman sebaya mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sikap, minat, nilai dan tingkah laku remaja daripada pengaruh keluarga, sehingga ia lebih banyak menggunakan waktunya di luar rumah daripada di dalam rumah. Hal ini tidak berarti bahwa pengaruh keluarga dirampas oleh kelompok teman sebaya. Pengaruh mana yang lebih besar akan tergantung pada cara remaja memandang orangtuanya sebagai penuntun yang kompeten. Jika masalahnya berhubungan dengan kehidupan pada umumnya, remaja memandang nahwa orang tuanya lebih kompeten, jika masalahnya berhubungan dengan situasi khusus, kelompok teman sebaya dipandang sebagai lebih mampu untuk memberikan saran dan membimbingnya. Pengaruh teman sebaya diperkuat oleh keinginan remaja untuk diterima menjadi anggota kelompok tersebut, sehingga untuk mencapai keinginannya itu ia akan menyesuaikan diri dalam setiap cara sesuai dengan pola-pola yang diterima oleh kelompok tersebut.
Bagi remaja yang tergabung dengan
kelompok teman sebaya yang mempunyai kegiatan yang positif seperti kegiatan remaja masjid, kepramukaan, kegiatan ilmiah remaja, olah raga, kesenian, dan lain-lain tentunya akan membawa pengaruh yang baik. Sebaiknya bila remaja ini masuk dalam lingkungan/kelompok teman sebaya yang senang melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan seperti mengganggu orang lain, minum-minum, merokok atau menyalahgunakan obat dan sebagainya, hal ini akan membawa pengaruh buruk pula dan keadaan ini akan semakin buruk lagi bila remaja tidak mempunyai hubungan yang harmonis dengan keluarganya. Mungkin akhirnya remaja dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang anti sosial secara lebih serius, karena merasa tidak puas atau kecewa dengan perlakuan orang tua atau lingkungan sosialnya.
19
Adapun kenakalan-kenakalan yang biasa dilakukan oleh remaja umumnya lebih bersifat agresif, hal ini dapat dilihat dalam kategori kenakalan remaja yang dinyatakan oleh Hurlock.37 dalam bukunya Adolescent Development yaitu: (1) Tingkah laku merusak diri dan orang lain, misalnya mengacaukan masyarakat, menimbulkan kerusuhan, merugikan diri sendiri, menikam, menembak, membunuh, dan sebagainya. (2) Tingkah laku merusak atau menyalahgunakan benda-benda, misalnya merusak barang, merampok, mencuri, membakar dan sebagainya. (3) Tingkah laku yang tidak dapat dikendalikan, misalnya tidak patuh pada orangtua, sekolah, dan kekuasaan; membolos, melarikan diri dari rumah, mengemudikan mobil/kendaraan tanpa SIM. (4) Tindakan yang mungkin membahayakan diri dan orang lain, misalnya menyalahgunakan obat (penyalahgunaan narkoba), memakai senjata tanpa ijin. Berkaitan dengan tugas perkembangan, para remaja terutama remaja akhir, diharapkan sudah mencapai tahap kematangan sosial yakni tumbuh berkembang menjadi individu yang mandiri dengan tetap membina hubungan baik dengan lingkungannya, dan memperoleh keseimbangan antara peranan dan tuntutan sosial, serta mempunyai kemampuan menemukan stabilitas antara situasi sosial yang dihadapi dengan perubahan fisiopsikologis yang terjadi dalam dirinya. Penduduk mayoritas Indonesia adalah pemeluk agama Islam, namun pada kenyataannya banyak ditemukan muslim (termasuk muslimah) yang berakhlak buruk/berkarakter tidak Islami. Fenomena sosial pada masa kini, memberi gambaran adanya kehidupan di kalangan kaum Muslim Indonesia yang secara empirik berlawanan dengan norma dan nilai Islam (berperilaku agresif dalam arti luas)
37
Lihat Hurlock, Elizabeth B. Adolescent Development. International Student Edition. (Tokyo:McGraw Hill-Kogakusha,Ltd. 1973)
20
Pembatasan Masalah Berdasarkan pada masalah-masalah yang ditemukan dalam identifikasi masalah, maka masalah yang mendasari penelitian ini, dibatasi pada masalah pendidikan keluarga yang bagaimana yang dapat menghasilkan individu yang berakhlak terpuji, tidak berperilaku agresif. Peranan pendidikan keluarga dalam hal perlakuan orang tua terhadap anak yang berkaitan dengan pengembangan karakter (perilaku non agresif dan agresif) adalah masalah yang penting diteliti, tidak hanya untuk kepentingan keluarga namun juga untuk kepentingan umat, bangsa dan negara. Sehubungan
itu,
penulis
meneliti
pemikiran-pemikiran
tentang
pengembangan akhlak/karakter yang berkaitan dengan perlakuan orang tua. Adapun yang akan diteliti oleh penulis adalah perbandingan teori Al-Ghazali (ilmu agama Islam) dan teori Kornadt (psikologi/sekuler). Teori Al-Ghazali tentang pengembangan karakter (akhlak) hasil pendidikan orang tua berdasarkan konsep
tazkiyat al-nafs, sedangkan teori Kornadt tentang pengembangan
karakter (perilaku agresif) hasil praktik pengasuhan orang tua berdasarkan teori motivasi. Al-Ghazali, seorang ulama yang banyak mengkaji masalah tazkiyat al-nafs dalam Islam. Ia di samping seorang filsuf, mutakallim, fakih, dan sufi juga dikenal sebagai tokoh pendidikan dan ahli jiwa dalam Islam. Al-Ghazali mempelajari tazkiyat al-nafs sebagai salah satu metode pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa. Ia menulis kitab tentang adab kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan dan pergaulan terhadap sesama makhluk. Pada prinsipnya, ia berpendapat bahwa pembentukan adat kebiasaan dalam pendidikan keluarga yang berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs akan menghasilkan pengembangan akhlak/karakter yang baik. Tema sentral dari pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan keluarga adalah pembentukan manusia yang taat, yang memiliki keserasian hubungan dengan Allah, sesama manusia dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, pengembangan
21
akhlak/karakter dan perilaku sosial melalui interaksi sosial sangat erat kaitannya. Al-Ghazali mengemukakan bahwa pendidikan akhlak (perilaku non agresif) anak adalah hasil usaha pendidikan orang tua dan usaha anak itu sendiri. Kornadt, seorang tokoh psikologi pendidikan, berpendapat bahwa pengembangan perilaku agresif remaja (akhlak buruk) sangat erat kaitannya dengan perlakuan orang tua (ayah dan ibu) terhadap anak. Ia menjelaskan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan sistem motif agresi anak. Jelasnya, ia mengemukakan bahwa tingkah laku agresif berkembang sejalan dengan perlakuan orang tua (child rearing practices). Kornadt mengemukakan bahwa ada lima aspek praktik pengasuhan anak, yaitu: kontrol, penolakan, hukuman, kasih sayang dan nilai. Kelima aspek praktik pengasuhan anak tersebut mempengaruhi bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak. Kornadt mengemukakan bahwa perilaku agresif anak berkembang sejalan dengan perlakuan orang tua terhadap anak. Menurut penulis, terdapat persamaan dan perbedaan persepsi pada pemikiran Al-Ghazali dan Kornadt tentang pengembangan karakter (akhlak baik/non agresif dan agresif) hasil pendidikan/perlakuan orang tua. Dalam pemikiran Al-Ghazali dan pemikiran Kornadt memiliki titik temu yakni pada pemikiran (1) sistem motif sebagai penggerak tingkah laku, (2) tingkah laku hasil interaksi sosial, (3) orientasi nilai (4) peranan amarah/frustrasi dalam tingkah laku agresif dan (5) aspek-aspek praktik pengasuhan anak/perlakuan orang tua. Penulis membandingkan kedua teori tersebut sebagai upaya untuk menemukan kemungkinan menggabungkan keduanya pada tataran praktis di Indonesia.
Perumusan Masalah Masalah pokok yang diteliti: “Apakah pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak?”.
22
Masalah pokok itu tersimpul dari formulasi pertanyaan yang tersusun sebagai berikut: a. Bagaimana gambaran umum teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs? b. Bagaimana gambaran umum teori Kornadt tentang pengembangan motif agresi remaja dikaitkan dengan praktik pengasuhan anak? c. Dimana persamaan pemikiran al-Ghazali dan Kornadt berkaitan dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga? d. Dimana perbedaan pemikiran al-Ghazali dan Kornadt berkaitan dengan pengembangan akhlak/karakter dalam pendidikan keluarga? e. Dapatkah teori al-Ghazali dan teori Kornadt digabungkan pada tataran praktis sehingga dapat disusun teori baru tentang pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa Penelitian di Indonesia: 1.
Penelitian tentang Konsep Nafs dalam Al Qur’an (Suatu Kajian Tentang Nafs dengan Pendekatan Tafsir Maudu`i). Penelitian ini dilakukan oleh Achmad Mubarok. Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999. Hasil Penelitian: Sebagai sisi dalam manusia, nafs merupakan penggerak tingkah laku yang mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki. Sebagai penggerak tingkahlaku, nafs memiliki potensi yang secara konsepsional mengantar manusia pada tingkahlaku adil dan benar serta keberagaman yang hanîf, namun kekuatan penggerak kepada kejahatan sangat kuat desakannya sehingga banyak manusia justru dikuasai oleh dorongan-dorongan kepada kejahatan. Dalam merespons stimulus yang dijumpai, nafs bekerja pada sistem yang sangat rumit, melibatkan subsistem
23
qalb (hati), `aql (akal) dan basîrah (hati nurani.). Dalam sistem nafs, qalb menduduki posisi paling sentral, yakni sebagai alat untuk memahami dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, yang dalam proses bekerjanya dibantu oleh subsistem akal yang memiliki kemampuan berfikir dan basîrah yang memilki konsistesi kejujuran. Meski nafs mempunyai dorongan kuat kepada keburukan, tetapi ia bisa ‘dibentuk’ hingga menjadi berkualitas tinggi (suci) atau rendah (kotor). Menurut Al-Quran, pada mulanya nafs manusia itu secara fitri bersifat (nafs zakiyyah), tetapi interaksi dalam proses stimulus dan respons dapat mengantar nafs pada tingkat Lawwâmah, yakni nafs yang senantiasa menyesali diri karena merasa kurang mengambil peluang secara optimal. Selanjutnya nafs dapat meningkat ke martabat nafs mutmainnah, yakni nafs yang telah mencapai tingkat ketenangan di bawah rida Tuhan, atau sebaliknya terjerumus pada tingkat Ammârah, yakni nafs yang lebih cenderung kepada kejahatan. Kualitas tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas nafs. Tingkah laku positif yang dikerjakan secara berkesinambungan oleh sesorang berperan dalam menumbuh suburkan dorongan-dorongan kepada kebaikan dan menekan dorongan-dorongan kepada keburukan. Usaha mengubah tingkahlaku manusia dapat diukur dengan mengubah kualitas nafs, yakni dengan mengubah cara berfikir dan cara merasanya. Sistem nafs yang dimiliki manusia menyebabkan tingkahlaku manusia dapat diukur dengan kriteria tanggungjawab. 2.
Penelitian tentang Sistem Motif Agresi Remaja (Studi Perbandingan mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Kelompok Remaja Pelaku Tindakan Kriminal dan Remaja Non Pelaku Tindakan Kriminal di Jakarta dalam Kaitannya dengan Praktik Pengasuhan Anak). Penelitian ini dilakukan oleh Charletty Choesyana Soffat. Program Pascasajana Universitas Indonesia, Jakarta, 1998. Hasil Penelitian: (lihat lampiran)
24
3
Penelitian tentang Sistem Motif Agresi Pada Remaja (Suatu Studi Mengenai Cerminan Adat dalam Praktek Pengasuhan Anak, terhadap Pembentukan Sistem Motif Agresi, pada Remaja Batak-Toba). Penelitian ini dilakukan oleh Ponpon Harahap.
Program Pascasajana Universitas
Padjadjaran, Bandung, 1987.
Hasil Penelitian: 1.
Terdapat sejumlah korelasi positif yang sangat signifikan antara perlakuan orang tua yang meningkatkan maupun perlakuan orang tua yang menghambat, baik dari ayah maupun ibu, dengan kedua komponen sistem motif agresi pada remaja
2.
Motif Agresi dan kecederungan menyeluruh untuk bertindak agresif pada remaja laki-laki Batak-Toba di Jakarta lebih tinggi daripada remaja laki-laki Batak-Toba di Belige.
3.
Remaja Batak-Toba di Belige lebih terikat pada nilai-nilai tradisional daripada remaja Batak-Toba di Jakarta.
Beberapa Penelitian di Luar Negeri Sejumlah penelitian membuktikan ada hubungan antara karakteristik
1.
keluarga terutama pola asuh anak dan tingkah laku agresi pada remaja. Konsensus yang muncul dari penelitian - penelitian tersebut adalah bahwa orang tua yang bersikap dingin, menolak dan berorientasi hukuman yaitu menerapkan power-assertive discipline, cenderung untuk mempunyai anak yang memperlihatkan agresi dengan tingkah laku yang lebih tinggi dari tingkat rata–rata.38 Penelitian tentang praktik pengasuhan anak (child-rearing practices) yang
2.
dilakukan oleh Dan Olweus menghasilkan informasi bahwa prediktor terbaik 38
Lihat Bandura, Loeber & Dishion, Olweus, Patterson, MacKinnon-Lewis et al Montagner et al, dan Straus dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd., 1995) hal. 349
25
bagi agresi para remaja (laki–laki) adalah (1) sikap ibu yang serba membolehkan, toleran terhadap tingkah laku agresif anak pada awal masa kanak–kanak, (2) sikap ibu yang dingin dan menolak terhadap anak dan (3) gerak hati (impulse) anak itu sendiri yang temperamental).39 Penelitian tentang praktik pengasuhan anak yang dilakukan oleh Wesley C.
3.
Becker menemukan bahwa orang tua yang menggunakan teknik loveoriented cenderung untuk memperkembangkan penerimaan anak terhadap tanggung jawab diri dan memupuk kontrol diri melalui inner mechanisme of guilt.40 Sebaliknya, orang tua yang mengkombinasikan permusuhan dengan pengizinan dalam praktik pengasuhan anak cenderung membentuk anak yang bertingkah laku agresif dan delinkuen.41 Penelitian–penelitian tentang delinkuensi. Hasil penelitian memperlihatkan
4.
bahwa delinkuensi adalah lebih umum di kalangan anak–anak yang kekurangan kasih sayang dalam hubungannya dengan orang tua, dan dimana praktik pengasuhan anak yang diterapkan adalah tidak teratur dalam kebiasaan, tidak peduli, keras atau kejam.42 Hasil penelitian di Inggris dan Amerika melaporkan bahwa para orang tua dari remaja–remaja delinkuen (laki–laki) cenderung kurang memperhatikan (poor monitors) aktivitas– aktivitas anak mereka.43
D. Tujuan Penelitian Penelitian dalam studi ini bertujuan untuk : 39
Lihat dalam Shaffer, Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 349 40 Lihat dalam Zanden, J. W. V., Human Development. Fifth Edition. (USA: Better Graphics, Inc. 1993), hal. 269 41 Lihat Becker dalam Zanden, J. W. V. Human Development. Fifth Edition. (USA: Better Graphics, Inc., 1993), hal. 270 42 Lihat Dishion et al, Wilson, Rutter & Giller, Shaw & Scott, Widom dan Wilson dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd., 1995), hal. 572 43 Lihat Wilson dan Patterson dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd., 1995), hal. 572
26
Tujuan Umum: 1. Mengetahui apakah terdapat persamaan
pandangan tentang proses
pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga menurut teori Al-Ghazali dan teori Kornadt. 2. Mengetahui apakah terdapat perbedaan pandangan tentang proses pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga menurut teori Al-Ghazali dan teori Kornadt. 3. Menghasilkan suatu kontribusi keilmuan dengan menggabungkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt pada tataran praktis, sebagai suatu kajian Islam Tujuan Khusus: Mengetahui apakah terdapat kemungkinan menggabungkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt (agama dan psikologi/sekuler) dalam menyusun teori baru tentang pengembangan akhlak melalui pendidikan keluarga.
E. Manfaat Penelitian Dengan melakukan studi komparatif teori Al-Ghazali dan teori Kornadt tentang pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga, maka penelitian ini mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut: Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk : 1. Menambah pengetahuan tentang pengembangan akhlak/karakter ditinjau dari sudut pandang konsep Tazkiyat al-Nafs dari Al-Ghazali. 2. Menambah pengetahuan tentang pengembangan perilaku agresif ditinjau dari sudut pandang teori motivasi mengenai agresi dari Kornadt. 3. Memperoleh pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan dari teori AlGhazali dan teori Kornadt tentang pengembangan karakter dalam kaitannya dengan perlakuan orang tua. 4. Merumuskan teori baru tentang pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga, teori hasil integrasi ilmu agama Islam dan psikologi/sekuler.
27
5. Membuktikan bahwa terdapat kemungkinan adanya realitas konstruk yang dihasilkan oleh dua nilai yang berbeda yang melahirkan nilai yang sama.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk: 1. Memberikan kontribusi keilmuan yang dapat diaplikasikan di bidang psikologi agama dan psikologi pendidikan terutama kaitannya dengan pembinaan kepribadian anak agar lebih selaras dengan lingkungannya sesuai dengan nilai-nilai agama. 2. Memotivasi dilakukannya penelitian-penelitian dengan mengintegrasikan keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan. 3. Memberi informasi kepada masyarakat luas terutama orang tua mengenai efek perlakuan orang tua terhadap pembentukan motif agresi pada anak, sehingga upaya pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga dapat berhasil lebih baik, dapat membentuk akhlak yang baik (perilaku non agresif pada anak. 4. Melaksanakan upaya pendidikan akhlak generasi penerus bangsa di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan terbentuknya generasi penerus bangsa Indonesia (mayoritas penganut agama Islam) yang berakhlak mulia, berkarakter baik, berbudi pekerti luhur, pada gilirannya akan membentuk bangsa Indonesia yang lebih berwibawa di masa mendatang.
F. Metodologi Penelitian Sehubungan
dengan
masalah
yang
dibahas
bersifat
pemikiran,
membandingkan teori al-Ghazali dan teori Kornadt, maka penelitian ini menggunakan metode kepustakaan. Adapun permasalahan yang dirumuskan sebelumnya akan diuraikan dengan pendekatan komparatif, yaitu dengan meneliti beberapa pandangan dua pemikir ini dalam satu perspektif masalah kehidupan
manusia
yang
berkaitan
dengan
pendidikan
keluarga
dan
28
pengembangan akhlak/karakter. Dalam perbandingan ini akan diteliti adanya integrasi pemikiran yang menggambarkan persamaan persepsi dalam hal-hal yang menjadi pembahasan, d samping adanya perbedaan dalam hal-hal tertentu. Dalam usaha pemecahan masalah untuk mencari jawaban-jawaban, maka ditempuh metode komparatif dengan pendekatan kualitatif
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari enam bab.
Bab I, yaitu Pendahuluan, berisi uraian tentang (a) latar belakang masalah, (b) permasalahan, (c) penelitian terdahulu yang relevan, (d) tujuan penelitian, (e) manfaat penelitian, (f) metodologi penelitian dan (g) sistematika penulisan.
Bab II, Agama dan Psikologi, meliputi 4 sub bab berisi uraian tentang (a) keterkaitan
agama
dan
psikologi,
(b)
psikoanalisis
dan
agama,
(c)
behaviorisme dan agama, dan (d) psikologi humanistik dan agama
Bab III, Tinjauan Umum Jiwa, Akhlak dan Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Ilmu Agama Islam yang mencakup (a) jiwa/nafs dan akhlak (b) perkembangan keagamaan remaja, (c) pendidikan akhlak melalui keluarga.
Bab IV, Tinjauan Umum Motif, Agresi dan Praktik Pengasuhan Anak dalam Perspektif Psikologi yang mencakup (a) remaja dan perkembangan perilaku, (b) motif dan perkembangan perilaku agresif, (c) praktik pengasuhan anak.
Bab V, Teori Al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak Berdasarkan Konsep Tazkiyat al-Nafs, yang mencakup (a) jiwa dan akhlak dalam pandangan alGhazali, (b) manusia dalam perspektif Al-Ghazali, (c) pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali, dan (d) konsep Tazkiyat al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn
29
Bab VI, Teori Kornadt tentang Agresi Berdasarkan Teori Motivasi
yang
mencakup (a) teori Kornadt tentang sistem motif agresi, (b) perkembangan agresivitas dalam perspektif Kornadt, (c) praktik pengasuhan anak dan motif agresi anak.
Bab VII, Perbandingan Teori al-Ghazali dan Teori Kornadt, yang berisikan hal-hal yang dapat diperbandingkan secara komparatif antara pemikiran AlGhazali dan pemikiran Kornadt, yakni: (a) sistem motif sebagai penggerak tingkah laku, (b) tingkah laku hasil interaksi sosial, (c) orientasi nilai (d) peranan amarah/frustrasi dalam perilaku agresif dan (e) aspek-aspek praktik pengasuhan anak – berkaitan pengembangan karakter.
Bab-VIII, Penutup. Bab ini menguraikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan beberapa saran berkenaan dengan hasil temuan penelitian.
30
BAB II AGAMA DAN PSIKOLOGI A. Keterkaitan Agama dan Psikologi Pertemuan antara psikologi dan agama dapat terjadi dengan menemukan jawaban bersama atas pertanyaan sederhana: Apa yang dipelajari dalam mengkaji agama? William James memandang bahwa untuk melakukan penelitian agama maka yang diteliti adalah kesadaran keagamaan yang berkembang sejalan dengan pengalaman keagamaan. Dengan demikian, dua tema pokok kajian agama adalah kesadaran keagamaan (religious consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience). Ia pun berpendapat ada tiga karakteristik agama, yakni: Pribadi (personal), emosionalitas (emotionality)n dan keanekaragaman (Variety). Agama tetap bertahan hidup karena amat bermanfaat bagi manusia di bidang di mana manusia mencari makna hidupnya. Dalam merumuskan agama dengan pendekatan psikologis, William James mengemukakan pengertian agama sebagai: “Agama adalah perasaan, tindakan dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningannya, yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandang mereka sebagai Tuhan.”1 Perhatian secara psikologis terhadap agama sudah setua umat manusia. Sejak tumbuhnya kesadaran manusia, orang telah merenungkan tentang arti hidup
1
William James, The Varieties of Religious Experience, (New York:Modern Library, 1950),
hal.31-32
31
dan keberadaan di dunia, mengapa manusia berperilaku seperti itu, dan bagaimana arti hidup dan perilaku itu berhubungan dengan dunia yang ilahi, para dewa-dewi. Tetapi baru pada abad ke-19 dan abad ke-20 perhatian itu dilakukan secara ilmiah yaitu lewat psikologi agama. Psikologi agama, sebagai cabang ilmu psikologi, merupakan produk dunia Barat. Psikologi agama lahir sebagai hasil perkembangan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan psikologi pada khususnya.2 Selama masa pengembangan psikologi ilmiah, agama tidak mendapatkan perhatian yang berarti. Karena agama seringkali dianggap membatasi teknik psikologi atau lebih tepatnya agama dipandang sebagai bidang suci yang tabu untuk penyelidikan ilmiah. Apalagi para ahli agama dan para ahli psikologi sendiri menilai studi agama secara psikologis merupakan tindakan masuk ke bidang lain, yang bukan bidangnya dan dengan metode yang bukan metodenya. Penjelasan tentang agama sebaiknya dicari dari sumber-sumber adikodrati. Akibatnya selama paruh kedua abad ke-19 psikologi agama bisa dikatakan hampir tidak ada perkembangannya.3 Sekitar pergantian abad ke-19 dan ke-20 terbit dua buku yang menjembatani jurang antara psikologi dan agama dan banyak mengatasi rasa permusuhan di antara keduanya. Buku pertama adalah buku yang ditulis oleh Edwin D. Starbuck, berjudul The Psychology of Religion, terbit tahun 1899, dan buku kedua adalah buku yang ditulis oleh William James, The Psychology of Religious Experience, terbit tahun 1902. Jika dinilai menurut ukuran sekarang dari segi metode, dapat dikatakan bahwa kedua buku itu kurang dalam dan terlalu memusatkan perhatian pada pengalaman keagamaan yang luar biasa dengan mengabaikan pengalaman keagamaan yang biasa. Meskipun demikian, kedua karya itu teramat penting dalam perintisan penyelidikan fenomena keagamaan dari segi psikologi dan dalam penciptaan sikap positif terhadap kemungkinannya. 2
Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper & Row, 1967 hal. 175-80 3 Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper & Row, 1967 hal. 181-190
32
Pada dasawarsa awal abad ke-20 orang seperti James H. Leuba, George Coe, dan G. Stanly Hall yang karya-karyanya mengacu pada karya Starbuck dan James, memberi identitas pada istilah “Psikologi Agama”.4 Tetapi sejak sekitar tahun 1930-an hanya sedikit kemajuan dalam pengembangan karya para perintis bidang studi agama secara psikologis dan menyempurnakan metodenya. Tahun-tahun itu merupakan tahun kemunduran psikologi agama. Alasan pertama adalah karena semacam ketidakacuhan di kalangan ahli agama dan ahli psikologi. Para ahli agama dan para ahli psikologi seolah-olah sepakat berkata bahwa tidak mungkin ada psikologi agama. Kedua, meskipun telah berkembang berbagai metode canggih yang memungkinkan psikologi menyelidiki agama secara lebih tepat, banyak ahli agama tetap tidak yakin bahwa studi agama secara psikologi dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan. Ketiga, meskipun agama telah kehilangan sebagian besar bentengnya sebagai bidang suci, banyak ahli psikologi masih bersikap hati-hati dalam hal-hal di mana pembenarannya sepertinya harus bersandar pada yang transenden. Kecuali alasan-alasan di atas, mundurnya psikologi agama masih diakibatkan oleh dua faktor lain. Di satu pihak, karena pada tahun-tahun itu psikologi cenderung semakin positivistis behavioristis, dan kurang menyediakan kemungkinan untuk menilai agama di luar metode empiris ketat. Di lain pihak, agama telah menaruh minat pada bidang psikologi agama dan menjadikannya sebagai alat untuk menyucikan serta membersihkan iman para penganutnya. Dengan demikian psikologi dan agama berada dalam keadaan saling merendahkan satu sama lain. Dengan terlalu sempit membatasi studinya, psikologi mengabaikan unsur dan peran dinamis agama. Dengan memanfaatkan psikologi untuk kepentingan sendiri, agama menjadikan psikologi menjadi ilmu
4
Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper & Row, 1967 hal. 190-199
33
sarana dan ditempatkan di bawahnya. Singkatnya, kedua ilmu itu belum saling menghargai dan saling menganggap penting.5 Meskipun dialog permusuhan antara psikologi dan agama berkepanjangan, psikologi agama tidak lenyap atau mati. Istilah “agama” dan “psikologi” tetap dipergunakan satu sama lain, dan usaha untuk tetap membahas hubungan antara keduanya itu secara sistematis mulai tampak. Para ahli psikologi yang serius, dalam hati nuraninya tidak dapat menghindari agama, karena agama menduduki tempat berarti dan berperan besar dalam perilaku manusia. Para ahli agama yang serius tidak mungkin mengabaikan psikologi, bila mereka berkehendak mengembangkan psikologi manusia seutuhya. Psikologi agama giat dalam usaha mendamaikan dua cabang ilmu itu dengan cara mengambil keduanya secara serius.
B. Psikoanalisis dan Agama Sigmund Freud Berkaitan dengan pemahaman agama, Freud sebagai seorang pemikir kreatif, menggunakan beberapa pandangan. Kadangkala ia menyatakan agama sebagai gangguan pikiran atau obsesi. Di lain kesempatan, ia memandang agama sebagai pemenuhan keinginan masa kanak-kanak. Dan pada kesempatan lain, ia mengatakan agama sebagai khayalan (illusion). Bagi Freud, agama sama halnya dengan pola perilaku yang lain, harus dimengerti secara dinamis, yaitu dalam kerangka perkembangan kepribadian. Ada tiga ide atau gagasan Freud yang merupakan kunci dalam karyanya dan dalam warisannya di bidang psikoanalisis.6 yakni: Pertama, “perbuatan dan perasaan dapat ditentukan oleh motivasi yang tidak disadari”. Kunci pertama untuk membuka pemikiran Freud adalah 5
Lihat Paul W. Pruyser, A Dynamic Psychology of Religion, (New York: Harper & Row, 1968); dan Wayne E. Oates, The Psychology of Religion, (Waco TX : Word Books, 1973); dan Geoffery E.W. Scobie, Psychology of Religion, (New York: Wiley, 1975) 6 Karen Horney, New Ways in Psychoanalysis, (New York: W.W. Norton, 1939), hal. 18
34
pemahaman bahwa perilaku manusia itu berdimensi dua. Perilaku itu memiliki arti lahiriah (surface meaning) yang jelas tampak tetapi juga arti terdalam (depth meaning) yang kerap tersembunyi tidak disadari. Arti yang tersembunyi itu sama penting dengan arti yang tampak, dan kerap lebih menentukan perilaku manusia. Kita ambil contoh “salah ucap” dalam bicara. Perbuatan salah ucap itu memiliki nilai lahiriah dan dapat diuraikan dengan cara yang jelas. Entah karena lelah, kurang konsentrasi atau kesamaan bunyi kata, orang dapat mengucapkan salah. Orang salah ucap itu mengucapkan kata tidak pada tempatnya sehingga terdengar lucu atau aneh. Waktu menyadari, orang itu dapat menjelaskan mengapa terjadi salah ucap itu. Misalnya:”Dengan kata itu saya sebenarnya bermaksud...”. tetapi secara psikoanalisis perbuatan mengucap salah itu juga harus dimengerti dalam arti yang lebih dalam. Salah ucap itu terjadi pada waktu hal yang tidak disadari muncul dalam kesadaran. Memperhatikan perbuatan salah ucap itu dan memberinya arti yang lebih dinamis dapat digali dari gambaran pribadi yang pada umumnya tidak disadari. Salah ucap itu sebetulnya bukanlah peristiwa kebetulan, tetapi lebih mendasar, merupakan ungkapan pesan kepribadian yang memiliki unsur yang disadari dan tidak disadari. Perbuatan sesaat yang tampaknya kebetulan dan sambil lalu pada dasarnya merupakan lambang yang mengandung arti yang sudah terbentuk sepanjang proses pertumbuhan keperibadiannya. Hanya arti itu tidak disadari. Dalam pengertian itu, arti bersifat pribadi dan harus digali, kadangkadang melelahkan, lewat metode katarsis yang sistematis. Bahwa perilaku memiliki arti yang jelas tampak dan tersembunyi merupakan fondasi bagi bangunan pemikiran Freud. Kedua, gagasan pokok pemikiran Freud adalah “proses psikis adalah ketat ditentukan”. Tidak ada tindakan yang asal-asalan. Tindakan mempunyai penyebab yang mendahului yang menentukan bentuk dan kadar kekuatannya. Terkesan oleh ilmu fisika pada zamannya, yang menekankan konservasi atau pemelihaaan energi, Freud percaya bahwa perilaku manusia juga memiliki sifat
35
seperti itu.7 Proses pisikis adalah ketat ditentukan seperti fisik. Arti yang terkandung dalam suatu gejala tidak pernah hilang, tetapi terus-menerus mengungkapkan diri dalam berbagai cara dan muncul ke permukaan lewat peristiwa-peristiwa baru yang kadang-kadang menakjubkan. Maka untuk mengerti suatu perilaku tertentu dituntut pencarian perilaku yang mendahului yang memberi arti pada perilaku yang terjadi. Membeberkan arti itu merupakan tujuan utama psikoanalisis ala Freud. Dengan demikian orientasi psikologi adalah menuju ke masa lampau, dan perilaku pada masa kanak-kanak mendapat perhatian sebagai pola awal untuk perilaku selanjutnya. Ketiga, Freud menyimpulkan “bahwa motivasi yang menggerakkan kita adalah kekuatan emosional”.8 Kata kunci di sisni adalah kata “emosional” yang berlandaskan pada prinsip bahwa kepribadian itu dinamis. Freud memberi penekanan besar kepada dorongan naluriah, yang muncul tak terkendali (impulsive) dan nafsu dalam kepribadian. Nafsu itu menuntut pemuasan entah dalam cara yang diterima maupun dalam cara yang tidak diterima. Dengan demikian, Perilaku khusus tersebut harus dimengerti sebagai pemecahan konflik antara diri manusia apa adanya (libido) dan segala kekuatan sosial yang hendak menjinakkannya. Freud
mengisi
karir
profesionalnya
dengan
menciptakan
dan
menyempurnakan teknik untuk membantu orang dan mengatur perilaku yang sudah ditentukan, yang dinamis dan kerap secara tidak sadar terkendali. Dia juga berusaha mengembangkan kerangka teoretis untuk memahami perilaku semacam itu. Meskipun agak terlalu menyederhanakan psikoanalisis Freud menjadi beberapa pengertian, konsep-konsep dalam sistem teorinya penting untuk mengerti pendekatannya pada agama.
7 8
lihat, Calvin S. Hall, A Primer of Freudian Psychology, (Chicago: World, 1954), hal. 4 Karen Horney, New Ways in Psychoanalysis, New York: W.W. Norton, 1939, hal.. 18
36
Pemikiran Freud tentang kepribadian terdiri dari tiga sistem yang saling berhubungan. Secara tradisional sistem itu disebut id, ego, dan superego. Id merupakan bahan dasar yang membentuk pribadi, semacam energi awal, asli yang mengarah kepada ungkapan bebas tidak terhambat. Id itu bersifat spontan, impulsif, irasional, asosial, dan mencari kepentingan sendiri dan diatur hanya oleh kesenangan. Tetapi tidak selalu mendapatkan penyalurannya. Cara untuk pemuasan langsung mungkin tak tersedia, atau pengungkapan yang tak terkendali mungkin mendatangkan lebih penderitaan daripada yang dapat ditanggung. Jadi, dengan ancaman ketegangan dan penderitaan, kehidupan nyata dengan tak terhindarkan menghambat ungkapan id yang yang pada dasarnya tidak mau dihambat dan menuntut kompromi antara tuntutan id dan standar sosial. Kenyataan pada umumnya menghalangi pemenuhan kesenangan dan menuntut penyesuaian dengan pola yang dapat memenuhi kepuasan. Situasi seperti ini merupakan tahap perkembangan hidup penting bagi pertumbuhan agama.9 Dalam keadaan seperti itulah muncul sistem pengendalian. Ego dan superego berusaha untuk mengendalikan ungkapan id yang tak mau dihalangi untuk menghindari atau sekurang-kurangnya mengurangi ancaman ketegangan dan penderitaan. Dengan proses dinamis penundaan dan penemuan pola-pola baru, ego membuat kebutuhan id tercukupi untuk memungkinkan orang bertahan hidup di dunia nyata. Dalam proses itu superego berperan sebagai penjaga moral dengan menyediakan di depan manusia sasaran ideal (cita-cita ego) atau standar yang diterima masyarakat (hati nurani). Seluruh sistem itu bekerja secara tidak disadari dan mungkin hanya ditemukan secara samar-samar. Impian, ucapan dan kesalahan tak sengaja merupakan hal yang amat menolong dalam menemukan kegiatan id, ego dan superego. Menurut psikoanalisis klasik, kepribadian muncul sebagai interaksi ketiga sistem itu. Freud menguraikan berbagai pola dinamis dengan mana sistem itu
9
lihat, Calvin S. Hall, A Primer of Freudian Psychology, (Chicago: World, 1954), hal. 10-15
37
bekerja dan bergerak, dan cara bagaimana kesenangan dan penderitaan itu dikelola. Konteks penting atau masa krisis bagi id, ego dan superego bagi Freud adalah masa kanak-kanak dalam keluarga. Dalam hubungan antara bapak-ibuanak laki-laki, pada saat anak melewati kompleks Oedipus (Oedipus Complex) mengalami ungkapan id dan frustrasi. Pola yang paling khas dalam situasi Oedipus adalah keinginan anak terhadap ibunya, yang menempatkannya dalam persaingan dengan bapaknya. Kekuatan bapak yang lebih besar menghalangi pemenuhan langsung keinginan id, dan frustrasi itu mendorong perkembangan pengendalian ego dan superego.10 Berlatar belakang pengalaman budaya patriarki, Freud memberi banyak perhatian pada pengalaman anak laki-laki dalam persaingan segitiga bapak-ibuanak laki-laki dalam keluarga. Tetapi Freud juga membahas situasi Oedipus dari sudut pandang anak perempuan. Secara teoretis anak perempuan tak dapat lepas dari proses dinamis yang serupa, tetapi dalam susunan yang terbaik. Proses itu disebut Kompleks Elektra (Electra Complex). Dalam situasi elektra anak perempuan menginginkan bapaknya dan harus belajar mengendalikan penekanan keinginannya, sementara ketakutan dan kebencian ibunya dilihat sebagai ancaman. Hubungan yang kompleks dalam keluarga, sulit memberi gambaran yang benar tentang situasi Oedipus. Tetapi dalam bentuk yang paling sederhana anak menginginkan orang tua lawan jenis dan diancam oleh orang tua sama jenis, merupakan saat gawat yang melahirkan kepribadian. Dalam usaha untuk mengatasi konflik masa kanak-kanak, baik anak laki-laki maupun perempuan, menggunakan sejumlah mekanisme yaitu identifikasi, sublimasi, displacement, represi, proyeksi, pembentukan reaksi, regresi. Semua itu merupakan cara yang dipergunakan manusia yang tumbuh dalam usaha untuk mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap frustrasi, ketidakterpenuhan keinginan, konflik dan
10
lihat, Calvin S. Hall, A Primer of Freudian Psychology, (Chicago: World, 1954),
38
kecemasan yang terdapat dalam lingkungan keluarga pada masa kanak-kanak. Mekanisme itu bekerja tanpa disadari dan pola yang dipergunakan untuk melakukan semua itu merupakan bahan dasar yang membentuk kepribadian. Dengan cara itu kepribadian berakar dalam situasi Oedipus dan Elektra. Pada masa kanak-kanak dan anak, pola kepribadian ditetapkan secara mantap. Pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya sebagian besar merupakan pengulangan atau pengaktifan kembali pola masa kanak-kanak. Freud membantu pasiennya ke situasi kanak-kanak dan membangun kembali id, ego, dan superego supaya pasien itu dapat hidup tanpa terlalu dibebani oleh kecemasan, ketegangan, dan penderitaan.
Erik Erikson Melalui pendekatan psikologis, Erikson merumuskan agama sebagai dorongan atau penggerak utama perkembangan perilaku. Tokoh psikoanalisis dan berpikiran kritis terhadap konsep-konsep pokok Freud. Selama di Amerika Serikat bertahun-tahun Erikson mengajar di Universitas Harvard dan bayak menulis dengan gaya yang dapat dimengerti oleh orang awam di luar bidang psikoanalisis. Gagasan-gagasannya, terutama dinamika kehidupan masa remaja, telah tersebar luas lewat banyak buku, karangan dalam majalah-majalah, dan tafsiran-tafsiran atasnya. Konsep kunci Erikson dapat ditemukan dalam bukunya Childhood and Society, terbitan revisi tahun 1963; Insight and Responsibility, tahun 1964; Identity: Youth and The Life Cycle, tahun 1959; dan Youth: Change and Challenge, tahun 1963, suatu kumpulan karangannya yang diberi pengantar sendiri oleh Erikson.11 Dalam studi biografis, Young Man Luther, terbit tahun 1958, dan Gandhi’s Truth, tahun 1969, Erikson menerapkan teori kepribadiannya pada perkembangan dua tokoh keagamaan yang terkemuka itu.
11
Lihat Erikson, Youth: Change and Challenge, diterbitkan kembali tahun 1965, dengan judul The Challenge of Youth, Garden City NY: Doubleday, 1965
39
Dalam Tahap Kehidupan Manusia (The Eight Stages of Man). Sumbangan utama Erikson bagi kemajuan teori psikoanalisis adalah pemahamannya bahwa segala kehidupan itu dinamis. Dia menerima pandangan Freud bahwa masa kanak-kanak merupakan masa penting dalam perkembangan pribadi manusia. Namun Erikson juga melihat bahwa tahap-tahap perkembangan hidup manusia yang kemudian memang tergantung pada perkembangan masa kanak-kanak sebelumnya, tetapi mengandung lebih dari sekedar pengulangan kembali penyelesaian masalah dalam situasi Oedipus. Erikson mengajukan model perkembangan delapan tahap. Dalam model delapan tahap itulah, menurut Erikson, perkembangan kepribadian harus dimengerti. Model itu dibeberkan dalam bukunya Childhood and Society yang sudah direvisi dan diperluas. Uraian dalam buku itu memberi kerangka untuk pengembangan dan penjelasan selanjutnya.12
Setiap
tahap
memiliki
ketegangan
psikodinamis,
yang
pemecahannya melahirkan “keutamaan” nya sendiri, yaitu kekuatan watak. Pertumbuhan tahap-tahap itu dilukiskan oleh Erikson sebagai “diagram epigenetis” (epigenetic diagram).13
Tahap 1. Oral 2. Anal 3. Genital
Masalah Percaya x Tidak Percaya Otonomi x Malu dan Rasa Salah Insiatif x Rasa Salah
4. Laten
Usaha
x Rasa Rendah Diri
5. Remaja
Identitas x Kekacauan Peran
Keutamaan Harapan Kekuatan Kehendak Tujuan Kemampuan Kesetiaan
12
Lihat Erik H. Erikson, Childhood and Society, rev. Ed., New York: W.W. Norton, 1963, hlm 247-274. lihat juga Richard I. Evans, Dialogue with Erik Erikson, hal. 11-58. 13 Erik H. Erikson, Childhood and Society, rev. Ed., New York: W.W. Norton, 1963, hlm 247-274. lihat juga Richard I. Evans, Dialogue with Erik Erikson, hal. 11-58
40
6. Pemuda
Intimasi x Isolasi
Cinta
7. Dewasa
Generativitas x Stagnasi
Perhatian
8. Tua
Integritas Diri x Putus Asa
Kebijaksanaan
Keutamaan Epigenetis (Epigenetic Virtue). Dua model Erikson yang penting adalah konsep kembarnya epigenesis (epigenesis) dan keutamaan (virtue). Dengan istilah epigenesis Erikson memaksudkan munculnya tahap hidup yang satu dari tahap hidup yang lain. Delapan tahap itu berkembang berurutan. Penyelesaian secara psikologis atas masalah dalam satu tahap hidup berikutnya. Penyelesaian masalah pada tahap setiap tahap kehidupan itu melahirkan kekuatan dasar manusia, yaitu keutamaan. Istilah “keutamaan” itu tidak dihubunghubungkan dengan istilah yang sama yang berbau keagamaan, tetapi berkaitan dengan sikap psikologis, kekuatan watak yang merupakan hasil dari perjuangan khas dalam masing-masing tahap kehidupan itu. Keutamaan itu “termaktub dalam jadwal perkembangan kepribadian dan dalam struktur dasar setiap tertib sosial”.14 Dengan demikian pertumbuhan manusia dimengerti sebagai seri atau rentetan delapan tahap yang berhubungan, masing-masing tahap hidup muncul dari tahap hidup sebelumnya dan masing-masing hidup diwarnai dan memiliki warna sendiri. Lepas dari perjuangan masing-masing tahap hidup untuk mengatasi ketegangannya, muncul kekuatan khas dari watak atau keutamaan yang memungkinkan orang bergerak maju ke tahap hidup berikutnya. Untuk memberi gambaran tentang pola penafsiran Erikson, kita bicarakan tahap hidup pertama, tahap oral. Dalam tahun-tahun pertama hidupnya, bayi memang ada dalam keadaan siap untuk menerima ke dalam dirinya, dengan memasukkan makanan dan menerima kehangatan serta perhatian. Dalam hubungan dengan lingkungan itu, terutama dalam wujud ibu, ada ketegangan 14
Lihat Erik H. Erikson, Insight and Responsibility, New York: W.W. Norton, 1964, hal. 175.
41
awal antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan dengan lingkungan yang amat terbatas itu si bayi belajar bahwa unsur-unsur lingkungan dapat dipercaya - ibu menyusui, menggendong, dan menentramkan. Tetapi ketidakpercayaan juga penting dalam perkembangan psikososial. Si bayi juga harus belajar apa yang dalam lingkungan tidak dapat dipercaya. Hubungan realisitis apa adanya dengan dunia merupakan hasil “perjumpaan” seimbang dengan pengalaman yang berlawanan itu. Baik percaya maupun tidak percaya dalam dirinya sendiri dapat “baik” atau “buruk”. Menurut Erikson “perbandingan tertentu antara percaya dan tidak percaya merupakan faktor yang menentukan”. Dari pertentangan antara percaya dan tidak percaya, dimana keduanya saling mengimbangi,
muncullah keutamaan. Dalam tahap kehidupan pertama,
keutamaannya adalah harapan, suatu kepercayaan bahwa orang tahu apa yang dapat datang dari dunia sekitarnya. Harapan bagi Erikson tidaklah ditemukan oleh kaum agamawan untuk menyebut ketakutan, tetapi kepercayaan yang diperoleh bayi dari perjuangan seimbang antara percaya dan tidak percaya. Agama dapat mensucikan harapan dan membuat upacara untuk memberi wujud tampaknya, tetapi harapan itu lahir dan dikembangkan dalam hubungan orang tua dan anak. Harapan merupakan dasar atau basis bagi segala kekuatan. Sebegitu harapan itu muncul, jalan untuk tahap berikutnya (epigenesis) disiapkan dengan masalah dan kemungkinan khasnya sendiri. Karya Erikson berpusat pada pengembangan delapan tahap hidup manusia. Pemikiran tentang diagram epigenetik ini mendorong munculnya pembicaraan yang hangat, baik secara ilmiah maupun populer tentang identitas dan krisis identitas. Erikson mengerti perjuangan pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan kebingungan peran. Pada masa remaja, seseorang menghadapi masalah dalam menemukan siapa dirinya yang sebenarnya atau identitas diri, tumbuhlah kemampuan untuk mengikat kesetiaan pada suatu pandangan, ideologi.
42
Sumbangan Psikoanalisis untuk Psikologi Agama Sebagai perintis batas yang kabur antara ilmu dan agama, psikoanalisis jelas sudah menyumbang pemikiran bagi psikologi agama. Psikoanalisis telah membangkitkan cara baru dalam melihat dan membahas gejala lama, yaitu hubungan psikologi dan agama dan memperluas dasar untuk memahami pengalaman keagamaan. Sumbangan penting psikoanalisis bagi psikologi agama adalah bahwa faktor-faktor yang ada di luar bidang kesadaran mempengaruhi pembentukan dan kelanjutan hidup keagamaan. Psikoanalisis menanyakan bagaimana dan sejauh mana perilaku harus dipahami melebihi artinya yang biasa dan jelas. Pada umumnya teori psikoanalisis skeptis bahwa agama merupakan sesuatu yang lebih sekedar cara yang diterima bersama untuk mengatasi ketegangan, kecemasan dan penderitaan. Agama tertentu jelas sesuai dengan gambaran agama sebagaimana digambarkan oleh psikoanalisis itu. Tetapi jelas pula merupakan kesalahan besar bila mengingkari bahwa agama itu baik menekan maupun menghibur. Kebanyakan agama menuntut pengorbanan atas naluri dan meringankan pengorbanan itu dengan menjanjikan kompensasi atau hadiah yang memberi imbangan atas derita yang diakibatkan oleh pengorbanan itu.15 Psikoanalisis jelas memiliki keterbatasan. Karena bermaksud membangun “jalan emas menuju ketidaksadaran” dimensi agama, beberapa catatan harus dikemukakan.16 Pertama, psikoanalisis telah terlalu menekankan arti terdalam/batiniyah perilaku manusia dengan kecenderungan mengesampingkan arti lahiriahnya yang tampak. Apakah arti perilaku manusia tidak dapat dibahas tanpa mencari-cari arti terdalamnya? Apakah salah satu ucap harus dan selalu mengisyaratkan arti 15
Lihat Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986), bab 1 dan 2 16 Lihat Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986), bab 3 dan 4
43
terdalamnya? Kita harus menjaga kepekaan terhadap arti terdalam yang mungkin terkandung dalam perilaku. Tetapi kepekaan itu tak perlu membuat kita tidak menghargai, lalu tidak memperhitungkan arti lahiriah yang segera tampak yang ada pada perilaku. Bukanlah lebih tepat menemukan arti lahiriah dari perilaku yang kita lihat terjadi, sebelum terlalu cepat mencari arti terdalamnya? Kedua, psikoanalisis amat berguna untuk menjelaskan agama “alamiah” yang tumbuh dan berkembang berpangkal dari pengalaman hidup manusia, tetapi tidak mampu menanggapi agama yang “diwahyukan”. Secara tak terucap psikoanalisis mempunyai pengandaian bahwa iman atau agama menjadi milik manusia berpangkal pada kodratnya, dan bahwa agama lahir dalam situasi awal dalam kaitan dengan masa kanak-kanak. Dengan cara itu agama dipersempit menjadi sebatas fungsinya saja. Tesis semacam itu menjelaskan salah satu dimensi agama, dimana para penganutnya berhenti, tidak ada peningkatan dan cukup puas dengan kodratnya. Tetapi ada penganut agama yang bertumbuh lebih jauh dari kepercayaan dan praktik agama alamiah itu. Penganut agama itu tidak hanya terdorong secara alamiah untuk sampai pada rasa dan kekuatan hidup yang tak terpahami, tetapi juga merasa dirinya ditangkap dan dipegang oleh pewahyuan dan perjumpaan. Agama yang diwahyukan kerap terurai dalam gambaran-gambaran dan pelukisan-pelukisan yang isinya adalah kenyataan literalisme. Ketiga, dengan menekankan masa silam sebagai penyebab dan pendorong perilaku manusia, psikoanalisis ada bahaya membuat orang melepaskan tanggung jawabnya. Freud dan para penerusnya sebenarnya memperluas tangung jawab manusia. Meskipun demikian psikoanalisis memberi peluang kepada orang yang tidak bertanggung jawab untuk tidak bertanggung jawab. Bagaimana orang dituntut bertanggung jawab untuk perilaku mereka bila kekuatan hebat di luar penguasaan
pengendalian
mereka
bergerak
melawan
mereka?
Dengan
menekankan masa lampau yang dinamis, psikoanalisis dapat membuat orang sulit menerima tanggung jawab pada saat sekarang ini. Kesalahan dalam perilaku
44
terlalu mudah lalu dicari kambing hitam pada orang tua dan masyarakat. Atau dalam bahasa agama, orang salah karena “ulah setan” lalu mengapa harus bertanggung jawab? Keterbatasan-keterbatasan psikoanalisis itu tentu saja tidak perlu meniadakan peran pentingnya dalam menjelaskan iman dan gagasan keagamaan, dan kaum agamawan perlu memanfaatkannya. Adapun hasil-hasil usaha psikoanalisis yang dapat dimanfaatkan adalah konsep-konsepnya, sebagai berikut:17 (a) manusia memiliki dorongan dan kekuatan yang mendesak mereka untuk mendapatkan rasa aman dan rasa terpenuhi di bidang keagamaan, dan dalam arti itu manusia adalah bersifat religius dan tampil sebagai homo religius; (b) Perilaku keagamaan ada kesamaan dengan perilaku-perilaku manusia yang lain, mengandung arti yang lebih mendalam. Maka hanya secara terpotongpotong, parsial, bila diartikan secara fungsional; (c) Hubungan dengan orang tua ikut memberi bentuk dan emosi dalam pemahaman awal anak tentang Tuhan; (d) Tanggapan atau reaksi negatif, terutama seks, agresi dan ketakutan, yang ditekan merupakan gejala yang tidak sehat pada (penghayatan) agama; (e) Tuhan dan agama dapat menjadi khayalan dalam arti lahir karena tuntutan kebutuhan psikologis semata; (f) Agama autoritarian dapat menghambat perkembangan penuh kemampuan manusia dan memperkecil kemampuan manusia untuk berpikir dan berbagi rasa.
17
Lihat Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986), bab 3 dan 4
45
C. Behaviorisme dan Agama Aliran yang paling keras menantang pendekatan psikoanalisis atas perilaku manusia dan menekankan pada metodologi yang lebih objektif adalah behaviorisme. Sejak diperkenalkan Watson, behaviorisme telah dikenal dengan analisis perilakunya dengan mengembangkan teknik-teknik guna mengamati perilaku dalam lingkungan yang dikendalikan untuk mengukur tanggapan dan untuk meramalkan pola perilaku selanjutnya. Prosedur seperti percobaan atau eksperimen yang dikendalikan, analisis faktor, studi korelasi, analisis isi, dan pengukuran tepat mengenai tanggapan neurologis dengan satu atau lain cara merupakan produk mazhab itu. Behaviorisme amat mendalam berakar dalam psikologi Amerika, dan barangkali yang paling berpengaruh luas. Tidak mengherankan bahwa Behaviorisme tidak memberi perhatian banyak kepada agama. Penganut behaviorisme yang ketat, juga bila mereka bersimpati dengan agama, cenderung mengesampingkan atau mengabaikan agama dalam karya mereka. Pengandaian mereka adalah bahwa perilaku keagamaan, sebagaimana semua perilaku lain, merupakan akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia. Dengan demikian tak menyediakan cukup kemungkinan untuk menggali agama dari segi metafisisnya. Maka dari psikologi ilmiah yang didominasi oleh mazhab behavioristis jarang menyinggung secara serius topik agama. Buku-buku pokok yang ditulis kaum behavioris menyentuh agama secara sambil lalu saja. Meskipun demikan, mazhab itu penting bagi pengembangan psikologi agama yang komprehensif, pertama, karena perilaku keagamaan kadang-kadang ditafsirkan dari sudut pandangannya; kedua, barangkali lebih penting, karena behaviorisme memiliki pengandaian tentang manusia yang sarat bernada teologis.1 Pertama, teori Pengkondisian (conditioning theory) merupakan kunci dalam psikologi behavioristis, dan William Sargant dan B. F Skinner boleh disebut 1
B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knopt, 1974), hal. 150-158
46
sebagai wakil ahli psikologi mazhab behaviorisme yang menafsirkan gejala agama sebagai perilaku yang dikondisikan (conditioned behavior), Kedua, Edwin B, Starbuck dan dua peneliti California, Charles Y. Glock dan Rodney Stark mewakili para ahli psikologi behavioristis yang berusaha memahami perilaku agama dengan menerapkan metode statistik dalam studi agama. Ketiga, studi empiris tentang agama baik melalui penelitian laboratorium maupun studi lapangan. Akhirnya, keempat studi agama yang menerapkan metode empiris itu dalam psikobiologi. Dari segala rumusan psikologi yang dibuat oleh para ahli psikologi, teori pengkondisian terkenal dengan sebutan, operan (operant) merupakan teori yang diterima dan populer. Sebagai teori dianggap menerangkan dan membawa pengaruh besar dalam pemikiran dan praktik hidup manusia dewasa ini. Pengkondisian klasik (classical conditioning) ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang ahli psikologi Rusia, setelah mengadakan percobaan atau eksperimen selama 25 tahun. Pavlov sudah menjadi terkenal karena karyanya di bidang pencernaan dan peredaran darah. Tetapi menjadi lebih termasyhur karena gagasannya tentang pengkondisian (conditioning). Anjing Pavlov yang mulutnya berair liur tersohor, juga di luar lingkungan ilmiah. 2 Pengkondisian
Operan
(Operant
Conditioning).
Skinner
membuat
perubahan besar atas teori Pavlov klasik tentang pengkondisian. Dia lebih suka berbicara tentang pengkondisian operan (Operant Conditioning). Konsep itu merupakan kunci untuk mengerti pemikiran Skinner dan telah membuatnya menjadi tersohor. Pengkondisian operan, seperti pengkondisian klasik yang mendahuluinya, dibangun atas pendapat bahwa ganjaran (reward) menjadi penyebab agar perbuatan diulang atau diperkuat. Perbedaan antara kedua pengkondisian itu terletak pada hubungannya dengan lingkungan.3 Dalam pengkondisian klasik, lingkungan dikendalikan sedemikian rupa sehingga 2 3
B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knopt, 1974), hal. 158. B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knopt, 1974), hal. 158-159
47
rangsangan dapat dikenakan pada makhluk yang dijadikan percobaan sesuai dengan keinginan orang yang membuat eksperimen. Perbuatan yang dipilih oleh makhluk yang mengalami percobaan yang diperteguh oleh ganjaran, misalnya makanan. Dalam pengkondisian operan, sebagaimana dilihat Skinner, makhluk yang dijadikan percobaan menanggapi lingkungan dan mengambil perilaku yang paling
mungkin
mendorong perbuatan diulang
atau diperkuat. Dalam
pengkondisian klasik lingkungan menanggapi makhluk. Dalam pengkondisian operan makhluk menanggapi lingkungan. Tanggapan itu merupakan cara untuk mengubah lingkungan, guna mendapatkan kepuasan. Skinner berpendapat bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan itu. Manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau untuk menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Orang lapar berusaha mendapatkan makanan. Orang
yang
terganggu
butir-butir
pasir
dalam
sepatunya,
berusaha
melepaskannya untuk mengeluarkan butir pasir yang ada di dalamnya. Mutu pemuas tindakan untuk memenuhi kebutuhan menambah kemungkinan bahwa pada kesempatan lain tindakan yang sama diulang. Dan sebaliknya perbuatan yang mendatangkan akibat yang tidak enak, pada kesempatan lain cenderung dihindari. Segala perbuatan dan tindakan manusia dapat dimengerti dalam kerangka pemikiran itu. Karya Skinner sebagian besar merupakan perluasan, perkembangan dan penerapan konsep itu. Maka masalah pokok adalah bagaimana mengendalikan dan memainkan keadaan atau kondisi sehingga tanggapan orang terhadapnya dapat diubah. Lembaga-lembaga sosial, termasuk lembaga-lembaga keagamaan, merupakan wahana bagi manusia untuk mengatur perilakunya.4
4
B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knopt, 1974), hal. 158-160.
48
Agama sebagai Faktor Penguat (Religion as Reinforcer). Pendirian Skinner yang behavioristis itu merupakan kerangka dari berbagai pendapat yang tidak dikembangkan, tetapi jelas berkaitan dengan hakikat perilaku keagamaan. Hal yang menonjol adalah pengamatannya tentang pemikiran, pengetahuan dan pembicaraan
keagamaan
yang
dia
sempitkan
ke
dalam
istilah-istilah
behavioristis. Semua itu, seperti perbuatan-perbuatan lain, merupakan cara bagaimana manusia seperti makhluk-makhluk lain, dengan pengkondisian operan belajar hidup di dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran dan hukuman. “Perasaan” dan “keadaan jiwa” tidak lain dan tak bukan hanyalah cara yang dianggap sesuai untuk mengatakan perilaku yang diakibatkan oleh hukum pengkondisian operan..5 Dengan demikian Skinner menolak mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan pengalaman keagamaan. Ucapan seperti “saya merasa suka pergi ke tempat ibadat” dipandang dari sudut pengertian behavioristis tidak berbicara apa-apa. Apakah perasaan menjadi penyebab orang pergi ke rumah ibadat atau Tuhan yang membangkitkan perasaan untuk pergi ke tempat ibadat itu? Masalah pokoknya adalah mengetahui apa yang terjadi dengan orang yang merasa suka pergi ke tempat ibadah itu, pada waktu dia pergi ke tempat ibadat di masa lampau, pengalaman yang memuaskan mana yang dia berusaha untuk mengulangi, dan apa faktor dari masa lampau atau sekarang yang ada dalam lingkungannya yang mendorongnya pergi ke tempat ibadat dan tidak pergi ke tempat lain. Dalam pandangan Skinner kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.6 Skinner juga berbicara tentang kelembagaan agama. Kelembagaan agama itu merupakan salah satu “isme” sosial yang lahir dari faktor penguat.7 Satu masa hidup terlalu pendek bagi manusia untuk mendapatkan pengalaman 5
B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knopt, 1974), hal. 158-160. Benjamin M Braginsky dan Dorothea D Braginsky, Mainstream Psychology: a Critique (New York, Holt, Rinehart and Winston, 1974), hal 45 7 B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knopt, 1974), hal. 148-149 6
49
langsung tentang segala faktor penguat yang ada. Lembaga sosial atau kemasyarakatan menjaga dan
mempertahankan perilaku dan kebiasaan
masyarakat. Anak dilahirkan ke dalam masyarakat itu seperti dia dilahirkan ke dalam lingkungan fisiknya. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga-lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara yang dipergunakan untuk menanggapi lembaga-lembaga itu. Faktor penguat yang kelihatan dalam suatu kebudayaan merupakan nilainya. Apa yang ditemukan kelompok sebagai faktor penguat merupakan hasil dari bakat keturunan dan tuntutan alamiah serta masyarakat yang ada di sekitarnya disebut harta rohani, nilai spiritual.8 Lembaga keagamaan merupakan bentuk khusus dari tatanan sosial dimana “baik”dan “buruk” menjadi “suci” dan “berdosa”.9 Kebutuhan akan faktor penguat itu dijadikan hukum yang dikuasai oleh para ahlinya dan diperkuat lewat upacara keagamaan beserta kisah suci dan ajarannya. Tatanan sosial seperti itu didukung, bukan karena keterlibatan dan kesetiaan kepada nilai yang dikandungya tetapi karena lembaga telah mengatur mekanisme faktor penguat. Skinner berpendapat bahwa orang mendukung agama tidak dikarenakan dia itu saleh, dia mendukungnya karena tuntutan yang diatur oleh petugas keagamaan. Kita menyebutnya saleh dan mengajarinya agar menyebut diri saleh dan melaporkan apa yang dirasakan sebagai “Kesalehan”.10 Jadi lembaga keagamaan bertahan hidup karena fungsinya sebagai pelaku faktor penguat. Lembaga keagamaan memiliki daya kuat terutama karena sanksi-sanksi kudusnya. Dalam bukunya yang kontroversial Beyond Freedom and Dignity, Skinner mendekati kebebasan dan martabat dengan cara yang sama. Kebebasan tidak muncul dari kehendak untuk bebas, dan martabat tidak dikenal sebagai nilai atau harga manusia lain. Kedua-duanya merupakan hasil proses behavioristis khas manusia. Kebebasan merupakan usaha untuk membebaskan diri dan menghindari 8
B. F Skinner, Beyond Freedom and Dignity, (New York: Bantam Books, 1971), hal. 122 B. F Skinner, Beyond Freedom and Dignity, (New York: Bantam Books, 1971), hal. 110. 10 B. F Skinner, Beyond Freedom and Dignity, (New York, Bantam Books), 1971, hlm. 111 9
50
pengalaman yang tidak memberi faktor penguat positif. Martabat merupakan pujian dan penghargaan terhadap mereka yang telah memberi faktor penguat.11 Bagi Skinner perilaku keagamaan cukup dapat diterangkan dengan bersandar pada perilaku yang mengkondisikan dan dikondisikan. Dia tidak memberi ruang bagi “keyakinan yang didapat secara bebas” dan tidak menerima motivasi tanpa pamrih pribadi.18 Dia tidak percaya akan kebebasan dan martabat selain dalam istilah pengkondisian operan. Dengan teguh dia percaya pada behaviorisme baik sebagai teori maupun sebagai metode. Skinner mempunyai pengandaian bahwa perilaku manusia itu sejalan dengan perilaku merpati dan tikus; bahwa manusia adalah korban kekuatan-kekuatan yang ada di sektarnya; bahwa manusia berperilaku secara pasti untuk menghindari atau mengurangi ketegangan; bahwa permasalahan penting manusia adalah efisiensi dalam pengondisian; dan rekayasa perilaku merupakan jalan menuju ke masyarakat yang baik. Dalam tahun 1978 Skinner menerbitkan buku Walden Two. Buku itu merupakan karya fiksinya yang memikat dimana digambarkan masyarakat yang dicita-citakan yang dihasilkan lewat pengelolaan perilaku secara serius dan ilmiah. Dalam “Kata Pengantar” bukunya About Behaviorism, Skinner menyatakan bahwa “masalah besar yang dihadapi dunia dewasa ini dapat dipecahkan hanya jika kita meningkatkan pengertian kita tentang perilaku manusia.19 Dia membuat kesimpulan dalam buku yang sama dengan nada penuh harapan:
“Dalam
pandangan
behavioristis
manusia
sekarang
dapat
mengendalikan nasibnya sendiri karena dia tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.20
11
Lihat B. F Skinner pada Beyond Freedom and Dignity di bab 3 dan 4. Lihat Benhard Haring, Ethics of Manipulation: Issues in Medicine, Behavior Control and Genetics, (New York: Seabury, 1975), hal. 115 19 Lihat B.F. Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knpot, 1974), hal. 158 20 Lihat B.F. Skinner, About Behaviorism, (New York: Alfred A. Knpot, 1974), hal. 6 18
51
D. Psikologi Humanistik dan Agama Abraham H. Maslow Ada dua istilah yang seringkali dihubungkan dengan nama Abraham Maslow yakni aktualisasi diri (self-actualization) dan pengalaman puncak (peak-experience). Maslow mengembangkan teori tentang motivasi manusia yang dikaitakan dengan aktualisai diri dan pengalaman puncak. Ia mengakui bahwa konsep-konsepnya tumbuh dan berkembang dari usaha-usahanya untuk menjabarkankan kecendekiaan dua orang gurunya Ruth Benedict (antropolog) dan Max Wertheimer (psikolog) dan bukan dari penelitian yang dilakukannya sendiri. Tetapi Maslow berpendapat bahwa teorinya dapat digeneralisasi dan dipergunakan sebagai dasar teori kepribadian yang umum. Dengan demikian Maslow tidak menyibukkan diri dengan penelitian yang komprehensif tetapi dengan pengamatan dan penguraian yang teliti tentang pemikiran para ahli yang kenyataannya sudah jelas berkembang dan dipublikasikan.21 Hirarki Kebutuhan dan Metamotivasi (Hierarchy of Needs and Metamotivations). Menurut Maslow, orang yang dewasa dan masak secara penuh adalah orang yang telah mencapai aktualisasi diri, yaitu yang “mengalami secara penuh, gairah, tanpa pamrih, dengan konsentrasi penuh dan terserap secara total” dalam arti menjadi “manusia utuh dan penuh.”.22 Bagaimana tujuan ideal itu dapat dicapai? Apa yang harus terjadi pada orang agar dirinya teraktualisasikan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu ada dalam pemahaman bahwa manusia memiliki hirarki kebutuhan yang dapat diurutkan tingkatnya dari kebutuhan yang paling bawah ke kebutuhan yang paling tinggi. Aktualisasi diri menuntut bahwa orang menaiki jenjang tingkat-tingkat kebutuhan dengan dimotivasi oleh pencarian pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. 21
Lihat Abraham H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, (New York:Viking, 1971) hal.. 98. 22 Lihat Abraham H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, (New York:Viking, 1971) hal. 45.
52
Pertama, manusia harus mencapai sampai tingkat tertentu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah yang sifatnya naluriah, yaitu kebutuhankebutuhan yang berkaitan dengan keamanan dan kehidupan organisme atau fisik. Kebutuhan itu tidak hanya kebutuhan biologis seperti makanan-minuman, tetapi juga kebutuhan menjadi bagian/diterima, afeksi/kasih sayang, rasa hormat dan rasa harga diri. Mereka yang dapat mencapai pemenuhan kebutuhan pada tingkat itu tidak berarti sudah meraih aktualisasi diri, tetapi pemenuhan yang cukup atas kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah itu memberi kemungkinan atau kecenderungan lebih besar munculnya kebutuhan-kebutuhan dari tingkat hidup yang lebih tinggi. Orang yang tidak merasa tertekan oleh rasa cemas atau risau, tidak aman, tidak terlindungi, sendirian, tidak dicintai, atau tercabut dari akarnya, adalah orang yang sudah dibebaskan demi memotivasi (metamotivation) yaitu, mereka dapat terdorong untuk meraih nilai yang lebih tinggi dan bernilai pada dirinya (intrinsic) yang tidak dapat dimerosotkan menjadi nilai yang sekedar bersifat alat (instrumental). Nilai itu adalah kebenaran, keindahan, kesempurnaan, dan keadilan.24 Nilai keberadaan berperilaku seperti kebutuhan. Bila tak terpenuhi melahirkan penyakit, patologi, dan pemenuhannya membawa kesehatan. Pilihan (choice). Aktualisasi diri terjadi pada waktu manusia bergerak naik pada hierarki kebutuhan kearah nilai keberadaan. Perpindahan dimana arah itu ditentukan adalah saat untuk membuat pilihan Pada suatu saat dalam tahap hidupnya, orang dihadapkan pada pilihan sebagai keharusan, mau tak mau harus membuat pilihan: menipu atau harus jujur, mencuri atau tidak mencuri, memperhatikan atau bersikap acuh tak acuh. Pada tahap-tahap kehidupan seperti itu, dapat terjadi pilihan berkembang/maju (progression choice) atau pilihan mundur
(regression
choice).
Pola
kebiasaan
dalam
membuat
pilihan
mempengaruhi gerak menuju/mendekat atau menjauh dari metamotivasi dan oleh 24
Lihat Abraham H. Maslow, Religions, Values and Peak-Experiences, (New York: Viking Press, 1964), hal. 91-94
53
karenanya menuju atau menjauh dari aktualisasi diri. Membuat dua belas pilihan maju dalam satu hari adalah bergerak dua belas langkah menuju ke aktualisasi diri. Aktualisasi diri bukanlah masalah satu saat penting, tetapi merupakan proses, perkara tingkat-tingkat kehidupan, pergantian kecil dari satu bagian tingkat ke bagian tingkat yang lain. Orang yang teraktualisasi dirinya maka kehidupannya akan diisi oleh pertumbuhan motivasi yang mewujudkan eksistensi dengan membuat pilihan maju, yang mengungkapkan kekuatan-kekuatan batin, memberi keleluasaan untuk pemenuhan diri yang spontan, percaya kepada kemampuan dan pemahaman pribadi. Aktualisasi diri terhambat oleh kekurangan, pilihan mundur, yaitu pilihan-pilihan yang bertujuan untuk menangani masalah, mempersiapkan diri ke masa depan, atau bertahan melawan ketakutan dan kecemasan.25 Desakralisasi, Resakralisasi (Desacralization, Resacralization). Menurut Maslow proses aktualisasi diri terus menerus terancam oleh mekanisme mempertahankan
(defense
mechanisme),
desakralisasi
(Desacralization),
pemerosotan (reduction) manusia menjadi objek konkrit, dan penolakan (refusal) melihat pada manusia nilai simbolis dan internal. Maslow berpikiran bahwa mekanisme mempertahankan merupakan ungkapan ketidakpercayaan pada nilai dan keutamaan yang terkandung dalam pribadi manusia. Ini mirip-mirip gaya orang muda yang menolak kewibawaan. Agar dapat mencapai aktualisasi diri orang harus bersedia melepaskan mekanisme mempertahankan itu demi resakralisasi (resacralization). Artinya orang perlu memiliki kemauan dan kemampuan untuk menemukan kembali rasa kagum, takjub, dalam berhadapan dengan manusia sebagai sesama. Jadi Maslow mengemukakan usulan untuk menyatukan “fakta” dan “nilai” dalam pemahaman tentang manusia. Saat-saat
25
Lihat Abraham H. Maslow, Religions, Values and Peak-Experiences, (New York: Viking Press, 1964), hal. 94-96
54
dimana penyatuan itu terjadi merupakan pengalaman puncak, dimana aktualisasi diri mencuat dengan cepat. Dari
penelitian-penelitian
yang
dilakukannya
sendiri,
Maslow
menyimpulkan bahwa orang-orang besar dalam sejarah umat manusia memiliki pengalaman puncak (peak-experience) yaitu saat ekstasi dimana orang itu merasa bersatu dengan alam raya – saat-saat di mana keterbukaan, kreativitas dan spontanitas meningkat dan seluruh dirinya seperti menyatu dengan alam.26 Pengalaman seperti itu mempunyai nilai intrinsiknya sendiri sedemikian sampai usaha untuk membenarkan atau menguraikannya terasa tak sesuai dengan martabat dan nilainya. Orang dalam pengalaman puncak itu menjadi lebih dari diri sendiri, lebih mewujudkan kemampuannya dengan sempurna, lebih dekat dengan inti keberadaannya, dan lebih utuh sebagai manusia.27 Dalam pengalaman puncak itu tidak hanya dunia tampak menjadi lebih indah dan hidup menjadi lebih diinginkan secara faktual, tetapi juga kejahatan yang ada pada dirinya sendiri diterima, dipahami dan dilihat pada tempatnya sendiri dalam keseluruhan, sebagai bagian dirinya, tidak bisa dielakkan, perlu, dan, oleh karena itu dipandang wajar”.28 Pengalaman puncak tidak selalu terjadi hanya dalam konteks keagamaan; pada kenyataannya banyak yang bukan bersifat keagamaan. Tetapi pengalaman puncak itu ada pada inti agama. Maslow yakin bahwa pada dasarnya sistem keagamaan adalah sama. Keanekaragaman dari satu agama ke agama yang lain dapat dijelaskan berdasarkan tempat, bahasa, atau faktor etnis kesukuan. Bila unsur-unsur yang tidak dimiliki bersama itu dilepas, agama-agama pada prinsipnya sepakat dalam hal meningkatkan pengalaman puncak sebagai wahana untuk mencapai pemenuhan diri. Satu hal yang menjadi keprihatinan Maslow, dalam sejarah 26
Lihat Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2d ed., (New York: Van Nostrand Reinhold, 1968), hal. 74-98. 27 Lihat Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2d ed., (New York: Van Nostrand Reinhold, 1968), hal. 98. 28 Lihat Abraham H. Maslow, Religions, Values and Peak-experiences, (New York: Viking Press, 1964), hal.63.
55
tercatat bahwa tidak ada penghargaan bagi para pemimpin agama yang memajukan lembaga keagamaan mereka dengan mengorbankan pengalaman puncak. Kepemimpinan lembaga keagamaan seringkali jatuh ke tangan”orangorang organisasi” yang lebih mementingkan lembaga daripada lembaga keagamaan yang orisinal. Mereka, orang-orang organisasi tersebut, menanjak karir mereka karena, sebagaimana dalam birokrasi biasa, telah berjasa dalam mendukung dan mengembangkan lembaga. Kepribadian orang-orang itu adalah rasionalitas, materialistis, dan mekanistis. Biasanya mereka menentukan atau mengingkari pengalaman puncak mereka sendiri, dan kemungkinan mendapatkan pengalaman semacam itu mengancam tata tertib dan kontrol lembaga yang menghidupi mereka. Jadi situasi suram tanpa harapan di mana manusia yang tak berpengalaman puncak, diserahi tugas mengurus lembaga keagamaan. Dalam arti itu, agama yang diorganisasikan dan dilembagakan menjadi musuh besar pengalaman keagamaan.30 Maslow menambahkan bahwa dia tetap yakin bahwa manusia hanya dapat mencapai pemenuhan kebutuhan dasarnya lewat kelompok sosial. Namun dia tetap berpendirian bahwa lembaga keagamaan dan pemimpin keagamaan, yang berorientasi pada organisasi atau lembaga, tidak mendorong munculnya saat-saat puncak kegembiraan keagamaan dan ekstasi. Selain itu, ia mengajukan konsep Pengalaman–Platonis (Plateau-Experience), suatu gagasan yang mengatakan bahwa kebahagiaan keagamaan/spiritual ditandai oleh ketenangan, kedamaian, keceriaan, dan kegembiraan
yang
berlangsung terus-menerus. Menurut
pandangannya, pengalaman Platonis berbeda dari pengalaman puncak yang datang tiba-tiba, mengejutkan, musiman, dan menakjubkanb. Pengalaman Platonis selalu memiliki unsur kognitif sedangkan pengalaman puncak biasanya lebih bersifat emosional serta pencapaian pengalaman platonis itu makan
30
Lihat Abraham H, Maslow, Religions, Values, and Peak Experience, (New York: Viking Press, 1964), hal.viii.
56
waktu.31 Hidup pada tingkat plato, memiliki kesadaran yang menyatu dengan nilai, yang dicapai dalam proses disiplin spiritual dan pengambilan keputusan yang
berlangsung
dalam
pengalaman
hidup.
Tidak
ada
jalan
pintas
untuk”mendewasakan”, mengalami hidup dan belajar yanng harus dilakukan.”32 Ringkasnya, Maslow memiliki kepercayaan besar adanya kodrat yang lebih luhur di dalam diri manusia. Kodrat itu dapat mengatasi keadaan dan sifat biologisnya. Agama terletak pada kemampuan manusia untuk menyerap kekuatan-kekuatan batin dan mengatasi kebutuhan yang lebih rendah. Meskipun nilai yang pada manusia itu bukan hanya milik agama yang diorganisasikan atau dilembagakan secara eksklusif atau membutuhkan konsep-konsep super natural untuk mendukungnya, nilai-nilai itu sama dengan nilai rohani.33 Kodrat alamiah manusia mencakup kemampuan spiritual dan kemampuan itu dapat diwujudkan pada orang mau menggali keluar dirinya yang lebih dalam, yaitu dengan mencapai aktualisasi diri lewat keputusan-keputusan yang makin meningkat mutu dan isinya. Tetapi pada saat-saat ekstasi dan pemahaman mendalam, orang dapat dicurahi dengan kesadaran mendalam dan mendapatkan pengertian istimewa atas kemampuan mereka sebagai manusia. Diharapkan bahwa kesadaran dan pengertian mendalam itu mendorong orang menuju ke Plato, dataran tinggi kehidupan yang dikuasai oleh nilai manusiawi yang paling tinggi. Pengalaman puncak merupakan inti agama pribadi, dalam arti pentingnya pengalaman pribadi, dan meningkatkan proses itu merupakan urusan agama yang diorganisasikan dan dilembagakan. Maslow tegas-tegas menolak segala jenis kepercayaan atas kodrati, supernatural, meskipun dia memiliki bandingannya dalam istilah “Yang Lebih”. 31
Lihat Abraham, H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, (New York:Viking: 1971), hal.. 348-349 32 Lihat Abraham, H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, (New York:Viking: 1971), hal.. 349 33 Abraham H, Maslow, Religions, Values, and Peak Experience, (New York: Viking Press, 1964), hal.viii.
57
Pengalaman puncak merupakan sesuatu dari “kodrat yang lebih tinggi” dan datang dengan kejutan dan pewahyuan. Tetapi dia mengambil sikap untuk mempertanggungjawabkan
saat-saat
istimewa
itu
atas
dasar
pendirian
humanistisnya. Penjelasan humanistis Maslow perlu diberi dua catatan. Pertama, orang yang memiliki pengalaman puncak, terutama mereka yang tidak sejalan dengan kemapaman dan agama yang ada, yang rupanya dikagumi Maslow, menjelaskan pengalaman mereka yang paling lazim dengan istilah ditangkap oleh kekuatan dari luar. Jadi untuk menjelaskan pengalaman mereka atas kodrat atau humanistis melampaui keyakinan mereka, baik selama maupun sesudah pengalaman, bahwa peristiwa itu berkaitan dengan Yang Ada Yang Terakhir (Ultimate Being) atau Tuhan. Menegaskan kembali pemikiran James, yang menekankan pentingnya membiarkan dokumen pribadi berbicara sendiri, mungkin merupakan koreksi atau pembetulan pemikiran Maslow dalam hal itu. Kedua, perlu diketahui bahwa pendekatan Maslow yang naturalistis dan humanistis, sebagaimana semua pendapat yang berlawanan dengan penjelasan supernatural, juga merupakan penafsiran arti yang masih terbuka untuk pengkajian filosofis atau teologis. Pendekatan Maslow mendorong untuk studi tentang orang-orang yang sehat sebagai cara untuk mengerti agama. Tetapi apakah konsepnya tentang kedewasaan tidak menyingkirkan orang-orang biasa?
Apakah definisinya
tentang manusia yang teraktualisasi diri membuang kebanyakan orang keluar dari jangkauannya ? Bagaimana tentang orang yang tak mengalami pengalaman puncak? Apakah tidak ada “obat” bagi orang-orang yang tidak mencapai saat-saat ekstasi pada waktu kita berpikir tentang kemampuan penuh manusia? Maslow tidak mengolah masalah-masalah itu dengan baik kecuali dengan menyampaikan gagasan idealis bahwa sesudah mengamati kehidupan manusia, dia lebih optimis
58
bahwa semua orang pada dasarnya dapat menjadi peaker, yang mampu mengalami pengalaman puncak.34
34
Abraham H, Maslow, Religions, Values, and Peak Experience, (New York: Viking Press, 1964), hal.4
59
BAB III
TINJAUAN UMUM JIWA, AKHLAK DAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU AGAMA ISLAM A. Jiwa/Nafs dan Akhlak Al-Razi Berkaitan dengan akhlak, Al-Razi memandang bahwa tingkah laku harus berdasarkan petunjuk rasio/nalar. Hawa nafsu harus dapat dikendalikan oleh akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya yang didatangkan minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya menghancurkan manusia. Mengetahui kekurangan atau kesalahan yang ada pada diri merupakan hal yang perlu dilakukan, sehingga seseorang dapat meminta orang lain (teman atau guru) yang berkemampuan menalar untuk mengatakan kepadanya tentang kekurangan atau kesalahan dimaksud. Sebaliknya, seseorang harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, dan teman yang berpikir tentang dirinya.1 Terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi, kecuali dengan melalui persepsi inderawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul perasaan ragu dan melankolis. Begitu pula dengan sifat hasut atau dengki, akan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia secara psikis dan fisis; kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya halusinasi dan melankolis. Kaitannya dengan jiwa, ia memandang seorang dokter perlu mengetahui kedokteran jiwa (al-Thibb al-Ruhâni) dan kedokteran tubuh (al-Thibb alJasmâni) secara terpadu, karena manusia memerlukan kedua hal itu secara 1
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama:1998), hal. 29-30
60
terpadu pula. Kebutuhan kepada kedokteran tubuh adalah hal yang lazim, sedangkan
kebutuhan
kepada
kedokteran
jiwa
adalah
untuk
menjaga
keseimbangan jiwa dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak berkekurangan ataupun berkelebihan. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Al-Razi..2 Pengertian kebahagiaan adalah kembalinya apa yang telah tersingkir karena sesuatu yang berbahaya. Sebagai ilustrasi, orang yang meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat yang disinari panas matahari, akan senang ketika kembali ke tempat yang teduh tadi. Para filsuf alam mendefinisikan kebahagiaan sebagai kembali kepada alam. Al-Razi memandang cinta sebagai suatu hal keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu. Ia juga berpendapat bahwa keangkuhan dan kelengahan merugikan manusia, karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan dari kekikiran dan ketamakan. Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan meskipun ia sendiri tidak mengalami keburukan. Di samping itu, bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul tidak hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Dusta adalah sutau kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang sifatnya terpuji, dan untuk kejahatan yang sifatnya tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian
pula
tentang
kekikiran,
nilainya
terletak
pada
alasan
melakukannya. Bila kekikiran tersebut dikarenakan oleh rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka hal ini dipandang baik. Tetapi bila hal itu dilakukan karena ingin memperoleh kesenangan, maka yang demikian adalah buruk. Ini berarti adanya kemungkinan pembenaran terhadap kekikiran seseorang, bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, dan kekikiran dimaksud bukanlah suatu hal yang buruk. Adapun bila sebaliknya, maka hal ini harus diperangi. Kecemasan yang berlebihan dapat membawa seseorang kepada 2
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama:1998), hal. 29-30
61
halusinasi, melankolis dan bersikap layu. Sifat tamak dapat membawa kepada bencana. Demikian pula gegabah dan rakus, bisa mendatangkan kecelakaan. Karena itu, memburu kekayaan secara berlebihan adalah keliru..3
Ikhwan Al-Shafa Jiwa manusia, bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Keberhasilan perkembangan jiwa memerlukan bantuan akal. Adapun jiwa anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih belum ada tulisan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat), dari sini meningkat kepada daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan (alquwwat al-hâfizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwat al-nâthiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulisan kepada pembaca. Adapun tentang akhlak, Ikhwan al-Shafa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas. Dalam mencapai tingkat akhlak dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih-sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan 3
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama:1998), hal. 30
62
kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menajdi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan sesama manusia, dan keramahan terhadap alam.4 Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaiannya dengan data pengetahuan rasional dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan terpikat oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia tidak dapat mengetahui makna kitab suci, dan ia tidak akan dapat beranjak kepada bola-bola langit dan secara langsung merenungkan apa yang ada di sana. Demikian juga setelah peristiwa kematian, ia tidak dapat terbebas dari beban atau bergabung dengan “rombongan malaikat” di surga. Malah ia akan tetap melayang-layang di langit hingga Hari Kiamat dan pada akhirnya akan diseret oleh “roh-roh jahat” yang mengembalikannya ke dunia pembentukan dan kehancuran (sama halnya dengan neraka) dan “penjara bagi eksistensi jasmani”.5 Bagi Ikhwan, neraka dipahami sebagai “dunia pembentukan dan kehancuran yang terletak di bawah bulan”, dan surga sebagai “tempat bersemayam roh-roh dan ruang langit-langit yang sangat luas.” Jiwa yang telah mencapai lingkaran samawi akan merasakan kebahagiaan abadi dan akan terbebas dari kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi bagian tubuh untuk selama-lamanya. Kondisi yang demikian merupakan konsekuensi kekufuran, kesalahan, kebodohan, dan kebutaan terhadap makna dasar kitab suci.6
4
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idârah-Adâbiyat-i Delli, 1978), hal. 443 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York : Columbia University Press, 1970), hal. 200-201 6 Syed Amir Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idârah-Adâbiyat-i Delli, 1978), hal. 445 5
63
Petunjuk utama manusia bagi pengenalan tentang dunia haruslah merupakan pengetahuan tentang dirinya. Karena itu psikologi bagi ikhwan menjadi pengantar bagi metafisika dan kosmologi, dan juga bagi semua ilmu pengetahuan. Berkat renungan manusia terhadap kondisinya di dunia ini akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi pertengahan antara dua yang ekstrim, yaitu sangat kecil dan keleluasaan yang tak terbatas, tubuhnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, masa hidupnya tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu singkat, demikian juga kemunculannya di dunia tidak terlalu dini dan tidak terlalu terlambat. Dalam hal pengetahuan manusia ini, Ikhwan pun berkesimpulan agnostik, yaitu akal manusia tidak berkemampuan meliput secara utuh tentang Keagungan Tuhan dan esensinya, bentuk dunia sebagai keseluruhan, atau bentuk murni yang telah dipisahkan dari materi.7
Ibn Miskawaih Menurut Ibn Miskawaih, akhlak adalah suatu sikap mental (hâlun li alnafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan.8 Sikap mental ini terbagi dua: ada yang berasal dari watak bawaan lahir dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Akhlak terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Sementara banyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena itu kebiasaan, latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat puji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat-sifat tercela.
7 8
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1978), hal. 445-446 Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-akhlâq fî al-islâm, (Kairo:Muassasat al-Khaniji, 1963),
hal.81
64
Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibn Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah untuk pembentukan watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengamalkan ajaran Islam yang dianutnya. Dalam hal ini, Ibn Miskawaih mengartikan kata al-insân (manusia) berasal dari al-uns, berarti jinak. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa kata al-insan berasal dari kata al-nisyân berarti pelupa. Memang ajaran-ajaran agama menguatkan perasaan aluns tersebut, seperti shalat berjamaah lebih utama daripada shalat yang dikerjakan sendirian, puasa sebagai upaya mengendalikan keinginan nafsu, dan demikian juga bentuk-bentuk ibadah lainnya.9 Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan dzatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih mengemukakan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikian. Bahkan, menurut Ibn Miskawaih, kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami
9
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama:1998), hal. 64-65
65
oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki.10 Keberadaan jiwa dimaksudkan oleh Ibn Miskawaih untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Namun, roh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Imaterialitas jiwa itu menunjukkan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari yang materil.11 Terkait dengan permasalahan jiwa seperti yang diutarakan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini ialah bodoh, penakut, tamak dan zalim. Lebih lanjut, ia membatasi tujuh jenis hikmah, yaitu tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Selanjutnya ada sebelas sifat keberanian, yaitu murah hati, sabar, mulia,teguh, tentram, agung, gagah, teguh keinginan, ramah, bersemangat, belas kasih. Sedangkan jenis sifat kesederhanaan, ada dua belas, yaitu malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur dan merdeka. Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’âdat), dan keutamaan (al-fadhîlat). Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada kalanya umum, dan 10
Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971)
11
Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971)
hal. 70 hal. 70
66
ada kalanya khusus. Dia atas semua kebaikan itu terdapat Kebaikan Mutlak yang identik dengan Wujud Tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai Kebaikan Mutlak tersebut. Kebaikan Umum tadi adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan Kebaikan Khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk yang disebut terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dengan demikian, antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya. Menurut Ibn Miskawaih, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dan keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Miskawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.12 Tentang keutamaan (al-fadhîlat) Ibn Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia (mahabbat al-insân li alnâs kâffat). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali 12
Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971) hal. 93-95
67
dengan memelihara sesamanya serta menunjukkan pengertiannya terhadap sesama manusia. Selanjutnya, ia berkata bahwa cinta tadi tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah msyarakatnya dan saling berinteraksi di dalamnya. Sebab itu, seseorang yang memencilkan diri dari masyarakat, belumlah dapat dinilai bahwa ia telah memiliki sifat terpuji atau tercela. Penilaian itu baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakatnya. Jadi, sikap uzlah/pengasingan diri dari masyarakat dapat dipandang sebagai sikap mementingkan diri sendiri. Bagaimana suatu masyarakat yang bobrok dapat berubah menjadi baik bila orang-orang terbaiknya memencilkan diri tanpa mau memberikan pertolongan untuk perbaikan masyarakat tersebut. Dari sini, sifat uzlah dapat dipandang identik dengan sifat zhâlim dan bâkhil. Karena itu, dapat dikatakan pandangan Ibn Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.13 Penyakit akhlak, terutama yang telah dinyatakan tercela, dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas, adalah rasa takut, terutama takut akan mati. Perasaan takut inilah yang menggerogoti pikiran orangorang yang bodoh dan sombong yang tidak memahami sifat asasi kematian tetapi merasa yakin bahwa dengan perceraian tubuh mereka, mereka sama sekali tidak akan hidup lagi. Padahal, kematian semata-mata hanyalah suatu proses lewat mana jiwa, setelah meninggalkan tubuh yang telah menjadi alat jiwa selama kariernya di dunia ini, beralih kepada tingkat kesucian dan dan kebahagiaan lain yang lebih tinggi. Sebagai suatu substansi yang sederhana, jiwa tidak dapat dipengaruhi oleh kerusakan atau disintegrasi, tetapi hanyalah oleh peralihan bentuk transformasi. Penyakit akhlak lain yang lebih menyedihkan yang menimpa jiwa dan yang paling baik diobati oleh filsafat adalah rasa sedih. Rasa sedih timbul dari 13
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-akhlâq fî al-islâm, (Kairo:Muassasat al-Khanijî 1963), hal.84-85
68
kebodohan, baik kebodohan terhadap kesementaraan kondisi kehidupan kita, yakni ketidaktahuan tentang apa yang merupakan kebahagiaan kita yang sejati, maupun kesia-siaan untuk mencemaskan harta benda keduniawian yang menjadi tanda kesengsaraan. Dengan diagnosa tentang kesedihan ini dan sifat-sifat esensialnya sebagai latar belakang. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Miskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak. Ia menyebutkan bahwa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencanarencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, dan daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.14
Ibn Thufail Konsepsi Ibn Thufail tentang jiwa sejalan dengan yang dikemukakan oleh Al-Farabi, yakni ada tiga kategori jiwa, yaitu pertama: jiwa fadhîlat, yakni yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa fadhilah ini akan ditempatkan di surga. Kedua: jiwa fâsiqat, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah mengenal Allah, tetapi kemudian melupakan-Nya dengan melakukan berbagai maksiat. Ketiga: jiwa jahîliyyat, yakni jiwa yang musnah karena tidak pernah mengenal Allah sama sekali. Jiwa jenis ini sama halnya dengan hewan yang melata. 14
Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971) hal.
93-95
69
Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliah yang harus diterapkan dalam hidup. Kadar penetapan amaliah tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk menyaksikan al-wâjib al-wujûd. Ketiganya adalah (1) amaliah yang menyerupai hewan, (2) amaliah yang menyerupai benda angkasa, (3) amaliah yang menyerupai al-wâjib al-wujûd.15 Amaliah pertama sedikit unik, karena amaliah hewan tersebut dibutuhkan tetapi juga dapat menjadi penghalang untuk meningkat kepada amaliah berikutnya yang lebih tinggi. Amaliah hewan dimaksud adalah memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan pokok. Namun, harus dibatasi seminimal mungkin. Amaliah kedua adalah melakukan hubungan baik dengan di bawahnya, dengan dirinya, dan dengan Tuhannya. Kemudian melakukan amalan jenis ketiga, yang lebih tinggi, dengan mencontohkan sifatsifat al-wâjib al-wujûd. Jenis amaliah ketiga ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sasaran akhir dari prinsip akhlak.16
Al-Thusi Para filsuf sebelumnya membagi jiwa kepada jiwa vegetatif, hewani, dan manusia, oleh Al-Thusi ditambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa imajinatif ini berkaitan dengan persepsi-persepsi rasa di satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional di pihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jikalau ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hukuman dan penghargaan jiwa manusiawi bergantung kepada jejak ini, yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini. Menurut Al-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. 15 16
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idârah- Adâbiyat-i Delli, 1978), hal. 446-448 Syed Amir Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idârah-i Adâbiyat-i Delli, 1978), hal. 446-448
70
Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh.17 Jiwa manusia ditandai dengan adanya akal. Adapun akal praktis, menyangkut dengan perbuatan-perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan akhlak, kerumahtanggaan dan politik. Al-Thusi memandang kehidupan rumah tangga/keluarga dan politik sebagai aspek yang sangat penting dari filsafat praktis, dan karena itu tidak boleh diabaikan. Menurut Al-Thusi, bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan akhlak utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. AlThusi mendukung pemikiran Plato sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibn Miskawaih
bahwa
kebaikan-kebaikan
mengacu
kepada
kebijaksanaan,
keberanian, kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga kekuatan jiwa, yakni akal, kemarahan, dan hasrat. Al-Thusi juga menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan. Tentang penyakit jiwa, bagi Al-Thusi merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan, baik dari segi jumlah maupun dari segi mutu. Jadi, penyakit akhlak bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu (1) keberlebihan, (2) keberkurangan, dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Atas dasar tiga sebab penyakit jiwa tersebut, Al-Thusi menggolong-golongkan penyakit-penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan, kebodohan sederhana dan kebodohan fatal 18 Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau dalam suatu permasalahan yang 17
Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thûsi” dalam M.M. Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. I (Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963), hal. 567-578 18 Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thusi” dalam M.M. Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. I (Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963), hal. 567-578
71
kontroversial. Padahal tidak mungkin muncul secara serempak dua hal yang bertentangan, dengan kata lain, jika suatu hal benar, maka tidak mungkin salah. Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam ini merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, sebaliknya akan sangat berbahaya jika merasa senang dengan keadaan demikian. Untuk itu, manusia perlu disadarkan akan pengembangan nalarnya, bukan pada penampilan lahiriah, sekaligus sebagai pembedanya dari hewan. Kebodohan fatal ialah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal, tetapi ia merasa mengetahui hal itu. Menurut Al-Thusi, penyakit ini sulit disembuhkan, hanya bisa ditekan dengan pengajaran matematika.Bagi Al-Thusi, masyarakat berperan menentukan kehidupan akhlak, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, bahkan kesempurnaannya terletak pada tindakan yang bersifat sosial kepada sesamanya, dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan. Dengan demikian,
ia
bukan
penganjur
kehidupan
pertapaan
(khalwat).
Thusi
memasukkan urusan rumah tangga ke dalamnya. Thusi mendefinisikan rumah tangga (manzil) sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial dan mental kelompok utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya.19 Fungsi ayah adalah menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga. Jika fungsi ini tidak mampu diemban oleh seorang laki-laki, Thusi menyarankan agar itu tidak menikah. Berdasar tujuan pembentukan rumah tangga, maka perkawinan bukanlah memenuhi kepuasan syahwat. Mengenai disiplin anak-anak, Thusi mengikuti pendapat Ibn Miskawaih, memulai dengan penanaman akhlak yang baik melewati pujian, hadiah dan celaan yang halus. Dia tidak menyukai celaan yang 19
Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thusi” dalam M.M. Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. I (Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963), hal. 570-578
72
sering diucapkan serta teguran terbuka. Celaan yang sering diucapkan akan meningkatkan godaan, sedangkan teguran terbuka akan mengundang keberanian. Setelah memberi mereka aturan-aturan makan, berpakaian, bercakap-cakap, bersikap, dan tata cara beragul dalam masyarakat, anak-anak harus dilatih untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan mereka.20
B. Perkembangan Keagamaan Remaja Pengertian
tentang
ajaran
agama
berkembang
sejalan
dengan
perkembangan kecerdasan. Pengertian tentang hal-hal yang abstrak, yang tidak dapat dirasakan atau dilihat langsung, seperti pengertian tentang akhirat, surga, neraka, dan lain-lainnya, baru dapat diterima oleh anak-anak apabila pertumbuhan kecerdasannya telah memungkinkan untuk itu. Menurut Zakiah Daradjat, remaja yang mendapat didikan agama dengan cara yang tidak memberikan kesempatan untuk berpikir rasional/logis dan mengkritik pendapatpendapat yang tidak masuk akal, disertai pula oleh kehidupan lingkungan dan orang tua, yang juga menganut agama yang sama, maka kebimbangan pada masa remaja itu agak kurang. Remaja akan merasa gelisah dan kurang aman apabila agama atau keyakinannya berlainan dari agama atau keyakinan orang tuanya. Keyakinan orang tua dan keteguhannya menjalankan ibadah, serta memelihara nilai-nilai
agama
dalam
hidupnya
sehari-hari,
menolong
remaja
dari
kebimbangan agama. 21 Setelah perkembangan kecerdasan remaja sampai kepada mampu menerima atau
menolak
ide-ide
atau
pengertian-pengertian
yang
abstrak,
maka
pandangannya terhadap alam dengan segala isi dan peristiwanya berubah. Dari mau menerima tanpa pengertian, menjadi menerima dengan penganalisaan. 20
Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thusi” dalam M.M. Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. I (Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963), hal. 570-578 21 Lihat Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal. 37.
73
Perkembangan mental remaja ke arah berpikir logis (falsafi) itu, juga mempengaruhi pandangan dan kepercayaannya kepada Tuhan. Karena remaja tidak dapat melupakan Tuhan dari segala peristiwa yang terjadi di alam ini. Apabila
remaja yakin bahwa Tuhan Maha Kuasa, Maha Mengatur dan
Mengendalikan alam ini, maka segala apa pun yang terjadi, baik peristiwa alam maupun peristiwa sosial, dan hubungan pergaulan sosial dalam masyarakat, dilimpahkan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Seandainya mereka menyaksikan kekacauan, kerusuhan, ketidak-adilan, percekcokan dan sebagainya dalam masyarakat, atau hal-hal yang terjadi di alam ini, yang dipandang tidak diatur baik atau seolah-olah tanpa kendali, maka mereka akan merasa kecewa terhadap Tuhan. Sebaliknya, bila remaja yang telah yakin dan percaya kepada Tuhan itu melihat keindahan alam dan keharmonisan segala sesuatu yang ada di alam ini, akan bertumbuhlah kekaguman dan rasa keindahan alam, maka mereka menyerahkan sifat-sifat tersebut kepada Tuhan sebagai yang berhak. Mereka akan bertambah yakin bahwa Tuhan Maha Bijaksana, indah dan menyukai keindahan. Banyak juga remaja yang pada umur romantis itu, merenungkan keindahan Tuhan, melalui pengertiannya tentang keindahan alam yang dirasakannya itu. Sementara itu, pada masa kanak-kanak, surga dan neraka dibayangkan dalam bentuk yang dapat dirasakan, di mana neraka sebagai lambang penderitaan yang menakutkan, sedangkan surga digambarkan sebagai tempat yang menyenangkan. Pemikiran tentang dosa dan pahala terlepas dari surga dan neraka.22 Secara bertahap mulailah bercampur pemikiran agama dengan nilai-nilai akhlak, puncaknya pada masa remaja, di masa itu si remaja sibuk dengan neraka, yang menyala dalam dadanya, tidak lagi neraka yang ditakuti sesudah mati itu,
22
Lihat Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal. 37-40
74
hal ini disebabkan oleh gelora jiwa yang menyala dalam dirinya, yang menarik perhatiannya untuk banyak memperhatikan dirinya. Maka kebanyakan remaja sibuk memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pemikiran pembalasan atau lambang kebahagian yang ingin dicapainya, dan terlepas dari kegoncangan yang sangat tidak menyenangkan mereka itu..23 Pada masa ini mulailah remaja menemukan adanya hubungan antara pikiran tentang setan dan rasa dosa, atau antara pikiran tentang surga dengan kesucian akhlak. Memuncaknya rasa dosa pada masa remaja dan bertambah meningkatnya kesadaran akhlak dan pertumbuhan kecerdasan, semua bekerja sama, sehingga hilanglah keyakinannya tentang malaikat dan setan seperti dulu, namun mereka sadar betapa eratnya hubungan setan dan malaikat itu dengan dirinya. Mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan antara malaikat dengan akhlak serta keindahan yang ideal, demikian pula hubungan antara surga dengan ketenangan batin, dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan kegoncangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa. Hanya keharusan agamalah yang mendorong remaja untuk tetap mempunyai keyakinan sebagaimana adanya. Akan tetapi, apabila keyakinan itu tetap diakuinya, maka pengakuan itu hanya disangka saja, karena tidak mengetahui hubungannya dengan kehidupan jiwa dalam dirinya seperti sediakala (masa kanak-kanak), hanya melayang-layang di atas, sekedar untuk menyesuaikan dirinya saja.24 Kembalinya
seseorang
kepada
dirinya,
dan
tidak
menyandarkan
pengekangan dirinya atas makhluk-makhluk luar yang diciptakan-Nya dalam khayalnya, dan berusaha menghadapi masalah yang baik dan buruk dengan cara yang objektif, adalah bukti dari terjadinya pertumbuhan pikiran dan kematangan 23 24
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), hal. 68-91
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), hal. 68-91
75
emosi, yang mulai melepaskan diri dari alam khayal ke alam kenyataan. Remaja telah mampu memahami hal-hal yang abstrak, serta mampu pula mengambil kesimpulan abstrak dari kenyataan yang dilihatnya. Sebagai akibat dari kematangan kecerdasan itu, mereka akan selalu menuntut penjelasan yang masuk akal terhadap setiap ketentuan hukum agama yang dibawakan. Mereka menghendaki agar semua ketentuan agama dapat mereka pahami. Apa yang dahulu mereka terima tanpa ragu-ragu, setelah masa remaja terakhir mereka masuki, semua ketentuan itu akan menjadi soal dalam hati mereka, bahkan mungkin secara terang-terangan akan mereka tanyakan kembali, karena keraguraguan telah menghinggapi mereka akibat kematangan kecerdasan. Karena itulah maka banyak guru agama merasa terdesak oleh pertanyaan-pertanyaan para remaja, yang merasa kurang puas terhadap penjelasan guru agama yang didasarkan atas hukum dan ketentuan yang pasti (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) tanpa menganalisanya, serta tidak menghubungkannya dengan kehidupan remaja itu.25 Di antara sumber kegelisahan remaja yang berkaitan dengan nilai-nilai akhlak, tampak adanya perbedaan antara nilai-nilai akhlak dan kelakuan orangorang dalam kenyataan hidup terlebih kelakuan orang-orang terdekat mereka. Misalnya ia mendapat didikan dari orang tua bahwa berdusta itu tidak baik, tapi ia melihat banyak orang yang berdusta dalam pergaulan hidup ini. Demikian pula dengan sifat-sifat yang seharusnya ada menurut ketentuan dan nilai-nilai yang dipelajari, yang dalam kenyataan sehari-hari sifat-sifat itu tidak terdapat. Umpanya orang harus adil, setia, jujur dan sebagainya. Tetapi ia melihat berapa banyak kalau yang tidak adil, tidak jujur dan tidak setia. Apalagi kalau yang tidak
25
Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal. 37-
40
76
mengindahkan nilai-nilai akhlak itu orang tua, guru, atau pemimpin yang mereka harapkan akan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai akhlak tersebut.26 Pertentangan antara nilai-nilai agama yang mereka pelajari dengan sikap dan tindakan orang tua, guru, pemimpin, atau penganjur agama, sangat menggelisahkan remaja. Mungkin menyebabkan mereka menjadi benci kepada guru atau pemimpin tersebut. Bahkan dapat menyebabkan mereka acuh tak acuh, bahkan benci kepada agama. Pernah seorang remaja umur 18 tahun menjadi benci kepada agama dan tidak mau lagi mengikuti pelajaran agama di sekolah, karena ia mendengar guru agamanya sering kali memperkatakan dan memburukburukan orang lain, serta tindakannya tidak sesuai dengan apa yang diajarkannya. Semakin merosot akhlak suatu masyarakat, semakin gelisah remajanya, dan semakin benci mereka kepada pemimpin agama, karena mereka menyangka bahwa pemimpin agama tidak bersungguh-sungguh dalam tugasnya memelihara akhlak orang banyak, atau usahanya kurang intensif. Hal ini kadang-kadang menyebabkan mereka menjauh dari agama. Di antara konflik atau pertentangan yang terjadi dalam diri remaja sendiri ialah dorongan-dorongan seks. Mereka ingin bergaul erat dengan jenis lain, atau akan berbuat semau-maunya, akan tetapi hal itu bertentangan dengan larangan-larangan atau pantangan-pantangan agama dan nilai-nilai sosial. Rasa berdosa dan menyesal pada usia remaja itu, sangat menggoncangkan keimanan dan keyakinan agamanya. Maka bertaubat dalam Islam merupakan cara terbaik untuk mengembalikan keseimbangan jiwa setelah merasa berdosa itu. Kegoncangan-kegoncangan jiwa yang disebabkan oleh faktor tersebut di atas, biasanya tidak tampak secara langsung dari luar, tetapi ia memperlihatkan diri,
26
Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal.
37-40
77
muncul dalam tampilan perilaku, seperti menjadi pemalas, acuh tak acuh, sakitsakitan, bodoh, nakal dan sebagainya.27 Masa remaja adalah masa tidak stabilnya emosi di mana perasaan sering tidak tenteram,
maka keyakinannya pun
akan terlihat
mundur
maju
(ambivalence), dan pandangannya terhadap sifat-sifat Tuhan akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi emosinya pada waktu tertentu. Apabila remaja menyebutkan sifat-sifat Tuhan, hal itu tidak timbul dari keyakinannya yang tetap, akan tetapi timbul dari sikap emosi dan keadaan jiwanya pada waktu itu. Maka sifat-sifat yang diberikan kepada Tuhan, kendatipun diambilnya dari didikan agama yang dilaluinya, tetapi diwarnai oleh perasaan dan dorongannya pada waktu tertentu, misalnya Allah adalah penyayang, apabila ia berada dalam situasi yang menghendaki kasih sayang-Nya. Dan Allah bersifat membalas kejahatan orang
yang
aniaya,
apabila
ia
mengharapkan pertolongan-Nya
untuk
mengalahkan lawan yang tidak dapat dihadapinya. Allah itu cantik apabila ia sedang terpesona oleh keindahan alam.28 Kendati pun ada dan banyak terdapat perbedaan individual tentang gambaran terhadap Tuhan, namun ada satu hal yang disepakati, yaitu mereka telah berusaha menjauhkan gambaran-gambaran lahiriah dan personifikasi tentang Allah, mereka lebih mementingkan gambaran spiritual daripada membayangkan rupa (bentuk Allah), seperti pada masa kanak-kanak dulu. Hal ini mencakup pemikiran semua remaja, kecuali remaja yang terbelakang kecerdasannnya. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara pandangan agama dan pertumbuhan kecerdasan pada umumnya. Perasaan remaja terhadap Allah, baik yang dengan terang-terangan dikemukakannya rasa cinta, taku atau benci,
27
Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal.
28
Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal.
40-45 40-45
78
namun ia adalah perasaan yang kompleks, yang terdiri dari unsur-unsur yang berlawanan dan berinteraksi satu sama lain, misalnya kasih sayang dan permusuhan, rasa aman dan rasa takut. Maka tindakan remaja pun mengandung pertentangan dan perlawanan satu sama lain (betapa pun sikap lahirnya), jika ia tunduk dan menyerah, maka di dalam dirinya timbul suatu keinginan untuk merdeka dan melawan, dan jika ia menentang dan berontak, maka di balik itu tersembunyi pula rasa ketergantungan (kanak-kanak) dan ingin menyerah. Sehubungan dengan itu, sering terjadi suatu keadaan jiwa tertentu pada remaja, yaitu perasaan mundur-maju dalam beriman (ambivalen). Sulit untuk menemukan perasaan agama yang sama kadar kekuatannya di setiap waktu, akan tetapi mudah untuk menemukan gejolak ombak naik turun antara gairah keagamaan atau semangat yang berlebih-lebihan terhadap agama, yang diselingi oleh rasa acuh tak acuh atau kurang peduli pada agama. Maka kesadaran keagamaan remaja tidak sama tetapnya dengan orang dewasa atau dengan masa kanak-kanak terakhir. Perasaan remaja terhadap Allah bukanlah perasaan yang tetap, akan tetapi adalah perasaan yang bergantung kepada perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa-masa remaja awal. Kebutuhan akan Allah kadang-kadang tidak terasa, apabila jiwa mereka dalam keadaan aman, tenteram dan tenang. Sebaliknya Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaaan gelisah, karena menghadapi bahaya yang mengancam, ketika ia takut akan gagal, atau mungkin juga karena merasa dosa. Dalam hal ini remaja akan merasa bahwa shalat atau membaca Kitab Suci dan kegiatan-kegiatan agama lainnya, dapat mengurangkan kesedihan, ketakutan dan rasa penyesalannya. Dengan kata lain, gelombang kekuatan kesadaran keagamaan, merupakan usaha-usaha yang diharapkan dapat menenangkan kegoncangan jiwa yang sewaktu-waktu timbul.29
29
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), hal. 91-94
79
Keyakinan remaja akan sifat Tuhan yang banyak itu berubah-ubah sesuai dengan kondisi emosinya, dan ia mengalami keyakinan yang mundur maju. Kadang-kadang terasa sekali olehnya keyakinan kepada Tuhan, terasa dekat dan seolah-olah dia berdialog langsung dengan Tuhan. Kadang-kadang sebaliknya, ia merasa jauh, tidak dapat memusatkan pikiran waktu berdoa atau shalat. Kondisi keimanan yang kembar (maju-mundur) itu adalah satu ciri khas remaja yang sedang mengalami kegoncangan emosi. Di antara faktor-faktor yang menambah kuatnya kepercayaan kepada Allah pada masa remaja adalah rasa dosa. Masa remaja adalah masa bangkitnya dorongan seksual dalam bentuk yang lebih jelas. Hal ini merupakan bahaya yang mengancam nilai-nilai dan norma-norma yang dipatuhinya selama ini. Di sini timbul pada remaja perasaan tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan atau dorongan yang belum diketahuinya dalam hidupnya dulu, karena itu bertambah besarlah kebutuhannya akan bantuan luar guna mengatasi dorongan-dorongan naluri itu, di samping itu, pada masa itu juga, si remaja telah mulai mengurangkan hubungannya dengan orang tuanya dan berusaha untuk dapat berdiri sendiri dan dalam menghadapi kenyataan-kenyataan lain sendirian. Semua itu menyebabkannya berusaha mencapai pertolongan Allah. Berhubung rasa dosa itu tidak selamanya sama dalam semua keadaan, kadang-kadang sangat dan kadang-kadang tidak terasa sama sekali, maka kebutuhan remaja kepada Allah kadang-kadang sangat dan kadang-kadang kurang, sesuai dengan keadaan jiwa remaja pada waktu tertentu. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Tuhan bagi remaja adalah keharusan akhlak pada masa remaja itu. Tuhan lebih menonjol sebagai penolong akhlak daripada sandaran emosi. Kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepada-Nya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkannya dengan Allah, yaitu kebutuhannya untuk mengendalikan akhlak. Kepercayaan kepada Allah pada periode pertama
80
dari masa remaja, bukanlah keyakinan pikiran, akan tetapi adalah kebutuhan jiwa.30 Letak perbedaan pokok antara do’a anak-anak dan do’a remaja adalah anak-anak memohon kepada Allah agar terlepas dari azab neraka, karena ia takut akan hukuman luar yang dapat dirasa, ia tak dapat membayangkan adanya hukuman batin (rasa dosa). Sedangkan pada remaja, do’anya adalah untuk memohon bantuan Allah supaya ia terlepas dari gejolak jiwanya sendiri dan tertolong dalam menghadapi dorongan-dorongan nalurinya, karena ia takut akan hukuman batin yang abstrak itu.
C. Pendidikan Akhlak melalui Keluarga Ditinjau dari ilmu agama Islam, kedua orangtua memiliki kewajiban penuh dalam mempersiapkan anak menjalani kehidupan dan melindunginya dari kehinaan serta mengarahkannya agar tumbuh menjadi insan Tuhan yang berakhlak terpuji. Pendidikan merupakan hak anak dari orangtuanya, bukan sebagai hadiah atau pemberian dari orangtua kepada anak Dengan kata lain, pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua. Allah S.W.T telah memerintahkan kepada setiap orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, dan bertanggung jawab atas pendidikan anak. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Tahrîm/66:6:
tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ ö/ä3|¡àÿRr& (#þqè% (#qãZtB#uä #Y‘$tR ö/ä3‹Î=÷dr&ur â¨$¨Z9$# $ydߊqè%ur $pköŽn=tæ äou‘$yfÏtø:$#ur žw ׊#y‰Ï© ÔâŸxÏî îps3Í´¯»n=tB öNèdt•tBr& !$tB ©!$# tbqÝÁ÷ètƒ 30
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), hal. 91-94
81
tbrâ•sD÷sãƒ
$tB
tbqè=yèøÿtƒur 31 ÇÏÈ
Keluarga merupakan kumpulan dari individu-individu yang satu sama lain terikat oleh sistem kekeluargaan. Suami isteri atau ayah dan ibu adalah pilar utama keluarga dimana dari sana berkembang sebuah keluarga besar. Adapu ciri hidup kekeluargaan adalah adanya ikatan emosionil yang alami, konstan dan sering mendalam dalam dinamika hubungan solidaritas, dimana dalam keadaan normal terdapat rasa saling ketergantungan, saling membutuhkan serta saling melindungi. Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di dalam suatu masyarakat pun sebenarnya ada sifat-sifat kekeluargaan.32 Keluarga dibangun dari individu-individu yang masing-masing memiliki keunikan psikologis oleh karena itu berbeda dengan membangun rumah yang cukup dengan pendekatan teknis, sementara membangun keluarga diperlukan menggunakan
pendekatan
psikologis.
Merupakan
suatu
kekeliruan
memperlakukan manusia sebagai benda mati yang bisa dipindah-pindah sesuka hati, atau seperti binatang yang bisa digiring sesuka penggembala. Manusia memiliki persepsi, memiliki cara berpikir dan cara merasa yang khas dan memiliki kehendak yang sesuai dengan kondisi obyektif jiwanya. Kehidupan keluarga sebenarnya lebih kompleks dibanding dunia pendidikan, tetapi pendekatan psikologis terhadap masalah-masalah keluarga masih sedikit sekali yang dilakukan secara profesional. Mungkin karena kehidupan rumah tangga merupakan fenomena universal maka para ahli lebih memillih membiarkan
31
Q.S 66:6. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. 32 Mubarok, Achmad, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Cetakan Pertama, (Jakarta:Bina Rena Pariwara, 2005), hal. 2
82
rumah tangga berjalan secara alamiah di masyarakat dibanding memikirkannya secara ilmiah profesional.33 Berkaitan
dengan
pembentukan
karakter,
terdapat
tiga
lingkaran
lingkungan, yakni; keluarga, sekolah dan masyarakat. Meski ketiganya saling mempengaruhi, tetapi pendidikan keluarga paling dominan pengaruhnya. Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap. Jika tidak maka sekolah kurang efektif, dan lingkungan sosial akan sangat dominan dalam mewarnai keluarga. Pada masyarakat modern, pengaruh faktor lingkungan sangat kuat dan bisa menjadi ancaman terutama pengaruh budaya yang menyesatkan (misal pornografi), karena ia bukan saja berada diluar rumah, tetapi menyelusup masuk ke dalam rumah, sehingga menimbulkan penyakit sosial tersendiri, yakni penyakit manusia manusia modern. Anak adalah amanah atau titipan Allah kepada orang tuanya dimana orang tua berkewajiban memelihara dan mendidiknya agar anak itu terpelihara dan berkembang potensinya hingga ia kelak menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan maksud penciptaannya Sesuatu yang dititipkan adalah sesuatu yang penjagaannya dipercayakan kepada orang yang dititipi hingga suatu saat sesuatu itu akan diambil oleh yang menitipkan. Maksud menitipkan adalah agar sesuatu yang dititipkan itu tetap terjaga dan terlindungi keberadaannya. Tanggung jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah.34 Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam rumah di sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya di dunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima 33
Mubarok, Achmad, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005), hal. 2 34
Mubarok, Achmad, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005), hal. 237
83
segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka tingkah laku anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya. Menurut AlGhazali, anak adalah amanat bagi orang tuanya., hatinya bersih, suci, dan polos. Kosong dari segala ukiran dan gambaran. Anak akan selalu menerima segala apa yang
diukir
padanya,
dan
akan cenderung
terhadap apa
saja
yang
mempengaruhinya. Maka apabila dia dibiasakan dan diajarkan untuk melakukan kebaikan, niscaya tingkah laku anak terbentuk baik. Sehingga kedua orang tuanya akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Anak akan menjadi orang yang terdidik, orang yang baik. Namun apabila si anak dibiasakan untuk melakukan kejahatan dan ditelantarkan bagaikan binatang liar, maka anak akan sengsara dan celaka. Dosanya akan ditanggung langsung oleh kedua orang tuanya sebagai penanggung jawab dari Allah.35 Dengan memahami betapa besar pengaruh lingkungan rumah bagi kehidupan anak, maka kedua orangtuanya memiliki kewajiban penuh dalam mempersiapkan anak dan melindunginya dari kehinaan serta mengarahkannya agar ruh agama dan kemuliaan tumbuh di dalam jiwanya. Orang tua (ayah dan ibu) adalah penanggung jawab pendidikan anak. Oleh karena itu, bila orang tua mengkondisikan kehidupan anak di dalam persemaian yang buruk, maka mereka akan diminta pertanggungjawabannya dan akan diazab Allah disebabkan telah menjerumuskan permata yang sangat berharga dan mulia ke dalam kesesatan yang nyata, juga akan diazab untuk kedua kalinya karena mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam keburukan itu pula. Rasulullah Saw. menjadikan pendidikan anak sebagai tanggung jawab penuh orangtua. Ibnu ‘Umar berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya:“Setiap diri kalian adalah pemimpin. Dan ia akan dimintai
35
Lihat Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Hafizh, Muhammad Nur Abdul, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Cet. Ketiga (terjemahan), Bandung : Bayan. 1998.
84
pertanggungan jawab terhadap apa yang ia pimpin. Seorang imam adalah pemimpin, ia akan dimintai pertanggungan jawab terhadap yang dipimpinnya (rakyatnya). Setiap laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab terhadap yang ia pimpin. Setiap perempuan adalah pemimpinnya di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab pula dengan apa yang ia pimpin. Seorang pembantu adalah pemimpin di dalam harta majikannya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas hartanya. Setiap dirimu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungan jawab atas yang ia pimpinnya” (HR Muttafaq ‘Alaih).
Rasulullah Saw. pun sampai mengatur ketentuan yang mendasar tentang besarnya pengaruh kedua orang tua dalam membentuk agama anaknya. Orangtualah
yang
paling
berpengaruh
terhadap
perkembangan
anak.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya: ”Tidak ada seorang pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orangtuanyalah yang memjadikannya sebagai orang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.”
Dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak anak dari orangtuanya, bukan sebagai hadiah atau pemberian dari orangtua kepada anak. Sebagaimana Rasulullah telah bersabda, yang artinya: ”Sesungguhnya Allah telah menanamkan abrâran (golongan yang berbuat baik) karena mereka telah berbuat baik kepada orangtua dan anak mereka. Sebagaimana kamu memiliki hak atas anakku, demikian pula anakmu memiliki hak atasmu.” (HR Bukhari dalam kitabnya Al-Adabul Mufrad).
Menurut Zakiah Daradjat pertumbuhan kecerdasan anak sampai umur enam tahun masih terkait kepada alat inderanya. Maka dapat dikatakan bahwa anak
85
pada umur 0-6 tahun berpikir inderawi. Artinya anak belum mampu memahami hal yang maknawi (abstrak). Oleh karena itu pendidikan, pembinaan iman dan akhlak anak, belum dapat menggunakan kata-kata (verbal), akan tetapi diperlukan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan yang terlaksana di dalam keluarga sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, yang terjadi secara alamiah. Misalnya ibu-bapak yang saleh, sering terlihat oleh anak, mereka sedang shalat, berdo’a dengan khusuk, dan bergaul dengan sopan santun yang dapat ditiru. Dan si anak juga mendengar orang tuanya membaca Al Qur’an, berdo’a dan mengajak anaknya memohon kepada Allah. Di sana-sini di dalam rumah, terdapat pigura yang terpajang di dinding, macam-macam perhiasan yang terdapat di dalam dan di luar rumah, di pekarangan, halaman rumah dan taman-taman yang sering tampak oleh anak, semuanya bernafaskan Islam.36 Adanya kecenderungan meniru dan unsur identifikasi di dalam jiwa si anak, akan membawanya kepada meniru orang tuanya. Hubungan Remaja Dengan Orang Tuanya. Menurut Zakiah Daradjat, di antara masalah penting yang dihadapi orang tua dengan anak-anaknya yang mulai meningkat remaja, adalah sulit berkomunikasi. Kadang kala remaja tidak mau menceritakan masalah dirinya kepada orang tuanya, bahkan terkadang kesulitan yang mereka hadapi ditutupi terhadap orang tua. Namun demikian, masih banyak orang tua yang berhasil untuk berhubungan baik dengan anaknya yang sudah remaja, bahkan kadang-kadang, sampai kepada hubungan yang bersahabat, dalam arti anaknya dihargai, didengar dan diperhatikan keluhankeluhannya. Semua itu kembali kepada pola hubungan antara anak dengan orang tua yang terdapat dalam keluarga. Juga tidak jarang terjadi perbedaan antara ibu dan bapak dalam menghadapi remaja, misalnya ada bapak yang terlalu memberi kebebasan dan keleluasaaan kepada anaknya yang sudah remaja dan juga ada yang sebaliknya, terlalu keras dan mengekang si anak. 36
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), hal. 91-94
86
Cara Bapak Memperlakukan Remaja.37 Ada bapak yang terlalu keras dan mengekang si anak dalam segala gerak geriknya. Dia menuntut kepatuhan dari anak-anaknya, dengan cara menakut-nakuti atau mengancam, tanpa memperhatikan perasaan dan kebutuhan si anak. Bapak yang seperti ini dianggap tidak wajar. Tidak jarang anak-anaknya menjauh dan tidak mau mematuhinya, hal tersebut dapat berakibat kepada semangat belajar si anak, kadang-kadang ia gagal dalam belajar. Ada pula bapak yang berlaku sebaliknya, dia membiarkan anaknya tumbuh dan berkembang tanpa hambatan, anaknya diberinya semua fasilitas yang dapat disediakannya, sehingga anak-anaknya itu tidak mendapat bimbingan dari bapaknya. Bahkan, ada diantara bapak yang punya pendirian, bahwa anak laki-laki boleh berbuat apa pun, sampai-sampai anaknya diberinya uang yang berlebihan. Remaja yang mendapat fasilitas seperti itu, biasanya menggunakan kesempatan itu tanpa memikirkan baik buruknya. Tidak jarang terjadi pelanggaran-pelanggaran agama dan nilai-nilai akhlak pada remaja di umur yang masih sangat muda itu. Akibat lebih jauh, si remaja menjadi malas belajar dan biasanya gagal menjadi orang dewasa yang matang. Bapak yang tidak konsisten dalam memperlakukan remajanya. Kadang-kadang dia keras, kejam dan tidak acuh, tapi lain kali ia sangat lembut, sangat lunak, menunjukkan adanya perhatian yang bertentangan dengan sikapnya yang pertama. Kadangkala tidak ada ketegasan dalam sikapnya, suatu ketika dia mengawasi dengan sangat ketat, pada waktu lain ia tidak acuh sama sekali. Akibatnya, anak-anaknya tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, sehingga si anak tidak mendapat pendidikan yang selayaknya. Anak yang seperti itu biasanya menjauh dari orang tuanya, atau
37
Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal.
21-23
87
mencari angin, kapan saatnya orang tua baik, permintaan banyak. Tidak jarang anak yang seperti itu gagal dalam studinya. Namun banyak bapak yang bersikap tegas dalam pendidikan anakanaknya. Dia adalah bapak yang mendidik anaknya dengan cara masuk akal atau logis. Dia dapat memahami segala persoalan dan kebutuhan anaknya, kalau perlu ia tegas melarang apa yang dipandangnya tidak baik. Biasanya dia menjelaskan kepada anaknya apa akibat pernuatan yang dilarangnya itu sampai si anak dapat memahami apa alasan larangannya tersebut. Pada umumnya bapak yang seperti itu banyak menggunakan persuasi dan dorongan, bukan perintah. Jika dia menghukum anaknya atas suatu kesalahan, hukumannya seimbang denga kesalahan yang dibuatnya. Remaja yang mempunyai bapak seperti ini biasanya amat
menjaga
aturan-aturan
atau
ketentuan
bapaknya,
dia
berani
mengungkapkan perasaan dan pendapatnya. Cara Ibu Memperlakukan Remaja.38 Fenomena sosial menunjukkan banyak ibu yang kurang memperhatikan anaknya yang sudah remaja. Anaknya dibiarkannya tanpa bimbingan, pendidikan dan pengawasan atau pengawasan itu dilimpahkan kepada pembantu. Boleh jadi ia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan anaknya karena dia sibuk bekerja di luar rumah. Mungkin juga ia ada di rumah, akan tetapi dia sibuk dengan dirimya sendiri atau mempunyai masalah dalam keluarga. Si anak akan merasa tidak terikat kepada orang tuanya dan mudah terpengaruh oleh orang-orang di luar keluarganya. Ibu yang baik memberikan perhatian yang cukup kepada anaknya. Ia dapat memperhatikan, membimbing dan mendorong anaknya kepada hal yang baik tanpa ikut campur tangan dalam urusan pribadi anaknya. Apabila ibu sibuk bekerja di luar rumah, perhatian kepada anaknya tetap ada. Bila ada waktu dia memberi kesempatan kepada anaknya untuk berdialog, mengeluh, atau minta 38
Zakiah Daradjat, Remaja, Harapan dan Tantangan, (Jakarta : CV. Ruhama, 1993), hal.
21-23
88
pertimbangan. Biasanya anak-anak yang mendapat perhatian dari orang tuanya, merasa disayangi dan dia juga menyayangi ibunya dan menjaga dirinya dalam pergaulan. Keluarga yang harmonis adalah yang seluruh anggotanya merasa satu, adanya kerja sama dan saling pengertian antar anggota keluarga. Hubungan yang diliputi oleh kasing sayang, kerja sama dan saling pengertian, menunjang perkembangan rasa kasih sayang dalam diri anak-anaknya. Ringkasnya, dalam perspektif Islam, secara tegas dikatakan bahwa pendidikan akhlak anak adalah tanggung jawab orang tua (ayah dan ibu). Ini berarti orangtua akan diminta pertanggungjawabannya atas pendidikan akhlak anak di hadapan Allah kelak di hari akhir. Keberhasilan pendidikan akhlak anak menuntut adanya pendidikan yang menggunakan pendekatan psikologis (ilmu jiwa) dan berpedoman pada nilai-nilai Islam sehingga tujuan, harapan dan metode pendidikan mengarahkan terbentuknya akhlak mulia, karakter baik, atau budi pekerti luhur.
89
BAB IV
TINJAUAN UMUM MOTIF, AGRESI, DAN PRAKTIK PENGASUHAN ANAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI A. Remaja dan Perkembangan Perilaku Remaja Sekalipun istilah remaja cukup dikenal dalam bahasa sehari-hari, terbukti cukup sukar untuk mendefinisikan secara tepat. Di Indonesia, penggunaan istilah “remaja” merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris “adolescent” yang berasal dari kata Latin yaitu “adolescere” yang berarti tumbuh atau tumbuh menuju ke tahap kematangan. 1 Tidak mudah untuk memberikan batasan usia remaja secara tegas dan berlaku untuk semua bidang kehidupan yang terkait. Hal ini tergambar dari ketidakpastian kapan tanda-tanda kedewasaan fisik itu muncul dan kapan pencapaian kedewasaan secara menyeluruh itu dapat diketahui. Pencapaian kematangan seksual sebagai tanda awal kedewasaan terjadi secara bervariasi. Selain itu, di Indonesia, secara hukum tidak ada kesatuan pandang mengenai batasan umur remaja. Menurut ketentuan pasal 330 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang termasuk kategori belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun. Sementara dalam Kitab Undang-Undang 1
Rogers, Dorothy. Adolescent and youth. Fifth Edition (London: Prentice Hall Inc., 1985),
hal. 5
90
Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa batasan umur tentang anak (belum dewasa), seperti pasal 45 dan 72 yang menggunakan batas usia 16 tahun; pasal 283, 17 tahun; dan pasal 287–293 memakai batas usia 15 tahun. Pembagian masa remaja menurut Konopka dan Pikunas2; sebagai berikut : 1.
Masa remaja awal, rentang usia 12 – 14 tahun.
2.
Masa remaja pertengahan, rentang usia 15 – 18 tahun.
3.
Masa remaja akhir, rentang usia 19 – 22 tahun.
Sedangkan menurut Sarlito W. Sarwono3 batasan usia khusus remaja Indonesia yaitu antara 11–24 tahun. Menurut Louvinger remaja akhir adalah usia 18–21 tahun4. Masa remaja merupakan peralihan dari anak-anak menuju dewasa, baik secara jasmani maupun rohani. Tahapan ini sangat menentukan bagi pembentukan pribadi remaja. Masa ini juga dikenal dengan istilah Pancaroba , karena si anak memasuki masa transisi dari periode anak ke periode dewasa, terjadi berbagai perubahan dri aspek fisik biologis, mental emosional dan psikososial yang cepat sehingga mempengaruhui kehidupan remaja sebagai individu maupun lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketidak siapan para remaja menghadapi perubahan yang terjadi akan menimbulkan kesulitan bagi remaja. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode perkembangan sebelum dan sesudahnya.5 Ciri-ciri tersebut sebagai berikut : 2
Lihat Konopka dan Pikunas dalam Rogers, Dorothy. Adolescent and youth. Fifth Edition (London: Prentice Hall Inc., 1985), hal. 6. 3
Sarwono, Sarlito W. Psikologi remaja. (Jakarta : Rajawali,1989), hal.14
4
Lihat Louvinger dalam Sprinthall, Norman A. & Andrew Collins, Adolescent Psychology : A Developmental view, First Edition, (New York : Newbery Award Records, Inc., 1984), hal.163. 5
Hurlock, E. B. Developmental psychology. Fifth edition. (India : McGraw-Hill, Inc., 1980), hal.223-224.
91
Masa remaja adalah periode yang penting. Walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang lebih penting karena akibat-akibat jangka panjangnya. Pada masa remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Sedangkan pada periode remaja keduanya sama penting. Masa remaja adalah periode peralihan. Beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, bukan lagi sebagai seorang anak namun belum diperlakukan sebagai seorang dewasa oleh masyarakat. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Masa remaja adalah periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan sikap dan perilaku juga berlangsung pesat. Ada lima perubahan yang dialami para remaja yang hampir bersifat universal, yaitu (1) perubahan fisik, minat dan pola perilaku terutama peran sosial, (2) meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, (3) perasaan labil yang kuat dikarenakan perubahan-perubahan pesat yang menyertai kematangan fisiologis, (4) perubahan sikap terhadap nilai-nilai, dan (5) lebih bersikap ambivalen. Masa remaja adalah periode bermasalah. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah pada masa remaja seringkali lebih sulit. Terdapat dua alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, sebagian besar masalah diselesaikan oleh orang tua dan para guru sehingga kebanyakan para remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja menginginkan rasa bebas sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan para guru.
92
Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka 6. Masa
remaja
adalah
masa
mencari
identitas.
Menurut
Erikson,
perkembangan identitas berhubungan dekat dengan tingkah laku antisosial. Seorang remaja yang tidak memiliki rasa identitas yang kuat (strong sense of identity) cenderung melakukan delikuensi7 Dari karakteristik umum masa remaja di atas, dapat dikatakan bahwa pada umumnya para remaja bersifat ingin bebas, mandiri, kritis, emosional (akibat dari perubahan fisiologis), bingung akan status sosial, ragu dalam menentukan peran sosial, labil, dan memiliki peluang besar untuk bertindak agresif.
Perkembangan Perilaku Hasil studi Pavlov mengenai refleks-refleks memberikan kontribusi keilmuan yang sangat berperan dalam psikologi dan merupakan dasar perkembangan aliran psikologi behaviorisme. Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleksrefleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) maka cukup dengan hanya mempelajari refleks-refleks. Pandangan ini dijadikan dasar pandangan pula oleh JB Watson di Amerika Serikat dalam aliran Behaviorisme.8 Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (Conditioned Reflex). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar bagi penelitian-penelitian
6
Hurlock, E. B. Developmental Psychology. Fifth edition. (India : McGraw-Hill, Inc., 1980), hal. 224. 7
Lihat Erikson dalam Adams, G.R. & Gullotta, T. Adolescent Life Experiences. (USA : Wadsworth, Inc, 1983), hal. 392. 8
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Cet.Ketiga, (Jakarta : Bulan Bintang, 2000), hal. 103-106
93
mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori belajar. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov dapat disimpulkan bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. J.B. Watson berpendapat bahwa psikologi haruslah menjadi ilmu yang objektif, karena itu ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya dapat diteliti melalui metode instropeksi. Ia berpendapat bahwa metode instropeksi tidak objektif dan ini berarti metode instropeksi tidak ilmiah. Acap kali Watson disebut sebagai “naive behaviorist”.9 Kenaifannya nampak misalnya pada pendapatnya bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Karena itu psikologi harus dibatasi dengan ketat pada penyelidikanpenyelidikan tentang tingkah laku nyata saja yang disebut overt behavior. Di samping itu, ada pula tingkah laku yang tidak nampak dari luar, tidak kelihatan/tersembunyi, seperti berpikir dan beremosi. Tingkah laku yang tidak nyata ini disebut covert behavior. Behaviorisme tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari tingkah laku tersembunyi ini, selama tingkah laku tersembunyi itu dapat diterangkan dalam gerakan-gerakan implisit (implicite movement). Berpikir misalnya menurut Watson tidak lain adalah gerak bicara yang implisit (implicite speech). Dalam bidang pendidikan pengaruh Watson juga cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku. Ia percaya bahwa dengan memberikan proses kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, ia bisa membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Pengaruh Watson yang lain adalah dalam psikoterapi, yaitu dengan digunakannya teknik 9
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Cet.Ketiga, (Jakarta : Bulan Bintang, 2000), hal.109-111.
94
kondisioning untuk menyembuhkan kelainan-kelainan tingkah laku. Misalnya seorang penderita obsesif kompulsif (salah satu jenis psikoneurose) yang tidak dapat menghentikan kebiasaannya mencuci tangannya berpuluh-puluh kali dalam sehari, diberikan psikoterapi dengan memberinya hukuman setiap kali ia hendak mencuci tangannya. Inti pandangan behaviorisme dari J.B. Watson adalah manusia bereaksi terhadap lingkungan (environment), karena itu, manusia belajar dari lingkungannya.10. Teori S-R dari Skinner dihasilkan melalui sebuah percobaan yang disebut proses kondisioning operant. Proses kondisioning operant (operant conditioning) sesungguhnya tidak jauh berbeda dari proses kondisioning klasik dari Pavlov. Dalam proses kondisioning operant terdapat juga stimulus tak berkondisi dan respon tak berkondisi (disebut tingkah laku reponden) serta stimulus berkondisi dan respon berkondisi.Dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati banyak sekali tingkah laku operant. Menurut B.F. Skinner perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsang atau stimulus). Ia mengatakan bahwa dengan memberikan ganjaran positif (positive reinforcement), suatu perilaku akan dihambat.Perbedaan antara proses belajar klasik dan proses belajar operant adalah adanya stimulus diskriminan tersebut yaitu yang membedakan antara kondisi dimana suatu perilaku akan berhasil secara efektif dan kondisi di mana perilaku tidak akan efektif. Tokoh lain yang berorientasi ke lingkungan adalah Albert Bandura tetapi berbeda dari Skinner yang sama sekali mengingkari faktor kesadaran (kognitif), Bandura berpendapat bahwa faktor kesadaran sangat penting. Jadi, sumber penyebab perilaku bukan hanya eksternal (faktor lingkungan), tetapi juga internal (faktor kognitif). Eksperimen Bandura yang dinamakan ”belajar tanpa mencoba” (no-trial learning) telah membuktikan bahwa proses belajar tidak hanya
10
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Tokoh-tokoh dan aliran-aliran Psikologi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), hal. 113-117.
95
tergantung pada faktor lingkungan, tetapi juga pada faktor kognitif. Penerapan dari teori Bandura tersebut antara lain terlihat dalam proses belajar sosial.11 Tokoh pandangan ekologik adalah Bronfenbrenner bependapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Faktor-faktor atau rangsangrangsang dari luar itu tersusun dalam lingkaran-lingkaran yang berlapis. 1.
Lingkaran pertama yang paling dekat dengan pribadi anak adalah
lingkaran mikro-sistem yang terdiri atas keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman sebaya, tetangga, dan seterusnya. 2.
Lingkaran kedua adalah interaksi antara faktor-faktor dalam lingkaran
pertama yang dinamakan meso-sistem. 3.
Lingkara ketiga adalah exo-sistem, yaitu lingkaran yang lebih luar lagi
yang tidak langsung menyentuh pribadi anak tetapi masih besar pengaruhnya (keluarga besar, penegak hukum, kantor pajak, dewan sekolah, puskesmas, Media massa, dan sebagainya. Lawrence Kohlberg (1966-1969) mengembangkan teori Piaget untuk menjelaskan perkembangan moral, emosi, dan seksual. Ia melanjutkan pendapat Piaget bahwa perkembangan sosial dan kepribadian terjadi melalui urut-urutan yang invariant dan tahap-tahap yang jelas.12 Dua faktor yang menentukan tahap perkembangan anak adalah (1) Tahap perkembangan kognitifnya dan (2) jenis pengalaman sosial yang dihadapi anak. Mengenai perkembangan moral, Kohlberg membaginya dalam 6 tahap:13 1.
Tahap taat dan takut hukuman. Tahap ini dialami pada usia di bawah
lima tahun. Prinsipnya adalah bahwa anak taat disebabkan oleh adanyan rasa takut hukuman. Sebagai contoh, seorang anak memahami bahwa tidak berdoa 11
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Tokoh-tokoh dan aliran-aliran Psikologi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), hal. 113-117. 12
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta : Bulan Bintang. 2000), hal. 101-103 13 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial (Jakarta : Balai Pustaka,. 2002), hal. 81-82
96
adalah perbuatan yang tidak baik karena ia bisa mendapat hukuman dari orang tuanya. 2.
Tahap egoisme instrumental dan imbalan. Tahap ini terjadi pada anak-
anak yang sudah besar. Anak melakukan perbuatan baik karena ingin memperoleh keuntungan atau imbalan yang menguntungkan dirinya sendiri. 3.
Tahap anak baik. Pada umumnya, tahap ini terjadi menjelang
memasuki masa remaja. Sebagai perumpamaan, anak berbuat baik karena mengharapkan pujian atau penghargaan sebagai anak baik, anak berdoa disebabkan dengan demikian ia akan mendapat pujian dan dihargai sebagai anak yang saleh. 4.
Tahap kekuasaan, peraturan, dan ketertiban. Terjadi pada masa remaja.
Perilaku bermoral dipahami sebagai perilaku yang sesuai dengan peraturan, ketertiban dan kedisplinan. Ini memerlukan kekuasaan untuk menegakkannya. 5.
Tahap kontrak sosial. Tahap ini terjadi pada usia dewasa. Kesadaran
berperilaku baik atau tidak baik, bermoral atau tidak bermoral dilakukan karena ada keterkaitan dan keterikatan dengan orang lain. 6.
Tahap Orientasi pada prinsip-prinsip moral. Tahap yang paling dewasa
dan paling matang. Pada tahap ini, prinsip moral dikaitankan dengan nilai-nilai yang lebih tinggi.
B. Motif dan Perkembangan Perilaku Agresif Motif Adapun yang dimaksud dengan motif adalah istilah generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarahkan ke berbagai macam perilaku yang mempunyai tujuan, semua pengaruh internal seperti kebutuhan (needs) yang
97
berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi, dan selera sosial yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut.13 Motif adalah sumber perilaku. Terdapat dua jenis motif berdasarkan asal motif,14 yakni: 1.
Motif biogenik, lahir dari proses fisiologik dalam tubuh yang bekerja
mempertahankan ekuilibrium dalam tubuh hingga batas-batas tertentu. Proses ini disebut “homeostatis”. 2.
Motif sosiogenik, timbul karena perkembangan individu dalam
tatanan sosialnya dan terbentuk karena proses interaksi sosial, nilai-nilai sosial, dan pranata-pranata. Pada dasarnya, motivasi adalah suatu construct, atau suatu ide yang digunakan oleh para psikolog dan ilmuwan lainnya untuk menjelaskan variasivariasi dalam suatu tingkah laku yang secara tidak nyata diakibatkan oleh situasi yang tersedia15 Morgan mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu keadaan dalam diri seseorang yang mendorong tingkah laku yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Dalam hal ini motivasi memiliki 3 aspek, yaitu (1) dorongan yang ada dalam diri organisme, (2) tingkah laku yang dimunculkan dan diarahkan oleh dorongan tersebut, tingkah laku tersebut.
16
serta (3) tujuan yang akan dicapai oleh
Pada umumnya, motivasi didefinisikan sebagai
“pengontrol” tingkah laku (the control of behavior); yang merupakan proses dimana tingkah laku diaktifkan dan diarahkan kepada suatu tujuan tertentu.17 13
Lihat M. Sherif & C.W Sherif dalam Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta : Balai Pustaka. 2002), hal. 45 14
Lihat M. Sherif & C.W Sherif dalam Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta : Balai Pustaka. 2002), hal. 46 15
Atwater, E., Psychology of Adjustment, Seconnd Edition, (USA : Printice-Hall, Inc, 1983), hal. 23. 16
Morgan, Clifford T . , Richard King & Nancy Robinson. Introduction to psychology. (Tokyo : McGraw-Hill Book Co.1984), hal. 222-223. 17
Buck, R. Human Motivation and Emotion. Second Edition. (USA. Jhon Wiley & Sons, Inc, 1988), hal.5
98
Sementara itu, para tokoh interaksionis memandang motivasi sebagai suatu potensi untuk mengaktifkan dan mengarahkan tingkah laku yang mana sudah menjadi bagian dalam sistem kontrol tingkah laku.18 Atkinson19 menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kekuatan yang mampu memunculkan kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku sebagai upaya mencapai suatu tujuan. Sementara Carlson mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu kekuatan pendorong yang menggerakkan manusia melakukan suatu tindakan khusus; Secara lebih khusus lagi, motivasi adalah suatu kecenderungan untuk memunculkan suatu bentuk tingkah laku yang menyebabkan seseorang melakukan kontak dengan suatu stimulus yang menarik baginya (reinforcer), atau justru menghindar dari suatu stimulus yang tidak menarik baginya (punisher).20 Selain itu, motivasi juga didefinisikan sebagai suatu proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung namun dapat mengaktifkan, mengarahkan, dan mempertahankan tingkah laku.21 Para psikolog mempertanyakan apakah motivasi selalu datang dari dalam diri sebagaimana pandangan teori dorongan (the drive theory) apakah muncul karena rangsangan eksternal. Menurut Atwater, kekuatan-kekuatan yang ada di dalam diri (the inner forces) adalah aspek dorong dari motivasi (the push aspects) dan pengaruh lingkungan (the environmental influences) adalah aspek tarik (the pull aspects)dari motivasi.22 Atwater juga mengemukakan bahwa berdasarkan klasifikasi populer, motif dibedakan atas motif primer dan motif sekunder. Motif primer adalah motif
18
Buck, R. Human Motivation and Emotion. Second Edition. (USA. Jhon Wiley & Sons, Inc, 1988), hal.5 19
Atkinson, J.W. (ed). An Inteoduction to Motivation. Princeton : (d. Van Nostraand Company. Inc. 1964), hal.20. 20
Carlson, N.R. Discovering Psvchology. (USA : Allyn and Bacon, Inc, 1988), hal.358.
21
Baron, R.A. Psychology. Second Edition. (USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc, 1992), hal. 362. 22
Atwater, E., Psychology of Adjustment, Seconnd Edition, (USA : Printice-Hall, Inc, 1983), hal. 25
99
bawaan lahir sedangkan motif sekunder adalah motif yang diperoleh melalui proses belajar.23 Para psikolog memandang tingkah laku terbentuk oleh insentif. Insentif adalah obyek atau kondisi dilingkungan yang “menarik” atau “menolak” kita. Gelar sarjana dan pekerjaan yang menjanjikan merupakan insentif positif yang menarik kita mencapai obyek-obyek tersebut. Kesepian dan kegagalan adalah insentif negatif yang menolak kita sehingga kita melakukan tindakan menghindaar dari obyek-obyek tersebut. Dalam kaitan dengan tingkah laku, terdapat beberapa teori motivasi yang berbeda. Drive Theory, yaitu suatu teori motivasi yang menyatakan bahwa tingkah laku manusia pada dsarnya “didorong” dari dalam oleh kekuatankekuatan yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan biologis yang mendasar seperti kebutuhan akan makanan, air dan oksigen dalam Baron.24 Jadi, teori ini menghubungkan motivasi dengan prinsip homeostatis. Sedangkan Expectancy Theory, yaitu suatu teori motivasi yang menjelaskan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya “ditarik” dari luar oleh harapan-harapan manusia untuk memperoleh akibat-akibat yang diinginkannya. Ini berarti bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh harapannya bahwa tindakannya sekarang akan menghasilkan akibat-akibat yang bervariasi di kemudian hari. Akibat-akibat yang diinginkan dari melakukan suatu tingkah laku disebut sebagai insentif. Teori ini melibatkan peranan besar komponen kognisi yang akan menjawab tentang apa yang akan dipikirkan atau dipersepsikan tentang suatu obyek. Dengan demikian, teori ini menggunakan pendekatan kognitif menurut Baron25.
23
Atwater, E., Psychology of Adjustment, Seconnd Edition, (USA : Printice-Hall, Inc, 1983), hal. 25 24
Baron, R.A. Psychology. Second Edition. (USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc, 1992), hal. 363. 25
Baron, R.A. Psychology. Second Edition. (USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc, 1992), hal. 365.
100
Setiap tingkah laku yang dimunculkan, yang dipertahankan dan diarahkan kepada suatu tujuan disebut tingkah laku termotivasi.26 Sebagian besar para ahli psikologi percaya bahwa tingkah laku agresif adalah suatu tingkah laku termotivasi. Hal ini disebabkan oleh adanya rangkaian rangsangan eksternal yang mengakibatkan munculnya agresi. Dengan perkataan lain, tingkah laku agresif seseorang lebih sering ditarik keluar oleh kekuatan biologis.27 Ini bukan berarti bahwa agresi tidak mempunyai dasar biologis atau genetik melainkan memperlihatkan bahwa tingkah laku agresi lebih berasal dari faktor-faktor lingkungan sosial. Motivasi agresif yaitu hasrat untuk mendatangkan bahaya pada makhluk lain, memainkan peranan yang sangat umum didalam berbagai peristiwa agresi yang muncul dalam bentuk-bentuk nyata dimana tingkah laku diarahkan kepada tujuan untuk melukai mahluk lain yang berupaya untuk menghindari perlakuan agresif tersebut. Faktor-faktor utama penyebab motivasi agresif adalah frustrasi, provokasi langsung dari pihak lain, dan afeksi negatif yang kesemuanya disebabkan oleh kondisi-kondisi situasional.28
Perkembangan Perilaku Agresif Definisi Agresi dari Berbagai Sudut Pandang. Para ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain.29 Dalam pengertian yang 26
Bootzin R.R. et al. Psychology Today an Introduction. Sixth Edition. USA. Radom House, Inc, 1986. hal. 299; Desiderato, O. et al. Investigating behavior principles of psychology, USA: Harper & Row, Publishers, Inc, 1976, hal. 329 27
Baron, R.A. Psychology. Second Edition. (USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc, 1992), hal. 378. 28
Baron, R.A. Psychology. Second Edition. (USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc, 1992), hal.379. 29
Berkowitz, L. Aggression a Social Psychological Analysis. New York : McGraw-Hill, Inc, 1962; Berkowitz, L. The Concept of Aggressive Drive. In : L. Berkowitz (Ed). Advances in Experimental Social psychology. Vol. 2. New York ; Academic press,1965; Feshbach, S. Aggrassion. In : P.H. Mussen (ed). Carmichael’s Manual of Child Psychology. Vol. 2. New York :
101
lebih luas, agresi mencakup tingkah laku melanggar tabu dan hukum yang berlaku dan menolak konsensus kelompok.30
Agresi sebagai suatu Naluri. Freud berpendapat bahwa agresi adalah suatu naluri dasar yakni suatu komponen dasar dari sifat manusia yaitu menggambarkan Thanatos atau naluri kematian (death instinct) sebagai suatu faktor yang bertanggung jawab atas munculnya energi agresif pada semua manusia..31 Di samping itu, Freud mempertahankan suatu pandangan “hydraulic” mengenai agresi yaitu rasa permusuhan (hostile) yang merupakan energi agresif akan meningkat dan mengumpul sampai pada suatu titik kritis yang kemudian akan ditumpahkan melalui beberapa bentuk tindakan kekerasan seperti perbuatan merusak.32 Ahli Etologi, Konrad Lorenz menggambarkan agresi sebagai suatu naluri berkelahi (fighting instinct) yang dipicu oleh isyarat dari lingkungan yang dapat “merangsang reaksi” 1966, 1974 dalam Feld.33 Dalam bukunya “African Genesis”, Robert Ardrey telah melangkah sedemikian jauh dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa umat manusia “adalah predator yang naluri alamiahnya adalah membunuh dengan senjata” 1967 dalam Shaffer.34 Sekalipun ada beberapa perbedaan penting antara pandangan psikoanalisis dan etologi mengenai agresi, kedua aliran pemikiran itu berpendapat bahwa tingkah laku
Jhon Wiley & Sons, Inc. 1970; Bandura, A. & H. R. Walters, Social Learning and Personality Development. New York : Holt, Rinehart & Winson, Inc, 1963; Bandura, A. Aggression a Social Learning Analisis. Englewood : Printice-Hall, Inc, 1973. 30
Kornatd, H. J. L. H. Eckensberger & W. B. Emminghaus. Crosscultural Research On Motivation And Its Contribution To A General Theory Of Motivation. Beston : Allyn and Bacon. 1980. 31
Hjelle, L.A. Personality Theories. Third Edition. Singapore: (McGraw Hill, Inc. 1992),
hal.92. 32
Shaffer, Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal.326 33
Feldman. R. S. Understanding Psychology. Second Edition. (USA : McGraw-Hall Publishing Company. 1990), hal.670. 34
Shaffer. Social & Personallity Development. Third Edition. USA : Wadsworth, Inc, 1994, hal.326.
102
agresif merupakan hasil dari kecenderungan bawaan lahir untuk melakukan tindakan kekerasan (violence). Pandangan Behaviorist tentang Agresi. Kebanyakan ahli ilmu perilaku maupun ahli teori belajar menolak penjelasan naluriah untuk tindakan kekerasan dan perusakan. Mereka menganggap bahwa agresi manusia lebih merupakan suatu kategori tingkah laku tertentu yang digerakkan oleh tujuan dari dalam diri (goal-driven behavior) dalam Shaffer.35 Di antara berbagai definisi “behavioral” mengenai agresi yang paling sering dikutip adalah definisi dari Arnold Buss yang mendefinisikan agresi sebagai setiap respon atau tingkah laku yang mendatangkan rangsangan berbahaya kepada organisme lain dalam Durkin36 dan di dalam Shaffer.37 Definisi Bruss lebih menekankan “akibat-akibat” dari suatu tindakan daripada “maksud” atau kesengajaan dari pelaku. Oleh karena itu, menurut
Buss,
setiap
tindakan
yang
menyebabkan
rasa
sakit
atau
kesusahan/penderitaan kepada makhluk lain harus dianggap tingkah laku agresif.38 Dalam pola hubungan antara “akibat” dan “maksud”, para behaviorist mengandalkan “definisi kesengajaan dari agresi” yang mengandung arti bahwa agresi adalah setiap bentuk tingkah laku yang dimaksudkan untuk merugikan atau melukai mahluk lain di mana mahluk lain itu termotivasi untuk menghindari perlakuan semacam itu.39
35
Shaffer. Social & Personallity Development. Third Edition. USA : Wadsworth, Inc, 1994, hal.326. 36
Durkin, K. Development Social Psychology, Great Britain : (T.J. Press Ltd. 1995),
hal.393 37
Shaffer, D. R. Developmental psichology. Second Edition. (USA: Wadsworth, Inc. 1989), hal.511. 38
Shaffer. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal.327 39
Baron, R.A. Psychology. Second Edition. USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc, 1992; Shaffer, D. R. Developmental psichology. Second Edition. (USA: Wadsworth, Inc. 1989), hal.511.
103
Agresi sebagai Suatu Penilaian Sosial. Bandura40 mengajukan argumen yang meyakinkan bahwa “agresi” sebenarnya hanyalah suatu “label sosial” yang diberikan oleh kebanyakan orang. Penafsiran seseorang tentang apakah tindakan tersebut dapat digolongkan agresif atau non-agresif tergantung pada berbagai faktor sosial, perorangan maupun situasional. Menembak seekor rusa dapat dilihat sebagai jauh lebih keras dan agresif oleh seorang pecinta binatang dibandingkan oleh seorang pemakan daging yang mempunyai kartu anggota Perhimpunan Penembak Nasional, Pergulatan di antara anak-anak mungkin sekali diberi label agresif kalau seseorang terluka dalam proses itu.41 Ringkasnya, agresi dalam arti luas adalah suatu penilaian sosial yang dibuat untuk tingkah laku yang kita amati dan alami yang dianggap menyakitkan atau merusak. Pandangan Psikoanalisis Freud memandang bahwa energi yang berasal dari makanan senantiasa diubah menjadi energi agresif. Dorongan-dorongan agresif ini harus diekspresikan secara periodik untuk mencegah agar tidak membubung semakin tinggi sampai ke tingkah yang membahayakan. Dengan perkataan lain, Freud mengajukan hipotesis katarsis yang menyatakan bahwa dorongan-dorongan agresif adalah berkurang bilamana orang melakukan tindakan agresif.42 Selain itu, Freud menjelaskan bahwa energi agresif dapat ditumpahkan dengan cara yang bisa diterima masyarakat yaitu melalui kerja keras atau olah raga, dan dengan cara yang kurang diterima masyarakat seperti menghina orang lain (agresi verbal), berkelahi atau merusak barang orang lain (agresi fisik).43 Pendapat Freud yang menarik ialah bahwa dorongan-dorongan agresif kadang40
Bandura, A. & H. R. Walters, Social Learning and Personality Development. New York : Holt, Rinehart & Winson, Inc, 1963 41
Shaffer. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal.328. 42
Shaffer, D. R. Developmental psichology. Second Edition. USA: Wadsworth, Inc. 1989,
hal.517. 43
Shaffer, D.R,. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 328; Feldman. R. S. Understanding Psychology. Scond Edition. (USA : McGrawHall Publishing Company. 1990), hal. 670
104
kadang ditujukan kepada diri sendiri, yang mengakibatkan suatu bentuk penghukuman-diri, merusak tubuh sendiri, atau bahkan bunuh diri. Para ahli teori psikoanalisis kontemporer tetap berpikir mengenai agresi sebagai suatu dorongan naluriah (instinctual drive) tetapi menolak pendapat Freud bahwa seseorang manusia mempunyai suatu naluri kematian yang tertuju pada diri sendiri. Menurut mereka, suatu kecenderungan naluriah untuk melakukan agresi terjadi apabila seseorang mengalami frustrasi dalam usaha memenuhi kebutuhan atau menghadapi suatu ancaman lain yang menghalangi
berfungsinya ego dalam
Feshbach44 dan dalam Shaffer.45 Dengan cara pandang seperti itu, dorongandorongan agresif bersifat adaptif. Sehubungan dengan itu, mereka berpendapat bahwa dorongan-dorongan agresif membantu seseorang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, sehingga berguna untuk memperkembangkan kehidupan dan bukan menghancurkan diri. Pandangan Etologi. Konrad Lorenz mengajukan argumen bahwa manusia dan binatang mempunyai suatu basic fighting instinct yang ditujukan terhadap anggota dari spesies yang sama Konrad 1996 dalam Shaffer,46 dan dalam Feldman.47 Lorenz juga berpendapat bahwa naluri agresif memberikan sumbangan yang besar bagi adaptasi, evolusi dan kelangsungan hidup serta memajukan persaingan yang menurutnya penting bagi seleksi alamiah (1966 dalam Middlebrook.48 Naluri agresif mempunyai fungsi yang penting untuk
44
Feshbach, S. Aggrassion. In : P.H. Mussen (ed). Carmichael’s Manual of Child Psychology. Vol. 2. New York : Jhon Wiley & Sons, Inc. 1970 45
Shaffer, 1994. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 328. 46
Shaffer, 1994. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 328. 47
Feldman. R. S. Understanding Psychology. Scond Edition. (USA : McGraw-Hall Publishing Company. 1990), hal. 670. 48
Middlebrook, P. N. Social Psychology and modern life. (New York : Alfred A Knopf. 1980), hal. 280
105
melindungi daerahnya dari serangan musuh, mempertahankan anak dalam hubungannya dengan seleksi kekuatan alami serta reproduksi. Seperti para ahli teori psikoanalisis, Lorenz memandang agresi sebagai suatu sistem hidrolik yang membangkitkan energinya sendiri. Lorenz juga berpendapat bahwa dorongan-dorongan agresif terus mengumpul sampai diredakan oleh suatu rangsangan pereda (releasing stimuli) yang tepat, proses ini dikenal dengan konsep katarsis. Ini menunjukkan bahwa model Freudian dan etologis tentang agresi memberi penekanan pada pentingnya katarsis menurut Carlson.49 Tambahan pula, menurut Lorenz, manusia membunuh para anggota spesiesnya sendiri sebab naluri agresifnya kurang terkendali. Tidak adanya hambatan agresi dan berkembangnya senjata-senjata pemusnah massal akhirakhir ini, menyajikan suatu tantangan
penting bagi Shaffer.50 Ardrey
memandang agresi sebagai suatu akibat dari kekuatan-kekuatan pembawaan lahir (innate forces) yang mana kekuatan-kekuatan dimaksud merupakan produk dari adaptasi evolusioner pada tahun1970 dalam Durkin.51 Pandangan Teori Frustrasi – Agresi. Dollard dkk mengajukan pendapat bahwa agresi tidak disebabkan oleh naluri tetapi oleh frustrasi.52 Mereka mengajukan hipotesis frustrasi-agresi yang menganggap bahwa frustrasi selalu mengarahkan kepada beberapa bentuk tingkah laku agresif dan tingkah laku agresif selalu merupakan akibat dari berbagai macam fustrasi dalam
49
Carlson, N.R. Discovering Psvchology. (USA : Allyn and Bacon, Inc), 1988,hal 485.
50
Shaffer, DR, Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 330 51
Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995),
hal.398. 52
Lihat Dollard Dkk dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995), hal.401.
106
Feldman.53 Dollard mendefinisikan frustrasi sebagai hambatan terhadap setiap bentuk tingkah laku yang mengarah pada pencapaian tujuan.54 Berdasarkan observasi yang dilakukan, Sears dan Feshbach menemukan adanya hubungan antara frustrasi dan kemarahan. Anak-anak yang marah cenderung melampiaskan kemarahannya dengan memukuli anggota tubuhnya sendiri secara sembarangan, dan seringkali menyerang orang lain, binatang, atau benda-benda mati dalam proses itu. Pengamatan ini menyebabkan Sears dan Feshbach menarik kesimpulan bahwa selama dua tahun pertama kehidupan seseorang, “frustrasi menghasilkan rangsangan untuk memukul ketimbang menyakiti (to hit rather than to hurt)” dalam Shaffer.55 Sears percaya bahwa seorang anak belajar menyerang pembuat frustrasi (frustrator) ketika ia menemukan bahwa serangan itu meringankan frustrasi.56 Tetapi serangan itu mempunyai akibat lain yang penting: serangan itu menghasilkan pertanda kesakitan dan penderitaan yang dirasakan pembuat frustrasi. Kalau anak itu menghubungkan kesakitan pembuat frustrasi dengan akibat-akibat positif yang timbul dari dihilangkannya frustrasi, isyarat-isyarat kesakitan akan menjadi ciri dari penguat kedua, dan si anak akan mempunyai suatu motif untuk menyakiti orang lain (dorongan agresi-permusuhan). Revisi Berkowitz terhadap Hipotesis Frustrasi-Agresi. Seperti Robert Sears, Berkowitz percaya bahwa frustrasi hanya menimbulkan suatu “kesediaan” (readiness) untuk melakukan tindakan agresif, yang dapat kita anggap sebagai 53
Feldman. R. S. Understanding Psychology. Scond Edition. USA : McGraw-Hall Publishing Company. 1990, hal. 671. 54
Bootzin R.R. et al. Psychology Today an Introduction. Sixth Edition. USA. Radom House, Inc, 1986, hal.65 55
Shaffer, D. R. Developmental psichology. Second Edition. (USA: Wadsworth, Inc. 1989), hal. 331. 56
Shaffer, D. R. Developmental psichology. Second Edition. (USA: Wadsworth, Inc. 1989), hal. 331.
107
kemarahan dalam Plotnik57; dan dalam Feldman.58 Tetapi, ia menambahkan bahwa sebab-sebab lain yang berbeda, misalnya serangan oleh seseorang lain dan kebiasaan agresif yang sebelumnya telah diperoleh, juga dapat meningkatkan “kesediaan” orang untuk melakukan agresi. Akhirnya, Berkowitz mengemukakan bahwa seorang yang sedang marah, yang dalam keadaan “bersedia untuk melakukan agresi”, tidak harus selalu melakukan suatu tingkah laku agresif. Teori Berkowitz membuat pernyataan bahwa isyarat agresif (agressive cues) harus ada sebelum suatu tindak agresi akan terjadi dalam Feldman.59
Namun kemudian Berkowitz agak mengubah
pandangannya untuk memberi kemungkinan bahwa seseorang yang sangat marah dapat bertingkah laku agrseif sekalipun isyarat-isyarat agresif tidak ada.60 Secara keseluruhan, hipotesis frustrasi-agresi yang telah direvisi oleh Berkowitz memandang tingkah laku agresif bersumber dari suatu kombinasi dorongan-dorongan internal dan stimuli eksternal.61 Pandangan Teori Belajar. Para ahli teori belajar menekankan pada bagaimana kondisi lingkungan dan sosial dapat “mengajarkan” individu-individu menjadi agresif. Agresi tidak dianggap sebagai suatu yang tidak dapat dihindari, melainkan dianggap sebagai suatu respon yang dipelajari yang dapat dimengerti berkenaan dengan hadiah dan hukuman.62 Pandangan teori belajar lebih
57
Plotnik, R. & Mollenauer, S. Introduction to psychology.( USA: Newberry Award Records, Inc. 1986), hal. 597. 58
Feldman. R. S. Understanding Psychology. Scond Edition. USA : McGraw-Hall Publishing Company. 1990, hal. 672. 59
Feldman. R. S. Understanding Psychology. Scond Edition. (USA : McGraw-Hall Publishing Company. 1990), hal. 672. 60
Shaffer, DR, Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 332. 61
Shaffer, D.R, Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 333. 62
Feldman. R. S. Understanding Psychology. Scond Edition. (USA : McGraw-Hall Publishing Company. 1990), hal. 672.
108
menekankan faktor eksternal atau situasional seperti penguatan (reinforcement). Proses belajar merupakan fungsi dari luar yang mempengaruhi tingkah laku. Fungsi dari luar dalam arti rangsangan eksternal adalah lingkungan atau pengalaman. Pandangan proses belajar melalui kondisioning klasik yang dipelopori oleh Pavlov menjelaskan bahwa penguatan yang dilakukan berulang kali akan menghasikan respon atau tingkah laku. Berdasarkan teori belajar tersebut, maka faktor latihan atau pemberian rangsang berulang kali dan disertai penguatan merupakan hal yang mendasar dalam pembentukan tingkah laku. Law of effect Thorndike menyatakan bahwa tingkah laku yang mendatangkan kepuasan cenderung akan diulang dan tingkah laku yang mendatangkan kekecewaan cenderung akan tidak diulang pada tahun 1913 dalam Achenbach.63 Pernyataan ini menjelaskan bahwa tingkah laku agresif yang mendatangkan hadiah cenderung diulang. Dalam kaitan dengan kehidupan manusia, penguatan pada tingkah laku manusia melibatkan penerimaan atau kasih sayang. Skinner dengan operant-conditioningnya menekankan pada pentingnya tingkah laku (agresif) yang menimbulkan penguatan sehingga terbentuk antara tingkah laku (agresif) dengan hadiah. Artinya individu akan cenderung mengulangi tingkah laku agresifnya apabila tingkah laku agresif tersebut “mendatangkan hadiah” misalnya pujian.64 Teori Belajar Sosial. Dalam usaha menjelaskan agresi manusia, para ahli teori sosial belajar menolak penjelasan dengan menggunakan terminologi biologis dan dorongan-dorongan (drives), mereka lebih optimis dengan penekanan prinsipal pada sebab-sebab lingkungan (environmental causes) –
63
Achenbach, T.M. Developmental psychopathology. Second Edition. (New York : Jhon Wiley & Sons, Inc, 1982), hal. 330. 64
Plotnik, R. & Mollenauer, S. Introduction to psychology. (USA: Newberry Award Records, Inc. 1986), hal. 183.
109
faktor-faktor yang dapat dimodifikasi.65 Teori Bandura merupakan model pertama yang menekankan pengaruh kognitif pada agresi yakni melalui pengamatan dan pengertian.66 Teori itu memperlakukan agresi sebagai suatu jenis tingkah laku sosial yang diperoleh lewat proses yang sama sebagaimana jenis tingkah laku yang lain. Selain, memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang menimbulkan agresi, Bandura dkk juga menjelaskan bagaimana tingkah laku agresif diperoleh dan dipertahankan.67 Menurut Bandura, tingkah laku agresif diperoleh melalui dua cara.68 Metoda pertama dan terpenting adalah belajar lewat pengamatan (observational learning) yaitu suatu proses kognitif dimana anak-anak hadir dan mengingat tingkah laku agresif yang mereka lihat diakukan oleh anak-anak lain. Dari hasil eksperimen, Bandura menjelaskan bahwa anak-anak yang menyaksikan seorang model dewasa memukuli suatu boneka Bobo tampak jelas mempelajari tingkah laku agresif yang mereka amati dan selanjutnya mereka akan melakukan tindakan yang sama terhadap boneka Bobo – selama mereka tidak melihat model itu dihukum karena agresi tersebut.69 Adapun metode kedua adalah melalui pengalaman langsung (direct experience). Anak yang memperoleh penguatan (reinforcement) untuk tingkah laku agresifnya, akan lebih mungkin melakukan agresi di masa datang. Dari hasil penelitian oleh Ivar Lovaas ditemukan bahwa anak-anak yang diberi “penguatan” untuk
satu
jenis
agresi
menjadi
lebih
bersedia/berkeinginan
untuk
65
Lihat Bandura dan Eron dalam Durkin, K. Development Social Psychology, Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995, hal. 403. 66
Shaffer, D.R,Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 333. 67
Plotnik, R. & Mollenauer, S. Introduction to psychology. (USA: Newberry Award Records, Inc. 1986), hal. 594. 68
Shaffer, D. R.. Social & Personallity Development. Third Edition. USA:Wadsworth, Inc, 1994, hal. 333 69
Plotnik, R. & Mollenauer, S. Introduction to psychology. (USA: Newberry Award Records, Inc. 1986), hal. 594.
110
memperlihatkan bentuk-bentuk agresi yang berhubungan) di kemudian hari.
70
lain (yang
mungkin tidak
Sementara itu, dalam suatu eksperimen, Slaby
dan Crowley menemukan bahwa penguatan agresi verbal tidak hanya meningkatkan kemungkinan bahwa agresi verbal seorang anak akan diikuti oleh agresi fisik.71 Secara keseluruhan, Bandura menyatakan bahwa kebiasaan agresi seringkali dipertahankan terus, sebab kebiasaan itu (1) merupakan sarana bagi terpenuhinya tujuan-tujuan non-agresif, (2) berguna sebagai sarana untuk mengakhiri tingkah laku orang lain yang berbahaya, (3) secara sosial diberi dukungan oleh teman sebaya yang agresif, dan (4) secara intrinsik menguntungkan pelaku agresi. Tambahan pula, menurut Bandura ada tiga sumber tingkah laku agresif yaitu (1) agresi yang dicontohkan dalam keluarga, (2) subkultur di lingkungan mana seseorang hidup, dan (3) media massa..72
C. Praktik Pengasuhan Anak (Child Rearing Practices) Dalam perkembangan tingkah laku, tampak jelas bahwa lingkungan hidup (ecological environment) anak adalah faktor yang sangat penting, sebagai sumber dari munculnya berbagai perangsangan (stimulation). Lingkungan hidup anak menurut
Bronfenbrenner73
berpengaruh
secara
bertingkat,
yakni
dari
microsystem, dimana orang tua atau benda secara langsung mempengaruhi anak, kemudian mesosystem dimana lingkungan lebih luas, menghubungkan antara rumah dengan kehidupan sosial yang lebih luas misalnya sekolah yang 70
Shaffer, D.R. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 333. 71
Clarazio, H. F. & McCoy, G.F. Behavior Disorder in Children, New York : Harper & Roe Publisher, 1983, hal. 69. 72
Durkin, K. Development Social Psychology, Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995, hal.
403. 73
Gunarsa, Child and Adollescant Development in Urban Area : Anticipation to the future challenge and problems. Jakarta. 1992.
111
mempengaruhi anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Selanjutnya exosystem yakni latar belakang kekhususan yang dimiliki oleh orang tuanya. Keluarga terutama orang tua adalah lingkungan yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak, karena keluarga adalah tempat dimana relasi–relasi kemanusiaan dicontohkan, kepribadian–kepribadian dibentuk, tujuan–tujuan dan pandangan–pandangan hidup di bentuk. Peranan dan fungsi keluarga menjadi bagian yang strtegis dalam usaha memberikan perangsangan yang baik, positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja. Anak yang baru dilahirkan diibaratkan sebagai “blank slate” (batu tulis) yang masih kosong dan bagaimana jadinya batu tulis tersebut di kemudian hari, bergantung pada orang yang akan menulisinya.74 Oleh karena itu, bagaimana kepribadian anak di kemudian hari adalah bergantung pada bagaimana ia berkembang dan diperkembangkan oleh lingkungan hidupnya. Dan lingkungan hidup yang menjadi fokus utama adalah orang tua. Sejak seorang bayi lahir, maka ia akan diasuh oleh ibu dan ayah dimana mereka merupakan “agen” yang akan memperkenalkan anak kepada lingkungan dekatnya. Proses sosialisasi anak dimulai ketika orang tuamemberikan perangsangan (stimulasi) melalui berbagai corak komunikasi kepada anak serta berusaha memberi kemampuan kepada anak agar ia lebih peka pada rangsangan– rangsangan sosial, dan mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan olehnya. Orang tua mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan kepribadian anak, termasuk hasil praktik pengasuhan anak yang diterapkan orang tua kepada anak–anaknya. Dalam praktik pengasuhan anak, sebagai proses interaksi antara individu dan lingkungan, segala macam bentuk perlakuan atau sikap baik dari ibu maupun ayah terhadap anak yang didasari oleh nilai dan tujuan keluarga, dapat
74
Miller, P. H. Theories of developmental psychology. Second Edition. USA : W. H. Freeman and Company. 1989, hal. 25.
112
mempengaruhi perkembangan motif agresi yang ada di dalam diri anak Menurut Symonds75, esensi hubungan orang tua dengan anak sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam mengasuh anak, bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan orang tua terhadap anak. Hal ini tercermin pada praktik pengasuhan anak yakni suatu kecenderungan cara-cara yang dipilih dan diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Jadi praktik pengasuhan anak merupakan pola interaksi antara orang tua dengan anak yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Sikap orang tua akan mempengaruhi cara perlakuan orang tua terhadap anak dan sebaliknya akan mempengaruhi sikap anak terhadap orang tua serta bagaimana anak bertingkah laku. Pada dasarnya hubungan orang tua dan anak bergantung pada sikap orang tua. Banyak ahli psikologi perkembangan berpendapat
bahwa praktik
pengasuhan anak adalah salah satu perkembangan yang paling sulit yang dihadapi oleh orang dewasa padahal praktik pengasuhan anak memainkan peranan penting dalam pembentukkan tingkah laku dan kepribadian anak.76 Setelah melakukan studi tentang praktik pengasuhan anak dari berbagai budaya, Robert Le Vine menyimpulkan bahwa keluarga-keluarga dalam semua masyarakat mempunyai tiga tujuan utama dalam mengasuh anak: (1) the survival goal yaitu meningkatkan kesehatan fisik dan mengupayakan kelangsungan hidup anak agar anak memiliki usia harapan hidup yang cukup untuk meneruskan keturunan, (2) the economic goal yaitu mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan agar anak mampu mandiri secara ekonomis pada waktu dewasa, dan (3) the self–actualization goal, yaitu mengembangkan
75
Jhonson, R.C. & Medinnus G.R. Child Psychology Behaviour And Development. Newyork : JHON Wiley & Sons. 1974, hal. 227. 76
Zanden, J. W. V. Human Development. Fifth Edition. USA: Better Graphics, Inc. 1993,
hal. 268.
113
kemampuan untuk memaksimalkan nilai-nilai budaya lainyya seperti moral, agama, prestai, kekayaan, dan martabat.77 Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para psikolog tentang praktik pengasuhan anak dalam kurun waktu lima puluh tahun (19251975) ditemukan adanya tiga dimensi di dalam praktik pengasuhan anak yaitu: (1) kehangatan vs permusuhan dari hubungan orang tua dengan anak (acceptance-rejection); (2) pengawasan vs kebebasan dari pendekatan displin (restrictiveness-permissiveness); (3) konsisten vs ketidakkonsistenan yang diperlihatkan orang tua dalam penerapan displin.78
Peranan Nilai-nilai dalam Praktik Pengasuhan Anak Menurut Clyde Kluckhohn79, suatu nilai adalah suatu konsepsi baik secara eksplisit maupun implisit merupakan karakter khusus dari seorang individu atau sekelompok orang yang berkaitan dengan pemilihan cara, alat atau tujuan suatu tindakan. Sementara itu, Milton Rokeach80 mengemukakan pendapat bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang dihayati. Keyakinan ini merupakan pernyataan tentang tingkah laku yang menurut perorangan atau sekelompok orang adalah tingkah laku yang disukai atau tidak disukai. Sedangkan menurut Dalton E. McFarland81 nilai adalah kombinasi antara ide dan sikap yang mereflesikan suatu tingkatan pilihan berkenaan dengan prioritas-prioritas, motif-motif perorangan atau orang banyak.
77
Shaffer, D.R. Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 443 78 Zanden, J. W. V. Human Development. Fifth Edition. USA: Better Graphics, Inc. 1993, hal. 268 79 Parson, T. Socialstructure And Personallity. London : The Free Press, CollierMcMillan, Ltn. 1970, hal. 395 80
Rokeach, M. The nature of human values. New York : The Free Press. 1973, hal. 5
81
McFarland, D. E. Management and society, an instructional framework. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1982, hal. 173
114
Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan bahwa ada tiga dimensi yang berbeda dalam penjabaran tersebut. Pertama, menunjukkan nilai adalah seperangkat pengertian tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting atau apa yang lebih baik atau lebih benar bagi seseorang. Kedua, menunjukkan bagaimana terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai pada seseorang yakni tergantung pada keadaan fisik maupun psikis orang tersebut yang diperoleh melalui pengalaman. Ketiga, menunjukkan bagaimana pengaruh nilai terhadap tingkah laku seseorang. Nilai memberikan arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang karena nilai mempunyai elemen-elemen pengarahan. Selain itu, nilai juga menjadi pedoman dalam memilih tingkah laku yang disukai dan tidak disukai. Dalam praktik pengasuhan anak, hubungan orang tua dan anak dipedomani oleh kebutuhan dan tujuan pengasuhan anak. Dengan demikian, peranan orang tua tidak terlepas dari nilai-nilai yang dianut orang tua.82 Hal ini berarti bahwa nilai-nilai orang tua menjadi pedoman yang mengarahkan sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak. Dengan perkataan lain, nilai-nilai orang tua dimanifestasikan di dalam praktik pengasuhan anak.
Praktik Pengasuhan oleh Ibu dan Praktik Pengasuhan oleh Ayah Kedua orang tua yaitu ibu dan ayah memberikan sumbangan yang unik bagi perkembangan anak. Dalam cara bersikap dan memperlakukan anak, ibu dan ayah memiliki kekhasannya masing-masing. Mereka seringkali menggunakan pendekatan yang berbeda terhadap anak. Adanya perbedaan ide antara ibu dan ayah dalam menentukan cara terbaik mengasuh anak, mencerminkan perbedaaan karakteristik dasar gender yakni perbedaan laki-laki dan perempuan.83 Semakin 82
Durkin, K. Development Social Psychology, Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995, hal.
116 83
Thevenin, T., Mothering and Fathering : the Gender differences in child rearing, New York : Avery Publishing Group, Inc., 1993, hal. 7
115
banyak penelitian yang menemukan perbedaan laki-laki dan perempuan, tidak hanya berbeda secara fisik, tetapi juga secara emosional, psikologis dan berbeda di dalam cara memecahkan masalah, reaksi terhadap stres, pandangan tentang hubungan, dan komunikasi, baik dengan orang dewasa maupun anak-anak.84 Perbedaan psikologis yang paling menonjol antara laki-laki dan perempuan adalah laki-laki cenderung untuk memusatkan perhatian pada diri sendiri dan mencari kebebasan, sedangkan perempuan cenderung untuk memusatkan perhatian pada orang lain serta menghendaki keakraban dan hubungan kekeluargaan.85 Adanya perbedaan-perbedaan tersebut di atas mengakibatkan terjadinya perbedaan perlakuan dan sikap terhadap anak yang diberikan oleh ibu dan ayah dalam praktik pengasuhan anak. Seorang ibu cenderung untuk menjadi pengasuhan anak (nurturer), berhubungan dekat dan akrab dengan anak serta menaruh kepedulian pada anak.86 Hal ini mengakibatkan seorang ibu cenderung menciptakan kondisi saling ketergantungan dalam hubungannya dengan anak. Sementara seorang ayah cenderung untuk menjadi “pendorong” (encourager), menekankan perkembangan kemandirian anak.87 Oleh karena itu, seorang ayah cenderung mendorong anak untuk dapat mandiri. Seluruh dunia dan sepanjang sejarah mengakui bahwa praktik pengasuhan anak dipandang sebagai bidang pekerjaan perempuan bukan laki-laki. Dengan demikian, masih tetap terbuka kemungkinan bagi seorang lakilaki untuk mendapat julukan “ayah yang baik” meskipun ia tidak terlibat
84
Thevenin, T., Mothering and Fathering : the Gender differences in child rearing, New York : Avery Publishing Group, Inc., 1993, hal 1-2. 85
Thevenin, T., Mothering and Fathering : the Gender differences in child rearing, New York : Avery Publishing Group, Inc., 1993. 86
Thevenin, T., Mothering and Fathering : the Gender differences in child rearing, New York : Avery Publishing Group, Inc., 1993. 87
Thevenin, T., Mothering and Fathering : the Gender differences in child rearing, New York : Avery Publishing Group, Inc., 1993.
116
langsung dalam praktik pengasuhan anak, selama ia mampu memenuhi kebutuhan material anak.88
88
Phoenix, A. et al. Motherhood : Meanings, Practices and Idiologies. London : SEGE Publications Ltd, 1991, hal. 4
117
BAB V
TEORI AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK BERDASARKAN KONSEP TAZKIYAT AL-NAFS
A. Jiwa dan Akhlak dalam Pandangan Al-Ghazali Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus. Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, rûh, nafs dan ‘aql. Jiwa bagi Al-Ghazali untuk itu adalah suatu dzat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (‘ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilâhiyyat. Ia tidak pre-eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filsuf lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (‘âlam al-arwâh) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya.1 Jiwa mempunyai kemampuan untuk memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan 1
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), hal 42.
118
fisik. Sebab, apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, obyekobyek
fisik
lainnya
juga
mesti
mempunyai
kemampuan
memahami,
kenyataannya tidak demikian. Menurut Al-Ghazali, kendati pun para filsuf Muslim meyakini keabadian jiwa, tetapi pembuktian mereka dengan akal, hanya bisa ke taraf kemungkinan. Pengetahuan pasti tentang kebakaan hanya diberikan oleh agama. Persoalan yang muncul, bagaimana meyakinkan manusia yang raguragu terhadap informasi agama. Al-Ghazali mengemukakan bahwa jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrat (ashl al-fithrat), yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan dzat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (‘alam al-malâkut atau ‘alam al-amr, QS 17:85), sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-khalaq. Karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namum kerap kali diredam keinginan duniawi. Mengenai perihal kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan seseunguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs) tetapi ia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimîn (kemungkinan hancurnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substansia kekal). Dengan demikian bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, Tahafut al-Falâsifat, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’âd (kehidupan di akhirat).2 Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat 2
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta:Rajawali Press, 1988)
hal. 58-62
119
baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik-baik. Jiwa itulah yang mengetahui Allah, mendekati-Nya, berbuat untuk-Nya, berjalan menuju-Nya dan menyingkapkan apa yang ada pada dan di hadapan-Nya, dan sesungguhnya anggota tubuh merupakan pengikut, pelayan dan alat yang dipekerjakan dan digunakan oleh jiwa bagaikan manusia tuan menggunakan sahayanya, seumpama gembala memakai dombanya dan manusia tukang dengan alatnya. Jiwa itulah yang diterima Allah; ia yang terselubung dari-Nya; jiwa itu yang dicari, ia yang ditegur dan digugat. Jiwa itu yang merasa gembira; dan berhasil; jiwalah yang memperoleh kecewa dan sengsara.3 Dengan demikian, semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Sebagian dari pembantu itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki, dan bagian-bagian tubuh luar dan dalam yang lain. Pembantu lain yang tidak terlihat, dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu: (a) yang merupakan sumber bagi motif (dorongan) dan rangsangan; motif untuk mendapatkan yang bermanfaat disebut keinginan, dan motif untuk menolak yang merusak dinamakan kemarahan. (b) Kekuatan (qudrat) yang menggerakkan anggota badan ke arah benda yang diinginkan atau menjauhi benda yang dibenci; ini menebar pada semua anggota tubuh, khususnya pada otak dan saraf. (c) kemampuan menangkap pengetahuan, yang terdiri dari dua macam alat; yang pertama panca indera, dan yang kedua adalah lima daya yang berada pada lima tempat di otak manusia. Kemampuankemampuan ini adalah daya khayal, yaitu penggambaran atau representasi; daya simpan atau retensi (tahâfuzh), daya pikir (tafakkur), daya ingat (tadzakkur) dan sensus masyarakat (al-hiss al-musytarak). Semua indera dan daya ini juga ditemukan pada hewan-hewan. Adapun daya yang khas ada pada jiwa manusia, yaitu daya pencapai pengetahuan, yakni akal. Akal mengetahui kenyataan-kenyataan di dunia ini dan 3
Lihat Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal 1- 2.
120
di akhirat yang tak dapat ditangkap oleh indera. Akal juga tahu akibat dari suatu perbuatan; jika akibatnya baik, maka kemauan untuk berbuat itu lahir dari dalam pikiran. Sampai di sini, tidak beda pendapat Al-Ghazali dengan rumusan para filsuf muslim lainnya dalam hal fungsi akal teoretis dan praktis. Alasan yang dikemukakan Al-Ghazali, bahwa hal itu tidak bertentangan dengan agama. Dengna demikian, pendekatan Al-Ghazali lebih bercorak religius, kendati pun perumusannya secara filosofis. Selain gambaran hubungan jiwa dan jasad seperti di atas, Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa hubungan dimaksud pada hakikatnya sama dengan interaksionisme. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda, keduanya saling mempengaruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar. Perbuatan yang dilakukan berulang-ulang selama beberapa waktu akan memberi pengaruh yang mantap pada jiwa. Sementara perbuatan yang dilakukan tanpa sadar, tidak akan mempengaruhi jiwa. Demikian pula sebaliknya, jiwa mempengaruhi jasad: apabila suatu kualitas telah dimiliki oleh jiwa, perbuatan anggota badan yang bersesuaian dengan kualitas ini terdorong untuk dilaksanakan. Kemauan atau keengganan untuk melakukan suatu perbuatan tergantung pada kuat atau lemahnya kualitas tadi. Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan, karena interaksi inilah jiwa itu diturunkan ke alam benda atau duniawi agar ia dapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatan.4 Sementara itu, dalam karya-karya awal Al-Ghazali, persoalan akhlak belum menjadi masalah pokok. Hanya dalam satu karya masa awalnya, Mîzân al-‘Amal, akhlak merupakan bahan pemikiran utama. Kebanyakan karya-karya akhirnya, bersifat etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Adapun teori etika yang dikembangkannya bersifat religius dan sufi. Hal itu terlihat dengan jelas 4
Muhammad Abul Quasem, The Ethics of Al-Ghazali,: A Composite Ethics in Islam, hal.
42.
121
penamaan Al-Ghazali terhadap ilmu ini pada karya-karya akhirnya, setelah dia menjadi sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm al-akhlâq, tetapi dengan “ilmu jalan akhirat” (‘ilm tharîq al-âkhirat) atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh (al-salaf al-shâlih). Ia juga menamakannya dengan “ilmu agama praktis” (‘ilm al-mu’âmalat) Menurut Al-Ghazali terdapat tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu (a) mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku manusia yang mempelajarinya; (b) mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari; (c) karena akhlak terutama merupakan subyek teoretis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri. Al-Ghazali setuju dengan teori kedua. Dia menyatakan bahwa studi tentang ‘ilm al-mu’âmalat dimaksudkan guna latihan kebiasaan; tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai di akhirat.5 Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat dicari dan keburukan tak dapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan.6 Berdasarkan
pendapatnya
ini,
dapat
diakatakan
bahwa
akhlak
yang
dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan bahwa amal itu baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya 5 6
Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid IV, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal 272-273. Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid III, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal 8.
122
menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadat seperti shalat dan zakat adalah baik disebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik atau buruk berbagai amal berbeda oleh sebab perbedaan dalm hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya. Berkaitan dengan masalah kebahagiaan, menurut Al-Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi (al-sa’âdat al-ukhrawiyyat), yang bisa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk itu dilaksanakan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengna membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu bagi kebahagiaan akhiratnya. Kebahagiaan ukhrawi inilah yang menjadi tema sentral ajaran para rasul dan demi menggairahkan manusia ke arah itulah, maka semua kitab suci diwahyukan. Karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat pokok memperoleh kebahagiaan. Kemuliaan dalam penilaian Allah terletak pada usaha mencapai kebahagiaan ukhrawi; barangsiapa yang gagal mendapatkannya lebih hina dari hewan yang rendah, karena hewan-hewan akan musnah sedangkan manusiamanusia yang gagal tersebut akan menderita sengsara. Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan, yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna. Tentu saja, kebahagiaan dimaksud, sesuai dengan Al-Quran dan Hadits adalah surga, sedangkan tempat kesengsaraan adalah neraka. Nasib setiap manusia akan ditentukan pada hari kebangkitan, tapi akibat kebahagiaan dan kesengsaraan itu dimulai segera setelah kematian. Pada hari kebangkitan, jiwa itu dikembalikan lagi ke suatu jasad; manusia yang bangkit itu dengan demikian akan mempunyai badan dan jiwa, dan akan hidup abadi dalam bentuk ini.7 7
Muhammad Abul Quasem, The Ethics of Al-Ghazali,: A Composite Ethics in Islam, hal.
50-52
123
Adapun kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesenangan indrawi mengenai makanan dan minuman, pergaulan dengan bidadari, pakaian indah, istana dan seterusnya. Tingkat ini pantas bagi manusia-manusia baik kelas rendah yang disebut sebagai manusiamanusia saleh (abrâr, shâlihûn), yang takwa kepada Allah (muttaqûn) dan manusia yang benar. Kesenangan inderawi akan memuaskan sekali bagi mereka, karena untuk kenikmatan semacam itulah mereka membekali diri dalam hidup ini. Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah berada dekat dengan Allah, dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa. Kenikmatan pandangan (ru’ya) dan pertemuan (liqâ’) dengan Dia merupakan kebahagiaan tertinggi, puncak kesejahteraan dan bentuk anugerah Allah yang terbaik. Tidak ada di surga yang lebih nikmat daripada memandang keindhan Ilahi itu. Kesukacitaan
inderawi
tidak
berharga
jika
dibandingkan
dengan
kenikmatan merenungkan keindahan Ilahi. Kesenangan inderawi seumpama kesukaan yang dinikmati hewan makan rumput di padang, sedangkan kesenangan yang disebut terakhir merupakan kesenangan spiritual yang disebut dalam Hadits Qudsi, “Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh apa yang tidak pernah dilihat mata, apa yang tidak pernah didengar telinga, dan apa yang tidak pernah timbul dalam pikiran manusia”. Kebahagiaan tertinggi ini diperoleh oleh para nabi, manusia-manusia suci (auliyâ’), ahli ma’rifat (‘arifun), yang paling jujur (shiddîqîn), yang mendekati-Nya (muqarrabûn), yang mencintai-Nya (muhibbûn), dan yang ikhlas (mukhlishûn). Tiap tingkat kebahagiaan dibagi lagi menjadi anak tingkat atau anak derajat kebahagiaan yang tak terbilang jumlahnya. Anak derajat terendah dari tingkat yang tertentu bersinggungan dengan anak derajat tertinggi dari tingkat yang langsung di bawahnya.
B. Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali Pemikiran Al-Ghazali tentang manusia tidak jauh berbeda dengan konsep ajaran Islam tentang manusia karena pada prinsipnya ia mendasarkan
124
pemikirannya kepada al-Qur’an dan Sunnah, di samping ia juga manusia ahli tafsir dalam Islam. Ia membenarkan bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah Allah di bumi.8 Walaupun pemikiran Al-Ghazali sejalan dengan konsep manusia menurut Islam, yang mengemukakan bahwa manusia tersusun dari rohani dan jasmani, namun ia lebih menekankan pengertian dan hakikat kejadian manusia pada rohani atau jiwa. Menurut pemikirannya manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya karena dengan jiwalah manusia dapat dibedakan dengan makhlukmakhluk Allah lainnya. Dengan memiliki jiwa, manusia dapat berpikir, berperasaan, berkemauan, dan berbuat lebih dibandingkan dengan makhluk lain. Tegasnya jiwa itulah yang menjadi hakikat yang hakiki dari manusia karena sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati. Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung pada keadaan jiwanya. Ini dikarenakan jiwa merupakan pokok dari agama dan asas bagi manusia yang berjalan menuju Allah, serta tergantung pada ketaatan atau kedurhakaan manusia kepada Allah. Pada hakikatnya, jiwalah yang taat kepada Allah atau yang durhaka dan ingkar kepada-Nya.9 Ringkasnya, dalam konsepnya tentang manusia, Al-Ghazali lebih menekankan unsur jiwa daripada unsur badan (materi). Dalam memberi pengertian jiwa, ia menggunakan empat istilah, yakni alqalb, al-rûh, al-nafs dan al-‘aql. Keempat istilah itu ditinjau dari segi kejiwaan hampir memilki kesamaan arti, akan tetapi dari segi fisik memiliki perbedaan arti. Menurut Al-Ghazali keempat istilah itu masing-masing memiliki dua arti, yaitu arti khusus dan umum. Istilah pertama yakni al-Qalb mempunyai dua arti. Arti pertama adalah al-qalb al-jasmânî atau al-lahm al-shanbarî, yaitu segumpal daging (jantung, organ tubuh) yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Qalb dalam pengertian yang pertama ini berhubungan dengan ilmu kedokteran dan 8 9
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal 1- 2. Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), hal 4-5.
125
tidak berkaitan dengan maksud-maksud agama serta kemanusiaan. Qalb yang demikian itu juga ada pada hewan. Kedua, al-qalb dalam pengertian jiwa yang bersifat lathîf, rûhaniyyat, rabbani dan mempunyai hubungan dengan al-qalb aljasmânî.. Qalb dalam pengertian yang kedua inilah yang merupakan hakikat yang hakiki dari manusia karena sifat dan keadaannya yang bisa merasa, berkemauan, berpikir, mengenal dan beramal. Selanjutnya kepadanyalah ditujukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksaan Allah. Adapun istilah al-rûh (roh) dalam arti pertama adalah jisim yang latif (halus), dan bersumber di dalam al-qalb al-jasmânî (kalbu jasmani). Roh ini memancar ke seluruh tubuh melalui urat nadi dan darah. Cahaya pancarannya membawa kehidupan kepada manusia, sehingga manusia dapat merasa, mengenal dan berpikir. Seperti perumpamaan cahaya lampu yang sinarnya menerangi seluruh rumah, maka begitu juga cahaya kehidupan yang dihasilkan oleh roh yang memancarkan sinarnya ke seluruh jasmani. Menurut istilah kedokteran lama, roh dalam arti pertama ini disebut roh jasmani yang dimunculkan oleh panas gerak qalb yang menghidupi manusia. Sementara arti kedua dari roh ialah roh rohani yang bersifat kejiwaan, yang memiliki daya rasa, daya kemauan, dan daya pikir, sama halnya dengan pengertian al-qalb yang kedua. Roh dalam pengertian yang kedua inilah, yang dimaksud ayat al-Qur’ân berikut :
Çyr”•9$# Ç`tã š•tRqè=t«ó¡o„ur Ì•øBr& z`ÏiB
ô`ÏB
ßyr”•9$#
OçF•Ï?ré&
!$tBur
È@è%
(
’În1u‘
ÉOù=Ïèø9$# 10
ÇÑÎÈ WxŠÎ=s% žwÎ)
Adapun istilah al-Nafs (jiwa) dalam arti pertama adalah kekuatan hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia yang merupakan sumber bagi timbulnya 10
Q.S. (17):85. Artinya: dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
126
akhlak tercela. Pengertian nafsu inilah yang dimaksud oleh ahli tasawuf pada umumnya. Mereka menganjurkan: “Mari berjihad melawan hawa nafsu !”, maka yang dimaksud mereka dengan berjihad yakni melawan kekuatan nafsu syahwat perut, faraj, dan marah yang merupakan penyebab timbulnya akhlak tercela. Adapun pengertian kedua dari al-nafs ialah jiwa rohani yang bersifat latif, rohani, dan rabbani. Pengertian kedua dari al-nafs inilah yang merupakan hakikat diri, dan dzat dari manusia.11 Selain itu, al-nafs dalam pengertian kedua memiliki tiga sifat dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan perbedaan keadaannya masing-masing. Alnafs yang memiliki ketenangan dan ketentraman dalam mengemban amanat Allah dan tidak mengalami kegoncangan akibat tantangan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu, maka jiwa itu disebut dengan al-nafs al-muthma’innat (jiwa yang tenang). Kepada jiwa yang tenang, Allah menyeru dengan himbauan sebagai berikut :
ߧøÿ¨Z9$# $pkçJ-ƒr'¯»tƒ ÇËÐÈ èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# Å7În/u‘ 4’n<Î) ûÓÉëÅ_ö‘$# ÇËÑÈ Zp¨ŠÅÊó•£D ZpuŠÅÊ#u‘ 12 ÇËÒÈ “ω»t6Ïã ’Îû ’Í?ä{÷Š$$sù Dengan demikian, al-nafs dalam pengertian kedua bersifat rohani dan kembali ke hadirat Allah. Sedangkan al-nafs yang tidak tenang dan goncang berarti menyerupai sifat setan. Apabila al-nafs tidak memiliki ketenangan yang sempurna karena menjadi pendorong timbulnya hawa nafsu dan sekaligus juga penantang, maka keadaan ini disebut sebagai al-nafs al-lauwâmat, yakni jiwa yang masih mau menegur atau menyalahkan dirinya ketika lalai dalam mengingat dan beribadah kepada Allah. Kepada jiwa al-lauwâmat, Allah berseru dalam ayat berikut :
11
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), hal 5-7. Q.S. (89):27-29. Artinya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, serta SurgaKu. 12
127
ħøÿ¨Z9$$Î/
ãNÅ¡ø%é& 13
Iwur
ÇËÈ ÏptB#§q¯=9$#
Jika al-nafs menjatuhkan dirinya dalam perbuatan jahat karena mengikuti dorongan nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan setan, maka dinamakan alnafs al-ammârat (jiwa yang jahat karena suka mendorong manusia berbuat jahat). Kepada jiwa yang jahat, Allah mengingatkan manusia sebagai berikut:
4 ûÓŤøÿtR ä—Ìh•t/é& !$tBur * 8ou‘$¨BV{ }§øÿ¨Z9$# ¨bÎ) zOÏmu‘ $tB žwÎ) Ïäþq•¡9$$Î/ ’În1u‘ ¨bÎ) 4 þ’În1u‘ 14 ÇÎÌÈ ×LìÏm§‘ Ö‘qàÿxî Jelasnya, nafsu yang selalu mendorong timbulnya kejahatan ialah al-nafs dalam pengertian pertama yang memiliki sifat tercela. Sedangkan al-nafs dalam pengertian kedua merupakan hakikat diri, dan ddzatnya manusia karena memiliki sifat latif, rabbani, dan rohani. Selanjutnya, istilah al-‘aql (akal) juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah tentang hakikat segala sesuatu. Dalam pengertian ini akal dapat diumpamakan sebagai sifat ilmu yang bertempat di jiwa (al-qalb). Dengan demikian, pengertian akal pada tingkat pertama ini ditekankan pada ilmu dan sifatnya. Sementara itu, akal dalam pengertian kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan (al-mudrak li al-’ulûm), bersifat latif, rabbani, dan rohani. Akal dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat diri dan ddzatnya manusia.15
13
Q.S (75):2. Artinya: dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Q.S (12):53. Artinya:53. dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. 15 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), hal 7-8. 14
128
Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah al-qalb, alrûh, al-nafs, dan al-‘aql dalam pengertian pertama memiliki perbedaan, sedangkan dalam pengertian kedua memiliki banyak persamaan. Menurut pengertian pertama al-qalb berarti qalb jasmânî (kalbu jasmani), al-rûh yang bersifat roh jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-‘aql yang berarti ilmu. Sedangkan dalam pengertian kedua dari keempat istilah tersebut, terdapat persamaan, yakni jiwa yang bersifat lathîf, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat diri dan dzat dari manusia. Ini berarti manusia dalam pengertian pertama (fisik) tidak kembali kepada Allah, sedangkan manusia dalam pengertian kedua (jiwa) kembali kepada Allah. Al-Ghazali
menjelaskan
jiwa
dalam
pengertian
kedua
dengan
mengemukakan perumpamaan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan di mana rajanya adalah jiwa, wilayah kekuasaannya adalah tubuh, sedangakan alat indera dan bagian tubuh lainnya diibaratkan sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir/perdana menteri, serta hawa nafsu dan sifat marah adalah polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia ke jalan yang baik dan diridloi Allah. Sebaliknya hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Dalam rangka menciptakan ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia), maka kekuasaan jiwa dan akal harus mampu menguasai hawa nafsu dan sifat marah/amarah, jiwa dan akal berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Apabila yang terjadi sebaliknya maka merupakan pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.16 Berkaitan dengan fungsi jiwa, Al-Ghazali dan Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa terbagi dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs alnabâtiyyat), jiwa hewan (al-nafs al-hayawâniyyat), dan jiwa manusia (al-nafs alinsâniyyah) . Adapun setiap jiwa tersebut mempunyai daya-daya yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Jiwa nabati memiliki daya makan, tumbuh, dan
16
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), hal 11-12.
129
berkembang. Jiwa hewan memiliki daya gerak, tangkap, dan khayal. Jiwa manusia memiliki daya akal, praktis dan teoritis.. Daya praktis erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat badani (amal), dan daya teoritis berhubungan dengan hal-hal yang bersifat abstrak (ilmu). Dengan kata lain daya praktis menimbulkan akhlak, dan daya teoritis menghasilkan ilmu. Daya teoritis ini terbagi pula dalam empat tingkatan. Pertama, tingkatan akal materil yang memiliki potensi untuk berpikir namun belum terlatih sedikit pun. Kedua, akal bi al- milkat yang telah terlatih berpikir tentang hal-hal yang abstrak. Ketiga, akal aktuil yang telah mampu berpikir abstrak. Keempat, akal qudsi sebagai tingkatan akal yang paling tinggi, dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak dengan mudah, dan mampu menerima ilmu pengetahuan dari Allah.17 Dengan demikian jiwa manusia yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam kaitannya dengan hubungan akhlak dan jiwa, pemikiran AlGhazali sejalan dengan pemikiran Ibnu Sina. Mereka berpendapat bahwa akhlak semanusia sangat bergantung pada jenis jiwa yang menguasai dirinya. Jika jiwa nabati dan hewani yang berkuasa atas dirinya, maka akhlak manusia tersebut akan menyerupai nabati dan hewani. Akan tetapi, jika jiwa manusia/insani yang berpengaruh dan berkuasa dalam dirinya, maka semanusia dapat berakhlak sebagaimana insan kamil. Menurut Al-Ghazali jiwa yang merupakan hakikat, diri, dan dzat manusia itu adalah jauhar (substansi) rohani dan bukan ‘aradl (aksiden) serta bersih dari sifat kebendaan. Jiwa mempunyai wujud sendiri yang terlepas dari badan. Wujud dan hakikat jiwa berasal dari alam gaib sedangkan wujud dan hakikat badan berasal dari alam materi. Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, dzat, hakikat) tidak mendiami suatu tempat tertentu. Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa
17
Pembagian fungsi-fungsi jiwa ini kelihatannya tidak jauh berbeda dengan pembagian yang dikemukakan Ibnu sina lihat Hasan Langgulung, Beberapa pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’ârif, 1980), hal. 110-112, dan Harun Nasution, Falsafat&Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1983), hal 35-37, kalau ada perbedaan mungkin pada pembagian akal teoritis.
130
memperalat jiwa.18 Sehubungan dengan terdapat perbedaan yang besar dan mendasar antara jiwa dan badan dalam wujud dan hakikat, maka dalam fungsi dan sifatnya juga terdapat perbedaan yang besar. Jiwa bersifat baka, sedang badan bersifat fana. Dalam pemikiran Al-Ghazali tentang konsep manusia, ditekankan bahwa jiwa adalah hakikat, dzat, dan inti dari kehidupan manusia. Ini mempengaruhi pemikirannya yang sangat menaruh perhatian besar pada soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa serta ketinggian akhlak manusia. Menurut Zakiah Daradjat, jika dilakukan pengkajian ajaran Islam mengenai kejiwaan kemudian dibandingkan dengan pemikiran Al-Ghazali, maka hasil dari pengkajian itu akan menghasilkan kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau “Psikolog Agung”, yang karyakaryanya tentang ilmu jiwa bersumberkan pada Al-Qur`an dan Hadis.19 Pendapat Zakiah Daradjat (ahli jiwa) tersebut berdasar pada konsepsi Al-Ghazali tentang manusia, serta pendapatnya tentang jiwa dan akhlak. Al-Ghazali tidak hanya memandang ilmu jiwa sebagai ilmu tingkah laku, namun juga memandangnya sebagai suatu ilmu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini aspek ketuhanan (agama) termasuk bagian ilmu jiwa di samping ilmu akhlak. Walaupun unsur jiwa sangat ditekankan dalam konsepsi Al-Ghazali tentang manusia, namun tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga ia pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadat kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Semanusia tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik di dunia selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dengan kehidupan dunia, ia mengatakan bahwa dunia itu 18
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia, (Jakarta:Rajawali, 1983), hal. 164-165. Zakiah Daradjat, “Aspek-aspek Psikologi dalam karya Al-Ghazali, Makalah disampaikan pada simposium tentang Al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKS Perg. Tinggi Islam Swasta Indonesia di Jakarta, 26 Januari 1985, hal. 8. 19
131
merupakan ladangnya bagi kehidupan akhirat, dan merupakan salah satu manzilnya hidayat Allah. Oleh karena kehidupan dunia (jasmani) tangga bagi kehidupan akhirat (rohani), maka memelihara, membina, mempersiapkan, dan memenuhi keperluannya agar tidak binasa adalah juga hal yang perlu (wajib).20 Walaupun Al-Ghazali mengemukakan pendapat bahwa wujud dan hakikat jiwa jauh berbeda dengan wujud dan hakikat badan, maka hal ini tidaklah berarti bahwa di antara keduanya tidak terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Antara keduanya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi yang terjadi melalui al-rûh. Jiwa harus berhubungan dengan badan karena manusia adalah makhluk metafisik. Sebab itulah ia mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan atau kendaraan yang sedang berjalan yang menghendaki keseimbangan dalam perjalanannya. Bisa diibaratkan sebagai raja dengan kerajaannya dalam mengerti tentang hubungan jiwa dan badan. Rakyat kerajaan seperti daya-daya jiwa yang bekerja sama semuanya di bawah perintah raja, dan sebagai rakyat dan tentara mereka lakukan tugasnya sesuai dengan perintah raja. Berdasar beberapa uraian Al-Ghazali tentang hubungan jiwa dan badan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikehendakinya dengan uraian tersebut adalah terwujudnya keserasian antara keduanya. Ini menandaskan bahwa ia menyatakan bahaya adanya ketidakserasian antara jiwa dan badan. Apabila ia pada masanya menekankan pentingnya unsur jiwa dalam konsepsinya tentang manusia dan pendidikan, maka hal itu ada argumentasinya, dan hal itu tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya, seperti krisis yang melanda masyarakatnya di bidang agama, sosial, politik, intelektual, moral, dan spiritual, maupun krisis yang melanda dirinya sediri, yang tidak dapat merasa bahagia dengan kemewahan material yang dicapainya. Penekanan atas unsur kejiwaan dalam memperbaiki masyarakatnya sama sekali tidak terlepas dari usahanya untuk mengharmoniskan kedua unsur manusia tersebut (jiwa dan badan). Sejarah
20
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal 9-10.
132
mencatat pada zaman Al-Ghazali, keadaan umat di bidang material boleh dikatakan sudah maju, tetapi belum di bidang moral dan spritual. Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan benar jika ia menekankan segi kejiwaan yang berkaitan erat dengan moral itu dalam memperbaiki umat yang tengah mengalami krisis di bidang ini. Kalau masyarakatnya tidak mengalami krisis di bidang moral dan spritual, maka mungkin corak pemikiran Al-Ghazali tidak akan terlalu menekankan aspek tasawuf atau lain dari apa yang ada sekarang. Tak dapat dipungkiri bahwa manusia dalam berpikir dan berbuat tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya. Di samping itu, Al-Ghazali juga mengemukakan konsep insan kamil, namun demikian istilah tersebut tidak ditemukan secara tegas dalam tulisantulisannya. Tetapi, insan kamil dalam arti figur (bentuk) manusia yang dibentuknya ada dalam pemikirannya. Dalam hal ini ia menggunakan istilah muthî’at21 (manusia yang taat kepada Allah dan rasul-Nya) untuk menunjuk kepada konsep insan kamil. Ketaatan dan insan kamil adalah dua nama yang wujud dan hakikatnya bersamaan, dan sama sekali tidak terdapat perbedaan yang prinsipil. Sebab, istilah ketaatan bagi Ghazali memiliki pengertian yang luas dan tingkatan yang tinggi. Pengertiannya tidak hanya terbatas pada ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, tetapi juga meliputi ketaatan kepada manusia yang taat kepada Allah, seperti para pemimpin. Adapun tingkatan manusia yang taat baginya terdiri atas empat. Pertama, ketaatan manusia awam yang terbatas pada ketaatan lahir. Kedua, ketaatan manusia yang saleh. Ketiga, ketaatan manusia yang takwa atau al-muqarrabîn. Keempat, ketaatan manusia arifin, al-shiddîqîn, dan para nabi dan rasul. Selain itu pandangan Al-Ghazali tentang insan kamil erat pula kaitannya dengan pemikiran tasawuf dan pandangannya tentang jiwa. Dalam pengertian tasawuf, manusia yang mencapai kesempurnaan jiwa dan kedekatan dirinya 21
Al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, terj. Muhammad Baqir”Misykat Cahaya-cahaya”, (Bandung:Mizan, 1985), hal. 111.
133
kepada Allah dalam hidupnya disebut insan kamil. Tambahan pula, ia juga memberikan kriterium dalam mendefinisikan insan kamil. Adapun kriteria yang dimaksud antara lain: 1) adanya keseimbangan jasmani dan rohani dalam kehidupan manusia karena keseimbangan adalah hal utama dalam konsepsinya tentang manusia, 2) memiliki keluhuran akhlak dan kezakiahan jiwa, 3) memiliki makrifat dan tauhid kepada Allah karena kedua hal ini merupakan tujuan dari ajaran tasawufnya.22 Kaitannya dengan hal ini, ada pula yang mengajukan kriterium ketajaman daya intuisi dan kesempurnaan akal. Sulit untuk menjelaskan pengertian insan kamil yang mengarah kepada pengertian manusia yang sempurna, sesuai dengan yang diinginkan Al-Ghazali karena ia tidak pernah menggunakan istilah insan kamil dalam menjelaskan manusia sempurna. Namun demikian, faktor keseimbangan (i’tidâl) dan ketaatan dapat dijadikan kriterium pokok dalam menentukan insannulkamil menurutnya. Manusia yang memiliki keseimbangan kehidupan lahir dan batinnya, serta mentaati Allah, rasul-Nya dan manusia yang taat kepada-Nya, dikategorikan sebagai al-insân al-kâmil. Jelasnya, faktor kei’tidâlan dan ketaatan dalam alinsân al-kâmil erat hubungannya dengan tazkiyat al-nafs.
C. Pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali Kaitannya dengan pendidikan, konsep Al-Ghazali berhubungan erat dengan konsepnya tentang manusia. Ini dikarenakan oleh pandangannya bahwa masalah manusia pada hakikatnya adalah masalah pendidikan juga, dan begitu sebaliknya. Selain itu ada pula pandangan yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan obat bagi penyakit yang terdapat dalam individu dan masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan semua jawaban terhadap persoalan individu dan
22
Idries Shah, Thinkers of The East, terj. Anas Mahyuddin ”Hikmah Dari Timur”, (Bandung:Pustaka, 1982), hal. 206.
134
masyarakat dapat ditemukan dalam pendidikan.23 Pemikiran ini menjelaskan adanya hubungan yang sangat erat di antara masalah manusia dan pendidikan, dan tidak mungkin keduanya dipisahkan. Bagaimana konsepnya tentang manusia, begitulah bentuk pendidikan yang diinginkannya. Dengan kata lain konsepnya tentang manusia sejalan dengan konsepnya tentang pendidikan. Dengan demikian pendidikan bagi Al-Ghazali juga berfungsi sebagai alat untuk membentuk manusia yang diinginkannya. Pendidikan menurut Al-Ghazali memiliki pengertian yang luas dan dalam. Pengertiannya dimulai dari hal-hal yang sangat individual seperti bimbingan dan penyuluhan, dan sampai kepada pengertian pendidikan secara massal di mana tidak mengharuskan tatap muka, namun dapat melalui sebaran luas ide-ide melalui berbagai media seperti buku dan pembacaan syair. Dengan kata lain pengertian pendidikan baginya tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, namun juga meliputi pendidikan non formal dan informal.24 Luasnya pengertian pendidikan menurutnya karena ia selalu berbicara mengenai pendidikan dalam ungkapan yang sangat umum, yang dijabarkan dalam ungkapan yang sangat umum, sehingga perlu dijabarkan secara rinci agar dapat dilaksanakan dalam kelas. Misalnya mengenai tujuan pendidikan ia mengatakan bahwa tujuan tertingginya ialah untuk mencapai dua kesempurnaan bagi manusia, yakni pendekatan diri kepada Allah dalam arti kualitas, serta kebahagiaan dunia dan akhirat.25 Dua tujuan pendidikan ini jelas bersifat sangat umum, dan untuk itu perlu dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus agar bisa diterapkan. Pengertian pendidikan dalam arti luas mencakup pengertian dari segi individu, masyarakat, dan kejiwaan. 23
Pendapat ini tentu berdasarkan pada pengertian pendidikan dalam arti yang luas, yakni sebagai kebutuhan lahir dan batin manusia sebagai individu dan masyarakat. 24 Hasan Langgulung dalam kata pengantar buku Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahs Fî alMazhâb al-Tarbawî ‘Ind al-Ghazâlî, terj. Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz “Konsep Pendidikan alGhazâlî”, (Jakarta:P3M, 1986), hal. X. 25 Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahs Fî al-Mazhâb al-Tarbawî ‘Ind al-Ghazâlî, (Kairo:Maktabat Nahdat, 1964), hal.16.
135
Dalam konteks individual, menurut Al-Ghazali pendidikan berarti proses pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai dengan janjinya (mîtsâq) kepada Allah dan tuntutan fitrahnya kepada ilmu dan wahyu. Manusia rindu bermakrifat kepada Allah, dan perjuangan terpokok kehidupannya adalah pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya,26 sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya. Pada umumnya, pengertian ini sejalan dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh ahli pendidikan Islam mutakhir, seperti Hasan Langgulung yang memberikan pengertian pendidikan dari segi individu sebagai pengembangan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia.27 Dalam konteks masyarakat, pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan ahli pendidikan modern yang memfokuskan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada setiap individu
yang
terdapat
di
dalamnya
agar
kehidupan
budaya
dapat
berkesinambungan. Adapun yang berbeda terletak pada soal nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut. Pemikiran Al-Ghazali menyatakan bahwa nilai-nilai yang diwariskan dalam pendidikan adalah nilai-nilai keislaman yang berdasar pada Al-Qur’an, Sunnah, dan kehidupan manusia-manusia salaf. Dengan kata lain nilai-nilai tersebut dapat dikatakan sebagai nilai ilmu dan akhlak yang terdapat dalam Islam yang berintikan pula pada ketakwaan/ketaatan dalam pengertian yang luas. Muhammad ‘Abdullah Darraz mengemukakan pendapat bahwa nilai ketakwaan yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat disimpulkan memiliki lima kategori pokok, yaitu nilai-nilai permanusiaan, kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, dan nilai-nilai keagamaan.28 Pengertian ini menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk masyarakat muslim yang berilmu dan bertakwa kepada Allah. 26
Musa Asy-‘ari, (ed), hal. 68. Hasan Langgulung “Beberapa Pemikiran”, hal. 132. 28 Muhammad Abdullah Darraz, Dustûr al-Akhlâk Fî al-Qur’ân, (Kairo:Dâr al-Buhûts al‘Ilmiyât, 1982), hal. 689-781. 27
136
Dalam konteks kejiwaan, pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali antara lain dapat berarti sebagai tazkiyat al-nafs (selanjutnya disingkat tn) dalam arti takhliyat al-nafs, dan tahliyat al-nafs. Takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs yang mana dapat dimengerti sebagai bentuk usaha pengembangan karakter atau akhlak dalam ilmu pendidikan Islam dan psikologi agama. Takhliyat al-nafs usaha penyucian jiwa melalui pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela, dan tahliyat al-nafs usaha penghiasan jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Kedua permasalahan ini banyak dibahas oleh Al-Ghazali dalam rub’ al-muhlikât dan almunjiyât dari Ihyâ’ yang sarat berisikan pemikiran kejiwaan dalam Islam. Rub’ al-muhlikât berisikan uraian mengenai masalah-masalah kejiwaan yang membawa kepada kegoncangan, ketidaktenteraman batin, dan gangguan kejiwaan (amrâdl al-nufûs). Sedang rub’ al-munjiyât berisikan tentang masalah pengobatan dan pembinaan jiwa (thibb au mu’âjalat al-qulûb). Jika pengertian tazkiyat al-nafs
(tn) dalam arti di atas dibandingkan dengan pengertian
pendidikan yang dikemukakan oleh Mustafa Fahmi maka dapat ditemukan kesesuaian pemikiran. Menurut Fahmi pendidikan dari segi ilmu jiwa berarti proses penyesuaian dan penyerasian diri dengan nilai-nilai dan sikap-sikap yang diharuskan oleh lingkungan menurut tingkatan perkembangan material dan spiritual yang terdapat dalam diri semanusia.29 Kalau pendidikan dari segi kejiwaan berarti suatu proses pertumbuhan dan pembentukan kehidupan, serta interaksi antara individu dan lingkungannya, maka tn adalah juga mengacu kepada hal demikian. Tn tidak hanya berarti takhliyat al-nafs, namun juga berarti tahliyat al-nafs dan al-ishlâh dalam usahanya membentuk manusia yang taat. Berdasarkan uraian tentang pengertian pendidikan yang ditinjau dari segi individu, masyarakat, dan kejiwaan di atas jelas bahwa aspek kejiwaan sangat ditekankan Al-Ghazali dalam pengertiannya tentang pendidikan, seperti
29
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal. 1-24.
137
pengembangan potensi jiwa, pewarisan nilai, dan masalah penyesuaian diri.29 Adapun mengenai materi atau isi pendidikan konsep pendidikan Al-Ghazali agak berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh ahli pendidikan modern. Kalau dalam konsep pendidikan modern, materi pendidikan terdiri atas tiga unsur pokok, yaitu ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai, maka baginya hanya terdiri atas dua unsur pokok, yakni ilmu pengetahuan dan nilai. Keterampilan menurutnya hanya merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan nilai. Sebagai contoh, keterampilan berbahasa merupakan alat untuk mempelajari ilmu, dan mendapatkan nilai. Dalam pengertian ini unsur keterampilan termasuk dalam unsur ilmu. Dimasukkannya keterampilan dalam unsur ilmu karena ia memandang dan mengartikan ilmu dalam pengertian yang luas. Pengertian ilmu baginya tidak saja merupakan proses yang menghubungkan manusia dengan manusia dan lingkungannya (makhluk), tetapi lebih yang pokok daripada itu ialah proses yang menghubungkan makhluk dengan Khalik, dan dunia dengan akhirat. Tujuan pendidikan tidak hanya terbatas pada kebahagiaan dunia, akan tetapi juga meliputi kebahagiaan manusia di akhirat.30 Apakah itu ilmu yang bersifat keduniaan, maupun ilmu yang diwahyukan (agama), semuanya mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah. Ini di antara alasan mengapa ia tidak mengkategorikan keterampilan sebagai satu unsur terpisah dari materi pendidikan. Dengan demikian materi pendidikan menurut Al-Ghazali hanya dua pada dasarnya yang dimasukkan dalam kurikulum, yakni soal ilmu dan nilai.31 Dalam soal tujuan pendidikan ia memiliki tujuan yang tinggi karena berhubungan erat dengan konsepnya tentang manusia. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau soal ini menempati tempat khusus dalam sistem pemikiran dan pandangan falsafatnya tentang manusia. Menurutnya tujuan pendidikan merupakan masalah pokok dari suatu sistem pendidikan karena masalahnya menyangkut manusia
30 31
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal. 1-24. Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal. 10-24.
138
yang bagaimana yang ingin dibentuk oleh pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan seyogyanya sejalan dengan tujuan hidup manusia, jika tujuan hidup manusia dijadikan Allah untuk beribadat,32 dan menjadi khalifah-Nya di bumi,33 maka usaha pendidikan dan pengajaran harus mengacu kepada pembentukan perilaku manusia yang memiliki aspek ‘ibâdat dan siyâdat atau nilai dan ilmu. Dengan kata lain ia menegaskan tujuan pendidikan Islam itu sebagai mencapai dua kesempurnaan hidup manusia. Pertama, kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (nilai ibadat). Kedua, kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (nilai ilmu atau siyâdat).34 Dua tujuan pendidikan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Kesempurnaan yang pertama merupakan pokok bagi tercapainya kesempurnaan yang kedua, sedang kesempurnaan kedua merupakan pula tanda keberhasilan kesempurnaan pertama. Sementara itu dalam praktek pendidikan dan pengajaran, tujuan pendidikan di atas dijabarkan dalam tujuan umum dan khusus. Tujuan umum pendidikan Islam itu menurut Al-Ghazali adalah 1) membentuk akhlak mulia, 2) mendekatkan diri kepada Allah, 3) memperoleh ilmu, 4) mengembangkan fitrah, 5) menciptakan keseimbangan dalam diri, 6) mencari keridhaan Allah, 7) mewujudkan ketenangan dan ketenteraman jiwa, 8) membiasakan diri untuk beramal shaleh, 9) meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah.35 Sedangkan tujuan khususnya adalah mendidik dan mengajar manusia agar pandai beribadat, berdoa, berzikir, berbuat baik, menjauhkan diri dari akhlak atau sifat tercela, dan bersikap dengan akhlak atau sifat terpuji. Pada umumnya, tujuan umum dan khusus menurut Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan pemikir
32
Al-Qur’ân, al-Dzâriyat (51):56. Al-Qur’ân, al-Baqarat (2):30. 34 Hasan Langgulung dalam Fathuyat Hasan Sulaiman. 35 Fathiyat Hasan Sulaiman (buku asli), hal. 16-17 dan lihat juga Nashruddin Thaha, Tokohtokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya, Imam Al-Ghazali & Ibnu Khaldun, (Jakarta: Mutiara, 1979), hal. 35-36. 33
139
pendidikan Islam lain. Perbedaan mungkin hanya pada segi penekanannya. Ia sangat menekankan implikasi tujuan pendidikannya kepada tujuan keagamaan, kejiwaan, akhlak, dan kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang memandang tingkah laku/perbuatan mempunyai tujuan (niat) agama dan kemanusiaan yang berlandas semangat Islam36 karena hal demikian amat
berpengaruh
dalam
pembinaan
pembentukan karakter manusia yang
insanulkamil.
Dengan
beragama, berakhlak
kata
lain
mulia, dan
berkepribadian sempurna adalah sangat ditekankannya. Pembahasan mengenai tujuan pendidikan erat hubungannya dengan metode pendidikan karena metode merupakan cara atau jalan yang harus ditempuh untuk bisa sampai kepada tujuan. Setidak-tidaknya ada dua jenis metode yang dipergunakan Al-Ghazali dalam pendidikan Islam, yaitu metode pembentukan kebiasaan dan metode tn. Metode pertama ditekankan pemakaiaannya pada pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa bagi manusia dewasa. Dengan demikian tn yang menjadi masalah pokok tulisan ini erat hubungannya dengan pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa bagi manusia dewasa, karena misi dari tn itu adalah diperuntukkan bagi manusia akil baligh. Pengertian metode pembentukan kebiasaan ialah pembentukan kebiasaan yang baik dan peninggalan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan, latihan, dan kerja keras. Tentang metode ini Al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa, sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan yang baik dan dijauhkan dengan kebiasaan yang buruk atau sebelum rajin dan gemar bertingkah laku terpuji dan takut bertingkah laku tercela.37 Apabila hal ini sudah menjadi kebiasaan dan tabiat maka dalam waktu yang singkat akan akan tumbuhlah dalam diri suatu kondisi itu sudah menjadi tabiatlah bagi jiwa untuk melakukan perbuatan baik secara natural dan 36
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1987), hal.
274. 37
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal. 105-109.
140
spontan.38 Dengan kata lain metode ini dapat dikatakan sebagai metode penanaman kebiasaan dan watak yang baik. Setelah mengkaji uraian tentang pengertian, materi, tujuan, dan metode pendidikan Islam di atas, maka dapat diketahui segi-segi akhlak dan kejiwaan sangat ditekankan Al-Ghazali dalam konsepsinya tentang pendidikan. Jiwa sebagai hakikat dari manusia berkaitan erat dengan akhlak. Menurut pendapatnya, kesehatan jiwa adalah kei’tidalan dan keihsanan akhlak. Kualitas jiwa manusia secara moral dapat dilihat dari kualitas akhlaknya. Manusia yang jiwanya dan akhlaknya dekat dengan Allah adalah manusia yang paling mulia. Sebaliknya manusia yang buruk akhlaknya secara moral dan kejiwaan adalah manusia yang menyimpang dari hakikat kemanusiaan. Jika dikaji lebih dalam pemikirannya tentang jiwa dan akhlak, maka dapat dikatakan Al-Ghazali adalah salah manusia tokohnya dalam Islam.
D. Konsep Tazkiyât al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn Sebelum dikemukakan konsep tazkiyat al-nafs ( selanjutnya disingkat tn) dalam Ihyâ’ sebaiknya lebih dahulu diketahui pengertian tn dalam Ihyâ’ itu sendiri dari segi bahasa, dan pendapat para ahli selain Al-Ghazali. Dalam hal ini akan dikemukakan pendapat ahli bahasa, tafsir, pendidikan, akhlak dan tasawuf yang merupakan bidang-bidang ilmu yang erat hubungannya dengan tn. Kata tazkiyat berasal dari bahasa Arab, yakni mashdar dari zakkâ. Pengertiannya tidak sama dengan tathhîr, akan tetapi tathhîr termasuk dalam arti tazkiyat al-nafs (tn). Tn tidak akan diperoleh, kecuali melalui tathhîr al-nafs sebelumnya. Kebalikan tn adalah tadsiyat al-nafs (seterusnya disingkat tdn). Kalau tn mengangkat jiwa manusia ke yang tinggi, maka tdn sebaliknya, menjatuhkan jiwa ke tempat yang rendah. 38
Muqdad Yaljan, Peranan Pendidikan Akhlak Islam Dalam Membangun Pribadi, Masyarakat, dan Budaya Manusia, terj. Ys. Tajudin Nur, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1986), hal. 3-6.
141
Konsep Tazkiyât Al-Nafs dalam buku Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Ihyâ’) yang artinya “Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu (Jiwa) Agama Islam”
mendapat
penghargaan dari kalangan ilmuwan baik ilmuwan Islam maupun non-Islam. Pemikir-pemikir Barat yang menghargai keistimewaan Ihyâ’ antara lain Bonaventura, para theolog Katolik, Musa al-Maimun dari theolog Yahudi,39 Alban G. Widgery, Goldziher,40 Miguel Asin, D.B. Macdonald, dan Hans Bauer.41 Misalnya, Alban G. Widgery mengatakan bahwa Ihyâ’ merupakan karya Al-Ghazali yang mempunyai pengaruh besar di dalam dan di luar lingkungan Islam, serta memiliki daya tarik yang besar karena dalam buku tersebut ia memberikan penjelasan tentang tujuan terakhir dari moral dan agama Islam, dan dengan buku itu pula ia digelari Hujjat al-Islâm.42 Goldziher memuji Ihyâ’ sebagai buku yang indah tentang Islam karena kandungannya meliputi segala permasalahan kehidupan. Bahkan ada yang menilai bahwa keindahannya di bawah sedikit dari Al-qur’ân. Sedangkan Miguel Asin sebagai pencintanya telah mengadakan studi banding tentang Ihyâ’ dan ajaran Kristen. Pemikir Muslim yang menghargai keistimewaan Ihyâ’ antara lain Ibnu Khallikan, Muhammad Abduh, dan sebagian pemikir Syiah. Menurut Ibnu Khallikan, karya Al-Ghazali semuanya bermanfaat dan Ihyâ’ merupakan karyanya yang terbaik. Karya ini dari dahulu sampai sekarang banyak mendapat perhatian para pemikir karena nilainya yang tinggi dan manfaatnya yang besar. Karya tersebut pun menjadi penemuan baru dalam sejarah pemikiran dan kehidupan rohani Islam.43 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi mengatakan bahwa Ihyâ’ merupakan buku bacaan agama Islam yang baik untuk 39
Nurcholish Madjid “Tasawuf Sebagai Inti Keberagaman” majalah, Pesantren, Jakarta P3M No. 3 Vol. II/1985. 40 Zainal Abidin ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 67-68 dan 78-80. 41 MM Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, juz 1, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), hal. 586-587 pada catatan kaki. 42 Zainal Abidin Ahmad, hal. 68. 43 Abu al-wafa’ al-Ghazanimi al-Taftazani, Madkhâl Ila al-tashauwuf al-Islâm, terj. Ahmad rofi’I Usmani “Sufi Dari Zaman ke Zaman”, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 154.
142
dijadikan bahan bacaan dan pengajaran bagi manusia-manusia mukmin.44 Di kalangan dunia Islam Syiah, Ihyâ’ juga mendapatkan penghargaan. Dalam Bihar al-Anwar pada uraian tentang akal dan wahyu, Ihyâ’ disebut sebagai salah satu buku pendukungnya. Bahkan Sadra Sirat pernah menulis Ihyâ’ menurut penafsiran Syiah.45 Saat itu, Muhammad al-Khudhari Husain mengatakan bahwa dengan Ihyâ’ manusia dapat menambah kekuatan akalnya, mendalami ilmu syariat, serta membebaskan diri dari nafsu dan kerakusan pada kehidupan dunia,46 karena kandungan dari Ihyâ’ tidak hanya terbatas pada soal ibadah, adat (al-‘âdât), akhlak, dan kejiwaan, tetapi juga mengandung pemikiran falsafi, ilmu, dan masalah keduniaan. Ditinjau dari kandungannya, keistimewaan Ihyâ’ berisikan ilmu-ilmu keislaman. Ihyâ’ terdiri atas empat rub’ dan masing-masing rub’ terdiri pula atas sepuluh kitab, masing-masing kitab terdiri atas beberapa bab, fasal, syarah, dan bayan (penjelasan). Rub’ al-‘ibâdat didahulukan dari rub’ yang lain karena ibadat merupakan pokok dan tujuan utama manusia diciptakan Allah. Pembahasan mengenai keharmonisan hubungan manusia dengan Allah terletak pada faktor ibadat. Pembahasan mengenai kehidupan sosial dan kehidupan politik atau hubungan manusia dengan sesamanya dan makhluk Allah lainnya diletakkan dalam rub’ al-‘âdât. Adapun tujuan dari rub’ ini adalah pembinaan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya. Rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât berkaitan erat dengan pembinaan hubungan baik manusia dengan dirinya sendiri. Rub’ al-muhlikât berisikan uraian tentang sifat-sifat tercela yang merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit jiwa (amrâdl al-qalb), serta jatuhnya manusia dalam kebinasaan (al-fasâd) dan neraka. Apabila manusia bebas dari sifat-sifat al-muhlikât atau sifat-sifat tercela, maka ia selamat dari 44
M. Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasqi, Mau’izhat al-Mu’minin Min Ihya’ ‘Ulum alDin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. t.), hal. 4. 45 Amir Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi, 1978), hal. 467 pada catatan kaki. 46 Muhammad al- Khudari Husain dalam kata pengantar dalam Al-Ghazali “Ihyâ’”, juz 1.
143
penyakit jiwa dan selamatlah ia dari kebinasaan dan neraka. Sebaliknya, rub’ almunjiyât berisikan uraian tentang sifat-sifat terpuji yang juga merupakan faktor pengobatan bagi penyakit jiwa (mu’âjalat amrâdl al-qalb), serta merupakan faktor utama untuk memperoleh kebahagiaan, keselamatan, dan surga di akhirat.47 Didahulukannya rub’ al-muhlikât daripada rub’ al-munjiyât disebabkan sifat-sifat terpuji tidak mungkin dapat ditanamkan dalam diri, sebelum diri bebas/bersih dari sifat-sifat tercela. Dengan meneliti lebih mendalam kandungan Ihyâ’ pada setiap rub’, kitab, bab, fasal, syarah, dan bayannya, maka akan dapat ditemukan keluasan ilmu yang terdapat di dalamnya. Ihyâ’ merupakan karya terbesar dari Al-Ghazali. Sesuai dengan judulnya, Ihyâ’ sungguh merupakan salah satu kekuatan yang dapat menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam. Kitab pertama dari rub’ al-‘ibâdat menggambarkan Al-Ghazali sebagai manusia epistemolog dalam Islam karena dalam kitab itu ia menguraikan pembahasan segala sesuatu yag berhubungan dengan ilmu, seperti pengertian ilmu, keutamaan ilmu, klasifikasi ilmu, pembagian ilmu atas terpuji dan tercela, bahaya ilmu, keutamaan belajar dan mengajar, serta adab kesopanan pelajar dan guru. Kitab kedua menunjukkan pula ia sebagai manusia mutakallim (theolog) dalam Islam karena memiliki konsep dan ajaran tentang akidah, yakni akidah Sunni (Asy’ariyah). Sementara itu, kitab ketiga sampai ke sepuluh menunjukkan ia sebagai manusia fakih karena kandungan kedelapan kitab tersebut pada umumnya berisikan masalah fiqih, seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji dan praktik-praktik keagamaan yang disunahkan kepada setiap manusia muslim dalam beribadat kepada Allah. Adapun ringkasan isi keseluruhan dari rub’ al-‘ibâdat itu berkaitan dengan persoalan pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah dalam kehidupannya melalui jalan ilmu, iman, ibadat wajib, dan ibadat yang
47
Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 1, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1980), hal. 1-6.
144
disunahkan. Jelasnya, ilmu, iman, dan ibadat merupakan dasar bagi pembentukan kehidupan yang baik (hayât thaiyibat) bagi manusia. Di samping itu, Rub’ al-‘âdât menggambarkan Al-Ghazali tidak hanya sebagai sufi dan filsuf akhlak, namun juga menggambarkan ia sebagai pemikir sosial dan politik dalam Islam karena dalam rub’ itu ia menerangkan hak dan kewajiban manusia terhadap dirinya, serta terhadap kehidupan sosial dan politik. Dalam rub’ ini ia menjelaskan beberapa tuntunan cara/pola hidup berkeluarga, bersaudara, bersahabat, bergaul dengan sesama makhluk, berusaha dan mencari penghidupan, serta hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam. Ringkasan isi keseluruhan dari rub’ al-‘âdât ini adalah berkaitan dengan persoalan pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya melalui penghayatan dan pengamalan ajaran akhlak dan tasawuf, serta adab. Sementara itu, rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât menggambarkan AlGhazali sebagai ahli jiwa dan etika Islam karena dalam kedua rub’ itu ia menguraikan masalah-masalah yang berhubungan dengan akhlak dan kejiwaan manusia. Dalam rub’ al-muhlikât ia membahas masalah akhlak yang menjadi faktor penyebab timbulnya penyakit jiwa atau masalah akhlak dan kejiwaan yang mana mengakibatkan kegoncangan jiwa, ketidaktentraman batin, dan gangguan kejiwaan. Dalam rub’ al-munjiyât ia membahas masalah akhlak yang membawa kepada kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa atau masalah perbaikan akhlak dan perawatan jiwa. Adapun ringkasan isi dari kedua rub’ itu mencakup permasalahan tentang pembentukan hubungan baik manusia dengan dirinya sendiri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, dan penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji. Sehubungan dengan itu kedua rub’ ini disebut AlGhazali sebagai ilmu batin
atau jalan mencapai kebahagiaan akhirat. Ihyâ’
pantas dijadikan rujukan/pedoman bagi setiap manusia dalam mencapai kehidupan yang baik dan keluhuran budi pekerti. Sa’id Hauwa berpendapat kata tazkiyat secara harfiah memiliki dua makna, yakni tathhîr dan al-nâmî atau alishlâh. Tn dalam pengertian pertama berarti membersihkan diri dari sifat-sifat
145
tercela, sedangkan dalam pengertian kedua berarti menumbuhkan dan memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat terpuji.48 Oleh karena itu, pengertian tn tidak hanya terbatas pada pembersihan jiwa, namun juga meliputi pembinaan dan pengembangan diri. Selain itu, tn dalam pengertian di atas juga terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Misalnya Fakhr al-Râzi dalam Tafsîr al-Kabîr mengartikan tazkiyat dengan tathhîr dan tanmiyât, yang berfungsi untuk menguatkan motivasi semanusia dalam beriman dan beramal saleh. Tegasnya ia mengatakan bahwa tazkiyat adalah ungkapan tentang tathhîr dan tanmiyât.49 Mufasir Muhammad Abduh mengartikan tn dengan tarbiyat al-nafs (pendidikan jiwa) yang kesempurnaannya dapat diperoleh melalui tazkiyat al-‘aql (penyucian dan pengembangan akal) dari akidah yang sesat dan akhlak yang jahat. Tazkiyat al‘aql kesempurnaannya dapat pula dicapai dengan tauhid yang murni.50 Pendapat Abduh ini sejalan dengan arti kata tazkiyat itu sendiri, dan pengertian pendidikan dalam arti yang luas, yang tidak saja terbatas pada tathhîr al-nafs, tetapi juga tanmiyat al-nafs. Berdasar tinjauan pendidikan dan ilmu jiwa banyak pula pendapat para ahli tentang tn. Misalnya di antara mereka adalah Ziauddin Sardar, Muhammad Fazlur- Rahman Ansari, dan Hasan Langgulung. Sardar mengartikan tn sebagai pembangunan karakter (watak) dan transformasi dari personalitas manusia, di mana seluruh aspek kehidupan memainkan peranan penting dalam prosesnya. Tn sebagai konsep pendidikan dan pengajaran tidak hanya terbatas pada proses pengetahuan yang sadar, tetapi lebih merupakan tugas untuk memberi bentuk pada tindakan hidup taat, dan mukmin merupakan hasil karya yang dibentuk oleh tn.51 Di samping itu, Ansari mengartikan tn sebagai upaya 48
Sa’id Hauwa, al-Mustakhlash Fî Tazkiyat al-Anfûs, (Mesir: Dâr al-Salâm, 1984), hal. 5. 49 Fakhr al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, juz 4, (Teheran: Dâr al-Kutûb al-‘ilmiyat, t.t.), hal. 75
dan 143. 50
Muhammad Rasyid Ridha, (ed.), Tafsir al-Manar, juz 4, (Mesir: Maktabat al-Qahirat, t.t.), hal 222-223. 51 Siauddin Sardar, The Future of Muslim Civilidzation, terj. HM. Mochtar Zoerni dan Ach. Hafas Sn :Masa Depan Peradaban Muslim”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hal. 383.
146
psikologis untuk membasmi kecenderungan-kecenderungan akhlak buruk/jahat yang ada dalan jiwa sebagai upaya mengatasi konflik batin antara al-nafs allauwâmat dan al-nafs al-ammârat. Dengan melakukan upaya ini diharapkan manusia dapat memiliki kemampuan dalam mengatasi konflik, dapat tumbuh sebagai pribadi yang kuat, dan mampu melakukan tindakan sesuai dengan aturan moral.52 Sedangkan Hasan Langgulung mengartikan tn sebagai metode penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Dengan demikian,
tn bisa dipandang sebagai metode pembentukan manusia yang
bertakwa.53 Dari segi akhlak dan tasawuf ada para ahli yang mengartikan tn dengan takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs dalam arti mengosongkan diri dari akhlak tercela, dan mengisinya dengan akhlak terpuji. Dengan kosongnya jiwa dari akhlak tercela dan penuhnya jiwa dengan akhlak terpuji, maka manusia akan mudah mendekatkan diri kepada Allah. Jelasnya, pengertian tn berhubungan erat dengan akhlak dan kejiwaan, serta berfungsi dalam Islam sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak mulia atau berkarakter baik. Pemikiran Al-Ghazali mengenai tn ada dalam setiap rub’ dan kitab dari Ihyâ’. Ini menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap masalah tn dalam Islam. Ihyâ’ secara keseluruhan misinya adalah misi tn karena konsep kehidupan yang baik yang terdapat dalam buku itu dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaan kehidupan beragama dalam Islam.54 Sedangkan tn sendiri pengertiannya meliputi ilmu lahir dan batin, syariat dan hakikat, serta duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Ihyâ’ sarat berisikan ilmu-ilmu tersebut. Pada prinsipnya, konsep tn dalam Ihyâ’ didasarkan pada ibadat, al-‘âdât dan akhlak, seperti tampak kelihatan pada masing-masing judul rub’-nya. Landasan ibadat, al-‘adat dan akhlak dalam arti terciptanya keharmonisan hubungan manusia 52
Muhammad Fazl-ur-Rahman Ansari, The Qur’anic Foundation and Structure of Muslim Society, juz 1, (Pakistan: World Federations of Islamic Missions, 1973), hal. 300. 53 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), hal. 371-377. 54 W. Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy, (Edinburgh: Edinburg University Press, 1977), hal. 104.
147
dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri. Dengan terciptanya keharmonisan dalam tiga macam hubungan manusia dimaksud maka manusia akan sukses dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Pengertian tn menurut Al-Ghazali juga dapat berarti takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs. Arti takhliyat al-nafs jelas terdapat dalam rub’ al-muhlikât, dan arti tahliyat al-nafs dalam rub’ al-munjiyât. Sungguhpun tn baginya dapat berarti takhliyat al-nafs dan tahliyât al-nafs, namun pencapaian keberhasilan kedua proses ini dalam tn sangat ditentukan oleh ibadat dan al-‘âdât. Itu sebabnya ia mendahului rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât dengan rub’ al-‘ibâdat dan al‘âdât. Rub’ al-‘ibâdât dan al-‘âdât merupakan dasar bagi tn dalam pengertian takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs. Tn dalam pengertian ini tidak akan sukses, kecuali kalau prosesnya diletakkan di atas dasar ibadat dan al-‘âdât (hubungan baik manusia dengan sesamanya dan lingkungan). Dalam pengertian ini konsep tn itu menurut Al-Ghazali tersusun dari komponen al-‘ibâdat, al-‘adat, takhliyat al-nafs, dan tahliyat al-nafs. Keempat hal ini dalam proses dan pelaksanaannya tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Secara umum pengertian tn dalam Ihyâ’ terdapat pada setiap kitabnya, tetapi dari keempat puluh kitab itu yang banyak membicarakan tn ialah kitab tentang ilmu, akidah, dan thaharah dari rub’ al-‘ibâdat, serta kitab tentang keajaiban jiwa dan latihan kejiwaan dari rub’ almuhlikât. Sementara rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât itu sendiri merupakan tn dalam pengertian takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs. Dalam tiga kitab pertama, Al-Ghazali meninjau tn dari segi ilmu, akidah, dan thahârah. Dalam dua kitab yang terakhir ia banyak meninjau dari segi kejiwaan (al-qalb). Pada kitab tentang ilmu, ia menerangkan bahwa tn merupakan jenis ilmu terpuji yang wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap muslim. Tn termasuk ilmu muâmalat (praktis) dan fardhu ‘ain hukum mempelajarinya karena dalam misinya terdapat ajaran-ajaran dasar Islam, seperti ilmu, akidah, muâmalat (adat), dan akhlak. Tn juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan akhirat karena banyak
148
berbicara soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa di dunia yang merupakan modal bagi kehidupan akhirat. Hal ini menjelaskan tn termasuk dalam kategori ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai objek. Tn dalam ilmu ladunni (ilham) dalam mencapai tujuannya. Sedangkan dalam fungsi ilmu sebagai obyek, tn merupakan hal yang penting untuk diketahui dan dicari karena tn berkaitan dengan soal kebahagiaan atau kesengsaraan hidup manusia di dunia dan akhirat.55 Al-Ghazali memandang tn sebagai ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Pada kitab tentang akidah, tn diartikan sebagai ma’rifat kepada Allah dan tanzîh terhadap-Nya. Ma’rifat adalah mengetahui dan meyakini dzat, sifat, af’al Allah, dan ajaran al-sam’iyat (yang berhubungan dengan kehidupan akhirat atau hal yang gaib). Tanzîh berarti menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi kemahasucian dan kemahaagungan-Nya. Dari segi akidah, tn juga berarti pakaian, perhiasan, dan buah keimanan karena terkait misi ajaran mengenai ilmu, amal ibadat, dan akhlak. Tn dapat menjaga dan menyelamatkan manusia dari azab neraka, dan memasukkannya ke dalam surga karena tn merupakan faktor pokok kebaikan. Ringkasnya, tn dalam kitab tentang akidah berarti ma’rifat dan tanzîh terhadap Allah, serta merupakan realisasi dari akidah. Sedangkan pada kitab tentang thaharah, Al-Ghazali mengartikan tn dalam pengertian yang luas. Ia memakai istilah thahârat al-qalb atau tathhîr al-qalb untuk menunjuk kepada tn. Dalam kitab ini ia membagi tathhîr al-qalb dalam empat tingkatan. Pertama, membersihkan badan/lahir dari segala hadas, kotoran, dan benda-benda yang menjijikkan. Kedua, menyucikan anggota badan dari segala perbuatan dosa dan salah. Ketiga, menyucikan jiwa (al-qalb) dari segala akhlak tercela. Keempat, menyucikan sir/keinginan hati dari segala sesuatu, selain ridho Allah. Tingkat keempat ini merupakan tingkatan tn para nabi, rasul, dan al-shiddîqîn. Adapun manusia yang mencapai tingkat ini akan memperoleh 55
Mengenai konsep ilmu menurut Al-Ghazali lihat Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1986), hal. 125-141.
149
al-kasyf, terbuka hijab antara ia dan Allah. Ini menjelaskan bahwa ia mengartikan tn dalam pengertian yang luas, yakni lahir dan batin. Tn dalam pengertian lahir merupakan penyucian anggota badan dari segala hadas, kotoran, dan benda-benda yang menjijikkan, serta mendidiknya dengan amal kebaikan dan ketaatan. Sedangkan dalam pengertian batin, tn berarti penyucian diri dari perbuatan dosa, salah, sifat tercela, dan sir dari segala sesuatu selain Allah. Dalam kitab thahârah ini, Al-Ghazali memakai istilah tathhîr al-qalb untuk menunjuk kepada tn. Sementara dalam kitab tentang keajaiban jiwa, Al-Ghazali mengartikan tn sebagai jiwa yang sadar akan dirinya dan mau bermakrifat kepada Allah. Sebaliknya tdn merupakan jiwa yang lupa akan dirinya dan tidak mau bermakrifat kepada Allah. Jiwa yang pertama disebut jiwa zakiah, tathhîr, salîm (sejahtera), dan muthmainnat. Sebagai ganjarannya jiwa tersebut memperoleh kemenangan (al-falâh) dalam hidupnya di dunia dan akhirat, serta di akhirat kelak Allah menerimanya. Jiwa yang kedua disebut jiwa yang kotor atau sakit. Jiwa ini dalam kehidupanya di dunia dan akhirat mengalami kerugian, dan setelah berpisah dengan tubuh, Allah enggan menerimanya. Selanjutnya menurut Al-Ghazali, jiwa yang dibina dengan proses tn akan meningkat derajatnya ke tingkat yang tinggi, naik ke alam malakut, dan dekat dengan Allah. Sementara jiwa yang dibina dengan proses tdn akan meluncur derajatnya ke tingkat yang rendah, turun ke derajat jiwa setan dan jiwa manusia-manusia fasik. Pemikiran Al-Ghazali tentang keadaan dua sifat jiwa ini didasarkan atas ayat Al-qur’an berikut.
$yg8©.y— `tB yxn=øùr& ô‰s% $yg9¢™yŠ `tB z>%s{ ô‰s%ur ÇÒÈ 56 ÇÊÉÈ
56
Q.S (92):9-10. Artinya: Sesungguhnya beruntunglah manusia yang menyucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah manusia yang mengotorinya.
150
tûïÏ%©!$%x. öNßg9|¡Sr'sù ãNèd 57
Jelasnya,
(#qçRqä3s? Ÿwur ©!$# (#qÝ¡nS 4 öNåk|¦àÿRr& š•Í´¯»s9'ré& ÇÊÒÈ šcqà)Å¡»xÿø9$#
tn juga merupakan konsep kesadaran jiwa dalam berma’rifat dan
berlaku taat kepada Allah. Adapun pengertian kedua dari tn dalam kitab keajaiban jiwa adalah tathhîr al-qalb dan tazkiyat al-qalb. Manusia yang dapat menerima pemberian dan rahmat Allah hanyalah manusia yang tahir dan zakiah jiwanya dari akhlak tercela. Dengan mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib, ia meletakkan tn di atas tiga landasan sifat jiwa yang dicintai Allah, yakni jiwa yang halus, bersih, dan kuat. Jiwa yang halus berarti lemah lembut (kasih sayang) dalam bergaul dengan saudara-saudaranya. Jiwa yang bersih dalam arti keyakinan, yakni keyakinan bersih dari akidah yang salah dan menyesatkan. Sedangkan jiwa kuat (tegas) berkenaan dengan penjagaan kehormatan agama (dîn). Ketiga sifat jiwa ini tercantum dalam Al-qur’an seperti juga yang dikutip Al-Ghazali sebagai berikut:
4
«!$#
ãAqß™§‘
ÿ¼çmyètB Í‘$¤ÿä3ø9$# 58
Ó‰£Jpt’C
tûïÏ%©!$#ur ’n?tã
âä!#£‰Ï©r&
ÇËÒÈ … ( öNæhuZ÷•t/ âä!$uHxqâ‘
57
Q.S (59):19. Artinya: dan janganlah kamu seperti manusia-manusia yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah manusia-manusia yang fasik. 58 Q.S (48):29. Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan manusia-manusia yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap manusia-manusia kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
151
Didasarkan pada artinya, ayat di atas juga menunjukkan perbedaan jiwa manusia munafik dan mukmin. Jiwa manusia munafik bersifat kufur, kasar, dan gelap; sedangkan jiwa mukmin bersifat halus, kasih sayang, dan bersinar. Jadi, tn dalam pengertian kedua ini, di samping pembersihan jiwa dari akhlak tercela dan berhiaskan dengan akhlak terpuji, juga ditekankan artinya pada kebersihan jiwa dalam berakidah dan keteguhan jiwa dalam beragama. Kaitannya dengan sifat-sifat jiwa yang ada dalam diri manusia, pengertian tn menurut Al-Ghazali adalah pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan (rabbânî). Tn dikaitkan dengan sifat kebuasan adalah pembersihan diri dari sifat marah yang tidak berada pada batas itidalnya, dan sifat-sifat buruk lainnya yang timbul darinya, seperti sifat permusuhan, sembarangan, pemberang, takabbur, jâh, ujub (sombong), niat jahat, dan berbuat zalim. Tn dalam hubungannya dengan sifat kebinatangan adalah pembersihan diri dari sifat-sifat hawa nafsu, seperti rakus, bakhil, ria, dengki, busuk hati, la’b (main-main), dan lahw (senda gurau). Tn dalam hubungannya dengan sifat setan adalah meninggalkan sifat-sifat setan dalam diri seperti mengecoh, tipu mulihat, merusak, dan berkata kotor. Apabila jiwa sudah bersih dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, maka mudah berkembang sifat-sifat ketuhanan dalam diri. Adapun tn dalam kaitannya dengan sifat rabbani adalah pembinaan jiwa dengan sifat-sifat dan nama-nama Allah, seperti ilmu, hikmat, dan sifat-sifat lainnya yang terlepas dari perbudakan hawa nafsu dan marah. Hawa nafsu dan marah dalam arti manusiawi, apabila dikuasai dan dikendalikan
dengan
baik
atau
dikembalikan
kepada
batas
itidalnya
(keseimbangan) akan menumbuhkan sifat wara’, qanâ’at (kepuasan hati), ‘iffah, zuhud, malu, ramah, kasih sayang, berani, lapang dada, teguh pendirian, dan sifat terpuji lainnya dalam diri. Jiwa dengan sifat rabbani juga disebut sebagai jiwa
152
yang memiliki wâ’izh (juru nasihat) dan hâfizh (penjaga) dalam dirinya atau jiwa muthmainnat menurut Al-qur’an. Dari keterangan ini dapat pula dikatakan bahwa tn berarti pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, kemudian menghiasinya dengan sifat ketuhanan. Selanjutnya, pengertian ketiga dari tn dalam kitab keajaiban jiwa mengacu pada ilmu dan amal yang dipraktikkan para sufi, yaitu ditekankan pada amal yang bertujuan untuk membersihkan dan mencemerlangkan jiwa, dan tidak seperti manusia-manusia yang beramal karena jâh dan pamer sehingga amalnya tidak mempengaruh proses penyucian jiwanya. Dengan kata lain, mereka dalam beramal tidak saja memperhatikan aspek-aspek lahir dari amalnya, tetapi juga sangat menekankan aspek-aspek batinnya. Ini pada umumnya dimiliki ahli hakikat, dan jarang terdapat pada ahli syariat. Ahli syariat masa Al-Ghazali dalam beramal cenderung kepada popularitas dan formalitas atau bersifat jah dan ria. Untuk itu perlu sekali keharmonisan (kei’tidâlan) antara keduanya dalam upaya meraih keberuntungan hidup. Sementara pengertian terakhir dari tn dalam kitab keajaiban jiwa adalah thahârat al-nafs dan imârat al-nafs. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan pengertian tn dalam arti takhliyat al-nafs dan tahliyat alnafs. Thahârat al-nafs berarti pembersihan diri dari sifat-sifat tercela, dan imârat al-nafs dalam arti pengembangan jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Manusia yang sudah mampu melakukan kedua proses tersebut maka ia akan sampai pada tingkatan jiwa muthmainnat, dan ia terbebas dari pengaruh jahat hawa nafsu. Adapun dalam kitab latihan kejiwaan Al-Ghazali mengartikan tn sebagai ilmu tentang penyakit jiwa (asqâm al-nufus) dan sebab-sebabnya, serta ilmu pengobatan dan pembinaan jiwa. Pengertian ini dipahaminya dalam menafsirkan ayat Al-qur’an berikut:
153
ÇÒÈ $yg8©.y— `tB yxn=øùr& ô‰s% 59
ÇÊÉÈ $yg9¢™yŠ `tB z>%s{ ô‰s%ur Dengan demikian, arti tn dalam ayat tersebut adalah upaya manusia
mengobati penyakit jiwanya, dan memperbaiki dirinya, setelah ia terlebih dahulu mengetahui penyakit dan sebab-sebabnya. Sebaliknya arti dari tdn adalah manusia yang membiarkan dirinya sakit dan merana, serta tidak mau mengobati dan memperbaiki dirinya. Tambahan pula, dalam kitab keajaiban jiwa, ia menjelaskan obat penyakit jiwa dan cara pengobatannya, yaitu dengan obat dan cara yang ditempuh ilmu syariat (agama), di samping obat dan cara yang ditempuh ilmu akal. Pada dasarnya ilmu akal itu hanya berfungsi sebagai makanan bagi jiwa, sedangkan fungsi obat yang sebenarnya bagi jiwa hanya ada pada ilmu syariat. Di antara bentuk pengobatan dari ilmu syariat itu adalah ibadat dan akhlak yang disusun oleh para nabi Allah untuk pengobatan dan perbaikan jiwa. Dalam hal ini kandungan Ihyâ’ berhubungan erat dengan pengobatan jiwa dan perbaikannya. Selain itu, Al-Ghazali menekankan pengertian tn dari segi ilmu penyakit jiwa dan sebab-sebabnya, serta ilmu pengobatan (mu’âlajat) dan perbaikan (ishlâh) jiwa, karena Al-Ghazali beranggapan bahwa manusia tidak mungkin terlepas sama sekali dari penyakit dan kekurangan yang terdapat pada dirinya. Bahkan menurutnya jiwa manusia itu tidak ada yang sehat. Jiwa itu semuanya sakit, kecuali yang dikehendaki Allah untuk sehat/tidak sakit, seperti para nabi dan rasul. Namun demikian, di antara penyakit itu termasuk jenis penyakit yang sulit diketahui oleh pemiliknya, dan oleh karena itu ia menjadi lengah atau rapuh. Kalau pun ia dapat mendeteksinya atau mengetahuinya, niscaya tidak mudah baginya menahan “kepahitan” obatnya karena obat tersebut berlawanan dengan
59
Q.S (92):9-10. Artinya: Sesungguhnya beruntunglah manusia yang menyucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah manusia yang mengotorinya.
154
keinginan hawa nafsu. Tidak ada tabib (dokter) jiwa yang dapat mengobatinya kecuali “dokter” dari kalangan ulama. Untuk menyelamatkan jiwa dari bahaya penyakit dan agar dapat hidup dengan tenang dan bahagia, maka manusia seyogyanya mengobati jiwanya dan memperbaiki dirinya dengan pengamalan ajaran agama. Manusia yang tidak peduli dengan pengobatan penyakit jiwa dan perbaikan dirinya dengan pengamalan ajaran agama, maka manusia tersebut akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidupnya. Dengan demikian, tn dalam pengertian ini berhubugan erat dengan kesehatan mental karena juga mencakup pembahasan masalah penyakit jiwa dan gangguan jiwa serta pencegahan darinya, pengobatan jiwa, perbaikan dan pembinaan jiwa. Tambahan pula, Al-Ghazali juga mengartikan tn dengan takwa karena jiwa manusia yang bertakwa itu bersifat thahir dan zakiah, yang sulit dikotori setan dan digoda hawa nafsu.60 Selain itu, ia juga memberi pengertian tn itu dengan taat, dan keberhasilan cahaya iman atu kecemerlangan nur ma’rifat dalam hati kepada Allah SWT, karena jiwa manusia yang beriman dan taat dekat kepada Allah. Pengertian tn berikutnya adalah amal saleh, di samping ilmu, karena amal saleh itu sendiri adalah bertujuan tn. Didasarkan pada uraian-uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengemukakan beberapa pengertian tn yaitu dalam arti takwa, taat, amal saleh, dan makrifat kepada Allah. Ketakwaan, ketaatan, kesalehan, dan makrifat kepada Allah adalah kunci kemenangan (al-falâh) yang menjadi tujuan tn dalam A-qur’an. Al-Ghazali juga mengemukakan komponen-komponennya. Tn dalam Ihyâ’ terdiri atas beberapa komponen dalam membentuk keutuhannya dan mencapai tujuanya. Komponen-komponennya terdapat pada setiap rub’ dan kitab dari Ihyâ’. Berdasar tinjauan dari rub’ yang terdapat dalam kitab Ihyâ’ maka komponen tn itu terdiri atas tiga komponen dasar, yakni al‘ibâdat (ibadah), al’âdât (muamalah), dan akhlak (al-muhlikât dan al-munjiyât).
60
Al- Ghazali “Ihyâ’ “, juz 11, hal. 24-25.
155
Ditinjau dari jumlah kitab yang terdapat dalam Ihyâ’, maka tn itu memiliki banyak komponen. Dilihat dari rub’ al-‘ibâdat terdapat sepuluh komponen tn, yakni ilmu, akidah, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, tilawat Al-qur’an, zikir dan do’a, serta wirid. Sementara dilihat dari rub’ al-‘âdât terdapat pula sepuluh komponen, yaitu makan, nikah, usaha dan mencari penghidupan, halal dan haram, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan dengan sesama makhluk, ‘uzlat, safar (berjalan jauh), al simâ’, amar ma’ruf nahi munkar, serta adab kehidupan dan akhlak kenabian. Komponen akhlak adalah dalam arti sejumlah sifat yang harus dibersihkan dari diri (al-muhlikât), dan sejumlah sifat lagi yang harus dimiliki diri (al-munjiyât). Di antara sifat al-muhlikât itu ialah syahwat perut dan seks, bahaya lidah, marah, iri, dengki, cinta dunia, cinta harta, bakhil, jah, ria, uju, takabur, dan gurur. Sedangkan komponen al-munjiyât itu ialah taubat, sabar dan syukur, takut dan harap, fakir dan zuhûd, tauhid dan tawakal, kaih sayang, rindu, intim dan ridha, niat, ikhlas dan benar, al-murâqabat dan al-muhâsabat, tafakkur, serta mengingati mati. Komponen-komponen ibadah bertujuan membentuk keharmonisan hubugan manusia dengan sesamanya, dan komponen-komponen akhlak bertujuan membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain komponen-komponen tersebut dapat pula dikatakan sebagai sifat-sifat ketakwaan atau ketaatan dalam arti luas, karena arti ketakwaan dalam al-qur’an meliputi pembentukan keharmonisan hubungan manusia dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, dan agama.61 Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa konsep tn menurut Al-Ghazali dalam Ihya’ memiliki cita atau ide yang luas. Idenya diletakkan dan dibina di atas landasan ibadah, al-‘âdât (muâmalat), dan akhlak dalam yang luas, serta bertujuan membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesamanya dan makhluk, dan dirinya sendiri. Pembentukan 61
Muhammad Abdullah Darraz, Dûstur al-Akhlaq Fî Al-qur’ân, (Kairo: Dâr al-Buhûs al‘Ilmiyat, 1982), jal. 689-781.
156
hubungan manusia dengan Allah terutama ditempuh dengan jalan ibadah, dengan sesama manusia dan makhluk dengan ajaran al’âdât, dan dengan diri sendiri dengan ajaran akhlak. Dengan demikian pola pembentukan hubungan manusia menurut tn bersifat tiga arah, yaitu vertikal (Allah), horizontal (sesama manusia dan makhluk), dan individual (diri manusia sendiri). Oleh karena luas ide tn yang terkandung dalam Ihyâ’, maka tn itu dari segi pendidikan tidak saja berarti pembersihan diri dari ibadat, al-‘âdât, dan akhlak tercela, tetapi juga berarti pembinaan diri dengan ibadat, al-‘âdât, dan akhlak yang terpuji. Sedangkan tn dari segi kejiwaan (al-qalb) tidak saja terbatas artinya pada ilmu penyakit jiwa dan sebab-sebabnya, tetapi juga berarti ilmu pengobatan jiwa dan pembinaan diri. Dengan kata lain, tn itu dari segi kejiwaan adalah konsep pembentukan jiwa yang thâhir, zakiah, salîm, dan muthmainnat yang dimiliki oleh manusia-manusia yang bertakwa, taat, dan beramal saleh. Konsepnya ditandai dengan banyak ibadat kepada Allah, baik hubungan dengan manusia dan makhluk, serta mulia akhlak dan sehat jiwa. Konsep atau pola tn adalah pola kehidupan yang baik, pola kehidupan manusia yang bertakwa atau taat kepada Allah, dan pola kehidupan manusia yang beriman dan beramal saleh. Konsep tn menurut kesimpulan di atas didukung pula oleh buku-buku AlGhazali di luar Ihyâ’. Di antaranya dalam Faishal al-Tafriqat, ia mengartikan jiwa yang tahir dan zakiah yang tersingkap baginya hakikat dan batasan tentang kufur dan iman, serta rahasia tentang kebenaran dan kesesatan – dalam lima arti, yaitu 1) bebas dari kotoran dan debu dunia, 2) dipoles dengan latihan rohani yang sempurna, 3) diterangi dengan zikir kepada Allah dengan ikhlas, 4) terlatih berpikir dengan cara yang tepat, dan 5) berhiaskan keteguhan menetapi ketentuan-ketentuan syariat.62 Dalam Mîzan al’Amal, ia juga memandang tn dalam pengertian yang luas, yang meliputi ilmu dan amal, serta mujahadat dalam mengusahakannya. Pengertiannya tidak hanya terbatas pada tathhîr al-nafs, tetapi
62
Al-Ghazali, al-Qushûr al-‘Awali, juz 1, (Mesir: Maktabat al-Jundi, 1970), hal. 124.
157
juga berarti tanmiyat al-nafs. Jiwa yang tahir dan zakiah menurut pengertian ini dapat menerima anugrah dan kemurahan rahmat Allah.63 Selanjutnya ia mengibaratkan jiwa laksana kaca yang kesempurnaannya terlatak pada kesiapan dan kemampuannya dalam menerima gambar yang berada di hadapannya, dan memantulkannya kembali dalam bentuk aslinya. Menurutnya, kaca yang berkarat, kotor, serta tidak mampu menerima dan memantulkan gambar dalam bentuk aslinya hanya dapat disempurnakan dengan menempuh dua jalan berikut. Pertama, membersihkan dan mengkilapkannya, yakni menghilangkan karat, kotoran, dan debu yang melekat padanya sehingga tampak bersih dan mengkilap. Kedua, mengarahkan kaca tersebut ke arah bentuk gambar yang dikehendaki. Dengan demikian kaca berkemampuan menerima dan memantulkan gambar yang berada di hadapannya. Sama dengan
jiwa
manusia dalam mencapai
kesempurnaannya dapat pula ditempuh dengan dua cara tersebut. Dalam Mîzan al-‘Amal ditemukan pula tn dalam pengertian amal saleh karena amal saleh adalah jalan kepada tn. Tn dalam arti taat terdapat dalam Minhâj al-‘âbidîn. Dalam buku itu, AlGhazali mengatakan bahwa ketaatan merupakan bekal bagi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia wajib taat kepada Allah memperoleh kemenagan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Sebaliknya, manusia yang durhaka memperoleh kerugian dan kesengsaraan.64 Pengertian taat dan ketidaktaatan di sini serupa dengan pengertian tn dan tdn. Tujuan Tazkiyat Al-Nafs Secara umum, tujuan tn dalam Ihyâ’ sudah disebutkan yaitu pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia dan makhluk-Nya, dengan diri manusia sendiri. Tujuan tersebut baru bersifat umum, dan masih dijabarkan lagi oleh Al-Ghazali dalam tujuan khusus. 63
Al-Ghazali, Mîzan al-‘Amal, (Meir: Dâr al-Ma’ârif, 1964), hal. 208. Al-Ghazali, Minhâj al-‘âbidîn, terj. Abdullah bin Nuh “Menuju Mukmin Sejati”, (Banda Aceh: Tenaga Tani, 1986), hal. 3. 64
158
Tujuan khusus dari tn dari komponen ibadat ialah pembentukan manusia yang ‘âlim (berilmu), mukmin, ‘âbid (suka beribadah), muqarrib (suka mendekatkan diri kepada Allah, mau beramal, berdo’a, berdzikir, sadar akan keterbatasan umurnya, mau menjadikan Al-qur’an sebagai pedoman hidupnya, dan berkemampuan dalam menjadikan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadat kepada Allah. Dari rub’ al-‘âdât tujuan khusus dari tn antara lain adalah membentuk manusia yang berakhlak dan beradab dalam bermuamalah (bergaul) dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajibannya, serta tugas dan tanggung jawabnya,
baik dalam hubungan dengan kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, negara, dan agama. Yang ingin dituju dengan ajaran al-‘âdât ini adalah manusia yang pandai menjaga hubungan baiknya dengan sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, minum ,seks, maupun dalm pemenuhan kebutuhan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan jiwa. Ia adalah manusia yang bersunguh-sungguh dalm mengikuti dan menjadikan Muhammad SAW sebagai model kehidupannya. Dari rub’ al-muhlikât tujuan khusus dari tn itu adalah membentuk manusia yang bersikap itidal terhadap dirinya dalam mempergunakan segala potensi yang dimiliki, seperti mempergunakan nafsu, syahwat, marah, dan rasa cinta kepada sesuatu sesuai dengan batas kewajarannya. Dengan bersikap itidal manusia terhadap dirinya, mudahlah ia membebaskan dirinya dari akhlak tercela dan memperoleh kesehatan jiwa (shihhat al-nafs). Dari rub’ al-munjiyât tujuan khusus dari tn adalah membentuk manusia yang berakhlak mulia terhadap dirinya, seperti suka bersabar, bersyukur, takut (khauf), harap, fakir, zuhud, tauhid, tawakal, kasih sayang, rindu, intim, rida, niat, ikhlas, benar, al-murâqabat, al-muhâsabat, tafakkur, dan mengingat mati. Jadi, manusia yang ingin dibentuk oleh tn adalah manusia yang sadar (arif)
159
akan hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia dan makhluk, dan dirinya sendiri.65 Dengan kata lain tujuan tn di atas adalah membentuk manusia yang taat, takwa, dan beramal saleh dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, maupun agama. Manusia yang taat, takwa, dan beramal saleh adalah manusia yang bersikap i’tidal dalam berakhlak dan memiliki kesehatan jiwa dalam hidupnya. Ia dekat dengan Allah dan selalu memperoleh kemenangan. Tujuan tn di atas tampak muluk sehingga terasa sulit untuk mencapainya. Sesunguhnya tujuan tersebut bukanlah sesutu yang mustahil untuk dicapai
manusia.
Kalau
manusia
mau
bermujâhadat
(berjuang)
dalm
mendapatkannya, pasti ia mendapatkan, karena ia berarti berjihad pada jalan Allah. Manusia yang berjihad pada jalan Allah, maka Allah akan menunjukinya.
z`ƒÏ%©!$#ur
(#r߉yg»y_ öNåk¨]tƒÏ‰öks]s9
$uZŠÏù
yìyJs9 ©!$# ¨bÎ)ur 4 $uZn=ç7ß™ ÇÏÒÈ tûüÏZÅ¡ósßJø9$# “Sesungguhnya manusia-manusia yang berjihad pada jalan Kami, niscaya Kami akan menunjuki mereka jalan Kami. Sesunguhnya Allah beserta manusia yang berbuat kebaikan.”66 Demikianlah janji Allah kepada orng-manusia yang berjihad pada jalanNya. Al-Ghazali menyadari bahwa kemampuan manusia dalam mencapai tujun tn itu tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Manusia yang kuat kadar kemampuannya tentu mendapatkan hasil dan tujuan yang lebih tinggi. Sebaliknya manusia yang lemah kadar kemampuannya tentu akan mendapatkan hasil dan 65
Pengertian tujuan khusus ini diambil berdasarkan materi yang terkandung dalam setiap rub’ dan kitab dari Ihya’ 66 Al-Qur’ân, al-Ankabut (29):69.
160
tujuan yang lebih rendah. Oleh karena itulah tujuan tn itu ada tingkatantingkatannya. Walaupun tingkatan-tingkatan tersebut sifatnya sama, yakni ketaatan juga namanya. Tetapi, tujuan tn bagi manusia awam tidaklah sama dengan tujuan tn bagi manusia khusus dan istimewa karena adanya perbedaan kadar kemampuan dan kesungguhan yang dimiliki mereka. Ada empat tingkatan manusia taat yang ingin dibentuk Al-Ghazali dengan tujuan tn-nya. Pertama, tingkat ketaatan manusia awam atau sederhana (al-‘adl). Kedua tingkat ketaatan manusia yang saleh. Ketiga, tingkat ketaatan manusia yang takwa atau muqarrib. Keempat tingkat ketaatan manusia yang benar lagi arif (al-shiddîqîn dan al-‘ârifîn). Ketaatan manusia awam merupakan tujuan minimal dari tn, sedangkan tujuan maksimal (tertinggi) adalah ketaatan manusia yang benar lagi arif, tingkat ketaatan yang dekat dengan nabi dan rasul. Tingkatan pertama sampai ketiga pada umumya dapat dicapai manusia asalkan ia mau bermujahadat. Apabila manusia sudah sampai pada tingkatan ketiga akan mudahlah baginya sampai pada tingkatan keempat. Tingkatan keempat merupakan tingkat yang paling tinggi karena Allah telah menyatakan dalam Alqur’an, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang paling tinggi tingkat ketakwaannya. Dalam kenyataan kehidupan beragama sehari-hari dapat pula dilihat bahwa berkuasanya syariat atas jiwa dan akhlak manusia tingkatannya tidaklah sama, seperti ada yang kuat, lemah, dan sedang. Oleh karena itu, dalam agama ada manusia awam, shâlîh, muqarrib, ârif, benar, nabi dan rasul. Dari uraian ini jelas bahwa Al-Ghazali dalam menetapkan tujuan tn memperhatikan pula kadar kemampuan yang dimiliki manusia, dan sama sekali tidak memandang sama pada setiap manusia. Dengan demikian tujuan tazkiyat al-nafs (tn) itu bersesuaian dengan jiwa pendidikan dan pengajaran.
161
BAB VI
TEORI KORNADT TENTANG AGRESI BERDASARKAN TEORI MOTIVASI A. Teori Kornadt tentang Sistem Motif Agresi Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt Pengertian motif di sini adalah suatu penggerak untuk bertindak yang ada dalam di dalam diri seseorang. Motif adalah faktor yang mempunyai efek mengaktifkan, meningkatkan dan mengarahkan tingkah laku kepada tujuan.1 Menurut Kornadt (1981)2, setiap orang mempunyai motif agresi yaitu suatu kecenderungan untuk bertindak agresif. Dalam pandangan Kornadt, motif agresi merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat (motif agresi) dan komponen penghindar (hambatan agresi), yang keseluruhannya merupakan suatu sistem motif agresi.
Pandangan Kornadt
tentang sisrem motif agresi sejalan dengan pandangan Atkinson.3
1
Lihat Ponpon Harahap, Sistem Motif Agresif : Studi mengenai pembentukan sistem motif agresi pada remaja Batak toba di tempat asal dan di Jakarta sebagai implikasi pengaruh adat dalam praktik pengasuhan anak. Disertasi. Bandung ; (Unisversitas Padjajaran. 1987) 2 Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981) 3 Atkinson, J.W. (ed). An Introduction to Motivation. (Princeton:Van Nostraand Company. Inc. 1964)
162
Pemikiran Kornadt mengenai sistem motif agresi adalah mengambil formula dari Atkinson4 yang merumuskan bahwa motivasi untuk suatu tindakan berprestasi dilihat sebagai suatu fungsi dari dua komponen motivasi: motif pendekat (approach motive) dan motif penghindar (avoidance motive). Berangkat dari asumsi yang sama dengan Atkinson, Kornadt berasumsi bahwa motif agresi sebagai suatu sistem terdiri dari dua komponen yaitu motif agresi (aggressions motiv) sebagai komponen pendekat dan hambatan agresi (aggressionshemmung) sebagai komponen penghindar. Kedua komponen tersebut merupakan suatu disposisi yang ada dalam diri seseorang. Sehubungan dengan itu, maka Kornadt menyatakan bahwa motif agresi sebagai suatu sistem terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat (motif agresi) dan komponen penghindar (hambatan agresi). Tetapi motif agresi ini tidak akan selalu tampil dalam bentuk tingkah laku agresif, karena dipengaruhi oleh hambatan agresi serta situasi lingkungan yang merangsang timbulnya agresi.5
Kornadt
mengatakan
bahwa
pembentukan motif agresi merupakan hasil dari praktik pengasuhan anak. Dengan perkataan lain, motif agresi anak berkembang sejalan dengan perlakuan yang di dapat dari praktik pengasuhan anak. Untuk lebih jelasnya, sistem motif agresi (das Aggressionmotiv-System) berkembang melalui proses praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan penggugahan agresi, seperti melalui proses belajar, meniru,
pembentukkan
struktur
kognitif,
reaksi–reaksi
emosional
dan
kondisioning.6 Teori motivasi mengenai agresi dari Kornadt, memandang agresi sebagai suatu construct yang secara teoretis sebagai suatu motif yang selanjutnya disebut sebagai sistem motif agresi. Kornadt juga berpendapat bahwa di dalam kedua 4
Atkinson, J.W. (ed). An Introduction to Motivation. (Princeton :Van Nostraand Company. Inc. 1964) 5 Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981b, hal. 8. 6 Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981b, hal. 10
163
komponen sistem motif agresi dimaksud terdapat sejumlah elemen yang mendasarinya, seperti derajat ambang rasa marah, toleransi terhadap frustrasi, sikap terhadap agresi, pola atribusi, harapan–harapan akan keberhasilan/ kesenangan, tujuan–tujuan yang umum dan nilai–nilai (nilai budaya). Sebagai contoh, derajat ambang rasa marah yang telah melampaui titik ambang pertahanan, maka tingkah laku agresif akan muncul; ketidakmampuan untuk toleransi terhadap frustrasi akan memunculkan tingkah laku agresif; harapan akan memperoleh sesuatu yang diinginkan dari suatu perilaku yang agresif justru akan memunculkan tingkah laku tersebut menjadi nyata (overt behavior); dan nilainilai yang mendasari pengamatan dan penilaian juga dapat mempengaruhi pemunculan tindakan agresif.7 Hambatan agresi sebagai komponen penghindar (avoidance component) dari sistem motif agresi dapat dipandang sebagai faktor yang menghambat agresivitas. Pada remaja yang tidak mampu bertindak agresif dalam menghadapi tantangan yang mengganggunya berarti mempunyai hambatan agresi yang lebih besar daripada motif agresi. Sehubungan dengan itu, Kornadt menyatakan bahwa motif untuk bertindak agresif secara spesifik merupakan fungsi motif agresi dikurangi hambatan agresi. Dan motif agresi baru dapat terlihat sebagai fenomena tingkah laku apabila ada situasi yang mengundang ke arah munculnya bentuk tingkah laku tersebut. Motif agresi merupakan salah satu aspek kepribadian sehingga perkembangannya pun secara bertahap mengikuti proses perkembangan kepribadian.8 Kornadt melihat adanya beberapa kekurangan didalam penelitian yang menyangkut masalah agresi, terutama mengenai teori agresi yang dipergunakan.
7
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981b, hal. 10-14 8 Kornadt, H.J. Toward a Motivation Theory of Aggression and Aggression Inhibition: Some considerations about an aggression motive and their application to TAT and chatarsis, In: de Wit J Hartup, WW, Determinant, and origins of aggressive behavior, Mouton The Hague 1974.
164
Kelemahan itu antara lain :9 (1) Pemakaian pendekatan teoretis yang berbeda-beda yang mengakibatkan adanya ketidakjelasan mengenai faktor-faktor apa saja yang diperlukan atau termasuk di dalam suatu tindakan agresi. Dan juga ketidakjelasan tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan, menstabilkan dan menghentikan suatu tindakan agresi. (2) Pembahasan yang memakai kerangka berpikir teoretis yang berbeda dan kadang-kadang saling bertentangan, yang menyebabkan kebanykan peneliti hanya menguasai sebagian kecil mengenai tingkah laku agresif, padahal umumnya setiap ahli membicarakan agresi secara global.
Sehubungan dengan kekurangan tersebut di atas, Kornadt berpendapat bahwa dibutuhkan suatu teori agresi yang dapat mencakup berbagai pendekatan teoretis, dapat
menggabungkan
fakta-fakta
yang
berkaitan
dan
mampu
untuk
memunculkan hipotesis-hipotesis yang dapat diuji secara empiris.
Dalam usaha membentuk teori agresi dimaksud, Kornadt berangkat dari dasar pemikiran bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya digerakkan oleh kekuatan dari dalam diri (innate forces) seperti dorongan biologis, sifat dan disposisi, maupun rangsangan yang berasal dari luar diri (external stimulus) seperti kondisi situasional, tetapi juga diaktifkan oleh motif (learned motive) yang mengarahkan tingkah laku tersebut ke tujuan yang akan dicapai berdasarkan harapan-harapan yang dimiliki. Dengan memahami motif (faktor intrinsik) sebagai salah satu faktor utama penyebab munculnya tingkah laku agresif, maka Kornadt mengusulkan pemakaian kerangka pembahasan teori motivasi mengenai
9
Kornadt, H.J. Toward a Motivation Theory of Aggression and Aggression Inhibition: Some considerations about an aggression motive and their application to TAT and chatarsis, In: de Wit J Hartup, WW, Determinant, and origins of aggressive behavior, Mouton The Hague 1974.
165
agresi dalam menganalisis permasalahan di bidang agresi. Apalagi analisis yang sistematis teori motivasi jarang dilakukan dan kurang digali.10 Berangkat dari kerangka pembahasan teori motivasi mengenai agresi, sebagai upaya membentuk teori agresi maka Kornadt mengembangkan beberapa konsep dasar dengan menggunakan berbagai pendekatan teoretis. Konsep-konsep dasar tersebut adalah bahwa (1) agresi mempunyai akar biologis, tingkah laku agresif didasari oleh fungsi otak khusus
(fungsi hypothalamus) dan sistem
endokrin sehingga agresi mempunyai komponen herediter; (2) frustrasi dapat mengarahkan manusia pada beberapa bentuk tingkah laku agresif; (3) tingkah laku agresif diperoleh melalui proses belajar dan merupakan akibat pengaruh rangsangan yang berulang kali dari lingkungan ataupun pengalaman yang disertai penguatan; (4) tingkah laku agresif dapat dipelajari dan terbentuk dengan meniru atau mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang diamati; dan (5) pemunculan agresi melibatkan interpretasi kognitif yang dipengaruhi oleh nilainilai budaya terutama berkaitan dengan penentuan tujuan yang akan dicapai dan pelaksanaan suatu tingkah laku agresif yang diharapkan.11 Kelima konsep dasar tersebut menunjukkan bahwa teori Kornadt tentang agresi mencakup beberapa pendekatan teoretis, yaitu : 1) teori biologis, 2) teori frustrasi-agresi, 3) teori belajar, 4) teori belajar-sosial, dan 5) teori kognitif dari motivasi. Teori kognitif dari motivasi memandang bahwa karakter kognitif sistem motif yang terutama adalah penentuan tujuan dan harapan. Keberhasilan tingkah laku termotivasi ditentukan oleh (1) kekuatan dari motif yang tergugah, (2) harapan/keinginan untuk memenuhi tujuan motif melalui tindakan-tindakan instrumental, dan (3) insentif dari pencapaian tujuan12. Oleh karena itu, kondisi10
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981), hal. 14 11 Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981), hal. 15-18 12 Heckhousen, H. & B.Weiner. The Emergence of a Cognitive Psychology of Motivation. In : P. C. Dodwell (Ed). New Horizons in Psychology 2. Harmondsworth, England : Penguin Books. 1972
166
kondisi situasional dan juga disposisi-disposisi individual mempunyai peranan besar di dalam motivasi dari suatu tindakan. Teori ini memandang adanya pengaruh kognisi terhadap tingkah laku termotivasi yaitu interpretasi kognitif (misalnya pengamatan dan penilaian) mengenai “situasi kondisional” dan atribusiatribusi kausal yang dibuat oleh pengamat tentang efeknya tindakan.13 Untuk mengintegrasikan kelima pendekatan teoretis tersebut, Kornadt14 menganggap perlu adanya suatu penghubung yang sistematik. Berkenaan dengan itu, Kornadt mengajukan dua aspek kontroversial yang dipandangnya perlu diintegrasikan, berikut ini : (1) Aspek Individu versus Lingkungan Adanya pertentangan antara dua aspek yang merupakan sumber utama dari “faktor penyebab” timbulnya tingkah laku agresif. Faktor pertama adalah sesuatu yang ada di dalam diri seseorang (dorongan biologis, sifat, dan disposisi) dan faktor kedua adalah sesuatu yang ada di lingkungan (kondisikondisi situasional). Untuk mengatasi pertentangan tersebut, Kornadt mengintegrasikan faktor kondisi-kondisi situasional dengan disposisidisposisi individual. Hal ini terlihat dalam pendapat Kornadt yang menyatakan bahwa perkembangan motif agresi seorang anak atau remaja berkembang sejalan dengan perlakuan yang didapatnya dari orang tuanya melalui praktik pengasuhan anak (child rearing practices). (2) Dorong versus Tarik Berkaitan dengan masalah agresi, timbul masalah yang mempertanyakan apakah tingkah laku manusia dimengerti sebagai sesuatu yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang mendorong dari dalam diri seseorang atau 13
Heckhousen, H. & B.Weiner. The Emergence of a Cognitive Psychology of Motivation. In : P. C. Dodwell (Ed). New Horizons in Psychology 2. Harmondsworth, England : Penguin Books. 1972. 14 Lihat Kornadt dalam Ponpon Harahap. Sistem Motif Agresif : Studi mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Remaja Batak toba di tempat asal dan di Jakarta sebagai Implikasi Pengaruh Adat dalam Praktik Pengasuhan Anak. Disertasi. Bandung ; Unisversitas Padjajaran. 1987, hal. 55.
167
merupakan sesuatu yang ditarik keluar dari diri seseorang. Didalam teori motivasi, masalah ini disebut sebagai kontroversi dorong-tarik (push-pull type). Beberapa teori agresi merupakan pendekatan tipe dorong (push-type) yaitu didasarkan pada dorongan biologis, frustrasi, dan kebiasaaan-kebiasaan yang bersifat mekanistis dilihat sebagai kekuatan “pendorong” (dari dalam diri) timbulnya tingkah laku agresif. Sementara teori agresi yang merupakan pendekatan tipe tarik (pull-type) melihat insentif dari tujuan sebagai kondisikondisi “penarik” sehingga memunculkan tingkah laku agresif.
Dalam teori motivasi mengenai agresi dari Kornadt disimpulkan bahwa kondisi individual berperan sebagai “pendorong” tingkah laku agresif dan kondisi lingkungan (situasi kondisional) berperan sebagai “penarik” munculnya tingkah laku agresif. Selain itu, Kornadt juga menganggap bahwa teori agresi harus dilengkapi dengan kriterium yang dapat membedakan antara fenomena tingkah laku yang tergolong agresif dan mana yang tidak. Sehubungan dengan itu, Kornadt mengajukan definisi agresi
15
sebagai berikut : Agresi adalah suatu tingkah laku
yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki seseorang seperti harga diri, status sosial, dan hak milik. Dalam pengertian yang lebih luas, tingkah laku agresif termasuk perbuatan melanggar tabu dan hukum yang berlaku, serta menolak konsensus kelompok. Sistem motif agresi (das Aggressionsmotiv-System) adalah sumber atau dasar dari tindakan-tindakan agresif dimana gangguan yang ditimbulkannya sebagai sesuatu yang sudah terarah sifatnya.16
Sementara itu, ada tindakan-tindakan
“agresif” yang bukan merupakan hasil sistem motif agresi, yaitu yang didasarkan oleh motif-motif lainnya, seperti tindakan melukai yang dilakukan oleh seorang 15
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981, hal. 6 16 Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981), hal. 8
168
dokter gigi. Ini menunjukkan bahwa tindakan yang menimbulkan gangguan pada orang lain tetapi apabila tujuan utamanya bukanlah untuk melukai atau merusak milik orang lain maka tindakan tersebut berasal dari motif-motif lain bukan bersumber dari sistem motif agresi. Adapun mengenai hubungan antara kedua komponen sistem motif agresi yaitu motif agresi dan hambatan agresi, Kornadt menyatakan bahwa dalam operasionalisasi hubungan kedua komponen tersebut menggunakan aspek kognitif dan situasi lingkungan. Keseimbangan antara motif agresi dan hambatan agresi akan mempengaruhi pembentukkan sistem motif agresi dan hambatan agresi akan mempengaruhi pembentukan sistem motif agresi. Baik motif agresi maupun hambatan agresi ini biasanya bersifat tetap dan untuk mengaktifkannya dibutuhkan suatu situasi penggugah tertentu. Rendahnya tingkah laku agresif ditampilkan seseorang bisa saja merupakan hasil motif agresi yang rendah atau kombinasi dari motif agresi yang tinggi dan hambatan agresi yang tinggi16 Didalam membentuk suatu teori agresi, Kornadt menggunakan berbagai pendekatan teoritis dan telah dikembangkan berbagai konsep dasar. Beberapa konsep tersebut diawali dengan ide bahwa agresi mempunyai akar yang bersifat bilologis, sehingga mempunyai komponen herediter. Namun belum jelas apakah agresi ini dapat dilihat sebagai suatu “insting” atau dorongan agresi yang spesifik (seperti yang diasumsikan oleh ahli-ahli psikoanalisis), atau sebagai efek dari faktor-faktor khusus misalnya hasil proses belajar. Konsep lainnya adalah teori “frustrasi-agresi”, dimana banyak fakta-fakta masih menyangsikan kaitan antara frustrasi dan agresi, walaupun konsep ini masih tetap berpengaruh. Konsep berikutnya adalah yang berasal dari proses belajar. Tingkah-laku agresi adalah dipelajari, mungkin hal ini berkaitan dengan proses tradisional dari conditioning atau menurut prinsip yang lebih modern
16
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981), hal. 10
169
seperti imitasi dan kognisi17. Banyak peneliti yang mendukung konsep ini. Terakhir adanya ide baru mengenai pentingnya proses kognitif yang spesifik dan faktor-faktor moral seperti nilai-nilai, proses pembelaan atas kesewenangwenangan dan tanggung jawab, atribusi dan lain-lain. Untuk itu, Kornadt membuat suatu integrasi prinsip-prinsip tentang berbagai pandangan yang berbeda/tidak berkaitan mengenai agresi. Agresi adalah suatu tingkah-laku termotivasi. Dengan mengambil formula dari Atkinson18 motivasi untuk suatu tindakan berprestasi yang spesifik (motivat A) dipandang sebagai fungsi dari 2 komponen motivasi yaitu motif pendekat (approach motive) dan motif penghindar (avoidance motive). Secara terperinci diuraikan:”motif berprestrasi yang tertahan (MA), harapan mendapat kesuksesan dengan tindakan spesifik dan insentif dari tujuan yang diantisipasikan (E A dan I A) dan sama pula halnya dengan faktor-faktor bagi komponen penghindar (misalnya takut mengalami kegagalan)”. Dapat dikatakan suatu motif agresi sebagai komponen pendekat dan hambatan agresi sebagai komponen penghindar, yang keduanya merupakan suatu disposisi yang tertahan dalam diri. Kedua komponen ini berlaku pula bagi motif agresi sehingga suatu tindakan yang agresif yang spesifik/khas adalah fungsi dari motif agresi yang tertahan (M Aggr), harapan untuk sukses/berhasil dan insentif dari agresi (E Aggr; I Aggr), dikurangi motif tertahan untuk menghindari agresi (Ma Aggr), harapan untuk dihukum dan insentif yang negatif dari hukuman (Ep ; Ip). Uraian ini dapat ditampilkan didalam formula hipotesis:19 Motivat. Specc.Aggr. =f (M Aggr.x E Aggr.x I Aggr)- (Ma Aggr.x Ep x Ip). Motivasi ini adalah fungsi dari motif agresi yang tertahan dan kondisi-
17 18
Bandura, A. Aggression a Social Learning Analisis. Englewood : Printice-Hall, Inc, 1973. Atkinson, J.W. (ed). An Introduction to Motivation. Princeton : d. Van Nostraand Company. Inc.
1964. 19 Kornadt, H.J. Toward a Motivation Theory of Aggression and Aggression Inhibition: Some considerations about an aggression motive and their application to TAT and chatarsis, In: de Wit J Hartup, WW, Determinant, and origins of aggressive behavior, Mouton The Hague 1974.
170
kondisi situasional yang dinilai secara subyektif. Jadi ada penilaian secara kognitif dan emosional yang terkait dalam kejadian-kejadian yang dimaksud. Adapun tahapan dari tindakan agresif adalah sebagai berikut: (1) Ada kondisi situasi yang mengaktifkan agresi berkaitan dengan afek yang ditimbulkan. Dalam hal ini misalnya, rasa tidak enak, tetapi dapat juga”afek positif”yang tergugah. (2) Situasi dan afek secara kognitif dinterprestasikan. Bila rasa marah (anger) dan atau agresi relevan untuk ditetapkan, maka motif agresi yang tertahan diaktifkan.Pengaktifan
ini terdiri dari aktualisasi tujuan-tujuan agresi yang
umum dan pola-pola tingkah laku instrumental dan berhubungan dengan emosiemosi pengharapan. (3) Hal ini harus dispesifikasikan menurut situasi itu dan dan insentif yang diperkirakan akan diperoleh sehubungan dengan tindakan itu. Misalnya, seseorang sedang berada di negara asing, kemudian ia merasa tidak enak oleh orang dari negara tersebut, dan ia bermaksud mempertahankan diri. Ia harus memutuskan tujuan (agresif) apa yang harus ia capai dalam situasi itu, misalnya apakah
ia
harus
diam,
marah,
atau
memaki.
Tetapi
ia
harus
memikirkan/memperkirakan apakah misalnya makian dengan bahasa asing akan cukup berhasil atau dapat tercapai tujuan yang diharapkan. Mungkin saja dalam hal ini hambatan agresi yang muncul, bila kemungkinan insentif negatif yang dipertimbangkan. Dalam hal ini insentif negatif mungkin berkaitan dengan dugaan mendapat balasan dari orang lain atau dengan sistem moral subyektif mungkin timbul keputusan: pembalasan adalah bodoh dan tidak pantas. Sebagai hasilnya dapat saja diputuskan untuk bertindak agresif atau tindak bertindak agresif sama sekali. Tinggi dan rendahnyya agresi seseorang dipengaruhi oleh caranya yang berbeda. Tetapi pada prinsipnya mereka dapat mengadakan/menghadirkan masing-masing dari motif agresi dan hambatan agresi. Rendahnya tinngkah laku agresif yang ditampilkan adalah ambigous :hal itu bisa saja merupakan hasil
171
motif agresi yang rendah atau kombinasi dari motif agresi yang tinggi. Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai hasil dari konflik agresi yang tinggi. Menurut Kornadt, motif untuk bertindak agresif secara spesifik merupakan fungsi motif agresi dikurangi hambatan agresi. Motif agresi barru dapat terlihat sebagai fenomena (gejala) tingkah laku, apabila ada situasi yang mengundang ke arah keluarnya bentuk tingkah laku tertentu. Dalam hal ini motif agresi merupakan salah satu aspek kepribadian, sehingga perkembangannya pun secara bertahap mengikuti proses perkembangan kepribadian.
B. Perkembangan Agresivitas dalam Perspektif Kornadt Proses perkembangan
agresivitas/keagresifan dimulai pada masa awal
kanak-kanak yaitu berupa reaksi afektif yang paling awal terhadap frustrasi, kemudian melalui perlakuan yang diberikan oleh orangtuanya secara terusmenerus. Seorang anak akan belajar
mengenai tingkah laku mana yang
memberikan konsekuensi positif atau negatif, dan ini terus berlanjut pada tahaptahap berikutnya, sampai akhirnya masuk pada perkembangan moral. Evaluasi moral yang didasarkan pada empati, alih peran, dan identifikasi akan mendukung perkembangan hambatan agresi. Salah satu contoh perkembangan agresivitas misalnya penolakan ibu pada masa awal perkembangan memungkinkan peningkatan agresifitas. Hal itu menimbulkan hubungan antara tanda atau ciri tertentu dengan kemarahan, polapola tertentu dari reaksi emosional dan kepercayaan akan dunia/lingkungan yang memusuhinya sehingga ia harus selalu siap mempertahankan diri. Dan sebaliknya, ibu yang menerima anak dengan kehangatan yang tidak terbatas pada masa anak yang paling awal, bisa mengurangi conditioning atau kemarahan dan menghindarkan anak dari pembentukan yang mendasar dari ketidakpercayaan,
172
ancaman,
dan
lingkungannya.
kecurigaan
dalam
kaitannya
antara
individu
dengan
20
Kornadt (1981) mengatakan bahwa pembentukan motif agresi merupakan hasil dari praktik pengasuhan anak. Dengan perkataan lain, motif agresi anak berkembang sejalan dengan perlakuan yang didapat dari praktik pengasuhan anak. Tambahan pula, menurut Kornadt motif agresi merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat (motif agresi) dan komponen penghindar (hambatan agresi). Yang keseluruhannya merupakan sistem motif agresi. Hasil penelitian Kornadt
yang menggunakan alat ukur Saarbrucken
Aggression Scale (SAS)-Kornadt, memperlihatkan bahwa terdapat sejumlah korelasi yang positif dan signifikan antara praktik pengasuhan anak dengan kedua komponen sistem motif agresi. Penelitian yang dilakukan oleh Kornadt membuktikan bahwa ada hubungan antara agresivitas remaja dengan perlakuan ibu terhadap anak.21 Bahkan sejumlah penelitian menemukan bahwa perlakuan ibu terhadap anak (maternal style) merupakan salah satu prediktor utama bagi tingkah laku agresif remaja. Kornadt22
menjelaskan
perkembangan
agresivitas
dengan
memformulasikan beberapa asumsi umum, yaitu: (1) Agresivitas tidak terbentuk sejak awal perkembangan seseorang melainkan berkembang sejalan dengan proses perkembangan kepribadian.
20
Lihat Hamburg & Van Lawick-Goodall, 1974, Bowlby, 1973 dalam Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981), hal. 19 21 lihat Kornadt dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995), hal. 425 22 Ponpon Harahap. Sistem Motif Agresif : Studi mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Remaja Batak toba di tempat asal dan di Jakarta sebagai Implikasi Pengaruh Adat dalam Praktik Pengasuhan Anak. Disertasi. Bandung ; Unisversitas Padjajaran. 1987, hal. 66.
173
(2) Ada struktur yang sederhana pada permulaan proses perkembangan yaitu rasa marah terhadap lingkungan tertentu yang pada dasarnya belum merupakan suatu motif. (3) Pada setiap tahap perkembangan yang berbeda terjadi pembentukkan motif agresi yang elemennya secara relevan berbeda pula. Dengan demikian, beberapa elemen akan berkembang lebih awal daripada yang lain (misal afek yang terkondisi versus pembentukkan nilai-nilai). (4) Perkembangan agresivitas merupakan proses terpadu antara proses-proses biologis, hal-hal yang terkondisi, kognitif, dan proses-proses kognitif di dalam suatu cara yang sistematis. (5) Berhubungan dengan proses-proses yang berbeda secara pre-dominan pada berbagai tahap perkembangan, faktor yang berpengaruh sama akan berbeda fungsinya dari tahap perkembangan tertentu ke tahap perkembangan selanjutnya. (6) Walaupun proses perkembangan membentuk berbagai elemen dari sistem motif agresi, elemen-elemen tersebut tidaklah berkembang secara bebas terpisah antara satu dengan lainnya. Elemen-elemen yang berkembang pada tahap perkembangan yang lebih awal akan mempengaruhi elemen-elemen yang berkembang pada selanjutnya. Proses perkembangan yang lebih awal akan memberikan efek pada proses selanjutnya. Adapun efek yang dimaksud adalah sebagai berikut : a) Efek langsung, muncul sebagai proses awal yaitu yang menjadi dasar untuk tahap perkembangan selanjutnya. Misalnya rasa tidak puas yang kuat (strong displeasure) dan rasa tidak percaya pada lingkungan (basic trust) merupakan dasar bagi perkembangan sistem moral yang akan mempengaruhi kemampuan menilai hal-hal yang bersifat. b) Efek tidak langsung, muncul apabila tingkah laku anak mempengaruhi berbagai interaksi sosial antara anak dan lingkungannya. Sebagai contoh banyaknya ledakan rasa marah atau rasa tidak senang yang berlebihan dari
174
seorang anak dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya reaksi-reaksi yang tidak bersahabat dari orang tua atau pengasuh. Hal ini mungkin akan menginterpretasi frustrasi sebagai suatu yang diakibatkan oleh maksudmaksud tidak baik terhadap orang lain. Menurut
Kornadt (1981), agresivitas
berkembang
sejalan dengan
perkembangan kepribadian individu. Secara garis besar proses dan tahapan perkembangan agresivitas adalah sebagai berikut : (1) Awal agresivitas dapat dilihat dalam reaksi afektif yang pertama terhadap frustrasi pada masa awal kanak-kanak. Ini diasumsikan sebagai bawaan lahir dan mempunyai dasar biologis. Dalam hal ini tahapan agresi dikaitkan dengan reaksi afektif sederhana seperti rasa marah dan rasa tidak percaya. (2) Tahap selanjutnya seorang anak akan mempelajari rasa marah dikaitkan dengan pola tingkah laku dan efeknya. Proses ini diharus dipelajari melalui pengkondisian pengalaman-pengalaman yang memberi akibat positif atau negatif dari reaksi afektif. Efek proses tersebut dapat dilihat sebagai bentuk pertama yang sederhana dari tingkah laku agresif. Atau lebih tepat disebut sebagai proto-aggresive behavior, dimana reaksi-reaksi yang timbul masih bersifat sederhana dan tujuan untuk melukai belumlah berkembang, tetapi sudah jelas terlihat adanya elemen-elemen agresi yang spesifik. (3) Perkembangan kognitif yang penting akan muncul secara bersamaan dengan proses belajar dari pola-pola tingkah laku awal. Hubungan anak dengan pengasuhnya merupakan dasar utama bagi perkembangan emosi dan kognitif. Kualitas pengasuhan yang dialami seseorang pada masa bayi akan sangat menentukan penanaman rasa percaya dasar (basic trust) pada orang lain yang mana akan membentuk dasar manifestasi kepercayaan (faith) di masa datang.23
23
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981
175
Keberhasilan dalam penanaman rasa percaya dasar ini mengakibatkan kekuatan psikososial sedangkan kegagalan mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang dan frustrasi. Pembentukkan rasa percaya walaupun sangat difus sifatnya adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi relasi antara manusia dan lingkungan. Pada dasarnya, hal ini sangat bersifat emosional. Sekali seorang individu mengalami sesuatu dan dianggapnya sebagai hal yang bersifat ramah dan aman, maka hal itu akan dipercayai, sebaliknya apabila seseorang merasakan dunia sekitar tidak ramah dan bermusuhan, maka hal itu akan merupakan sesuatu yang tidak percaya. Ia akan takut dan merasa tidak aman. Dan tentunya selanjutnya ia akan belajar untuk memperhatikan orang lain lebih dahulu dan bersiap dengan suatu pertahanan diri. Perasaan aman penting bagi pemahaman terhadap kejadian-kejadian yang dihadapi. Demikian pula sikap menerima dan kehangatan dari orang tua sejak masa bayi akan mengurangi rasa tidak senang pada anak dan menghindarkan anak dari rasa tidak percaya, mencegah ia merasa terancam dan curiga terhadap orang lain dan lingkungannya.24 (4) Perkembangan agresivitas juga dipengaruhi oleh kognisi. Agresi merupakan tindakan yang bertujuan untuk melukai orang lain maka kognisi yang harus diperkembangkan adalah sebagai berikut : -
Mengetahui bagaimana mengganggunya akibat tingkah laku seseorang pada orang lain (misalnya melalui emphaty, role taking).
-
Memilih efek tertentu saja, karena adanya imbalan.
-
Mengerti bahwa agresi dapat merupakan satu cara untuk mengatasi frustrasi atau menyelesaikan konflik.
(5) Dalam hubungannya dengan proses perkembangan kognitif di atas, pola-pola tertentu dari intensi atribusi akan berkembang. Hal ini membutuhkan 24
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981
176
kemampuan kognitif untuk mengarahkan atribusi pada orang lain dan secara bersamaan menginterpretasi tingkah lakunya. (6) Tahap berikutnya, perkembangan moral menjadi penting. Tingkah laku termasuk agresi menjadi obyek dari evaluasi moral. Agresi tidak selalu berarti buruk karena pada tahapan tertentu dari perkembangan moral, agresi dapat dilihat sebagai suatu pengimbang yang memperbaiki keseimbangan, bahkan bisa jadi agresi dilihat sebagai usaha untuk mempertahankan hak-hak pribadi, atau mempertahankan hukum dan peraturan yang berlaku atau prinsip moral. Evaluasi moral yang didasarkan pada empati, pemilihan peran dan identifikasi, secara khusus akan mendukung perkembangan hambatan agresi, walaupun motif agresi telah berkembang sebelumnya. Apabila anak terlalu dini dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang tinggi, dimana prinsip ini belum dimengerti sepenuhnya oleh anak, maka hal ini akan mempertinggi keagresifan. Teknik pengasuhan anak semacam ini dirasakan tidak adil, dingin dan berisi penolakan. Tetapi di tingkat usia selanjutnya teknik pengasuhan anak semacam ini akan membentuk insentif yang negatif pada agresi sehingga akan meningkatkan perkembangan hambatan agresi. Berdasarkan pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi dengan perkembangan motif adalah tidak mono-causal dan tidak satu arah. Tahapan dari Tindakan Agresi menurut Kornadt 25 Didasarkan pada teori motivasi mengenai agresi, Kornadt menerangkan tahapan dari tindakan agresi sebagai berikut (Lihat lampiran Diagram Skematik: Tahapan dari Tindakan Agresi) 25
Kornadt, H.J. Toward a Motivation Theory of Aggression and Aggression Inhibition: Some considerations about an aggression motive and their application to TAT and chatarsis, In: de Wit J Hartup, WW, Determinant, and origins of aggressive behavior, Mouton The Hague 1974 dan lihat pula Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. (Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981), hal. 30-36
177
Munculnya tindakan agresif mensyaratkan harus ada isyarat situasional yang mengarah kepada penggiatan motif. Diasumsikan adanya kondisi-kondisi frustrasi yang menggugah rasa marah (anger). Hubungan antara isyarat frustrasi dan rasa marah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sebagai suatu kapasitas yang dibawa sejak lahir yang akan bereaksi dengan pembangkit afektif yang khas (rasa marah) terhadap isyarat atau kejadian-kejadian tertentu; Di samping itu, juga sebagai suatu yang dipelajari. Asumsi ini mengintegrasikan prinsip-prinsip biologis dan proses belajar. Frustrasi dan rasa marah bukanlah suatu penyebab yang bersifat segera dalam timbulnya agresi. Rasa marah yang muncul dan isyarat pembangkit merupakan bahan untuk interpretasi kognitif dan kontrol, hanya pada situasi dimana secara subyektif dirasakan mengganggu, barulah motif agresi yang tertahan menjadi giat. Jadi apabila situasi dianggap lucu atau netral saja maka motif agresi yang tertahan itu tidak akan tergiatkan. Penggiatan berarti aktualisasi dari tujuan-tujuan yang bersifat umum, dan pola-pola tingkah laku instrumental yang berhubungan dengan emosi-emosi harapan. Motif yang tertahan berisikan emosi-emosi harapan. Skemata yang umum dan pola-pola yang masih bersifat umum perlu lebih dikhususkan dan dihadapkan pada situasi yang tepat. Pada tahap ini, penjelasan secara teoretis tentang harapan dan insentif/nilai muncul; situasi-situasi yang berkaitan dengan tujuan dan situasi yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang tersedia harus dikembangkan, insentif dari pencapaian tujuan dan kemungkinan untuk berhasil melalui tindakan yang dipertanyakan perlu diperhatikan. Pada waktu yang sama, motif agresi dan hambatan agresi dapat digiatkan pula. Di sini antisipasi yang dimunculkan yaitu konsekuensi negatif yang mungkin dari agresi seperti rasa bersalah dan hukuman diperhitungkan. Tahap selanjutnya, suatu keputusan yaitu apakah terbentuk suatu tujuan agresif yang khusus atau tidak. Apabila diputuskan adanya suatu tujuan agresif, pada saat itu akan ada struktur kognitif yang khusus. Maka tindakan instrumental
178
dalam rangka pencapaian tujuan akan diputuskan dan akan dilaksanakan di bawah kondisi-kondisi yangmemungkinkan. Hasil perbuatan akan diinterpretasikan lagi dalam kaitannya dengan efek yang diarah sudah tercapai atau belum. Apabila tindakan yang diarahkan tersebut terlaksana, maka konsekuensinya adalah rasa puas, bangga. Ini berakibat di dalam suatu penghentian kegiatan dari motif yang digiatkan sebelumnya. Kalau tidak, maka motivasi akan tetap digiatkan dan arah tetap ada. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai katarsis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa ide utama dari Kornadt adalah tindakan agresi bukan suatu yang mekanistis tetapi agresi diartikan sebagai suatu tindakan yang yang terarah pada situasi yang kongkrit. Tujuannya lebih bersifat fleksibel dimana ada sasaran yang mengulang. Dapat diperkirakan ada suatu arah untuk pencapaian tujuan. Ringkasnya, dalam tahapan dari tindakan agresi dimaksud terlihat ada beberapa proses yaitu : (1) penggiatan rasa marah dan interpretasi dari situasi, (2) memberi peluang bahwa ada motif yang tertahan, (3) memberi arah pada tujuantujuan yang umum dan pola-pola instrumental pada situasi yang aktual, (4) mempertimbangkan hasil, insentif, kemungkinan dan konsekuensi, (5) menjadi tidak aktif setelah terjadi pencapaian tujuan. Selain itu, juga terlihat faktor-faktor yang turut berperan dalam prosesproses tersebut adalah: 1) dalam proses frustrasi dan rasa marah, faktor biologi dan proses belajar telah diintegrasikan ; 2) dalam interpretasi terhadap keadaan afektif dan situasi, faktor kognitif (seperti atribusi dari arah, nilai-nilai) dan proses belajar
(seperti
persepsi
selektif,
pengarahan
untuk
interpretasi)
telah
diintegrasikan; 3) dalam penggiatan motif, faktor pemilihan pola-pola tingkah laku yang sudah dipelajari, keterampilan, kemampuan, skemata kognitif seperti sistem moral, antisipasi, serta mengambil keputusan, kesemuanya ini dikaitkan dengan berbagai perasaan/emosi dan juga telah diintegrasikan.
179
Keagresifan berkembang sejalan dengan perkembangan kepribadian individu. Adapun proses dan tahapan perkembangan keagresifan adalah sebagai berikut: (1) Awal keagresifan dapat dilihat dalam reaksi afektif yang pertama terhadap frustrasi pada masa awal kanak-kanak. Ini diasumsikan dibawa sejak lahir, dan mempuyai akar biologis. Dalam hal ini tahapan agresi dikaitkan dengan tingkah laku yang terdiri dari reaksi afektif sederhana seperti rasa marah atau mungkin juga temper tantrum26 (2) Fase berikutnya seorang anak akan mempelajari rasa marah dikaitkan dengan pola tingkah laku dan efeknya. Proses ini harus dipelajari melalui pengkondisian pengalaman-pengalaman yang memberi konsekuensi positif atau negatif dari reaksi afektif seperti temper tantrum, menendang, menangis, memukul di antara anak-anak.27 (3) Perkembangan kognitif berlangsung bersamaan dengan belajar pola-pola tingkah laku
yang pertama. Pembentukan yang pertama, dasar sistem
kepercayaan mengenai hubungan orang dan lingkungan:dasarnya sangat emosional. Seseorang merasa bahwa didunia ramah dan aman sehingga hal itu dapat dipercaya, atau seseorang merasa dunia ini tidak ramah dan bermusuhan maka hal itu akan merupakan sesuatu yang tidak dipercayai, ia akan takut dan merasa tidak aman. Selanjutnya akan belajar untuk memperhatikan orang lain lebih dahulu dan bersiap untuk mempertahankan diri. Perasaan ini sangat penting sebagai dasar bagi interprestasi dari kejadian-kejadian seperti frustrasi. (4) Untuk mengembangkan suatu motif agresi yang sebenarnya, perlu adanya tahapan-tahapan khusus tentang perkembangan kognitif. Adapun tahapantahapan itu adalah sebagai berikut:
26
Feshbach, S. Aggrassion. In : P.H. Mussen (ed). Carmichael’s Manual of Child Psychology. Vol. 2. New York : Jhon Wiley & Sons, Inc. 1970. 27 Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981
180
-
mengetahui bagaimana efek mengganggu tingkah laku seseorang pada orang lain
-
memilih hanya efek tertentu saja, karena adanya hadiah (reward)
-
mengerti bahwa agresi dapat merupakan cara untuk mengatasi frustrasi atau menyelesaikan konflik.
(5) Dalam hubungannya dengan proses ini, pola-pola tertentu dari intensi atribusi akan berkembang. Hal ini membutuhkan kemampuan kognitif untuk mengarahkan
atrribusi
pada
orang
lain
dan
secara
bersamaan
menginterprestasikan tingkah lakunya. (6) Tahap berikutnya, perkembangan moral menjadi penting. Tingkah laku termasuk agresi menjadi objeka dari evaluasi moral. Hasilnya, tentu saja keputusan agresi tidak selalu berarti buruk. Pada tahapan tertentu dari perkembangan moral, agresi dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan hak-hak pribadi, mempertahankan hukum dan peraturan yang berlaku atau prinsip moral. Evaluasi moral yang didasarkan pada empati, alih peran dan identifikasi, secara khusus akan mendorong perkembangan hambatan agresi, walaupun motif agresi telah berkembang sebelumnya. Menurut pendekatan kognitif, keadaan tersebut dapat terjadi karena situasi riil sesaat turut berperan dalam menentukan pemunculan suatu tingkah laku agresif.28 Gambaran ini menjelaskan bahwa di dalam diri seseorang terdapat suatu kekuatan yang menggerakkan seseorang untuk memunculkan tingkah laku agresif dan ada pula kekuatan yang justru menghambat munculnya tingkah laku agresif. Jadi, kondisi yang ada dalam diri seseorang maupun kondisi di lingkungan serta situasi yang tersedia pada suatu saat, mempunyai peranan dalam pemunculan tingkah laku agresif. Dengan perkataan lain, agresi adalah suatu tingkah laku yang 28
Kornadt, H.J. Development Of Aggressiveness : Motivation Theory Presspective. In R.M. Kaplan, VJ. Konecni, R.W. Novaco (Eds). Aggression in Chilldren an Youth. The Hogue : Martinus Nijhoff Publishers. 1984, hal. 74
181
termotivasi.29 Sementara, motivasi pada dasarnya adalah suatu construct.30 Sehubungan dengan itu, maka agresi dapat dikonsepsikan sebagai suatu motif yang mempunyai tujuan.31
C. Praktik Pengasuhan Anak dan Motif Agresi Anak Keluarga merupakan wadah utama pendidikan karakter/pembinaan kepribadian. Tingkah laku agresi adalah fenomena universal yang ditemukan pada setiap tahap perkembangan kepribadian. Sementara kepribadian melalui tingkah laku yang nyata (overt behavior) adalah fenomena yang dihadapi dalam kehidupan sehari–hari. Dalam kehidupan sehari–hari, tingkah laku agresif tidak hanya semata–mata muncul pada situasi yang penuh dengan konflik serta ketegangan emosional tetapi juga dalam lingkungan pertemuan sosial yang sebetulnya bermaksud untuk lebih meningkatkan konformitas dan ikatan relasi sosial. Dalam situasi demikian, tidak jarang timbul keadaan yang mengundang rasa marah seseorang atau sekelompok orang yang dapat berakibat mengganggu ketenangan dan bahkan bisa sampai terjadi perdebatan. Akibatnya bisa muncul tingkah laku agresif. Namun tidak jarang pula, walaupun ada peningkatan kecenderungan untuk menyerang dalam diri seseorang tetapi tidak jadi diekspresikan atau dimunculkan. Menurut Kornadt
32
, yang dimaksud dengan praktek pengasuhan anak
adalah segala macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak, 29 30
Carlson, N.R. Discovering Psvchology. USA : Allyn and Bacon, Inc, 1988, hal. 487. Atwater, E., Psychology of Adjustment, Seconnd Edition, USA : Printice-Hall, Inc, 1983,
hal. 23 31
Kornadt,H.J Eckensberger, LH, Emminghaus. WB, Cross-cultural research on motivation and its contribution to a general theory of motivation.In triandis, HC Lonner Handbook of cross, c6 Kornadt, H.J. Development Of Aggressiveness : Motivation Theory Perspective. In R.M. Kaplan, VJ. Konecni, R.W. Novaco (Eds). Aggression in Chilldren an Youth. The Hogue : Martinus Nijhoff Publishers. 1984, hal. 74 32 Lihat Kornadt dalam Ponpon Harahap. Sistem Motif Agresif : Studi mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Remaja Batak toba di tempat asal dan di Jakarta sebagai Implikasi Pengaruh Adat dalam Praktik Pengasuhan Anak. Disertasi. (Bandung ; Unisversitas Padjajaran. 1987), hal. 15
182
yang didasari oleh nilai serta tujuan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Kornadt membuktikan bahwa ada hubungan antara agresivitas remaja dengan perlakuan ibu terhadap anak.33 Bahkan sejumlah penelitian menemukan bahwa perlakuan ibu terhadap anak (maternal style) merupakan salah satu prediktor utama bagi tingkah laku agresif remaja.34 Hasil penelitian Kornadt yang menggunakan alat ukur Saarbrucken Aggression Scale (SAS)-Kornadt, memperlihatkan bahwa terdapat sejumlah korelasi yang positif dan signifikan antara praktik pengasuhan anak dengan kedua komponen sistem motif agresi. Dalam praktik pengasuhan anak, sebagai proses interaksi antara individu dan lingkungan, segala macam bentuk perlakuan atau sikap baik dari ibu maupun ayah terhadap anak yang didasari oleh nilai dan tujuan keluarga, dapat mempengaruhi perkembangan motif agresi yang ada di dalam diri anak35 Menurut Kornadt,36 praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan pembentukan sistem motif agresi pada anak / remaja, terdiri dari lima aspek, yakni aspek (a) control, (b) rejection – hostility, (c) support, (d) affection – care, dan (e) value – orientation. Kornadt juga mengemukakan bahwa kelima aspek praktik pengasuhan anak tersebut menampilkan dua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak, yaitu : (1) pemberian hukuman / sanksi yang sifatnya negatif, (2) sikap dingin, (3) sikap bermusuhan / tidak bersahabat, (4) sikap tidak mempercayai segala tingkah laku anak, (5) sikap yang selalu menganjurkan anak untuk bergantung pada kebaikan orang lain, (6) sikap 33
Durkin, K. Development Social Psychology, Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995, hal.
34
Durkin, K. Development Social Psychology, Great Britain : T.J. Press Ltd. 1995, hal
425. 425. 35
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981b. Hal. 12. 36 Lihat Kornadt dalam Ponpon Harahap. Sistem Motif Agresif : Studi mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Remaja Batak toba di tempat asal dan di Jakarta sebagai Implikasi Pengaruh Adat dalam Praktik Pengasuhan Anak. Disertasi. (Bandung ; Unisversitas Padjajaran, 1987)
183
yang selalu mendorong anak untuk berprestasi lebih baik dari orang lain, (7) mengarahkan anak agar bertindak sesuai dengan norma atau nilai yang ada pada dirinya, (8) menimbulkan perasaan cemas anak, (9) pemberian hukuman / sanksi yang sifatnya positif, (10) menunjukan kehangatan pada anak, (11) menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang lain sebagai tempat untuk bergantung, dan (12) menunjukkan anak bagaimana harus bertindak sesuai dengan norma atau nilai yang ada di lingkungannya. Kedua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua dalam praktik pengasuhan anak tersebut, secara hipotesis telah dikelompokkan menjadi dua aspek utama oleh Kornadt, yaitu (1) praktik pengasuhan anak oleh orang tua yang meningkatkan motif agresi anak / remaja dan (2) praktik pengasuhan anak oleh orang tua yang meningkatkan hambatan agresi anak / remaja. Sikap orang tua mempunyai pengaruh yang kuat tidak hanya pada hubungan keluarga, namun juga pada perkembangan sikap dan tingkah laku anak, termasuk tingkah laku agresi. Sikap orang tua yang menolak anak, dapat meningkatkan motif agresi anak dan pembentukkan berbagai isyarat yang berkaitan dengan rasa yang tidak menyenangkan (strong displeasure) seperti rasa permusuhan atau frustrasi. Sedangkan sikap menerima dan hangat dari orang tua sejak dini, akan mengurangi rasa yang tidak menyenangkan dan menjadikan anak percaya pada dunia sekitarnya sehingga si anak merasa aman dan tidak mudah curiga dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya. Pada tingkat usia selanjutnya bila kehangatan dari orang tua muncul dalam bentuk sikap memberi kebebasan, maka hal ini dapat meningkatkan motif agresi. Dengan sikap ini terlalu banyak peluang diberikan pada anak dalam mendapatkan insentif positif untuk agresi. Menurut Kornadt, intensitas tergugahnya rasa yang tidak menyenangkan merupakan elemen yang penting dalam agresi. Telah dinyatakan bahwa ketika frustrasi dialami biasanya saat itulah kesempatan bagi rasa yang tidak menyenangkan atau kekesalan muncul. Dan juga kesempatan baginya untuk belajar mengekspresikan rasa kesalnya. Kondisi yang menunjang hal ini adalah
184
cara pengasuhan seperti afeksi, kehangatan, dan dukungan. Apabila seorang anak kurang mendapatkan kasih sayang dan dukungan orang tua maka ia akan frustrasi lalu merasa kesal dan agresivitasnya berkembang. Pembentukan interaksi yang positif antara anak dan orang tua yang mengasuhnya akan memberikan perkembangan agresi yang rendah. Hukuman, dalam metode praktik pengasuhan anak bisa menjadi faktor yang meningkatkan perkembangan motif agresi. Namun pada kondisi yang khusus dapat mendukung perkembangan hambatan agresi yang tinggi. Menurut Kornadt37, praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan pembentukkan sistem motif agresi, terdiri dari lima aspek, yakni (a) control, (b) rejection-hostility, (c) support, (d) affection-care, dan (e) value orientation. Kelima aspek praktik pengasuhan anak tersebut menampilkan dua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak, yaitu : (1) Pemberian hukuman atau sanksi dalam bentuk negatif, yaitu menghukum anak dengan cara mengambil barang-barang yang disukai anak, menarik kembali hadiah dan hak-hak istimewa yang telah diberikan atau dijanjikan, dan memberikan hukuman fisik.; (2) Sikap dingin, yaitu orang tua sering memikirkan diri sendiri, tidak menaruh kepedulian terhadap perasaan dan kebutuhan anak, dan merasa senang apabila berpisah sebentar dengan anak; (3) Sikap bermusuhan atau tidak bersahabat, yaitu sering mempermalukan anak, sering tidak setuju dengan apa yang dilakukan anak, suka mencari kesalahan anak, tidak cepat melupakan kesalahan anak, membuat anak merasa tidak dicintai; (4) Sikap tidak mempercayai segala tingkah laku anak, yaitu sering mencurigai anak, terlalu banyak aturan, selalu mengawasi anak, sering melupakan janji, berusaha agar anak tahu persis kemauan orang tua; 37
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981. Hal. 12.
185
(5) Sikap yang selalu menganjurkan anak untuk bergantungpada kebaikan orang lain, yaitu tidak sudi berbicara dengan anak bila kecewa, sering mengungkit kebaikan yang telah dilakukan untuk anak, bergantung pada tingkah laku anak yang dianggap baik; (6) Sikap yang selalu mendorang anak untuk berprestasi lebih baik dari orang lain, yaitu hanya memberikan waktu yang sedikit pada anak untuk bermain, menekankan pentingnya kerja keras untuk meraih kebahagiaan, melarang banyak keinginan anak, menganggap anak kalah cerdas, menganggap keberhasilan studi adalah tujuan hidup; (7) Mengarahkan anak agar bertindak sesuai dengan norma atau nilai yang ada pada dirinya, yaitu membiarkan anak mencari jalan sendiri walaupun mengganggu kepentingan keluarga, melatih anak agar mampu mempunyai pendirian
sendiri,
dan
mampu
mengemukakan
pendirian
serta
mempertahankan kepentingan diri sendiri; (8) Menimbulkan perasaan cemas anak, yaitu sering menakut-nakuti anak, sering melepaskan kemarahan pada anak, berpendirian bahwa setiap kesalahan anak harus dihukum, menganggap semua hal yang sifatnya seksual tidak baik; (9) Pemberian hukuman atau sanksi yang sifatnya positif, yaitu memberi hadiah jika anak berkelakuan baik, sering memberikan pujian kepada anak, sering menceritakan kebaikan anak, membantu anak dalam tugas-tugas sederhana, dan suka membantu anak dalam merencanakan sesuatu; (10) Memperlihatkan kehangatan pada anak, yaitu berbicara dengan anak secara hangat dan ramah, membuat suasana nyaman di rumah bagi anak, anak merupakan sesuatu yang berarti bagi orang tua, lebih senang bersama anak di rumah daripada pergi bersama teman-teman, mengorbankan rencananya untuk melakukan sesuatu bersama anak; (11) Menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang lain sebagai tempat untuk bergantung, yaitu membela anak jika si anak bertengkar dengan anggota keluarga, berusaha agar anak tidak dihukum terlalu keras, lebih mementingkan
186
kebahagiaan anak daripada prestasi anak, mendampingi anak bila anak menghadapi masalah, menghibur anak bila anak sedang sedih, memperlakukan anak secara tanggung jawab; (12) Menunjukkan pada anak bagaimana harus bertindak sesuai dengan norma atau nilai yang ada di lingkungannya, yaitu mengajar anak untuk tenggang rasa dan ramah terhadap semua orang, tujuan utama mendidik adalah agar anak menjadi pribadi yang tulus dan jujur, mengajar anak untuk dapat mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan masyarakat, mengajar anak mampu bertingkah laku sesuai anggota keluarga.
Kedua belas macam perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak di atas, secara hipotesis telah dikelompokkan menjadi dua kategori utama praktik pengasuhan anak, yaitu: (1) Praktik pengasuhan anak yang mendukung perkembangan motif agresi yaitu meningkatkan agresivitas anak, dan (2) Praktik pengasuhan anak yang mendukung perkembangan hambatan agresi yaitu menghambat agresivitas anak.
Sikap orangtua akan mempengaruhi cara perlakuan orangtua terhadap anak dan sebaliknya akan mempengaruhi sikap anak terhadap orangtua serta bagaimana anak bertingkah laku. Pada dasarnya, hubungan orangtua dan anak tergantung pada sikap orangtua. Bila sikap orangtua menyenangkan, hubungan orangtua dan anak pun akan jauh lebih menyenangkan daripada bila sikap orangtua tidak menyenangkan. Beberapa kasus mal adjustment (kurang mampu menyesuaikan diri) pada anak-anak maupun
dewasa ditemukan berasal dari
keluarga dimana hubungan orangtua dan anak pada masa awal yang tidak menyenangkan yang berkembang karena sikap orangtua, meskipun terselubung dalam tingkah laku yang menggambarkan sikap menyenangkan, namun sebenarnya tidak menyenangkan.
187
Pentingnya sikap orangtua pada hubungan keluarga berasal dari fakta yang menunjukkan bahwa hubungan yang terbentuk itu cenderung menetap. Bila hubungan orangtua anak menyenangkan, maka semuanya akan berjalan baik. Tetapi bila sikap orangtua tidak baik/menyenangkan, hal ini cenderung akan menetap, sekalipun dalam bentuk terselubung, dan akibatnya hubungan orangtua dan anak akan tetap demikian hingga dewasa. Sikap orangtua mempunyai pengaruh yang kuat tidak hanya pada hubungan keluarga, namun juga pada sikap dan tingkah laku anak, termasuk tingkah laku agresi. Misalnya sikap orangtua yang menolak anak, dapat meningkatkan motif agresi dan pembentukan berbagai isyarat yang berkaitan dengan rasa tidak enak seperti rasa permusuhan atau frustrasi. Sedangkan sikap menerima dan hangat dari orangtua sejak dini, akan mengurangi rasa tidak enak dan mencegah anak untuk tidak mempercayai orang lain, juga mencegah rasa terancam dan curiga terhadap hubungan individu dan lingkungannya.38 Pada tingkat usia selanjutnya, bila kehangatan dari orangtua muncul dalam bentuk sikap memberi kebebasan, maka hal ini dapat meningkatkan motif agresi. Dengan sikap ini terlalu banyak kesempatan diberikan pada anak dalam mendapatkan imbalan yang positif untuk agresi. Menurut Kornadt (1982), intensitas tergugahnya (excitability) rasa tidak enak merupakan elemen yang penting dalam agresi. Telah dinyatakan bahwa ketika frustrasi dialami biasanya saat itulah kesempatan rasa tidak enak muncul. Dan juga kesempatan baginya untuk belajar mengekspresikan rasa tidak enaknya. Kondisi yang menunjang keadaan ini adalah nurturance (pengasuhan/perawatan) seperti afeksi, kehangatan, dukungan, misalnya pada saat kanak-kanak yaitu hubungan antara ibu dan anak dan hubungan sosial lainnya. Bila ini kurang, seorang anak akan frustrasi, merasa tidak enak dan keagresifan pun akan berkembang. Kondisi ini juga akan mengembangkan bagaimana seseorang penuh percaya memandang dunianya, dimana hal ini akan menjadi dasar perkembangan 38
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981. Hal. 12-20
188
pola-pola atribusi (sifat/watak) yang positif, dan pembentukan interaksi yang positif antara anak dan yang merawat antara anak dengan kelompok teman sebaya;dan hal ini akan memberikan perkembangan agresi yang rendah.39 Hukuman, dalam metode praktek pengasuhan, bisa merupakan faktor yang meningkatkan agresi; hal ini berlaku bagi semua golongan usia. Pada kondisi yang spesifik/khusus dapat mendukung perkembangan hambatan agresi yang tinggi. Hukuman (punishment) merupakan penghambat tingkah laku seseorang dan perlu memperhatikan mengenai frustrasi sebelum diterapkan di sini. Selain itu, hukuman menekankan konflik keinginan atau tujuan antara anak dan yang memberi perawatan, dimana orang dewasa suka menggunakan force (kekuatan), dan biasanya berhasil. Jadi hukuman merupakan model dari agresi. Akhirnya seseorang dapat melihat bahwa dalam hukuman seringkali disertai dengan ekspresi kemarahan dan tindak kekerasan terhadap orang yang dihukum. Hal ini menimbulkan gambaran umum kognitif dan afektif dari hostile (rasa permusuhan), dunia merupakan ancaman dimana orang lain bisa dianggap berbahaya. Bila hukuman mengikuti keberhasilan menggunakan agresi hal ini dapat diasumsikan bahwa hambatan agresi akan timbul. Consistency (ketetapan)dalam menjalankan aturan dan kejelasan mengenai standard tingkah laku akan menghambat perkembangan keagresifan. Anak-anak ingin mengerti dunia dan mengembangkan kemampuannya.Bila tuntutan dan tanggungjawab tidak jelas, adaptasi yang tepat akan sulit untuk dilaksanakan: misalnya ia berulang-ulang mengalami kegagalan dan frustrasi yang tidak dipahaminya. Disamping itu bila aturan tingkahlaku yang dijalankan tidak konsisten, hal ini cenderung menimbulkan karakter frustrasi. Tetapi di bawah kondisi yang lain seperti rasa aman dan kepuasan, ia mungkin dapat melakukan adaptasi yang positif. Dilain pihak bila terlalu banyak aturan, anak-anak dibatasi 39
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981. Hal. 12-20
189
segala sesuatunya kemungkinan aturan tersebut akan dilanggar dan sangsi negatif yang diperolehnya akan bertambah (kemungkinan terjadi frustrasi).40 Ringkasnya, yang dimaksud dengan praktek pengasuhan anak adalah proses sosialisasi yang diperoleh anak melalui sikap maupun nilai yang diberikan oleh orangtuanya. Dalam keluarga, seorang anak akan belajar mengenai berbagai macam pola tingkah laku, dan pola tingkah laku itulah yang akan ia tampilkan dalam menghadapi lingkungan sosialnya. Misalnya, praktek pengasuhan dalam keluarga ditandai dengan kebebasan tanpa batas, dimana orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan, akibatnya anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Satu hal penting dicatat adalah adanya fakta empirik yang mendukung kenyataan bahwa pembentukan motif agresi merupakan hasil dari praktik pengasuhan anak. Dengan perkataan lain, motif agresi anak berkembang sejalan dengan perlakuan yang didapat dari praktik pengasuhan anak.
40
Kornadt, H.J. Outline Of Motivation Theory Of Aggression. Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981. Hal. 12-20
190
BAB VII
PERBANDINGAN TEORI AL-GHAZALI DAN TEORI KORNADT Membandingkan
teori
Al-Ghazali
dan
teori
Kornadt
dalam
hal
pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga adalah suatu hal yang menarik. Titik temu dari kedua teori tersebut secara mendasar terletak pada pemikiran tentang pengembangan karakter anak (agresif/non agresif) kaitannya dengan perlakuan orang tua (ayah dan ibu). Konsep Tazkiyat al-Nafs dari Al-Ghazali merupakan suatu pemikiran psikologis disebabkan pandangannya tentang jiwa selalu dikaitkan pengembangan tingkah laku baik itu tingkah laku sebagai individu, anggota keluarga, warga masyarakat, maupun warga dunia, yang kesemua tingkah laku tersebut merupakan cerminan dari derajat tingkah laku taat kepada Tuhan . Dengan demikian, terbuka peluang untuk membandingkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt melalui pendekatan psikologis. Setelah mengkaji teori Al-Ghazali (lihat Bab V) dan teori Kornadt (lihat Bab VI) maka penulis berpendapat ada beberapa hal yang dapat dibandingkan di antara kedua teori dimaksud. Adapun pokok-pokok pemikiran yang akan dibandingkan adalah tema tentang (1) sistem motif, (2) interaksionisme, (3) orientasi nilai, (4) rasa marah, dan (5) aspek praktek pengasuhan anak.
191
A. Sistem Motif sebagai Penggerak Tingkah Laku Teori Al-Ghazali (sistem nafs) Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa manusia bisa merasa, berpikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak. Jiwalah yang pada hakikatnya yang taat kepada Allah atau yang durhaka dan ingkar kepada-Nya. Bagi Al-Ghazali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrat (ashl alfithrah), yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (‘alam al-malâkut atau ‘alam al-amr, QS 17:85), sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-khalaq. Karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namum kerap kali diredam atau dihambat oleh keinginan duniawi. Pada prinsipnya Al-Ghazali mengatakan bahwa nafs adalah dorongan atau penggerak tingkah laku dan tazkiyat al-nafs berfungsi sebagai penguat dorongan tingkah laku baik, penguat akhlak baik. Berkaitan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa al-nafs bisa dikatakan pula sebagai motif secara fungsional. Sistem nafs memiliki potensi positif dan potensi negatif. Adapun menurut al-Ghazali pengertian akhlak yang baik adalah menangnya atau berkuasanya sifat-sifat terpuji yang ada di dalam jiwa seseorang atas sifat-sifat tercelanya. Dalam hal itu, ia menjelaskan bahwa untuk dapat memenangkan sifat-sifat terpuji atas sifatsifat tercela maka seseorang harus mensucikan jiwanya. Untuk itu, ia mengusulkan konsep tazkiyat al-nafs dengan pengertian takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs yakni pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela dan penghiasan atau pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Tegasnya konsep tazkiyat al-nafs adalah konsep kehidupan jiwa yang baik dan taat guna memperoleh kebahagiaan dan kesempurnaan. Konsepnya meliputi konsep kehidupan orang-orang yang adil (sederhana), saleh, takwa, serta arif dan
192
benar. Konsep tersebut ditandai dengan banyaknya ‘ibâdat
kepada Allah
(baiknya hubungan dengan Allah,) baiknya al-‘âdât (pergaulan) dengan sesama manusia dan makhluk, dan baiknya akhlak terhadap diri sendiri (hubungan dengan diri sendiri). Oleh karena itu, tazkiyat al-nafs dapat dijadikan salah satu metode pendidikan akhlak pengembangan karakter Al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak dan sifat seseorang sangat bergantung pada jenis jiwa yng berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa nabatah dan hewan yang berkuasa atas dirinya, maka akhlak dan sifat orang tersebut dapat menyerupai nabati dan hewani. Akan tetapi, jika jiwa insani yang berpengaruh dan berkuasa dalam dirinya, maka orang tersebut mudah berakhlak seperti insan kamil. Sebagai upaya untuk mewujudkan adanya jiwa insani yang menguasai diri dan dapat mengatasi hambatan-hambatannya, maka Al-Ghazali mengemukakan bahwa di dalam jiwa perlu ada kemauan untuk bertemu Allah yang disebutnya sebagai iradat. Dengan adanya jiwa yang memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu Allah maka akan mudah untuk memiliki sifat-sifat terpuji, melakukan amal saleh dan tidak berperilaku agresif. Kualitas jiwa manusia secara moral dapat dilihat dari akhlaknya dalam hidup. Orang yang dekat jiwa dan akhlaknya dengan Allah adalah orang yang paling mulia. Sebaliknya orang yang buruk akhlaknya secara moral dan kejiwaan adalah pula orang yang menyimpang dari hakikat kemanusiaan.
Teori Kornadt (sistem motif agresi) Menurut Kornadt (1981), setiap orang mempunyai motif agresi yaitu suatu kecenderungan untuk bertindak agresif. Dalam pandangan Kornadt, motif agresi merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat (motif agresi) dan komponen penghindar (hambatan agresi), yang keseluruhannya merupakan suatu sistem motif agresi. Kornadt berasumsi bahwa motif agresi sebagai suatu sistem terdiri dari dua komponen yaitu motif agresi
193
(aggressions motiv) sebagai komponen pendekat dan hambatan agresi (aggressionshemmung) sebagai komponen penghindar. Kedua komponen tersebut merupakan suatu disposisi yang ada dalam diri seseorang. Tetapi motif agresi ini tidak akan selalu tampil dalam bentuk tingkah laku agresif, karena dipengaruhi oleh hambatan agresi serta situasi lingkungan yang merangsang timbulnya agresi. Kornadt menyatakan bahwa motif untuk bertindak agresif secara spesifik merupakan fungsi motif agresi dikurangi hambatan agresi. Dan motif agresi baru dapat terlihat sebagai fenomena tingkah laku apabila ada situasi yang mengundang ke arah munculnya bentuk tingkah laku tersebut. Kornadt memandang bahwa sistem motif agresi berkembang sejalan dengan perkembangan perlakuan orang tua yang diperoleh anak. Dengan kata lain, perkembangan motif agresi sangat dipengaruhi oleh praktik pengasuhan anak. Sementara itu, Kornadt juga memandang bahwa pola asuh orang tua (sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak) sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kepercayaan, adat istiadat yang dianut keluarga. Berkaitan dengan agresi, Kornadt memandang agresi sebagai suatu construct yang secara teoretis sebagai suatu motif yang selanjutnya disebut sebagai sistem motif agresi. Motif adalah suatu penggerak untuk bertindak yang ada dalam di dalam diri seseorang yang mempunyai efek mengaktifkan, meningkatkan dan mengarahkan tingkah laku kepada tujuan. Kornadt mengajukan definisi agresi
sebagai berikut : Agresi adalah suatu tingkah laku yang
mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki seseorang seperti harga diri, status sosial, dan hak milik. Dalam pengertian yang lebih luas, tingkah laku agresif termasuk perbuatan melanggar tabu dan hukum yang berlaku, serta menolak konsensus kelompok.Ringkasnya, tingkah laku yang dapat dikategorikan sebagai tingkah laku agresif, antara lain sebagai berikut: tindakan korupsi, perkosaan, tindakan kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, tindakan kriminal, pelecehan seksual, tawuran/perkelahian antar remaja.
194
Perbandingan: Berkaitan
dengan
pemikiran
Al-Ghazali
tentang
sistem
nafs
dibandingkan dengan pemikiran Kornadt tentang Sistem Motif Agresi, maka dapat dikatakan Al-Ghazali dan Kornadt mempunyai pandangan yang sama dalam hal berasumsi bahwa ada suatu sistem di dalam diri seseorang yang berfungsi sebagai penggerak tingkah laku di mana dalam sistem tersebut terdapat dua komponen yang berlawanan atau bertolak belakang secara fungsional (potensi positif dan negatif, pendekat dan penghindar). Berdasarkan tinjauan teoritis maka teori Al-Ghazali tentang hubungan sistem nafs dan akhlak/tingkah laku non agresif dibandingkan teori Kornadt tentang hubungan sistem motif agresi dan perkembangan tingkah laku agresif, maka dapat dikatakan bahwa kekuatan teori Al-Ghazali melebihi kekuatan teori Kornadt dalam hal pengembangan karakter (perilaku agresif dan non agresif). Ini dapat diketahui dari kemungkinan kecenderungan yang dimiliki sistem nafs dan sistem motif agresi. Sistem nafs yang pembentukannya didasarkan pada nilai-nilai ibadah di mana kekuatannya dimotivasi oleh keinginan untuk bertemu Allah, dapat dikatakan memiliki kecenderungan yang lebih kuat dibanding sistem motif agresi yang pembentukannya didasarkan pada nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kepercayaan. Menimbang bahwa tabiat asli jiwa adalah kecenderungan kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian, maka sistem nafs yang dibentuk dengan cara tazkiyat al-nafs dapat dipandang lebih baik dibanding dengan sistem motif agresi yang memiliki akar nilai-nilai kepercayaan dan budaya.
B. Tingkah Laku hasil Interaksi Sosial (Interaksionisme) Teori Al-Ghazali Berbicara tentang hubungan jiwa dan jasad, Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa hubungan dimaksud pada hakikatnya sama dengan interaksionisme. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda, keduanya saling
195
mempengaruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi AlGhazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar. Perbuatan yang dilakukan berulang-ulang selama beberapa waktu akan memberi pengaruh yang menetap pada jiwa. Sementara perbuatan yang dilakukan tanpa sadar, tidak akan mempengaruhi jiwa. Demikian pula sebaliknya, jiwa mempengaruhi jasad apabila suatu kualitas telah dimiliki oleh jiwa, perbuatan anggota badan yang bersesuaian dengan kualitas ini akan terdorong untuk dilaksanakan secara mudah. Perbuatan amal saleh tidak hanya merupakan hasil interaksi dari jiwa dan jasad saja, melainkan juga merupakan hasil interaksi sosial yakni hasil pergaulan manusia dengan sesama manusia terutama dengan lingkungan terdekat. AlGhazali memberi penekanan pada kewajiban orang tua mendidik akhlak anak. Ini berarti perkembangan akhlak anak merupakan tanggungan jawab orangtua dan orang tua berkewajiban menjalin hubungan yang harmonis dengan anak (interaksi sosial) berdasarkan tuntunan ajan agama. Dengan kata lain, perkembangan akhlak/karakter anak berkembang sejalan dengan sikap dan perlakuan orang tua. Di samping itu, ia juga menekankan kewajiban anak untuk mendidik akhlaknya sendiri (belajar tidak hanya belajar sosial). Dengan melakukan kajian pada teori Al-Ghazali kaitannya dengan pengembangan akhlak/karakter, maka dapat ditemukan beberapa hal yang menggambarkan adanya interaksionisme yaitu interaksi antara: Jiwa dan jasad, jiwa dan akal, sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela., perlakuan orang tua dan perlakuan anak. Teori Kornadt Kornadt mengatakan bahwa pembentukan motif agresi merupakan hasil dari praktik pengasuhan anak. Dengan perkataan lain, motif agresi anak berkembang sejalan dengan perlakuan yang di dapat dari praktik pengasuhan
196
anak. Untuk lebih jelasnya, sistem motif agresi (das Aggressionmotiv-System) berkembang melalui proses praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan Dengan melakukan kajian pada teori Kornadt kaitannya dengan perkembangan motif agresi anak/remaja maka dapat ditemukan beberapa hal yang menggambarkan adanya interaksionisme yaitu interaksi sosial antara orang tua dan anak yang berkaitan dengan perkembangan motif agresi, interaksi antara komponen-komponen sistem motif agresi yakni hambatan agresi dan motif agresi yang memiliki peranan penting bagi munculnya suatu tingkah laku agresif. Perbandingan: Teori Al-Ghazali dan teori Kornadt memiliki pandangan yang sama dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak (interaksi individu dan lingkungan). Jelasnya, interaksi sosial menghasilkan suatu tipe tingkah laku sosial (agresif dan non-agresif). Tambahan pula, keduanya memandang adanya interaksi antara komponen-komponen sistem motif yang ada di dalam diri seseorang (interaksi dorong dan tarik, push and pull). Al-Ghazali memberi penekanan pada hubungan sesama manusia termasuk hubungan orang tua dan anak berdasarkan ikatan yang bersifat ibadah. Ini membawa munculnya kesadaran akan tanggung jawab sosial yang lebih kuat dibanding dengan kesadaran tanggung jawab sosial yang berdasarkan hanya pada ikatan sosial. Namun demikian hal ini amat bergantung pada kualitas kesadaran keagamaan yang dimiliki oleh seseorang. Dalam konteks umat Islam Indonesia, dapat dilihat dari fenomena sosial yang ada maka dapat dikatakan masih banyak umat Islam Indonesia yang berperilaku sosial yang belum mencerminkan pengamalan ajaran Islam.
C. Orientasi Nilai Teori Al-Ghazali Pada prinsipnya, pendidikan akhlak berorientasi pada nilai-nilai Islam dengan penekanan pada nilai ibadah, nilai akhlak dan nilai keilmuan. Kaitannya
197
dengan nilai yang mendasari, dapat dikatakan materi atau isi pendidikan konsep pendidikan al-Ghazali agak berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh ahli pendidikan modern. Kalau dalam konsep pendidikan modern materi pendidikan terdiri atas tiga unsur, yaitu ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai, maka baginya hanya dua unsur pokok, yakni ilmu dan nilai. Keterampilan menurutnya hanya merupakan alat untuk memperoleh ilmu dan nilai. Misalnya keterampilan berbahasa cuma merupakan alat untuk mempelajari ilmu, dan mendapatkan nilai. Dalam pengertian ini unsur keterampilan termasuk dalam unsur ilmu. Dimasukkannya keterampilan dalam unsur ilmu karena ia memandang dan mengartikan ilmu dalam pengertian yang luas. Pengertian ilmu baginya tidak saja merupakan proses yang menghubungkan manusia dengan manusia dan lingkungannya (makhluk), tetapi lebih yang pokok daripada itu ialah proses yang menghubungkan makhluk dengan Khalik, dan dunia dengan akhirat. Tujuannya tidak hanya terbatas pada kebahagiaan dunia, akan tetapi juga meliputi kebahagiaan manusia di akhirat. Teori Kornadt Pada prinsipnya, Kornadt memberi penekanan pada nilai-nilai kepercayaan dan budaya. Menurut Kornadt pola asuh anak amat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang dianut keluarga. Penerimaan lingkungan masyarakat di tempat tinggal amat berperan bagi corak dan warna pola asuh anak. Ini berarti sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak serta sikap dan perlakuan anak terhadap orang tua, dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada di lingkungan sosial anak. Perbandingan: Penerapan nilai-nilai agama biasanya disertai dengan adanya tujuan dan harapan yang berdimensi dunia akhirat sentris sementara penerapan nilai-nilai budaya dan kepercayaan hanya berdimensi dunia. Namun perlu dicatat bahwa untuk pencapaian tingkat penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama memerlukan usaha-usaha yang bertahap dan biasanya mensyaratkan adanya
198
kesungguhan dan ketekunan. Ringkasnya, ditinjau secara empiris maka perlu digabungkan kedua nilai tersebut untuk menyusun konsep pendidikan yang aplikatif dan bermuatan kecenderungan kesadaran yang lebih melekat.
D. Peranan Amarah/Frustrasi dalam Perilaku Agresif Teori Al-Ghazali Konsep tazkiyat al-nafs bagi al-Ghazali tidak saja terbatas pengertiannya pada takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs, akan tetapi juga mencakup ajaran ibadat dan al-‘adat (ilmu lahir); atau penyucian diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, akan tetapi juga berarti pembinaan dan pengembangan jiwa dengan sifat-sifat rabbani (asma’ Allah al-husna); atau pada kesadaran diri terhadap diri sendiri, akan tetapi juga meliputi kesadaran diri kepada Allah, sesama manusia, dan makhluk; atau pada kesucian batin dari akhlak tercela, akan tetapi juga meliputi kebersihan badan dari hadas, kotoran, dan benda-benda yang menjijikan. Konsepnya meliputi konsep kehidupan orang-orang yang adil (sederhana), saleh, takwa, serta arif dan benar. Konsepnya ditandai dengan banyaknya ibadat (baiknya hubungan) kepada Allah, baiknya al-‘adat (pergaulan) dengan sesama manusia dan makhluk, dan ihsannya akhlak (hubungan) terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, tazkiyat al-nafs dapat dijadikan salah satu metode pendidikan dalam pembinaan jiwa dan pengembangan akhlak/karakter. Amarah membuka pintu yang besar bagi masuknya setan dan ini dapat menghambat tercapainya tujuan-tujuan pendidikan khususnya pendidikan akhlak. Bahkan mengacu pada hadis Nabi Muhammad saw, Al-Ghazali mengingatkan bahwa yang dipandang sebagai manusia yang kuat adalah manusia yang dapat mengendalikan atau menguasai dirinya saat ia marah. AlGhazali memandang kekuatan amarah dan syahwat serta sifat-sifat yang tercela adalah faktor utama pencetus munculnya tingkah laku buruk, akhlak tercela. Yang dimaksud dengan kekuatan marah disini adalah marah yang zhalim.
199
Dalam hubungan dengan sifat-sifat jiwa yang ada dalam diri manusia, Konsep tazkiyat al-nafs (tn) menurut al-Ghazali berarti pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan (rabbanî). Tn dikaitkan dengan sifat kebuasan adalah pembersihan diri dari sifat marah yang tidak berada pada batas itidalnya, dan sifat-sifat buruk lainnya yang timbul darinya, seperti sifat permusuhan, sembarangan, emosional, takabur, sombong, niat jahat, dan berbuat zalim. Tn dalam hubungannya dengan sifat kebinatangan adalah pembersihan diri dari sifat-sifat hawa nafsu, seperti rakus, bakhil, ria, dengki busuk hati, la’b (main-main), dan lahw (senda gurau). Tn dalam hubungannya dengan sifat setan adalah meninggalkan sifat-sifat setan dalam diri seperti mengicuh, suka mencari helat, tipu mulihat, menokoh, merusak, dan berkata kotor. Apabila jiwa sudah bersih dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, maka mudah berkembang dalam diri sifat-sifat ketuhanan, yakni dalam batas kemampuan manusia bersifat dengannya. Adapun tn dalam kaitannya dengan sifat rabbani adalah pembinaan jiwa dengan sifat-sifat dan nama-nama Allah, seperti ilmu, hikmat, dan sifat-sifat lainnya yang terlepas dari perbudakan hawa nafsu dan marah. Hawa nafsu dan marah dalam arti manusiawi, apabila dikuasai dan dikendalikan dengan baik atau dikembalikan kepada batas itidalnya (keseimbangan) akan menumbuhkan sifat warak, kanat (kepuasan hati), iffah, zuhûd, malu, ramah, kasih sayang, berani, lapang dada, teguh pendirian, dan sifat terpuji lainnya dalam diri. Jiwa dengan sifat rabbani juga disebut sebagai jiwa yang memiliki wâ’izh (juru nasihat) dan hâfizh (penjaga) dalam dirinya atau jiwa muthma’innah menurut Al-qur’an. AlGhazali meletakkan tn di atas tiga landasan sifat jiwa yang dicintai Allah, yakni jiwa yang halus, bersih, dan kuat. Jiwa yang halus berarti lemah lembut (kasih sayang), tidak mudah marah, dalam bergaul dengan saudara-saudaranya. Jiwa yang bersih dalam arti keyakinan, yakni keyakinan bersih dari akidah yang salah dan menyesatkan. Berdasarkan al-Qur’an, ia mengemukakan perbedaan jiwa
200
orang munafik dan mukmin. Jiwa orang munafik bersifat kufur, kasar, dan gelap; sedangkan jiwa mukmin bersifat halus, kasih sayang, dan cemerlang. Teori Kornadt Munculnya tindakan agresif mensyaratkan harus ada isyarat situasional yang mengarah kepada penggiatan motif. Diasumsikan adanya kondisi-kondisi frustrasi yang menggugah rasa marah (anger). Hubungan antara isyarat frustrasi dan rasa marah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sebagai suatu kapasitas yang dibawa sejak lahir yang akan bereaksi dengan pembangkit afektif yang khas (rasa marah) terhadap isyarat atau kejadian-kejadian tertentu; Di samping itu, juga sebagai suatu yang dipelajari. Asumsi ini mengintegrasikan prinsip-prinsip biologis dan proses belajar. Frustrasi dan rasa marah bukanlah suatu penyebab yang bersifat segera dalam timbulnya agresi. Rasa marah yang muncul dan isyarat pembangkit merupakan bahan untuk interpretasi kognitif dan kontrol, hanya pada situasi dimana secara subyektif dirasakan mengganggu, barulah motif agresi yang tertahan menjadi giat. Jadi apabila situasi dianggap lucu atau netral saja maka motif agresi yang tertahan itu tidak akan tergiatkan. Ini berarti derajat rasa marah menentukan kemungkinan munculnya tingkah laku agresif. Dalam pandangan Kornadt, motif agresi merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat (motif agresi) dan komponen penghindar (hambatan agresi), yang keseluruhannya merupakan suatu sistem motif agresi. Kornadt juga berpendapat bahwa di dalam kedua komponen sistem motif agresi dimaksud terdapat sejumlah elemen yang mendasarinya, seperti derajat ambang rasa marah, toleransi terhadap frustrasi, sikap terhadap agresi, pola atribusi, harapan–harapan akan keberhasilan/ kesenangan, tujuan– tujuan yang umum dan nilai–nilai (nilai budaya). Sebagai contoh, derajat ambang rasa marah yang telah melampaui titik ambang pertahanan, maka tingkah laku agresif akan muncul; ketidakmampuan untuk toleransi terhadap frustrasi akan memunculkan tingkah laku agresif; harapan akan memperoleh sesuatu yang diinginkan dari suatu perilaku yang
201
agresif justru akan memunculkan tingkah laku tersebut menjadi nyata (overt behavior); dan nilai-nilai yang mendasari pengamatan dan penilaian juga dapat mempengaruhi pemunculan tindakan agresif. Hambatan agresi sebagai komponen penghindar (avoidance component) dari sistem motif agresi dapat dipandang sebagai faktor yang menghambat agresivitas. Pada remaja yang tidak mampu bertindak agresif dalam menghadapi tantangan yang mengganggunya berarti mempunyai hambatan agresi yang lebih besar daripada motif agresi. Perbandingan: Pengertian amarah Al-Ghazali adalah lebih luas daripada rasa marah yang dipahami Kornadt. Rasa marah yang dimaksud Kornadt lebih mudah dimengerti dan lebih mudah dihindari. Dengan kata lain, secara empiris pembahasan tentang derajat ambang rasa marah yang dimaksud Kornadt lebih mudah diukur dan lebih aplikatif. Dalam pandangan Kornadt rasa marah adalah penting dalam pembahasan mengenai perkembangan agresivitas. Ia berpendapat bahwa derajat ambang marah menentukan tingkat toleransi seseorang terhadap frustrasi. Dan frustrasi merupakan faktor kuat yang meningkatkan motif agresi. Frustrasi dapat mengarahkan manusia pada beberapa bentuk tingkah laku agresif;
E. Aspek-aspek Praktik Pengasuhan Anak – Berkaitan Pengembangan Karakter Teori Al-Ghazali Di samping al-Ghazali sebagai sufi dan pendidik, pemikirannya juga menunjukkan ia sebagai salah seorang pemikir sosial dalam Islam karena dalam rub’ al-‘âdat itu ia menerangkan hak dan kewajiban orang terhadap dirinya, serta kehidupan sosialnya. Ia berusaha memberikan tuntunan bagaimana caranya hidup berkeluarga, bersaudara, bersahabat, bergaul dengan sesama makhluk, berusaha dan mencari penghidupan, serta hidup bermasyarakat. Kalau ingin diringkas isi keseluruhan dari rub’ al-‘âdat ini adalah menyangkut dan mengacu kepada soal pembentukan
keserasian
hubungan
manusia
dengan
sesamanya
dan
202
lingkungannya melalui penghayatan dan pengamalan ajaran akhlak dan tasawuf, serta adab kehidupan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. AlGhazali juga memberi penekanan pada pendidikan akhlak anak yang dipandangnya merupakan tanggung jawab orang tua dan orang tua akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah di pengadilan hari akhir kelak. Tujuan pendidikan akhlak anak harus sejalan dengan tujuan hidup manusia, kalau tujuan hidup manusia dijadikan Allah untuk beribadat, dan menjadi khalifah-Nya di bumi, maka usaha pendidikan dan pengajaran harus mengacu kepada pembentukan manusia yang memiliki aspek ibadat dan nilai dan ilmu. Dengan kata lain ia menegaskan tujuan pendidikan Islam itu sebagai mencapai dua kesempurnaan hidup manusia. Pertama kesempurnaan manusia yang
bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah (nilai ibadat).
Kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (nilai ilmu atau siyadat). Dua tujuan pendidikan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya dan keduanya harus dicapai sekaligus. Kesempurnaan yang pertama merupakan pokok bagi tercapainya kesempurnaan yang kedua, sedang kesempurnaan kedua merupakan pula tanda keberhasilan kesempurnaan pertama. Tujuan pendidikan di atas masih perlu dijabarkan dalam tujuan umum dan khusus dalam praktek pendidikan dan pengajaran. Di antara tujuan umum pendidikan Islam itu menurut al-Ghazali adalah 1)membentuk akhlak mulia, 2) mendekatkan diri kepada Allah, 3) memperoleh ilmu, 4) mengembangkan fitrah, 5) menciptakan keseimbangan dalam diri, 6)mencari keridhaan Allah, 7)mewujudkan ketenangan dan ketenteraman jiwa, 8) membiasakan diri untuk beramal shaleh, 9)meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah. Sedangkan di antara tujuan khususnya adalah mendidik dan mengajar orang agar pandai beribadat, berdoa, berzikir, berbuat baik, menjauhkan diri dari akhlak atau sifat tercela, dan bersikap dengan akhlak terpuji.
203
Pembahasan mengenai aspek-aspek praktik pengasuhan anak, belum menjadi pembahasan yang bersifat praktis, baru menyentuh aspek-aspek yang bersifat umum, seperti aspek kasih sayang, penerimaan (sebagai amanah), pengawasan, dukungan sebagai perwujudan tanggung jawab dan orientasi nilai Setidak-tidaknya ada dua jenis metode yang dipergunakan al-Ghazali dalam pendidikan akhlak, yaitu metode pembentukan kebiasaan dan metode tazkiyat alnafs. Yang dimaksud dengan metode pembentukan kebiasaan ialah pembentukan kebiasaan yang baik dan peninggalan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan, latihan, dan kerja keras. Tentang metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa, sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan yang baik dan dijauhkan dengan kebiasaan yang buruk atau sebelum rajin bertingkah laku terpuji dan takut bertingkah laku tercela. Apabila hal ini sudah menjadi kebiasaan dan tabiat maka dalam waktu yang singkat akan akan tumbuhlah dalam diri suatu kondisi itu sudah menjadi tabiatlah bagi jiwa untuk melakukan perbuatan baik secara natural dan spontan. Dengan kata lain metode ini dapat dikatakan sebagai metode penanaman kebiasaan dan watak yang baik. Teori Kornadt Keluarga merupakan wadah utama pendidikan karakter/pembinaan kepribadian. Tingkah laku agresi adalah fenomena universal yang ditemukan pada setiap tahap perkembangan kepribadian. Sementara kepribadian melalui tingkah laku yang nyata (overt behavior) adalah fenomena yang dihadapi dalam kehidupan sehari–hari. Dalam kehidupan sehari–hari, tingkah laku agresif tidak hanya semata–mata muncul pada situasi yang penuh dengan konflik serta ketegangan emosional tetapi juga dalam lingkungan pertemuan sosial yang sebetulnya bermaksud untuk lebih meningkatkan konformitas dan ikatan relasi sosial. Dalam situasi demikian, tidak jarang timbul keadaan yang mengundang rasa marah seseorang atau sekelompok orang yang dapat berakibat mengganggu
204
ketenangan dan bahkan bisa sampai terjadi perdebatan. Akibatnya bisa muncul tingkah laku agresif. Namun tidak jarang pula, walaupun ada peningkatan kecenderungan untuk menyerang dalam diri seseorang tetapi tidak jadi diekspresikan atau dimunculkan. Pengertian praktek pengasuhan anak adalah segala macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua orangtua terhadap anak, yang didasari oleh nilai serta tujuan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Kornadt membuktikan bahwa ada hubungan antara agresivitas remaja dengan perlakuan ibu terhadap anak. Sikap orang tua mempunyai pengaruh yang kuat tidak hanya pada hubungan keluarga, namun juga pada perkembangan sikap dan tingkah laku anak, termasuk tingkah laku agresi. Sikap orang tua yang menolak anak, dapat meningkatkan motif agresi anak dan pembentukkan berbagai isyarat yang berkaitan dengan rasa yang tidak menyenangkan (strong displeasure) seperti rasa permusuhan atau frustrasi. Sedangkan sikap menerima dan hangat dari orang tua sejak dini, akan mengurangi rasa yang tidak menyenangkan dan menjadikan anak percaya pada dunia sekitarnya sehingga si anak merasa aman dan tidak mudah curiga dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya. Pada tingkat usia selanjutnya bila kehangatan dari orang tua muncul dalam bentuk sikap memberi kebebasan, maka hal ini dapat meningkatkan motif agresi. Dengan sikap ini terlalu banyak peluang diberikan pada anak dalam mendapatkan insentif positif untuk agresi. Menurut Kornadt, praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan pembentukan sistem motif agresi pada anak / remaja, terdiri dari lima aspek, yakni aspek (a) control, (b) rejection – hostility, (c) support, (d) affection – care, dan (e) value – orientation. Kornadt juga mengemukakan bahwa kelima aspek praktik pengasuhan anak tersebut menampilkan dua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak, yaitu : (1) pemberian hukuman / sanksi yang sifatnya negatif, (2) sikap dingin, (3) sikap bermusuhan / tidak bersahabat, (4)
205
sikap tidak mempercayai segala tingkah laku anak, (5) sikap yang selalu menganjurkan anak untuk bergantung pada kebaikan orang lain, (6) sikap yang selalu mendorong anak untuk berprestasi lebih baik dari orang lain, (7) mengarahkan anak agar bertindak sesuai dengan norma atau nilai yang ada pada dirinya, (8) menimbulkan perasaan cemas anak, (9) pemberian hukuman / sanksi yang sifatnya positif, (10) menunjukan kehangatan pada anak, (11) menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang lain sebagai tempat untuk bergantung, dan (12) menunjukkan anak bagaimana harus bertindak sesuai dengan norma atau nilai yang ada di lingkungannya. Kedua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua dalam praktik pengasuhan anak tersebut, secara hipotesis telah dikelompokkan menjadi dua aspek utama oleh Kornadt, yaitu (1) praktik pengasuhan anak oleh orang tua yang meningkatkan motif agresi anak / remaja dan (2) praktik pengasuhan anak oleh orang tua yang meningkatkan hambatan agresi anak / remaja. Menurut Kornadt, intensitas tergugahnya rasa yang tidak menyenangkan merupakan elemen yang penting dalam agresi. Telah dinyatakan bahwa ketika frustrasi dialami biasanya saat itulah kesempatan bagi rasa yang tidak menyenangkan atau kekesalan muncul. Dan juga kesempatan baginya untuk belajar mengekspresikan rasa kesalnya. Kondisi yang menunjang hal ini adalah cara pengasuhan seperti afeksi, kehangatan, dan dukungan. Apabila seorang anak kurang mendapatkan kasih sayang dan dukungan orang tua maka ia akan frustrasi lalu merasa kesal dan agresivitasnya berkembang. Pembentukan interaksi yang positif antara anak dan orang tua yang mengasuhnya akan memberikan perkembangan agresi yang rendah. Hukuman, dalam metode praktik pengasuhan anak bisa menjadi faktor yang meningkatkan perkembangan motif agresi. Namun pada kondisi yang khusus dapat mendukung perkembangan hambatan agresi yang tinggi.
206
Perbandingan Praktik Pengasuhan Anak kaitannya dengan perkembangan motif agresi anak/remaja yang diusulkan oleh Kornadt, secara praktis dapat dikatakan lebih aplikatif pada tataran praktis dibanding pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga yang diusulkan oleh Al-Ghazali. Pendidikan akhlak melalui pendidikan keluarga yang diusulkan Al-Ghazali adalah masih bersifat umum dan lebih tepat diterapkan pada anak yang sudah akil baligh. Sementara, pengembangan karakter (agresif/non-agresif) sebagai hasil praktik pengasuhan anak yang dikemukakan oleh Kornadt dapat diterapkan pada tataran praktis sejak dini, sehingga dapat dikatakan lebih aplikatif.
207
BAB VIII PENUTUP A.
Kesimpulan Setelah melakukan kajian perbandingan pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak, maka sebagai hasil pokok penelitian dapat disimpulkan bahwa terbukti “Pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan Pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak. Adapun penulis menarik kesimpulan tersebut di atas berdasarkan beberapa argumen, sebagai berikut: Gambaran umum teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs (tinjauan analisis) adalah sebagai berikut: 1. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs bersifat keislaman, keilmuan dan kemanusiaan . Konsep tazkiyat alnafs dalam Ihya’ pada hakikatnya adalah konsep menurut Islam karena ajarannya yang berdasarkan Alquran dan Hadis.. Konsep tersebut begitu luas dan komprehensifnya sehingga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Idenya yang luas didasarkan atas ajaran ibadat, al‘adat, dan akhlaq dalam pengertian yang luas. Landasan ibadat bersifat vertikal, al-‘adat bersifat horizontal, dan akhlak bersifat individual pada khususnya, semuanya mengacu kepada pembentukan keharmonisan
208
hubungan manusia dalam menyesuaikan diri dengan Allah, sesama manusia dan makhluk, serta terhadap diri sendiri. Hal ini sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang memandang tingkah laku manusia mempunyai tujuan (niat) agama dan kemanusiaan yang sesuai dengan semangat Islam karena hal demikian amat berpengaruh dalam pembinaan insanulkamil. Dengan kata lain pendidikan akhlak mengarah pada pembentukan manusia yang takwa, berjiwa sehat, berkepribadian sempurna, dan berakhlak mulia, Ringkasnya, dalam hal pendidikan akhlak, al-Ghazali sangat menekankan implikasi tujuan pendidikannya kepada tujuan keislaman, kejiwaan, akhlak, dan kemanusiaan. 2. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs (pensucian jiwa) bersifat value-oriented. Ghazali memandang nilai-nilai keislaman (orientasi nilai-nilai Islam) sangat penting guna membentuk suatu kemampuan untuk menentukan tujuan dan harapan serta melakukan penilaian dan pengambilan keputusan dalam berperilaku. Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keislaman diperlukan dalam upaya berperilaku baik, berakhlak terpuji atau berkarakter non agresif. Pengertian pendidikan bagi al-Ghazali dari segi masyarakat pada umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh ahli pendidikan modern yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada setiap individu yang terdapat di dalamnya agar kehidupan budaya dapat berkesinambungan. Perbedaan mungkin hanya terletak pada soal nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut. Adapun
yang dimaksud oleh al-Ghazali, nilai itu
adalah nilai-nilai keislaman yang berdasarkan atas Al-Qur’an, Sunnah, dan kehidupan orang-orang salaf. 3. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs bersifat deduktif. Hal ini dapat digambarkan melalui pemikiran Ghazali tentang pendidikan akhlak.
Konsep al-Ghazali tentang
pendidikan
berhubungan erat dan tidak terlepaskan dengan konsepnya tentang manusia.
209
Ini menunjukkan bahwa Ghazali berangkat dari pemikiran umum tentang manusia yang menghasilkan pemikiran khusus yakni konsep konsep tazkiyat al-nafs sebagai metode pendidikan akhlak. Bagaimana konsepnya tentang manusia, begitulah bentuk pendidikan yang diinginkannya. Dengan kata lain, konsepnya tentang manusia sejalan dengan konsepnya tentang pendidikan. Pendidikan menurut Al-Ghazali memiliki pengertian yang luas dan dalam. Pengertiannya dimulai dari hal-hal yang sangat individual seperti bimbingan dan penyuluhan, dan sampai kepada pengertian pendidikan secara massal di mana tidak pernah terjadi tatap muka, tetapi hanya sekedar loncatan ide-ide melalui berbagai sarana seperti buku dan pembacaan syair. Dengan kata lain pengertian pendidikan baginya tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, akan tetapi meliputi pendidikan non formal dan informal. Luasnya pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali
karena ia selalu
berbicara mengenai pendidikan dalam ungkapan yang sangat umum. Mengenai tujuan pendidikan ia mengatakan bahwa tujuan tertingginya ialah untuk mencapai dua kesempurnaan bagi manusia, yakni pendekatan diri kepada Allah dalam arti kualitas serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Dua tujuan pendidikan ini jelas bersifat sangat umum, dan untuk itu perlu dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus agar bisa diterapkan dalam lingkup kehidupan yang spesifik. 4. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs
bersifat psikologis. Hal ini diisyaratkan dengan adanya pendapat
Ghazali tentang al-nafs (jiwa). Ia berpendapat bahwa jiwa merupakan hakikat yang hakiki dari manusia, maka potensi-potensinya harus dibina dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya agar memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaannya. Untuk mencapai tujuan tersebut jiwa membutuhkan bantuan pendidikan. Ghazali mengusulkan konsep tazkiyat al-nafs (pensucian jiwa) sebagai metode pendidikan akhlak. Pembahasan mengenai akhlak tidak dapat dipisahkan dari jiwa. Hal ini disebabkan al-Ghazali
210
memandang bahwa akhlak yang baik adalah menangnya atau berkuasanya sifat-sifat terpuji yand ada di dalam jiwa atas sifat-sifat tercelanya. Tazkiyat al-nafs secara singkat adalah mensucikan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabangcabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, di samping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah – kesemuanya ini melalui peneladanan kepada Rasulullah saw. Inti dari pendidikan Islam adalah pembinaan jiwa dan pendidikan akhlak. Al-Ghazali mengusulkan bahwa sistem pendidikan Islam
harus ditekankan
pada pengembangan potensi-potensi
jiwa,
penyerasian diri, kemuliaan akhlak, dan pewarisan ilmu kepada manusia. Dengan kata lain pendidikan harus ditujukan kepada kesempurnaan jiwa dan ketinggian akhlak. Jiwa yang sempurna (sehat) dan akhlak mulia adalah jiwa yang tenang dan dekat kepada Allah, serta mampu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. 5. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs memandang bahwa nafs adalah penggerak tingkah laku dan tazkiyat alnafs berfungsi sebagai penguat tingkah laku baik, penguat akhlak terpuji. Berkaitan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa al-nafs bisa dikatakan pula sebagai motif secara fungsional. Sistem nafs memiliki potensi positif dan potensi negatif. Adapun menurut al-Ghazali pengertian akhlak yang baik adalah menangnya atau berkuasanya sifat-sifat terpuji yang ada di dalam jiwa seseorang atas sifat-sifat tercelanya. Dalam hal itu, ia menjelaskan bahwa untuk dapat memenangkan sifat-sifat terpuji atas sifat-sifat tercela maka seseorang harus mensucikan jiwanya. Sehubungan dengan itu, alGhazali mengusulkan konsep tazkiyat al-nafs sebagai metode pendidikan akhlak yang apabila diamalkan dapat membentuk dan memperkuat akhlak terpuji (budi pekerti luhur atau karakter baik). Di samping itu, menurut alGhazali pengertian pendidikan dari segi kejiwaan, antara lain dapat berarti
211
sebagai tazkiyat al-nafs dalam arti takhliyât al-nafs, dan tahliyât al-nafs yakni usaha pensucian jiwa melalui pengosongan jiwa dengan sifat-sifat tercela, dan penghiasan jiwa dengan sifat-sifat terpuji. 6. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs
menggambarkan
adanya
prinsip
hablun
min
al-nas
atau
interaksionisme. Ghazali memandang bahwa pendidikan akhlak anak adalah tanggung jawab orang tua. Pengembangan karakter/akhlak anak merupakan hasil pendidikan orang tua. Orang tua adalah penanggung jawab pendidikan akhlak anak dan anak juga berkewajiban belajar sebagai ungkapan mendidik sendiri. Ringkasnya, Teori Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs memandang bahwa keberhasilan pendidikan akhlak juga melibatkan anak itu sendiri sehingga pendidikan tersebut tidak satu arah. 7. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs menekankan peranan penting dari akal bagi perkembangan tingkah laku manusia terutama untuk fungsi interpretasi kognitif dalam pengamatan, penilaian dan pengambilan keputusan. Menurut al-Ghazali, Jiwa manusia memiliki daya akal praktis dan daya akal teoritis.. Daya akal praktis erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat badani (amal), dan daya akal teoritis dengan hal-hal yang bersifat abstrak (ilmu). Dengan kata lain daya praktis menimbulkan akhlak, dan daya teoritis membuahkan ilmu. Dalam pada itu daya teoritis ini terbagi pula dalam empat tingkatan. Pertama tingkatan akal materil yang hanya mempunyai potensi untuk berpikir dan belum terlatih sedikit pun. Kedua, akal bi al- milkât yang telah terlatih berpikir tentag hal-hal yang abstrak. Ketiga, akal aktuil yang telah dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak. Keempat akal Qudsi, sebagai tingkatan akal yang paling tinggi. Ketinggiannya antara lain dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak dengan mudah, dan sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Allah.
212
8. Teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat alnafs yang berkaitan dengan praktik pengasuhan anak tidak terlepas dari konsep pendidikan Islam dan tujuan umumnya. Di antara tujuan umum pendidikan Islam itu menurut al-Ghazali adalah 1)membentuk akhlak mulia, 2) mendekatkan diri kepada Allah, 3) memperoleh ilmu, 4) mengembangkan fitrah, 5) menciptakan keseimbangan dalam diri, 6)mencari keridhaan Allah, 7)mewujudkan ketenangan dan ketenteraman jiwa, 8) membiasakan diri untuk beramal shaleh, 9)meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah. Sedangkan di antara tujuan khususnya adalah mendidik dan mengajar orang agar pandai beribadat, berdoa, berzikir, berbuat baik, menjauhkan diri dari akhlak atau sifat tercela, dan bersikap dengan akhlak terpuji. Selain itu, AlGhazali juga menekankan bahwa dalam pendidikan akhlak anak, yang bertanggung jawa adalah orang tua (ayah dan ibu). Dalam hal pendidikan akhlak bagi anak, maka orang tua harus memperhatikan pendidikan yang menghasilkan anak terhindar dari empat macam sifat yang merupakan faktor pendorong tingkah laku yang mendukung perkembangan akhlak buruk yaitu: sifat ketuhanan, sifat kesetanan, sifat kebinatangan, dan sifat kebuasan. Ini menunjukkan pendidikan yang diusulkan oleh Al-Ghazali memberikan pula perhatian pada perkembangan perilaku agresif.
Gambaran Umum Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt (tinjauan analisis) adalah sebagai berikut: 1. Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt bersifat induktif. Hal ini dapat dikatakan disebabkan pemikiran dari Kornadt tentang perkembangan motif agresi (sebagai kesimpulan/ide khusus) dapat melahirkan kesimpulan pemikiran umum tentang hal-hal yang terkait seperti pemikiran atau ide tentang pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. 2. Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt bersifat keilmuan dan kemanusiaan. Hal ini diisyaratkan oleh pemikiran Kornadt yang peduli
213
dengan perkembangan kepribadian dan keagresifan. Teori motivasi tentang agresi dari Kornadt memberikan kontribusi keilmuan yang sangat bermanfaat karena memberi pengetahuan tentang pembentukan perilaku non agresif pada anak/remaja, yang mana dapat dimanfaatkan sebagai upaya antisipasi terbentuknya individu berperilaku anti sosial -- secara nyata hal ini dibutuhkan dalam upaya membangun kehidupan sosial yang harmonis yang merupakan harapan manusia pada umumnya. 3. Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt menganut interaksionisme. Kornadt memandang perilaku agresif pada anak berkembang sejalan dengan praktik pengasuhan anak. Ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan praktik pengasuhan anak adalah segala macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua orangtua terhadap anak, yang didasari oleh nilai serta tujuan keluarga. Perlakuan dan sikap orang tua mempunyai pengaruh yang kuat tidak hanya pada hubungan keluarga, namun juga pada perkembangan sikap dan tingkah laku anak, termasuk tingkah laku agresif. Sikap orang tua yang menolak anak, dapat meningkatkan motif agresi anak dan pembentukkan berbagai isyarat yang berkaitan dengan rasa yang tidak menyenangkan (strong displeasure) seperti rasa permusuhan atau frustrasi. Sedangkan sikap menerima dan hangat dari orang tua sejak dini, akan mengurangi rasa yang tidak menyenangkan dan menjadikan anak percaya pada dunia sekitarnya sehingga si anak merasa aman dan tidak mudah curiga dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya. Pada tingkat usia selanjutnya bila kehangatan dari orang tua muncul dalam bentuk sikap memberi kebebasan, maka hal ini dapat meningkatkan motif agresi. Dengan sikap ini terlalu banyak peluang diberikan pada anak dalam mendapatkan insentif positif untuk agresi. 4. Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt bersifat value-oriented. Pemikiran Kornadt tentang perkembangan motif agresi didasarkan pula pada pengakuan adanya pengaruh nilai-nilai budaya terhadap corak sikap dan
214
perlakuan orang tua (ayah dan ibu) dalam praktik pengasuhan anak. Ia berpendapat bahwa nilai-nilai budaya dan kepercayaan memainkan peran penting dalam memberi warna dan corak pola asuh orang tua serta tujuan dan harapan keluarga.. 5. Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt menjelaskan bahwa motif adalah suatu penggerak untuk bertindak yang ada di dalam diri seseorang. Motif adalah faktor yang mempunyai efek mengaktifkan, meningkatkan dan mengarahkan tingkah laku kepada tujuan. Kornadt memandang bahwa setiap orang mempunyai motif agresi yaitu suatu kecenderungan untuk bertindak agresif. Kornadt berasumsi bahwa motif agresi sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu motif agresi (aggressions motiv) sebagai komponen pendekat dan hambatan agresi (aggressionshemmung) sebagai komponen penghindar. Kedua komponen tersebut merupakan suatu disposisi yang ada dalam diri seseorang. Sehubungan dengan itu, maka Kornadt menyatakan bahwa motif agresi sebagai suatu sistem terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat (motif agresi) dan komponen penghindar (hambatan agresi). Tetapi motif agresi ini tidak akan selalu tampil dalam bentuk tingkah laku agresif, karena dipengaruhi oleh hambatan agresi serta situasi lingkungan yang merangsang timbulnya agresi. Dalam teorinya Kornadt menjelaskan bahwa munculnya perilaku agresif
dapat
dirumuskan sebagai menangnya atau berkuasanya fungsi motif agresi atas fungsi hambatan agresi. 6. Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt mengemukakan bahwa interpretasi kognitif memainkan peran penting dalam pengamatan dan penilaian serta penentuan harapan-harapan dan tujuan-tujuan di mana kesemuanya itu merupakan salah satu faktor penting dalam pembahasan mengenai perkembangan agresivitas sebagai hasil interaksi sosial, terutama interaksi sosial antara orang tua (ayah dan ibu) dengan anak.
215
Persamaan pemikiran al-Ghazali dan Kornadt berkaitan dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga adalah sebagai berikut: 1. Persamaan pada pemikiran tentang adanya suatu sistem yang berfungsi sebagai penggerak tingkah laku di dalam diri seseorang. Teori al-Ghazali mengemukakan pendapat tentang sistem nafs sebagai penggerak tingkah laku yang ada di dalam jiwa/diri manusia sama halnya dengan teori Kornadt mengemukakan sistem motif agresi sebagai penggerak tingkah laku agresif yang ada didalam diri manusia. Di dalam kedua sistem tersebut terdapat dua komponen yang berlawanan fungsi. Dan Fungsi kedua komponen tersebut menentukan tingkah laku yang muncul -- tingkah laku agresif atau non agresif/akhlak yang baik. 2. Persamaan pada pemikiran tentang interaksionisme yang berkaitan dengan interaksi sosial antara orang tua dan anak dalam proses praktik pengasuhan anak di mana interaksi dimaksud mempengaruhi pengembangan karakter atau akhlak si anak. Dengan kata lain, baik al-Ghazali maupun Kornadt memandang pengembangan karakter/pendidikan akhlak pada anak adalah berkembang sejalan dengan perkembangan pendidikan orang tua melalui praktik pengasuhan anak (perlakuan dan sikap orang tua terhadap anak). 3. Persamaan pada pemikiran dalam hal orientasi nilai. Baik al-Ghazali maupun Kornadt, memandang nilai amat berpengaruh terhadap corak sikap dan perlakuan orang tua dalam praktik pengasuhan anak. Dengan kata lain, nilai mempengaruhi pola asuh anak dan juga mempengaruhi sikap dan perlakuan anak terhadap orang tua.. 4. Persamaan pada pemikiran tentang amarah atau rasa marah sebagai elemen yang terdapat pada sistem nafs dan sistem motif agresi yang sangat berperan dalam pemunculan tingkah laku agresif. Kemampuan toleransi terhadap frustrasi, berkaitan erat dengan pengembangan karakter (akhlak baik/perilaku non agresif).
216
5. Persamaan pada pemikiran tentang peranan interpretasi kognitif dalam proses pengamatan dan penilaian yang terjadi dalam pergaulan sosial anak dan orang tua, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun oleh anak. 6. Persamaan pada pemikiran tentang aspek-aspek praktik pengasuhan anak yakni aspek kasih sayang/afeksi, kontrol/pengawasan, dukungan moril maupun materil, orientasi nilai, dan penerimaan. 7. Persamaan pada pemikiran tentang metode pendidikan yakni pembiasaan, pelatihan,
pengkondisian,
pembelajaran,
pengawasan
dan
pemberian
contoh/meniru. 8. Persamaan pada pemikiran tentang adanya elemen tujuan dan harapan dalam interaksi sosial yang mempengaruhi munculnya suatu tingkah laku termasuk tingkah laku agresif.
Perbedaan pemikiran al-Ghazali dan Kornadt berkaitan dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga adalah sebagai berikut: 1. Kaitannya dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga, pemikiran al-Ghazali bersifat deduktif, sedangkan pemikiran Kornadt bersifat induktif. 2. Kaitannya dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga, teori al-Ghazali memberi tekanan pada orientasi nilai-nilai Islam sedangkan teori Kornadt memberi tekanan pada nilai-nilai budaya. 3. Kaitannya dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga, teori al-Ghazali menggunakan data tidak empirik sedangkan teori Kornadt menggunakan data empirik. Sehubungan dengan itu, bisa dikatakan bahwa pada tataran praktis, teori Kornadt lebih aplikatif dari teori al-Ghazali. 4. Kaitannya dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga, teori al-Ghazali
mengemukakan tujuan dan harapan yang
berorientasi pada kebahagiaan di dunia dan akhirat (bersifat agama)
217
sedangkan
teori Kornadt mengemukakan tujuan dan harapan yang
berorientasi hanya pada kebahagiaan dunia (bersifat sekuler).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa teori al-Ghazali dan teori Kornadt dapat diperbandingkan.
Selain itu,
penulis juga berpendapat bahwa teori al-Ghazali (teori agama) dan teori Kornadt (teori sekuler) dapat diintegrasikan pada tataran praktis sehingga dapat memberikan kontribusi keilmuan di bidang Kajian Islam dan Psikologi Agama. Penulis berpendapat bahwa dibutuhkan suatu teori pendidikan tentang agresi yang mencakup berbagai pendekatan teoretis, yang menggabungkan teori agama dan teori sekuler pada tataran praktis, mengingat pada umumnya masalah agresi dibicarakan secara global dan menjadi kepentingan bagi keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan. Sebagai kontribusi keilmuan di bidang Kajian Islam dan Psikologi Agama, penulis menyusun satu teori baru yakni: teori pendidikan akhlak tentang agresi, menggunakan pendekatan ilmu agama Islam dan pendekatan psikologis. Berdasarkan teori tersebut, penulis berpendapat bahwa Sistem Motif Agresi berkembang sejalan dengan perkembangan Pendidikan Akhlak. Berangkat dari kerangka pembahasan teori Kornadt tentang agresi berdasarkan teori motivasi dan teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs, sebagai upaya membentuk teori pendidikan akhlak tentang agresi, maka penulis mengembangkan beberapa konsep dasar dengan menggunakan berbagai pendekatan teoretis. Adapun konsep-konsep dasar tersebut adalah sebagai berikut:
(1) tingkah laku agresif mempunyai akar
biologis, didasari oleh fungsi hypothalamus dan sistem endokrin sehingga agresi mempunyai komponen bawaan lahir; (2) penyakit-penyakit jiwa terutama amarah yang zhalim dapat mengarahkan manusia pada beberapa bentuk tingkah laku agresif; (3) tingkah laku non agresif/akhlak terpuji diperoleh melalui proses pendidikan keluarga berdasarkan implementasi konsep tazkiyat al-nafs dan
218
pengalaman keagamaan yang disertai penguatan; (4) tingkah laku non agresif/akhlak terpuji anak merupakan hasil proses interaksi sosial antara orang tua dan anak dan (5) pemunculan agresi melibatkan interpretasi kognitif yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama terutama berkaitan dengan harapan dan tujuan keluarga. Menurut penulis, praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan pendidikan akhlak (agresif/non-agresif), terdiri dari lima aspek, yakni (a) orientasi nilai-nilai agama (b) kasih sayang/kepedulian, (c) dukungan, (d) penerimaan dan (e) pengawasan. Penulis berpendapat bahwa kelima aspek praktik pengasuhan anak tersebut menampilkan dua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak, yaitu : (1) pemberian hukuman / sanksi secara tidak adil, (2) bersikap dingin, acuh tak acuh(3) sikap bermusuhan/tidak bersahabat, (4) sikap tidak mempercayai segala tingkah laku anak, (5) sikap yang selalu menganjurkan anak untuk bergantung pada kebaikan orang lain, (6) sikap yang selalu mendorong anak untuk berprestasi lebih baik dari orang lain, (7) mengarahkan anak agar bertindak sesuai dengan norma atau nilai ajaran Islam, (8) menimbulkan perasaan cemas anak, (9) pemberian hukuman/sanksi secara adil, (10) menunjukan kehangatan pada anak, (11) menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang lain sebagai tempat untuk bergantung, dan (12) memberi contoh kepada anak bagaimana harus bertindak sesuai dengan norma atau nilai ajaran Islam. Kedua belas macam bentuk perlakuan atau sikap orang tua dalam praktik pengasuhan anak tersebut, secara hipotesis dikelompokkan penulis menjadi dua aspek utama yaitu: (1) Praktik pengasuhan anak yang mendukung perkembangan motif agresi yaitu meningkatkan agresivitas anak, dan (2) Praktik pengasuhan anak yang mendukung perkembangan hambatan agresi yaitu menghambat agresivitas anak.
219
B. SARAN-SARAN Berangkat dari kesimpulan-kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang diajukan oleh penulis yakni sebagai berikut: 1. Penulis memandang perlu dilakukan penelitian-penelitian yang menggunakan beberapa pendekatan teoretis terutama pendekatan teori agama dan teori psikologi, untuk menguji tingkat validitas formulasi teori pendidikan akhlak tentang agresi yang diusulkan oleh penulis. 2. Perlu disusun alat pengumpul data yang memungkinkan dilakukannya analisis data (analisis kualitatif dan analisis kuantitatif) dalam penelitian tingkat validitas teori pendidikan akhlak tentang agresi yang diusulkan oleh penulis. 3. Teori pendidikan akhlak tentang agresi dari penulis dapat dijabarkan secara lebih rinci dan praktis sebagai kontribusi keilmuan dalam perkembangan model pendidikan akhlak oleh orang tua secara terpadu. 4. Penulis mengharapkan adanya masukan-masukan yang bersifat kritis dan konstruktif dalam menanggapi teori pendidikan akhlak tentang agresi yang disusun oleh penulis.
220
DAFTAR PUSTAKA
Achenbach, T.M., Developmental Psychopathology, Second Edition, New York: John Wiley & Sons, Inc, 1982. Adams, G.R. & Gullotta, T., Adolescent Life Experiences, USA: Wadsworth, Inc, 1983. Ahmad, Muhammad Faris, Al-Namadzaj al-Insaniyyah fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr. Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Alfred, Adler, Understanding Human Nature, New York: Greenberg Publishers, Inc., 1927. Ali ‘Abd al-‘Azhim, Falsafah al-Tarbiyyah fi al-Qur’an al-Karim, Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1973. Ali, Syed Amir, The Spirit of Islam, Delhi: Idârah-Adâbiyat-i, 1978. Anwar al-Jundi, Mafahim al-‘Ulum al-Ijtima’iyyah wa al-Nafs wa al Akhlaq fi Dhau’ al-Islam, Kairo: Dar al-I’tisham, 1977. Ansari, Muhammad Fazl-ur-Rahman, The Qur’anic Foundation and Structure of Muslim Society, juz 1, Pakistan: World Federations of Islamic Missions, 1973. Atkinson, J.W. (ed)., An Introduction to Motivation, Princeton: d. Van Nostraand Company, Inc., 1964. Atwater, E., Psychology of Adjustment, Second Edition, USA: Prentice-Hall, Inc, 1983. Badan Narkotika Nasional, Direktorat Reserse POLRI dalam Angka, Jakarta: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Direktorat Reserse, 1995.
1
Bandura, A. & H. R. Walters, Adolescent Aggression, A Study of The Influence of Child Training Practices and Family Interrelationships, New York: The Ronald Press, 1959. -----------, Social Learning and Personality Development, New York: Holt, Rinehart & Winson, Inc., 1963. ------------, Aggression a Social Learning Analysis, Englewood: Prentice-Hall, Inc., 1973. ------------, Aggrression Some Problems of Theory and Definition, In: Stevenson, HW, Child Psychology, 364-415, University Press, Chicago: 1963. Baron, R.A., Psychology, Second Edition, USA : Allyn & Bacon A Division of Schuster, Inc., 1992. Berkowitz, L., Aggression a Social Psychological Analysis, New York: McGrawHill, Inc., 1962. ----------, Repeated Frustrations and Expectations in Hostility Arousal, J. abn soc, Psychol, 60, 422-429, 1960b. ----------, Some Factors Affecting The Reduction of Overt Oostility, J. Abn soc, Psychol, 60,14-21, 1960a. ----------, The Concept of Aggressive Drive, In : L. Berkowitz (Ed). Advances in Experimental Social Psychology. Vol. 2. New York: Academic press,1965. Bootzin R.R., et al. Psychology Today an Introduction, Sixth Edition, USA: Radom House, Inc, 1986. Bruss, A.H., The Psychology of Aggression, New York : Wiley & Sons, 1961. Buck, R. Human Motivation and Emotion, Second Edition, USA: Jhon Wiley & Sons, Inc, 1988. Carl G. Jung, Modern Man In Search of A Soul, London: Routledge & Kegan Paul, Ltd., 1966. Carlson, N.R., Discovering Psychology, USA: Allyn and Bacon, Inc, 1988. Charles G. Morris, Psychology, An Introduction, Third Edition, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1979.
2
Choesyana, Charletty, Sistem Motif Agresi Remaja: Studi Perbandingan Mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Kelompok Remaja Pelaku Tindakan Kriminal dan Remaja Non Pelaku Tindakan Kriminal di Jakarta dalam Kaitannya dengan Praktik Pengasuhan Anak, Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia, 1998. Clarazio, H. F. & McCoy, G.F., Behavior Disorder in Children, New York: Harper & Roe Publisher, 1983. Corsini, R.J., Personality Theories, Research, & Assessment, USA: F.E. Peacock Publishers, 1983. Crapps, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986. Cyril Burt, ‘Ilm al-Nafs al-Dini, terj. oleh Samir ‘Abduh, Damaskus: Dar Dimasyq li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, t. th. Dale Carnegie, Da’ al-Qalaq Wabda’ al-Hayah, terj. oleh ‘Abd al-Mun’im alZayyadi, Cet. Kelima, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1956. Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. ----------, Aspek-aspek Psikologi dalam karya al-Ghazali, Makalah disampaikan pada simposium tentang al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKS, Perguruan Tinggi Islam Swasta Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985. ----------, Kesehatan Mental dalam Keluarga, Cet. Kedua, Jakarta: Pustaka Antara. 1992. ----------, Kesehatan Mental, Cet. Ke-15, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989. ----------, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. Kedua, Jakarta: CV. Ruhama, 1995. -----------, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. Pertama, Jakarta: CV. Ruhama, 1994. ----------, Remaja Harapan dan Tantangan, Cet. Kedua, Jakarta: CV. Ruhama, 1995. ----------, Perkembangan Psikologi Agama & Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
3
----------, Remaja, Harapan dan Tantangan, Jakarta: CV. Ruhama, 1993. Darley, J.M. et al., Psychology Fifth edition, USA : Prentice-Hall, Inc, 1991. Darraz, Muhammad Abdullah, Dustûr al-Akhlâk Fî al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Buhûts al-‘Ilmiyât, 1982. Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia, Jakarta: Rajawali, 1983. Davidoff, L Linda, Psikologi Suatu Pengantar, Edisi Kedua, Jilid 2, Cet. Pertama, Jakarta: Erlangga, 1991. -----------, Psikologi Suatu Pengantar, Edisi Kedua, Jilid 1, Cet. Pertama, Jakarta: Erlangga, 1988. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Desiderato, O. et al., Investigating Behavior Principles of Psychology, USA: Harper & Row, Publishers, Inc., 1976. al-Dimasqi, M.Jamal al-Din al-Qasimi, Mau’izhat al-Mu’minin Min Ihya’ ‘Ulum alDi, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Djalaluddin, Psikologi Agama, Cet. Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Djalaluddin, Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet. Keempat, Jakarta: Kalam Mulia, 1998. Drever, James, Kamus Psikologi, Cet. Kedua, Jakarta: PT Bina Aksara, 1988. Durkin, K., Development Social Psychology, Great Britain: T.J. Press Ltd., 1995. Erich, Fromm, Al-Din wa al-Tahlil al-Nafsi, terj. oleh Fuad Kamil, Kairo: Maktabah Gharib, 1977. Erikson, Erik H., Childhood and Society, rev. Ed, New York: W.W. Norton, 1963. -----------, Insight and Responsibility, New York: W.W. Norton, 1964. -----------, Youth: Change and Challenge, diterbitkan kembali tahun 1965, dengan judul The Challenge of Youth, Garden City New York: Doubleday, 1965.
4
Fadhl Abdul Syihabuddin al-Sayyid Mahmaud al-Alusi al Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an, Kairo: al-Mathba’ah al-Amiriyyah, 1301 H. Fakruddin Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Qawahuma, disunting oleh Muhammad Shaghir Hasan al-Ma’shumi, Karachi: Ma’had al-Abhats al-Islamiyyah, t.th. Fattah Abdul Jalal, Min al-Ushul al-Tarbawiyyah fi al-Islam, Mesir: Al-Markaz alDauli li al-Ta’lim al-Wazhifi li al-Kubbar fi al-‘Alam al-‘Arabi, 1977. --------, Min al-Ushul al-Tarbawiyyah fi al-Islam, Mesir: Al-Markaz al-Dauli li alTa’lim al-Wazhifi li al-Kubbar fi al-‘Alam al-‘Arabi, 1977. Feldman, R. S., Understanding Psychology, Second Edition, USA: McGraw-Hall Publishing Company, 1990. Feshbach, S., Aggression in : P.H. Mussen (ed)., Carmichael’s Manual of Child Psychology. Vol. 2. New York: John Wiley & Sons, Inc. 1970. Freud, Sigmund, Ma’alim al-Tahlil al-Nafssani, Cet. Keempat, terj. oleh Muhammad ‘Utsman Najati. Kairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1966. ----------, al-dzat wa al-ghara’iz, Cet. Ketiga, terj. oleh Muhammad ‘Utsman Najati. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1961. Fuad al-Bahi al-Sayyid, Al-Usus al-Nafsiyyah li al-Numuwwi, Cet. Keempat, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1975. G. Lindzey et. Al., Psychology, New York: Worth Publishers, Inc., 1976. al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Beirut, Libanon: Dâr al-Fikr, 1995 M/1415 H. ----------, Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Beirut, Libanon: Dâr al-Fikr, 1980. ----------, al-Qushûr al-‘Awali, juz 1, Mesir: Maktabat al-Jundi, 1970. ----------, Mîzan al-‘Amal, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1964. ----------, Al-Janib al-‘Athifi min al-Islam: Bahts fi al Khuluq wa al-Suluk wa alTashawwuf, Kairo: Dar al-Kutub al Haditsh, t.th.
5
---------, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah al-Nafs, Cet. Kedua, Beirut: Dar alAfaq al-Jadidah, 1975. ---------, Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Kairo: Dar al-Sya’ab. ---------, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Cet. Pertama, Yogyakarta: Absolut, 2003. ----------,Misykat al-Anwâr, terj. Muhammad Baqir ”Misykat Cahaya-Cahaya”, Bandung: Mizan, 1985. Gunarsa, Child and Adolescent Development in Urban Area: Anticipation to The Future Challenge and Problems., Jakarta: 1992. ----------, Psikologi Remaja, Cet. Keduabelas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991. ----------, S. D. & Yulia Gunarsa, Psikologi Perawatan, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989. ---------, Y. Singgih D., Ny., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Cet. Keenam, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991. Hafizh ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir AlQur’an al-‘Azhim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1980 dan Kairo: ‘Isa al-Babi alHalabi wa Syuraka’uh, t.th. Hafizh Al-Mundziri, Mukthashar Shahih Muslim, Cet. Ketiga, disunting oleh Nashiruddin al-Albani, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1977. Hafizh, Muhammad, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Cet. Kedua, Bandung: Bayan, 1998. Hall, Calvin S., A Primer of Freudian Psychology, Chicago: World, 1954.
Hamid ‘Abd al-‘Aziz al-Fiqi, Dirasat fi Saikulujuiyyah al-Numuwwi, Kuwait: t.p., 1977. Hammudah, Abd Wahhab, Al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs, Kairo: Dar al-Qalam, 1962. Harahap, Ponpon, Sistem Motif Agresif: Studi Mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Remaja Batak Toba di Tempat Asal dan di Jakarta Sebagai Imflikasi Pengaruh Adat dalam Praktik Pengasuhan Anak, Disertasi, Bandung: Unisversitas Padjajaran, 1987.
6
Haring, Benhard, Ethics of Manipulation: Issues in Medicine, Behavior Control and Genetics, New York: Seabury, 1975. Hasan Muhammad al-Syarqaqi, Nahwa ‘Ilm Nafs Islami, Iskandariah: al-Hai’ah alMishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, t. th. Hasan Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi, Shahih Muslim bi Syarakh alNawawi, Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, t. th. Hawwa, Sa’id, al-Mustakhlash Fi Tazkiyat al-Anfus, Mesir: Dâr al-Salam, 1984. ---------, Tarbiyyatuna Al-Ruhiyyah, Cet. Kedua, Kairo: Maktabah Wahbah, 1979. ---------, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu, Jakarta: Robbani Press, 1998. Heckhousen, H. & B.Weiner, The Emergence of a Cognitive Psychology of Motivation, In: P. C. Dodwell (Ed). New Horizons in Psychology 2. Harmondsworth, England: Penguin Books, 1972. Hetherington, Child Psychology, Cet. Kedua, Virginia: International Student. 1979. Hjelle, L.A., Personality Theories, Third Edition, Singapore: McGraw Hill, Inc., 1992. Horney, Karen, New Ways in Psychoanalysis, New York: W.W. Norton, 1939. Huntington, S.P, Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven, 1968. Hurlock, Elizabeth B., Adolescent Development, International Student Edition, Tokyo: McGraw Hill-Kogakusha,Ltd., 1973. ----------, Developmental Psychology, Fifth Edition, New Delhi: McGraw-Hill, Inc., 1980. ----------, Personality Development. Fifth Edition, New Delhi: Tata McGraw-Hill, Publishing Company LTD, 1980. Ibrahim Dasuqi Mar’i, Al-Thufulah fi al-Islam, Kairo: Dar al-I’tisham, 1979. Jalaluddin Muhammmad ibn Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakr al-Sayuthi, Tafsir al-Jalalain, Beirut: Dar al-Kutub al-Diniyyah.
7
Jamal Madhi Abu al-‘Aza’im, Al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs, Vol.1, Riyadh: Kulliyyah al-Tarbiyyah, Jami’ah al-Riyadh, 1978. James, William, The Varieties of Religious Experience, New York: Modern Library, 1950. Johnson, R.C. & Medinnus G.R., Child Psychology Behavior And Development, New York: John Wiley & Sons, 1974. Julian Rooter, ‘Ilm al-Nafs al-Ikliniki, terj. oleh ‘Athiyyah Mahmud Hanna dan disunting oleh Muhammad ‘Utsman Najati, Kuwait: Dar al-Qalam, 1977. Kazdin, Alan E, Research Design in Clinical Psychology, New York: Harper & Row Publisher, 1980 . Keasey, C. T., Child Development, USA: The Dorsey Press, 1985. Kirlinger, Fred. N. Foundation Of Behavioral Research, Tokyo: CBS Publishing Japan Ltd. 1986. Kornadt, H. J., L. H. Eckensberger & W. B. Emminghaus. Cross cultural Research On Motivation And Its Contribution To A General Theory Of Motivation. Beston: Allyn and Bacon, 1980. H.J. : Zur Haufigkeit von Themen in TAT Geschicten, Psychol, Beitrage 4, 54-70, 1960. Kornadt, H.J., Aggressionsmotiv und Aggressions Hemmung, Band 1, Bern: Verlag Hans Huber. 1982a. ----------, Aggressionsmotiv und Aggressions Hemmung, Band 2, Bern: Verlag Hans Huber, 1982b. ----------, Aggrressionsmoti und Aggrressions Hemmung, Band 1, Bern: Verlag Hans Huber, 1981a. ---------, Development Of Aggressiveness: Motivation Theory Perspective, In R.M. Kaplan, VJ. Konecni, R.W. Novaco (Eds), Aggression in Children an Youth. The Hogue: Martinus Nijhoff Publishers, 1984. ---------, Die Entwicklung der Frustrations-und der Aggrressionsforschung, In: Kornadt, H.J: Aggrression und Frustration als Psychologisches Problem, Band 1, 3-59 Wisssenschaftliche Buchgesellsschaft, Darmstadt 1981b.
8
--------, Experimentally Exited Images As a Function of Dynamic Systems, Proceedings of the International Association of Applied Psychology, 378379, Ferri Rome, 1958. ---------, Grundzuge, Einer Motivationstheorie derr Aggrression, In: Hilke, R, Kempf, E: Menschliche Aggrression. Naturwissenschaftliche und kulturwissenschaftliche, Perspektiven der Aggrressionforschung. Huber Bern/Stuttgart/Wien (im Druck) 1981c. --------, Eckensberger, LH, Emminghaus. WB, Cross-cultural Research on Motivation and Its Contribution to a General Theory of Motivation, In Triandis, HC Lonner, W Handbook of Cross, Cultural Psychology, Vol. 3, Basic Process, 232-322, Allyn & Bacon 1980. ---------, Zumkley, H: Thematische Apperzeptionsverfahren, In: Michael l, Groffmann, K,Psychologische Diagnostik, Handbuch der Psychologie, Bd 6,3, Teilbd.258-372, HogrefeGottingen, 1981. ---------, Zur Frage des Projektiven Gehaltes von TAT-Geschicten, Jb., Psychol, Psychol. Psychoter, 5.310-323, 1957. ----------, Aggression And Frustration Als Psychologisches Problem, Ester band, Darmstadt : Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1981a. ----------, Zur Haufigkeit von Themen in TAT Geschicten, Psychol., Beitrage 4, 54-70, 1960. ----------, Outline Of Motivation Theory Of Aggression, Saarbrucken : Facbereich Sozial-und Umweltwissenschaften. 1981b. ----------, Thematische Apperzeptionsverfahren, In: Heiss, R.:Psychologische Diagnostik. Handbuch der Psychologie, Bd.6,635-684, Hogrefe, Gottingen, 1964. ----------, Toward a Motivation Theory of Aggression and Aggression Inhibition: Some Considerations About an Aggrressionsmotive and Their Application to TAT and Chatarsis, In: de Wit J Hartup, WW, Determinant, and origins, of aggressive behavior, Mouton The Hague 1974. Lang Denise, Family Harmony, Cet. Pertama, USA: Prentice Hall, 1990.
9
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1992. -----------, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1986. -----------, Asas-asas Pendidikan Islam, Cet.Kedua, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1992. -----------, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1980. Lugo, James O . & Gerald L. H. Human Development : A Psychological,Biological, and Sociological Approach to The Life Span, New York: Macmillan Publishing Co, Ltd., 1979. Madjid, Nurcholish, “Tasawuf Sebagai Inti Keberagaman” majalah, Pesantren, Jakarta P3M No. 3 Vol. II/1985. Magee, John B., Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York: Harper & Row, 1967. Maslow, Abraham H., Religions, Values, and Peak-Experiences, New York: Viking Press, 1964 Maslow, Abraham H., The Farther Reaches of Human Nature, New York:Viking, 1971. ----------, Toward a Psychology of Being, Second Edition, New York: Van Nostraand Reinhold, 1968. McFarland, D. E. Management and Society, an Instructional Framework, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1982 . Middlebrook, P. N., Social Psychology and Modern Life, New York: Alfred A Knopf, 1980. Miller, P. H. Theories of Developmental Psychology, Second Edition, USA: W. H. Freeman and Company, 1989 . Monks, F. J. , Knoers & Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989. Morgan, Clifford T., Richard King & Nancy Robinson, Introduction to Psychology, Tokyo: McGraw-Hill Book Co.1984.
10
Mubarok, Achmad, Konsep Nafs dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian tentang Nafs dengan Pendekatan Tafsir Maudlu’i, Disertasi, Jakarta: 1999. -----------, Jiwa Dalam Al-Qur’an, Cet. Pertama, Jakarta: Paramadina, 2000. -----------, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Cet. Pertama, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005. Muhammad Jawwad Mughniyyah, Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam, Beirut: Dar al‘Ilmi li al-Malayin, 1977. Muhammad Mutawalli al-sya’rasi, Mu’jizah al-qur’an, Vol. 1, Kairo: Kitab al-yaum, 1980. Muhammad Quthub, Fi al-Nafs al-Insaniyyah’, Beirut: Dar al-Syuruq, 1979. ----------, al-Insan Baina al-Madiyah wa al-Islam, Cet. Ketiga, Kairo: Isa al-Babi alHalabi, 1960. ----------, Fi al-Nafs wa al-Mujtama’, Cet. Kedua, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996. ----------, Minhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Cet. Kedua, Beirut: Dar al-Syuruw. Mujib Abdul, Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Cet. Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam. Kairo: Muassasat alKhaniji, 1963. Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafah, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971. Najati, Muhammad Utsman, al-Qur’an wa ‘Ilmu al-Nafs, Kairo: Dar al-Syuruq, 1982. Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Nasution, Muhammad Yasir, Manusia menurut Al-Ghazali, Jakarta: Rajawali Press, 1988. Naufal, Abd Razzaq, Al-Qur’an wa al-‘Ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973.
11
Oates, Wayne E., The Psychology of Religion, Waco TX: Word Books, 1973. Papalia, D. E. & Olds, W. W. Human Development, Third Edition, USA: McGrawHill, Inc., 1986 . Parson, T., Social Structure And Personality, London: The Free Press, CollierMcMillan, Ltd, 1970. Pedhazur, E.J. Schmelkin, L.P., Measurement, Design, And Analysis : An Integrated Approach, London: Hillsdale, 1991 Peterson, C. Looking Forward through The Life Span Developmental Psychology, Second Edition, Singapore: Prentice Hall of Australia Pty Ltd, 1989. Phoenix, A. et al. Motherhood : Meanings, Practices and Ideologies, London : SEGE Publications Ltd, 1991. Pikunas, Justin. Human Development: an Emergent Science. Tokyo: McGraw-Hill, Inc., 1976 . Plotnik, R. & Mollenauer, S., Introduction to Psychology, USA: Newberry Award Records, Inc., 1986 . Pruyser, Paul W., A Dynamic Psychology of Religion, New York: Harper & Row, 1968. Qardhawy, Yusuf, As-Sunnah Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998. Qasim Hasan ibn Muhammad al-Mufadhdhal al-Raghib al-Asfahani, Kitab Tafshil alNasy’atain wa Tahshil al-Sa’adatain, Beirut: t.p., 1319 H. Quasem, Muhammad Abu, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam, New York: Macmillan, 1987. Qurthubi, Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Katib al-Arabi li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1967. Razi, Fakhr, Tafsîr al-Kabîr, juz 4, Teheran: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyat, t.t. Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994.
12
Richard, Lazarus, al-syakhshyyah, terj. oleh Sayyid Muhammad Ghanim dan disunting oleh Muhammad ‘Ustman Najati, Beirut: dar al-syuruw, 1981. Richard M. schwine, ‘Ilm al-Amradh al-Nafsiyyah wa al-‘Aqliyyah, terj. Oleh Ahmad ‘Abd al-Aziz Salamah, Kairo: dar al-nahdhah al-‘rabiyyah, 1978. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, juz 4, Mesir: Maktabat al-Qahirat, t.t. ----------, Tafsir al-Manar. Kairo: Dar al-Manar, 1373 H. Rogers, Dorothy, Adolescent and Youth, Fifth Edition, London: Prentice Hall Inc. 1985 . Rokeach, M. The Nature of Human Values, New York: The Free Press. 1973. Rutter, M. & Hay, D. F., Development through Life, Great Britain: Blackwell Scientific Publications, 1994. Sardar, Ziauddin, The Future of Muslim Civilization, terj. HM. Mochtar Zoerni dan Ach. Hafas Sn: “Masa Depan Peradaban Muslim”, Surabaya: Bina Ilmu, 1985. Sarwono, Sarlito W, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Cet.Ketiga, Jakarta: Bulan Bintang, 2002. -------------, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 2000. -------------, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1991. -------------, Psikologi Remaja, Cet. Keenam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. ------------, Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali, 1990. ------------, Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka, 1999. ------------, Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan, Cet. Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. ------------, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial, Cet. Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
13
------------, Psychology in Indonesia, World Psychology, 2 (2), PP.177-196, 1996. ------------, Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta: Rajawali, 1984. ------------, Teori-teori Psikologi Sosial, Cet. Kedua, Jakarta: Rajawali, 1987. ------------,Psikologi Sosial: Teori dan Psikologi Individu, Jakarta: Balai Pustaka, 1997. Sayyid Quthb, al-tashwir al-fanni fi al-Qur’an, Cet. Ketiga, Kairo: dar al-ma’arif, 1975 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol.1, Beirut: Dar al-Kitab al-’Arabi. Scobie, Geoffery E.W., Psychology of Religion, New York: Wiley, 1975. Shabuni Ali, Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kairo: al-majlis al-a’la li alSyu’un al-Islamiyyah bi Wazarah al-Auqaf, 1979. ------------, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Qur’an, 1977. Shaffer, D. R. Developmental Psychology, Second Edition, USA: Wadsworth, Inc., 1989. ------------, Social & Personality Development, Third Edition. USA: Wadsworth, Inc., 1994. Shah, Idries, Thinkers of The East, terj. Anas Mahyuddin”Hikmah Dari Timur”. Bandung: Pustaka, 1982. Shantz, C.U. & Hartup W.W., Conflict In Child And Adolescent Development, USA: Cambridge University Press, 1992. Sharif, M.M. (ed), A History of Muslim Philosophy, vol. 1, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963. Sheldon Cashdan, ‘Ilm Nafs Al-Syawadz, terj. oleh Ahmad ‘Abd al-‘Aziz Aalamah, disunting oleh Muhammad ‘Utsman Najati, Kairo: dar al-Qalam, 1977. Siegel, S. Statistik Nonparamemetrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: PT. Gramedia, 1986.
14
Singarimbun, M. & Effendi, S., Metode Penelitian Survei, Cet. pertama. Jakarta: LP3ES, 1989. Skinner, B. F., Beyond Freedom and Dignity, New York: Bantam Books, 1971. Skinner, B.F., About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974. Sprinthall, Norman A. & Andrew Collins, Adolescent Psychology: A Developmental view, First Edition, New York: Newbery Award Records, Inc., 1984. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Bahs Fî al-Mazhâb al-Tarbawî ‘Ind al-Ghazâlî, Kairo: Maktabat Nahdat, 1964. Thaha, Nashruddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya, Imam al-Ghazali & Ibnu Khaldun, Jakarta: Mutiara, 1979. Thevenin, T., Mothering and Fathering : The Gender Differences in Child Rearing, New York: Avery Publishing Group, Inc., 1993. Thouless, Robert H., Pengantar Psikologi Agama, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali, 1992. ---------, An Introduction to The Psychology of Religion, Cambridge: The University Press, 1971. Ulwan, Nashih Abdullah, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Cet. Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990. ------------, Pendidikan Sosial Anak, Cet. Kedua, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992. ------------, Pendidikan Sosial Anak, Cet. Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990. Watt, Montgomery, Islamic Theology and Philosophy, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977. W.B. Cannon, The Wisdom of The Body, New York: Norton, 1932. Wenar, C., Developmental Psychopathology, Third Edition, USA: McGraw-Hill, Inc., 1994. Wimbarti, Supra, Child-rearing Practices and Temperament of Children, dalam Psikologika Nomor 2 tahun 11 Januari 1997.
15
Yaljan, Muqdad, Peranan Pendidikan Akhlak Islam dalam Membangun Pribadi, Masyarakat, dan Budaya Manusia, terj. Ys. Tajudin Nur. Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1986. Qadhawi, Yusuf, al-Iman wa al-Hayah, Cet. Keenam, Kairo: Maktabah Wahbah, 1978. Zanden, J. W. V., Human Development, Fifth Edition, USA: Better Graphics, Inc., 1993 . Ziegler, D. J. & Hjelle, L. A., Personality Theories, Third Edition, Singapore: McGraw Hill, Inc., 1992 .
16
CURRICULUM VITAE
Nama
: Charletty Choesyana Soffat
Tempat/tanggal lahir
: Jakarta, 07 Maret 1957
Pekerjaan
: Dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta 1993 hingga sekarang
Alamat Rumah
: Perumahan Buaran Regency Blok C No.10 Kel. Pondok Kelapa. Kec. Duren Sawit, Jakarta Timur.
Alamat Kantor
: Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta Jl. Raya Jatiwaringin
Nama Anak (10 orang anak hasil perkawinan dengan H. Soffatturrachman): 1. drg. Febyna Annastasya 2. Albar Aljabbar, SH, MM 3. Kapten Laut (P) Rasyid Al-Hafiz 4. Chaerul Charles, SH 5. Sofia Fahrani, MA 6. Takbiratul Ichram, SE 7. Safira Fannisa, S.Ked 8. Charletty Faqilah (alm) 9. Sultan Fatahillah 10. Kaisar Akhir
1
Pendidikan
:
Strata-1, Sarjana Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta, 1991 Strata-2, Magister Psikologi Universitas Indonesia, Depok, 1998 Strata-3, Doktor dalam Kajian Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, 2008.
Kursus
:
Kursus Singkat Angkatan (KSA) 13 t.a. 2005 Lemhannas RI.
Pengalaman Organisasi : 1. Badan Kontak Majelis Taklim Pusat 2. Wanita Islam Pusat 3. Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) 4. Majelis Ulama Indonesia Pusat 5. Asean Confederation of Women’s Organizations 6. International Council of Women
Jakarta, 10 Mei 2008
2