Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA (Membangun Karakter Bangsa)
i
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta 1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]). 2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]). 3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]). 4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA (Membangun Karakter Bangsa)
Budiharjo
Budiharjo
Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Budiharjo Budiharjo, Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)/ Budiharjo/Yogyakarta: Samudra Biru, 2015 + hlm.; 16x 24 cm ISBN: 978-602-9276-71-8 I. Pendidikan
II. Judul
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, juga tanpa izin tertulis dari penerbit
Penulis Editor Lay Out Design Cover
: Budiharjo : Anton Prasetyo : Samudra Biru : Samudra Biru
Cetakan Pertama, Oktober 2015 Diterbitkan oleh: Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI) Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno Blok B No 15 RT 12 RW 30 Banguntapan Bantul DI Yogyakarta 55198 www.samudrabiru.co.id e-mail/fb:
[email protected] (0274) 9494-558/0813-2752-4748 Isi di luar tanggung jawab percetakan iv
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah, karena atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya, penyusunan buku ini dapat terwujud dengan lancar dan diiringi dengan kemudahan-kemudahan dari-Nya. Tanpa bantuan dari-Nya, mustahil buku ini dapat terwujud di hadapan sidang pembaca. Semoga, kehadiran buku ini mampu memberikan angin segar bagi dunia pendidikan yang sedang mendambakan pendidikan karakter untuk membentuk insan intelektual yang good and smart. Kehadiran buku berjudul Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) ini diharapkan dapat menambah referensi bukubuku pendidikan karakter yang sudah ada sebelumnya. Pendidikan karakter merupakan suatu hal yang sangat penting dalam membangun bangsa yang beradab dan bermartabat, baik di mata Tuhan, dunia internasional, dan manusia. Krisis karakter kebangsaan yang kini semakin mewabah di kalangan generasi muda, bahkan generasi sebelumnya semakin melahirkan keprihatinan demi keprihatinan. Setiap harinya, media massa terus dibanjiri dengan berita-berita kejahatan, pembunuhan, meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak, remaja, perempuan, dan lain sebagainya. Kita semakin sadar, bahwa kini nilai-nilai Pancasila yang luhur perlahan mulai tersisihkan. Krisis moral menyebabkan bangsa seolah terjajah oleh penyakit moral bangsa. Jika sudah demikian, tidak ada penawar yang paling ampuh kecuali berpulang pada Pancasila, sumber nilai-nilai kebaikan dan keluhuran bangsa. Seandainya Pancasila diaktualisasikan dalam perilaku hidup keseharian, tentu bangsa ini akan menjadi bangsa yang harmonis, bersatu di atas banyak perbedaan, dan mampu menjadi bangsa beradab di mata dunia. Dan, itulah kemerdekaan yang sesungguhnya. v
Budiharjo Krisis moral yang telah merampas hak anak-anak untuk mendapatkan lingkungan terbaik untuk tumbuh dan berkembang merupakan sebuah tanda bahwa bangku sekolah belum mampu mencetak kader bangsa yang tangguh secara mental dan intelektual. Terlebih, orang-orang dewasa juga mengajarkan teladan buruk pada anak, semisal pada kasus perselingkuhan, korupsi, kekerasan, dan lain sebagainya. Dunia pendidikan pun semakin sadar bahwa mengajarkan budi pekerti dalam bentuk teks-teks saja tidak akan mampu menggerakkan pertumbuhan moral yang diharapkan. Kesinambungan dari kekecewaan demi kekecewaan itu, di sisi lain melahirkan pemikiran bahwa pendidikan karakter di sekolah perlu dilangsungkan secara intens. Bahkan, tidak hanya di sekolah, lingkungan rumah sesungguhnya merupakan tempat yang paling efektif untuk menanamkan pendidikan karakter. Hal ini sebagaimana adagium yang sangat populer, bahwa rumah merupakan sekolah pertama bagi anak. Di dalamnya, anak-anak akan berproses, mengamati, meniru, dan membiasakan diri untuk membentuk sikap-sikap, watak, dan karakter tertentu. Oleh karena itu, orang tua hendaknya menjadi guru bagi anak dalam hal kepribadian dan pembentukan karakter. Berbagai upaya untuk membentuk karakter kebangsaan pada generasi Indonesia disajikan dalam buku ini dengan mengacu pada kajian filsafat, psikologi, ilmu manajemen, agama, budaya, dan sosial. Kajian mengenai karakter juga dikaitkan langsung dengan praktik kehidupan moral. Harapannya, buku ini memiliki nilai aplikatif dalam dunia pendidikan, baik formal atau informal. Pada muaranya, diharapkan akan lahir generasi bangsa yang memiliki karakter yang tangguh dan hebat, sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Secara sistematis, buku ini menguraikan tentang urgensi pendidikan karakter, tahapan formal pendidikan karakter, keluarga sebagai pionir pendidikan karakter, peran sekolah dalam pendidikan karakter, dan merawat pendidikan karakter di Indonesia. Di dalam masing-masing uraian, terdapat sub bab pembahasan yang semoga dapat memperkaya paradigma pembaca mengenai penerapan pendidikan karakter di Indonesia. Dengan menyelami buku ini, semoga pencerahan dan tekad untuk menjadi pendidik (karakter) bagi generasi bangsa semakin menguat. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa proses penyusunan buku ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi pemikiran sehingga buku ini dapat hadir dan mewarnai sketsa pendidikan karakter di Indonesia. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan doa. Semoga Allah berkenan vi
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) membalas kebaikan tersebut dengan limpahan pahala, kemudahan, bantuan, dan karunia-Nya. Semoga buku ini mampu memberikan manfaat terbaik kepada sidang pembaca, sehingga pendidikan karakter di Indonesia semakin kukuh eksistensinya. Penyusunan buku ini tentu saja masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif dan inspiratif sangat dinantikan. Akhir kata, semoga buku ini dapat memberikan kemanfaatan. Selamat membaca. 30 Agustus 2015 Penulis
vii
Budiharjo
viii
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... v DAFTAR ISI .........................................................................................ix BAB I URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER................................1 A. Pengertian Pendidikan Karakter. ..................................................1 B. Pendidikan Karakter sebagai Sumber Kekuatan Bangsa...........6 C. Pancasila, Membentuk Generasi Good and Smart . ......................9 D. Pilar-Pilar Pendidikan Karakter Bangsa.....................................12 BAB II TAHAPAN FORMAL PENDIDIKAN KARAKTER........21 A. Pendidikan Karakter di PAUD. ....................................................21 B. Pendidikan Karakter di TK............................................................27 C. Pendidikan Karakter di SD............................................................32 D. Pendidikan Karakter di SMP.........................................................35 E. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Atas......................39 F. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi..................................43 BAB III KELUARGA SEBAGAI PIONIR PENDIDIKAN KARAKTER.....................................................................................47 A. Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter..............................47 B. Soft Skill Pengasuhan Ramah Anak ...........................................55 C. Sosialisasi Nilai-Nilai Luhur Pancasila dalam Keluarga...........58 D. Keluarga Sebagai Sekolah Kepribadian ......................................64
ix
Budiharjo BAB IV PERAN SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER.....................................................................................73 A. Mewujudkan Sekolah Ramah Anak.............................................73 B. Mendesain dan Memfasilitasi Pendidikan Karakter di Sekolah.........................................................................................79 C. Menegakkan Etos Kerja Pancasila di Sekolah.............................86 D. Mengadakan Evaluasi Pendidikan Karakter. .............................91 BAB V MERAWAT PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA..............................................................................95 A. Mewujudkan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang......................95 B. Berorientasi pada Proses, Bukan Hanya Hasil. ..........................97 C. Konsisten Menjaga Nilai-Nilai Kearifan Lokal...........................99 D. Menghidupkan Budaya Membaca, Menulis, dan Mendengarkan .......................................................................101 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................103 TENTANG PENULIS . .......................................................................109
x
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
BAB I URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pengertian Pendidikan Karakter Dewasa ini, wacana mengenai pendidikan karakter semakin mendapat perhatian dari berbagai pihak. Banyaknya fenomena yang mencerminkan degradasi moral dalam konteks kebangsaan telah membuat semua pihak khawatir dan prihatin. Tidak bisa dimungkiri, kini perilaku tercela seolah menjadi suatu hal yang biasa terjadi. Situasi ini sesungguhnya memberikan ancaman tersendiri bagi perkembangan generasi muda. Generasi yang seharusnya memiliki figur teladan, mampu memiliki rasa aman, justru dihadapkan pada kenyataan demi kenyataan yang semakin menggelisahkan. Kini, sangat sulit ditemukan figur teladan yang mampu menegakkan sikap-sikap luhur. Faktanya, korupsi yang menggurita, kemunculan mafia pangan, perselingkuhan yang dilakukan oleh kalangan terdidik, dan kekerasan kepada pihak yang lebih inferior semakin marak terjadi. Ironisnya, perbuatan tidak bermoral itu banyak dilakukan oleh pejabat pemerintah dan insan yang mengenyam pendidikan tinggi. Dan, krisis figur ini secara nyata telah menyuguhkan teladan buruk bagi generasi bangsa. Lalu, akan dibawa ke mana arah pendidikan pekerti anak-anak bangsa? Di dalam dunia internal pendidikan, maraknya jual beli ijazah palsu, perilaku menyontek di kalangan remaja, guru yang memberikan bocoran soal, orang tua yang gemar menyiksa anak-anaknya merupakan fenomena gunung es di negeri ini. Padahal, seharusnya dunia pendidikan steril dari berbagai bentuk penyimpangan moral. Negeri Indonesia yang terkenal dengan budi pekerti luhur pun ternoda oleh kenyataan bahwa mempertahankan sikap beradab secara kolektif dan masal sangat sulit dilakukan. Lantas, apa yang 1
Budiharjo bisa diharapkan jika banyak pihak berlomba-lomba menunjukkan sikap tercela? Kini, segenap elemen bangsa perlu berbenah dan berperan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Kehidupan yang harmonis, tentram, tenang, dan damai merupakan harapan bersama. Dan, hal itu hanya dapat terwujud melalui pembentukan karakter yang luhur, yakni sesuai dengan kearifan sila-sila Pancasila. Betapapun degradasi moral telah menjajah ketentraman bangsa, harapan untuk senantiasa keluar dari krisis moral harus terus dijaga bersama. Salah satu upaya mengembalikan citra luhur bangsa ialah melalui pendidikan karakter. Membicarakan karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah ‘membinatang’. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannnya melalui proses pembelajaran.1 Dalam konteks masa kini, penguatan pendidikan karakter sangat relevan untuk mengatasi krisis moral. Tidak bisa dimungkiri, saat ini telah terjadi krisis moral yang mengancam pertumbuhan jiwa anak-anak. Hal itu ditengarai dengan meningkatnya fenomena pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan yang dilakukan anak dan remaja, kejahatan terhadap teman sebaya, dan lain sebagainya. Banyak yang menduga, dunia pendidikan belum mampu mencetak generasi kuat dan baik. Dan, hal ini seharusnya menjadi bahan evaluasi yang berharga bagi setiap elemen bangsa. Sebagaimana kita ketahui, pendidikan di negeri belum menitikberatkan pada pengembangan moral. Pendidikan di negeri ini masih berorientasi pada aspek kognitif-an sich. Pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berdasarkan nilai-nilai inti kebaikan untuk individu dan masyarakat. Pendidikan karakter merupakan respon terhadap kondisi masyarakat Indonesia bahwa hasil pendidikan nasional dewasa ini belum mengarah, bahkan makin jauh dari tujuan yang telah dirumuskan dalam UU Sisdiknas tahun 2003.2 Pendidikan karakter menjadi pembahasan yang urgen 1 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd, Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.1. 2 Agus Wibowo, M.Pd, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi; Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 38.
2
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) sebab dengan menegakkan kembali pilar-pilar pendidikan karakter dan memberikan kekuatan ekstra, kualitas pendidikan bangsa akan semakin bertambah. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, dan watak. Adapun, berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak.”3 Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group.’ Hill (dalam Wanda Christiana, 2005) mengatakan, character determines someone’s private thought and someone’s action done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behavior in every situation.” 4 Dengan demikian, karakter dapat diartikan sebagai identitas diri seseorang. Identitas diri tersebut senantiasa melekat dalam pribadi sebagai ciri khas dari individu. Griek mengemukakan bahwa karakter dapat didefinisikan sebagai paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus membedakan orang yang satu dengan yang lain. Kemudian Leonardo A. Sjiamsuri dalam bukunya Kharisma Versus Karakter yang dikutip Damanik mengemukakan bahwa karakter merupakan siapa individu sesungguhnya. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang itu berbeda dari yang lain. 5 Kini semakin jelas, bahwa karakter mengandung hal-hal unik dan khas. Karakter mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis, dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaaan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma 3
akhmadsudrajat.wordpress.com Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Kegiatan Pembelajaran” dalam Cakrawala Pendidikan (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX), hlm, 14-15. 5 Anita Yus, “Pengembangan Karakter Melalui Hubungan Anak-Kakek-Nenek,” dalam Arismantoro (Peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 91. 4
3
Budiharjo agama, hukum, tata krama, budaya, dan adar istiadat. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif, inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat. menghargai waktu, dedikatif, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, terbuka, dan tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat baik atau unggul.6 Karakter mulia tersebut sangat penting dalam memberikan kontribusi kesuksesan bagi seseorang. Sudah seharusnya, pendidikan mampu mencetak individu dengan karakter mulia. Menurut Dony Kusuma, pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam diri individu. Dinamika ini membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi dimensi yang menjiwai proses formasi tiap individu.7 Idealnya, pendidikan tidak hanya bertumpu pada hasil semata. Melainkan, pendidikan mengaksentuasikan pada kejujuran proses. Pendidikan pun diharapkan mampu membentuk karakter positif dalam setiap individu. Dengan karakter positif, diharapkan out put dari dunia pendidikan adalah insan cendekia yang memiliki keluhuran budi pekerti dan memiliki kecerdasan emosi yang baik. Goleman, seorang psikolog yang menekuni bidang psikologi pertumbuhan pernah meyakini bahwa 80% kesuksesan dan kebahagiaan seseorang ditentukan oleh kualitas kecerdasan emosi. Dengan kecerdasan emosi yang baik, seseorang akan mampu mengenali perasaan dirinya, mengenali perasaan orang lain, dan mampu memberikan respons yang tepat pada setiap life event kehidupan. Kecerdasan emosi membuat seseorang mampu bertahan dalam saat-saat sulit, mampu lebih cepat menyesuaikan diri, dan mendapatkan penerimaan sosial yang baik. Kualitas-kualitas kemanusiaan itulah yang akan mendukung individu untuk meraih 6 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.10-11. 7 Dony Kusuma, Pendidikan Karakter (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm 104.
4
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) kesuksesan di dalam segala bidang. Pada praktiknya, pendidikan karakter harus mampu dijalankan oleh negara dengan memberdayakan kekuatan-kekuatan mikro di dalamnya, yakni keluarga, institusi, dan organisasi masyarakat. Sebab, dengan karakter positif, seseorang akan memiliki kontrol diri yang baik. Kontrol diri inilah yang akan menjadi sumber bagi keamanan dan keharmonisan dalam suatu masyarakat, bahkan bangsa. Pendidikan karakter yang berhasil dan efektif akan mampu mendidik moralitas dan akhlak generasi bangsa. Dengan begitu, akan tercapai iklim harmonis dan humanis di dalam masyarakat, negara, dan bangsa. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang intinya merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan bekerjasama). Budi pekerti mengandung watak moral yang baku dan melibatkan keputusan berdasarkan nilai-nilai hidup. Watak seseorang dapat dilihat pada perilakunya yang diatur oleh usaha dan kehendak berdasarkan hati nurani sebagai pengendali bagi penyesuaian diri dalam hidup bermasyarakat.8 Konsekuensinya, pendidikan karakter harus diupayakan secara legal formal di dalam lingkungan sekolah. Agar siswa mampu menghayati aspek-aspek pendidikan karakter dan menerapkannya sebagai bekal kehidupan, sekolah perlu mendesain pendidikan karakter yang mampu menggugah hati siswa. Kesuksesan pendidikan karakter di sekolah akan membawa kabar baik bagi kesuksesan peserta didik. Sebab, dengan karakter, kepribadian, dan budi pekerti yang baik, seseorang akan lebih mudah untuk sukses dan menggapai kebahagiaan, baik secara lahir ataupun batin. Menurut Takdirotun Musfiroh (2008), pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah, yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Secara ringkas, pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai: “The deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development.” Selanjutnya, T. Ramli (2003) mengemukakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan 8 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Budi Aksara, 2007), hlm. 18.
5
Budiharjo moral atau akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi peserta didik, agar menjadi pribadi yang lebih baik, jika di masyarakat menjadi warga yang baik, dan jika di dalam kehidupan bernegara menjadi orang yang baik pula. 9 Sudah seharusnya, pendidikan melahirkan generasi yang hebat, jujur, dan memiliki kepribadian yang luhur. Pelaksanaan pendidikan dan pengembangan karakter berawal dari prinsip filosofi yang secara objektif mengaksentuasikan bahwa nilai-nilai etika dasar terdiri dari kepedulian, kasih sayang, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat. Sesungguhnya, pendidikan karakter merupakan upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasi nilai-nilai positif kepada setiap individu. Selanjutnya, diharapkan mereka akan menjadi individu yang percaya diri, tahan uji, bermoral tinggi, dan bertahan dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan manusia. B. Pendidikan Karakter sebagai Sumber Kekuatan Bangsa Pendidikan karakter hakikatnya merupakan integrasi antara kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Dengan pendidikan karakter, seseorang akan memiliki kecerdasan emosional yang baik. Menurut Dameria, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen dasar sebagai berikut: 10 1. Self-awareness (pengenalan diri), yaitu kemampuan mengenali emosi dan penyebab atau pemicu emosi tersebut. Orang tersebut mampu mengevaluasi dirinya dan mampu mendapatkan informasi untuk melakukan suatu tindakan. 2. Self-regulation (penguasaaan diri), yaitu kemampuan seseorang untuk mengontrol dalam membuat tindakan secara berhatihati. Orang tersebut mampu memilih untuk tidak diatur oleh emosinya. 3. Self-motivation (motivasi diri), yaitu ketika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi tidak akan bertanya “Apa yang salah dengan kita atau saya?” Sebaliknya, ia bertanya, “Apakah yang dapat saya lakukan agar kita dapat memperbaiki masalah ini?” 4. Empathy (empati), yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan 9 Agus Wibowo, M.Pd., Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi; Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 39. 10 Siti Mahmudah, “Mengembangkan Kecerdasan Integratif” dalam Psiko Islamika (Malang: UIN Malang, 2005, Vol. 2/No. 2), hlm. 150.
6
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) orang lain dan merasakan apa yang dirasakan orang lain jika dirinya sendiri berada pada posisi tersebut. 5. Effective relationship (hubungan yang efektif), yaitu kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang baik, produktif, dan saling memberi kemanfaatan. Dengan memiliki keempat keterampilan di atas, seseorang akan mampu berkomunikasi secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai kemampuan intelegensia tinggi mempunya tujuan yang konstruktif dalam pikirannya. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi:11 1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik 2. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur 3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Selanjutnya, pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. Pendidikan karakter akan berhasil jika seluruh elemen bangsa memberikan kontribusi positifnya, meski dengan cara-cara yang sederhana. Sebab, kesuksesan pendidikan karakter ditentukan oleh kesamaan visi dan misi seluruh elemen bangsa. Fungsi pendidikan karakter sebagaimana dijabarkan di atas sangat memberikan dampak yang besar bagi negara. Dengan terbentuknya karakter Pancasila, maka kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki iklim majemuk dapat menemukan titik harmonisnya. Pendidikan karakter yang berhasil dan dilakukan secara efektif, bahkan berpeluang mengangkat martabat bangsa dalam dunia internasional. Sedangkan, aspek iman dan keagamaan yang dibentuk dalam pendidikan karakter akan memunculkan kekuatan spiritual bangsa, sehingga memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi berbagai persoalan. 11 Kementrian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan dan Penelitian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Jakarta, “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter”, Makalah, Januari, 2011, hlm. 2.
7
Budiharjo Kehidupan berbangsa dan bernegara secara langsung atau pun tidak, jelas membutuhkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan emosional yang baik. Sebab, dengan potensi insaniyah itu, seseorang akan memiliki keunggulan dan ketahanan psikologis yang kuat. Ketahanan psikologis inilah yang akan mendorong seseorang untuk mampu bertahan dalam setiap masa-masa sulit. Sehingga, ketika menghadapi rintangan dalam kehidupan, orang dengan kecerdasan emosional yang baik mampu untuk melakukan tindakan terbaik, bahkan mampu memberikan solusi yang bermanfaat bagi permasalahan di sekitarnya. Sosok seperti inilah yang mampu membangun martabat bangsa, membantu menyelesaikan masalah sosial, dan sama sekali tidak menjadi beban bagi negara. Pendidikan karakter merupakan suatu hal yang urgen untuk dilaksanakan. Bahkan, Theodore Roosevelt juga mengatakan, “Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada masyarakat.” Hal tersebut sangat dapat dipahami, karena kecerdasan emosi dan budi pekerti yang baik dapat menjadi sumber kekuatan kehidupan yang harmonis di dalam masyarakat. Lebih lanjut, Djoko Suryono juga menulis sejumlah alasan tentang pentingnya pengembangan kecerdasan integratif yaitu kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Pertama, hasil-hasil pendidikan modern selama ini sangat menekankan dan mengungulkan kualitas intelektual atau kepandaian yang dilambangkan dengan IQ. Hal ini kenyataannya kurang berhasil atau malahan telah gagal dalam membentuk dan mengembangkan seseorang menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.12 Kecerdasan intelektual saja memang tidak cukup untuk membentuk konfigurasi kesuksesan dalam sejarah hidup seseorang. Terdapat aspek-aspek lain yang juga harus ada, seperti budi pekerti luhur, kecerdasan emosi, dan kekuatan spiritual. Selain mampu membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sehat, pendidikan karakter juga merupakan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Berbagai permasalahan sosial seperti pengangguran, kenakalan remaja, kriminalitas, kemiskinnan, dan lain sebagainya dapat ditanggulangi dengan penyelenggaraan pendidikan karakter secara efektif. Tentu saja, ini akan membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Dengan karakter yang baik, seseorang akan mampu mengoptimalkan seluruh potensi dirinya dengan gigih, ulet, dan pantang menyerah. Pendidikan karakter memiliki misi untuk menghancurkan mental 12 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.44.
8
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) block. Mental block adalah cara berpikir dan perasaan yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya membuat seseorang terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan.13 Mental block memiliki bahaya yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Adapun, mental block dapat dideteksi dengan gejala-gejala awal seperti sering mengeluh, memiliki virus perusak, konflik batin, tidak ada perubahan kehidupan, dan tidak mau ambil risiko. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan pertahanan psikologis bagi manusia Indonesia untuk tetap survive menjadi insan yang berdaya. Pembangunan bangsa membutuhkan tenaga pembangun yang berkualitas tinggi agar mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam proses pembangunan. Dan, hal ini hanya dapat dilakukan oleh individu yang memiliki karakter baik dan tangguh. Dengan adanya kualitas generasi dan individu dalam negara berkarakter baik dan memiliki kualitas kesehatan yang baik, maka setiap warga negara mampu menjalankan kewajibannya dengan maksimal. Muaranya, negara akan memiliki generasi yang berdaya dan mampu memberdayakan. C. Pancasila, Membentuk Generasi Good and Smart Bagi bangsa Indonesia, pendidikan Pancasila dan pendidikan agama serta ilmu pengetahuan secara potensial dapat dijadikan wahana pendidikan nilai. Pancasila mengandung muatan nilai-nilai yang luhur sehingga menjadi pijakan sumber moral bagi seluruh warga negara Indonesia. Selain itu, Pancasila juga menjadi kunci penyelesaian bagi permasalahan kebangsaan. Sebab, sebagai bangsa yang luas dan majemuk, Indonesia sangat rentan dengan aneka ragam perbedaan. Tanpa acuan nilai-nilai luhur dari Pancasila, tentu berbagai konflik mudah terjadi dan menimbulkan perpecahan. Sebagai sebuah ideologi bangsa, Pancasila hadir dari semangat zaman yang melingkupinya. Realitas kesejarahan nusantara mampu memunculkan ramuan ideologi yang mampu menunjukkan eksistensi bangsa. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila juga mampu memenangkan percaturan kebijaksanaan antara kapitalisme dengan sosialisme. Nilai lebih Pancasila antara lain, mampu mewujudkan kesejahteraan sosial berdasarkan kesamaan derajat dan kemanusiaan. Secara arif, Pancasila memiliki kapasitas yang baik untuk menerima kolektivitas yang tumbuh dan berakar dalam dinamika kebangsaan Indonesia. Di dalam Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan 13 Muslim Nurdin, et al., Moral Islam dan Kognisi Islam (Bandung: CV Alfabeta, 1993), hlm. 205.
9
Budiharjo Karakter Bangsa 2010-2025, dipaparkan bahwa pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa. Selanjutnya, untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”14 Di tengah suasana krisis moral yang terjadi saat ini, sudah saatnya Indonesia membangun visi pendidikan yang beradab. Sehingga, orientasi pendidikan tidak hanya berkisar pada ranah kognitif, namun juga ranah afektif dan psikomotorik. Sudah saatnya, pendidikan memberikan pematangan etika kepada generasi muda. Menjalankan pendidikan karakter di Indonesia sesungguhnya bukan perkara yang tidak mungkin. Sebab, Indonesia sudah memiliki sumber falsafah dan nilai pendidikan karakter, yakni Pancasila. Menurut Buya Syafii, Indonesia telah melahirkan suatu nasionalisme yang berkarakter keindonesiaan, yakni nasionalisme berketuhanan (nasionalisme religius). Nasionalisme religius yang dimaksud adalah pengejawantahan nilai yang bersumber terutama dari Islam, nasionalisme modern, dan kearifan tradisional bangsa. Bentuk nyata nasionalisme religius itu telah dirumuskan dalam bentuk dasar, falsafah atau ideologi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 secara nyata adalah kalimatun sawa (titik temu) warga bangsa yang plural yang berfungsi nmengikat dan menjamin kohesivitas berbangsa dan bernegara. Di atasnya, berdiri kukuh multikulturalisme sebagai platform hidup bersama bangsa dalam wadah negara-bangsa 14 Kementrian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan dan Penelitian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Jakarta, “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter”, Makalah, Januari, 2011, hlm. 1.
10
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) Republik Indonesia.15 Pancasila sesungguhnya menyimpan model karakter bangsa Indonesia, dan selalu relevan pada setiap masa. Dengan demikian, Pancasila menjadi nilai rujukan dalam pendidikan karakter kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lima batu karang atau lima prinsip moral.16 Pancasila merupakan jalur moral yang mampu membentuk generasi dengan kualitas kepribadian yang good and smart (baik dan cerdas). Prinsip moral ini secara alami dipahami dan dihafal oleh segenap elemen bangsa, sehingga menjadi suatu pandangan hidup bersama yang tidak lekang ditelan zaman. Sudah semestinya, pemahaman itu ditindaklanjuti dengan penghayatan dan pengamalan. Kata Weltanschaung sering digunakan untuk menjelaskan fungsi Pancasila sebagai ideologi atau pandangan hidup. Setelah Pancasila dilihat sebagai hasil perumusan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Indonesia di masa lampau dan kemudian Pancasila dijadikan keperibadian dan identitas diri bangsa, maka Pancasila juga merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam pergaulannya dengan masyarakat dunia atau bangsa-bangsa internasional. Untuk itu, Pancasila merupakan keunikan Bangsa Indonesia.17 Berpijak dari kenyataan ini, pendidikan karakter perlu memunculkan rasa bangga dan bersyukur terhadap kekayaan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sebagai suatu ideologi bangsa, Pancasila hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan, serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, dengan kata lain, unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila.18 Berdasarkan hal ini, Pancasila memiliki nilai-nilai yang selaras dengan karakter bangsa, sehingga berlaku universal bagi seluruh warga negara. 15 Ahmad Najib Burhani, dkk (Ed), Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Jakarta: Maarif Institure dan Serambi, 2015), hlm. 93. 16 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 144. 17 DR. M. Abdul Karim, M.A, M.A., Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2004), hlm. 37. 18 Prof. DR. H. Kaelan, M.S dan Drs. H. Achmad Zubaedi, M.Si, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 31.
11
Budiharjo Penerapan nilai-nilai luhur Pancasila sangat adaptif dan sesuai dengan karaketeristik semua warga negara dari Sabang sampai Merauke. Sebab, Pancasila mampu mengakomodasi seluruh perbedaan menjadi suasana kebangsaan yang kaya akan keragaman. Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan, setiap individu akan mampu melintasi budaya dan mendapat penerimaan yang baik di seluruh wilayah nusa dan bangsa. Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk itu, diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan Iptek yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, nilainilai kemanusiaan, dan nilai-nilai budaya bangsa.19 Erat kaitannya dengan hal ini, Pancasila merupakan rumusan tata nilai yang dapat membentuk generasi bangsa menjadi generasi yang good and smart. Pancasila juga selalu relevan untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di setiap zaman. D. Pilar-Pilar Pendidikan Karakter Bangsa Pendidikan karakter mengemban misi untuk mengembangkan watak-watak dasar yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik. Penghargaan (respect) dan tanggung jawab (responsibility) merupakan dua nilai moral pokok yang diajarkan di sekolah. Nilai-nilai moral yang lain adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, kedisiplinan diri, suka menolong, rasa kasihan, kerja sama, keteguhan hati, dan sekumpulan nilai-nilai demokrasi. Pendidikan karakter perlu dilaksanakan dengan mengacu pada karakteristik moral bangsa. Karakter kebangsaan merupakan konfigurasi ciri khas kerakyatan yang dimiliki suatu bangsa. Karakter kebangsaan ini tumbuh secara perlahan melalui dinamika interaksi, berlanjut dalam proses pembentukan bangsa serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, setiap bangsa memiliki karakter kebangsaannya sendiri.20 Dan, secara unik Indonesia memiliki karakter kebangsaan yang seharusnya mampu mendidik generasi menjadi insan yang unggul secara moral dan intelektual. Dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, 19
Ibid., hlm.3. Moerdiono, “Dimensi Keadilan Sosial dalam Pembentukan Karakter Kebangsaan”, Sumbangan pemikiran yang disampaikan pada seminar dalam rangka peringatan HUT ke-21 KNPI yang diselenggarakan oleh DPD KNPI Jawa Timur, 25 Juli 1994, hlm. 6. 20
12
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) dan bernegara, salah satu ciri karakter kebangsaan yang ingin dikembangkan adalah kemauan serta kemampuan untuk saling tenggang menenggang. Kemampuan untuk bertoleransi terhadap perbedaan diperlukan untuk melakukan rekonsiliasi jika terjadi konflik. Tanpa tertanamnya kemampuan tersebut dalam karakter bangsa, cepat atau lamba, bangsa akan mengalami disintegrasi. Demikian banyak kasus yang terjadi pada bangsa-bangsa lain di dunia, yang dapat dijadikan cermin jika kemampuan bertoleransi dan kemampuan berekonsiliasi tersebut tidak dimiliki.21 Kedua kemampuan di atas penting dikembangkan dalam karakter kebangsaan karena Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Dengan kedua kemampuan itulah, keharmonisan dalam keberagaman dapat terwujud. Sehingga, tujuan akhir yang biasa disebut sebagai cita-cita nasional adalah tercapainya kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh warganegara. Dalam proses penyelenggaraan pendidikan karakter, diperlukan landasan nilai yang menjadi acuan untuk melangkah. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia memiliki empat sumber otentik. Keempat nilai itu ialah agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. 22 Keempat nilai tersebut saling berkelindan dan menunjukkan hubungan erat. Artinya, keempat nilai tersebut tidak berdiri secara terpisah. Pertama, agama. Masyarakat Indonesia memiliki agama yang dapat dijadikan pedoman dalam berperilaku. Di dalam agama, telah diatur tata kehidupan untuk mewujudkan keharmonisan. Ketika seseorang telah menginternalisasi nilai-nilai keagamaan dalam menghayati kehidupan, maka ia memiliki pedoman hidup yang akan membawa pada keselamatan. Kedua, Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal masa kemerdekaannya tegak dengan asas-asas Pancasila. Artinya, nilai-nilai Pancasila secara alamiah telah menjadi pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, muara pendidikan karakter bangsa ialah mewujudkan generasi yang mampu menjadi warga negara taat, memiliki kemampuan, kemauan, menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. Ketiga, budaya. Budaya memiliki peran penting dalam menentukan daya beda. Sementara itu, budaya timur yang ada di Nusantara, baik berupa sopan santun, nilai kearifan lokal, harus 21
Ibid., hlm.7. Said Hamid Hasan, dkk. “Pengembangan Penndidikan Budaya dan Karakter Bangsa,” Bahan Penguatan Pelatihan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, (Jakarta, Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010), hlm. 8. 22
13
Budiharjo menjadi sumber nilai dalam pendidikan karakter. Posisi budaya yang teramat penting dalam kehidupan bermasyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus menjadi pijakan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang yang demokratis dan bertanggung jawab. Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter seperti yang tertuang di dalam tabel berikut:23 Nilai dan Diskripsi Nilai Pendidikan Karakter No Nilai 1 Religius
2
Jujur
3
Toleransi
4
Disiplin
5
Kerja Keras
6
Kreatif
7
Mandiri 23
Diskripsi Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Ibid., hlm. 9-10.
14
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 8
Demokratis
9
Rasa Tahu
Ingin
10 Semangat Kebangsaan 11 Cinta Air
Tanah
12 M e n g h a r g a i Prestasi 13 B e r s a h a b a t / Komunikatif 14 Cinta Damai 15 Gemar baca
Mem-
16 Peduli kungan
Ling-
17 Peduli Sosial 18 T a n g g u n g Jawab
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajibannya diri dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cara berpikir, bertindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin member bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan karakter sesungguhnya telah memiliki nilai yang mampu dideskripsikan. Hal ini merupakan kabar baik bagi dunia pendidikan. Artinya, pendidikan karakter bukanlah suatu hal yang melangit, namun sudah membumi. Hanya saja, hal ini membutuhkan tindak lanjut dan penanganan yang sungguh-sungguh dan profesional. Menurut pakar pendidikan Prof. Suyanto, Ph.D, terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal
15
Budiharjo manusia, antara lain: 24 1. Cinta Tuhan dan segenap CiptaanNya 2. Kemandirian dan tanggung jawab 3. Kejujuran/amanah 4. Hormat dan santun 5. Dermawan, suka menolong, gotong royong 6. Percaya diri dan pekerja keras 7. Kepemimpinan dan keadilan 8. Baik dan rendah hati 9. Toleransi, kedamaian, dan kesantunan. Sembilan nilai-nilai luhur ini merupakan basis dasar pendidikan karakter yang akan berpeluang untuk melahirkan generasi yang humanis dan bermartabat. Sembilan karakter tersebut juga akan menuntun setiap individu untuk menjadi insan yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Dengan memiliki karakter itu, seseorang akan dibimbing untuk menjadi insan yang berdaya. Selanjutnya, pendidikan karakter seyogianya dikembangkan dengan manajemen yang rapi dan terencana, salah satunya harus dikembangkan dalam bingkai utuh Sisdiknas. Bingkai utuh Sisdiknas dalam pendidikan karakter dirumuskan dalam Sembilan kerangka pikir yang harus dilaksanakan demi demi optimalnya pendidikan karakter.25 Sembilan kerangka pikir pendidikan karakter akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, karakter bangsa bukan agregasi perorangan, karena karakter bangsa harus terwujud dalam rasa kebangsaan yang kuat dalam konteks kultur yang beragam. Karakter bangsa mengandung perekat kultural yang harus terwujud dalam kesadaran kultural dan kecerdasan kultural setiap warga negara. Karakter itu menyangkut perilaku yang amat luas karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kerja keras, kejujuran, disiplin mutu, estetika, komitmen, dan rasa kebangsaan yang kuat. Perlu dirumuskan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam makna karakter yang berakar pada filosofi dan kultur bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan antar-bangsa. Kedua, pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (neverending process) selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi, sehingga ketika terjadi pergantian kepemimpinan presiden atau menteri pendidikan, 24 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.79-80. 25 Ibid., hlm. 42-47.
16
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) pendidikan karakter ini jangan sampai dihilangkan. Karena pendidikan adalah persoalan kemanusiaan yang harus dihampiri dari perkembangan manusia itu sendiri, maka perlu diketahui dan dirumuskan secara utuh sosok generasi manusia Indonesia masa depan. Riset komperehensif perlu dilakukan untuk merumuskan sosok manusia masa depan sebagai landasan pendidikan dan pengembangan karakter bangsa. Riset dimaksud mesti berakar pada filosofi dan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan antar-bangsa dan perkembangan sains dan teknologi. Ketiga, Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah landasan legal formal akan keharusan karakter bangsa melalui upaya pendidikan yang dapat diinfersi dari makna yang terkandung dalam pasal dan ayat yang dimaksud, yaitu: (1) watak dan peradaban bangsa yang bermartabat yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan agama sebagai tujuan eksistensial pendidikan; (2) melandasi pencerdasan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif yang di dalamnya mengandung kecerdasan kultural, karena kecerdasan kehidupan bangsa bukanlah kecerdasan perorangan atau individual; dan (3) melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan individual. Tiga ranah tujuan sebagaimana diuraikan harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Proses pendidikan yang secara mikro terwujud dalam proses transaksi kultural, harus mengembangkan karakter sains, teknologi, seni, dan tidak terjebak pada proses pendidikan di tingkat tujuan individual. Keempat, proses pembelajaran sebagai wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang tidak terpisahkan dari pengembangan kemampuan sains, teknologi, dan seni telah dirumuskan secara amat bagus sebagai landasan legal pembelajaran dalam pasal 1 ayat (1) UU No.20 Tahun 2003. Yang belum terjadi saat ini adalah pemaknaan secara tepat dan utuh dari pasal dimaksud mengiringi kebijakan dan praktik penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Hal ini perlu direformasi sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan harus menjadi wahana utama bagi pendidikan dan pengembangan karakter. Proses pembelajaran perlu dikembalikan kepada khitah-nya sebagai proses mendidik. Kelima, proses pembelajaran yang mendidik sebagai wahana pendidikan perlu dibangun atas makna yang terkandung dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang disebutkan, dan secara konsisten menjadi landasan dan kebijakan penyelenggaraan pembelajaran, termasuk kurikulum dan sistem manajemen. Ilmu mendidik dan ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli pendidikan di LPTK (dulu IKIP dan kini sudah menjadi Universitas), dalam lima dekade 17
Budiharjo terakhir di negeri ini dirasa tetap relevan dengan kepentingan pendidikan karakter serta pemaknaan dan perumusan regulasi dan kebijaksanaan pendidikan. Meski demikian, perlu reposisi dan reinvensi ilmu mendidik dan pendidikan dalam pendidikan karakter dan dalam melahirkan regulasi-regulasi dalam kebijakan pendidikan, dengan dukungan political will, yang pada saat ini keberadaan dan peran ilmu pendidikan sudah banyak dilupakan. Perlu juga revitalisasi LPTK dengan menempatkan penguatan ilmu pendidikan sebagai ilmu dan menjadi salah satu fokus utama dari revitalisasi itu. Keenam, proses pendidikan karakter akan melibatkan ragam aspek perkembangan peserta didik, baik kognitif, konatif, afektif, maupun psikomotorik sebagai suatu keutuhan (holistik) dalam konteks kehidupan kultural. Proses pembelajaran yang membangun karakter tidak bisa sebagai proses linier yang layaknya dalam pembelajaran kebanyakan bidang studi yang bersifat transformasi informasi, walaupun sesungguhnya itu keliru, tapi tidak bisa juga berwujud menjadi sebuah mata pelajaran “pendidikan karakter” yang diajarkan sebagai sebuah bidang studi. Itu karena karakter tidak bisa dibentuk dalam perilaku instannya yang bisa dilombakan atau di-olimpiade-kan. Oleh karena itu pengembangan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari oleh guru sebagai tujuan pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang transaksional dan bukan instruksional, dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap perkembangan peserta didik. Suasana pembelajaran sebagaimana diuraikan, akan menumbuhkan nurturan effect pembelajaran yang di dalamnya termasuk pengembangan karakter, soft skills, dan sejenisnya seiring dengan pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam pembelajaran. Inilah sesungguhnya esensi dari kompetensi dan kinerja guru professional yang dalam pelaksanaannya harus pula didukung oleh kebijakan yang tepat tentang pembelajaran. Pembelajaran dibangun sebagai proses kultural dan pendidik adalah ‘perekayasa’ kultur pembelajaran dan sekolah. Perlu dikembangkan kultur sekolah sebagai ekologi perkembangan peserta didik dengan segala pendukungnya. Ketujuh, sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik dan guru sebagai ‘perekayasa’ kultur sekolah tidak terlepas dari regulasi, kebijakan, dan birokrasi. Kebijakan dan birokrasi harus ditata dan disiapkan untuk mendukung terwujudnya pendidikan karakter melalui pengembangan kultur pembelajaran dan sekolah 18
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) sebagai ekologi perkembangan peserta didik. Tampaknya, perlu reformasi mind set para birokrat pendidikan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga mampu melihat dan memposisikan pendidikan sebagai proses membangun karakter, membangun kultur sekolah yang sehat, dan mengubah perilaku birokrasi atas dasar pemahaman secara benar tentang esensi pendidikan. Reformasi ini perlu agar pendidikan karakter memiliki landasan yang lebih kuat. Dengan begitu, pendidikan karakter akan mampu berjalan dengan efektif. Kedelapan, pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia kaffah. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitif menentukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua. Kesembilan, pendidikan karakter harus bersifat multilevel dan multichannel karena tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh sekolah. Pembentukan karakter itu perlu keteladanan misalnya perilaku nyata dalam setting kehidupan yang otentik dan tidak bisa dibangun secara instan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menjadi gerakan moral yang bersifat holistik, melibatkan berbagai pihak dan jalur serta berlangsung dalam setting kehidupan alamiah. Dalam proses pendidikan karakter, hal yang sangat urgen untuk ditanamkan ialah etika. Di dalam kehidupan, etika diperlukan untuk menegaskan kewajiban-kewajiban, tata kehidupan, dan cara menyelesaikan ‘tugas sosial’. Mengutip pendapat Garbarino & Brofenbrenner, jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa ini harus memiliki aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut, dan apa yang tidak patut. Oleh karena itu, perlu adanya etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan sosial lainnya. 26 Pendidikan karakter di Indonesia perlu membangun citra diri manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepentingan kepribadian bangsa. Ciri karakter manusia Indonesia, setidaknya religius, moderat, cerdas, dan mandiri. Manusia Indonesia diharapkan menjadi sosok yang religius, yakni taat terhadap agama, saling tolong-menolong, dan toleran. Selain itu, manusia Indonesia harus memiliki sikap moderat, yakni sikap hidup yang tidak radikal, tercermin dalam kepribadian pertengahan antara individu dengan 26 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.7.
19
Budiharjo sosial, berorientasi materi dan ruhani, dan mampu hidup bekerjasama dalam kemajemukan. Selanjutnya, manusia Indonesia diharapkan memiliki sikap mandiri, yaitu sikap dan kepribadian merdeka, disiplin, hemat, menghargai waktu, ulet, pekerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antar peradaban bangsa.*
20
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
BAB II TAHAPAN FORMAL PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pendidikan Karakter di PAUD Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan lembaga pendidikan yang berpotensi untuk memberikan dasar-dasar pendidikan karakter secara formal. Lembaga pendidikan ini diharapkan mampu mendidik budi pekerti anak dalam setting sekolah sebagai tempat pembentukan karakter melalui metode pembelajaran yang menyenangkan, yakni bermain sambil belajar. Kesuksesan PAUD dalam membentuk karakter anak akan memudahkan anak untuk semakin menguasai budi pekerti yang baik pada tahapan pendidikan selanjutnya. Sejak usia dini, anak-anak mulai mengalami proses pembentukan karakter. Hal tersebut terus berlanjut hingga remaja, bahkan dewasa. Dan, usia dini merupakan masa emas untuk memberikan pendidikan karakter pada anak. Sebab, pada masa ini anak telah mampu mengamati, menirukan, dan melakukan pembiasaan. Karakter, seperti juga kualitas diri lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan. Menurut para ahli psikologi perkembangan, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanifestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius—seorang filsuf terkenal China—menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi. Oleh karena itu, sosialisasi pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan—baik di keluarga, 21
Budiharjo sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas—sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak. Pengembangan karakter sebagai proses yang tiada henti terbagi menjadi empat tahapan, pertama, usia dini disebut sebagai usia pembentukan karakter. Kedua, pada usia remaja disebut sebagai tahap pengembangan. Ketiga, pada usia dewasa, disebut sebagai tahap pemantapan. Dan keempat, pada usia tua disebut sebagai tahap pembijaksanaan. Karakter dibentuk melalui pengetahuan dan pembiasaan. Dengan demikian, diperlukan komponen karakter yang baik yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan perbuatan moral. Fakta mengemukakan bahwa 50% kemampuan kognitif seseorang telah terbentuk pada usia 4 tahun. Karena itu, intervensi perkembangan anak sejak dini dalam empat hal, yakni kesehatan, nutrisi, rangsangan intelektual, dan rangsangan emosional memiliki pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan selanjutnya. Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa paling tidak terdapat lima pertimbangan yang menjadikan program pembinaan anak sejak dini sebagai program penting, yaitu: 1 1. Menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas dengan pendekatan ilmiah 2. Mendorong ‘economic return’ yang tinggi, dan rendahnya biaya sosial, karena tingginya daya tahan 3. Meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat 4. Meningkatkan daya guna investasi di bidang lainnya 5. Menolong para orang tua dan anak-anak Di dalam PAUD, pembentukan karakter dapat diupayakan melalui berbagai ritual kebiasaan baik. Selain itu, PAUD juga berperan dalam mengembangkan berbagai keterampilan anak agar siap memasuki tahapan pendidikan selanjutnya, yakni TK. Anakanak yang mampu menyesuaikan diri dengan suasana bermain sambil belajar di PAUD, akan berpeluang menjadi anak-anak yang akan mampu menikmati masa-masa belajarnya di jenjang pendidikan selanjutnya. Pembentukan karakter harus dimulai dari membangun potensi nilai-nilai spritual, mengasah dan membangkitkan kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual yang sudah diberikan Tuhan sebagai fitrah manusia sejak lahir melalui pendidikan yang utuh dan menyeluruh (holistik). Dalam prosesnya, fitrah yang alamiah ini 1 Prof. Dr. Soedijarto, MA., Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa (Tanpa Kota: CINAPS, tt), hal. 153.
22
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) berupa potensi pemberian Tuhan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni dari lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Maka sangat penting adanya sinergitas dan keutuhan dari tri pusat pendidikan dalam membentuk anak Indonesia yang cerdas, handal berdaya saing dan berkarakter unggul. Jadi Pendidikan karakter bukan hanya tugas guru di sekolah, akan tetapi harus merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa. Pembentukan karakter bangsa merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003 dikatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Makna ungkapan tersebut begitu dalam dan sangat mulia, karena dalam tujuan pendidikan tersebut terkandung prinsip keseimbangan. Pendidikan kita tidak hanya untuk membentuk anak-anak yang hanya pinter dan cerdas saja, tetapi juga berkepribadian dan berkarakter (berakhlak) mulia, sehingga melahirkan generasi yang cerdas dari sisi intelektual, emosional dan spritual. Dengan kata lain insan Indonesia yang cerdas, handal, berdaya saingdan berakhlak mulia. Pendidikan karakter harus dilaksanakan sejak usia dini, karena usia dini merupakan periode perkembangan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada masa ini, seluruh instrumen besar manusia terbentuk, bukan kecerdasan saja tetapi seluruh kecakapan psikis. Para ahli menamakan periode ini sebagai usia emas perkembangan. Pendidikan anak usia dini sangat penting karena akan menentukan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Hal ini disebabkan karena masa pembentukan otak manusia terjadi paling cepat pada usia saat anak berada pada usia dini. Oleh karena itu, pemerintah sudah semestinya memperhatikan sektor ini sebagaimana sektor-sektor lainya. Kelompok anak usia dini merupakan kelompok yang sangat strategis dan efektif dalam pembinaan karakter, hal ini harus menjadi kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa ini. Meski demikian, masalah pendidikan anak usia dini sampai saat ini masih banyak menyisakan persoalan. Pertama, masih banyaknya kelompok anak usia dini yang belum dapat mengakses pendidikan. Kedua, kurangnya pemahaman para guru akan hakikat tujuan pendidikan nasional untuk membangun peserta didik menjadi manusia holistik yang berkarakter. Padahal, amanat undang-undang sudah demikian jelas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk (peserta didik) menjadi manusia holistik yang berkarakter. Maka dalam prosesnya pendidikan dan pembelajaranya harus mampu mengembangkan 23
Budiharjo seluruh dimensi dan potensi serta aspek-aspek peserta didik secara utuh dan menyeluruh (holistik). Akibat dari kekurangpahaman ini banyak praktik-praktik pembelajaran di PAUD yang cenderung lebih mementingkan kemampuan akademik (kemampuan membaca, menulis, dan berhitung) daripada pengembangan aspek emosi dan sosial anak. Hal ini tidak terlepas dari tuntutan orang tua, termasuk Sekolah Dasar (SD) yang mensyaratkan penerimaan siswa dengan melakukan tes kemampuan calistung. Padahal, memaksakan anak usia di bawah 6 atau 7 tahun untuk belajar calistung akan berisiko timbulnya stres jangka pendek dan rusaknya perkembangan jiwa anak dalam jangka panjang.2 Praktik seperti ini jelas akan menghambat proses pembentukan karakter anak. Idealnya, pendidikan di PAUD harus mampu mengembangkan potensi anak. Selain itu, materi pelajaran pun tidak boleh memberatkan anak. Sebab, PAUD merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya membuat anak semakin kreatif dalam mengeksplorasi kemampuannya. Perlu pula diaksentuasikan, bahwa sudah seharusnya setiap anak usia dini memiliki kemudahan dalam mengakses PAUD. Sehingga, anak-anak Indonesia akan berkesempatan mengenyam pendidikan karakter di lembaga pendidikan sejak usia dini. Terdapat berbagai alternatif pendekatan atau pelayanan yang sasarannya meningkatkan jangkauan dan mutu layanan bagi pembinaan anak usia dini. Salah satu pendekatannya ialah dengan program penitipan anak, kelompok bermain, dan berbagai bentuk kelembagaan yang melayani secara langsung dan melembaga. Penanganan pendidikan karakter kepada anak usia dini sangat diperlukan. Studi di negara maju membuktikan bahwa penanganan secara memadai dalam pembinaan anak sejak baru lahir yang meliputi kesehatan, nutrisi, dan pendidikan sangat menentukan keberhasilan mereka di sekolah dasar, menengah, dan seterusnya. Hal ini mempengaruhi produktivitas kerja dan daya tahan tubuh sehingga tidak membebani masyarakat di masa depan. Idealnya, pendidikan karakter yang baik itu adalah sejak di usia dini (PAUD), sekolah taman kanak-kanak, pendidikan dasar dan menengah, hingga perguruan tinggi. Pendidikan karakter ini bisa menjadi kecakapan hidup mendasar, yang menjadi materi dasar utama di pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Porsi pendidikan di perguruan tinggi idealnya semakin berkurang, karena karakternya sudah digembleng sejak di tingkat dasar.3 Pendidikan karakter yang sukses dilakukan di tingkat dasar, 2 3
Elkind D., Miseducation: Preschoolers at Risk (New York: Knopf, 2000), hlm. 12. Agus Wibowo, M.Pd., Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
24
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) biasanya akan diikuti oleh kesuksesan pendidikan karakter di tingkat berikutnya. Pendidikan yang menstimulasi perkembangan karakter anak pada intinya berisi tentang kajian yang berkenaan dengan norma dan nilai yang bermuara pada pembentukan moral. Lingkungan terdekat anak, orangtua dan pendidik, mensosialisasikan norma dan nilai dalam berbagi konteks dan cara. Selanjutnya, setiap aktivitas pengasuhan dan pendidikan yang berorientasi kepada anak hendaknya bermuatan aktivitas belajar yang tidak hanya melibatkan aspek kognitif saja, melainkan juga melibatkan aspek afektif, serta sosial dan moral. 4 Pada anak usia PAUD, memuji tindakan menolong teman, melatih anak untuk berbagi, dan menjalin persahabatan dengan anak yang lain merupakan langkah pendidikan karakter yang strategis. Institusi pendidikan prasekolah merupakan tempat anak-anak belajar mengembangkan berbagai macam aspek perkembangan yang ada pada dirinya, yang salah satunya adalah mengembangkan kemandirian. Perlu disadari bahwa hasil yang diharapkan dari institusi prasekolah bagi anak-anak adalah tidak sekedar menyediakan tempat bermain. Satu hal yang juga diharapkan adalah proses internalisasi nilai yang menuju kepada kemampuan mengurus dirinya sendiri (selfhelp skill) atau yang dikenal dengan istilah kemampuan otonomi.5 Di dalam PAUD, anak-anak sebaiknya dibimbing untuk memiliki sikap mandiri. Sikap mandiri ini sangat penting dalam membentuk citra diri positif dan rasa percaya diri di kemudian hari. Pendidikan anak usia dini diarahkan dalam rangka pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak. Pendidikan anak usia dini diyakini memiliki efek kumulatif yang akan terbawa dan memengaruhi fisik dan mental anak selama hidupnya. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini adalah membekali dan menyiapkan anak sejak dini untuk memperoleh kesempatan dan pengalaman yang dapat membantu perkembangan kehidupan selanjutnya. Pada tahap pembelajaran karakter di PAUD, pendidik harus mampu memberikan lingkungan dan stimulasi yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Hal ini sebagai upaya memenuhi kebutuhan anak didik sesuai dengan perkembangan psikologis dan sosialnya. Perlu disadari pula, bahwa sejak usia dini masing-masing Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 29. 4 Staff.uny.ac.id 5 Arthur, L., Beecer, B., Dockett, S., Farmer, S., and Death, E., Programming and Planning In Eearly Childhood Settings (Sydney: Harcourt Brace, 1998), p.68.
25
Budiharjo anak memiliki karakter yang berbeda. Sehingga, pendidik perlu menyajikan aktivitas bermain sambil belajar yang variatif. Dengan begitu, setiap anak akan terfasilitasi untuk berkembang secara optimal. Anak-anak perlu mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan, agar semakin subur minatnya pada pendidikan, sebagai basis pendidikan pekerti pada tahap berikutnya. Secara ringkas, karakteristik khas pendidikan di PAUD dapat di deskripsikan sebagai berikut: Pertama, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak. Kedua, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi. Ketiga, sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan Pendidikanan Usia Dini (PAUD) disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.6 Karakteristik khas pendidikan di PAUD sebagaimana dipaparkan di atas merupakan nilai plus PAUD. Dengan karakteristik itulah, pendidikan PAUD memiliki kesusuaian dengan tahap perkembangan anak. dengan demikian, diharapakn PAUD mampu mencetak generasi emas Indonesia dengan mengoptimalkan potensi masingmasing anak. Selanjutnya, berdasarkan tujuan pendidikan anak usia dini dapat ditelaah beberapa fungsi program stimulasi edukasi di PAUD, yaitu:7 1. Fungsi Adaptasi Fungsi ini berperan dalam membantu anak melakukan penyesuaian diri dengan berbagai kondisi lingkungan serta menyesuaikan diri dengan keadaan dalam dirinya sendiri. 2. Fungsi Sosialisasi Fungsi ini berperan dalam membantu anak agar memiliki keterampilan-keterampilan sosial yang berguna dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari di mana anak berada. 3. Fungsi Pengembangan Fungsi ini berkaitan dengan pengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Setiap unsur potensi yang dimiliki 6 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.88-89. 7 Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (Jakarta: PT INDEKS, 2009), hlm. 46-47.
26
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) anak membutuhkan suatu situasi atau lingkungan yang dapat menumbuhkankembangkan potensi tersebut ke arah perkembangan yang optimal sehingga menjadi potensi yang bermanfaat bagi anak maupun lingkungannya. 4. Fungsi Bermain Fungsi ini berkaitan dengan pemberian kesempatan pada anak untuk bermain, karena pada hakikat nya bermain itu sendiri merupakan hak anak sepanjang rentang kehidupannya. Melalui kegiatan bermain anak akan mengeksplorasi dunianya serta membangun pengetahuannya sendiri. 5. Fungsi Ekonomik Fungsi ini terkait dengan asumsi bahwa pendidikan yang terencana pada anak merupakan investasi jangka panjang yang dapat menguntungkan pada setiap rentang perkembangan selanjutnya. Terlebih lagi investasi yang dilakukan berada pada masa keemasan (the golden age) yang akan memberikan keuntungan berlipat ganda. Pendidikan di Taman Kanak-kanak merupakan salah satu peletak dasar bagi perkembangan selanjutnya. Disadari atau tidak, perkembangan merupakan suatu pola perubahan yang berlangsung pada setiap diri anak. Pada setiap periode perkembangan yang dilalui anak, belajar merupakan suatu hal yang selalu melekat. Berbagai aspek perkembangan, yang meliputi perkembangan fisik, intelektual, emosi, sosial, serta moral berkembang secara bertahap dengan urutan tertentu yang dipengaruhi kematangan dan pengalaman yang didapatkan melalui pendidikan dan pengasuhan yang diterima anak. Pada muaranya, pendidikan karakter dimaksudkan mampu membimbing anak untuk membentuk perilaku adaptif. Nilai-nilai moral akan terinternalisasi pada diri anak, bila bimbingan dan arahan serta pembiasaan dilakukan secara terus menerus dengan menjalin kerjama antar berbagai pihak yang terlibat dalam dunia anak. Secara bertahap nilai-nilai moral tersebut akan mewarnai karakter khas pada anak. Dan, PAUD merupakan lembaga yang paling awal bagi anak untuk merasakan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. B. Pendidikan Karakter di TK Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan lembaga pendidikan kelanjutan dari PAUD yang memiliki potensi untuk melanjutkan penerapan pendidikan karakter pada anak. Setelah PAUD, TK merupakan lembaga pendidikan yang potensial untuk menyelenggarakan pendidikan karakter kepada anak. Usia anak yang sedang menempuh pembelajaran di TK merupakan usia 27
Budiharjo ‘emas’ dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, guru dan para pemegang kebijakan pemerintah sangat perlu untuk memperhatikan dan merencanakan strategi pendidikan karakter di TK. Keteladanan figur guru menjadi sangat penting. Sekolah TK yang ramah anak akan mendukung tercapainya karakter-karakter positif pada generasi tunas bangsa. Peran pendidikan usia dini sangatlah penting untuk awal pengenalan dan pembentukan watak atau akhlak yang mulia. Penerapan pendidikan karakter di taman kanak-kanak haruslah disesuaikan dengan karakteristik anak didik, dan dikemas dalam sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Pendidikan karakter di sekolah harus dimulai dari guru yang menjadi center dari pendidikan di sekolah, selanjutnya dilaksanakan oleh semua warga sekolah dan harus diupayakan dengan kerja keras agar tujuan dapat tercapai.8 Seyogianya, anak-anak TK belajar melalui bermain. Sehingga, momen dan karakteristik ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik dan para orang tua untuk mengajarkan budi pekerti dengan strategi bermain sambil belajar. Strategi pendidikan karakter di usia TK termanifestasi dalam pembiasaan-pembiasaan. Oleh karena itu, penting bagi guru dan sekolah untuk menetapkan tujuan dan rencana capaian pendidikan karakter yang diikuti dengan rancangan aktivitas harian secara rutin. Secara psikologis, anak-anak membutuhkan pembiasaan perilaku baik secara konsisten. Hal ini dapat membantu pembentukan karakter anak. anak-anak ibarat kertas putih yang siap untuk dituliskan apapun. Pembiasaan yang tepat dan baik untuk mendidik karakter anak perlu mendapatkan pemantauan, apresiasi, dan evaluasi dari para guru TK. Umumnya, sejak awal datang di sekolah, anak dibiasakan untuk saling menyapa, mengucapkan salam ketika bertemu sesama mereka dan guru. Untuk di jenjang TK pada umumnya guru menyambut anak murid dengan sapaan, senyum dan bersalaman. Di beberapa sekolah, jam belajar setiap hari lebih awal selama 30 menit. Waktu tersebut digunakan melakukan kegiatan ritual rutin seperti doa bersama, kultum atau kegiatan lain yang relevan. Dalam rangka pembiasaan, di berbagai sekolah juga dilakukan pelaksanaan ibadah dengan memanfaatkan waktu istirahat. Khusus untuk pendidikan Karakter di TK beberapa hal perlu dipertimbangkan dan direncanakan dalam pelaksanaannya. Perencanaan yang perlu dilakukan meliputi: 9 1. Memilih dan menentukan nilai-nilai yang diprioritaskan 8 9
pustaka.ut.ac.id. waspadamedan.com
28
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) dikembangkan berdasarkan hasil analisis konteks dengan mempertimbangkan ketersediaan sarana dan kondisi yang ada. 2. Kepala sekolah melakukan sosialisasi ke semua warga sekolah memiliki komitmen bersama untuk merealisasikan pembentukan karakter melalui nilai-nilai yang diprioritaskan. 3. Melakukan sosialisasi kepada orang tua peserta didik dan komite sekolah untuk mendukung pelaksanaan pendidikan karakter dan mensinkronkan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dan di rumah atau di lingkungan masyarakat setempat. Menanamkan nilai dan norma kepada anak bukan merupakan hal yang mudah. Sekali saja terjadi ketidakkonsistenan dalam memberikan arahan, maka anak dapat mengalami kebingungan. Oleh karena itu, diperlukan norma yang konsisten dan contoh perilaku positif yang dapat dilihat langsung oleh anak. di TK, semua guru sebaiknya telah memiliki kesepakatan tata aturan yang diberlakukan kepada siswa. Selain itu, guru harus mampu menyajikan diri sebagai figur teladan. Nilai atau norma yang ditanamkan kepada anak harus jelas dan dipahaminya. Selain itu juga menekankan apa arti penting dari nilai atau norma tersebut bagi diri dan lingkungannya. Segala aktivitas pengasuhan, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat diharapkan memiliki kesamaan tujuan besar, sedangkan tujuan kecil disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Adanya harapan tersebut akan mengarahkan perilaku. Hal ini dikuatkan oleh Albert Bandura bahwa harapan merupakan variabel penting dalam pengubahan lingkungan maupun perilaku. Suasana yang kondusif dan konsisten yang berlaku untuk semua, akan mempercepat terwujudnya harapan tersebut. Hal ini dikarenakan anak memahami setiap langkahnya dan terhindar dari kebingungan aturan.10 Dalam kontesk pendidikan di Taman Kanak-kanak, program pendidikan karakter yang bisa direkomendasikan ialah program pendidikan holistik berbasis parenting pada anak usia dini. Program pendidikan holistik berbasis parenting pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak adalah suatu perencanaan dalam melaksanakan upaya pembinaan dan pengembangan diri peserta didik yang berusia 4 sampai dengan 6 tahun secara utuh, dan menyeluruh (manusia holistik) yang meliputi aspek agama, karakter (akhak mulia) dan aspek lainya yang meliputi intelektual, sosial, emosional, fisik, dan kreativitas melalui stimulasi edukatif dan religius dalam suasana pembelajaran yang agamis, humanis dan menyenangkan. 10 Santrock, J. W., Terj. Achmad Chusairi, S.Psi & Drs. Juda Damanik., Perkembangan Masa Hidup (Erlangga: Jakarta, 2006), hlm. 48.
29
Budiharjo Hal tersebut dilakukan agar peserta didik dapat menemukan jati dirinya, menemukan makna serta tujuan hidup sehingga menjadi anak yang cerdas, sholeh dan berakhlak mulia sebagai pondasi dalam membangun manusia yang seutuhnya dan berkarakter unggul. Adapun, sistematika program pendidikan holistik berbasis parenting pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak meliputi: Pertama, pendahuluan yang mencakup, 1. Latar belakang pendidikan holistik berbasis karakter 2. Pernyataan visi untuk mewujudkan manusia holistik yang berkarakter 3. Pernyataan misi yang berisi cara mewujudkan impian dalam visi 4. Tujuan pendidikan holistik berbasis karakter 5. Konsep pendidikan holistik berbasis karakter 6. Strategi pendidikan holistik berbasis karakter di TK Assalam kota Bandung. Kedua, kegiatan pendidikan holistik berbasis karakter yang mencakup 1. Kegiatan pembelajaran berbasis karakter 2. Kegiatan ko parenting 3. Kegiatan ekstrakurikuler 4. Kegiatan ko kurikuler 5. Jadwal kegiatan pendidikan holistik berbasis karakter. Ketiga, ketenagaan, sentra pembelajaran dan sarana prasarana. Dan keempat, kalender pendidikan dan dokumen perencanaan yang meliputi perencanaan tahunan, semester, mingguan dan harian. Pembelajaran terintegrasi berbasis parenting pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak dilaksanakan dengan menggunakan prinsip pembelajaran yang patut dan sesuai tahap perkembangan anak dengan pendekatan kelompok, sentra, dan proyek serta menggunakan metode pembelajaran yang dapat mendukung optimalisasai seluruh aspek perkembangan anak yakni, student active learning, inquiry based learning, contextual learning, brain based learning dan pendidikan karakter yang diberikan secara eksplisit, sistematis dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, melalui metode bernyanyi, bercerita dan bermain peran. Anak Taman Kanak-kanak adalah anak yang sedang berada dalam rentang usia 4-6 tahun yang sedang berada dalam proses perkembangan. Perkembangan anak adalah suatu proses perubahan dimana anak belajar menguasai tingkat yang lebih tinggi dari aspek30
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) aspek lainnya seperti gerakan, berpikir, perasaan, dan interaksi baik dengan sesama maupun dengan benda-benda dalam lingkungan hidupnya. Proses pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun secara formal dapat ditempuh di taman kanak-kanak. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan yang ditujukan untuk melaksanakan suatu proses pembelajaran agar anak dapat mengembangkan potensi-potensinya sejak dini sehingga anak dapat berkembang secara wajar sebagai seorang anak. Melalui suatu proses pembelajaran sejak usia dini, diharapkan anak tidak saja siap untuk memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut, tetapi yang lebih utama agar anak memperoleh rangsangan-rangsangan fisik-motorik, intelektual, sosial, dan emosi sesuai dengan tingkat usianya. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Maria Montessori berpendapat bahwa usia 3-6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode di mana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Misalnya, jika masa peka untuk berbicara pada periode ini tidak terlewati maka anak akan mengalami kesukaran dalam kemampuan berbahasa untuk periode selanjutnya.11 Masa-masa sensitif anak pada usia ini menurut Montessori mencakup sensitivitas terhadap keteraturan lingkungan, mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan, berjalan, sensitivitas terhadap obyek-obyek kecil dan detail, serta terhadap aspek-aspek sosial kehidupan. Sementara itu, Erik H. Erikson memandang bahwa periode usia 4-6 tahun sebagai fase sense of initiative. Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan mampu mengembangkan prakarsa, daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif dalam bidang yang disenanginya. Guru yang selalu menolong, memberi nasehat, dan membantu mengerjakan sesuatu padahal anak dapat melakukannya sendiri, menurut Erikson dapat membuat anak tidak mendapatkan kesempatan untuk berbuat kesalahan atau belajar dari kesalahan.12 Dengan demikian, guru TK merupakan pionir dalam menanamkan nilai-nilai kemandirian pada anak. 11 Elizabeth. B. Hurlock, Child Development (New York : Mc. Graw Hill, Inc., 1978), hlm. 13. 12 D.B Helms, & Turner, J.S. Exploring Child Behavior (New York : Holt Rinehart and Winston, 1994), hlm. 64.
31
Budiharjo Pada masa kanak-kanak, setiap individu memiliki tugas perkembangan, yakni tugas yang muncul dalam suatu periode tertentu dalam kehidupan individu. Tugas tersebut harus dikuasai dan diselesaikan oleh individu, sebab tugas perkembangan ini akan sangat mempengaruhi pencapaian perkembangan pada masa perkembangan berikutnya. Guru dan orang tua dapat menstimulasi anak untuk mampu mengerjakan tugas perkembangannya. Antara usia 4 dan 5 tahun, kalimat anak sudah terdiri dari empat sampai lima kata. Mereka juga mampu menggunakan kata depan seperti di bawah, di dalam, di atas dan di samping. Mereka lebih banyak menggunakan kata kerja daripada kata benda. Antara 5 dan 6 tahun, kalimat anak sudah terdiri dari enam sampai delapan kata. Mereka juga sudah dapat menjelaskan arti kata-kata yang sederhana, dan juga mengetahui lawan kata. Mereka juga dapat menggunakan kata penghubung, kata depan dan kata sandang. Pada masa akhir usia prasekolah anak umumnya sudah mampu berkatakata sederhana dan berbahasa sederhana, cara bicara mereka telah lancar, dapat dimengerti dan cukup mengikuti tata bahasa walaupun masih melakukan kesalahan berbahasa. Perkembangan kemampuan anak mengalami laju yang cepat. Pada umumnya, anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Pada usia 2-4 tahun, karakteristik emosi anak muncul pada ledakan marahnya. Untuk menampilkan rasa tidak senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit, melemparkan benda, bergulingguling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya. Pada usia ini anak tidak mempedulikan akibat dari perbuatannya, apakah merugikan orang lain atau tidak, selain dari itu, pada usia ini anak lebih bersifat egosentris. Selanjutnya, Pada usia 5-6 tahun, emosi anak mulai matang. Pada usia ini anak mulai menyadari akibat-akibat dari tampilan emosinya. Anak mulai memahami perasaan orang lain, misalnya bagaimana perasaan orang lain bila disakiti, maka anak belajar mengendalikan emosinya. Oleh karena itu, pada usia TK, anak dapat dibimbing dalam hal karakternya dengan cara membacakan cerita, menyanyi, berdialog, memberikan pujian, dan penghargaan ketika anak melakukan kebaikan. C. Pendidikan Karakter di SD Sekolah Dasar (SD) merupakan tahap pendidikan lanjutan dari TK dengan tugas-tugas akademik yang lebih menantang dan 32
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) kompleks. Pada jenjang pendidikan ini, anak-anak memiliki kesiapan untuk belajar hal-hal yang bersifat abstrak. Selain itu, anak juga telah memiliki dasar-dasar budi pekerti yang baik yang sudah dibiasakan di PAUD dan TK. Pada umumnya, anak mulai menduduki bangku SD ketika usianya 7 tahun. Di SD, pendidikan karakter atau budi pekerti akan semakin intens diajarkan pada siswa melalui proses pembelajaran. Menurut pendapat Cahyono, ruang lingkup pembahasan nilai pendidikan karakter atau budi pekerti yang bersumber pada etika dan moral menekankan unsur utama kepribadian, yaitu kesadaran dan berperannya hati nurani dan kebijakan bagi kehidupan yang baik berdasarkan sistem dan hukum nilai-nilai moral masyarakat. Hati nurani adalah kesadaran untuk mengendalikan atau mengarahkan perilaku seseorang dalam hal-hal yang baik dan menghindari tindakan yang buruk. Dengan demikian terdapat hubungan antara budi pekerti atau karakter dan dengan nilai-nilai moral dan norma hidup, unsur-unsur budi pekerti antara lain, yaitu: hati nurani, kebijakan, kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, kesopanan, kerapian, keikhlasan, pengendalian diri, keberanian, bersahabat, kesetiaan, kehormatan, dan keadilan.13 Di dalam suasana pembelajaran SD, anak-anak diharapkan mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter di SD diselenggarakan dengan pertimbangan kemampuan anak dalam menyerap informasi dan pengetahuan. Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bagi anak usia sekolah dasar, maka perilaku yang dapat dikembangkan di dalamnya ialah:14 1. Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu meyakini dengan segenap hati bahwa Tuhan hanya satu dan melaksanakan perintahNya serta menjauhi segala laranganNya. 2. Taat kepada ajaran agama, yaitu menjadi hamba yang taat menjalankan ibadah kepada Tuhan, melaksankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. 3. Memiliki sikap peduli terhadap sesama, yaitu sikap yang mengutamakan kepentingan orang lain dengan membantu dan menolong tanpa mengharapkan apapun. 4. Tumbuhnya disiplin diri, yaitu sikap yang ditunjukan dengan tepat waktu untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang ditanggungnya. 13 Fauzil Adhim, Positive Parenting: Cara-Cara melejitkan Karakter Positive pada Anak Anda (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 272. 14 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti (Bandung: PT Rosada Karya 2002) hlm. 67-68.
33
Budiharjo 5. Memiliki rasa bertanggungjawab, yaitu kesadaran manusia akan tingkahlaku dan perbuatannya yang disengaja ataupun tidak disengaja. 6. Tumbuhnya cinta dan kasih sayang yang dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasih. 7. Memiliki rasa kebersamaan dan gotong royong, yaitu sikap peduli untuk saling menolong dan membantu satu dengan yang lainnya. 8. Memiliki sikap saling menghormati, yaitu sikap hidup berdampingan untuk saling memahami satu sama lain tanpa membeda-bedakan. 9. Memiliki tata krama dan sopan santun, yaitu sikap untuk berperilaku baik terhadap orang lain mulai dari bertutur kata dan melakukan perbuatan. Anak usia SD, seyogianya dapat memiliki sikap-sikap tersebut, dan sekolah memiliki tugas untuk memupuk sikap positif tersebut. Bagi anak seusia SD, kompetensi sikap di atas merupakan sebuah prestasi dalam kecerdasan karakter. Melalui tata tertib sekolah dan dialog guru dengan siswa, nilai-nilai positif dapat disosialisasikan kepada anak secara efektif. Secara taktis, Sekolah Dasar (SD) perlu menyelenggarakan pendidikan karakter dengan panduan sebagai berikut: 1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter. 2. Mengidentifikasikan karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku. 3. Mengguanakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter. 4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian. 5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik. 6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses. 7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para siswa. 8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter yang setia kepada nilai dasar yang sama. 9. Adanya pembagian kepimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter. 34
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter. 11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guruguru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa. Penyelenggaraan pendidikan karakter di SD secara efektif akan mampu mendukung tumbuhnya karakter positif pada diri siswa, guru, dan para staf. Di SD, guru sebaiknya menjadi pusat dari pendidikan karakter dan mampu memberikan pendidikan budi pekerti melalui pembiasaan, keteladanan, dan kesepakatan bersama. Dengan sinergi yang kompak, diharapkan anak didik akan mengalami pertumbuhan kualitas kepribadian ke arah yang lebih baik. D. Pendidikan Karakter di SMP Pendidikan karakter di Sekolah Menengah Pertama atau setara dengan MTs merupakan tahapan formal pendidikan karakter yang menantang. Dikatakan menantang, sebab dalam usia remaja, peserta didik mengalami banyak perubahan yang signifikan, baik dalam hal fisik maupun psikologis. Salah satu karakteristik masa remaja yang dominan ialah, seseorang ingin dianggap sebagai orang dewasa, namun sesungguhnya secara psikologis masih labil. Meski demikian, justru celah ini yang dapat dimanfaatkan para pendidik untuk menerapkan pendidikan karakter. Sesuai dengan karakteristik usia remaja, pendidikan karakter di SMP dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengharapan remaja untuk mendapat pengakuan otoritas. Dan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dengan format pembelajaran kooperatif. Dengan melakukan strategi ini, diharapkan siswa SMP atau sederajat mampu menyerap nilai-nilai pendidikan karakter dengan optimal. Menurut Thomas Lickona, pendidikan karakter amat cocok disajikan dengan format pembelajaran kooperatif. Hal ini menyadari karakteristik pendidikan karakter yang lebih terfokus untuk membangun insan yang bisa hidup secara sosial dengan keterampilan sosial yang dimiliki. Mengajar dengan model pembelajaran kooperatif, akan memungkinkan pendidik dapat mengajarkan nilai-nilai atau karakter akademik secara bersamaan. Beberapa dampak positif dari pembelajaran kooperatif terutama dalam pembentukan karakter peserta didik dapat dijelaskan sebagai berikut: 15 1. Pembelajaran kooperatif mengajarkan nilai-nilai kerja sama. Ia 15
188.
Thomas Lickona, Educating for Character (USA: Bantam Books, 1989), hlm.187-
35
Budiharjo
2.
3.
4.
5.
mengajar siswa bahwa adalah sebuah kebaikan untuk saling membantu antara satu dengan yang lain. Mengutip pendapat seorang psikolog, Marilyn Watson, kesempatan untuk menjadi anggota penyumbang dan tindakan yang penuh kebaikan dalam kelompok sebaya adalah kondusif terhadap kepedulian tentang anggota kelompok persahabatan, untuk mengembangkan sikap yang lebih suka menolong, dan kecenderungan yang lebih besar untuk memperkaya spontanitas kecenderungan perilaku sosial. Pembelajaran kooperatif membangun masyarakat melalui ruang kelas. Ia membantu siswa mendapat pengetahuan dan peduli terhadap orang lain dan merasakan keanggotaan dalam unit sosial kecil sebagaimana dalam kelompok yang lebih besar. Hal ini mengurangi konflik antarpribadi. Menurut studi lain, terungkap bahwa pembelajaran kooperatif membentuk penerimaan teman sekelas yang berasal dari latar belakang etnik dan ras yang berbeda. Teks-teks multi etnik, sejarah minoritas, dan diskusi ruang kelas dari hubungan ras terbukti memiliki pengaruh kecil tentang sikap-sikap rasialis siswa dan perilaku. Hubungan kelompok kooperatif yang berlangsung dalam pengembangan hubungan ras, sering membentuk persahabatan antarras, memiliki manfaat yang penting. Pembelajaran kooperatif mengajarkan keterampilan hidup dasar. Keterampilan yang dikembangkan oleh pembelajaran kooperatif yang paling penting di antaranya mencakup mendengar, mengambil pendapat orang lain, berkomunikasi secara efektif, mengatasi konflik, dan bekerja bersama-sama untuk mewujudkan tujuan bersama. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diberikan praktik secara reguler dalam pembelajaran kooperatif sungguh-sungguh mendapatkan keterampilan moral antar pribadi yang lebih baik. Pembelajaran kooperatif mengembangkan prestasi akademik, harga diri, sikap terhadap sekolah. Baik siswa yang berkemampuan rendah maupun tinggi, beruntung dengan model pembelajaran kooperatif. Beberapa penelitian menunjukkan secara khsusus kelompok siswa berkemampuan rendah memperoleh manfaat yang lebih besar. Hasil positifnya terbukti untuk semua siswa dan pada semua level kelas. Pembelajaran kooperatif mengembangkan harga diri dan sikap positif siswa terhadap sekolah. Berdasarkan kajian tentang percobaan yang dilakukan terhadap lima ruang kelas, pembelajaran kooperatif terbukti memiliki pengaruh positif terhadap harga diri pada hampir tiga perempat siswa. Pembelajaran kooperatif menawarkan alternatif bagi model pe-rancking-an. Menurut penelitian Jeanie Oakes pada tahuan 36
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 1985 yang dipublikasikan dengan judul How Schools Structrure Inequality digambarakan dari data observasi terhadap 25 sekolah menengah pertama dan atas menunjukkan bagaimana perancking-an berdasarkan kemampuan menghilangkan persamaan pendidikan bagi banyak siswa, terutama mereka dari status sosial ekonomi rendah atau berlatar belakang minoritas. Lebih dari itu, sistem, peringkat akademik yang terjadi dalam model pe-rancking-an dapat memiliki efek moral negatif bagi siswa ranking lebih atas. Pembelajaran kooperatif menawarkan salah satu cara paling baik untuk menghindari pengaruh negatif dari pe-rancking-an dan mewujudkan persamaan pendidikan. Setiap orang mengambil manfaat dari kerja bersama dalam kelompok dengan kemampuan campuran, mencakup para siswa yang secara akademik memiliki kemungkinan lebih. Mereka belajar untuk bekerjasama dan peduli terhadap orang yang berbeda dengan mereka sendiri, dan mereka menguasai materi dengan level yang lebih mendalam dan mereka membantu untuk mengajarkannya kepada orang lain. 6. Pembelajaran kooperatif memiliki potensi untuk menekan aspek negatif dari kompetisi. Sebab, dewasa ini kompetisi telah mendominasi karakter bangsa. Sehingga, banyak individu yang berbisnis demi mengejar keuntungan semata, dan mengorbankan orang lain. Dalam realitas kehidupan pribadi, banyak orang yang mengorbankan pernikahan, kehidupan keluarga, dan kebahagiaan demi kesuksesan lahir semata. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi utama dalam pembelajaran pendidikan karakter di SMP, mengingat secara psikologis, siswa SMP memiliki karakteristik untuk lekat dengan teman sebaya. Pembelajaran kooperatif ini akan memberikan banyak keuntungan positif bagi karakter generasi muda yang good and smart. Meskipun demikian, guru tetap harus memiliki peran aktif dalam membimbing siswa agar mampu mewujudkan iklim persahabatan yang harmonis di dalam kelas. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Sehingga, proses belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar aktif, kelas 37
Budiharjo tampak seperti mesin belajar dan siswa; termasuk aktivitas belajar mereka sebagai bahan bakar yang menggerakkan mesin; siswa dikelompokkan oleh guru dalam empat sampai lima anggota dam satu tim; siswa-siswi tersebut heterogen dalam kemampuan dan jenis kelamin; mereka tercampur antara kelas sosial, ras, etnik, dan agama. Siswa dalam tim memberikan hasil pekerjaan masing-masing siswa dalam tim mempelajari apa yang ditugaskan oleh guru sebagai hasil kerja mereka.16 Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, melainkan menciptakan situasi saling bekerjasama sehingga setiap siswa mampu mengoptimalkan kemampuannya. Dalam pembelajaran kooperatif, para siswa dibimbing untuk memahami beberapa konsep dasar, di antaranya: 1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.” 2. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama. 4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok. 5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok. 6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar. 7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Perlu dipahami bersama bahwa dalam pembelajaran kooperatif, guru dan siswa harus memposisikan diri secara egaliter. Senada dengan siswa yang diharapkan memahami dan mampu memposisikan diri secara setara, guru juga diharapkan untuk memberikan penghargaan kelompok, menilai pertanggungjawaban individu, dan memberikan kesempatan yang sama kepada siswa untuk berhasil. Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk mperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling 16 Gracia, Ricardo, Teaching in a Pluralistic Sosiety (New York: Harpercollins Publisher, 1991), hlm. 186.
38
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) mendukung, saling membantu, dan saling peduli. Di samping itu, guru dapat menilai performa individu dengan cara melakukan evaluasi individual. Selain mengerjakan tugas secara bersama-sama, guru juga memberikan penugasan secara mandiri tanpa bantuan teman dalam satu kelompok. Guru dapat menilai performa individu dengan menggunakan metode skoring. Dengan menggunakan metode skoring ini, setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. Keberhasilan pendidikan karakter dalam pembelajaran kooperatif turut ditentukan oleh elemen-elemen pendukung dalam pembelajaran kooperatif. Beberapa elemen tersebut yaitu, 1. Positive interdependence (Saling ketergantungan yang positif) 2. Face to face interaction (Interaksi berhadap-hadapan) 3. Individual accoutability (Pertanggungjawaban individu) 4. Collaborative skill (Kemampuan kerjasama) 5. Group processing (Proses kelompok) Titik tumpu pembelajaran kooperatif tidak hanya berpijak kepada siswa. Bahkan, guru memiliki peran yang signifikan dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter. Guru sebaiknya mampu menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan mampu memotivasi siswa untuk belajar. Penyampaian informasi itu dapat dilakukan melalui menjelaskan, demonstrasi, atau melalui bahan bacaan. Selanjutnya, guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar dan memastikan setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Pada saat siswa mengerjakan tugas, guru sebaiknya memberikan bimbingan. Setelah penugasan selesai, guru mengevaluasi hasil belajar dan memberikan penghargaan dalam prestasi individu atau kelompok. E. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Atas Setelah menempuh pendidikan karakter di SMP atau sederajat, siswa anak bangsa idealnya menempuh pendidikan di jenjang berikutnya, yakni Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat. Penyelenggaraan pendidikan yang berkesinambungan akan menghasilkan pengetahuan dan pemaknaan yang mendalam mengenai kehidupan. Pendidikan karakter pun masih akan terus berproses pada jenjang pendidikan SMA atau yang sederajat lainnya. Pendidikan merupakan hal penting dalam pembangunan mentalitas, moral, serta karakter siswa. Sehingga, perlu dilakukan 39
Budiharjo inovasi peningkatan mutu pendidikan melalui pengembangan budaya atau kultur sekolah yang baik. Kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah di mana peserta diri berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, antar tenaga pendidikan dengan pendidik dan peserta didik, dan antar anggota kelompok masyarakat dengan warga sekolah yang terikat oleh berbagai aturan, norma, moral, serta etika yang berlaku di suatu sekolah.17 Di SMA atau lembaga pendidikan lain yang sederajat, pendidikan karakter akan dilanjutkan demi terciptanya karakter siswa yang good and smart dan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Pendidikan karakter di sekolah menengah atas atau lanjutan secara terperinci memiliki lima tujuan. Pertama, mengembangkan potensi kalbu atau nurani peserta didik yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).18 Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, di antaranya: 1. Kegiatan Rutin Kegiatan ini dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya, kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman. 2. Kegiatan Spontan Kegiatan spontan dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana. 3. Keteladanan Keteladanan diberikan melalui perilaku, sikap guru, tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh 17 Umi Kulsum, Implementasi Pendidikan Karakter Berdasarkan PAIKEM, (Surabaya: Gena Pratama Pustaka, 2011), hlm. 42. 18 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 18.
40
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. 4. Pengkondisian Penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter dilakukan melalui kebersihan badan dan pakaian, toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, serta poster kata-kata bijak di sekolah dan di dalam kelas.19 Dengan menerapkan keempat hal tersebut, sekolah telah menerapkan pembudayaan karakter kepada siswa. Pembudayaan ini dapat dilakukan dengan mengajak siswa berpartisipasi, misalnya melalui program kebersihan dan pembuatan poster. Pengembangan budaya sekolah merupakan upaya yang strategis untuk membentuk karakter positif pada siswa. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya untuk mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab beradasarkan Pancasila.Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa dapat dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar yang terintegrasi pada setiap mata pelajar, harus mengandung karakter di dalamnya. Kultur sekolah merupakan suatu nilai, kebiasaan-kebiasaan, norma, ritual, yang dilaksanakan dalam lingkungan sekolah dan dipraktikan oleh seluruh warga sekolah. Implementasi pendidikan karakter tersebut dapat dilaksanakan melalui kegiatan rutin, kegiatan spontanitas, pengkondisian, serta keteladanan. Selain melalui pembudayaan karakter, kesuksesan pendidikan karakter juga didukung dengan desain pelaksanaan pendidikan karakter. Mengenai desain pelaksanaan pendidikan karakter, setidaknya ada tiga desain, yakni: pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada hubungan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses hubungan komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi antara guru dengan pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini membangun budaya sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah negeri 19 Ramly, Mansyur dkk. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter: BerdasarkanPengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2011) t.h.
41
Budiharjo maupun swasta tidak berjuang sendirian. Kalau ketiga komponen bekerjasama melaksanakan dengan baik, maka akan terbentuk karakter bangsa yang kuat.20 Idealnya, sekolah diharapkan mampu untuk menyelenggarakan pendidikan karakter sesuai dengan tiga desain tersebut. Dalam proses pendidikan karakter, guru perlu mengetahui karakteristik perkembangan moral siswanya. Hal ini dimaksudkan agar guru dapat menyesuaikan metode penanaman nilai sehingga pendidikan karakter dapat berjalan secara efektif. Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi. Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. Pada masa sekolah menengah atas atau sederajat, muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya). Penghargaan positif dan citra diri menjadi suatu hal yang sangat berharga bagi mereka. Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh faktor penentunya yang beragam juga. Salah satu faktor penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja adalah orangtua. Manurut Adamm dan Gullotta terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut:21 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja 20 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 11. 21 silvyaeka12.blogspot.com.
42
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) dengan tingkat moral orangtua (Haan, Langer & Kohlberg, 1976). 2. Ibu-ibu remaja yang anaknya tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal (Hudgins & Prentice, 1973). 3. Terdapat dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu: a. Orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan b. Orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif (Parikh, 1980). Sekolah lanjutan hendaknya mampu memberikan tempat yang nyaman bagi remaja untuk mampu mengembangkan kualitas moral, potensi diri, dan citra diri. Remaja harus difasilitasi dengan aktivitas yang positif, sehingga keberlimpahan energinya dapat disalurkan ke tempat yang lebih baik. Aktivitas positif dan kegiatan ekstrakurikuler yang menunjang perkembangan moral akan membuat remaja memiliki minat terhadap hal-hal yang bermanfaat, memiliki cita-cita mulia, dan bersemangat dalam menuntut ilmu. F. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Selama ini, banyak pihak senantiasa berharap kampus dapat menjadi wilayah steril yang aman dari perilaku tercela. Namun demikian, kenyataan mengungkap hal yang sebaliknya. Bahkan, banyak pula oknum dosen dan guru besar justru terjerumus dalam perilaku yang tidak terpuji. Hal ini menegaskan, bahwa sekalipun kampus dihuni oleh kalangan intelektual, pendidikan karakter harus tetap terus dilanjutkan. Justru, kecerdasan dan kapasitas keilmuan yang tidak diimbangi dengan nilai-nilai karakter kebaikan akan membawa seseorang, bahkan banyak pihak pada kehancuran. Ancaman krisis karakter sebagaimana digambarkan bahwa kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Saat ini sulit mendapatkan pemimpin yang berkarakter. Pemimpin yang pintar banyak, tetapi yang jujur sedikit. Sebagai contoh sudah banyak pemimpin pendidikan seperti rektor, wakil rektor, sampai kepala sekolah terlibat kasus korupsi. Profesor sebagai prestasi puncak dosen di perguruan tinggi pun sudah ada tujuh orang. Mantan Menteri Agama pernah masuk penjara. Ironisnya, banyak pemimpin di Kepolisian, pemimpin agama, 43
Budiharjo pemimpin partai, hakim, jaksa, dan pejabat publik yang seharusnya turut bertugas membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya justru terlibat tersangka korupsi oleh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus terakhir yang paling memrihatinkan adalah seorang profesor, sekaligus sebagai dosen teladan di kampusnya juga sudah menjadi tersangka korupsi oleh KPK.22 Pendidikan karakter di Perguruan Tinggi memiliki karakteristik yang lebih khas dibanding dengan di jenjang pendidikan sebelumnya. Sesuai dengan perkembangan tahapan moral yang semakin mendewasa, pendidikan karakter di kampus diselenggarakan secara lebih fleksibel dengan beberapa strategi pembelajaran untuk orang dewasa. Dosen dan staf di universitas menjadi pusat dari proses pendidikan karakter. Mereka harus mampu menunjukkan keteladanan kepada para mahasiswa. Secara terperinci, fungsi pendidikan karakter di perguruan tinggi adalah sebagai berikut: Pertama, pembentukan dan pengembangan potensi mahasiswa, yaitu sebuah upaya untuk membentuk dan mengembangkan manusia dan warga negara Indonesia berpikiran, berhati, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah Pancasila. Kedua, perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan di perguruan tinggi sendiri, masyarakat, dan pemerintah untuk berpartisipasi dan bertanggungjawab dalam mengembangkan potensi manusia atau warganegara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga, sebagai alat penyaring, yaitu upaya memilah nilai-nilai bangsa sendiri, dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia seutuhnya. Melalui proses penyaringan karakter ini, diharapkan para mahasiswa menjadi bagian dari bangsa ini yang memiliki ketinggian karakter, intelektual, dan bermartabat.23 Di dalam kultur akademik kampus, pendidikan karakter terwujud dalam visi misi, budaya, dan etika di kampus yang bersesuaian dengan nilai-nilai Pancasila. Secara ringkas, tradisi pendidikan karakter di perguruan tinggi bisa dilakukan melalui pembiasaan kehidupan keseharian di kampus, sehingga menjadi budaya kampus. Bentuk nyatanya dapat berupa kegiatan ekstra kampus, seperti pramuka, 22 Usman, Husaini. Kepemimpinan Berkarakter Sebagai Model Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, UNY. Tahun III, Nomor 3, Oktober 2013, hlm. 266. 23 Agus Wibowo, M.Pd., Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 28-29.
44
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) pecinta alam, olahraga, karya tulis, dan lain sebagainya. Sehingga, terwujudlah kegiatan harian di kampus yang berkarakter. Sebagai sosok yang sudah lebih dewasa mahasiswa diharapkan dapat memiliki sikap yang lebih arif dalam menentukan keputusan. Terlebih ditambah dengan kapasitas keilmuan yang lebih tinggi, mahasiswa diharapkan mampu menerapkan etika, baik dalam kultur pendidikan atau masyarakat secara luas. Pencapaian ilmu yang dimiliki mahasiswa seyogianya mampu menerapkan etika yang santun, berkarakter, dan humanis. Menurut Darmiyati Zuchdi, dkk, perguruan tinggi merupakan lembaga akademik yang tugas utamanya menyelenggarakan pendidikan dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni. Tujuan pendidikan sejatinya tidak hanya mengembangkan keilmuan, tetapi juga membentuk kepribadian, kemandirian, keterampilan sosial, dan karakter. Oleh karena itu, berbagai program dirancang dan diimplementasikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, terutama dalam rangka pembinaan karakter. Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.24 Secara ringkas, pendidikan karakter di perguruan tinggi mengaksentuasikan pada sistem penanaman nilai-nilai kebaikan pada warga kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa sehingga menjadi manusia yang memiliki budi pekerti luhur dan mulia.*
24
Ibid., hlm. 41.
45
Budiharjo
46
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
BAB III KELUARGA SEBAGAI PIONIR PENDIDIKAN KARAKTER
A. Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah bangsa. Meskipun demikian, keluarga memiliki peran yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pendidikan karakter. Keluarga ibarat sekolah dan rumah jiwa bagi anak. Di dalamnya, anak-anak bangsa tumbuh dan berkembang sesuai dengan pendidikan dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya. Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya, keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga.1 Sifat-sifat seorang anak pun memiliki banyak kesamaan dengan sifat-sifat individu yang tinggal dalam keluarga. sebab, anak memiliki kemampuan untuk mengamati, meniru, dan membiasakan perilaku. Kepribadian anak dapat dibentuk oleh keluarga. Keluarga yang sehat secara mental dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik akan mampu memberikan pendidikan karakter positif pada anak. Sebaliknya, keluarga yang anggota-anggotanya tidak mampu menjalankan perannya dengan baik, maka akan memiliki tantangan 1 Mardiya, Kiat-kiat Khusus Membangun Keluarga Sejahtera (Jakarta : BKKBN Pusat, 2000), hlm. 10.
47
Budiharjo yang besar dalam mendidik dan mengasuh anak. Terkait dengan tumbuh kembang anak, para ahli psikologi perkembangan sepakat bahwa usia balita adalah “the golden age” atau masa emas dalam tahap perkembangan hidup manusia. Dikatakan sebagai masa emas karena pada masa ini tidak kurang 100 milyar sel otak siap untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat berkembang secara optimal dikemudian hari. Dalam banyak penelitian menunjukkan kecerdasan anak usia 0-4 tahun terbangun 50% dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia 4 tahun pertama adalah masamasa paling menentukan dalam membangun kecerdasan anak dibanding masa-masa sesudahnya. Artinya bila pada usia tersebut tidak mendapat rangsangan yang maksimal maka potensi tumbuh kembang anak tidak akan teraktualisasikan secara optimal.2 Sejak usia dini, seyogianya keluarga memberikan pendidikan dan stimulasi kepada anak. Orang tua juga hendaknya mengajarkan anak sikap sopan santun, membiasakan pola hidup sehat, dan membantu anak untuk kreatif mengeksplorasi lingkungannya. Anak-anak yang mendapatkan pengasuhan positif dan tumbuh dengan stimulasi yang cukup akan mengalami kebahagiaan masa kecil, merasa dicintai, disayangi, dan selanjutnya akan mudah membentuk perilaku positif. Meskipun masih usia dini, anak-anak telah mampu mengembangkan perasaan emosionalnya, sehingga selayaknya anak juga mendapat perlakuan yang humanis sebagaimana orang-orang dewasa. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi No. 44/25 tentang konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) tertanggal 20 November 1989. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan presiden nomor 36 tahun 1990. Sekarang ini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang di dalamnya memuat 4 hak dasar anak yaitu: 1. Hak untuk memperoleh keberlangsungan hidup 2. Hak untuk tumbuh dan berkembang 3. Hak untuk berpartisipasi 4. Hak untuk memperoleh perlindungan Secara lebih rinci, ada sebelas hak yang dimiliki oleh anak antara lain:3 1. Hak untuk didaftar sejak kelahirannya, hak atas nama, 2 Anik Rahmani Yudhastawa, 2005. “Pendampingan Nonton Televisi Sejak Balita”. Kedaulatan Rakyat, 13 Mei 2005 hal. 10. 3 Noor Siswanto, Konvensi Hak Anak Sebagai Prinsip Perlindungan Anak., Makalah (Yogyakarta: Dinas Sosial Propinsi DIY, 2002), hlm. 5.
48
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) memperoleh kewarganegaraan dan sejauh mungkin mengetahui dan dipelihara oleh orang tuanya. 2. Hak mempertahankan identitas 3. Hak tidak dipisahkan dengan orang tua 4. Hak berhubungan dengan orang tua 5. Hak menyatakan pendapat, kemerdekaan berpikir, beragama 6. Hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul 7. Hak memperoleh bantuan khusus dari negara bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga 8. Hak menikmati norma kesehatan tertinggi dan hak memperoleh pendidikan 9. Hak memperoleh pemeliharaan, perawatan serta perlindungan 10. Hak untuk beristirahat, bersantai, bermain dan hak untuk turut serta dalam kegiatan rekreasi dan 11. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual dan kegiatan yang bersifat pornografis serta pemakaian narkoba. Hak-hak anak tersebut perlu diwujudkan agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal. Dengan adannya hak-hak tersebut sudah barang tentu menjadi kewajiban keluarga, masyarakat dan bangsa (termasuk di dalamnya institusi pendidikan) untuk memenuhinya. Keberhasilan bangsa ini dalam mencetak generasi yang berkualitas sesungguhnya tidak dapat hanya disandarkan pada institusi pendidikan semata. Peran masyarakat luas, keluarga besar, pemerintah, swasta, dunia bisnis hingga orang tua sendiri perlu dimaksimalkan. Mendasarkan pada hak dasar anak maka hak yang paling sering diabaikan adalah hak partisipasi anak dalam menentukan arah perkembangan dirinya. Orang dewasa, guru, orang tua, pendidik seringkali merasa lebih berhak menentukan apa yang terbaik bagi anak tanpa mempertimbangkan basis karakter anak. Sehingga, yang terjadi kemudian amat banyak orang tua yang “gagal” didik sejak kecil. Selanjutnya, mereka pun melahirkan anakanak yang “gagal” seperti dirinya.4 Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan, pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya 4 Sri Mirmaningtyas “Pendidikan Karakter Anak dan Masa Depan Bangsa” Kedaulatan Rakyat 21 Juli 2005, hlm. 10.
49
Budiharjo pendidikan terhadap anak. Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar mengalir bagitu derasnya. Dampaknya, bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup, maka pengaruh buruk dari luar akan dengan mudah mempengaruhi anak-anak. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa.5 Anak-anak perlu dibekali dengan nilai-nilai moral sebagai benteng etika dalam menghadapi kemajuan zaman. Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan, dapat dianalogikan sebagaimana seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, dan isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, danmerawatnya jangan sampai kena hama pengganggu.6 Begitulah, dalam pendidikan karakter, sikap ulet dan daya juang senantiasa dibutuhkan. Menurut Oppenheim, karakter atau watak seseorang dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Jadi, sikap seseorang termasuk anak-anak, tidak dapat diketahui apabila tidak ada rangsangan dari luar. Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain cara menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian rangsangan dan cara memberikan rangsangan. Dengan demikian maka pembentukan sikap yang selanjutnya merupakan pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat tergantung dari rangsangan pendidikan yang diberikan oleh pendidik.7 Keluarga, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak seharusnya mampu memberikan stimulasi pendidikan yang tepat. Anak adalah individu yang unik. Banyak yang mengatakan 5 Gunarwan “Tanamkan Nilai Moral Dalam Keluarga” Kedaulatan Rakyat 11 Juli 2005, hlm. 10. 6 Suharsimi Arikunto, 2004. “Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini”. Makalah Seminar Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, 14 Agustus 2004 di JEC Yogyakarta, hlm.1. 7 Ibid, hlm. 2.
50
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) bahwa anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betul-betul unik. Mereka belum banyak memiliki sejarah masa lalu. Pengalaman mereka sangat terbatas. Akan tetapi, mereka memiliki daya tangkap dan daya ingat yang tajam. Artinya, anak-anak ibarat kaset kosong yang siap merekam segala hal yang ada di sekitarnya. Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya. Apabila dikaitkan dengan hak-hak anak tugas dan tanggung jawab orang tua antara lain, 1. Sejak dilahirkan mengasuh dengan kasih sayang. 2. Memelihara kesehatan anak. 3. Memberi alat-alat permainan dan kesempatan bermain. 4. Menyekolahkan anak sesuia dengan keinginan anak. 5. Memberikan pendidikan dalam keluarga, sopan santun, sosial, mental dan juga pendidikan keagamaan serta melindungi tindak kekerasan dari luar. 6. Memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan dan berpendapat sesuai dengan usia anak.8 Pengembangan karakter pada anak merupakan proses seumur hidup. Pengembangan karakter anak merupakan upaya yang perlu melibatkan semua pihak, baik keluarga inti, kakek-nenek, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Akan tetapi, dalam pendidikan karakter, keluarga merupakan pionir pendidikan yang akan menentukan kesuksesan pendidikan karakter pada anak. Keluarga, terutama ayah dan bunda memiliki posisi strategis dalam pendidikan karakter pada anak. Pada keluarga inti, peranan utama pendidikan terletak pada ayah-ibu. Philips menyarankan bahwa keluarga hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang. Menurut Gunadi, ada tiga peran utama yang dapat dilakukan ayah dan ibu dalam mengembangkan karakter anak. Pertama, berkewajiban menciptakan suasana yang hangat dan tenteram. Tanpa ketenteraman, akan sukar bagi anak untuk belajar apa pun dan anak akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan jiwanya. Kedua, menjadi panutan yang positif bagi anak, sebab anak belajar terbanyak dari apa yang dilihatnya, bukan apa yang didengarnya. Ketiga, mendidik anak artinya mengajarkan karakter yang baik dan mendisiplinkan anak agar berperilaku sesuai dengan apa yang telah diajarkannya.9 8 Sri Sugiharti. 2005. Penjajagan Kebutuhan Tentang Pemenuhan Hak Anak di Dusun V Peranti Desa Gadingharjo Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul DIY. Yogyakarta: Balitbang BKKBN DIY, hlm. 1. 9 Mukti Amini, “Pengasuhan Ayah Ibu yang Patut, Kunci Sukses Mengembangkan
51
Budiharjo Ketiga peran ayah dan bunda di atas harus mampu dilakukan oleh orang tua. Hanya dengan keteladanan di dalam keluarga, anak akan meniru karakter positif dari orang-orang di sekitarnya. Dan, yang perlu digarisbawahi ialah pendidikan karakter harus berlandaskan pada prinsip kasih sayang. Implikasinya, di dalam pendidikan karakter, orang tua seharusnya mampu menerima kondisi setiap anak secara positif tanpa syarat. Tidak dibenarkan, jika ada orang tua yang sering memarahi dan memaki anak. Secara rinci, setidaknya terdapat 10 cara yang dapat dilakukan ayah-ibu yang baik untuk melakukan pengasuhan yang tepat dalam rangka mengembangkan karakter yang baik pada anak, antara lain:10 1. Menempatkan tugas dan kewajiban ayah-ibu sebagai agenda utama. Ayah ibu yang baik akan secara sadar merencanakan dan memberikan waktu yang cukup untuk tugas keayahbundaan. Mereka akan meletakkan agenda pembentukan karakter anak sebagai prioritas utama. 2. Mengevaluasi cara ayah-ibu dalam menghabiskan waktu selama sehari/seminggu. Ayah dan ibu perlu memikirkan jumlah waktu yang ia lalui bersama anak-anak. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa seorang ayah bersama anak sehari-harinya ternyata tidak lebih dari 19 menit. Ayah-ibu perlu merencanakan cara yang sesuai dalam melibatkan diri bersama anak-anak, melalui berbagai kegiatan sehari-haru seperti belajar bersama, makan bersama, mendongeng sebelum tidur. 3. Menyiapkan diri menjadi contoh yang baik. Setiap anak memerlukan contoh yang baik dari lingkungannya. Ayah-ibu, baik buruk merupakan lingkungan terdekat yang paling banyak ditiru oleh anak. Hal ini tidak dapat dihindari, karena anak sedang dalam masa imitasi dan identifikasi. 4. Membuka mata dan telinga terhadap apa saja yang sedang mereka serap/alami. Anak-anak ibarat spons kering yang cepat menyerap air. Kebanyakan yang mereka serap adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan karakter. Berbagai media seperti buku, lagu, film, TV, internet, dan lain sebagainya memberikan pesan pada anak dengan cara yang mengesankan, baik yang bermoral atau pun tidak. Ayah-ibu harus menjadi pengamat yang baik untuk menyeleksi berbagai pesan dari media yang digunakan anak. 5. Menggunakan bahasa karakter. Anak-anak akan dapat Karakter Anak,” dalam Arismantoro (Peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Tiara Wacana: Yogyarta, 2008), hlm. 108. 10 Ibid., hlm. 145-147.
52
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) mengembangkan karakternya jika ayah-ibu menggunakan bahasa yang lugas dan jelas tentang tingkah laku baik dan buruk. Ayah dan ibu perlu menjelaskan pada anak tentang perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan beserta alasannya. 6. Memberikan hukuman dengan kasih sayang. Hukuman diberikan kepada anak ketika ia melanggar batasan atau rambu-rambu moral atau karakter. Hukuman perlu diberikan kepada anak, dengan syarat mampu mendidik anak. anak-anak perlu memahami bahwa jika ayah dan ibu memberikan hukuman adalah karena ayah dan ibu sayang pada mereka. Tentu saja, ayah-ibu perlu memahami dengan baik tentang syarat dan cara memberikan hukuman yang mendidik anak. 7. Belajar untuk mendengarkan anak. Ayah-ibu perlu selalu mengalokasikan waktu untuk mendengarkan anak-anak. Ayahibu perlu menegaskan agar anak-anak tahju bahwa apapun yang mereka ceritakan itu sangat penting dan menarik. Tentu hal ini harus selaras dengan sikap ayah-ibu tersebut, misalnya dengan duduk sejajar dengan mata anak sambil memangku atau mengobrol santai selepas makan malam, dan bukan mendengarkan sambil membaca koran atau menonton televisi. Jadi, ayah-ibu perlu berkomunikasi efektif dengan anak-anak, dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah dan cerita anak. 8. Terlibat dalam kehidupan sekolah anak. Sekolah merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari anak. Selama di sekolah, anak bukan hanya mengalami hal-hal yang menyenangkan, tetapi juga menghadapi berbagai permasalahan, kekecewaan, perselisihan pendapat, ataupun kekalahan. Ayahibu perlu membantu dalam menyiapkan anak untuk menghadapi semua itu. Jika anak berhasil melalui berbagai permasalahannya di sekolah, karakter anak juga akan makin kukuh dan anak makin percaya diri menatap masa depan. 9. Meluangkan waktu untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan. Ayah-ibu meskipun sibuk, perlu meluangkan waktu untuk makan malam bersama anak, setidaknya sekali dalam sehari (makan pagi atau malam). Makan bersama merupakan sarana yang baik untuk berkomunikasi dan menanamkan nilai-nilai yang baik. Melalui percakapan ringan saat makan, anak tanpa sadar akan menyerap berbagai peraturan dan perilaku baik. 10. Tidak mendidik karakter melalui kata-kata saja. Ayah-ibu perlu membantu anak dalam mengembangkan karakter yang baik melalui contoh tentang berbagai sikap dan kebiasaan baik seperti 53
Budiharjo disiplin, hormat, sopan santun, dan tolong menolong. Karakter anak tidak akan berkembang baik jika hanya melalui nasihat ayahibu. Fondasi dalam pengembangan karakter adalah perilaku. Oleh karena itu, ayah-ibu harus berupaya berperilaku baik agar dapat langsung dicontoh oleh anak. Berkaitan dengan pengembangan karakter anak, semua anggota keluarga dapat memberikan pengaruh yang berarti. Hillary Clinton menyatakan bahwa untuk mendidik seorang anak, diperlukan orang sekampung. Ini berarti, semua orang sangat berarti dan berpengaruh dalam pengembangan karakter anak. Pengembangan karakter dapat dengan mudah terjadi melalui peniruan, yaitu dengan figur teladan kedua orang tua. Pendidikan dalam sebuah keluarga akan sangat mempengaruhi proses pembentukan karakter di masyarakat. Pernyataan ini sejalan dengan sebuah penelitian yang mengungkapkan bahwa kualitas interaksi antara anak dan orang tua (khususnya ibu) dan komitmen religius ibu menentukan berlangsungnya transmisi norma-norma dan nilai-nilai orang tua kepada anak. Semakin baik kualitas interaksi akan mempermudah tranmisi nilai-nilai moral.11 Sayangnya, tidak semua orang tua memahami hal ini. Bahkan, seringkali anak-anak menjadi sasaran kemarahan orang tua atas ketidakpuasan kehidupannya. Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai karakter bergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Terdapat tiga pola asuh anak yang disinyalir dapat mempengaruhi pembentukan karakternya, yakni pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Pola asuh otoriter memiliki ciri bahwa orang tua selalu membuat keputusan, anak harus patuh tunduk, dan tidak boleh bertanya. Sedangkan, pengasuhan demokratis memiliki ciri orang tua selalu mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan pada anak. Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter dan permisif sangat memiliki dampak yang berbeda dengan pola asuh demokratis. Pola asuh demokratis diyakini mampu mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggungjawab dan mandiri. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.12 Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang paling kondusif untuk mendidik karakter anak. Anak yang diasuh secara demokratis 11 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.155. 12 Ibid., hlm. 158.
54
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) pada umumnya mampu mengungkapkan agresifitasnya dalam suatu tindakan yang lebih konstruktif. Tidak dapat dimungkiri, cinta dan kasih sayang orang tua merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan karakter dalam keluarga. B. Soft Skill Pengasuhan Ramah Anak Lingkungan yang kondusif harus dimulai dari dalam keluarga karena keluarga adalah lembaga pertama dan utama yang dapat menciptakan anak yang sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia dan cinta tanah air, melalui pengasuhan yang berkualitas. Pengasuhan yang berkualitas juga dapat membangun karakter anak serta memperkuat nilai-nilai kebangsaan dari sejak usia dini. Namun kondisi keluarga di Indonesia tidak semuanya mempunyai kualitas yang memadai untuk dapat memenuhi hak dan memberikan perlindungan kepada anak. Banyak keluarga yang belum memahami peran, tugas dan kewajiban sebagai orang tua untuk memenuhi hak anak-anaknya. Apalagi di era globalisasi, di mana informasi bebas melanda seluruh lapisan masyarakat. Globalisasi tidak dapat terbendung dan akan berpengaruh terhadap kehidupan setiap individu serta berdampak terhadap kehidupan dan perkembangan kepribadian anak, maupun hubungan antar anggota keluarga. Banyak anak yang harus ditinggalkan di rumah dikarenakan orangtuanya harus bekerja. Kondisi tersebut tentunya tidak akan menjadi permasalahan apabila orang tua siap menyikapi tantangan zaman. Pola pengasuhan yang berkualitas harus menjadi konsep utama, yakni dengan memberikan pemenuhan hak anak dan membangun komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Dengan kata lain, ketahanan keluarga harus lebih ditingkatkan sehingga orangtua atau keluarga dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dalam pembentukan karakter anak sebagai generasi penerus bangsa. Di samping itu, rekonstruksi sosial masyarakat juga sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dan penanganan masalah-masalah yang dialami anak. Partisipasi, kepedulian dan kepekaan masyarakat sangat diperlukan sebelum anak menjadi korban dari eksploitasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh orang dewasa lainnya atau antar teman sebaya.13 Pengasuhan ramah anak seyogianya menjadi cara untuk membentuk karakter anak yang. Resep utama pengasuhan ramah otak ialah hormon cinta: “without love there good and smart can be no healthy growth or development “ (tanpa cinta maka tidak aka nada 13 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Pedoman Pelaksanaan Hari Anak NAsilna (HAN) Tahun 2015, hlm. 2.
55
Budiharjo pertumbuhan dan perkembangan yang sehat). Secara garis besar di dalam otak terdapat 2 hormon, yaitu hormon cinta dan stres. Bila lingkungan pengasuhan di sekitar anak menyenangkan, maka hormon cinta dalam tubuh anak akan berkembang dengan baik. Demikian pula sebaliknya. Pola asuh ramah anak mengajak para orang tua untuk secara positif menerima kondisi anak sebagaimana adanya. Anak dipandang sebagai individu yang harus tumbuh di dalam lingkungan yang penuh cinta. Anak-anak yang diasuh dengan pola sikap yang ramah anak terbukti akan mampu tumbuh menjadi individu yang memiliki rasa percaya diri, kemandirian, keceriaan, dan kemampuan beradaptasi secara optimal. Sebaliknya, anak yang tumbuh dari pola asuh ‘marah’ akan tumbuh menjadi anak yang sulit untuk diajak bekerjasama. Pola asuh yang tidak ramah anak terbukti merupakan virus dalam pendidikan karakter di dalam keluarga. pola asuh ini akan berdampak buruk bagi anak. Jika pola asuh tidak ramah anak mendominasi iklim pengasuhan, maka anak-anak akan menjadi sosok pribadi dengan ciri sebagai berikut: 14 1. Pembohong Orangtua yang selalu memarahi anaknya bila melakukan kesalahan sehingga anak menjadi takut dan menjadikan anak ‘terbiasa’ berbohong untuk menutupi kesalahannya. 2. Neurosis. Orang tua yang selalu mematahi anakanya mengakibatkan ketidakseimbangan kejiwaan dalam diri anak. Ketidakseimbangan jiwa pada gilirannya mengakibatkan anak pada saat dewasa bersikap posesif, terlalu cemburu dan kekanakkanakan. 3. Depresi. Depresi dan bunuh diri dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan. Orang-orang yang depresi adalah mereka yang semasa kecil mengalami kekerasan atau kurang kasih sayang dari orangtua. Anak-anak yang mengalami depresi dan mengalami bencana kekeringan kasih sayang lebih banyak ditemukan di kotakota besar. Biasanya, ketika dewasa, anak yang memiliki deficit kasih sayang akan menjadi orang yang menolak pernikahan, orang yang bercerai dengan pasangannya, dan gagal menjalin hubungan, serta sering menyendiri. 4. Psikopat dan sosiopat. Anak yang tidak mempunyai empati diyakini lebih mudah terlibat kriminal. Biasanya, anak-anak yang mengalami atau menjadi psikopat dan sosiopat selalu mendapatkan hinaan, cemoohan, dan cacian dari orang tuanya. Oleh karena itu, disarankan bagi para orang tua untuk mampu 14
paudpn.wordpress.com
56
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) menerapkan pola asuh ramah anak. 15 Untuk mewujudkan pola asuh ramah anak, orang tua sebaiknya menyajikan lingkungan pengasuhan yang membuat anak merasa diterima dan disayang oleh orangtua lingkungannya. Contoh pola asuh ramah anak di antaranya: 1. Menyusui Pemberian ASI akan membentuk ikatan emosional antara ibu dan anak, sedangkan untuk ayah bisa dilakukan dengan menggendong bayi. 2. Sentuhan dan Pijatan Halus Sentuhan kepada anak dapat memberikan rasa nyaman kepada anak 3. Bermain dan tertawa Pola asuh ramah anak dapat dilakukan dengan 3 hal yaitu, bermain dengan anak, memberikan sentuhan dan pelukan pada anak, dan memberikan kata positif pada anak. Bagi Anak usia dini, permainan merupakan sarana penting untuk menyampaikan pelajaran dan pembentukan karakter mereka. Namun, untuk menjadikan sebuah permainan sebagai sebuah sarana pembelajaran yang efektif, pemahaman akan psikologi perkembangan dan pertumbuhan anak usia dini serta faktor yang mempengaruhinya jelas merupakan hal yang tak bisa dianggap sepele. Dunia anak adalah dunia bermain, yaitu dunia yang penuh dengan spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu yang dilakukan anak penuh dengan semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan. Anak akan membenci dan menjauhi suasana yang tidak menyenangkan. Menurut A. Efendi, bermain merupakan aktifitas refleks yang melibatkan motivasi dan prestasi dalam diri anak secara mendalam dalam dunianya. Seorang anak memiliki posisi sebagai pembuat keputusan dan play master. Dengan bermain, anak bebas beraksi dan menghayalkan sebuah dunia lain sehingga bermain akan menghadirkan unsur petualangan yang disukai anak.16 Melalui aktivitas bermain, sesungguhnya anak-anak sedang belajar mengenai pengambilan keputusan dan karakter-karakter seperti kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, dan lain sebagainya. Bagi anak-anak, bermain bukanlah suatu aktivitas yang ‘mainmain’. Bagi mereka, bermain merupakan hal yang serius. Sehingga, anak-anak akan menganggap permainan adalah bagian terpenting 15
paudpn.wordpress.com Ahmad Efendi, Pendidikan Pra Sekolah; Orientasi pada Child Interest, ( Quantum, Semarang: LPM. Edukasi, 2003), hlm. 17. 16
57
Budiharjo dalam hidupnya. Orang tua yang bijak seharusnya mampu memfasilitasi anak sehingga ia bisa bermain sesuai dengan tahap perkembangannya. Sebaiknya, anak-anak diarahkan untuk menyukai permainan-permainan tradisional. Sebab, merupakan suatu hal yang tidak baik jika anak disuguhkan dengan gadget. Organ-organ sensitif pada anak seperti mata, jemari, telinga, dan lain sebagainya sesungguhnya belum siap untuk secara intens berhadapan dengan gadget. Dengan menjaga dan merawat tradisi bermain secara tradisional, anak-anak memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk mempelajari nilai-nilai kebersamaan dan kearifan lokal. Bagi anak-anak, bermain merupakan sarana pembelajaran emosi secara efektif. Ketika bermain, anak-anak harus memperhatikan cara pandang lawan bermainnya dengan demikian akan mengurangi egosentrisnya. Dalam permainan itu pula anak-anak dapat mengetahui bagaimana bersaing dengan jujur, sportif, tahu akan hak dan peduli akan hak orang lain. Anak juga dapat belajar bagaimana sebuah tim dan semangat tim. Anak ibarat buku yang tak pernah habis dibaca, setiap saat halamannya bisa bertambah dan berubah. Oleh karenanya, segala hal yang menyangkut anak, hendaknya dilakukan secara bertahap (gradual), terus-menerus dan berkesinambungan. Peran orang tua di rumah guru di sekolah untuk memantau, memberikan rangsangan, mengarahkan, memberikan fasilitas, mengembangkan kreativitas anak, sangat menunjang pembentukan karakter anak. Penyediaan fasilitas bermain sebaiknya didukung dengan apresiasi lingkungannya. Hal-hal sederhana itulah yang akan menentukan pengembangan diri anak. Ringkasnya, alat bermain, lokasi bermain, tema permainan, kurikulum di Taman Kanak-Kanak dan Kelompok Bermain harus melihat tugas perkembangan anak. semua itu diupayakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian pada anak. C. Sosialisasi Nilai-Nilai Luhur Pancasila dalam Keluarga Keluarga sebagai unit terkecil dari sebuah bangsa sangat menentukan kemajuan dan kesuksesan bangsa. Selain itu, keluarga juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan kejiwaan kepada anak. Dalam posisi ini, keluarga semestinya mampu menjadi teladan anak dalam mengaktulisasikan nilai-nilai Pancasila. Sosialisasi nilai- nilai luhur Pancasila di dalam keluarga tidak harus dilakukan layaknya pelajaran formal. Pembudayaan sikap Pancasila di dalam keluarga oleh orang tua dan orang dewasa di sekitarnya merupakan strategi ampuh dalam mengajarkan nilai-nilai luhur Pancasila. 58
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) Anak yang tumbuh dalam suasana pengejawantahan nilainilai luhur Pancasila akan mampu tumbuh menjadi pribadi yang lebih toleran, humanis, dan bijaksana. Ia akan mampu beradaptasi dalam beragam budaya dan mampu merespons lingkungan dengan tepat. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai luhur Pancasila yang secara aktualitatif memberikan pandangan kehidupan yang arif dan bijaksana. Sosialisasi nilai-nilai luhur Pancasila di dalam keluarga dapat dimulai dengan beberapa fase. Pertama, seluruh orang tua dan orang-orang dewasa di sekitar anak hendaknya mengetahui isi dari masing-masing sila yang terdapat di dalam Pancasila. Kedua, seluruh orang tua dan orang-orang dewasa di sekitar anak hendaknya mampu mendalami dan menghayati masing-masing sila yang terdapat di dalam Pancasila. Ketiga, seluruh orang tua dan orang-orang dewasa di sekitar anak hendaknya dapat mengamalkan Pancasila melalui sikap nyata. Keempat, memberikan pendidikan akhlak dan budi pekerti yang sesuai dengan sila-sila di dalam Pancasila. Tentu saja, tidak mudah bagi setiap keluarga untuk mampu memberikan sosialisasi nilai-nilai Pancasila kepada anak. Sebab, masih banyak pula rakyat Indonesia yang memiliki kondisi perekonomian sangat lemah sehingga tidak memiliki akses untuk mengenyam bangku pendidikan. Meskipun demikian, pemerintah dengan kekuatan birokrasi dapat membuat kebijakan yang arif. Misalnya, dengan menyelenggarakan sosialisasi pengasuhan anak berdasarkan nilai-nilai Pancasila di setiap desa atau dusun. Sebagai gambaran umum, sosialisasi nilai-nilai luhur di dalam Pancasila oleh orang tua kepada anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: 1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa a. Memberikan pendidikan agama kepada anak sejak usia dini. b. Memberikan contoh ketaatan beribadah kepada Tuhan c. Membiasakan anak untuk selalu melibatkan Tuhan dalam setiap aktivitasnya misalnya membiasakan berdoa kepada anak d. Memfasilitasi anak untuk belajar ilmu agama 2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab a. Mengajarkan kepada anak untuk menghargai dan bersikap santun kepada tetangga dan teman b. Memberikan contoh kepada anak untuk selalu bersahabat dengan siapa saja, membangun persaudaraan, dan ikatan kekeluargaan 59
Budiharjo c. Menerapkan keadilan di dalam keluarga d. Mengajarkan anak untuk mampu bersikap adil dan membiasakannya untuk memiliki sikap gemar berbagi 3. Sila Persatuan Indonesia a. Memberikan keteladanan kepada anak untuk membangun komunikasi yang baik kepada sesama b. Mengajarkan anak untuk mampu bekerjasama dengan anggota keluarga yang lainnya c. Memberikan penugasan rumah yang bisa dikerjakan oleh anak dengan anggota keluarga yang lain d. Memberikan pujian dan apresiasi kepada anak ketika telah mampu menjalin persahabatan dan menunjukkan sikap kasih sayang kepada sesama manusia 4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan a. Mengasuh anak dengan pola demokratis b. Senantiasa menghargai dan mendengarkan pendapat anak c. Membiasakan berdialog positif kepada anak d. Memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan perasaannya e. Menyikapi keluhan anak dengan bijaksana 5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia a. Menanamkan kepada anak untuk bersikap adil kepada temantemannya b. Melatih anak untuk memiliki sikap toleransi dan tenggang rasa c. Menghormati keinginan anak dan mendidik anak untuk menghargai teman-temannya secara positif tanpa syarat d. Mengajarkan karakter-karakter humanis pada anak dengan cara membiasakan bersedekah, mengunjungi panti asuhan, menolong orang lain, dan meringankan beban orang lain e. Mendorong anak untuk aktif memberikan bantuan kepada teman-temannya yang memiliki permasalahan Di dalam keluarga, ayah dan ibu menjadi figur otoritas yang senantiasa menjadi contoh bagi anak-anaknya. Hal ini merupakan sebuah kabar gembira bahwa moralitas dan karakter anak dapat dibentuk oleh orang tua sejak dalam keluarga. Salah satunya, ialah melalui pembiasaan bersikap. Orang tua perlu menyadari bahwa dirinya memiliki peran yang bermakna dalam mencetak karakter 60
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) anak-anaknya. Sehingga, jika anak-anaknya memiliki sikap yang tidak terpuji, alangkah bijaknya jika orang tua melakukan evaluasi diri. Sosialisasi merupakan sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Di dalam keluarga, sosialisasi merupakan penanaman kebiasaan atau nilai aturan dari orang tua kepada anak. Di dalam keluarga, peran orang tua sangat penting dalam perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak. Sosialisasi nilai perlu dilakukan dalam keluarga dengan tujuan mulia sebagai berikut: 1. Memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada anak agar bias hidup bermasyarakat 2. Membangun kemampuan anak untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien 3. Membuat anak mampu mengembalikan fungsi-fungsi melalui intropeksi diri 4. Menanamkan nilai-nilai dan kepercayaan kepada anak yang mempunyai tugas dalam masyarakat Dalam upaya sosialisasi nilai kepada anak, orang tua perlu membangun hubungan kedekatan dengan anak. Hal ini penting untuk melahirkan hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak. Beberapa strategi yang dapat diterapkan para orang tua agar mendapat posisi di hati anak antara lain: 1. Selalu dekat dengan anak-anaknya 2. Memberi pengendalian dan pengawasan yang wajar, sehingga jiwa anak tidak merasa tertekan 3. Mendorong anak untuk bisa membedakan sesuatu yang baik dan buruk, benar, dan salah, halal dan haram,dan sebagainya 4. Ibu dan ayah harus dapat membawakan peran sebagai orang tua yang baik di depan anak-anaknya dan memberikan contoh yang tidak keliru yang memungkinkan anak akan meniru. 5. Menasihati anak-anak ketika melakukan perbuatan yang salah dan memberikan arahan yang benar, sehingga tidak terjadi kesalahan untuk kedua kalinya. Ungkapan bahwa anak ibarat kertas putih yang bisa dilukis oleh orang tuanya menyadarkan setiap pihak bahwa anak-anak merupakan hasil didikan karakter dari orang tuanya. Anak-anak memiliki kemampuan yang baik dalam hal mengamati, meniru, dan mereproduksi perilaku orang-orang dewasa di sekitarnya. Terlebih, pada usia emas hingga lima tahun, anak-anak memiliki perkembangan 61
Budiharjo kognitif yang sangat cepat. Hal ini menyebabkan mereka sering menirukan aktivitas dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Di dalam mendidik anak, Dorothy law telah menggubah puisi yang inspiratif untuk para orang tua. Tentu sangat baik, apabila setiap orang tua mampu memahami rumus canggih dalam mendidik anak yang dituangkan dalam puisi terang karya Dorothy Law. Di dalam puisi itu, terdapat misi mulia, yakni mendidik anak dengan ramah, positif, humanis, dan penuh nilai-nilai kasih sayang, cinta, dan persahabatan. Dalam bahasa Indonesia, puisi itu bertajuk, Anakanak Belajar dari Kehidupan. Puisi ini merupakan puisi pendidikan anak usia dini yang paling fenomenal sepanjang sejarah. Dalam versi asli, tercatat puisi ini bertajuk, Children Learn What They Live. Salah satu bukti dari fenomenalnya puisi ini adalah bahwa setidaknya sampai tahun 1998, puisi ini telah diterjemahkan dalam 35 bahasa dan jumlahnya barangkali terus bertambah. Puisi pendidikan anak ini mampu merangkum segi-segi yang perlu diperhatikan dalam pendidikan anak (usia dini) dengan ungkapan sehari-hari yang sangat familiar, sederhana, padat, namun sangat menuntut kerja keras bila akan dipraktikkan. Berdasarkan kronologis lahirnya, puisi pendidikan yang sudah menjadi karya klasik ini sebenarnya ditulis pada tahun 1954 untuk koran Torrance Herald di Southern California. Pada koran populer itu, Dorothy menjadi salah satu kolumnisnya. Setelah dimuat di surat kabar itu, puisi ini menjadi sangat terkenal dan dapat ditemukan di mana-mana. Mengapa puisi pendidikan anak usia dini yang dirajut oleh Dorothy Law Nolte, Ph.D ini sangat masyhur? Salah satu penyebabnya ialah karya ini dibuat dengan merujuk pada teori perkembangan anak, diramu dengan bahasa yang menyentuh, puitis, namun sangat mudah untuk dipahami dan diterapkan. Ia merupakan seorang pendidik dan ahli konseling keluarga. Dalam sejarahnya, puisi ini sempat direvisi dua kali oleh penulisnya. Pertama, pada awal tahun 1980-an, Dorothy mengubah pronomina tunggal menjadi jamak agar netral, karena bahasa Inggris termasuk bahasa yang berjender (membedakan nominapronomina feminin dan maskulin). Pada awalnya, nomina “anak” dan pronominanya dalam puisi ini berbentuk tunggal: “If a child lives with ..., he learns ....” Untuk menetralisir isu gender dalam puisi itu, kemudian digantilah pronomina untuk proposisi dasar puisi itu secara keseluruhan menjadi plural (jamak): “If children live with ..., they learn ... .” Selanjutnya, perubahan kedua adalah dengan memecah baris 62
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) tertentu yang terlalu panjang dan kompleks menjadi dua baris, serta menambahkan baris baru. Hal ini dilakukan seiring dengan perkembangan yang membawa situasi-situasi baru. Demikianlah, puisi yang awalnya terdiri dari 14 baris itu kini menjadi 19 baris. Dalam versi asli dan terjemahan oleh Jalaludin Rahmat, puisi panduan pengasuhan anak yang sangat fenomenal dari Dorothy Law ialah sebagai berikut, Children Learn What They Live If children live with criticism, they learn to condemn. If children live with hostility, they learn to fight. If children live with fear, they learn to be apprehensive. If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves. If children live with ridicule, they learn to feel shy. If children live with jealousy, they learn to feel envy. If children live with shame, they learn to feel guilty. If children live with encouragement, they learn confidence. If children live with tolerance, they learn patience. If children live with praise, they learn appreciation. If children live with acceptance, they learn to love. If children live with approval, they learn to like themselves. If children live with recognition, they learn it is good to have a goal. If children live with sharing, they learn generosity. If children live with honesty, they learn truthfulness. If children live with fairness, they learn justice. If children live with kindness and consideration, they learn respect. If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them. If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.
Dalam versi bahasa Indonesia, puisi fenomenal karya Dorothy diterjemahkan oleh Jalaludin Rakhmat sebagai berikut: Anak-anak Belajar dari Kehidupannya Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. 63
Budiharjo Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.17 Secara reflektif, puisi ini mengajarkan kepada para orang tua untuk bersikap bijak dalam mendidik anak. Hal ini dapat dipahami, sebab anak-anak belajar bijak dari kehidupan, bukan hanya dari kata-kata yang dilontarkan kedua orang tuanya. Puisi ini sekaligus menumbangkan mitos bahwa mendidik anak merupakan tugas yang sangat sulit. Sebaliknya, melalui puisi pendidikan anak sejak dini, Dorothy Law sesungguhnya menyematkan pesan indah pada orang tua bahwa mendidik anak merupakan sebuah kebahagiaan. D. Keluarga Sebagai Sekolah Kepribadian Bagi anak-anak, rumah secara fisik merupakan simbol rasa aman. Tidak hanya itu, rumah juga merupakan simbol ketenangan batin bagi anak. Konsekuensinya, para orang tua harus mampu mewujudkan suasana yang nyaman dan aman di rumah. Di rumah, idealnya anakanak mendapatkan perhatian, kasih sayang, penghargaan, cinta, dan hak-haknya sebagai manusia. Anak bukanlah miniatur dari orang dewasa, sebab ia telah mampu melakukan proses berpikir dan pengambilan keputusan, meski dalam taraf yang masih sederhana. Hal itulah yang harus selalu dilatih, sehingga pada masa dewasa mereka dapat mengambil keputusan secara tepat. Meski demikian, tidak mudah untuk mewujudkan rumah yang aman dan nyaman bagi anak. Terlebih, para orang tua kini semakin disibukkan dengan usaha untuk mencari nafkah. Tidak jarang, anakanak merasakan bahwa rumah merupakan bangunan yang hampa. Akibatnya, mereka tidak tahan untuk berada di rumah dan memilih lingkungan pergaulan di luar rumah yang mampu memberikan perhatian, meskipun lingkungan itu sebenarnya tidak aman. Secara fitrah, setiap anak mengharapkan agar rumahnya bisa menjadi sekolah pertama. Artinya, di dalam rumah idealnya terdapat figur orang tua yang mampu memberikan pengasuhan ramah anak. Bagi anak, keluarga seharusnya bisa menjelma menjadi sekolah kepribadian. Maknanya, keluarga menjadi tempat pertama untuk 17 Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual; refleksi-sosial seorang cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 187.
64
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) membentuk kebiasaan posiitf, menjadi tempat untuk mencurahkan keluh kesah, dan mengolah emosi. Selain itu, keluarga juga merupakan lingkungan bermain yang paling aman bagi anak, baik secara fisik, maupun psikologis. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua mampu mewujudkan rumah yang ramah anak. sehingga, di dalamnya anak dapat belajar mengenai kebiasaan-kebiasaan baik yang akan mengantarkannya menjadi anak yang memiliki budi pekerti baik dan dapat diterima di lingkungan sosialnya. Secara formal, di sekolah anak memang mendapatkan pendidikan kognitif. Akan tetapi, belum tentu anak-anak mampu berkesempatan belajar untuk melakukan pembiasaan positif yang baik. Sedangkan, di dalam keluarga, anak berpeluang untuk mendapat bimbingan dari orang tua, pengawasan, penghargaan, dan cinta, sehingga anak bisa lebih mudah untuk mentradisikan kebiasaan baik. Kehadiran orang tua yang mampu memberikan pendidikan moral kepada anak sesungguhnya sangat penting dalam membentuk generasi yang good and smart. Di dalam keluarga yang berfungsi secara penuh, setidaknya terdapat fungsi-fungsi keluarga yang dapat dijalankan dengan baik. Beberapa fungsi tersebut di antaranya, 1. Afeksi (affection), yaitu keluarga berfungsi sebagai pemberi kasih sayang yang utama kepada anak-anaknya sehingga anak merasakan kenyamanan di dalam keluarga dan merasakan hangatnya kasih sayang orang tua. 2. Kontrol (controlling), yaitu keluarga sebagai pengawas yang mengintai setiap gerak-gerik anaknya ketika melakukan hal-hal yang menyimpang,dan peran keluarga memberikan pengarahan yang tepat ketika anaknya melakukan hal yang tidak baik. 3. Melindungi (protection), yaitu keluarga sebagai tempat anak berlindug dari segala macam bahaya yang mengancamnya sehingga ia merasakan ketenangan karena memliki pelindung, yaitu keluarga. Sebagai sekolah kepribadian, keluarga harus mampu mencetak anak dengan kepribadian yang baik, bercorak nusantara, sehingga mampu beradaptasi ketika dewasa. Selain itu, keluarga juga harus konsisten dalam memberikan teladan mengenai sikap-sikap positif, sehingga anak-anak dapat dengan mudah menyerap karakter luhur dan baik. Keluarga juga harus mampu memberikan ruang bagi anak untuk berdialog mengenai batasan norma dan daftar perilaku positif yang sebaiknya dibiasakan. Istilah kepribadian atau personality berasal dari kata “persona” yang berarti topeng atau kedok, yang maksudnya untuk menggambarkan 65
Budiharjo perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Secara ringkas, kepribadian merupakan keseluruhan kualitas dari seseorang. Kualitas itu akan tampak dalam caranya berbuat, cara-caranya berfikir, cara-caranya mengeluarkan pendapat, sikapnya, minatnya, filsafat hidupnya, secara kepercayaannya.18 Merujuk pada definisi kepribadian itulah, dapat dikatakan bahwa kepribadian merupakan suatu kesatuan fungsional antara fisik dan psikis atau jiwa dan raga dalam diri individu yang membentuk karakteristik atau ciri khas unik yang terwujud di dalam tingkah laku. Sikap dan tingkah laku anak secara alamiah sangat dipengaruhi oleh keluarga. Sehingga, tidak hanya orang tua yang akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, namun juga sikap saudara, kakek, nenek, dan lain sebagainya. Keberhasilan kedua orang tua mendidik anak pertama misalnya, akan memberikan dampak positif pada anak kedua, begitu seterusnya. Jika orang tua telah mampu bertindak sebagai sekolah kepribadian yang baik bagi anak, maka anak-anak pun akan berkembang dengan optimal dan mampu menjadi generasi yang tangguh di masa depan. Orang tua adalah pembina pribadi pertama dalam hidup anak. Kepribadian, orang tua, sikap dan cara hidup di dalam keluarga, merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung dan dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu.19 Orang tua dengan demikian menjadi guru sekaligus kepala sekolah dalam sekolah kepribadian yang secara non formal dibina oleh keluarga. Keluarga yang sukses ialah keluarga yang mampu menjalan fungsi sekolah kepribadiannya dengan baik, dan hal ini ditandai dengan lahirnya generasi berbudi pekerti mulia. Keluarga yang mampu memberikan pendidikan kepribadian kepada anak memiliki beberapa ciri di antaranya, 1. Kesediaan orang tua menerima anak sebagai anggota keluarga yang berharga. 2. Ayah dan ibu mampu menjalin keharmonisan sehingga pertengkaran dan perselisihan tidak terjadi di hadapan anak. 3. Adanya sikap demokratis yang memungkinkan setiap anggota keluarga mengikuti arah minatnya sendiri, sejauh tidak merugikan orang lain baik dalam lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. 4. Penyesuaian yang baik antara ayah dan ibu dalam pernikahan. 5. Keadaan ekonomi yang serasi. 18 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al MA’arif, 1986), hlm. 67. 19 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 71.
66
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 6. Penerimaan (akseptasi) sosial para tetangga terhadap keluarga.20 Keenam ciri keluarga di atas merupakan rangkuman ciri dari keluarga yang memiliki ketahanan psikologis yang baik. Jika sebuah keluarga telah memiliki enam hal di atas, maka keluarga itu berpotensi besar untuk menjadi sekolah kepribadian yang akan melahirkan anakanak hebat. Sebaliknya, jika keluarga memiliki ketahanan psikologis yang rendah, maka anak pun akan rentang dibesarkan dalam pola asuh yang kurang ramah anak. Pembentukan kepribadian merupakan suatu proses yang harus ditempuh melalui beberapa taraf. Ada tiga taraf yang harus ditempuh dalam pembentukan kepribadian, yaitu, a. Pembiasaan b. Pembentukan pengertian, sikap dan minat c. Pembentukan kerohanian yang luhur21 Dalam realitasnya, ketiga taraf pembentukan kepribadian tersebut saling mempengaruhi. Taraf pertama akan menjadi landasan bagi tara tinggi berikutnya. Setiap taraf, hendaknya dilakukan secara bertahap dan konsisten. Orang tua pun sebaiknya senantiasa menerima secara positif tentang kondisi anak. Mendidik kepribadian anak memerlukan kesabaran, keuletan, dan upaya yang terus menerus. Keluarga seharusnya mampu mendidik moral anakanaknya. Dalam paradigm psikologi, anak-anak memiliki tahapan perkembangan moral yang khas. Karakteristik setiap tahapan akan memberikan kunci bagi para orang tua untuk sukses menanamkan nilai-nilai kebaikan. Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal keseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlberg, dengan klasifikasi sebagai berikut,22 1. Tingkat Prakonvensional Pada tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka memaklumkan peraturan. Tingkat prakonvensional ini memiliki dua tahap, yaitu 20 Singgih D Gunarsa dan Ny. Singgih D Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, (Jakarta: Gunung Mulia, 1992), hlm. 75-76. 21 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al MA’arif, 1986), hlm. 79. 22 Muhammad Ali, dkk, Psikologi Remaja (Bumi Aksara. Jakarta, 2004), hlm. 137139.
67
Budiharjo a. Tahap Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Pada tahap ini, akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya sematamata menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. b. Tahap Orientasi Relativis – Instrumental Pada tahap ini, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar yang berorientasi pada untung rugi. Disini, terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas (prinsip timbal balik) dilukiskan oleh Kohlberg dengan kalimat: “Jika mau menggarukkan punggungku, maka aku juga akan menggarukkan punggungmu”. Jadi, hubungan disini bukan atas dasar loyalitas, rasa terima kasih, atau keadilan. 2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Semua itu dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang bakal muncul. Sikap anak bukan saja konformitas terhadap pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib, serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat konvensional ini memiliki dua tahap, yaitu, a. Tahap Orientasi Kesepakatan Antara Pribadi atau Disebut Orientasi “Anak Manis” Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Perilaku sering dinilai menurut niatnya sehingga sering kali muncul pikiran dan ucapan “sebenarnya dia bermaksud baik”. Mereka berpandangan bahwa orang akan mendapatkan persetujuan orang lain dengan cara menjadi orang baik. b. Tahap Orientasi Hukum dan Ketertiban Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial yang ada. 68
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya. 3. Tingkat Pascakonvensional Tahapan ini terjadi pada tingkatan usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi diri dari kelompok tersebut. Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu: a. Tahap Orientasi Kontrak Sosial Legalitas Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya, perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini, terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah, penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban. b. Tahap Orientasi Prinsip dan Etika universal Pada tahap ini, hak ditemukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi. Keluarga hendaknya mampu mendidik moral anak sesuai dengan tahap perkembangannya. Hal ini penting, sebab pendidikan moral akan dapat dilakukan secara efektif manakala sesuai dengan tahap perkembangan kognitif, emosi, dan sosial anak. Penyelenggaraan pendidikan moral kepada anak dengan demikian dilakukan dengan strategi yang sederhana, mudah, namun mampu memberikan pengaruh yang signifikan. Sebagai sekolah kepribadian, keluarga, terutama ayah dan ibu hendaknya juga memiliki target penanaman nilai-nilai kebaikan kepada anak. ayah dan ibu dapat mendiskusikan bersama, sehingga 69
Budiharjo terdapat kesamaan cara pandang dan paradigma dalam mendidik anak. Kesamaaan paradigma dan kekompakan orang tua dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak sangat diperlukan dalam mendukung suksesnya sosialisasi nilai-nilai Pancasila di dalam keluarga. Jika terdapat perbedaan pandangan dalam mendidik anak, jangan sampai orang tua justru menunjukkan sikap pertengkaran di depan anak. Sebab, hal itu justu akan menimbulkan dampak negatif. Hal-hal sederhana namun bermakna seperti penerapan sistem reward and punishment (hadiah dan hukuman) pada anak pun harus dijalankan secara kompak oleh kedua orang tua. Hal ini menuntut para orang tua untuk selalu menjadi pembelajar sejati, yang tidak pernah berhenti untuk belajar cara pengasuhan terbaik, baik melalui aktivitas membaca, mendengarkan, atau lain sebagainya. Di dalam aktivitas mendidik dan mengasuh anak, orang tua sering dihadapkan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan. Adakalanya anak bersikap tidak mau diatur, berperilaku negatif, dan selalu ingin menang sendiri. Dalam ilmu psikologi, ada berbagai cara yang bisa dipilih untuk membentuk sebuah perilaku tertentu. Salah satu upaya pembentukan perilaku pada anak adalah melalui pemberian hadiah dan hukuman banyak dipakai oleh para orang tua adalah karena mudah diterapkan. Prinsipnya adalah perilaku yang salah akan dihukum, sedangkan perilaku yang baik akan diberi hadiah. Jika anak menunjukkan perilaku yang sesuai dengan norma atau ajaran moral yang ada, maka ia akan diberi hadiah sebagai bentuk penghargaan atas perilaku baiknya.23 Prinsip sederhana ini sekilas mudah diterapkan, akan tetapi para orang tua juga harus bijaksana. Sebab, kadar hukuman dan hadiah yang melebihi dosis justru akan berdampak negatif. Hadiah merupakan penghargaan yang dapat memberi efek kebahagiaan dan kepuasan bagi penerimanya. Bagi anak-anak, konsep hadiah tidak hanya berkutat pada hal-hal yang bersisfat materi. Pujian, pelukan, senyuman, dan tatapan mata hangat dari kedua orang tua dapat menjadi sumber kebahagiaan bagi anak. Jika anak mendapat respons positif dari orang tua atas sikap baiknya, besar kemungkinan anak akan mengulangi sikap baiknya tersebut. Sehingga, pelan-pelan akan terbentuk sikap dan karakter yang baik pada diri anak. Macam-macam pemberian hadiah yang efektif bagi anak misalnya, pujian yang baik, papan prestasi, menunjukkan perilaku baik anak, perlakuan istimewa, dan memberi hadiah dalam bentuk materi. Pemberian hadiah tersebut berfungsi untuk mendidik anak, 23 Bunda Novi, Saat Anak Harus Diberi Hadiah atau Dihukum (Yogyakarta: Saufa, 2015), hlm. 12.
70
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) memotivasi anak mengulangi sikap baiknya, dan menyatakan bahwa perilaku anak memiliki makna baik dan dapat diterima oleh lingkungan. Perlu diperhatikan, bahwa pemberian hadiah jangan sampai memiliki makna yang sama dengan sogokan. Orang tua pun harus konsisten dalam memberikan pujian atau hadiah lainnya. Hukuman sebagai salah satu metode untuk mendisiplinkan anak sebenarnya masih terus menjadi bahan peredebatan. Namun apapun alasannya, hukman tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, atau katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yang bertujuan untuk menyadarkan anak agar kembali pada hal-hal benar atau tertib.24 Hukuman yang terlalu sering, berdampak mempermalukan anak, dan mengandung ancaman justru dapat membuat sikap anak menjadi negatif. Beberapa contoh hukuman edukatif yang dapat diterapkan para orang tua antara lain, menampakkan wajah masam, menugaskan anak untuk bersih-bersih, menyuruh anak meminta maaf, menyuruh anak berjanji untuk tidak akan mengulangi, mengurangi jatah waktu bermain, dan lain sebagainya. Mengubah perilaku anak juga dapat dilakukan dengan dialog-dialog positif. Misalnya, untuk meminta anak membereskan mainannya, orang tua bisa menggunakan kata ‘tolong’. Selain itu, orang tua pun harus senantiasa mengasuh dengan cinta agar memiliki tabungan kesabaran dalam mendidik anak. Pada prinsipnya, anak-anak memiliki pengharapan yang sama seperti orang dewasa. Mereka ingin dihargai, disayangi, dimengerti, dan diberikan batas tolerasnsi. Oleh karena itu, orang tua pun harus bijaksana dalam mendidik anak, memberikan pengertian dan pemahaman, memberikan pujian secara tepat, dan memberikan hukuman edukatif yang dapat mengasah aspek emosi positif anak. Hadiah dan hukuman yang proporsional akan mengantarkan anak untuk berperilaku sesuai ajaran moral. Anak yang mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya akan tumbuh lebih sehat, baik secara emosi, sosial, maupun ruhani. Anak yang demikian akan merasa bahwa dirinya penting, berharga, dan patut untuk dicintai. Hal ini akan membuat anak menjadi lebih leluasa mengembangkan dirinya, merasa diterima seutuhnya, dan kelak akan lebih mudah pula untuk mengasihi orang lain.25 Kasih sayang sesungguhnya merupakan inti dari strategi untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak. Dengan menerapkan pengasuhan berbasis kasih sayang, tentu para orang tua akan dengan mudah menuai keberhasilan dalam mendidik anak.* 24 25
Ibid, hlm. 69. Ibid, hlm. 146.
71
Budiharjo
72
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
BAB IV PERAN SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
A. Mewujudkan Sekolah Ramah Anak Jika anak hidup dengan keramahan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk hidup. (Dorothy Law) Trend meningkatnya kekerasan di sekolah menyulut kegelisahan para penggiat perlindungan anak baik secara personal maupun secara kelembagaan. Tidak terkecuali Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga Negara independent yang memiliki tugas pokok mengefektifkan perlindungan anak ini terus berupaya agar kekerasan anak di sekolah dapat dieliminer, diantaranya mendorong terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA) yang telah digagas oleh berbagai pihak.1 Sekolah yang seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi anak mulai menjadi sebuah lingkungan yang mengancam. Sistem pembelajaran sekolah yang kurang ramah dapat mengakibatkan anak-anak menumpahkan emosi negatif dan kemarahan di lingkungan sekolah. Pada titik inilah, semestinya disadari bahwa diperlukan lingkungan yang ramah anak dalam dunia pendidikan. Dewasa ini, konsep sekolah ramah anak pun semakin berkembang. Sekolah ramah anak memiliki fungsi inti dalam membentuk karakter siswa menjadi good and smart. Sekolah ramah anak juga menjadi sentra pendidikan nilai-nilai keluhuran bangsa. Secara tidak tampak namun berdampak, kehadiran sekolah ramah anak sesungguhnya menjadi sistem penjaga budaya ramah tamah bangsa. Sekolah ramah anak dapat dimaknai sebagai sekolah yang dapat memfasilitasi dan memberdayakan potensi anak. Anak bukanlah 1
kpai.go.id.
73
Budiharjo miniatur orang dewasa. Anak memiliki dunia khas yang sesuai dengan rentang tahapan perkembangan dirinya. Bahkan bagi anak-anak, bermain merupakan aktivitas yang serius. Menghargai kemampuan dan potensi anak merupakan pintu pertama untuk dapat mencintai dan menerima anak secara positif tanpa syarat. Menerima positif tanpa syarat berarti memahami modalitas siswa, mengapresiasi, dan tidak menghina atau mencela anak. Mencela dan menyakiti anak memiliki dampak yang negatif bagi anak. Anak-anak yang mendapat celaan di sekolah memiliki konsep diri negatif, mudah marah, mudah frustasi, dan mudah melakukan kekerasan kepada teman-teman bahkan gurunya. Dalam belajar dan bermain, anakanak berhak mendapatkan perlakuan yang menyenangkan. Di dalam sekolah, guru hendaknya menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi dalam rangka memupuk emosi positif. Selain belajar, anak-anak juga memiliki hak untuk bermain. UNESCO menyatakan anak dengan sebuah ungkapan, right play (hak bermain). Bermain menjadi bagian dari dunia anak. Bagi anak, bermain dapat mendukung perkembangan aneka ragam kecerdasan. Manfaat bermain bagi anak antara lain, memeroleh kesenangan, menjalin persahabatan, merasa bahagia, dan mempelajari keterampilan baru. Tujuan positif itu dapat dicapai jika aktivitas anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Sekolah perlu membingkai makna, bahwa dalam bermain, tidak penting menang atau kalah. Yang paling penting dalam bermain adalah masing-masing anak terhibur, menjadi bahagia, semakin menghargai persahabatan. Guru juga perlu adil dalam membagi perhatian dan kasih sayang, sehingga anak-anak merasakan kasih sayang yang fair dalam pendidikan. Sekolah yang ramah anak semestinya dapat dinikmati seluruh siswa. Pembelajaran yang ramah bagi anak memiliki manfaat antara lain, kepercayaan diri anak berkembang, anak semakin mampu belajar secara mandiri, berinteraksi secara aktif bersama teman dan guru, belajar menerima perbedaan, dan beradaptasi terhadap perbedaan. Kesinambungan tersebut mendukung anak menjadi lebih kreatif dalam mengikuti pelajaran dan menikmati kehidupan. Bagi guru pun, sekolah ramah anak memiliki kebermanfaatan yang besar. Melalui pola pembelajaran yang ramah anak, guru mendapat kesempatan belajar cara mengajar yang baru dalam melakukukan pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam. Selain itu, guru mampu mengatasi tantangan, mengembangkan sikap yang positif terhadap anggota masyarakat, dan memiliki peluang untuk menggali gagasan74
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) gagasan baru melalui komunikasi dengan orang lain baik di dalam dan di luar sekolah. Selain itu, guru juga mampu mengaplikasikan gagasan baru dan mendorong peserta didik lebih proaktif, kreatif, dan kritis. Sekolah ramah anak kini semakin dirindukan. Ini menjadi PR bagi kita semua, khususnya para stake holder pendidikan. Sekolah ramah anak diharapkan menjadi lingkungan yang mampu mengembangkan kepribadian siswa yang good and smart. Secara strategis, sekolah ramah anak merupakan lingkungan pendidikan ideal bagi siswa untuk mampu berkembang sesuai dengan potensi terbaiknya. Sebab, ketika anak-anak mendapatkan perlakuan pendidikan yang manusiawi, maka ia pun akan belajar untuk melestasrikan sikap-sikap humanis di kemudian hari. Pada kenyataannya, sekolah ramah anak ialah sekolah yang selalu bersikap ramah kepada anak didiknya. Ramah adalah baik dan manis tutur kata atau sikapnya, dan suka bercakap-cakap dengan begitu karibnya.2 Sedangkan, sekolah ramah anak diartikan sebagai sekolah yang bukan hanya tempat untuk memperoleh pengetahuan, atau informasi sebanyak-banyaknya, namun yang lebih penting dari itu ialah sebagai wadah bagi guru dan siswa untuk bersama-sama belajar, mengamati, sehingga belajar dapat dilakukan dengan tenang dan tanpa perasaan tertekan.3 Dengan demikian, sekolah ramah anak merupakan kekuatan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Walaupun sudah terdapat berbagai peraturan dan kebijakan mengenai perlindungan anak, hak-hak anak untuk mamperoleh pendidikan yang layak anak masih belum dapat terwujud dengan maksimal. Terbukti, masih banyak anak didik yang merasa tertekan secara psikologis di sekolah, menjadi sasaran bulliying, dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu melahirkan keprihatinan, sebab dengan adanya perasaan tertekan, anak didik tidak akan mampu memiliki konsentrasi yang baik dalam belajar. Bahkan, citra dirinya akan menjadi negatif dan hal ini akan sangat buruk bagi perkembangan kepribadiannya. Sekolah ramah anak adalah sebuah konsep sekolah yang terbuka, berusaha mengaplikasi pembelajaran yang memperhatikan perkembangan psikologis siswanya. Mengembangkan kebiasan belajar sesuai dengan kondisi alami dan kejiwaan anak. Model sekolah ramah anak lebih banyak memberikan prasangka baik kepada anak, guru menyadari tentang potensi yang berbeda dari 2 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 793. 3 Dra. Wiji Hidayati, M.Ag dan Sri Purnami, S.Psi, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Teras, 2008) hlm. 134-135.
75
Budiharjo semua peserta didiknya sehingga dalam memberikan kesempatan kepada siswanya dalam memilih kegiatan dan aktivitas bermain yang sesuai minatnya.4 Di dalam sekolah ramah anak, diharapkan anak-anak mampu menikmati proses belajar di dalam suasana yang menyenangkan. Menurut UNICEF Innocentty Research dalam kata ramah anak (CFC), ramah anak berarti menjamin hak anak sebagai warga kota. Sedangkan Anak Indonesia dalam masyarakat ramah anak mendefinisikan kata ramah anak berarti masyarakat yang terbuka, melibatkan anak dan remaja untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan anak.5 Sehingga, dapat dikatakan bahwa ramah anak berarti menempatkan, memperlakukan dan menghormati anak sebagai manusia dengan segala hak-haknya. Dengan demikian ramah anak dapat diartikan sebagai upaya sadar untuk menjamin dan memenuhi hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggungjawab. Prinsip-prinsip dalam penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) disusun berdasarkan dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak Pasal 5. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: 1. Tata pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan informasi, dan supremasi hukum 2. Non diskriminasi, yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya 3. Kepentingan terbaik bagi anak, yaitu menjadikan hal yang paling baik bagi anak sebagai pertimbangan dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan 4. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, yaitu menjamin hak anak untuk hidup dan tumbuh kembang semaksimal mungkin dalam semua aspek kehidupannya, termasuk aspek fisik, emosional, psikososial, kognitif, sosial, budaya 5. Penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak memiliki hak untuk berkumpul secara damai, berpartisipasi aktif dalam setiap aspek yang mempengaruhi kehidupan mereka, untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang 4
Zainal Aqib, Sekolah Ramah Anak (Jakarta: Yrama Widya, 2008) hlm. 96. Education Section Programme Division, UNICEF, Child Friendly School— Sekolah Ramah Anak-- .(New York: UNICEF., 2009), hlm. 35. 5
76
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) mempengaruhi dirinya dan mendapatkan pendapat mereka didengar dan ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Dalam rangka mewujudkan Sekolah Ramah Anak diperlukan peran dari berbagai pemangku kepentingan yang terdiri dari pemerintah, satuan pendidikan, media massa, masyarakat, dan keluarga. Peran-peran tersebut diantaranya:6 a. Pemerintah Melakukan sosialisasi dan advokasi penerapan SRA, Sinkronisasi kebijakan penerapan SRA dan pengintegrasiannya ke dalam tugas dan fungsi kewenangan masing-masing instansi, Koordinasi dalam meningkatkan kapasitas Sekretariat Tim Pembina UKS/M menjadi Sekretariat Tetap untuk Pembinaan dan Pengembangan Gerakan Aman, Sehat, Hijau, Inklusi dan Ramah bagi Anak dalam dukungan keluarga di sekolah/madrasah, Pemantauan dan Evaluasi penerapan SRA di tingkat nasional dan Memperkuat peran Gubernur dan Bupati/Walikota dalam upaya Penerapan SRA. b. Pemerintah Kabupaten/Kota Menyusun peraturan daerah dalam mendukung upaya penerapan SRA, menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai SRA dalam pengambilan kebijakan terkait PHPA secara langsung maupun tidak langsung, meningkatkan partisipasi publik termasuk anak dalam melakukan optimalisasi penerapan SRA melalui alokasi sekurang-kurangnya 20 (duapuluh) persen dari APBD untuk pendidikan dalam kelima ruang lingkupnya dan melakukan pembinaan, pengendalian, pengawasan dan pelaporan terhadap penerapan SRA. c. Kecamatan dan Kelurahan/Desa Melakukan koordinasi dan sinkronisasi penerapan SRA dan Melakukan pendampingan, supervisi dan pemantauan terhadap penerapan SRA serta Pembinaan dan bimbingan penerapan SRA. d. Satuan Pendidikan Menyusun rencana kegiatan penerapan SRA, koordinasi dengan para pemangku kepentingan melalui Komite sekolah/ madrasah, menerapkan SRA, dan menyusun pelaporan terhadap penerapan SRA. e. Media Massa Membangun pencitraan yang baik terhadap penerapan SRA 6 Yusuf Supiandi, dkk, Petunjuk Teknis Penerapan Sekolah Ramah Anak (Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak , 2012), hlm. 25.
77
Budiharjo secara transparan dan bertanggung jawab dan sosialisasi dan publikasi praktik-praktik baik penerapan SRA. f. Masyarakat Masyarakat penyelenggara pendidikan formal, PAUD, pendidikan nonformal/informal berupaya secara sungguhsungguh untuk menerapkan SRA, masyarakat secara proaktif memberikan dukungan sumber daya yang diperlukan dalam penerapan SRA, Masyarakat dapat bekerjasama dalam melakukan kajian kerentanan anak terhadap masalah-masalah yang menghambat penerapan RA; dan secara proaktif melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kebijakan dan alokasi anggaran penerapan SRA. g. Keluarga Keluarga terutama orangtua/wali, guru dan anak melakukan diskusi rutin mengenai perkembangan penerapan SRA, Keluarga terutama orangtua/wali bersama-sama dengan warga sekolah/ madrasah menyusun Rencana Tahunan Penerapan SRA, Prinsipprinsip dan nilai-nilai SRA diterapkan oleh orangtua/wali dan anggota keluarga dalam pendidikan, perawatan dan pengasuhan anak sejak usia dini untuk menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; dan Keluarga dapat bergabung dalam komunitas tertentu untuk mendukung anak-anak mereka dalam mempelajari, memantau dan menyebarluaskan penerapan SRA. h. Anak Peserta didik memanfaatkan ruang apresiasi dalam melembagakan aktivitas penerapan SRA di bawah koordinasi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Peserta didik menjadi tutor sebaya bagi sekolah/madrasah yang belum atau telah menerapkan SRA; dan Peserta didik dapat membentuk atau bergabung dengan Forum Anak di tingkat Kabupaten/Kota dan berpartisipasi secara aktif menggiatkan SRA. Sekolah ramah anak merupakan angin segar bagi perjalanan pendidikan di Indonesia. Perlahan, banyak sekolah yang mulai berkomitmen untuk menerapkan sekolah ramah anak. Sekolah ramah anak sesungguhnya merupakan kebutuhan setiap anak. Di dalam sekolah yang ramah anak, diharapkan anak-anak akan lebih menguasai karakter-karakter yang positif. Dengan demikian, kehadiran sekolah ramah anak sangat bermakna dalam mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas.
78
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) B. Mendesain dan Memfasilitasi Pendidikan Karakter di Sekolah Pendidikan dan Pembelajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki pengertian yang sama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pembelajaran adalah kata benda yang diartikan sebagai proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Pembelajaran merupakan upaya sistematis untuk memfasilitasi dan meningkatkan proses belajar. Menurut Corey sebagaimana dikutip Nyimas Aisyah, pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.7 Pendidikan dan pembelajaran merupakan dua entitas yang memiliki keterkaitan erat. Pendidikan karakter di Indonesia pada saat ini diperlukan semua orang, yakni untuk 250 juta rakyat Indonesia.8 Sesungguhnya, bangsa ini sudah lama mendambakan terselenggaranya pendidikan karakter secara egaliter. Pendidikan karakter dengan tawaran out put yang mampu mencetak sikap-sikap yang luhur merupakan kebutuhan semua insan. Dengan memiliki karakter positif, seseorang akan mampu menyesuaikan diri dalam setiap situasi. Tidak hanya itu, kepribadian dan karakter yang baik merupakan pertahanan psikologis yang dapat membawa pada kesuksesan dan kebahagiaan. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan karakter adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memerhatikan pertimbangan psikologis untuk pertimbangan pendidikan. Tujuan pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab.9 Dengan karakter yang baik, setian insan akan mampu menjadi manusia yang memiliki sisi kemanusiaan yang utuh, mulia, dan terpuji. Sekolah hendaknya menghasilkan para lulusan yang bermutu, yang menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan mengembangkan nilai-nilai martabat manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Pendidikan kita pada hakikatnya menghendaki terciptanya manusia Pancasila yang mampu dan mampu menjalankan hidupnya sesuai dengan martabat 7 Nyimas Aisyah, Pengembangan Pembelajaran Matemática Sekolah Dasar (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Nasional, 2007), hlm. 3. 8 Gede Raka, dkk., Pendidikan Karakter Di Sekolah: Dari Gagasan Ke Tindakan, (Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, Kompas Gramedia, 2011), hlm. 6. 9 Zuchdi, Humanisasi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 39.
79
Budiharjo kemanusiaan secara seimbang, lahir dan batin. 10 Secara legal formal, sekolah merupakan lembaga yang memiliki peluang dalam mengajarkan pendidikan karakter. Adapun, tujuan pendidikan karakter di sekolah dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik mengembangkan karakter terutama yang tercakup dalam butir-butir Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Sehingga, mereka menjadi insan yang berkepribadian mulia (cerdas dan kompetitif). Sedangkan, sasaran pendidikan karakter di sekolah dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik mengembangkan karakter terutama yang tercakup dalam butir-butir Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sehingga mereka menjadi insan yang berkepribadian mulia (cerdas dan kompetitif).11 Dengan demikian, sekolah telah memiliki suatu manajemen yang efektif dalam menyelenggarakan pendidikan karakter. Kekuatan manajemen ini mejadi kabar baik bagi keberhasilan pendidikan karakter di dunia pendidikan. Untuk mendukung perkembangan karakter, peserta didik harus melibatkan seluruh komponen sekolah baik dari aspek kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the procces of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationship), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktifitas kokurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah. Hal ini menuntut agar pimpinan sekolah memiliki paradigma yang arif dalam proses penyelenggaraan pendidikan karakter. Pendidikan kareakter di sekolah, merupakan proses penciptaan suasana masyarakat yang hidup dengan pijakan kokoh nilai-nilai nasionalisme yang kuat, yang diperoleh melalui penanaman nilai entity dan identity dari kearifan lokal (local wisdom), serta memiliki kemampuan peradaban tinggi setara dengan perkembangan dunia. Manusia-manusia berkualitas yang diharapkan bukan manusia yang lepas dari akar budayanya, melainkan manusia yang tetap berpijak dan memiliki mainstream identity sendiri sebagai wujud kesadaran ethinisitas untuk merekat kerenggangan atau konflik masyarakat dalam paradigma terbuka mengembangkan sikap menerima kehadiran dan hidup bersama kebudayaan lain sebagai suatu entity untuk berkembang meraih kemajuan peradaban.12 Pendidikan 10 Prof. Dr. H. Sutoyo Imam Utoyo, M.Pd., Pencarian Makna Nilai-Nilai Etos Kerja dalam Pengembangan Pribadi dan Karir Guru (Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang, 2002), hlm. 6. 11 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 12 Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, ( Jakarta: Rieneka Cipta, 2007), hlm. 15.
80
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) karakter di sekolah dengan demikian juga mengaksentuasikan pada perawatan tradisi lokal sebagai sumber kekayaan budaya bangsa. Menurut Muslich, pendidikan karakter di sekolah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran ada setiap mata pelajaran yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai pada setiap mata pelajaran yang dieksplisitkan melalui pengaitan antara mata pelajaran dengan nilai kehidupan sehari-hari dalam masyarakat sekitarnya, sehingga pembelajaran yang diisi dengan nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.13 Sedangkan, menurut Umi Kalsum, pendidikan karakter sangat cocok diterapkan dalam pendidikan formal (sekolah) karena tujuannya menanamkan karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.14 Pelaksanaan pendidikan karakter yang terintergrasi dalam pembelajaran akan membuat penanaman nilai moral menjadi efektif. Dalam konteks implementasi pendidikan karakter di sekolah, maka agar guru harus memiliki karakter terlebih dahulu. Menurut Hidayatullah, guru berkarakter, bukan hanya mampu mengajar tetapi ia juga mampu mendidik. Ia bukan hanya mampu mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi ia juga mampu menanamkan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengarungi hidupnya. Ia (guru) bukan hanya memiliki kemampuan bersifat intelektual, tetapi memiliki kemampuan spiritual sehingga mampu membuka hati peserta didik untuk belajar, yang selanjutnya adalah kemampuan interpersonal sehingga mampu hidup dengan baik di tengah-tengah masyarakat.15 Tidak bisa dimungkiri, dalam dunia pendidikan, guru menjadi figur penting dalam pendidikan karakter. Terkait dengan penerapan pendidikan karakter di sekolah, Doni A. Kusuma mengajukan 5 (lima) metode pendidikan karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praktis prioritas dan refleksi.16 1. Mengajarkan. Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep13 Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hlm. 86. 14 Umi Kalsum, Implementasi Pendidikan Karakter Paikem. (Jakarta: Gema Pratama Pustaka ,2011), hlm. 6 15 Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban bangsa (Surakarta: Yuma Pressindo, 2010), hlm. 25. 16 Doni A. Kusuma, Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: PT Grasindo, 2007) hlm 212-217.
81
Budiharjo konsep nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan, dan maslahatnya. Mengajarkan nilai memiliki dua faedah: pertama, memberikan pengetahuan konseptual baru, dan kedua, menjadi pembanding atas pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses mengajarkan tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik. 2. Keteladanan. Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan menepati posisi yang sangat penting. Oleh karena itu, guru harus terlebih dahulu memiliki karakter yang hendak diajarkan. Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya ketimbang yang dilaksanakan sang guru. Meski demikian, keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut. Keteladanan juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter. 3. Menentukan Prioritas. Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas berhasil atau tidak nya pendidikan karakter dapat menjadi jelas, tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki kewajiban. Pertama, menentukan tuntutan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik. Kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang akan ditekankan pada lembaga pendidikan karakter ketiga. Jika lembaga ingin menentukan perilaku standar yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter lembaga itu harus dipahami oleh anak didik, orang tua dan masyarakat. 4. Praktis Prioritas. Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah bukti dilaksanakan prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah dapat direalisasikan dalam lingkungan pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam lembaga pendidikan itu. 82
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 5. Refleksi. Refleksi berarti dipantulkan ke dalam diri. Setiap pengalaman yang masih tetap terpisah dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, maka dipantulkan dengan isi kesadaran seseorang. Refleksi juga dapat disebut sebagai proses bercermin, mematutmatutkan diri ada peristiwa. konsep yang telah teralami. Pada kenyataannya, penerapan pendidikan karakter idealnya juga mengacu pada sembilan pilar karakter. Pilar-pilar tersebut antara lain,17 1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty), yaitu bentuk karakter yang membuat setiap siswa wajib bertakwa kepada Tuhan, beriman, mampu menjalankan segala perintahNya, dan berusaha untuk meninggalkan segala laranganNya. 2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness). yaitu bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Dalam pembelajaran, siswa dituntut untuk bertanggung jawab atas semua pekerjaan yang telah dikerjakan (berani mengambil resiko apabila salah), disiplin waktu mengerjakan pekerjaan dan dikerjakan secara mandiri dan baik. 3. Kejujuran (amanah) dan arif (trustworthines, honesty, and tactful), yaitu karakter yang membuat siswa bertindak jujur. Oleh karena itu dalam melakukan suatu pekerjaan atau proyek penugasan, siswa dituntut untuk terbuka atau apa adanya dalam setiap tindakan, tidak berbohong dan berlaku arif. 4. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience ), yaitu bentuk karakter yang membuat siswa dan guru selalu menghargai dan menghormati. Siswa dituntut untuk santun terhadap guru, teman, serta warga sekolah . 5. Dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation), yaitu bentuk karakter yang membuat warga belajar, yaitu siswa dan guru memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap siswanya maupun kondisi sosial lingkungan sekitar. 6. Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity,resourcefulness, courage, determination, enthusiasm), yaitu bentuk karakter yang membuat siswa mempunyai sikap percaya diri, tegas dalam menentukan sesuatu, kreatif, mempunyai akal sehat, berani menghadapi tantangan, mempunyai tekad tinggi, 17
repository.uin-suska.ac.id
83
Budiharjo dan selalu bersemangat. 7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership), Yaitu bentuk karakter yang membuat siswa mempunyai jiwa adil, mempunyai rasa belas kasihan, dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik. 8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty), yaitu bentuk karakter yang membuat warga belajar mempunyai sifat baik, ramah, rendah hati, kesederhanaan 9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity), yaitu bentuk karakter yang membantu siswa mempunyai rasa toleransi dengan teman, fleksibilitas, kedamaian, persatuan. Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan (planning), dilaksanakan (actuating), dan dikendalikan (evaluation) dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain seperti nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan atau komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam aplikasi pendidikan karakter di sekolah. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan.18 Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah merupakan buah dari sinergi yang dilakukan antara guru, kepala sekolah, siswa, dan seluruh staf. Di dalam penyelenggaraan pendidikan karakter, terdapat komponen-komponen yang harus diperhatikan. Komponenkomponen yang terdapat dalam manajemen pendidikan karakter di sekolah antara lain:19 1. Kurikulum Dalam pendidikan karakter, muatan kurikulum yang direncanakan tidak hanya dilaksanakan di dalam kelas semata, namun perlunya penerapan kurikulum secara menyeluruh (holistik), baik dalam kegiatan eksplisit yang diterapkan dalam ekstra kurikuler, maupun kokurikuler, dan pengembangan diri. Kurikulum sendiri merupakan ruh sekaligus guide dalam praktik pendidikan di lingkungan satuan sekolah. Gambaran kualifikasi yang diharapkan melekat pada setiap lulusan sekolah akan tercermin dalam racikan 18 Novan Ardi Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter; Manajemen Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasinya di Sekolah, (Yogyakarta, PT Pustaka Insan Madani, 2012), hlm.78 19 Ibid, hlm. 49.
84
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) kurikulum yang dirancang pengelola sekolah yang bersangkutan. Kurikulum yang dirancang harus berisi tentang grand design pendidikan karakter, baik berupa kurikulum formal maupun hidden curriculum, kurikulum yang dirancang harus mencerminkan visi, misi dan tujuan sekolah yang berkomitmen terhadap pendidikan karakter. Untuk merancang pendidikan karakter harus ada nilai-nilai yang diintegrasikan, antara lain nilai keutamaan, keindahan, kerja, cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, moral, dan nilai kemanusiaan. Nilainilai tersebut bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan Nasional. Langkah-langkah dalam mengembangkan kurikulum pendidikan karakter antara lain:20 a. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan pendidikan karakter b. Merumuskan Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah c. Merumuskan indikator perilaku peserta didik d. Mengembangkan silabus dan rencana pembelajaran berbasis pendidikan karakter. e. Mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan karakter ke seluruh mata pelajaran. f. Mengembangkan instrumen penilaian pendidikan untuk mengukur ketercapaian program pendidikan karakter g. Membangun komunikasi dan kerjasama sekolah dengan orangtua peserta didik. Secara lebih sederhana, Najib menguraikan beberapa penawaran penerapan pendidikan karakter. Menurutnya terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan sekolah untuk melaksanakan pendidikan karakter, dan secara keseluruhan merupakan gambaran dari pelaksanaan kurikulum yang holistik, di antaranya:21 1. Memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: a. Menanamkan nilai kebaikan kepada peserta didik b. Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik c. Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik d. Melaksanakan perbuatan baik 2. Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah. Terdapat beberapa 20 21
Ibid, hlm 94-135. Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, hlm. 15-20
85
Budiharjo contoh slogan untuk membangun kebiasaan. Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk karakter serta mengembangkan potensi siswa. Keberadaan guru di tengah masyarakat bisa dijadikan teladan dan rujukan masyarakat sekitar. Bisa dikiaskan, guru adalah penebar cahaya kebenaran dan keagungan nilai. Hal inilah yang menjadikan guru untuk selalu on the right track, pada jalan yang benar tidak menyimpang dan berbelok, sesuai dengan ajaran agama yang suci, adat istiadat yang baik dan aturan pemerintah.22 Guru yang berkarakter baik memiliki kesempatan yang besar untuk mendidik siswa sehingga memiliki karakter yang baik. Oleh karena itu, pendidikan karakter bagi calon guru di perguruan tinggi harus mendapat perhatian yang berlimpah demi membentuk karakter yang positif pada calon guru. C. Menegakkan Etos Kerja Pancasila di Sekolah Etos kerja Pancasila harus ditegakkan di dalam sekolah. Dengan etos kerja yang baik, profesionalisme dalam dunia pendidikan akan mudah ditegakkan. Siswa juga memerlukan teladan dari cara bekerja para guru demi menyerap nilai-nilai dan karakter kebaikan. Dengan demikian, di dalam pendidikan karakter, pendidik dituntut untuk menerapkan etos kerja Pancasila. Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani akar katanya adalah ethikos, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya arti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Etos, kata Greetz adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.23 Dengan demikian, etos kerja Pancasila merupakan pemikiran yang nilainilainya dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila, yang tidak tertulis secara eksplisit, tetapi harus digali lebih dalam, khususnya pada sila Ketuhanan yang Maha Esa. Etos kerja Pancasila memiliki sisi keunikan. Keunikan etos kerja ini dengan etos kerja lainnya bisa dilihat dari 10 ciri utamanya, yaitu 1. Spesialisasi 2. Rasionalitas 3. Sistematis 22 Novan Ardi Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter; Manajemen Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasinya di Sekolah, (Yogyakarta, PT Pustaka Insan Madani, 2012), hlm. 82. 23 Taufik Abdullah, Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 3
86
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 4. Efisiensi 5. Konsistensi 6. Kerajinan 7. Kerja keras 8. Ketekunan 9. Pengharapan 10. Cinta Kasih Tentu saja, bukan hanya itu saja nilai-nilai dalam sistem kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Masih ada nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, kesopanan, tolong menolong, dan bersikap ramah, serta nilai-nilai etis lainnya. Namun, hanya sepuluh nilai yang ingin ditonjolkan sebagai bentuk sederhana dari etika kerja Pancasila. Bila mau dijabarkan dalam bentuk prasa, berikut adalah etos kerja yang hendak disodorkan kepada putra-putri Indonesia, 1. Bekerja dengan Rasa Tanggung-jawab 2. Bekerja pada Pekerjaan Sesuai Bakat, 3. Bekerja Secara Rasional, 4. Bekerja Secara Sistematis, 5. Bekerja dengan Efisien, 6. Bekerja Keras, 7. Bekerja dengan Rajin, 8. Bekerja dengan Tekun, 9. Bekerja dengan Pengharapan, 10. Bekerja dengan Cinta Kasih. Seperti visi Indonesia Raya, etika kerja Pancasila masih dalam bentuk cita-cita. Namun, dengan etos kerja inilah bangsa Indonesia mampu mencapai negara yang adil dan makmur, cita-cita yang diikrarkan oleh para pendiri bangsa ini.24 Dengan menerapkan etos kerja Pancasila, diharapkan pendidikan karakter di sekolah akan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Selain menerapkan etos kerja Pancasila, guru juga diharapkan mampu bekerja sesuai dengan kode etik professional. Secara profesional, guru memiliki kode etik yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Kode etik guru juga diharapkan menjadi pembentuk karakter khas dalam kepribadian guru. Sehingga, hal itu mewujudkan perilaku terpuji di dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang 24
putra-putri-indonesia.com
87
Budiharjo mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng Sutisna pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta didik. Sebagai kalangan profesional, sudah waktunya guru Indonesia memiliki kode etik dan sumpah profesi. Guru juga harus memiliki kemampuan sesuai dengan standar minimal sehingga nantinya “tidak malpraktik” ketika mengajar.25 Kode etik guru seharusnya ditaati. Sehingga, dengan ketaatan pada kode etik guru, charisma guru sebagai pendidik pun akan semakin bercahaya. Ketaatan guru pada kode etik akan mendorong mereka berperilaku sesuai dengan norma- norma yang dibolehkan dan menghindari norma-norma yang dilarang oleh etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi atau asosiasi profesinya selama menjalankan tugas-tugas profesional dan kehidupan sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Dengan demikian, aktualisasi diri guru dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran secara profesional, bermartabat, dan beretika akan terwujud. Pendidikan karakter hanya akan berhasil jika memiliki figur teladan. Dalam hal ini, guru merupakan figur teladan yang paling tepat untuk menyukseskan pendidikan karakter kebangsaan. Dalam rangka menyukseskan pendidikan karakter, berbagai kegiatan ekstrakurikuler penunjang pendidikan karakter sebaiknya diselenggarakan dengan pengelolaan yang profesional. Anakanak membutuhkan aktivitas positif untuk dapat menyalurkan minat, bakat, dan energinya. Melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, anak-anak akan belajar menerapkan etika dan moral secara langsung. Program-program di sekolah seperti Pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau, olimpiade sain dan seni, serta kesenian tradisional, misalnya, telah sarat dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.26 Keberadaan program ekstrakurikuler di sekolah sangat mampu untuk menunjang pendidikan karakter kebangsaan. Gerakan Pramuka atau dalam dunia internasional disebut scouting, merupakan organisasi kaum muda yang juga telah berkembang tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. 25
hlm. 98.
Ali Imron, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
26 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Multidimensional ,(Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 140.
88
Tantangan
Krisis
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) Kepramukaan di Indonesia sebelum tahun 1961 lebih sering disebut sebagai gerakan kepanduan. Pramuka sendiri merupakan salah satu segi pendidikan nasional yang penting, yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.27 Pramuka memiliki akar sejarah yang kokoh, dan telah membuktikan pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain menaruh perhatian pada berbagai kegiatan ekstrakurikuler, penting pula untuk memperhatikan kepemimpinan di sekolah. Pendidikan karakter akan berhasil jika dipimpin oleh sosok yang memiliki karakter pemimpin. Sehingga, hal ini menuntut kepala sekolah untuk memiliki sikap kepemimpinan pendidikan. Dengan sikap itu, seseorang akan mampu membawa arah kebijakan pendidikan karakter dengan efektif dan tepat. Kepemimpinan pendidikan adalah suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan serta pengajaran supaya aktivitas-aktivitas yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran.28 Seorang kepala sekolah yang efektif akan mampu mengembangkan pendidikan karakter di sekolah, sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran pun akan tercapai dengan maksimal. Di dalam konteks sekolah, kepala sekolah merupakan pemimpin formal. Kepemimpinan yang bersifat resmi (formal leadership) ialah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu jabatan kepemimpinan yang resmi di dalam pelaksanaannya selalu berada di atas landasanlandasan atau peraturan-peraturan resmi.29 Konsekuensinya, kepala sekolah harus selalu mampu membawa dirinya untuk mengemban amanah dan menggulirkan kebijakan yang berpotensi mendukung terselenggaranya pendidikan karakter yang semakin efektif. Selanjutnya, persyaratan kepribadian kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah adalah:30 1. Personality Melalui sifat-sifat kepribadian yang baik, seseorang dapat 27 Lukman Santosa Z & Nita Zakiyah, Buku Pintar Pramuka (Yogyakarta: INTERPREE BOOK, 2011) hlm 13. 28 Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 271. 29 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi dan Misi Pndidikan Islam (Malang: STAIN Press, 1999) hlm.182. 30 Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)hlm. 78-80
89
Budiharjo memperoleh pengakuan dari orang lain sekaligus menjadi penentu. Kepala sekolah hendaknya memiliki kemampuan yang baik dalam mengambil keputusan bagi kepemimpinannya. 2. Purposes, Seorang pemimpin hendaknya benar-benar memahami tujuan pendidikan sendiri secara jelas. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan di dalam sekolah. 3. Knowledge, Seorang kepala sekolah hendaknya memiliki pengetahuan yang baik dan memadai, sehingga orang yang dipimpin akan menaruh kepercayaan kepada pemimpin. Sebab, otoritas kepemimpinan yang dilengkapi dengan skop pengetahuan luas akan mampu memberikan keputusan yang mantap. 4. Profesional skill, Kepala sekolah hendaknya memiliki ketrampilan-ketrampilan profesional yang efektif dalam fungsi-fungsi administrasi pendidikan. Pada praktiknya, pelaksanaan pendidikan karakter yang mampu membawa hasil optimal dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:31 1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai berbasis karakter. 2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku. 3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter. 4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian. 5. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik. 6. Memiliki cakupan kepada kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka untuk sukses. 7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik. 8. Memfungsikan pada seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama. 31 Jamal Ma’mun Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah (Yogyakarta: DIVA Press, 2012), hlm. 56-57
90
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter. 10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter. 11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guruguru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik. Sebelas prinsip tersebut merupakan kiat untuk mewujudkan pendidikan karakter di sekolah. Sepintas, penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah memang tidak mudah. Akan tetapi, dengan sinergi dari semua pihak, pendidikan karakter di sekolah merupakan suatu keniscayaan. Jika pendidikan karakter di sekolah berhasil, tentu saja sekolah sebagai lembaga pendidikan telah mencetak prestasi puncak, sesuai dengan cita-cita para founding fathers bangsa. D. Mengadakan Evaluasi Pendidikan Karakter Seyogianya, sekolah tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga bertanggungjawab dalam pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peranan sekolah dalam pembentukan karakter.32 Oleh karena itu, sekolah harus tetap berusaha menyelenggarakan pendidikan karakter demi melahirkan peserta didik yang berkarakter baik. Perlu diingat bersama, bahwa tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah justru akan memberikan nilai plus bagi pihak sekolah. Bahkan, tidak hanya bagi sekolah saja, melainkan juga bagi siswa, guru, masyarakat, bahkan bangsa. Secara operasional, tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah adalah sebagai berikut:33 1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. 2. Mengoreksi peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan 32 Zubaiedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lenbaga Pendidikan (Jakarta: Kharisma Putera Utama, 2011), hlm. 14. 33 Dharma kesuma, dkk, Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 9.
91
Budiharjo masyarakat dalam memerankan tanggung jawab karakter bersama. Selanjutnya, sekolah yang telah menyelenggarakan pendidikan karakter perlu untuk mengadakan evaluasi pendidikan karakter. Evaluasi ini penting dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pendidikan karakter. Dengan evaluasi, maka pihak sekolah akan memiliki gambaran tentang profil pencapaian pendidikan karakter di sekolah. Pada gilirannya, hal itu akan menjadi saran bagi sekolah agar semakin sukses dalam melakukan penyelenggaraan pendidikan karakter. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di tingkat satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-langkah berikut:34 1. Mengembangkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan atau disepakati. 2. Menyusun berbagai instrumen penilaian. 3. Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator. 4. Melakukan analisis dan evaluasi. 5. Melakukan tindak lanjut. Cara penilaian pendidikan karakter pada peserta didik dilakukan oleh semua guru. Penilaian dilakukan setiap saat, baik dalam jam pelajaran maupun diluar jam pelajaran, di kelas maupun di luar kelas dengan cara pengamatan dan pencatatan. Untuk keberlangsungan pelaksanaan pendidikan karakter, perlu dilakukan penilaian keberhasilan dengan menggunakan indikator-indikator berupa perilaku semua warga dan kondisi sekolah yang teramati. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai strategi.35 Dengan penilaian ini, baik guru maupun siswa dapat mengetahui seberapa berhasil proses penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Monitoring secara umum bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas program pembinaan pendidikan karakter sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, secara rinci tujuan monitoring dan evaluasi pembentukan karakter adalah sebagai berikut: 36 34
2011
Kementrian Pendidikan Nasional, Panduan pelaksanaan pendidikan kareakter
35
Novan Ardi Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasinya Di Sekolah (Yogyakarta: Pedagogia, 2012) hlm. 90. 36 repository.uin-suska.ac.id
92
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) 1. Melakukan pengamatan dan pembimbingan secara langsung keterlaksanaan program pendidikan karakter di sekolah. 2. Memperoleh gambaran mutu pendidikan karakter di sekolah secara umum. 3. Melihat kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program dan mengidentifikasi masalah yang ada, selanjutnya mencari solusi yang komprehensif agar program pendidikan karakter dapat tercapai. 4. Mengumpulkan dan menganalisis data yang ditemukan di lapangan untuk menyusun rekomendasi terkait perbaikan pelaksanaan program pendidikan karakter ke depan. 5. Memberikan masukan kepada pihak yang memerlukan untuk bahan pembinaan dan peningkatan kualitas program pembentukan karakter. 6. Mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program pembinaan pendidikan karakter di sekolah. Hasil monitoring dan evaluasi dari implementasi program pembinaan pendidikan karakter digunakan sebagai acuan untuk menyempurnakan program, mencakup penyempurnaan rancangan, mekanisme pelaksanaan, dukungan fasilitas, sumber daya manusia, dan manajemen sekolah yang terkait dengan implementasi program. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan karakter menjadi lebih terprogram dan terkontrol. Selanjutnya, evaluasi akan mampu meningkatkan nilai keberhasilan pendidikan karakter di sekolah.*
93
Budiharjo
94
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
BAB V MERAWAT PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
A. Mewujudkan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang Kasih sayang merupakan kebutuhan universal bagi seluruh manusia. Begitu pun di dalam pendidikan, kasih sayang merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Pendidikan yang berbasis kasih sayang akan mampu memberikan kenyamanan psikologis bagi peserta didik. Selain itu, akan terjalin pula hubungan yang hangat, sehingga belajar dapat dilalui dengan suasana yang penuh dengan suasana harmonis dan penuh nilai-nilai kebaikan. Menurut Azyumardi Azra, sesuatu yang akan diraih melalui proses pendidikan adalah proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Dan, proses tersebut melibatkan aspek-aspek pendidikan yaitu pengetahuan – proses transfer ilmu, transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.1 Selanjutnya, pendidikan dan kasih sayang merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan akan menjadi efektif dan penuh makna manakala dijalani dalam iklim kasih sayang. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pendidikan yang bernuansa kasih sayang seperti yang dikemukakan oleh al-Abrasyi adalah kemampuan pendidik dalam mengarahkan sikap mental anak pada:2 1. Perubahan individu, yakni perubahan pribadi baik dari aspek etika, aktifitas, dan pertumbuhan kepribadian menuju kehidupan yang diharapkan. 1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT. Logos Wacana IImu, 1999), cet. I, hlm. 4. 2 M. Athiyyah Al- Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 167.
95
Budiharjo 2. Perubahan sikap sosial, yakni pendidikan dikaitkan dengan aktifitas sosial pada umumnya, sehingga tercipta tatanan kehidupan yang maju dan bersatu. 3. Profesionalisasi diri, yakni pendidikan yang berkaitan denga pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan kebutuhan kehidupan sosial. Kasih sayang merupakan sesuatu yang sangat universal dan dibutuhkan oleh setiap insan. Karena nilai universalitasnya, kasih sayang dapat digunakan sebagai metode dan strategi pembelajaran yang cukup efektif, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Menurut Abdurrahman Mas`ud, metode yang digunakan harus lebih menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani, religiusitas siswa, serta meningkatkan kepekaan sosialnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berusaha mengenal dan mengerti anak didik lebih dekat, sehingga individual treatment perlu dilakukan. Anak tidak harus diperlakukan secara seragam, tapi beragam.3 Pendidikan berbasis kasih sayang memungkinkan seorang pendidik untuk mengajar dengan hati nurani. Sehingga, setiap anak akan dididik dengan cara yang beragam, sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing anak. Dalam hal ini menurut Abdurrahman Mas`ud, seorang guru harus mengajar hanya berlandaskan cinta kepada sesama umat manusia tanpa memandang status sosial ekonomi, agama, kebangsaan dan sebagainya. Karena misi utama guru adalah mencerdaskan bangsa, mempersiapkan anak didik sebagai individu yang bertanggungjawab dan mandiri, bukan menjadikannya sebagai beban masyarakat. Proses pencerdasan harus berangkat dari pandangan filosofi guru bahwa anak didik adalah individu yang memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan.4 Pendidikan berbasis kasih sayang dengan demikian sangat berpihak pada prinsip pendidikan yang humanis dan positif. Seorang guru yang humanis–bertindak sebagai seorang manusia biasa di samping sebagai seorang guru, menaruh rasa hormat dan penghargaan kepada siswa–merupakan faktor yang menentukan persepsi siswa tentang kemampuan guru menciptakan atmospir yang kondusif untuk belajar. Dalam suasana demikian, siswa merasa leluasa bertanya dan memberikan komentar, mendekati guru untuk melakukan pembicaraan face to face, dan secara keseluruhan akan membuat ruang kelas menjadi penuh semangat dan antusias.5 Hal 3 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Agama Media, 2002), hlm. 201. 4 Ibid, hlm. 194. 5 Jackson, et. al., The Dimension of Students’ Perceptions of Teaching Effectiveness
96
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) tersebut memungkinkan anak didik untuk lebih bergairah dalam belajar. Nilai-nilai kasih sayang yang ada dalam diri pendidik akan sangat mempengaruhi perilaku para siswanya. Maka dengan sendirinya, nilai-nilai tersebut akan tertanam juga dalam diri anak didik. Seluruhnya itu akan terserap oleh anak didik tanpa disadari oleh guru dan orang tua, bahkan anak sendiri pun tidak tahu bahwa ia telah tertarik menjadi kagum dan sayang oleh guru dan orang tuanya.6 Dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis kasih sayang, sesungguhnya seorang pendidik telah menanamkan nilainilai kemanusiaan di dalam diri anak, dan ini merupakan inti dari pendidikan karakter. B. Berorientasi pada Proses, Bukan Hanya Hasil Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ketika maka didik kita lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis tetapi mereka miskin aplikasi. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan proses pendidikan tak dapat terpisahkan dari proses pembangunan itu sendiri, pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.7 Seharusnya, para pendidik senantiasa menghayati makna dan tujuan pendidikan, sehingga mampu berperan secara tepat; berorientasi pada proses, dan bukan hasil. Proses belajar menurut aliran progresivisme ,yaitu terpusat kepada anak. Namun, hal ini tidak berarti bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya. Karena, ia belum cukup matang untuk menentukan tujuan yang memadai dan siswa membutuhkan arahan dan bimbingan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.8 (Educational and Psichologycal Measurement, 1999), hlm. 580-586. 6 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. II, hlm. 7 7 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 1. 8 Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd., Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
97
Budiharjo Oleh karena itu, guru harus mampu mendidik dengan total, tidak hanya terbatas pada member tahu, tetapi juga memperlihatkan caranya dan mengajarkan caranya secara tepat. Belajar merupakan proses penyelaman potensi diri. Dalam prosesnya, seorang anak hendaknya memiliki guru yang mampu mendidik dengan keteladanan dan kesabaran. Masing-masing anak didik memiliki potensi yang berbeda. Ada anak yang mudah menangkap pelajaran, ada pula anak yang harus melakukan pengulangan demi pengulangan demi mendapatkan kemampuan baru. Dalam posisi ini, guru hendaknya berorientasi pada proses. Setiap kegagalan anak didik harus dimaknai sebagai pelajaran berharga. Guru, harus mampu memberikan motivasi. Kegagalan harus bisa dimaknai sebagai penemuan cara yang salah. Setelah gagal, tentu cara yang benar pun akan mampu ditemukan. Melalui belajar, siswa diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang masih terpendam melalui belajar sendiri. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. Anak-anak akan berkembang secara alamiah. Pendidik tidak perlu banyak ikut campur mengatur anak, biarkan anak didik belajar sendiri.9 Pendidik hendaknya dapat berperan sebagai pengamat, pengapresiasi, dan sosok yang selalu menjadi inspirasi positif bagi anak didik. Dalam proses belajar mengajar atau proses pembelajaran guru menjadi orang yang paling penting dalam menjalankan proses pembelajaran tersebut berhasil atau tidaknya proses pembelajaran tersebut tergantung terhadap guru.10 Guru yang baik adalah guru yang mampu mengarahkan anak didiknya untuk selalu mencintai proses. Sebab, di dalam proses yang benar, akan diperoleh keberhasilan yang sesungguhnya. Dalam kegiatan pembelajaran, terdapat dua kegiatan yang sinergis yakni guru mengajar dan siswa belajar. Siswa harus belajar melalui berbagai pengalaman belajar hingga terjadi perubahan dalam dirinya dari aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.11 Demikian juga guru, guru pun sebaiknya tidak berhenti belajar untuk menyelami 2007), hlm. 146. 9 Prof. Dr. Suyono, M. Pd dan Drs. Hariyanto, M. Si., Belajar dan Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) hlm. 57-58. 10 Abdul Majid dan Ahmad Zajadi, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontestual (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 69 11 Marno dan M. Idris, Strategi dan Model Pembelajaran Pengajaran, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2008), hlm, 149.
98
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) karakter anak sehingga ia akan mampu menghadapi anak-anak sesuai dengan karakteristik kepribadiannya. Mengajar tidak ditentukan oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian, peran guru berubah menjadi fasilitator artinya guru lebih banyak sebagai orang yang membantu siswa untuk belajar. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu, kriteria keberhasilan proses mengajar diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar. Dengan demikian, guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar akan tetapi berperan sebagai orang yang membimbing dan menfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar sendiri. Siswa tidak dianggap sebagai obyek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai obyek yang belajar sesuai bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki. Seorang guru yang mampu berorientasi pada proses, dan bukan hasil, sesungguhnya telah membuktikan bahwa mereka adalah perawat pendidikan karakter di Indonesia. Dengan memegang prinsip pendidikan inilah, guru telah berkomitmen untuk mementingkan pendidikan karakter kebangsaan. Dan, penerapan ini akan membawa keberhasilan pendidikan karakter bagi anak bangsa. Tidak hanya bagi guru, seluruh elemen bangsa, terutama para orang tua pun harus memegang prinsip; berorientasi pada proses, dan bukan hasil. Sebab, hal inilah yang akan mengantarkan setiap insan ke dalam tingkat kemanusiaan yang lebih beradab. C. Konsisten Menjaga Nilai-Nilai Kearifan Lokal Ketika pendidikan karakter sudah tertanam di bumi pertiwi, maka semua orang memiliki kewajiban untuk merawat, memupuk, dan menyianginya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk merawat pendidikan karakter di Indonesia ialah dengan menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini merupakan tugas bersama. Orang tua dan pendidik merupakan pewaris nilai kearifan lokal yang seharusnya memercikkan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi di bawahnya. Bila dilacak dari pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan local (lokal). Dalam Kamus Inggris-Indonesia Jhon M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom berarti kearifan atau kebijaksanaan. Dengan merunut bahasa kamus tersebut, maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.12 Kearifan lokal dengan demikian 12
Sartini, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), hlm. 9.
99
Budiharjo mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi perkembangan karakter kepribadian. Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut, sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional, karena dia dapat mencakup kearifan masa kini, dan karena itu pula bisa lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional. Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal yang sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah “kearifan kini”, “kearifan baru”, atau “kearifan kontemporer”. Sedangkan “kearifan tradisional” dapat disebut “kearifan dulu” atau “kearifan lama”.13 Kearifan lokal dengan demikian mengandung kekayaan budaya yang akan bermanfaat dalam menjunjung martabat bangsa. Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam Sartini (2009) kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Adapun fungsi dan makna kearifan lokal adalah sebagai konservasi sumberdaya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, bermakna sosial, bermakna etika dan moral, serta bermakna politik.14 Nilai-nilai kearifan lokal perlu dijaga, dilestarikan, dan didekatkan kepada anak. Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjaga nilainilai kearifan, antara lain melalui pembiasaan, memberikan dongeng pada anak, mengajak anak bermain dengan permainan tradisional, dan mengajarkan kepada anak sopan santun sesuai dengan adat daerah. Meskipun terlihat sederhana, namun menjaga nilai-nilai kearifan sangat penting. Sebab, komitmen menjaga nilai-nilai kearifan lokal selalu linier dengan usaha untuk merawat pendidikan karakter di Indonesia. 13 14
Staff.uny.ac.id Sartini, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), hlm. 9.
100
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) D. Menghidupkan Budaya Membaca, Menulis, dan Mendengarkan Strategi yang sangat jitu untuk merawat pendidikan karakter di Indonesia adalah dengan membudayakan membaca, menulis, dan mendengarkan. Tiga keterampilan itu merupakan ciri yang menonjol dari aktivitas manusia yang memiliki kualitas budaya beradab. Dengan membudayakan membaca, seseorang telah mendepositkan banyak pengetahuan dan telah mempraktikkan “belajar sepanjang hayat”. Membaca merupakan aktivitas sederhana, bermakna, dan kompleks. Membaca juga merupakan sebuah pengakuan batin paling jujur bahwa seseorang tidak akan berarti apa-apa tanpa ilmu pengetahuan. Sayangnya, kesadaran membaca di masyarakat Indonesia belum begitu menunjukkan suatu kondisi yang menggembirakan. Hal ini berbeda dengan Jepang, di mana penduduknya gemar membaca dan senantiasa membawa buku untuk dinikmati ketika luang. Tentu, terdapat banyak faktor yang menyebabkan budaya membaca belum begitu mengakar di dalam masyarakat. Selain angka buta huruf di Indonesia masih tinggi, harga buku mahal merupakan kendala yang sangat berarti. Padahal, dengan membaca, seseorang akan mendapatkan banyak inspirasi, pencerahan, dan kebijaksanaan. Hal ini penting untuk meningkatkan kecerdasan memaknai sesuatu, meningkatkan spiritualitas, dan cakrawala berpikir yang semakin luas. Sebagai titik lanjut dari membaca, menulis merupakan kebiasaan yang dapat merawat pendidikan karakter di Indonesia. Kebiasaan gemar menulis, terbukti membawa nilai positif bagi seseorang. Dengan membaca dan menulis, manusia Indonesia memiliki kebiasaan untuk berpikir sistematis, belajar untuk senantiasa jernih dalam memandang beragam persoalan, dan memiliki pola penyampaian ide yang logis. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang aktif, produktif, kompleks, dan terpadu yang berupa pengungkapan dan yang diwujudkan secara tertulis. Menulis juga merupakan keterampilan yang menuntut penulis untuk menguasai berbagai unsur di luar kebahasaan itu sendiri yang akan menjadi isi dalam suatu tulisan.15 Dengan menulis, seseorang berarti telah melakukan dialog dengan pemikirannya sendiri, dan ini merupakan aktivitas batin yang baik dalam proses pematangan karakter. Keterampilan menulis setingkat lebih tinggi daripada membaca. 15 Burhan Nurgiyantoro, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Yogyakarta: PBFE, 2001), hlm. 271.
101
Budiharjo Karena menulis mensyaratkan gemar membaca. Dan keterampilan menulis adalah keterampilan yang bisa dibina dan dikembangkan.16 Dengan demikian, keterampilan menulis dan membaca merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Selain membaca dan menulis, dengan membudayakan mendengarkan, maka seseorang dapat dikatakan telah berupaya merawat pendidikan karakter di Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama, mendengarkan merupakan keterampilan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalin hubungan yang efektif, pengasuhan yang efektif, dan etos kerja Pancasila, keterampilan mendengarkan sangat dibutuhkan. Meski terkesan sederhana, nyatanya keterampilan mendengarkan belum mampu dikuasai banyak orang. Sebab, banyak orang yang selalu ingin didengarkan, tanpa mau bersungguh-sungguh mendengarkan orang lain. Dan, hal ini merupakan cermin keegoisan diri. Dengan berupaya menjadi pendengar yang baik, sesungguhnya individu sedang melepas egonya untuk dapat memberi manfaat bagi sekitarnya. Itulah, salah satu karakter luhur dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi urgen untuk dikembangkan. Di dalam konteks keluarga misalnya, budaya mendengarkan pun masih sangat memprihatinkan. Angka perceraian yang selama ini senantiasa menunjukkan tingkat pertumbuhan sesungguhnya berawal dari kegagalan kemampuan mendengarkan. Idealnya, seseorang harus membudayakan kebiasaan mendengarkan agar mampu berlatih menahan diri, memahami orang lain, dan memiliki sikap peduli. Di dalam konteks pengasuhan dan pendidikan sekalipun, keterampilan mendengarkan dengan empati sangat diperlukan. Pengasuhan dan pendidikan akan berhasil jika orang tua dan pendidik memiliki keterampilan mendengarkan secara baik. Indikator keterampilan mendengar yang baik, tidak hanya ditunjukkan dengan daya tahan mendengarkan saja, melainkan juga ditunjukkan dengan kemampuan untuk “mendengarkan” hal-hal yang tidak terkatakan. Dan, hal ini akan memberikan keterampilan untuk sensitif dan peka. Seandainya semua individu mampu memiliki keterampilan mendengarkan secara baik, tentu keharmonisan akan terwujud; tidak akan terjadi bentuk-bentuk kekerasan kemanusiaan, sehingga terwujudlah masyarakat yang paripurna, damai, dan saling menyejahterakan.*
16 Chaedar Alwasilah, Bunga Rampai Pendidikan Bahasa (Badung: Angkasa, 1993), hlm. 80.
102
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1986. Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Adhim, Fauzil. 2006. Positive Parenting: Cara-Cara melejitkan Karakter Positive pada Anak Anda. Bandung: Mizan. Aisyah, Nyimas. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matemática Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Nasional. Al-Abrasyi, M. Athiyyah. 1984. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Ali, Muhammad, dkk. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara. Alwasilah, Chaedar. 1993. Bunga Rampai Pendidikan Bahasa. Badung: Angkasa. Amini, Mukti. 2008. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building. Yogyakarta: Tiara Wacana. Aqib, Zainal. 2008. Sekolah Ramah Anak. Jakarta: Yrama Widya. Arthur, L., Beecer, B., Dockett, S., Farmer, S., and Death, E. 1998. Programming and Planning In Eearly Childhood Settings. Sydney: Harcourt Brace. Asmani, Jamal Ma’mun. 2012. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press. Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana IImu. Burhani, Ahmad Najib, dkk (Ed). 2015. Muazin Bangsa dari Makkah Darat. Jakarta: Maarif Institute dan Serambi.
103
Budiharjo Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. D. B Helms, & Turner, J.S. 1994. Exploring Child Behavior. New York: Holt Rinehart and Winston. Daradjat, Zakiah. 1979. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Daradjat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Doni A. Kusuma. 2007. Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Grasindo. Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd. 2013. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana. Efendi, Ahmad. 2003. Pendidikan Pra Sekolah; Orientasi pada Child Interest. Semarang: Quantum. Elizabeth. B. 1978. Hurlock, Child Development. New York : Mc. Graw Hill, Inc. Elkind D. 2000. Miseducation: Preschoolers at Risk. New York: Knopf. Gracia, Ricardo. 1991. Teaching in a Pluralistic Sosiety. New York: Harpercollins Publisher. Gunarsa, Singgih D dan Ny. Singgih D Gunarsa. 1992. Psikologi untuk Membimbing. Jakarta: Gunung Mulia. Hamalik, Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. Pengembangan Penndidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas. Hidayati, Dra. Wiji, M.Ag dan Sri Purnami, S.Psi. 2008. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras. Hidayatullah. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban bangsa. Surakarta: Yuma Pressindo. Imron, Ali. 1996. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Jackson, et. al. 1999. The Dimension of Students’ Perceptions of Teaching Effectiveness. Educational and Psichologycal Measurement. Kalsum, Umi. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Paikem. Jakarta: Gema Pratama Pustaka. Karim, M. Abdul. 2004. Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. 104
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) Kesuma, Dharma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak. Jakarta: Grasindo. Lickona, Thomas. 1989. Educating for Character. USA: Bantam Books. Maarif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. Majid, Abdul dan Ahmad Zajadi. 2007. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontestual. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mansur. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mardiya. 2000. Kiat-kiat Khusus Membangun Keluarga Sejahtera. Jakarta : BKKBN Pusat. Marimba, Ahmad D. 1986. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif. Marno dan M. Idris. 2008. Strategi dan Model Pembelajaran Pengajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Agama Media. Masnur Muslich. 2012. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Muslich. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Novi, Bunda. 2015. Saat Anak Harus Diberi Hadiah atau Dihukum. Yogyakarta: Saufa. Nurdin, Muslim, et al. 1993. Moral Islam dan Kognisi Islam. Bandung: CV Alfabeta. Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: PBFE. Prof. DR. H. Kaelan, M.S dan Drs. H. Achmad Zubaedi, M.Si. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma. Prof. Dr. Soedijarto, MA. tt. Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa. CINAPS. 105
Budiharjo Prof. Dr. Suyono, M. Pd dan Drs. Hariyanto, M. Si. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Raka, Gede, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Di Sekolah: Dari Gagasan ke Tindakan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, Kompas Gramedia. Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Islam Aktual; Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan. Ramly, Mansyur dkk. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter: BerdasarkanPengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Sadulloh, Drs. Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Santosa Z, Lukman & Nita Zakiyah. 2011. Buku Pintar Pramuka. Yogyakarta: Interpree Book. Santrock, J. W., Terj. Achmad Chusairi, S.Psi & Drs. Juda Damanik. 2006. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga. Sartini. 2009. Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press. Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto. 1982. Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Sujiono, Yuliani Nurani. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks. Supiandi, Yusuf, dkk. 2012. Petunjuk Teknis Penerapan Sekolah Ramah Anak. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Suprayogo, Imam. 1999. Reformulasi Visi dan Misi Pndidikan Islam. Malang: STAIN Press. Tilaar. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: Rieneka Cipta. Utoyo, Prof. Dr. H. Sutoyo Imam. 2002. Pencarian Makna Nilai-Nilai Etos Kerja dalam Pengembangan Pribadi dan Karir Guru. Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang. W.J.S Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wibowo, M.Pd., Agus. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 106
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa) Wiyani, Novan Ardi. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasinya di Sekolah. Yogyakarta: Pedagogia. Yus, Anita. 2008. Pengembangan Karakter Melalui Hubungan AnakKakek-Nenek. Yogyakarta: Tiara Wacana. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana. Zuchdi. 2009. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Zuriah, Nurul. 2002. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti. Bandung: PT Rosda Karya. Jurnal dan skripsi Ghufron, Anik. 2010. Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Kegiatan Pembelajaran dalam Cakrawala Pendidikan. Yogyakarta: UNY. Mahmudah, Siti. 2005. Mengembangkan Kecerdasan Integratif. Malang: UIN Malang. Usman, Husaini. 2013. Kepemimpinan Berkarakter Sebagai Model Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Karakter. Makalah Arikunto, Suharsimi. 2004. Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini. Yogyakarta. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2015. Pedoman Pelaksanaan Hari Anak Nasional (HAN). Jakarta. Kementrian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan dan Penelitian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Jakarta. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Kementrian Pendidikan pendidikan kareakter.
Nasional.
2011.
Panduan
pelaksanaan
Moerdiono. 1994. Dimensi Keadilan Sosial dalam Pembentukan Karakter Kebangsaan. Surabaya. Siswanto, Noor. 2002. Konvensi Hak Anak Sebagai Prinsip Perlindungan Anak. Yogyakarta: Dinas Sosial Propinsi DIY. Sugiharti, Sri. 2005. Penjajagan Kebutuhan Tentang Pemenuhan Hak Anak di Dusun V Peranti Desa Gadingharjo Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul DIY. Yogyakarta: Balitbang BKKBN DIY. 107
Budiharjo
Koran Gunarwan. 2005. Tanamkan Nilai Moral Dalam Keluarga. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat. Mirmaningtyas, Sri. 2005. Pendidikan Karakter Anak dan Masa Depan Bangsa. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat. Yudhastawa, Anik Rahmani. 2005. Pendampingan Nonton Televisi Sejak Balita. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat. Internet akhmadsudrajat.wordpress.com kpai.go.id. paudpn.wordpress.com pustaka.ut.ac.id. putra-putri-indonesia.com repository.uin-suska.ac.id silvyaeka12.blogspot.com. Staff.uny.ac.id waspadamedan.com
108
Pendidikan Karakter Bangsa (Membangun Karakter Bangsa)
TENTANG PENULIS
Dr. Budiharjo, Bsc., M.Si. Lahir di Blitar, 29 Mei 1954. Menempuh pendidikan D III (Akub) di Yogyakarta (1973-1977); S1 Universitas Tujuh Belas Agustus 45 Jakarta (1986-1990); S2 UNKRIS Jakarta (2000-2002); dan pendidikan doktoral di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) (2007-2010). Penulis yang sehari-hari bekerja sebagai PNS DPK Kopertis Wilayah III ini memiliki pengalaman diantaranya: sebagai Kepala Biro Adkesmas DKI Jakarta (2004-2006); Kepala BKKBN DKI Jakarta (2006-2007); Kepala BPM DKI Jakarta (2007-2008); Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta (2008-2010); Wakil Ketua KPAI (2012-2015); Kaprodi ANE Fisip UPDM (B) (2013-2014); Wakil Dekan II Fisip UPDM (B) (2014-s/d); Ketua BKKKS Provinsi DKI Jakarta (2011-2016).
109
Budiharjo
110