PERAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA Sumarno FIP Universitas Negeri Yogyakarta (
[email protected]; HP: 081328798905) Abstract: Roles of Nonformal and Informal Education and Nation Character Education. Economic, social, and polical crises that strike a nation will be likely to topple down any political regime in power. Meanwhile, there is another crisis that is more dangerous, namely a nation’s crisis of character. This is indicated by weakening of national identity, national pride, and awareness of national defence. The strength of character needs not only inculcation since the early years, in the family, school, and community, but also continuous improvement. Carelessness in character education may result in a fragile condtion of a nation in facing the globalization indicated by the wave of global values. In this respect, the potential roles of nonformal and informal education in character education and nation building are obvious since the boundaries of formal education can be eliminated. Keywords: character education, nation character
PENDAHULUAN Ada tiga hal yang melatarbelakangi perlunya pembahasan mengenai peran pendidikan nonformal dan informal dalam pendidikan karakter berorientasi kebangsaan: 1) dinamika sosiokultural dalam kehidupan berbangsa; 2) paradok globalisasi sebagai lingkungan yang tak terelakkan; dan 3) problem perkembangan karakter dan pendidikan karakter.
kehidupan kebangsaan, yang dalam perjalanannya dipelihara dengan berbagai upacara peringatan peristiwa historis untuk memperkuat ingatan kolektif bahwa dengan semangat kebangsaan telah berhasil mengantarkan bangsa ke kemerdekaan. Namun, dalam perjalanan kehidupan berbangsa berikutnya, yang terjadi adalah kepentingan nasional tidak selalu dalam hubungan harmonis dengan kepentingan kelompok atau golongan. Pada waktu ancaman atau tantangan eksternal melemah atau dirasa tidak ada lagi, yang menonjol adalah persaingan atau bahkan konflik kepentingan kelompok/golongan. Pada waktu dirasakan ada ancaman atau tantangan eksternal, terjadi penguatan kembali orientasi kehidupan berbangsa. Persoalannya kemudian adalah apakah ti-
Dinamika Sosiokultural dalam Kehidupan Berbangsa Sejarah pembentukan suatu bangsa sangat menentukan orientasi kehidupan berbangsa. Dalam kasus negara bekas jajahan, semangat kebangsaan digalang dengan tujuan untuk mengusir penjajah. Keberhasilan melepaskan diri dari penjajahan menjadi kekuatan inti dari
73
74 dak ada cara lain untuk memelihara kehidupan berbangsa tanpa harus ada atau diadakan ancaman eksternal. Dalam kasus bangsa yang tidak pernah mengalami penjajahan secara intensif dan dalam jangka waktu lama, bergenerasi-generasi, tentunya ada cara lain untuk menumbuhkan karakter kebangsaaan. Dengan demikian, pembinaan karakter kebangsaan tidak sangat bergantung pada ada dan besarnya ancaman eksternal. Dalam keadaan demikian, diperlukan adanya simbol atau sumber kekuatan internal lainnya, yang berfungsi menumbuhkan kesamaan dan kebersamaan, yang kemudian menjadi modal untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi, melakukan aktualisasi diri sebagai suatu bangsa. Keberadaan tokoh dan atau dengan kelompoknya yang mendapatkan pengakuan legasi, dapat menjadi salah satu contoh kekuatan internal, yang secara kuat mewarnai jatidiri dan pengikat sebagai suatu bangsa. Paradoks Globalisasi: Peluang dan Ancaman Globalisasi sebenarnya sudah dimulai pada waktu peradaban dunia tidak lagi terkotak-kotak dalam skala lokal, yakni pada waktu mobilitas manusia sudah merambah antarbenua. Mobilitas ini dipermudah dengan adanya revolusi industri, yang sekaligus juga memicu tumbuhnya gagasan yang nyaris bebas dari ruang dan waktu. Belakangan ini, dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, interaksi antarbangsa, antarkebudayaan, dan antarperadaban semakin mencair, terbuka di dunia virtual yang nya-
ris tidak mengenal batas ruang dan waktu. Perkembangan demikian memiliki dampak positif dan negatif sebagai akibat dari terbukanya kesempatan untuk terjadinya interaksi, baik di dalam masing-masing tatanan budaya, maupun antar dan lintas budaya. Dampak positifnya adalah: a) terjadinya akulturasi kebudayaan, di mana komponen yang dinilai positif dapat diadopsi atau diadaptasikan; b) terjadinya kerjasama, kolaborasi, sinergi; dan c) persaingan yang sehat. Namun, dampak negatif juga potensial terjadi, misalnya: a) persaingan tidak sehat; b) permusuhan atau konflik; c) efek kontraproduktif karena kerjasama yang merugikan; d) terkikisnya identitas diri; e) penjajahan dalam bentuk baru (neokolonialisme). Efek positif dan atau negatif tersebut juga dapat terjadi terhadap kehidupan karakter bangsa. Misalnya, suatu bangsa: a) belajar dari bangsa lain; b) meraih kemajuan yang tidak mungkin terjadi bila hanya dilakukan sendiri atau senantiasa dalam ketertutupan; c) melakukan peningkatan daya saing dan prestasi. Sementara itu, efek negatif juga dapat terjadi, misalnya: a) kebergantungan yang berlebihan; b) pudarnya karakter bangsa; dan dapat pula terjadi c) kemunduran, bahkan kehancuran kehidupan berbangsa. Problem Perkembangan Karakter dan Pendidikan Karakter Dewasa ini banyak gejala yang menunjukkan adanya problem dalam perkembangan karakter manusia, masyarakat, dan atau bangsa ini. Misalnya sebagai berikut.
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
75 Pembenaran segala cara untuk meraih tujuan. Sementara itu, persoalan dapat terletak pada tujuan yang dikehendaki, dan atau persoalan juga terletak pada cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Misalnya: kadang ada kesulitan untuk memadukan “penguasaan kompetensi”, “lulus”, dan “ijazah”; kemudian terjadi pula ijazah “aspal” asli tetapi palsu; penyimpangan, kecurangan, ketidakprofesionalan dalam pelaksanaan ujian/ujian nasional. Kegaduhan dalam kehidupan kebangsaan yang dapat berakibat kepentingan besar bangsa tersisih oleh kepentingan kecil sesaat kelompok primordial. Dapat diangkat sebagai contoh adalah dampak sampingan dari pemilihan posisi kepemimpian daerah. Kelompok yang kalah tidak siap menerima kekalahan, protes dilakukan dengan pengerahan masa, dan terjadilah perselisihan antarkelompok massa. Perselisihan ini dapat berkepanjangan, menghabiskan tenaga dan pikiran, dan perkambangan daerah tersendat-sendat. Kalau hal demikian terjadi di banyak tempat, akumulasi persoalan pada skala nasional jelas akan menghambat pembangunan nasional. Persoalan karakter, kebudayaan, peradaban, dan kehidupan kebangsaan dapat dipahami sebagai persoalan pendidikan karena atribut yang disebut karakter, kebudayaan, dan kehidupan tersebut melekat pada subjek manusia dan masyarakat. Kalau terjadi kemerosotan moral, kerapuhan karakter, pudarnya nilai-nilaia luhur, kemunduran peradaban, sebenarnya mengisyaratan ada
yang salah dengan pendidikan (dalam arti luas), atau ada tantangan, yakni apa yang dapat dilakukan oleh pendidikan dalam menghadapi pudarnya karakter bangsa. Dalam telaah ini, pendidikan bukan hanya pengajaran di sekolah, tetapi segala upaya yang dilakukan untuk membantu manusia dan masyarakat melakukan aktualisasi potensi diri, sesuai dengan norma orientasi nilai-nilai luhur yang diyakini dan senantiasa diupayakan untuk mewujudkannya. Pendidikan ini terjadi di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, tempat kerja dengan pendekatan formal, nonformal, informal, dan bahkan dapat pula terjadi secara insidental (Evan,1981:28). Lebih dari itu, Rogers,A (2005:265) dalam tulisannya mengkritisi keterbatasan lembaga pendidikan formal yang tidak kontekstual dan menawarkan konsep pendidikan nonformal yang sangat kontekstual yang diyakini lebih lentur sehingga dapat menyesuaikan dengan dinamika masyarakat. PENDIDIKAN KARAKTER Tujuan Pendidikan karakter seringkali dipertukarkan dengan penggunaan istilah yang sangat berdekatan, yakni pendidikan moral, pendidikan budipekerti, dan pendidikan akhlak mulia meskipun sebenarnya makna istilah-istilah tersebut tidak identik. Di dalam ungkapan pendidikan karakter terkandung dua makna penting yakni: a) penanaman nilai-nilai moral; dan b) pembentukan jatidiri, yang membedakan dengan kedirian lain. Pendidikan karakter dimaksudkan untuk membantu dan mendukung pembentukan jatidiri yang sarat
Peran Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Pendidikan Karakter Bangsa
76 dengan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral berisi acuan baik/buruk atau benar/ salah; dan berasal dari berbagai sumber yakni: ajaran agama, nilai-nilai budaya luhur yang teraktualisasikan dalam berbagai bentuk seperti: adat istiadat, kebiasaan, perilaku dan berbagai macam karya termasuk artefak. Kalau dipertanyakan cakupan nilainilai yang diharapkan mewarnai jati diri seseorang, masyarakat, ataupun suatu bangsa sekalipun, sangat relevan kiranya dikaitkan dengan pandangan Harrison (Harison dan Huntington, 2000:xviii-xxxiv). Betapa pentingnya nilai-nilai budaya itu berpengaruh bukan saja terhadap kehidupan sosial, tetapi juga kehidupan ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, pastilah ada nilai-nilai yang dikembangkan dalam kaitannya dengan kehidupan berekonomi (budaya ekonomi), misalnya apakah esensi kerja, kerja itu untuk apa; sekedar untuk survival, cari gengsi, atau untuk berprestasi. Demikian pula pasti tumbuh perangkat nilai-nilai luhur yang sangat mewarnai kehidupan berpolitik (budaya politik), misalnya mengapa dan untuk apa orang memperebutkan kekuasaan. Berkuasa itu didasari semangat untuk melayani masyarakat, ataukah ingin menikmati kekuasaan yang dilekati dengan berbagai hak-hak istimewa. Sementara itu, pada umumnya, dan memang tidak salah, cuma tidak sesempit bahwa karakter dimaknai dalam kaitannya dengan kehidupan sosial (budaya sosial), kehidupan bermasyarakat, hubungan antarmanusia, individu dengan masyarakat, dan tak kalah pentingnya adalah individu dengan dirinya sendiri. Ada budaya yang mengutamakan hu-
bungan dengan atasan, meremehkan hubungan dengan teman yang sederajat. Mengenai bagaimana individu memperlakukan dirinya sendiri sebenarnya juga menjadi bagian penting dari karakter; ada orang berlebihan menilai dirinya sendiri, sehingga tampil sombong; sebaliknya ada orang tidak percaya bahwa dirinya adalah juga seseorang yang patut dihargai, sehingga tampil rendah diri. Dalam kehidupan bergama ada pula religious culture, budaya yang tumbuh berdasarkan nilai-nilai ajaran agama; di mana dalam kehidupan manusia dituntut untuk baik dalam hubungan horisontal dengan sesama manusia, dan dalam hubungan vertikal dengan Allah atau Tuhannya. Di dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan budaya, diperlukan kemampuan untuk saling menghargai dengan tetap tidak kehilangan identitas spesifik masing-masing di satu pihak, dan di lain pihak dibutuhkan pula identitas generik sebagai suatu masyarakat plural. Metode Pendidikan Karakter Berbagai metoda pendidikan karakter dikembangkan para ahli dan praktisi pendidikan, namun belum kunjung dihasilkan model pendidikan karakter yang efektif dengan bukti emperis yang meyakinkan. Salah satu pertimbangan adalah karakteristik perkembangan peserta didik. Kohler misalnya, sangat dikenal dengan teori perkembangan moral dari kebergantungan menuju otonomi dalam membuat keputusan moral. Artinya di dalam teori ini, yang dicermati adalah aspek rasionalitas dari perkembangan moral. Jadi, meskipun
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
77 moralitas banyak dilihat sebagai afeksi, namun sebenarnya ada pula komponen rasio di dalamnya. Dengan demikian, pendidikan moral dengan sendirinya juga pendidikan karakter. Menurut teori Kohler ini, dapat digunakan pendekatan rasional. Pendidikan karakter yang sudah dapat dimulai pada usia dini, disesuaikan dengan kapasitas rasionalitas anak yang masih sederhana dan konkret, sebagaimana dijelaskan juga oleh Piaget yang lama mendalami psikologi anak. Anak-anak berpikir dengan cara operasional konkret, dan berkembang menuju kemampuan berpikir formal-abstrak. Hal ini perlu menjadi pertimbangan di dalam melakukan pendidikan karakter. Misalnya, anak merasa benar pada waktu apa yang dilakukan dibiarkan, disetujui, apalagi kalau sampai mendapatkan pengakuan/ penghargaan dari ibu, ayah, atau orang dewasa lain yang dekat atau yang mengasuh. Pada kemampuan yang lebih tinggi, diharapkan orang sudah dapat membuat keputusan moral secara deduktif dengan benar, bahwa di dalam masyarakat ada perbuatan yang diperbolehkan dan ada yang dilarang; dan siapapun yang melanggar ketentuan tersebut akan mendapatkan sangsi. Satu hal lagi yang sangat penting di dalam masyarakat majemuk adalah bahwa setiap orang seharusnya memiliki kemampuan untuk hidup, menjalani kehidupan bersama dengan orang lain yang sangat bervariasi secara damai, serasi, dan saling menghargai adanya perbedaan. Tantangan ini yang dicari jawabannya melalui pendidikan multikultural di dalam lingkungan plural konfesional. Kemajemukan dapat di-
maknai bermacam-macam: misalnya: a) di dalam kemajemukan ada arus utama (mainstreaming) dan pinggiran; b) di dalam kemajemukan terjadi melting pot di mana terjadi peleburan, dan paham ini tidak cocok untuk keadaan Indonesia; dan c) di dalam kemajemukan dibutuhkan orientasi untuk saling menghargai (pluralism). Memang, tantangan ini tidak mudah karena penguatan identitas sangat rentan diikuti dengan persaingan, konflik, yang dapat berujung pada ketidakharmonisan dalam kehidupan bersama. PENDIDIKAN K A R A K T E R BERORIENTASI S O S I O K U L T U R A L BANGSA Tujuan Pendidikan karakter ansich dapat menghasilkan orang dengan jatidiri (1) kokoh: bermoral, memiliki dan menjalani kehidupan sosial dengan gaya tertentu; (2) sukses meniti karir serta menikmati kehidupan layak; dan (3) dapat menjadi pemain yang sukses di dalam pranata kekuasaan yang ada. Namun, semuanya itu tidak serta tanpa masalah kalau dikaitkan dengan konteks sosialkultural kebangsaan dari mana dia berasal, dan atau di mana dia berada. Dengan sudut pandang demikian, perlu dan penting mengembangkan pendidikan karakter yang berorientasi sosiokultural bangsa secara tepat dalam konteks perkembangan nasional, internasional, dan global; di mana terjadi universalisasi nilai dan hubungan antarbangsa yang tidak selalu dengan semangat kemitraan dan kesetaraan. Situasi demikian dapat mengakibatkan
Peran Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Pendidikan Karakter Bangsa
78 posisi suatu bangsa rentan untuk terkikis identitas kebangsaannya. Jepang senantiasa menarik untuk menjadi bahan perenungan dalam pendidikan karakter. Aspek positif yang dapat menjadi bahan refleksi adalah bahwa pada waktu kalah dalam Perang Dunia II, tidak serta merta kehilangan karakternya. Justru tumbuh semangat untuk kerja keras, bukan hanya mengejar ketertinggalan dengan negara barat, khususnya Amerika Serikat, akan tetapi ingin mengunggulinya. Dengan nilai-nilai luhur dari budaya Samurai, beberapa tahun kemudian, di dalam perempat terakhir abad XX Jepang telah tumbuh sebagai kekuatan yang disegani dunia, secara ekonomi dan ilmu pengetahuan serta teknologi dengan tetap bangga sebagai bangsa Jepang. Negara-negara Asia Timur lainnya, yang kemudian pada waktu itu dikenal dengan macan-macan Asia, juga mirip dengan apa yang terjadi atas Jepang, misalnya, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan lebih-lebih China yang di awal abad XXI pada waktu dunia waswas akan mengalami krisis ekonomi yang parah, China justru mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit; dengan tetap berkarakter China. Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, kita perhatikan keadaan Indonesia. Di tahun-tahun terakhir abad XX, nyaris tetapi gagal memasuki masa lepas landas menurut teori Rostow. Belakangan boleh sedikit bangga berhasil menghadapi ancaman krisis dunia 2008 dengan angka pertumbuhan di atas 5 persen setelah 10 tahun berusaha bangkit dari krisis 1998. Pertanyaannya adalah, apakah yang urgen dilakukan un-
tuk menguatkan kembali karakter kebangsaan dalam kontek terjangan arus gelombang globalisasi yang bagai tsunami di Aceh tahun 2004 dan di Sendai Jepang tahun 2011? Pendidikan karakter berorientasi sosio-kultural kebangsaan dirancang dan dilaksanakan untuk mencerminkan dan mempromosikan nilai-nilai sosiokultural bangsa secara kontekstual, disesuaikan dengan perkembangan dunia. Cara yang dipakai dan berhasil oleh gerakan kebangkitan nasional di awal abad XX, tentunya tidak dapat begitu saja dipakai di awal abad XXI ini. Kontekstualisasi strategi menjadi sebuah keharusan. Secara kontekstual, dimaksudkan agar nilai-nilai inti lokal/nasional tetap menjadi acuan di dalam menentukan muatan isi pendidikan karakter, namun dengan modus aktualisasi yang disesuaikan dengan konteks perkembangan nasional dan dunia internasional. Sosial-budaya bangsa Indonesia yang disimbolkan dengan Bhineka Tunggal Ika tetap relevan, dan memiliki ciri sebagai berikut. Sebuah kehidupan dengan heterogenitas tinggi ditinjau dari perbedaan etnisitas, religiusitas, tingkat sosialekonomi, dan lingkungan ekosistemnya. Latar belakang etnoreligi tersebut telah menghasilkan keragaman yang sangat kaya dengan nila-nilai budaya luhur, yang meski beda aktualisasi karena disesuaikan dengan sosioekosistemnya, sebenarnya banyak mengandung kesamaan esensi. Misalnya, arsitektur bangunan, esensinya menyesuaikan dengan alam. Wujudnya dapat berupa rumah joglo di Jawa yang lebih tahan gempa
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
79 dibandingkan bentuk kampung, rumah panggung di daerah yang rawan banjir atau gangguan binatang buas, rumah apungnya suku pelaut memang cocok untuk mereka yang memang hidup dari laut. Memiliki kesadaran historis sebagai satu kesatuan karena telah dipersatukan melalui proses pengalaman historis, yang menghasilkan serangkaian tonggak sejarah seperti Angkatan 1908, Angkatan 1928, Angkatan 1945, Angkatan 1966; perubahan dari satu orde ke orde berikutnya (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi) yang masing-masing memiliki peranan besar pada zamannya. Kesadaran historis ini dapat menjadi pengikat, pemelihara persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, pendidikan sejarah tidak sekedar menginformasikan fakta-fakta sejarah, tetapi harus ada upaya untuk membangkitkan kesadaran sejarah; dan mau belajar dari pengalaman sejarah, dapat menemukan makna dari peristiwa sejarah. Agar supaya kesadaran historis tidak bias, apriori terhadap yang lampau selalu buruk atau selalu baik, kiranya diperlukan kesadaran kritis objektif, mampu dengan jernih mengenali sisi positif dan sisi negatif dari setiap peristiwa historis, dan kreatif konstruktif membangun, dan tidak mengulang kesalahan historis. Dua karakteristik dasar tersebut menjadi konteks dan acuan nyata dalam pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia yang jelas tidak terjadi di ruang hampa, melainkan di tengahtengah masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Pendekatan Pendidikan karakter tidak dengan sendirinya pendidikan karakter bangsa sehingga metode pendidikan karakter juga tidak dengan sendirinya cukup untuk pendidikan karakter kebangsaan. Khusus dalam hubungannya dengan pendidikan karakter bangsa, ada tiga cara yakni: (1) pendekatan sosiokultural; (2) pendekatan politik; dan (3) pendekatan ekonomi (Sumarno, 2010:9-12). Pendekatan kultural menekankan pada penyadaran aset sosiokultural untuk membangkitkan rasa identitas kebangsaan, bangga dengan identitas tersebut, dan bela diri mati-matian apabila mendapatkan perlakuan yang bernada melecehkan dan apalagi mengancam. Aset sosio-kultural berupa kapital sosial kuatnya jejaring dan kepercayaan, baik internal maupun dalam pergaulan antarbangsa, dan kapital kultural yang berupa nilai-nilai luhur dengan berbagai macam perwujudannya. Kebanggaan terhadap artefak kesenian adiluhung, seperti gamelan, gendhing, tari, wayang, batik, dan karya arsitektur seperti candi, bangunan tradisional termasuk karya interior eksteriornya yang sarat dengan muatan konsep yang di era modern dikenal dengan teknik sipil dan arsitektur. Koenig (1999) berargumentasi bahwa multicultural languange policy menguntungkan bagi integrasi nasional. Senada dengan hal tersebut, di Indonesia dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terbukti sangat bermakna dalam membangun semangat kebangsaan. Satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa Indonesia dengan tetap mengakui dan menghargai keberadaan keragaman
Peran Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Pendidikan Karakter Bangsa
80 suku, budaya, dan bahasa masing-masing, terbukti berhasil membangkitkan jiwa ke-Indonesia-an, serta mengantarkan dan mengisi kemerdekaan. Pendekatan ekonomi yang menekankan pada prestasi ekonomi juga dapat dipakai dasar untuk menumbuhkan kebanggaan sebagai suatu bangsa. Anak bangsa manapun akan bangga dan percaya diri apabila ekonomi memiliki daya saing kuat di tingkat internasional. Korea Selatan yang ekonominya tumbuh pesat, dalam waktu sekitar 10 tahun berhasil melakukan tinggal landas. Tentu berdampak positif bagi tumbuhnya karakter kebangsaan. Sebaliknya, national economic self esteem sulit ditumbuhkan apabila suatu bangsa dikenal sebagai negara miskin, gagal ekonominya, jatuh pailit, mendapatkan pemutihan dari kewajiban membayar hutang luar negeri. Tentu saja tidak berarti bahwa kalau secara ekonomis miskin, lalu tidak memungkinkan membangun karakter bangsa karena ada dasar lain. Studi mengenai nasionalisme dan ekonomi ini di antaranya dilakukan oleh Pinto, Pablo M. dan LeFoulon, Carmen M. (2007), dan Su Kwak (2002: 70-73). Swu Kwak (2002:73) melakukan analisis atas kasus Korea Selatan, yang terkenal dengan keberhasilan pembangunan ekonominya. Ada pesan menarik yang dipaparkannya, yakni ada hubungan antara nasionalisme dan keberhasilan ekonomi; semangat nasionalisme sangat berpengaruh terhadap budaya kerja. Nampaknya, ada hubungan timbal balik, yakni besarnya harapan bahwa ke depan nasionalisme tetap menguat sejalan dengan keberhasilan ekonomi.
Pendekatan politik menekankan pada penggalangan kekuatan untuk mendukung kepentingan politik bangsa, yakni kedaulatan, kesatuan-persatuan, integrasi nasional, dan partisipasi dalam proses-proses politik. Solidaritas kebangsaan dapat dengan mudah digalang apabila ada sasaran bersama yang jelas, misalnya mengusir penjajah. Sasaran ini dapat nyata, misalnya penjajahan, dapat pula imajiner, misalnya ancaman ideologi yang berbeda atau bertentangan dengan keyakinan yang menjadi pemersatu bangsa. Dawson, Prewitt, Dawson (1977:148) dalam buku Political Socialization menjelaskan di antaranya bahwa dimungkinkan terjadinya sinergi atau saling penguatan antara sosialisasi nilai-nilai kebangsaan di keluarga dan sekolah melalui berbagai macam kegiatan, misalnya perayaan hari besar nasional dan penghormatan terhadap berbagai simbol kebangsaan. PERAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL (PNFI) Pendidikan dapat dilaksanakan dengan pendekatan formal, nonformal, atau informal. Bahkan, dapat pula terjadi secara insidental. Pembedaan ini berdasarkan tingkat kesengajaan dari pihak penyedia layanan dan dari pihak pengguna layanan (Evan, 1981:28). Pada model formal dan nonformal, kedua pihak melakukannya dengan sengaja. Namun, pada pendidikan nonformal lebih luwes dari segi penjenjangan dan interaksi pendidikannya. Pada pendidikan informal, yang dengan sengaja dapat hanya penyedianya, atau hanya penggunanya, akan tetapi tidak keduabelah pihak. Misalnya, pendidikan di
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
81 dalam keluarga, orang tua di dalam mendidik anak dengan sengaja berdasarkan cita-cita dan harapan atas anakanaknya, serta si anak tidak memilih akan lahir dan dididik oleh orang tua dengan karakter tertentu. Pendidikan dapat pula terjadi secara informal di tempat kerja, meskipun tujuan orang di tempat kerja adalah untuk bekerja, dapat saja bertemu dengan suatu iklim kerja yang dipersiapkan dengan sengaja oleh pemilik perusahaan. Pada situasi yang lain, individulah yang dengan sengaja mencari sesuatu atau ingin belajar sesuatu, dan di dalam pencariannya menemukan sumber belajar yang dicari-cari. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, bangsa ini melalui berbagai kesempatan dan satuan-satuan pendidikan yang ada, dirancang model-model pendidikan karakter berorientasi kebangsaan dengan pendekatan formal, nonformal, dan informal yang terintegrasi dengan program-program yang ada, dan ataupun sebagai program khusus. Pendidikan nonformal dan informal memiliki daya jangkau yang dapat lebih luas dibandingkan dengan pendidikan formal yang sebagian besar hanyalah sebatas penduduk usia sekolah sampai perguruan tinggi (7 – 12 tahun; 13 – 15 tahun; 16 – 18 tahun; 24 – 27 tahun). Sementara itu, pendidikan nonformal dan informal sangat potensial mampu menjangkau di samping kelompok-kelompok usia tersebut melalui berbagai program, juga mampu menjangkau kelompok anak usia dini, kelompok usia dewasa, kelompok usia produktif, bahkan kelompok usia lanjut. Fleksibilitas ini memungkinkan disesuaikan de-
ngan karakteristik kelompok sasaran. Misalnya, untuk kelompok anak usia dini di kota besar yang kedua orang tuanya bekerja dengan model full day care; pendidikan kesetaraan Kejar Paker –A/B/C untuk melayani mereka yang memerlukan pendidikan sederajat SD/ SMP/SMA. Namun, tidak memungkinkan mengikuti model persekolahan formal reguler. Pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat diikuti oleh warga belajar dari berbagai kelompok usia dan tingkat pendidikan. Terdapat pula berbagai pendidikan untuk masyarakat yang dewasa ini sangat membutuhkan atau memutakhirkan pengetahuan dan keterampilan mereka mengenai berbagai hal, seperti kesehatan, gizi, sistem keuangan/perbankan, lingkungan, bahkan masyaakat juga harus melek hukum, dan berbagai bidang lainnya. Pandangan seperti yang dikemukakan Evan (1981:28) lebih dari dua dekade yang lampu tersebut, belakangan muncul pandangan yang berbeda. Menurut Rogers (2005:265), pemilahan pendidikan formal – sekolah dengan pendidikan nonformal – luar sekolah, sudah kurang relevan. Salah satu cara pandang yang berbeda menempatkan pendidikan ke dalam satu kontinua, di satu ujung adalah pendidikan kontekstual, di ujung lain adalah pendidikan dekontekstual. Pendidikan informal adalah pendidikan yang sangat kontekstual dan pendidikan sekolah dipandang sebagai pendidikan yang dekontekstual. Pendidikan nonformal dikatakan sebagai setengah kontekstual dan setengah dekontekstual. Terlepas dari pandangan Rogers yang tidak semua orang sependapat,
Peran Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Pendidikan Karakter Bangsa
82 satu hal yang patut digarisbawahi adalah pengakuan bahwa pendidikan nonformal itu fleksibel. Karenanya bersifat kontekstual, pendidikan nonformal dapat menguat dan dapat pula melemah. Dengan sifat yang demikian, pendidikan nonformal sangat potensial untuk melakukan pendidikan karakter, dan lebih spesifik pendidikan karakter berorientasi kebangsaan. Berikut ini beberapa kemungkinan pendidikan karakter bangsa yang dapat diperankan oleh pendidikan nonformal dan informal. Pendidikan untuk kelompok anak usia dini Sesuai dengan tingkat perkembangannya, nilai-nilai luhur dan nilai-nilai kebangsaan diperkenalkan dengan contoh nyata mengenai perilaku yang mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupan berbangsa. Misalnya, diperkenalkan berbagai lambang negara dan simbol kebangsaan, serta bagaimana cara yang tepat memperlakukannya. Pendidikan untuk kelompok remaja dan pemuda Tugas perkembangan masa adolesen yang ditandai dengan pencarian identitas diri memerlukan pendekatan yang mampu menyalurkan, memfasilitasi, mengarahkan, untuk akhirnya menemukan identitas diri sebagai anakanak bangsa yang berkarakter. Program-program pertukaran pemuda tingkat nasional maupun internasional sangat bermanfaat untuk menumbuhkan kebanggaan dan kebersamaan. Pendidikan keaksaraan dan kesetaraan
Dua program ini yang memang paling dekat dengan persekolahan sehingga terbuka peluang untuk bersinergi dalam pendidikan karakter kebangsaan. Pendidikan keaksaraan sambil menumbuhkan makna kompetensi keaksaraan bagi pembentukan konsep diri dan jatidiri sebagai individu di dalam kehidupan berbangsa. Misalnya, paling tidak menyadari betapa menyakitkan, pemeringkatan bangsa-bangsa berdasarkan angka literasi sehingga bangsa yang tinggi angka buta hurufnya, akan berada dalam posisi memalukan. Sementara itu, pendidikan kesetaraan yang dewasa ini semakin ditata agar terbukti kesetarannya yang memang secara yuridis sudah mendapatkan pengakuan, mestinya juga memiliki komitmen terhadap pendidikan karakter kebangsaan. Pendidikan untuk kelompok perempuan Pendidikan pemberdayaan perempuan tentunya untuk meningkatkan kualitas partisipasi perempuan dalam kehidupan berbangsa. Di samping itu, juga untuk membangun karakter, jati diri sebagai perempuan yang meskipun secara kodrati berbeda. Namun, tidak berarti harus dibedakan dalam peluang, kapasitas, dan kinerja di berbagai bidang. Pendidikan untuk masyarakat Sebagaimana diutarakan sebelumnya, masyarakat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan mengenai berbagai hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan modern dewasa ini (Sumarno, 2007:11-19), termasuk bagaimana kehidupan berbangsa dalam konstelasi hubungan antarbangsa yang semakin
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
83 kompleks, penuh dengan berbagai kepentingan tersurat maupun tersirat. Dalam hubungan antarbangsa, meskipun dengan prinsip kesamaan derajat, tidak dapat diingkari adanya sistem jejaring internasional yang menempatkan suatu bangsa dalam posisi kebergantungan atau menjadi terbatas kebebasannya dalam berinteraksi dengan bangsa lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Keadaan demikian mengharuskan masyarakat memerlukan kemampuan untuk tetap sadar akan harkat dan martabat sebagai suatu bangsa. Masyarakat dapat mengatakan “tidak” pada waktu dihadapkan pada pilihan yang harus dibayar dengan kehilangan harga diri dan identitas diri kebangsaannya. Berdasarkan beberapa contoh tersebut, dapat diidentifikasi potensi yang dimiliki, atau andil yang diberikan pendidikan nonformal dan informal dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Salah satu tantangan pendidikan nasional dewasa ini adalah pendidikan karakter pada umumnya, dan khususnya pendidikan karakter yang berorientasi kebangsaan. Tantangan tersebut akan teratasi lebih optimal manakala peran yang dilakukan pendidikan formal bersinergi dengan peran yang dapat dilakukan oleh pendidikan nonformal dan informal. Ukuran keberhasilan dari sinergi ini tidak terkait dengan ujian nasional yang dewasa ini menjadi bahan diskusi publik, melainkan hasil dan manfaatnya akan dapat kelihatan pada waktu dihadapkan dengan persoalan nyata, baik sebagai individu maupun sebagai anak bangsa. Percaya diri dengan identitas diri yang kuat dan
mencerminkan identitas kebangsaan merupakan esensi yang dipercayakan mandatnya kepada pendidikan. PENUTUP Pendidikan karakter berorientasi kebangsaan tidak cukup hanya menghasilkan manusia bermoral dan memiliki jatidiri kuat yang memang seharusnya dimiliki oleh manusia manapun, melainkan harus pula menguasai moralitas dan jatidiri kuat dalam kehidupan berbangsa. Orientasi moralitas kemanusiaan dan kebangsaan yang terpadu ini memerlukan pembinaan sejak dini dan dilakukan secara terus-menerus karena dalam kehidupan manusia, masyarakat, dan bangsa senantiasa dihadapkan dengan berbagai persoalan moralitas kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Untuk menghadapi persoalan tersebut, diperlukan kemampuan kecerdasan moral. Kalau tidak cerdas di dalam membuat keputusan moral, dikawatirkan keputusan moral yang dihasilkan dan dilaksanakan justru akan menimbulkan persoalan yang lebih rumit atau lebih besar. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan karakter membutuhkan pendekatan sinergis oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan kata lain, perlu kolaborasi pendekatan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Perlu difahami bahwa di sekolah dan perguruan tinggi, tidak hanya dapat dilaksanakan pendekatan formal, akan tetapi juga pendekatan nonformal melalui berbagai kegiatan ko/ekstrakurikulair; dan juga informal melalui penciptaan lingkungan budaya kondusif yang sarat dengan
Peran Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Pendidikan Karakter Bangsa
84 muatan nila-nilai luhur moralitas kebangsaan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Redaksi Cakrawala Pendidikan LPM – UNY yang telah bersedia memuat dan mempublikasikan tulisan ini, yang mencoba mengangkat tantangan dan peluang bagi pendidikan nonformal dan informal yang sering terpinggirkan dalam pendidikan karakter bangsa; bersinergi dengan pendidikan formal.
Pinto, Pablo M. and LeFoulon, Carmen M. 2007. “The Individual Sources of Economic Nationalism”. Saltzman Working Paper No.3. http://www.siwps.com/programs/SWP.attachment/no-3. Diunduh 29 Maret 2011. Rogers, A. 2005. Non-formal Education. Flexible Schooling or Participatory Education. CERC The University of Hong Kong, Studies in Comparative Education 15. New York: S. Pringer & Hongkong: Kluwer Academic Publishers.
DAFTAR PUSTAKA Dawson, R.E., Prewitt, K., Dawson,K.S. 1977. Political Socialization. Boston: Little Brown and Company.
Sumarno. 2007. Pembudayaan Literasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Ditjen PNFI, Depdiknas.
Evan, D.R. 1981. The Planning of Nonformal Education. Paris Unesco: IIEP
______. 2010. Asumsi Dasar Pendidikan Bangsa. Yogyakarta: FIP – UNY (dalam proses pencetakan).
Harison & Huntington. 2000. Culture Matters – How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books.
Su Kwak. 2002. “Nationalism and Productivity – The Myth Behind the Korean Workethic”. Regional Harvard Asia Pacific Review. http://web.mit.edu/lipoff/www/hapr/ spring02_wto/workethic.pdf. Diunduh 29 Naret 2011.
Koenig, Mathias. 1999. “Democratic Governance in Multilingual Societies”. Discussion Paper No. 30. Volume 2, Number 11. www.unesco.org/shs/most. Diunduh 29 Maret 2011.
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY