178
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
ETNISITAS, KREATIFITAS, DAN IDENTITAS DALAM WACANA SENI BUDAYA BANGSA Suherni Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Padangpanjang
[email protected]
INTISARI Identitas merupakan alat politik untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan terhadap budaya sendiri menghendaki kreativitas dalam memperlakukan etnisitas seni budaya yang dimiliki. Pemerintah daerah mengambil peran aktif dalam menciptakan kondisi pertumbuhan dan perkembangan seni budaya yang dirasakan menggembirakan. Peran aktif pemerintah dalam kegiatan kreatif kesenian di satu sisi membawa nilai positif dengan maraknya kegiatan pentas seni pertunjukan, selain juga membawa dampak negatif dilihat dari sisi ketergantungan seniman dan atau pelaku-pelaku dalam eksistensi berkesenian. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, kemajemukan ini tampak pada suku bangsa dan kebudayaan yang terdapat di dalamnya serta segala keunikan ekspresi keseniannya. Keragaman ini menunjukkan hadirnya aneka ragam kesenian di Indonesia yang merupakan kekayaan tiada tara. Adanya keragaman ini akibat adanya identitas yang kuat dari masing-masing kesenian etnik. Kata kunci: etnisitas, kreativitas, identitas.
ABSTRACT Identity is a political tool that is used to develop pride and love of one’s own culture, and it requires creativity in the treatment of the ethnicity of our own art and culture. Local governments play an active role in creating conditions for the growth and development of art and culture which they consider to have promising prospects. The active role of the government in creative art activities on one hand has the positive effect of producing large numbers of performing art events, but on the other hand it has the negative effect of causing artists and or art practitioners to become dependent on such events for their artistic existence. The Indonesian society is highly complex one and this plurality is evident in the large number of ethnic communities and cultures, as well as the unique expression of their arts. This diversity is shown in the presence of the wide variety of Indonesian arts which are an invaluable source of wealth. This diversity is the result of the strong identity of each ethnic art form. Keywords: ethnicity, creativity, identity.
A. Identitas Etnik Istilah identitas, kreativitas dan etnisitas pada dasawarsa terakhir ini sering terdengar. Istilah ini kembali marak dan muncul dijadikan ajang diskusi budaya di berbagai forum, tatkala dengan atau tidak sadar kita terseret pada ruang yang pada saat mana eksistensi negara menguat .” Identitas” misalnya buru-buru istilah ini muncul ketika persoalan modern dan modernisme memporak-porandakan
178
kemapanan budaya dalam kerangka nation state di ”dunia Timur” Etnisitas atau budaya lokal dengan segala persoalan yang melingkupinya sebagai hak atas milik masyarakat domestik dunia Timur yang oleh paham orietalisme Edward Said dianggap sebagai yang eksotik, marjinal, misterius, supranatural, memikat, dan inferior apabila dihadapkan pada kebudayaan Barat yang superior (Edwar Said: justru terangkat ke permukaan dijadikan model sebagai
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
179
ciri adati yang indegineous. Indegeneous dalam
keragaman budaya lokal di seluruh wilayah Indo-
pengertian positif adalah budaya suku bangsa, tata
nesia. Sebagai wujud kearifan lokal ia merupakan
nilai suku bangsa, dan kearifan lokal terkandung di
modal untuk membangun kembali karakter
dalamnya yang mempunyai nilai universal (Sri
masyarakat yang saat ini cenderung dikatakan
Hastanto, 2001:1). Itulah yang menjadi patokan
mengambang secara kultural, yakni meninggalkan
mengapa etnisitas dijadikan identitas dalam
tradisinya sendiri sementara tidak mampu masuk
kerangka “nation state”.
ke dalam budaya Barat yang sesungguhnya,
Dalam konteks kegiatan indiginasi seni budaya,
misalnya tingkat etos kerja, kedisiplinan,
nilai kreatifitas selalu diketengahkan sebagai isu
penghargaan terhadap orang lain dan sebagainya.
sentral untuk melanggengkan obyektifitas etnisitas.
Entitas budaya lokal memperlihatkan kekayaan
Tanpa adanya sentuhan kreatif dari para pelaku
yang melimpah, kekayaan ini benar-benar memiliki
seni, kelangsungan seni etnik tidak memiliki nilai
keragaman. Keragaman dapat dilihat pada wilayah
etalatif sebagai tuntutan kehidupannya sendiri.
budaya Jawa Timur misalnya terdapat kesenian
Keberadaannya dimungkinkan termarjinalkan
yang berkembang di wilayah tersebut seperti etnik
dalam arti yang sebenarnya dan kemungkinan
Cina, Arab, dan kesenian kontemporer. Kesenian
kepunahan tidak dapat dihindari.
etnik yang disebut juga sebagai kesenian rakyat di
Kekayaan seni budaya etnik menunjukkan
Jawa Timur sebagian besar telah terangkat ke
kemajemukan yang merupakan ciri khas negara
permukaan mengisi dialektika kebudayaan. Antara
Indonesia. Sudah cukup banyak diskusi yang
universalisme kebudayaan, kebudayaan negara,
membuahkan pandangan atau perihal kesenian In-
dan kebudayaan indegeneous berinteraksi satu sama
donesia. Semua itu merupakan jawaban atas
lain untuk saling memperebutkan ruang publik.
sejumlah pertanyaan mendasar, misalnya: adakah
Perebutan itu tidak saja pada tataran simbolik tetapi
atau yang manakah sesungguhnya kesenian Indo-
telah membentuk relasi baru dalam kehidupan
nesia yang dirasakan sebagai seni etnik yang berciri
sehari- hari.
majemuk itu. Pertanyaan semacam itu mungkin
Surabaya sebagai salah satu kota besar di Jawa
masih relevan sampai hari ini. Pertama, karena
Timur, kehidupan ekonomi dan politik sangat
adanya variasi atau perbedaan pandangan tentang
mendominasi aktifitas masyarakat. Kegiatan seni
apa itu kesenian Indonesia (seni etnik). Kedua,
budaya juga tidak kalah penting telah dan terus
karena kesenian etnik sendiri kini sedang digoncang
menerus ditingkatkan. Hal ini dilakukan karena
dinamika perubahan yang cukup signifikan,
kesenian sebagai aset pengembangan tata nilai
misalnya
disorganisasi,
kesuku bangsaan yang memiliki sifat universal telah
disintegrasi, keretakan kelompok dan antar
nyata mampu membentuk karakter dan
kelompok, atau krisis multidimensi, dan macam-
kepribadian yang khas. Pertumbuhan kesenian
macam fenomena lain.
sangat diwarnai oleh kehidupan ekonomi dan
amuk
fenomena
Ekspresi budaya lokal yang sangat beragam
politik. Dengan kata lain bahwa kesenian kreatif
tersebut adalah aset potensial budaya bangsa.
selanjutnya bermunculan sebagai jawaban atas
Kekayaan budaya seni yang sangat beragam ini
kondisi yang berlangsung. Kenyataan ini harus
merupakan sebagian saja dari keseluruhan
dihadapi oleh para pelaku seni untuk mempertahan-
180
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
kan eksistensi itu sendiri. Perubahan-perubahan
Penegasan ini dirasakan cukup signifikan karena
bentuk dan tema seni tak dapat dihindari. Seni
diperlukan sebagai formulasi tata nilai. Adapun tata
tradisi (etnik) mengalami perkembangan (stilisasi
nilai itu diserap dari keragaman pikiran, keyakinan,
dan distorsi) dalam kerangka penyesuaian.
dan pemahaman bersama terhadap idealitas
Identitas adalah murni produk dari konstruksi
eksistensi seni etnik dalam wacana kebudayaan
sosial. Identitas selayaknya tidak dipahami sebagai
secara menyeluruh. Formulasi tata nilai tersebut
sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah,
dimaksudkan sebagai bahan yang dapat dipakai
namun sebagai ‘ an emotionally charged descrption of
sebagai acuan dalam mencari format-format baru
ourselves”( Barker, 2009:110). Hal itu disebabkan
dan untuk mendaur ulang bagaimana sebenarnya
identitas bersifat emosional, tidak pernah tetap, dan
konsep-konsep pembinaan-pembinaan seni budaya
relasional, yakni tergantung dengan siapa individu
itu bisa dan laik untuk diterapkan.
menjalin relasi pada konteks tertentu. Dengan demikian identitas bersifat sementara karena identitas bisa berubah bergantung pada konteks di mana individu berada. Dalam pembentukan identitas tersebut ada dua proses yang terjadi, yaitu penolakan (exlusion) dan penerimaan ( inclusion) karena membentuk identitas berarti menolak halhal yang bertentangan dan merangkul hal-hal yang sesuai dengan identitas tersebut. Identitas juga tidak pernah netral, di dalamnya selalu terdapat nilai-nilai yang saling berbenturan. Kemunculan identitas merupakan mata rantai masa lalu dengan
Mencermati kembali bagaimana memahami persoalan etnisitas yang tetap sebagai identitas pada suatu wilayah budaya yang ternyata dihadang oleh tiga persoalan mendasar. Seni indegeneous yang mencoba untuk berlaku resisten terhadap kekuatan hegemoni negara tidak berdaya karena negara telah menciptakan budaya ketergantungan kepada pelaku-pelaku seni di wilayah negara itu sendiri. Ketergantungan ini diciptakan sangat mendasar karena meliputi politik, ekonomi dan ideologi yang berdampak pada kerapuhan pertahanan budaya apabila negara melepaskan tali pengikat ketergantungan tersebut. Negara dengan
hubungan sosial, kultural, ekonomi, dan bahkan
kemampuan hegemoninya menyeret seni indigeneous
politik yang keseluruhannya tercermin dalam
berupaya menjadikan sebagai kebudayaan negara
kesenian. Seni etnik sebagai filter terhadap rembesan
yang tentu saja mengikis kearifan lokal
budaya global.
menggantikannya dengan serat-serat nilai yang bersifat
B. Pratek budaya
temporer.
Universalisme
yang
menghendaki penyatuan budaya menjadi budaya global meskipun slogan tentang multikultural telah
Bagaimana dan dari mana kreativitas seni budaya itu dimulai dan untuk kepentingan siapa
menjadi eforia di kalangan akademisi dan sebagian praktisi-praktisi seni etnik.
seni dikatakan sebagai seni etnik dalam kerangka
Era otonomi meskipun secara konsepsional
kreativitas kalau selanjutnya dihubungkan dengan
memberi keleluasaan para pelaku-pelaku seni etnik
identitas? Pertanyaan tersebut perlu diangkat
untuk berkreasi mengembangkan jati diri
kembali sebagai penegasan seputar istilah etnisitas,
etnisitasnya ternyata tidak serta merta dapat
kreativitas, dan identitas dalam perspektif
diakses dengan baik. Budaya tergantung pada
kebulatan eksistensi budaya seni etnik itu sendiri.
negara telah mendarah daging, eksistensi seni
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
181
menjadi lumpuh, pelaku seni, dan senimannya tidak
tandingan. Keinginan negara yang begitu kuat untuk
mampu berkreasi apabila tidak mendapatkan
dapat dikatakan sebagai pembina seni di tingkat
suntikan dana dari negara. Apalagi para petinggi
nasional berdampak pada kelesuan yang fatal bagi
kurang perhatian terhadap kehidupan seni budaya,
banyak kesenian di daerah meskipun mampu hanya
sibuk mengurusi golongannya, para dewan ramai
membawa satu model seni yang dianggap terbaik
untuk mencari pengembalian kekayaan yang sudah
di wilayah provinsinya. Pembinaan adalah kata
dikeluarkan untuk pencalonannya, maka setelah
politis yang selalu didengungkan oleh aparatur
menjadi anggota dewan berlomba-lomba
negara yang mengurusi keberadaan kesenian di
mendapatkan sesuatu yang mestinya sebagai hak
wilayah kekuasaannya. Hal itu tidak atau kurang
rakyat. Seni etnik telah dijadikan sebagai objek
disadari bahwa ternyata dikemudian hari hasil-
negara dengan kalkulasi proyek pembinaan
hasil pembinaan atau produk-produk seni yang
kesenian. Seni tidak semakin kukuh dalam akar
dimotivasi oleh kehendak perorangan yang
budayanya, tetapi menjadi semacam seni instan
dikuatkan oleh peraturan perundangan dan
yang habis ketika penyelenggaraan festival atau
kebijakan-kebijakan program pembangunan
pekan budaya berakhir. Sang juara menjadi seni kota
bidang seni budaya membawa dampak ketergan—
yang selanjutnya dirujuk oleh seni-seni daerah lain
tungan ideologi.
untuk dijadikan model pada acara pekan budaya pada tahun berikutnya dan berikutnya lagi.
Pembinaan kesenian yang biasanya beraneka ragam menjadi seragam, lebih berorientasi pada
Kooptasi atau pembinaan seni budaya oleh
estetika mekanik, gerak lebih dominan dari pada
negara di tingkat lokal begitu kuat tidak lain untuk
penggalian-penggalian nilai filosofi, dan
kepentingan yang lebih luas, yakni bagaimana bisa
historikalnya. Kesimpulan yang lebih tragis dapat
menghadirkan seni negara di tingkat lokal tersebut,
dicermati berupa kreativitas seni yang terpasung.
sehingga mampu bersaing di tingkat nasional.
Disadari bahwa telah terjadi kerawanan dalam
Memenangkan satu model kesenian etnik pada
perkembangan kesenian etnik. Penanganan yang
tingkat lokal saja sebenarnya telah membunuh
cenderung pada kemauan politik negara yang
kemampuan etnik-etnik lain yang sebenarnya pada
kurang mempertimbangkan aspek ketahanan lokal
tingkat daerah telah dijadikan model daerahnya,
telah dilakukan dengan kekuatan perundangan
tetapi karena dianggap tidak mampu menyandang
atau kebijakan-kebijakan politik. Terjadi kooptasi
predikat nomor satu di tingkat provinsi maka seni
atau pembinaan yang bersifat “top down”. Negara
tersebut tidak saja mati tetapi menciptakan beban
lebih mengambil peran aktif dan berinisiatif untuk
bagi para seniman. Di hadapan petinggi di
menentukan ke arah mana kesenian akan dibentuk.
daerahnya derajat mental seniman menjadi runtuh,
Sementara pelaku seni yang memiliki etnisitas
tidak berguna dan dampak psikologis membawa
seninya justru tidak mengambil peran penting
keterpurukan kreativitas seniman. Kebanggaan atas
dalam pertumbuhan dan perkembangan seni
seni miliknya menjadi kikis, kepercayaan terhadap
miliknya, pasif dan pasrah kepada para pembina-
diri menjadi rendah.
pembina yang datang dari kota. Oleh karenanya
Problem kehidupan seni etnik menjadi sangat rumit ketika seni etnik dijadikan ajang per—
tidak sedikit seni di daerah menjadi satu model, yaitu seni kota.
182
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
Kreatifitas merupakan kata kunci untuk
banyak belahan bumi, dan ketika telah menyentuh
pertumbuhan perkembangan seni etnik. Kreativitas
kebudayaan lokal yang telah berurat berakar, maka
tentu dimaknai sebagai pola pertahanan nilai-nilai
yang terjadi adalah ketegangan sosial akibat tarik
setempat dengan kemampuan daya serap terhadap
menariknya kepentingan politik identitas dan
dunia global yang dengan serentak menghentak ke
pemolesan fisik kesenian sebagai wujud
dalam bilik setiap orang yang paling rahasia
pembaruan. Nilai-nilai lokal tidak terperhatikan dan
sekalipun. Budaya-budaya yang tampak baru bagi
terpasung, karena kesadaran atas pertahanannya
komunitas atau individu yang datang dengan
tidak tumbuh dalam setiap pribadi masyarakat
kelugasan, keseronokan, dan mungkin dengan
pendukungnya.
kehalus rayuan memang telah sementara dijadikan
Identitias dalam era globalisasi meskipun tidak
komoditas sebagian besar lapisan masyarakat. Ini
selalu signifikan untuk diwacanakan tetapi masih
belum sepenuhnya dapat ditangkap sebagai bentuk
memiliki relevansi dengan pembangunan kerekatan
pengikisan budaya lokal. Bukan berarti semuanya
budaya dalam satu kultur tertentu. Kesenian yang
jelek dan atau harus ditolak, tetapi kelenturan
sangat kental dengan nilai-nilai dan dapat
budaya bangsa untuk menghadapi budaya baru
menunjukkan suatu unikum tertentu sebenarnya
tampak belum mampu menunjukkan sikap
sangat efektif untuk mengenalkan lokalitas budaya
akomodatif yang pada ujungnya menciptakan
tertentu tersebut. Dengan demikian identitas
budaya sinkretik, yang sampai pada tataran empiris
meskipun sebenarnya merupakan sarana
adalah peminjaman budaya-budaya baru tersebut
kekuasaan politik negara dirasakan cukup efektif
secara terus menerus. Model busana dan pergaulan
dalam membangun karakter, kerekatan, dan
yang cenderung bebas antar muda mudi adalah contoh kongkrit yang telah melanda para mudamudi di daerah dan di desa terpencil sekalipun. Dalam terminologi ini sering didapati kasus-kasus yang pada gilirannya menjurus pada tindakan kriminalitas sebagai wujud dari penjaminan budaya-budaya baru tersebut. Peminjaman budaya seperti ini dalam banyak kasus kebudayaan sering didapati mampu mewujudkan kebudayaan baru. Namun demikian bahwa sebuah kebudayaan baru sekalipun membutuhkan strategi-strategi tertentu untuk mewujudkan budaya baru tersebut agar dalam
sekaligus kebanggaan budaya sendiri. Kebanggaan sebagai bentuk rasa memiliki budaya sendiri dalam wacana berkesenian telah ditampilkan dalam berbagai aktivitas. Maraknya kegiatan-kegiatan kesenian dalam forum festival, perlombaan, dan pekan budaya yang seluruh pembiayaannya disangga oleh pemerintah daerah antara lain merupakan upaya untuk terus menghidupkan keberadaannya. Jawa Timur misalnya pernah bermaksud menciptakan seni tari khas Jawa Timur dengan sebutan Subaraga yang merupakan per— paduan ciri etnik yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Namun demikian keinginan itu tidak dapat terpenuhi karena dengan suatu alasan, bahwa ciri-
proses pembentukannya tanpa menimbulkan
ciri etnik tersebut mempunyai kandungan nilai khas
ketegangan-ketegangan sosial. Ketika kebudayaan
yang tidak dapat dipertautkan begitu saja untuk
baru terbentuk, akan membentuk nilai-nilai baru,
memenuhi keinginan sesaat. Seandainya terjadi
dan pada ujungnya akan teraktualisasikan dalam
maka Subaraga tidak punya tanah tempat berpijak
wujud kesenian. Kenyataan ini telah terjadi di
yang kokoh.
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
183
Berbagai pembinaan telah diupayakan jauh pada
berpartisipasi dalam meramaikan penyelenggara—
masa Orde Baru sampai otonomi daerah ini. Maka
an-penyelenggaraan pentas seni milik daerahnya
setiap daerah berlomba-lomba untuk menjadikan
untuk mendukung program-program pemerintah
daerahnya sebagai kota festival. Kota Sidoarjo,
meskipun pulang ke daerah tidak membawa hasil
misalnya pada tahun 2004-2005 memposisikan
seperti yang diharapkan.
daerahnya sebagai kota festival budaya, setelah
Kehidupan kesenian suatu daerah tidak dapat
melihat kemeriahan dan kepadatan Surabaya
dilepaskan dari keikut sertaan pemerintah daerah
sebagai pusat kegiatan penyelenggaraan festival-
dalam menumbuh kembangkannya. Kenyataan
festival budaya.
inilah yang sebenarnya membawa dampak dalam
Kesenian daerah diproduksi dengan kemampu—
dua sisi yang saling berseberangan. Pertama, dapat
an kreativitas komunitas di seluruh wilayah daerah
dimaknai sebagai nilai positif dilihat dari kenyataan
yang memiliki kantong-kantong kesenian.
ramainya pertunjukan kesenian daerah melalui fes-
Selanjutnya kreasi-kreasi kesenian tersebut
tival. Kedua, sebagai dampak negatif karena
dilombakan, difestivalkan, di wilayah pemerintah
ketergantungan pelaku seni pertunjukan kepada
tingkat II. Hasil dari penjaringan di tingkat dua
patronase, artinya seniman, pelaku seni, berparti—
dengan berbagai pola atau bentuk kejuaraan.
sipasi dalam kegiatan pertunjukan kesenian karena
Produk yang masuk dalam kategori terbaik, nomor
dananya didukung oleh pemerintah. Tidak ada
I dan berhak untuk tampil dalam kegiatan lomba,
kegiatan festival berarti tidak ada pertunjukan
atau festival di wilayah provinsi tingkat I. Kesenian
kesenian, kecuali seni ritual dalam komunitasnya.
daerah yang mampu berlomba pada tingkat
Mencermati kesenian daerah di Jawa Timur,
provinsi inilah selanjutnya berhak untuk tampil di
misalnya: dilestarikan karena dianggap sebagai ciri
tingkat nasional dan dapat mewakili sebagai duta
khas semangat masyarakat Jawa Timur. Tari
budaya di dunia internasional. Inilah harapan-
Ngremo sebagai wujud artikulasi nilai masyarakat
harapan akan capaian yang selalu dijadikan target
Surabaya dan sekitarnya, dapat dikatakan sebagai
oleh pembina-pembina, pelaku-pelaku dan tidak kalah pentingnya adalah pengelola kesenian oleh pemerintah daerah. Keberhasilan telah diraih oleh para pembina seni, berarti keberhasilan di pihak pemerintah daerah baik pemerintah propinsi dan pemerintah
keunggulan khas Jawa Timur (Surabaya) dan sekitarnya, yang sampai saat ini keberadaannya melampaui perkembangan Ludruk sebagai teater tradisional khas Jawa Timur. Melalui senimanseniman kreatif, Ngremo berkembang cepat dan mampu menyesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi. Selanjutnya kita mengenal Ngremo Tempel
daerah tingkat II sebagai pemenang atas per—
yang tumbuh bersama kesenian lain seperti Wayang
tanggungjawaban terhadap kegiatan-kegiatan
Kulit, Tayub, Kentrung, dan sebagainya. Ngremo
pergelaran seni yang telah menjadi bagian dari pro-
Surabayan, Jombangan, Malangan, dan paling
gram-programnya. Di samping itu juga sebagian
mutakhir adalah Ngremo Jugag. Perubahan terjadi
besar masyarakat seni yang terlibat di dalamnya
pada aspek visual artistik, kinestetik, tematik, dan
turut merasakan hasil-hasil yang telah dicapai baik
filosofis. Perubahan unsur-unsur visual, pola gerak,
oleh yang menyandang predikat juara atau yang
fungsi dan dinamisasi musikal adalah penyesuaian
tidak sekalipun. Setidaknya mereka telah ikut
kebutuhan ungkapannya. Berbagai bentuk Ngremo
184
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
merupakan wujud tindakan kreatif para seniman
membawa nilai positif dengan maraknya
Ngremo untuk memperlakukannya agar tetap
pertujukan seni dan budaya secara umum, selain
kontekstual karena Ngremo selalu berubah dari
membawa dampak negatif dilihat dari sisi
waktu ke waktu mengikuti selera jaman.
ketergantungan seniman dan pelaku-pelaku dalam
Perkembangan Ngremo yang sangat subur dan menyebar luas melampaui area wilayahnya. Ngremo memiliki kearifan lokal dan hubungan universal nilai-nilainya, ia mendapatkan penanganan yang kreatif, terpelihara, dan lahir dari kesadaran kolektif, serta mendapatkan apresiasi yang men— dalam dari masyarakat secara luas. Oleh karena itu Ngremo sebagai khasanah etnisitas telah melalui
eksistensi berkeseniannya. Kondisi ini tidak jauh berbeda ketika mengamati tari Gending Sriwijaya sebagai pemilihan sebuah identitas budaya Palembang. Sejarah Palembang sebagai sebuah wilayah budaya, dikenal dengan kerajaan Sriwijaya, atau disebut juga sebagai sebuah kerajaan maritim di Sumatera pada abad ke-7
perjalanan kreatif dan mencapai predikat prestisius
dengan pusat kedatuannya terletak di Bukit
sebagai simbol budaya khas Jawa Timur dan telah
Siguntang, yaitu satu tempat di sungai Musi di
nyata dijadikan identitas khas seni kota Surabaya.
sebelah Utara kota Palembang. Kedatuan ini dikenal
Kesenian sebagai bagian dari institusi budaya
dengan pula dengan nama Kedatuan Bukit yang
secara keseluruhan saling terkait dan memfungsikan
menjadi penguasa tunggal daerah sebelah Barat
di antara institusi budaya yang ada. Proses
Indonesia pada masa itu (Depdikbud, 1984: 13).
kebudayaan dalam konteks kegiatan politik
Lahirnya kedatuan Sriwijaya, lahir pula kesenian
pemerintahan di Jawa Timur, memfungsikan
di kalangan bangsawan. Lingkungan istana mulai
kesenian sebagai bagian dari sistem kekuasaan.
memelihara dan mengembangkan seni yang
Wacana identitas oleh pemerintah telah
melegitimasi kebesaran raja, termasuk di dalamnya
dimanfaatkan untuk membangun kehidupan
tari Gending Sriwijaya.
kesenian yang tersebar di wilayah. Kesenian di Jawa
Tari Gending Sriwijaya yang dikenal sebagai tari
Timur yang cukup beragam dengan sebutan budaya
adat oleh masyarakat Palembang merupakan
etnik dikenai sentuhan kreatif atas nama pembinaan
peninggalan masa itu dengan Hindu Budha
kesenian. Pembinaan kesenian merupakan realisasi
Mahayana sebagai agama masyarakat. Melalui
dan solusi dari kenyataan kondisi rapuh seni etnik
tarian ini unsur agama tersebut terlihat dari
yang diangkat sebagai terapi terhadap berbagai
suasana keagamaan yang dibangun oleh gerak-
budaya yang serentak datang.
gerak tari yang mencerminkan Sang Budha tengah
Identitas yang merupakan alat politik untuk
bersemedi. Begitu kuatnya pengaruh Budha
menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan
terhadap budaya masyarakat Palembang meskipun
terhadap budaya sendiri menghendaki kreatifitas
mereka sebagai penganut agama Islam.
dalam memperlakukan etnisitas seni budaya yang
Koreografi tari Gending Sriwijaya adalah tari
dipunyai. Maka pemerintah di Jawa Timur
yang dilakukan oleh sembilan orang penari putri
mengambil peran aktif dalam menciptakan kondisi
dengan perincian satu orang pembawa tepak
pertumbuhan dan perkembangan seni budaya yang
(wadah berbentuk persegi empat untuk sekapur
dirasakan menggembirakan. Peran aktif pemerintah
sirih), dua orang pembawa peridonan kembar
dalam kegiatan kreatif kesenian ini di satu sisi
(tempat sepah), dan enam orang sebagai pengiring.
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
185
Selain sembilan orang penari putri tersebut, tari ini
melengkung ke atas melambangkan kekayaan yang
didukung pula oleh dua orang gadis pembawa
melimpah dari sungai Musi yang membelah kota
payung dan tombak, dan satu orang bertugas
Palembang.
sebagai penyanyi.
Tari ini dinamakan Gending Sriwijaya karena
Struktur dan pola penyajian ini sangat teratur
lagu pengiringnya berjudul Gending Sriwijaya.
dan hierarkis. Gerak tari yang lembut mengalun
Lagu ini melodinya diciptakan oleh M.Dahlan,
perlahan didukung tata rias dan busana penari
sedangkan liriknya digubah oleh Nungcek A.R.,
seperti pengantin wanita Palembang memberi
menceritakan kerajaan Sriwijaya di masa lampau.
sentuhan emosional tersendiri. Volume gerak tangan
Fungsi awal tari ini diyakini sebagai sajian pada
dan kaki yang terkontrol cenderung membangun
waktu raja mengadakan pertemuan dengan seluruh
sebuah ciri karakteristik dan gaya putri halus.
kerabat sebelum melaksanakan pekerjaan berat,
Hierarki penari yang ditentukan berdasar
untuk ulang tahun raja, dan pesta perkawinan anak
kedudukan orang tua di dalam pemerintahan
raja.
semakin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang
Ketika penjajahan Jepang atas Palembang sekitar
terdapat di dalam tari ini mempunyai makna
tahun 1659 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Hal
tersendiri. Sebagaimana tari Bedaya yang memiliki
ini menyebabkan tari Gending Sriwijaya turut
penamaan pada setiap pelaku tarinya, pada
hilang bersama runtuhnya kesultanan ini. Hal ini
Gending Sriwijaya juga ditemukan perbedaan
sangat dimungkinkan karena pada tipe kerajaan
penamaan itu. Penari pada barisan pertama, kedua,
maritim, pusat kerajaan tidak begitu penting,
dan ketiga yaitu penari nomor satu, dua, tiga, empat
sehingga tari bukan pula merupakan pusaka
dan lima adalah penari tingkat Aesan Gede. Mereka
keraton yang tetap terjaga. Kuntowijoyo
adalah putri- putri dari raja. Barisan berikutnya
mengetengahkan bahwa pada masyarakat dengan
yaitu nomor enam dan tujuh adalah penari tingkat
tipe-tipe kerajaan maritim dan komersial, pusat
Aesan Selendang Mantri, terdiri dari putri-putri mentri. Barisan terakhir yaitu nomor delapan dan sembilan adalah tingkat Aesan Pak Sangkong yaitu puteri pejabat biasa dalam pemerintahan 1 . Pemakaian kostum pengantin turut serta membedakan di antara mayarakat umum. Artinya, mereka yang bukan termasuk keturunan raja umumnya tidak diperkenankan memakai pakaian pengantin Aesan Gede ( dodot Palembang). Adapun ciri lain yang terdapat pada tari Gending Sriwijaya adalah properti yang dipakai yakni tanggai. Tanggai adalah kuku panjang yang memakai rumbai disebut oncer. Tanggai ini dipakai
kerajaan tidak begitu penting sehingga sulit dicari kesinabungan lembaga yang memproduksi kearifan simbolis (Kuntowijoyo, 1987:14). Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya masyarakat maritim di muara sungai dan laut seperti umumnya kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan mempunyai ciri demokratis, karena perbedaan antara rakyat dengan penguasa pada dasarnya tidak besar. Golongan bangsawan, raja, dan rakyat ikut serta dalam perniagaan bersama-sama Raja dan bangsawan memiliki modal (kapal), yang kadangkadang berniaga sendiri atau mempercayakan modalnya kepada ahli-ahli perniagaan yang
di jari kelingking, manis, tengah, dan telunjuk. Ibu
disebut Syahbandar, dengan hulu balang yang
jari tidak memakai tanggai. Bentuk tanggai yang
bertugas menjaga keamanan disebut Hang.
186
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
Tampak perbedaan yang jelas antar kesultanan
dari pemerintah daerah untuk sebuah pertunjukan
laut, dengan kerajaan agraria yang melahirkan
tari patut dipertanyakan sebagai upaya politis dari
budaya keraton. Berlainan dengan kesultanan laut,
kaum birokrat guna melegitimasi kedudukan
di kerajaan agraria kesatuan politik masih tetap ada
mereka di dalam struktur pemerintahan dan
selama masih ada pusaka-pusaka dan siti hinggil
struktur masyarakat adat. Legitimasi yang ternyata
(tahta) masih berada di tempat suci. Dapat
berbeda konsep pula karena struktur masyarakat
dikatakan bahwa selama ada keraton, kerajaan
maritim ternyata secara umum berbeda pula
masih ada. Bahkan kerajaan yang fungsi politiknya
dengan struktur masyarakat agraris (Jawa) dengan
telah dihapuskan seperti pada Sultan Hamengku
konsep “kawula gusti.
Buwono VIII, Sultan masih tetap memegang teguh
Perjalanan sejarah dan wujud yang indah dari
konsep-konsep kekuasan Gung binatara atau “raja
tari Gending Sriwijaya semakin mengukuhkan tari
besar yang didewakan,” dengan kekuasaan tetap
ini dianggap merupakan hasil dari sebuah lembaga
dipegang Sultan walaupun hanya dalam bidang
budaya kerajaan yang diyakini menghasilkan
budaya.
budaya yang halus dan bernilai tinggi. Uraian di
Uraian tersebut dimungkinkan bila tari Gending
atas maka tidak mengherankan apabila tari
Sriwijaya sebagai hasil budaya kesultanan
Gending Sriwijaya terpilih oleh penguasa daerah
Palembang turut hilang bersama runtuhnya
sebagai identitas yang ditujukan guna kebanggaan
kesultanan ini, karena selain tidak ada lagi lembaga
daerah, sebagaimana yang selalu didengungkan
budaya yang mewadahinya, pada tipe kerajaan
pada masa lalu sebagai puncak-puncak budaya
maritim pusat kerajaan tidak begitu penting
daerah, yang pada akhirnya dianggap sebagai
sehingga tari bukan merupakan pusaka keraton
kebudayaan nasional. Akan tetapi apakah usaha
yang tetap terjaga.
penyakralan yang dilakukan oleh kaum birokrat
Tari ini muncul lagi pada masa penjajahan
telah pula menyentuh masyarakat Palembang
Jepang. Jepang membentuk politik halus,
sebagai penyangga budaya tersebut? Hal ini karena
membentuk sebuah organisasi kesenian bernama
bila dilihat secara umum, masyarakat Sumatera
Hodohang beranggotakan orang Jepang dan
memiliki tradisi kuat untuk menghormati dan
masyarakat Palembang. Ketika itu tari Gending
menjamu tamu sebagaimana seorang raja. Bagi
Sriwijaya muncul kembali ke permukaan dan
mereka, merupakan aib apabila tidak dapat mejamu
setelah kemerdekaan tari ini disahkan menjadi tari
tamu sebaik mungkin. Hal ini disebabkan adanya
adat oleh pemerintah daerah. Sejak saat itu Gending
anggapan bahwa orang yang seringkali didatangi
Sriwijaya sebagai sebuah pertunjukan tari
tamu adalah orang yang sering dijadikan tempat
dipentaskan hanya untuk penyambutan tamu
bertanya bagi orang lain, sehingga ia terhormat
agung dalam upacara kenegaraan sebagai ucapan
karena ilmu yang dimilikinya atau karena
selamat datang. Bila tidak di acara kenegaraan,
kedudukannya.
maka pementasan tari ini harus mendapat izin khusus dari pemerintah.
Merupakan kebanggaan masyarakat Nias menerima tamu yang diwujudkan dengan jumlah
Kenyataan ini, menjadi fenomena menarik
rahang hewan yang disembelih yang tergantung di
bahwa pembatasan pementasan atau izin khusus
depan rumah mereka. Banyaknya jumlah rahang
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
187
hewan yang digantung itu sebanding dengan berapa
Apakah usaha untuk menyakralkan tari Gending
kali mereka telah menjamu tamu. Tidak
Sriwijaya baru sampai pada tahap revitalisasi bagi
mengherankan bahwa tari-tari yang mengiringi
sebuah pernyataan tentang pribadi yang penting
penyambutan tamu tumbuh subur di daerah
dalam masyarakat yang diakibatkan kemunduran
Sumatera. Beberapa tari penyambutan tamu
nilai klasikisme sehingga nasib anak manusia
seringkali juga ditampilkan pada upacara
menjadi begitu penting. Ataukah masyarakat
perkawinan berkait dengan kenyataan bahwa
Palembang telah masuk ke dalam masyarakat baru,
kelompok besan adalah tamu yang datang dan
yaitu masyarakat teknoratis yang memerlukan
masuk ke dalam lingkungan rumah dan keluarga
sejumlah rekayasa simbolis yang dikerjakan oleh
besar, sehingga merupakan kelompok orang yang
birokrasi.
sangat dihormati. Falsafah Nias yang menyebutkan
Akankah lahir satu budaya nasional yang pada
“emali dome notosou bagolamaya, ono razo nano oteta yama”
akhirnya dapat dianggap sebagai budaya adi
artinya tamu yang masih berada di halaman rumah
luhung yang
dianggap orang asing, tetapi kalau mereka sudah
menyebabkan pementasannya memerlukan
berada di dalam rumah diperlakukan sebagai
aturan-aturan khusus? Ataukah hal ini hanya
“raja”, maka berlakulah tata cara sebagaimana
merupakan usaha pemerintah guna melegitimasi
ditegakkan oleh komunitas itu.
kekuasaan mereka? Kekuasaan yang juga
harus
dihormati
sehingga
Kenyataan di dalam masyarakat yang men-
menghasilkan konsep-konsep simbolis dengan
dudukkan seorang penerima tamu (tuan rumah)
kedudukan seorang Gubernur sebagai pemilik
setara dengan tamu yang hadir di rumahnya. Hal
tunggal sebuah tari. Oleh sebab itu pada akhirnya
ini terirat pada tari Gending Sriwijaya bahwa tamu
akan menjadikannya sebagai sebuah wadah budaya
yang datang harus setingkat dengan Gubernur,
sebagaimana konsep-konsep raja Jawa yang men—
sebagai pemilik kedudukan tertinggi pada
dudukkan daerah mereka sebagai sebuah keraton.
pemerintahan Tingkat I sebuah provinsi. Ada kesan
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut
bahwa usaha dari pemerintah daerah untuk
dapat dirangkum pengertian bahwa sebuah
menempatkan diri sebagai penguasa yang
pertunjukan akan selalu merangkai nilai-nilai sosial
melegitimasi kedudukan mereka baik secara
yang mendasari kelahirannya. Selain itu, nilai
birokratis maupun simbolis. Tampaknya hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo, bahwa secara umum kita memasuki masyarakat teknoratis yang memerlukan sejumlah rekayasa simbolis yang dikerjakan oleh birokrasi. Ia memandang bahwa masyarakat teknoratis benarbenar sebagai sebuah masyarakat neo patrimonial. Sebuah bureaucratic polity yang mengambil manfaat kearifan aktual dan kearifan simbolis yang menyatu (Kuntowijoyo, 1987: 14). Muncul pertanyaan apa yang paling penting didapat dari kenyataan yang lahir kemudian?
pernyataan pribadi menjadi begitu penting bagi sebuah identitas masyarakat. Selanjutnya, kebutuhan kelompok yang berbeda dapat pula bermain di dalamnya. Bila melihat perjalanan sejarah di Indonesia secara umum, tidak bisa dipungkiri kebenarannya bahwa masyarakat sering mengidentikkan nilai-nilai Keraton Jawa dengan penguasa “orde baru” dan nilai-nilai tersebut sering pula dipakai oleh penguasa dalam penguasaannya terhadap suatu wilayah. Sebagai seorang seniman yang dianggap memiliki penilaian
188
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
yang tertentu, dan diduga bahwa identitas nasional
upacara ritual maupun acara-acara pemerintah
yang ditawarkan di dalamnya tetaplah sarat
biasanya para penari dan masyarakat berkumpul
dengan muatan politis.
untuk bersama-sama berperan, mengemban tugas dan menunjukkan tanggung jawab masing-masing.
Gambar 1. Tampak para penari Gending Sriwijaya dalam upacara perkawinan anak pejabat pemerintah setempat. ( foto: Hendra, 1999).
Gambar 2. Tari Gending Sriwijaya yang ditampilkan pada acara Penyambut Tamu (foto: Hendra, 1999).
Tari Gending Sriwijaya tidak hanya berfungsi
Kontinuitas pertunjukan Gending Sriwijaya
sebagai tari penyambutan tamu yang sifatnya
selain ditunjang oleh latar belakang budaya yang
ritual, namun sebagai salah satu sistem budaya
berorientasi pada kebutuhan bersama juga diiringi
yang memberi tanda bahwa ia merupakan identitas
oleh transmisi yang bersifat perorangan. Proses
budaya orang Palembang. Sesungguhnya tari
transmisi penyampaian pada Gending Sriwijaya
Gending Sriwijaya, berkaitan dengan upacara
meliputi materi atau bentuk dan nilai-nilai yang
penyambutan tamu yang selama ini untuk
terkandung di dalamnya. Meskipun nilai-nilai dan
memenuhi kebutuhan yang bersifat ritual, yang
makna yang terkandung kadang-kadang sulit
akhirnya berkembang menjadi seni tontonan.
ditangkap dan dimengerti oleh generasi penerus,
Perkembangan pariwisata membawa dampak
tetapi hal itu tidak merupakan penghalang untuk
pula bagi pertumbuhan Gending Sriwijaya. Tarian
kelangsungan pewarisnya. Hal ini sejalan dengan
ini dikemas untuk disajikan di luar kepentingan
konsep pikir Josep Fischer yang dikutip Soedarso
semula, ia dikemas untuk meladeni selera massa.
bahwa:
Pementasannya senantiasa dibanjiri penonton, bahkan digunakan untuk kepentingan pemerintah daerah, merayakan hari ulang tahun Kemerdekaan Repoblik Indonesia, dan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Repoblik Indonesia. Selain itu, Gending Sriwijaya berfungsi mem— pertebal rasa solidaritas kelompok. Solidaritas dimaksud di sini adalah solidaritas sesama penari, dan antar penari dengan penyelenggara yang turut
“The rural.... are the visual ekspression and technological processes of peole living at several cultural, religion and technological levels. The are of the settled village and countryside of people with lives turned to the rhythm of nature and its laws of cyclic change, and of people with memories of ancient migrations forced by war, epidemic, hunger, and of live myth that makesthe archis gods and legend cotemporary, are involved with household and fertility ritual....and ....rites that invoke and establish the goddess, the quicknened kernel of energy and power, within the hut and the village community”.( Soedarso SP, 2005: 175).
terlibat di dalamnya. Melalui pertunjukan Gending
Kelangsungan seni pertunjukan rakyat dewasa
Sriwijaya baik yang diselenggarakan dalam
ini, tidak hanya terdapat di desa-desa atau di daerah
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
189
pinggiran, tetapi juga di kota-kota besar. Seni tradisi
pelaku tari dibina serta dilatih dengan mengarahkan
dan seni modern berjajar bersama-sama di banyak
pada profesionalisme pertunjukan. Mereka
tempat, di kota-kota maupun di desa-desa. Kondisi
berupaya merencanakan pertunjukan lebih
demikian juga dialami oleh seni pertunjukan
menarik, langgeng, dan lebih menyenangkan.
Gending Sriwijaya. Pertunjukannya telah meng—
Perubahan “ditawarkan” oleh berbagai
alami perubahan atau perkembangan serta
kemungkinan yang berangkat dari pengalaman
kemajuan apabila dibandingkan dengan Gending
para pelakunya. Berbagai faktor sebagai pendorong
Sriwijaya pada masa lalu. Metode pengajaran dan
dan turut mengambil bagian dalam proses
teknik pementasan sekarang telah memanfaatkan
perubahan suatu kebudayaan di antaranya adalah
teknologi modern. Meskipun kecil, modernisasi
hubungan dengan orang asing dan perjalanan yang
ternyata sempat masuk ke dunia seni pertunjukan.
pernah dilakukan, pendidikan yang sudah
Hal ini dapat diamati antara lain pada pementas—
ditempuh dan media komunikasi yang tersedia. Seni
annya yang mempergunakan panggung prosenium.
pertunjukan sebagai bagian dari kebudayaan yang
Gending Sriwijaya tidak hanya dikenal sebagai
berlangsung pada masyarakat mengalami
tarian untuk penyambutan tamu, tetapi ia memiliki
perubahan dengan faktor-faktor penyebab seperti
suatu fleksibilitas untuk senantiasa disesuaikan
tersebut, selain berdasarkan pertimbangan segi
dengan berbagai temperamen penyajian. Penyajian
ekonomi dan keterlibatan pemerintah.
itu tidak lain sebagai upaya pelestarian dan
Kontak atau hubungan dengan orang-orang dari
perkembangan yang mengarah pada perubahan.
luar komunitas tidak dapat dihindari. Kedatangan
Perubahan memang tidak mungkin ditolak, karena
warga komunitas lain diterima sebagaimana
perubahan adalah sifat utama dari masyarakat dan
adanya. Mereka yang datang dengan berbagai
kebudayaan. Tidak ada masyarakat dan kebu—
maksud berikut membawa pola berpikir dan
dayaan yang didukungnya yang tidak berubah,
kebiasaan masing-masing. Perkenalan antara
semua berubah sesuai ketentuan alam, dan sosial
masyarakat dengan sesuatu yang baru datang
yang telah berubah. Perubahan dapat bersifat
mampu menumbuhkan gagasan baru bagi
evolutif maupun revolutif (Safri Sairin, 2000: 19).
masyarakat tersebut untuk mengembangkan apa
Seiring bejalannya waktu, Gending Sriwijaya mengalami perubahan dua sisi yang berbeda. Ia
yang sudah dimiliki. Fakta
menunjukkan
bahwa
semakin
masih berada dalam keritualnya dan ketradisian,
berkembang suatu daerah semakin terbuka pula
namun seiring perkembangan tarian ini turut pula
pengaruh dari luar. Daerah yang semula terisolasi
menyesuaikan dengan situasi lain ia dikemas
karena jauh dari hiruk pikuk kota menjadi terbuka
menjadi seni wisata. Sebagai produk wisata
dan memberi peluang serta daya tarik tersendiri
kehadiran tari Gending Sriwijaya akan tampak
untuk tujuan wisata yang menjanjikan dan
berbeda dengan yang biasa dipentaskan. Kondisi
memberi suguhan yang sesuai dengan selera
ini dapat diamati melalui aspek-aspek pertunjukan
wisatawan. Kenyataan seperti ini menjadikan seni,
yang meliputi durasi pementasan yang diper—
khususnya seni pertunjukan berorientasi pada
singkat, kostum ditata sesuai kebutuhan. Struktur
ekonomi dan dibuat hanya untuk kebutuhan
tari direvisi dari sudut pandang estetika, dan para
wisatawan. Sebagai pertunjukan yang dikemas
190
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
untuk wisatawan menjadikan karya tersebut
kesenian merupakan penggunaan imajinasi secara
dangkal akan nilai ritual atau kehilangan aura
kreatif untuk menerangkan, memahami, dan
karena tidak lagi kontekstual. Kasus-kasus seperti
menikmati hidup ( Haviland W.A, 1993: 224).
ini merupakan contoh perkembangan atau
Dengan tidak melepaskan diri dari definisi-
pergeseran fungsi ritual yang belum keluar jauh dari
definisi di atas, dalam kajian ini mencoba
konteks kehidupan religiusitas masyarakatnya.( Hermien Kusmayati, 1999: 9). Kebijakan yang diterapkan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan
Gending Sriwijaya
berakibat pada wujud yang disesuaikan dengan kepentingan penyelenggaraannya. Campur tangan
merangkum pemahaman bahwa kesenian atau seni merupakan
ruang
bagi
wacana
tempat
bersemayamnya pikiran dan rasa, sehingga terjelma satu konfigurasi budaya. Pikiran dan rasa yang sifatnya abstrak itu bisa merupakan wacana individual, wacana individu sebagai anggota masyarakat atau wacana keseluruhan anggota
pemerintah terhadap Gending Sriwijaya tampak
masyarakat sebagai suatu kolektiva. Konfigurasi
kuat dan terungkap dalam aktivitas kampanye
pikiran dan rasa itu pernah diurai oleh Mursal Esten
pemilihan umum. Bahkan dijumpai penari
dalam kaitannya dengan kesenian Minangkabau.
berpakaian warna sesuai pesanan partai tertentu.
Model konfigurasi ini akan digunakan sebagai salah
Fenomena yang muncul saat ini Gending
satu acuan dalam telaah ini.
Sriwijaya berjalan kedua arah yang tidak seiring,
Hasil pemahaman di lapangan yang ditunjang
karena berbagai sebab atau pengaruh. Di sisi lain,
sumber-sumber referensi menunjukkan adanya
Gending sriwijaya masih diperlukan sebagaimana
dua macam fenomena yang bersentuhan dengan
adanya. Kajian ini berlatar belakang dari sebuah
seni. Pertama, ada fenomena seni yang bisa diamati
pemikiran tentang apa yang dimaksud dengan seni
sebagai entitas seni karena ada musik, tari, sastra,
etnik Indonesia sebagai identitas suatu daerah ?
dan gejala seni lainnya, tetapi komunitasnya
Gending Sriwijaya itu bukan Indonesia, tetapi
menyatakan itu bukan laku seni atau karya seni dan
Palembang, sedang Ngremo itu Jawa Timur, Tor-
bukan ekspresi hasrat keindahan. Fenomena seni
Tor bukan Indonesia, tetapi Batak. Apakah Indone-
ini lebih mengacu pada pengertian menjadi “ruang”
sia itu yang gado-gado, dengan sikap tubuh gaya
tumpangan bagi tempat persemayaman keyakinan,
Bali, dan cara berjalan dari Sunda? Pencarian atas
pengetahuan, atau nilai-nilai. Kedua, pengetahuan,
identitas sebagai etnisitas memang terus bergulir
keyakinan, atau nilai-nilai menjadi muatan dalam
dan tentu semakin mendalam, dipengaruhi isu glo-
karya seni yang bernuansa keindahan, yang oleh
bal yang merisaukan. Kontroversi ragam
komunitasnya juga dirasakan dan diakui sebagai
pandangan pun tetap muncul.
wujud ekspresi seni atau keindahan. Kedua macam fenomena seni itu muncul pada sejumlah suku
C. Konsep Seni
bangsa dalam bentuk upacara dan berbagai jenis kesenian tradisional. Pada wujud semacam tersebut
Konsep seni ada yang dipahami sebagai ekspresi hasrat manusia yang tidak lepas dari keindahan.
diupayakan sebuah pemahaman pesan-pesan budaya yang menyangkut nilai-nilai seni.
Pandangan lain menyatakan seni tidak mesti terkait
Peran budaya dapat ditelusuri dan dikenali
dengan keindahan. Ada pula yang menyatakan
melalui fenomena seni pada beberapa suku bangsa.
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
191
Pemahaman atas konfigurasi budaya dan seni
merasuk dan membayang pada cermin yang
Minangkabau dapat bertolak dari ungkapan adat
tergantung pada bidang dinding rumah gadang.
yang bersahaja, yaitu bergurulah pada sifat dan
Seandainya pemahaman di atas tadi benar
hukum alam, pelajarilah alam itu untuk sampai
adanya, sesungguhnya fenomena dan pola
pada hakikat makna yang tersirat, yang tidak lain
semacam itu terasa dan bersemi pada etnik-etnik
adalah kebenaran, dan kebenaran itu adalah sang
lain dalam tampilan variatif. Tampilan berbagai
pencipta alam semesta. Berguru dan meraih
kesenian Sunda ternyata bernuansa riang, humor,
kebenaran itu seharusnya menggunakan raso (rasa)
dan erotis, menjelma dalam tarian Jaipong dan
dan pareso (akal pikiran). Rasa dan akal pikiran
irama gendangnya. Sebaliknya, irama petikan
menjadi seiring, setelah kebenaran berdasar akal
kecapi atau alunan suara seruling Sunda sedemikian
pikiran itu diuji dengan rasa. Sebaliknya, kebenaran
melankolis, mengiris, atau menyayat rasa. Kedua-
sebagai pancaran rasa diuji dengan akal pikiran.
duanya harus ada untuk melahirkan harmoni.
Lalu keduanya masih akan diuji lagi pada alur (alua)
Etnik Batak (Sumatera Utara) memiliki gondang
yang bermuatan sifat dan hukum alam yang
teater total kehidupan dengan perangkat musik, tari
mungkin patut (patuik). Kepatutan itu sendiri
(tor-tor), sastra, dan unsur seni lainya. Gerak tor-
bermuatan etika, kesusialaan dan hati nurani
tor mengalir lembut teriring irama musik lincah,
(Mussal Esten 1992:12). Semuanya itu merupakan
terkadang
konfigurasi budaya yang masih dipandu oleh
persembahan pargonsi pada suasana dinamis yang
keyakinan agama, yang berfungsi sebagai acuan
akhirnya terakumulasi dalam kesakralan. Para
bagi kehidupan sosial yang sedemikian luasnya.
penari tor-tor geraknya bersama menjadi lumat,
membahana,
hantaran
dan
Bagaimanakah sentuhan konfigurasi itu pada
berurai air mata. Titik air mata itu rupanya ruang
kesenian, yang juga sebagai tempat belajar dan
bagi wacana nilai-nilai, keseimbangan suka dalam
bercermin? Coba disimak, misalnya pada seni tari
duka.
Minangkabau dengan gerak atraktif pencak silat.
Pemahaman atas nilai-nilai masih dapat kiranya
Konon, pola gerak itu merupakan simbol akal
ditangkap dalam berbagai kesenian etnik tersebut.
pikiran yang menyiratkan makna keterbukaan dan
Kesenian Didong merupakan paduan sastra, seni
kewaspadaan sebagai simbol acuan dalam
suara, seni tari, pada etnik Gayo , yang mengacu
merespon tantangan, seiring dengan perubahan
pada nilai dasar harga diri kelompok. Nilai dasar
lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya.
ini harus ditunjang daya kreativitas tinggi, dengan
Pada seni musik, misalnya pada irama saluang
sifat kompetitf yang lekat, dalam melahirkan
merupakan pancaran atau simbol rasa nan
keindahan dan berkualitas dengan nuansa rasa dan
melankolis, mengalunkan duka lara nan menyayat.
pikir amat menonjol. Kreativitas itu adalah
Rupanya kedua nuansa tadi harus ada dan
tuntutan dari sistem kesenian Didong, yang secara
berjalan seiring pada alur dan patut menyiramkan
terus menerus menghasilkan karya berupa lagu dan
sesuatu yang harmoni, sebagai rasa, nilai, sekaligus
lirik baru yang berkualitas tinggi dalam arti makna
acuan jati diri kehidupan kelompok. Nilai harmoni
yang dalam, tajam, serta bentuk tata bunyi nan
hadir dan mengendap lewat proses dinamis dan
indah. Bobot lagu terukur oleh warna Gayo dan
melankolis, mewakili rasa dan akal pikiran, lalu
warna kepribadian dan kemandirian hasil karya
192
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
yang lahir karena disiplin diri yang kuat dari ceh.
tradisional harus dipertimbangkan. Akibatnya,
Nilai-nilai yang diemban dan diacu oleh kesenian
prinsip-prinsip artistik dari seni pertunjukan
ini adalah harga diri, kreativitas, kualitas,
seperti irama, keseimbangan, pengulangan, kontras,
kompetitif, indah, dan disiplin. Seseorang tidak
variasi, transisi, urutan, klimaks, proporsi, harmoni
pantas jadi seniman tanpa kreativitas, kualitas
dan kesatuan harus disorot. Latihan khusus dengan
karya, dan lain-lainnya. Ia akan tergilas sendiri oleh
sentuhan profesional dibutuhkan untuk menjamin
sistem kesenian Didong. Sistem tersebut
pertunjukan dapat memenuhi standar artistik dan
menyebabkan kesenian Didong melahirkan belasan
pada saat yang sama memberikan hiburan dan
ribu lagu dan puluhan ribu bait puisi atau lirik.
rekreasi. Hal ini berarti bahwa semakin dibutuhkan
Tidak tepat kalau kesenian tradisisonal itu dituding
banyak koreografer.
bersifat statis, dangkal, kasar, menolak perubahan,
Seni pertunjukan tradisional secara fungsional
tidak kreatif, dan lain-lain. Akhir-akhir ini
dapat dijadikan salah satu daya tarik para turis
pandangan semac am tersebut telah banyak
yang berakibat pada peningkatan pendapatan
berubah.
masyarakat lokal dan kesejahteraan sosial ekonomi mereka, sehingga secara perlahan-lahan akan
D. Kesenian sebagai Wacana Budaya Bangsa
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan sumber alam mereka secara ekstensif.
Terkait dengan hasil-hasil pemahaman tentang
Hal ini baik bagi upaya konservasi lingkungan.
nilai-nilai sebagai substansi kesenian pada
Begitupun sebaliknya, seni pertunjukan
sejumlah suku bangsa tadi, dalam berbagai jenis
tradisional menjadi tidak utuh lagi, ketika manusia
dan corak ragam kesenian suku bangsa tersebut,
kemudian memberhalakan hukum ekonomi yang
akhirnya dapat diketahui adanya nilai-nilai yang
materialistik dan hasil teknologi yang sering
sama, misalnya: indah, halus, riang, melankolis,
merusak keseimbangan serta struktur lingkungan.
kreatif, inovatif, harmoni, kompetitif, dinamis,
Seharusnya hukum ekonomi dan teknologi
ekspresif, dan lain-lain. Sebagian nilai tersebut juga
diarahkan dalam rangka untuk meningkatkan
termasuk kategori nilai religi, nilai sosial, nilai
kualitas
pengetahuan, dan lain-lain. Nilai budaya
kenyataannya, hukum ekonomi sangat kapitalistik
merupakan acuan yang ajeg dan penting bagi
dan teknologi tidak berorientasi pada keutuhan dan
kehidupan sosial.
kelestarian untuk kehidupan di bumi.
hidup
manusia,
tetapi
dalam
Konteks lain yang memungkinkan berperannya kesenian etnik adalah peristiwa penyambutan
E. Eksploitasi Seni Tradisi
pejabat pemerintah atau orang terkemuka yang datang ke desa. Kebutuhan yang sama juga muncul
Sebuah fenomena menarik saat ini adalah
dari sektor turisme, karena pemerintah bertujuan
penayangan seni tradisi di televisi yang dieksploitasi
membangun sektor ini sebagai bagian dari
untuk kepentingan tertentu. Seni tradisi sebagai
kebijakan pembangunan regional dan nasional.
ekspresi budaya suatu lingkungan masyarakat
Untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan
dimana kesenian tersebut hidup. Dalam rangka
tersebut, sisi artistik dari seni pertunjukan
mempertahankan
kekuasaan,
pemerintah
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
193
seringkali merekayasa seni tradisi demi kepentingan
Seni yang berkembang di desa-desa masih
politik yang mendukung sang penguasa. Seni tradisi
bersahaja, homogen, spontan, dan responsif. Baik
di televisi maupun pada festival-festival disajikan
bentuk maupun geraknya sederhana, yang
dengan selera metropolis dengan meniadakan nilai-
berfungsi sebagai pengikat solidaritas. Misalnya,
nilai substansial dalam kesenian tersebut. Dieter
tari Asyik di daerah Kerinci, merupakan ulangan
Mark menyatakan bahwa sajian seni melalui me-
yang berkepanjangan. Konon karena mengikuti
dia teknologi cenderung pada sebuah konformisme
repetisi yang terus menerus tersebut, maka
yang merupakan hakikat medium itu sendiri tetapi
beberapa di antara pelakunya mengalami trance.
bukan hakikat seni. (Mark Deter, 1999: 27).
Bersamaan dengan itu pawang yang berdiri di luar
Seni tradisi di media telah kehilangan roh dan
arah hadap penari memercikkan air cendana ke
auranya karena tidak lagi kontekstual. Melalui me-
sekeliling tempat upacara sambil membaca man-
dia televisi seni tradisi bukan lagi merupakan
tra-mantra, isi mantra untuk memanggil roh nenek
ekspresi kolektif yang menyampaikan pesan-pesan
moyang. Pada bagian-bagian tertentu pawang akan
(nilai-nilai) melainkan imagi (kesan-kesan).
berseru diselingi oleh sahutan para penari. Para
Kebanyakan sajian seni tradisi selalu sentralistik.
pemusik yang membunyikan instrumen duduk
Semua diproduksi dengan selera metropolis,
melingkar. Orang orang tertentu segera mulai
sehingga seni tradisi kehilangan spesifikasinya. Apa
mengumandangkan nyanyian berupa syair-syair
yang menarik bagi masyarakat metropolis belum
berbahasa daersah Kerinci. Tidak lama kemudian
tentu menarik bagi masyarakat di lingkungan
yang lain mengikuti, akhirnya semua terus
dimana kesenian tersebut hidup. Di lain pihak
menyanyi dan menari. Syair-syair antara lain berisi
pemilik kesenian tersebut menjadi asing dengan kesenian tradisinya karena apa yang mereka lihat di televisi berbeda dengan apa yang mereka hayati di tengah kehidupannya. Inilah yang kemudian dikatakan Hermien bahwa kesenian mengalami kehampaan eksistensial. Ketika suatu lingkungan mengalami kehampaan eksistensial mereka bukan akan lebur di dalam kesatuan kebangsaan tetapi justru akan merasakan ketertindasan dan menjadi lingkungan masyarakat yang tidak diperhitungkan sehingga justru yang bertambah semangat separatisme. Kenyataan seperti ini menjadikan seni tradisi berorientasi pada ekonomi dan dibuat hanya
doa agar desa mereka terhindar dari bencana. Situasi ini memberi petunjuk bahwa untuk melestarikan kehidupan manusia harus bersahabat dengan kehidupan dan lingkungan alam (Surherni, 2005: 175). Seperti telah diketahui bahwa, seni tradisi tidak membutuhkan pengakuan siapa pelakunya. Hampir dapat dipastikan tidak mengalami perkembangan apa-apa dari waktu ke waktu bentuknya hampir sama, karena umumnya sudah menyatu dan serasi dengan masyarakat pemiliknya. Sebagaimana telah diketahui bahwa di masa lalu masyarakat tradisional tidak pernah hirau akan kreativitas dan selalu puas dengan apa yang dimilikinya. Lebih lanjut Kuntowijoyo
untuk kebutuhan para birokrat. Sebagai
menambahkan bahwa apabila seni adiluhung yang
pertunjukan yang dikemas untuk birokrat
dapat didentikkan dengan seni istana itu adalah seni
menjadikan karya tersebut memiliki kedangkalan
yang tuntas dan halus, maka sebaliknya seni rakyat
nilai ritual atau kehilangan auranya karena tidak
atau tradisi bersifat kasar dan tidak tuntas
lagi kontekstual (Hermien Kusmayati, 1999: 10).
(Kuntowijoyo, 1987: 25).
194
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
Teknologi dan berbagai kemungkinan kemajuan
aturan adat dan tercermin dalam seni tradisi
dalam kenyataan, sepenuhnya dikontrol oleh kuasa
semestinya merupakan referensi-referensi yang
uang atau kebudayaan kapitalis yang tidak dimiliki
sangat signifikan di jaman sekarang. Ekspresi dalam
oleh masyarakat kebanyakan. Kesempatan untuk
seni tradisi tersebut merupakan simbol-simbol
berkembang tidak lagi cukup hanya karena bakat
kebudayaan. Kebudayaan sebagai hasil kreatifitas
dan kemampuan, melainkan oleh uang. Tanpa uang
manusia mengandung makna-makna hidup yang
semua kemungkinan menjadi tertutup. Masyarakat
dialami seniman (manusia). Oleh karena itu simbol
kebanyakan tidak memiliki uang untuk
berkaitan erat dengan nilai. Nilai-nilai tentu saja
perkembangan tersebut, maka mereka hanya
bukan sesuatu yang bersifat kepentingan praktis,
berlaku pasif sebagai penerima apa yang dipilihkan,
tetapi harus dapat memahami semangat
diseleksi, dan diberikan oleh para kapitalis serta
komunalitas dan partisipasi atau dedikasi (I Made
sambil tetap berdiri di sela kemajuan. Ternyata apa yang dikatakan M. Lacan bahwa dunia akan menjadi desa dunia, tidak sepenuhnya terc apai. Kebudayaan desa yang memiliki kekentalan nilai manusiawi, seperti perhatian solidaritas, saling menolong, kesatuan dengan alam lingkungannya tidak tercipta. Teknologi tinggi memiliki kecenderungan alienasi atau keterasingan. Sikap individual dan cenderung merusak harmoni kebudayaan. Di tangan kuasa modal, teknologi tinggi dipergunakan untuk menggalang mobilitas masa, menyelaraskan selera, gaya hidup, dan kepentingan pribadi. Manusia lebih percaya pada hasil teknologi tinggi dan hukum-hukum ekonomi untuk mencapai tujuan yang sudah bergeser ke arah kepentingankepentingan individual. Dalam hal ini aturan pergaulan, etika, dan perilaku antar manusia serta terhadap alam lingkungan telah diabaikan. Sikap dan tindakan berkebudayaan menjadi tidak utuh lagi. Ketika manusia kemudian memberhalakan hukum ekonomi yang materialistik dan hasil teknologi yang sering merusak keseimbangan, serta struktur alam lingkungan.
Bandem, 2004: 13). Selain itu, kebudayaan berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam nilai-nilai etika dan kemanusiaan (Geertz Glifford, 1980: 25). Televisi sebagai media hasil teknologi tinggi menurut Walter Ong disebut sebagai kebudayaan lisan kedua (secondary orality) tidak jauh dari kebudayaan lisan pertama, unsur perasaan menjadi sangat penting. Oleh karena itu dalam kebudayaan lisan kedua inipun hal-hal yang berhubungan dengan perasaan biasanya menjadi bagian yang sangat diperhatikan. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana menyusun sajian dalam format televisi dimana orang terbiasa dengan kebudayaan verbal dan pikiran verbal yang muncul dari kebudayaan tulis. Pada kebanyakan program televisi karena sang produser dan sutradara masih berpikir dengan bahasa verbal dan penontonnya pun menonton dengan konsepsi berpikir verbal, maka jadilah program seni tradisi yang corak sajian dan logika verbal. Sejauh ini eksperimen-eksperimen terus dijalankan untuk mencari format bagaimana seni tradisi dapat muncul di tengah kemajuan teknologi tinggi. Di satu pihak beberapa ahli sangat menentang
Dalam hal ini seni tradisi terasa lebih bermakna
upaya ini dengan kekhawatiran bahwa akan terjadi
karena mampu mendorong semangat kecintaan
pendangkalan nilai-nilai substansialnya. Di lain
pada kehidupan manusia dan alam semesta. Nilai-
pihak anggapan bahwa seni tradisi adalah bagian
nilai, norma dan etika yang terkandung dalam
yang sangat esensial dalam rangka membangun
Suherni Etnisitas, Kreatifitas, dan Identitas dalam Wacana Seni Budaya Bangsa
195
kehidupan kesejagatan dimana nilai-nilai
dari segi waktu. Efesiensi waktu dengan tetap
kemanusiaan dan kecintaan pada lingkungan hidup
mempertimbangkan aspek yang lain misalnya
jarang sekali menjadi referensi. Maka upaya-upaya
estetis dan masih sesuai dengan format budaya.
baru harus selalu dicari untuk menemukan format
Harapan masyarakat awam, yang suka dengan seni
yang sesuai bagi seni tradisi agar ditampilkan
pertujukan, dari melihat seni mereka dapat
melalui medium teknologi tinggi. Pemahaman
terhibur. Jadi fungsi tari menjadi hiburan semata,
bahwa teknologi dan ekonomi jauh dari unsur-
sehingga kebutuhan rohani terpenuhi. Orang awam
unsur kebudayaan khususnya kesenian dan nilai-
tidak mengerti estetis seni pertunjukan yang
nilai, tidak seharusnya terjadi karena suatu sinerji
diciptakan senimannya. Lain bagi masyarakat yang
dari ketiga unsur kebudayaan tersebut untuk
suka dan mengerti seni pertunjukan, mereka
menjadi satu yang utuh kemudian dapat
melihatnya sebagai bahan apresiasi, sedangkan
bermanfaat bagi seluruh kehidupan manusia dan alam. Sebab di dalam seni tradisi terkandung etika, nilai, kemanusiaan, dan penyelamatan lingkungan hidup. Hal ini merupakan tantangan bagi semua dalam menghadapi kehidupan di tengah teknologi tinggi dalam situasi kehidupan sejagat. Kenyataan produk seni tradisi saat ini sudah banyak mengalami perkembangan dan kemajuan bila dibandingkan dahulu. Metode penyajian dan teknik pementasan memanfaatkan teknologi yang
sebagai kebutuhan hidup, seni dikomersilkan dan sebagai profesi. Perlu diingat bagaimana seharusnya produk seni dapat diterima di masyarakat. Orientasi produk seni tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang sudah akrab dengan masyarakat dan sesuai dengan formatnya. Faktor pribadi, psikologis, sosial, dan budaya harus selalu dipertimbangkan, selanjutnya direfleksikan ke dalam karya seninya. Khusus produk seni yang komersil, selera masyarakat harus
modern. Sebagian kecil modernisasi ternyata
diperhitungkan. Produk seni harus komunikatif,
sempat masuk ke dunia pertunjukan seperti tari ,
mudah diterima dengan tetap mempertimbangkan
teater, karawitan dan sebagainya. Pola pikir,
kualitas produk yang estetis dan disesuaikan dengan
konsepsi hidup, dan gaya hidup terefleksi ke dalam
tingkat apresiasi penikmat dan di segmen mana,
seni pertunjukan tersebut, sebagai hasil daya kreasi
siapa, di lingkungan mana, serta durasi penyajian
dan daya cipta senimannya, sehingga perilaku
harus diperhitungkan.
seniman yang berkarya juga mempengaruhi. Kehadiran seni tradisi pertunjukan sangat
F. Simpulan
berperan, baik individu maupun masyarakat. Masyarakat yang terpengaruh modernisasi,
Kesenian sebagai bagian dari institusi budaya
prinsip efesiensi dan efektif senantiasa menjadi
secara keseluruhan saling terkait dan memfungsikan
pertimbangan. Masyarakat yang tinggal di kota,
di antara institusi yang ada. Proses kebudayaan
secara umum memiliki ciri lebih mudah dan terbuka
dalam konteks kegiatan politik pemerintah daerah
dalam menerima pengaruh baru dan modern, serta
turut serta memfungsikan kesenian sebagai bagian
lebih aktif dalam menciptakan inovasi-inovasi.
dari sistem kekuasaan. Wacana identitas oleh
Dalam produk seninya pun juga terpengaruh.
pemerintah telah dimanfaatkan untuk membangun
Produk seninya telah mengidentifikasikan dengan
kehidupan kesenian yang tersebar di wilayah.
tata hidup yang serba efesien dan efektif. Terutama
Kesenian yang cukup beragam dengan sebutan
196
budaya etnik dikenai sentuhan kreatif atas nama pembinaan kesenian. Pembinaan kesenian merupakan realisasi dan solusi dari kenyataan kondisi rapuh seni etnik untuk dijadikan sebagai terapi terhadap berbagai budaya yang serentak datang. Identitas yang merupakan alat politik untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan terhadap budaya sendiri menghendaki kreativitas dalam memperlakukan etnisitas seni budaya yang dimiliki. Maka pemerintah daerah mengambil peran aktif dalam menciptakan kondisi pertumbuhan dan perkembangan seni budaya yang dirasakan menggembirakan. Peran aktif pemerintah dalam kegiatan kreatifitas seni ini di satu sisi membawa nilai positif dengan maraknya kegiatan pentas seni pertunjukan dan budaya secara umum, selain juga membawa dampak negatif dilihat dari sisi kergantungan seniman dan atau pelaku-pelaku dalam eksistensi berkeseniannya. Pertumbuhan seni tradisi bagi para seniman dihadapkan pada masalah tradisi dan modernisasi.
Vol. 8 No. 2, Juli 2013
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Iventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Selatan, 1984. Djatiprambudi, Djuli. “Seni (Rupa) dan Politik Identitas” dalam Jurnal Seni dan Budaya Surabaya: UNESA, 2002. Esten, Mursal. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara Jakarta: Intermasa, 1992. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1980. Hastanto, Sri. “ Peran Serta Masyarakat dalam Indiginasi budaya indonesia” makalah Seminar Seni Pertunjukan Indonesia Seri II di STSI Surakarta, 2001. Haviland, W. A. Antropologi Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 1993. Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987 . Kusmayati, Hermien. “ Seni Pertunjukan Ritual Tumbuh dan Kembang Ke Arah Mana” dalam Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia Tanggal 9-10 Mei 1999, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1999.
Bagi seniman sebagai ujung tombak pembaharuan, maka tidak ada jalan lain kecuali melihat ke depan namun hal ini tidak berarti menyepelekan nilai-nilai tradisi, justru harus berkembang dari kekayaan yang ada, yaitu seni tradisi. KEPUSTAKAAN Bandem, I Made. ”Seni Tradisi di Arus Perubahan” dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan STSI Padangpanjang, 2004. Barker, Chris. 2009, Cultural studies, Theory and Practice, yang disitir oleh Bayu Kritianto, “Film Mendadak Dangdut Pemahaman Geografi Budaya dan Identitas” dalam Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Volume 11 No. 1, April 2009.
Mark, Dieter. Keragaman dan Silang Budaya Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999. Sairin, Sjafri. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. S.P., Soedarso. “Revitalisasi Seni Rakyat dan Usaha Memasukkannya ke dalam Seni Rupa Kotemporer” lihat Surherni “Tari Asyik dari Ritual Magis ke Seni Pertunjukan” EKSPRESI Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Volume 14, tahun 5, Yogyakarta, 2005.