Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa Opini
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
H.A.R. Tilaar E-mail:
[email protected] Persatuan Guru Republik Indonesia
Abstrak ehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia belakangan ini memberi kesan kerunyaman dengan berbagai peristiwa yang merendahkan martabat bangsa serta mencerminkan karakter bangsa yang semakin memburuk. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari semakin melemahnya pengetahuan, penghayatan, dan penerapan nilainilai Pancasila sebagai dasar negara dan kristalisasi budaya bangsa. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, nilai-nilai luhur Pancasila diupayakan dilestarikan dan dimutakhirkan melalui sistem pendidikan nasional di semua jenis dan jenjang pendidikan. Akan tetapi, kenyataannya masih banyak terdapat prilaku-prilaku pemimpin bangsa dan warga masyarakat Indonesi yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila terlebih-lebih karena pendidikan Pancasila diangap sebagai masalah guru, kurikulum, dan politik,bukan merupakan masalah ideologis yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari oleh setiap warga negara Indonesia. Tulisan ini menelaah masalah ini dengan mengkaji kembali pengertian, makna, dan pengembangan watak dalam pribadi masyarakat Indonesia yang bhineka. Pembahasan berkaitan dengan agama, budaya, dan pendidikan karakter di Indonesia.
K
Kata-kata kunci: Makna bangsa, karakter bangsa, kebudayaan, nilai Pancasila, pendidikan karakter.
Religion, Clture, and Nation Character Education Abstract In the last few years, the practice of nation and state in Indonesia indicated unfavourable impression as the number of phenomena occured weakening the national dignity and worsening the national character image. It is believed that the unwanted phenomena resulted from decreasing knowledge, insight, and practice of Pancasila value rooted on Indonesian original culture as the state ideology and life philosophy of Indonesian people. In practice, many Indonesian leaders and people still perform their lives against the Pancasila value. Worse, the implementation of Pancasila is considered as the business and responsibility of educational institutions, curriculum, teachers, and politition not as the way of life of all Indonesians. This article elaborates and discusses this matter by clearifying the notion of character building in Indonesian societies with multi cultural background. The discussion is related to religion, culture, and character building. Keywords: Nation, nation character, culture, Pancasila value, character building.
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
Pendahuluan Bagi bangsa Indonesia, agama adalah weltanchauung dan sebagai ideologi masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebagai pandangan dunia (weltanchauung), manusia dan masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai nilai fundamental yang mendasari dan mengarahkan seluruh kehidupannya. Tidak mengherankan apabila Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia menjadikan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan utama yang menyinari keseluruhan sila-sila lainnya. Dalam tulisan ini, penulis mendudukkan agama sebagai bagian integral dari kebudayaan dalam arti luas. Bukan berarti mengdegradasikan agama sejajar atau di bawah kebudayaan, justru melihat agama sebagai bagian integral dari keseluruhan hidup manusia Indonesia. Nilai-nilai agama menyinari dan mengarahkan nilai-nilai kehidupan lainnya atau integratif dengan nilai-nilai Pancasila sebagai keseluruhan termasuk dalam pendidikan nasional. Pada 14 Januari 2010 telah diadakan Sarasehan Nasional dengan topik “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.” Menurut pendapat penulis Sarasehan Nasional itu menunjukkan dua sifat positif dalam menangani pendidikan nasional. Pertama, untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama kebudayaan tidak lagi merupakan bagian yang integral dalam pendidikan nasional. Kebudayaan hanya merupakan bagian dari program pariwisata dengan orientasi untuk memperoleh devisa yang cukup melalui kegiatan pariwisata. Seperti kita ketahui sudah sejak lama kebudayaan telah ditalak t iga dari pendidikan nasional d an mer upakan bagian dar i Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Kedua, untuk pertama kalinya masalah karakter bangsa atau watak bangsa mendapatkan sorotan dalam pendidikan nasional setelah sejak lama pendidikan nasional disibukkan oleh pengembangan aspek kognitif seperti Ujian Nasional (UN), World Class Education, World Class Curriculum dan sejenisnya yang membawa
pendidikan nasional entah ke mana.1 Sementara itu masyarakat dan bangsa Indonesia seakan-akan kehilangan arah atau kehilangan masa depan. Keadaan ini seperti yang disinyalir oleh Yayasan Jatidiri Bangsa sebagai berikut. Sifat ramah-tamah, sopan-santun, dan suka menolong yang sering dilekatkan pada kita ternyata telah mengalami dete-riorisasi atau perusakan yang cukup mencolok. Sifat ramah-tamah berubah menjadi sifat beringas, sifat sopan-santun berbalik menjadi kasar, berangasan, dan bar-bar, sifat suka menolong memudar menjadi egois dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Sementara, perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan bukannya memperkokoh toleransi dan persatuan, tetapi malah memperuncing perbedaan. Keadaan runyam yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia dewasa ini sebenarnya bertentangan dengan apa yang dimiliki oleh bangsa ini. Kita memiliki watak yang mulia atau nilai-nilai di dalam kehidu-pan bersama yang luhur tetapi nilai-nilai tersebut tidak terpancar di dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai-nilai tersebut perlu diwujudkan dalam berbagai tindakan kita sehari-hari dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun dewasa ini kita cenderung mencari dan menonjolkan perbedaan dan bukan memupuk kesamaan dengan mengak-tualisasikan kembali nilai-nilai yang kita sepakati bersama di dalam membentuk masyarakat dan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu tidak lain dari nilai-nilai Pancasila. Bukankah penggali Pancasila yaitu Bung Karno telah menggalinya dari budaya yang bhinneka dari masyarakat Indonesia?3 Persoalannya sekarang ialah bagaimana caranya kita menguaktualisasikan tambang emas nilai-nilai Pancasila itu di dalam kehidupan bersama. Di dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia dewasa ini yang serba semberawut dari tingkah-laku orang dewasa Indonesia merupakan suatu refleksi dari kegagalan perkembangan orang-orang Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
65
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
dewasa itu dalam menghayati dan merealisasikan nilai-nilai Pancasila. Sejak Indonesia merdeka kita mengenal pendidikan budi pekerti sejak sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Demikian pula pada masa Orde Baru kita mengenal mata-mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pemimpin-pemimpin yang sekarang dalam masyarakat Indonesia adalah hasil dari pendidikan budi pekerti dan PMP pada masa mudanya. Mengapa mereka sekarang bahkan menjadi pelopor perpecahan di dalam masyarakat Indonesia? Menurut para pakar dan juga penulis sendiri keyakinan bahwa perilaku penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila bukanlah disebabkan oleh karena nilai-nilai Pancasila itu telah mengalami kemerosotan makna tetapi kepada kekeliruan penerapan nilai-nilai itu di dalam kehidupan sehari-hari.4 Melalui program-program pendidikan tersebut yang dicantumkan di dalam kurikulum sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, program pendi-dikan Pancasila dianggap semata-mata sebagai masalah guru, masalah kurikulum, masalah politik kekuasaan, dan bukan merupakan suatu ideologi yang telah disepakati bersama untuk dijadikan pedoman hidup yang harus direalisasikan setiap hari di dalam tingkah-laku setiap anggota masyarakat Indonesia. Masalah inilah yang coba diangkat kembali di dalam tulisan ini.
UUD 1945: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Masyarakat dan bangsa Indonesia memerlukan kesatuan arah dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945. Kesepakatan arah tersebut telah kita ambil melalui kesepakatan kita bersama untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman bersama. Nilai-nilai bersama inilah yang mengikat, mengatur, dan mangarahkan tingkah-laku anggota masyarakat sebagai warganegara. Kesatuan arah inilah yang akan membentuk masyarakat Indonesia yang diba-yangkan (imagined-community) menurut Anderson.5 Roh dari kesatu-an arah inilah yang dapat kita sebut watak bangsa Indonesia. Dalam uraian selanjutnya akan dibahas 66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
mengenai titik-tolak darimana merumuskan watak bangsa Indonesia itu, apa makna watak bangsa dan bagaimana pengembangannya di dalam pribadi-pribadi anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka. Pasal 1. Makna Bangsa yang Cerdas dan Bermartabat Dalam UUD 1945 pada Pembukaan (Preamble) dinyatakan sebagai berikut. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah-teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksana-kan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan pewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang dinyatakan di dalam Pembu-kaan UUD 1945 itu? Pertama-tama tentunya dasar dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara ialah didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila. Kedua, bahwa salah satu tujuan dalam membentuk negara Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa makna dari kehidupan bangsa yang cerdas? Pasal 31 Ayat (3) dirumuskan demikian: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Rumusan mengenai pendidikan nasional dengan jelas menyatakan bahwa kehidupan bangsa yang cerdas adalah kehidupan yang
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
ditandai oleh keimanan dan ketakwaan yang semakin meningkatkan serta terbentuknya akhlak mulia. Jelaslah di dalam perumusan ini nampak bahwa pendidikan nasional diarahkan kepada pengembangan seluruh pribadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta memiliki akhlak mulia. 6 Dengan demikian pendidikan nasional bukan pertama-tama hanya untuk pengembangan kognitif tetapi pembentukan iman dan takwa serta akhlak. Inilah yang merupakan ciri utama dari pendidikan nasional. Apakah hal ini berarti bahwa pendidikan nasional menelantarkan pembentukan kognitif peserta-didik? Didalam hal ini perlu kita mempunyai pengertian mengenai apa sebenarnya yang dimasudkan dengan kehidupan bangsa yang cerdas. Bangsa yang Cerdas dan Bermartabat Apakah yang dimasudkan dengan suatu bangsa yang cerdas dan bermartabat? Bangsa yang cerdas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. 1. Beriman dan bertakwa sesuai dengan agama/ kepercayaan yang dianutnya. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhan-an Yang Maha Esa dan oleh sebab itu mengakui dan menghargai akan kebebasan warganegaranya untuk menghayati dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Tidak ada negara demo-kratis yang tidak mengakui keragaman kepercayaan/agama yang dianut oleh warganya. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa namun bukanlah negara Teokratis ataupun negara yang tidak mengakui Ketuhanan. Demikian pula tidak ada satu pun agama/ kepercayaan yang mengajarkan anggotanya untuk menyepelekan hak-hak asasi manusia termasuk hak asasi kebebasan beragama. Manusia yang beriman dan taat terhadap agama/kepercayaannya mempunyai pan-dangan hidup yang menghormati kehidu-pan termasuk kehidupan sesama manusia yang berbeda. 2. Berakhlak mulia. Manusia yang berakhlak mulia adalah manusia yang taat kepada perintah-perintah Tuhan serta menghar-gai akan martabat sesamanya. la bukanlah manusia yang dianggap musuh dari sesama
4.
anggota masyarakat, sesama warganegara. Manusia yang berakhlak mulia adalah anggota masyarakat yang mem-punyai martabat atau kedudukan yang terhormat sebagai anggota masyarakatnya dan sebagai warganegara. Dia adalah seorang yang bermartabat. Lebih-lebih lagi di dalam dunia yang semakin “rata”’ dan menjadi sebagai kampung besar (big village) menuntut setiap orang untuk mempedulikan sesamanya baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat etnisnya, masyarakat negaranya dan akhirnya terhadap masyarakat dunia. Inilah manusia yang memiliki akhlak mulia dan bermartabat baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global.3. Pengembang-an akal (IQ) yang dipadukan dengan pengembangan inteligensi sosial (SI) dan inteligensi emosional (EI). Pada Ayat (4) Pasal 32 UUD 1945 dinyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Kehidupan modern dewasa ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta khususnya teknologi komunikasi telah mengubah wajah kehidupan bersama umat manusia di planet bumi ini. Oleh sebab itu seorang warganegara dunia pada abad ke21 perlu dikembangkan akalnya (aspek kognitif) serta moral kemanusiaan agar supaya dia dapat mengikuti perubahan global yang sangat cepat yang dapat mempengaruhi iman dan takwanya bahkan juga dapat menggoyahkan akhlak mulia yang dimilikinya.8 Bangsa Indonesia yang multikultural terdiri dari lebih 700 suku bangsa dengan budayanya masing-masing mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dari kebera-gaman kebudayaan Nusantara. Dengan demikian nilai-nilai Panca-sila akan lebih berkembang dan diperkaya sungguhpun pada hakikatnya nilai-nilai Pancasila telah digali dari kebudayaan Nusantara yang multikultural, namun di dalam perkembangan kehidupan dewasa ini nilai-nilai Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
67
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
tersebut perlu diuji dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Pancasila bukan merupakan suatu dogma yang statis tetapi merupakan pandangan hidup yang dinamis yang terus berkembang sesuai
dengan kemajuan zaman.9 Demikianlah gambaran sosok pribadi manusia Indonesia Pancasila yaitu seorang pribadi yang cerdas dan bermartabat. Dia seorang yang cerdas dalam menghadapi perubahan global namun di dalam sikap menghadapi perubahan-perubahan tersebut dia tetap mempunyai iman yang kuat serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa disertai dengan akhlak mulia yaitu tidak hanyut di dalam arus globalisasi yang tanpa bentuk yang dapat menggoyahkan keimanan dan ketakwaannya. Dia bukan seorang ortodoks atau fundamentalis tetapi seorang yang beriman dan bertakwa, menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang telah digali dari kebudayaan Indonesia yang multikultural. Oleh sebab itu dia berdiri tegak dan tetap bangga akan keIndonesiaannya dalam menghadapi berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut tidak apriori mengha-nyutkannya atau menolaknya tetapi dia akan ikut-serta di dalam perubahan dengan berwatak atau berkarakter Indonesia. Dengan demikian dia juga dapat menjadi seorang anggota masyarakat global yang dapat ikut menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan yang beradab dan bermartabat.10
Karakter Bangsa: Makna dan Pengembangannya Sudah kita lihat sosok seorang warganegara Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia dan dengan cerdas menghadapi perubahan-perubahan global. Secara keseluruhan dapat dikatakan manusia Indonesia tersebut mempunyai karakter tertentu. Namun demikian belum jelas benar apa sebenarnya yang dimaksudkan de-ngan karakter, karakter bangsa, watak bangsa atau jatidiri bangsa, identitas bangsa. Mari kita lihat makna karakter atau istilahistilah yang bersamaan itu selanjutnya. 68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
Pasal 2. Karakter: Berbagai Makna yang Melekat Karakter atau watak dikenal dalam ling-kungan ilmu pengetahuan terutama psikologi. Dalam bahasa Belanda ada “karakterkunde” yaitu suatu cabang psikologi mengenai sifat-sifat yang dilahirkan manusia serta pengem-bangannya.ll Ilmu watak (karakterkunde) bertalian dengan ilmu mengenai sikap, tingkah-laku seseorang baik karena dibawa sejak lahir maupun hasil dari pengaruh lingkungan atau kedua-duanya. Ternyata tingkah-laku atau watak manusia itu sangat bertalian erat dengan pandangan manusia. Setiap pandangan menge-nai manusia melahirkan teorinya sendiri tentang watak manusia. Demikianlah misalnya Leslie Stevenson dan David L. Haberman melihat hubungan hakikat manusia dengan watak manusia.12 Dikemukakan sepuluh pandangan mengenai hakikat manusia itu ialah pandangan Konfusionisme, Hinduisme, Kristianitas, Platonisme yang berdasarkan akal, pandangan Kant yang mengakui rasio serta kebe-basan manusia, M arx isme yang ber d asar kan pandangan materialisme, pandangan atau hakikat manusia Freud yang mengakui adanya bawah-sadar sebagai dasar dari tingkah-laku manusia. Selanjutnya pandangan kebebasan manusia dari eksistensialisme Sartre, pandangan behaviorisme Skinner, ataupun pandangan psikologi evolusi dari Lorentz. Adanya kaitan yang erat antara pandangan filsafat tentang hakikat manusia dengan pengertian karakter atau watak maka amatlah sukar bagi kita untuk memilih pengertian mana yang paling tepat untuk menggambarkan pengertian watak atau karakter itu. Mengatasi kesulitan akademis tersebut ada baiknya apabila kita mengambil definisi operasional untuk lebih dapat mendekati pengertian karakter atau watak itu. Bagi penulis definisi operasional watak adalah keseluruhan sikap, tingkah-laku dan pola pikir seseorang yang melekat pada pribadinya. Dengan definisi operasional itu dapat kita bayangkan ungkapan sebagai berikut. “Dia berbuat demikian, alon-alon asal kelakon karena dia seorang Jawa.” “Itu bisa dimengerti karena dia seorang Batak.”
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
“Sikapnya sangat demokratis, dia seorang Amerika.” “Dia sangat teliti, dasar orang Belanda.” “Melihat gelagatnya yang sangat sopan mungkin dia seorang Jepang.” Demikianlah ungkapan-ungkapan seharihari yang bertalian dengan watak seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu. Di dalam ungkapan tersebut ditonjolkan sifatsifat yang dianggap khas yang melekat pada seseorang di dalam tingkah-lakunya ataupun di dalam pola berpikirnya. Watak adalah suatu pola tindakan atau skema berpikir yang dibayangkan melekat pada seseorang atau masyarakat dari kelompok tertentu. Kelompok itu dapat berupa masyarakat etnis juga dapat merupakan suatu bangsa. Dalam ilmu antropologi dan ilmu politik sifat yang spesifik melekat pada suatu kelompok masyarakat dikenal sebagai identitas. Demikianlah dapat diidentifikasikan identitas orang Amerika, identitas orang Inggris, identitas Melayu, identitas orang Indonesia. Tentu pula identitas tersebut melekat pada suku bangsa tertentu seperti identitas orang Aceh, identitas orang Palembang, identitas orang Sunda, identitas orang Menado dan sebagainya. Bagaimana terbentuknya identitas suatu suku-bangsa (etnis) ataupun suatu bangsa akan dibicarakan lebih lanjut pada bagian akhir tulisan ini. Dalam kajian psikologi kepribad ian (personality) dikaji per-embangan kepribadian manusia. Banyak studi psikologi yang telah dilakukan mengenai hal tersebut baik pribadi sec ar a keselur uhan aupun aspek-aspek kepribadian seperti perkembangan intelek manusia sejak bayi sampai usia t ua, 13 perkembangan moralitas sejak masa kanak-
kanak sampai dewasa.14 Yang lebih menarik bagi kita adalah bagaimana perkembangan pribadi seseorang karena budaya dan masyarakat. Menarik untuk diteliti lebih lanjut misalnya konsep perkembangan pribadi dari Leon Vigotsky seorang pakar psikologi Rusia seperti tampak di dalam diagram gambar 1. Pendapat Vigotsky tersebut di atas sangat penting bagi pendidikan. Sejak lahir usia sekolah sejak taman kanak-kanak sampai dewasa tampak sekali pekanya seseorang memperoleh pengaruh karena interaksinya dengan lingkungannya khususnya dalam usia dini sampai sekitar 4 tahun. 15 Di dalam kaitan ini pertemuan atau interaksi antara pesertadidik dengan lingkungan alam dan budayanya terutama dalam lingkungan keluarga sangat menentukan di dalam perkembangan watak peserta-didik itu kelak. Oleh sebab itu pemisahan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu bahaya di dalam pembentukan dan pengembangan watak para peserta didik. Justru pada usia muda inilah dapat terbentuk watak bangsa atau identitas bangsa Indonesia dan bukan menunggu sampai peserta-didik itu menjadi dewasa.
Karakter Bangsa dan Latar Belakang Kebudayaan
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal ungkapan seperti: Presiden bertindak menurut c ara Jawa. Wakil Pr esid en mengambil keputusan cara Bugis. Demikianlah di dalam pergaulan sehari-hari kita dengan mudah memberikan cap tertentu atau sifat tertentu terhadap suatu kelompok etnis ataupun bangsa. “Kau itu dasarnya Cina!” atau “Kau itu dasarnya Yahudi!” Ungkapan-ungkapan tersebut menya-takan suatu sifat yang melekat atau dilekatkan kepada bangsa Cina dan bangsa Yahudi sebagai manusia-manusia yang Ke terangan Zona A: Daerah (scope)kedap A B C D kikir, agak licik, dan sedikit rakus. Zona B: Daerah berpori (porous) Sungguhpun demikian ungkapanZona C: Daerah lokal/nasional ungkapan popular tersebut tidak Zona D: Daerah global selamanya benar karena sifat-sifat demikian itu terdapat juga pada etnis Gambar 1: Pembentukan Kepribadian atau bangsa yang lain. Namun d emikian dengan ungkapan(Zone of Proximal Development) Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
69
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
ungkapan tersebut menyatakan bahwa ada kaitan yang sangat erat antara karakter atau id ent it as suat u kelompok d engan kebudayaannya. 16 Pasal 3. Prejudice dan Karakter Bangsa Telah kita lihat betapa etnisitas telah merupakan dasar dari tingkah-laku seseorang. Namun demikian perlu kiranya disadari bahwa terdapat bahaya-bahaya yang potensial apabila perkembangan etnisitas tidak diarahkan kepada keIndonesiaan. Bahaya tersebut lahir dari prasangka (prejudice) yang mungkin dilahirkan oleh perkembangan watak etnisitas yang sempit. Suatu tulisan klasik dari UNESCO yang dikemukakan oleh Arnold M. Rose 17 menyatakan akar dari lahirnya prasangka sangat kompleks. Di dalam tulisannya itu antara lain Rose mengemukakan akar-akar kompleksitas tersebut. 1) Prasangka lahir dari sikap kecurigaan terhadap kelompok minoritas. Perbedaan dan adanya hak-hak istimewa terhadap kelompok mayoritas mempertajam pertentangan antara kelompok khususnya mayoritas versus minoritas. Kontradiksi mayoritas-minoritas tersebut dapat berdasarkan budaya, agama, ras maupun perbedaan kelas-kelas ekonomi. 2) Ketakutan yang dibayangkan yang sebenarnya tidak mempunyai dasar. Dapat saja ketakutan tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau kasus perorangan tetapi kemudian berkembang menjadi sejenis ketakutan terhadap kelompok yang dianggap membahayakan kelangsungan hidup seseorang atau suatu kelompok. Dalam keadaan demikian biasanya dicarikan “kambing hitam” (scapegoat) yang dibayangkan menjadi biang kerok dari ketakutan tersebut. Rasa ketakutan itu menimbulkan pengambilan jarak (distance) dengan kelompok yang lain yang dianggap membahayakan atau membatasi kemerdekaannya. 3) Mengambil keuntungan personal dari prasangka tersebut. Keuntungan tersebut dalam bentuk keuntungan kekuasaan dalam bidang politik ataupun dalam lingkup ekonomi. 70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
4)
Kecurigaan terhadap yang lain. Kecurigaan tersebut biasanya tidak mendasar atau yang sekadar dibayangkan. Lahirlah berbagai apa yang disebut stereotip atau “kambing hitam” di dalam kehidupan. Kambing hitam tersebut dapat berasal dari faktorfaktor ekonomi, budaya, agama. Ternyata pencarian kambing hitam tersebut sama sekali tidak berdasar namun dapat diturunkan dalam suatu kehidupan bersama. Kambing hitam yang sangat berbahaya dikenal dalam sejarah manusia hingga sekarang ialah rasisme. 5) Superioritas kompleks dari kelompok mayoritas. 6) Ketidaktahuan (ignorance) terhadap biaya (cost) yang disebabkan oleh prangka tersebut. Tanpa disadari suatu kelompok atau masyarakat yang dihinggap penyakit prasangka terhadap kelompok yang lain telah merugikan kehidupannya sendiri maupun kehidupan bersama. Kerjasama tidak dapat dibentuk bahkan permusuhan dilahirkan dari perbedaan-perbedaan yang ditonjolkan di dalam kehidupan bersama. Melihat kepada kompleksnya akar dari prasangka juga telah banyak teori serta penelitian yang telah dihasilkan untuk menghilangkan prasangka di dalam kehidupan bersama namun di dalam prakteknya masalah tersebut cukup sulit dilaksanakan. Pada pokoknya strategi pokok dan ampuh di dalam menghilangkan prasangka adalah komunikasi. Ketiadaan komunikasi akan mempertahankan bahkan mengembangbiakkan rasa kecurigaan. Demikian pula ketiadaan komunikasi menimbulkan rasa ketakutan dari kelompok yang tertindas serta lebih menyuburkan rasa superioritas dari kelompok mayoritas. Ketiadaan komunikasi menyebabkan ketidak-tahuan (ignorance) terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai musuh. Berbagai stereotip lahir karena ketiadaan komunikasi dari satu kelompok dengan kelompok yang lain. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural yang terdiri atas berbagai suku dan kebudayaannya yang bhinneka. Seperti yang telah dijelaskan kebhinnekaan bangsa Indonesia dan kebudayaannya yang beragam
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
(multikultural) merupakan suatu kekayaan bagi bangsa Indonesia. 18 Namun apabila kekayaan tersebut tidak diarahkan kepada suatu cita-cita bersama maka kekayaan tersebut akan berubah menjadi perbedaan yang dapat meruncing menjadi perpecahan. Dalam kaitan ini karakter bangsa Indonesia hanya dapat dibentuk melalui berbagai upaya yang menyeluruh. Banyak pakar telah mengadakan penelitian dan kajian bagaimana mengembangkan karakter bangsa yang positif khususnya di dalam suatu masyarakat atau bangsa yang multikultural. Langkah-langkah yang kreatif di dalam pembinaan karakter bangsa Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut. 1) Memberikan kesadaran terhadap hal-hal yang positif maupun yang negatif yang terdapat di dalam kebudayaan lokal (etnisitas) dari bangsa Indonesia yang multikultural. Diperlukan informasi yang tepat mengenai keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia yang mempunyai kesamaan derajat bahkan mempunyai tugas yang sama dalam mengembangkan keIndonesiaan. 2) Menghilangkan berbagai bentuk rasisme dalam pengertian yang lugs meliputi budaya, agama, superioritas budaya mayoritas dan sebagainya. 3) Menghilangkan tradisi yang negatif yang masih hidup di dalam pergaulan etnis serta menyebarluaskan informasi yang tepat mengenai kebudayaan Indonesia yang bhinneka. 4) Adanya sistem hukum dengan sanksinya yang konsekuen untuk menghilangkan berbagai jenis prasangka yang negatif yang hidup di dalam kehidupan bersama baik di dalam kehidupan budaya, agama, serta menekankan kepada kebersamaan bangsa Indonesia. 5) Melaksanakan kebijakan sosial yang dapat menghilangkan ber-bagai jenis frustrasi yang dapat menyebabkan gesekan-gesekan horizontal karena kemiskinan, pembatasan terhadap hak asasi manu-sia.19 Di dalam kaitan ini perlu dilaksa-nakan kebijakan sosial ekonomi yang lahir dari nilai-nilai luhur Pancasila. Kebijakan ekonomi yang
6)
diarahkan kepada kepentingan bersama untuk rakyat banyak salah satu upaya dalam menghapuskan berbagai jenis prasangka dan menghi-langkan berbagai bentuk kambing hitam yang dilekatkan kepada atau kelompok etnis tertentu. Pentingnva peranan pendidikan sejak usia dini di dalam mengem-bangkan toleransi melalui pendidikan dan berbagai acara komunikasi sejak usia dini dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat.
Pasal 4. Ralph Linton: Cultural Bakcground of Personality Sesudah Perang Dunia II ketika psikologi mengenai kepribadian (personality) telah sangat diperkaya oleh psikologi Freud, psikologi behaviorisme maupun personalisme, muncullah buku yang sangat terkenal dari seorang antropolog, guru besar dari Columbia University Prof. Ralph Linton. Berdasarkan serentetan kuliah umumnya tahun 1943 di universitas (college) Swarthmore, almamaternya, pendapatnya mengenai perkembangan kepribadian (personality) manusia sebagai hasil interaksi dengan kebudayaannya, dibukukan pada tahun 1945.20 Manusia dan Kebudayaannya Apa yang membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya khususnya binatang? Pertama-tama kita lihat, secara instingsik anggota dari spesies manusia mempunyai potensialitas yang besar untuk berdiferensiasi dan individualisasi dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Selain daripada itu kelompok manusia atau masyarakat manusia mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut. 1) Masyarakat lebih dari individu menjadi unit signifikan di dalam species untuk berjuang bagi kelanjutan hidupnya. Kita lihat misalnya bagaimana nasib seorang bayi yang baru dilahirkan, tanpa perto-longan dan kerjasama dengan individu lainnya seperti ibu, keluarganya, masyarakatnya, kehidupan bayi itu tidak dapat dilanjutkan. 2) Suatu kenyataan bahwa kelanjutan suatu masyarakat akan jauh melampaui rentanghidup (life span) dari individu yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
71
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
manapun juga. Setiap manusia dilahirkan menurut nasibnya oleh dan dari seorang ibu serta terlempar di dalam suatu masyarakat tertentu. Tugas individu yang dilahirkan ialah bukan membentuk organisasi di mana dia hidup akan tetapi dia dibentuk oleh masyarakat di mana dia dilahirkan. 3) Masyarakat merupakan suatu unit fungsional dan unit operatif sungguhpun masyarakat itu terdiri dari individuindividu. Individu sebagai anggota merupakan bagian dari suatu keseluruh-an di mana dia menyumbangkan kemampuan dan keberadaannya terha-dap masyarakatnya. 4) Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup sua-tu masyarakat terbagi secara proporsional kepada para anggota masyarakat itu. Sebagai contoh misalnya masyarakat yang bagaimana sederhanapun terdapat pembagian kerja antara pe-rempuan dan laki-laki. Pembagian formal terhadap kegiatankegiatan di dalam masyarakat menyebabkan terbentuknya struk-tur, organisasi dan kohesi di dalam suatu masyarakat. Berdasarkan ciri-ciri masyarakat tersebut di atas dapat kita lihat betapa pentingnya masyarakat dan budayanya terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Berdasarkan hal itu dapat kita rumuskan secara opera-sional kebudayaan sebagai cara hidup (the way of live) dari suatu masyarakat.21 Peranan Kebudayaan di dalam Pembentukan Kepribadian (Personality) Hubungan antara kebudayaan dan pembentukan kepribadian digambarkan di dalam suatu parodi Linton sebagai air dengan ikan. Didalam kehidupan sewajarnya ikan tidak pernah mempersoalkan adanya air. Tetapi apabila air menjadi kering maka ikan akan mati.Demikian pula dengan hubungan antara pengembangan pribadi dan kebudayaan. Apabila kebudayaan itu dihilangkan dari kehidupan manusia hal itu berarti hilangnya eksistensi manusia itu. Linton mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat terdapat apa yang disebut “tipe kepribadian utama” (basic personality type).22 Hal 72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
ini berarti anggota suatu masyarakat mempunyai pengertian dan nilai-nilai yang sama yang membuatnya memberikan jawaban emosional yang serupa terhadap situasi-situasi yang meminta tanggapan berdasarkan nilai-nilai yang dihayatinya bersama. dalam setiap kebudayaan dikenal apa yang disebut status dari kepribadian. Status seseorang menentukan keberadaannya di dalam masyarakat meskipun dia tidak berpartisipasi di dalam status tersebut. Misalnya status seorang pemimpin di dalam masyarakat tertentu yang mengenal perbudakan menge-tahui akan tugasnya tanpa ia sendiri menjadi seorang budak. Dia sebagai seorang pemimpin mempunyai pengetahuan mengenai peranan budak tanpa berparti-sipasi sebagai seorang budak. Kepribadian (personality) ternyata merupakan suatu konfig-urasi dari responrespon individu yang dikembangkan oleh individu sebagai hasil dari pengalamannya. Pengalaman itu diperolehnya dari interaksi-nya dengan lingkungannya. Apakah ada faktor keturunan hereditary) terhadap perkembangan personality? Banyak ahli antroplogi seperti Dr. Boas menyatakan kurangnya peranan keturunan di dalam terbentuknya kepribadian dari suatu masyarakat. 23 Di alam penelitian-penelitian lapangan dari para ahli antroplogi me-unjukkan betapa pentingnya tahun-tahun pertama dari kehidupan manusia sangat menentukan di dalam terbentuknya sistem nilai dan tingkahlaku yang kemudian menentukan akar yang terdalam dari kepribadiannya itu. Suatu hal yang nyata ialah norma-norma kepribadian ternyata berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berdasarkan pada perbedaan pengalaman dari anggota masyarakatnya yang diperolehnya dari hubungannya dengan kebudayaannya. Dengan tegas dapat dinyatakan bahwa kebudayaan semestinya dilihat sebagai faktor yang dominan di dalam penentuan dasar-dasar kepribadian (basic personality) dari seseorang dalam masyarakatnya di dalam penentuan berbagai status kepribadiannya yang merupakan karakteristik dari setiap masyarakat. Demikianlah uraian dan ungkapan Ralph Linton pada pertengahan abad ke-20 yang sekiranya masih berguna dalam abad 21
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
dengan catatan bahwa dunia abad 21 merupakan dunia yang terbuka dan oleh sebab itu rangsangan terhadap pembentukan kepribadian peserta-didik pada abad ke-21 akan semakin bervariasi dan kompleks. Peserta-didik akan menghadapi tantangan baru dari berjenisjenis rangsangan kebudayaan baik kebudayaan etnisnya maupun kebudayaan global. Dengan kemajuan teknologi khususnya teknologi komunikasi peserta-didik dewasa ini hidup di dalam dunia yang rata dan terbuka.24 Namun demikian dia dapat menghadapinya apabila dia mempunyai pola kepribadian dasar (basic personality) yang diperolehnya dari ling-kungan primernya atau lingkungan etnisnya. Dari kepribadian dasar (basic personality) dia dapat memilih dan me-ngembangkan suatu kebudayaan yang lebih subur dan kaya atau dia jatuh kepada kebudayaan tanpa bentuk sehingga melahirkan pribadi-pribadi yang linglung. Pasal 5. Kebudayaan di dalam Pendidikan Nasional Dewasa ini kebudayaan bukan lagi merupakan bagian dari pendidikan tetapi merupakan bagian dari kegiatan pariwisata yang sedang “boom” dalam abad ke-21 sebagai sumber penghasilan negara. Ke-budayaan telah didegradasikan menjadi komoditi yang dapat diper-jualbelikan dan bukan merupakan dasardasar bagi pembentukan kepribadian dasar (basic personality) dari bangsa Indonesia. Pendidikan nasional dewasa ini telah menjadi kering kerontang terlepas dari kebudayaan. Lihat saja sebahagian besar proses pendidikan hanya berkisar kepada pelaksanaan Ujian Nasional yang hanya membatasi pada beberapa mata pelajaran non budaya.zs Dengan sendirinya sudah dapat diterka bagaimana kepribadian generasi muda yang akan datang yang dibentuk oleh kebudayaan global yang didominasi oleh kebudayaan Barat yang materialistik. Bagaimanakah tempat kebudayaan di dalam pendidikan nasional? Sepanjang kemerdekaan Indonesia 65 tahun kita hanya mengenal dua menteri pendidikan yang mempunyai konsep tentang fungsi pendidikan di dalam pendidikan nasional. Pertama tentunya
ialah Ki Hadjar Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional telah rneletakkan dasar pendidikan yang berdasarkan kebudayaan. Memang apabila kita lihat perjuangan menentang penjajahan Ki Hadjar Dewantara yang mengubah perjuangannya dari perjuangan partai politik (Indische Partij) menjadi perjuangan melalui pendidikan yang berdasarkan kebudayaan nasional. Kita lihat misalnya ketika gerakan Taman Siswa didirikan pada tahun 1922 Dewantara telah menjadikan identitas bangsa Indonesia sebagai senjata yang ampuh melawan kekuasaan penjajah. Ternyata pendidikan yang berdasar-kan kebudayaan atau nasionalisme Indonesia lebih ampuh dari kekuatan senjata. Para intelektual Indonesia yang telah memperoleh pendidikan baik Barat maupun melalui pendidikan di lingkungan pesantren telah merontokkan kekuasaan penjajahan pada tahun 1945. Konsep pendidikan nasional yang telah dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi jiwa dari Pasalpasal mengenal pendidikan di dalam UUD 1945. Bahkan juga di dalam Preambul UUD 1945 dinyatakan dengan jelas betapa tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk melawan kekuasaan penjajahan telah digunakan dalam pendidikan masyarakat (swasta) masa penjajahan seperti Muhammadiyah, sekolah-sekolah swasta yang didirikan di Sumatera, pesantren dan madrasah. Sangat menyolok juga apabila di dalam UUD 1945 baik yang asli maupun revisi, pendidikan dan kebudayaan dimasukkan di dalam satu bab. Hal ini berarti para founding fathers kita dengan sadar melihat hubungan yang erat antara pendidikan nasional dan kebudayaan nasional. Dalam UU No. 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 Ayat (2) dikatakan sebagai berikut. “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap ter-hadap tuntutan perubahan zaman.” Sayang sekali dalam undang-undang tersebut hubungan antara pendidikan dan kebudayaan hanya dijadikan sebagai salah satu ketentuan umum dan bukan Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
73
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
secara eksklusif sebagai dasar pendidikan nasional. Sesudah Ki Hadjar Dewantara, siapa Menteri Pendidikan Nasional yang mempunyai wawasan pentingnya kebudayaan sebagai dasar pendidikan nasional? Menteri Pendidikan tersebut adalah Daoed Joesoef yang mengemukakan prinsip yang terkenal “lembaga pendidikan sebagai pusat kebuda-yaan.” Hal ini berarti lembaga-lembaga pendidikan bukan hanya mengajarkan mata-mata pelajaran klasik yang konvensional tetapi lebih daripada itu berdasarkan kepada kebudayaan nasional dan pusat pembudayaan peserta-didik. Dengan prinsip tersebut pendidikan, baik formal maupun informal bukan hanya ditujukan kepada pembinaan kognitif peserta-didik tetapi juga pengem-bangan aspek-aspek inteligensi seperti inteligensi sosial, inteligensi emosional, inteligensi kinestetik yang semuanya merupakan aspek-aspek dari kebudayaan yang menyeluruh.26 Sayang sekali konsep pendidikan sebagai pusat kebudayaan hanya dapat dilaksanakan di dalam satu Repelita dan sesudah Daoed Joesoef lengser kebijakan pendidikan diubah lagi dengan lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.27 Dalam era reformasi pendidikan nasional memperoleh t alak t iga dar i kebudayaan nasional seperti yang telah dijelaskan. Apa implikasi membuang kebudayaan nasional dari pendi-dikan nasional? Kita lihat sekarang ini bagaimana pendidikan nasional dikuasai oleh berbagai standar yang menyamaratakan pendidikan di seluruh Nusantara. Kita ketahui bagaimana diskrepansi yang besar dalam kualitas pendidikan antar daerah. Dengan lepasnya pendidikan dari kebudayaan, pendidikan nasional mengacu kepada standar di luar konteks kebudayaan nasional. Standar pendidikan nasional ternyata diambil dari standar negara-negara industri maju yaitu negara-negara Organization of Economic Cooperation and Develop-ment (OECD). Dengan mengadopsi standar tersebut maka dengan sendirinya kita melepaskan kaftan dengan kebudayaan kita sendiri seperti yang tampak di dalam UN dewasa ini. 28 Proses
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
pendidikan yang demikian yang hanya menekankan kepada pengembangan intelektualisme yang semu karena proses pendidikan adalah proses mempersiapkan kelulusan di dalam UN tersebut dan bukan untuk mengembangkan kepribadian Indonesia atau jatidiri Indonesia dari generasi muda. Hasilnya sudah dapat kita terka yaitu manusia-manusia yang pintar tetapi kurang pertim-bangan moral dan estetika yang merupakan ciri utama dari kebudayaan Nusantara. Kebudayaan Indonesia yang kita bangun bukanlah kebudayaan yang materialistik tetapi kebudayaan yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila yang mengakui akan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai seluruh nilai-nilai kehidupan manusia Indonesia. Peserta didik yang memper-oleh pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila akan menghasilkan kepribadian peserta-didik yang diarahkan kepada nilai-nilai inti dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Apabila kita membicarakan mengenai kebudayaan dan karakter bangsa maka hal ini berarti kita ingin mencari nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan Indonesia yang akan menjadi ciri utama, identitas, karakter, watak dari bangsa Indonesia. Proses ini tentunya merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang tidak pernah akan selesai. Sebagaimana juga apa yang dimaksudkan dengan budaya Indonesia yang terus “menjadi” yang harus dibina dari satu generasi ke generasi lainnya sebagai basic personality dari bangsa Indonesia. Apalagi di dalam menghadapi perubahan dunia yang begitu cepat dan mengglobal diperlukan kesadaran akan identitas sebagai anggota masyarakat Indonesia. Core values yang didiskusikan di dalam berbagai sarasehan tidak lain dari nilai-nilai Pancasila yang menurut penggalinya diperoleh dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Dengan demikian apabila kita membicarakan mengenai kebudayaan serta watak bangsa maka kita tidak akan terlepas dari pembicaraan mengenai kebudayaan Indonesia yang sedang kita bangun dan sekaligus dijadikan sebagai dasar pengembangan kepribadian (personality) peserta-didik.
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
Basic Personality Indonesia dan Pancasila Bung Karno sebagai penggali Pancasila menyatakan bahwa prinsip-prinsip Pancasila telah digali dari kebudayaan Nusantara yang multikultural. Sudah tentu tidak semua suku bangsa di Indonesia telah mengalami keseluruhan prinsip Pancasila itu. Oleh sebab itu adalah merupakan tugas pendidikan untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila sebagai suatu konstruksi ideal agar dapat diimple-mentasi-kan di dalam masyarakat yang nyata. Linton menyatakan adanya “ke-budayaan realistis” dan “kebudayaan construct” 9 yang dikonstruksi-kan. Nilai-nilai Pancasila yang abstrak tersebut merupakan hasil konstruksi dari penggalinya. Oleh sebab itu nilai-nilai tersebut harus dijabarkan dan disesuaikan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat yang realistis. Inilah proses pendidikan yang dapat diwujudkan di dalam desentralisasi pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2002. Sebenarnya tugas tersebut sudah mulai dapat dilaksanakan apabila apa yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan bukan sebagaimana yang terjadi dewasa ini struktur KTSP yang telah ditentukan dari atas (dari Kementerian Diknas). KTSP seharusnya didasarkan kepada tuntutan sosial budaya di daerah sehingga dengan demikian proses pendidikan dan proses pemasyarakatan termasuk peningkatan ekonomi rakyat, kehidupan bermasyarakat yang toleran dan bertanggung jawab dapat dikembangkan. Namun apa yang terjadi di dalam pendidikan nasional dewasa ini ialah proses pendidikan telah mencabut makna pendidikan yang sebenarnya dari akarnya dan ditujukan kepada standar pendidikan yang tidak didasarkan pada tingkat perkembangan masyarakat Indonesia tetapi pada masyarakat industri maju. Inilah yang terjadi dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah dewasa ini dalam melaksanakan Ujian Nasional. Mudah-mudahan keputusan Mahkamah Agung yang meme-rintahkan kepada pemerintah untuk melihat kembali pelaksanakan Ujian Nasional yang uniform dewasa ini agar supaya mengadakan upayaupaya yang konkrit di dalam meningkatkan mutu pendidikan seperti penyediaan tenaga
pendidikan yang qualified, penyediaan saranasarana pendidikan yang mencukupi, peningkatan kualifikasi pendidik di samping dana yang memadai baik dari pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Sebenarnya suatu langkah besar telah dimulai dengan mencantumkan dalam UUD tentang alokasi APBN/APBD sekurang-kurangnya 20% dari anggaran penerimaan dan pendapatan negara. Namun demikian kenaikan dana tersebut belum sepenuhnya diiringi dengan program yang konkrit dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Glokalisasi dan Pendidikan yang Didasarkan pada Kebudayaan Arus globalisasi telah melanda seluruh aspek kehidupan manusia abad ke-21. Namun demikian manusia yang tidak ingin kehilangan identitasnya dalam perubahan global dewasa ini, arti dari nilai-nilai lokal masih sangat signifikan bahkan memegang peranan yang semakin penting. Globalisasi akan lebih bermakna apabila keseluruhan dari nilai-nilai lokal diinspirasikan kedalamnya. Bukankah hal tersebut merupakan salah satu ciri dari kehidupan masyarakat manusia seperti penglihatan Ralph Linton? Glokalisasi30 berarti pengakuan terhadap nilai-nilai budaya lokal yang bermanfaat bukan hanya bagi pemiliknya yang lokal tetapi juga untuk kepentingan umat manusia pada umumnya. Hal ini berarti mengglobalisasikan pen-didikan nasional yang didasarkan kepada kebudayaan Indonesia yang bhinneka dan unik merupakan suatu sumbangan yang sangat berharga dalam pengembangan budaya global .31
Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Indonesia Multikultural Pancasila menurut Bung Karno digali dari kebudayaan Nusantara yang bhinneka. Kebhinnekaan etnis dan budaya merupakan kenyataan di dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu perlu kite kaji apa makna kebhinnekaan tersebut di dalam proses pendidikan karakter bangsa. Telah dijelaskan pula betapa kebudayaan memegang peranan Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
75
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
penting di dalam terbentuknya karakter atau watak suatu bangsa. Bagaimana pengaruh kebhinnekaan kebudayaan terhadap pengembangan karakter bangsa Indonesia akan kita tinjau lebih lanjut. Pasal 6. Peserta-didik dalam Masyarakat Etnis Indonesia terdiri dari berbagai jenis etnis dengan budayanya yang spesifik. Antara lain kita mengenal lebih dari 700 bahasa daerah baik yang masih hidup dan berkembang maupun ada yang dalam keadaan sekarat. Keberadaan kebudayaan yang beranekaragam tersebut (multikultural) t entunya menimbulkan berbagai masalah yang positif maupun negatif di dalam pembentukan watak atau karakter bangsa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson bangsa adalah suatu masyarakat yang diimaginasikan. Bangsa Indonesia merupakan suatu imaginasi yang dicitacitakan oleh suku-suku bangsa yang mendiami Nusantara menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Sebagai-mana yang kita kenal di dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928 kita mengimaginasikan satu negara yang mempunyai satu tanah air, satu bahasa dan satu negara kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentu negara yang dicita-citakan tersebut tidak datang dengan sendirinya etapi memerlukan suatu perjuangan. Salah satu perjuangan itu ialah bagaimana mempersatukan suku-suku bangsa dengan budayanya masing-masing menjadi satu bangsa Indonesia. Multikult uralisme bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai positif tetapi juga negatif. Nilai-nilai positif multikulturalisme bangsa Indonesia ialah kebhinnekaan itu menyumbang bagi kekayaan budaya angsa Indonesia. Seperti yang dirumuskan di dalam Penjelasan UUD 945 kebudayaan Indonesia merupakan puncak-puncak dari kebu-ayaan suku-suku bangsa di Nusantara. Yang menjadi persoalan sekarang ialah apa dan bagaimana masing-masing suku tersebut dapat menyumbangkan puncak kebudayaannya kepada kebudayaan bangsa Indonesia, kebudayaan nasional Indonesia. Disinilah terletak potensi bahaya yang dapat menghancurkan upaya unt uk membentuk kesatuan kebudayaan 76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
nasional yang akan mengikat seluruh bangsa Indonesia. Keterikatan terhadap budaya sendiri atau ethnicity kadang-kadang sukar untuk ditinggalkan. Memang seperti kita lihat di dalam teori Vigotsky bagaimana pembentukan kepribadian seorang anggota masyarakat yang sangat terikat kepada pengalaman empat tahun yang pertama dalam kehidupan manusia yaitu dalam lingkungan keluarganya dan etnisnya. Hal tersebut merupakan tugas pendidikan yang besar yaitu bagaimana menghargai peranan budaya etnis yang dapat disumbangkan kepada terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Apabila keterkaitan terhadap budaya etnis sangat besar tetapi mengand ung nilai-nilai negatif d alam kesatuan bangsa maka ini merupakan suatu bahaya di dalam pembentukan nasiona-lisme karena dapat menimbulkan pergeseran horizontal sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Indonesia baru-baru ini. Era reformasi yang merupakan eksperimen untuk demokrasi, masyarakat terbuka, selain menghormati hak-hak asasi manusia tetapi juga telah melahirkan konflik horizontal di daerah. Konflik horizontal ini kita lihat sema-kin berbahaya apabila disertai juga dengan kepentingan kelompok dan golongan ataupun agama. Etnosentrisme atau kehidupan manusia yang didominasi oleh nilai-nilai etnis sendiri di dalam era globalisasi mengandung nilai-nilai positif tetapi juga nilai-nilai negatifnya. Dalam era globalisasi tampak kecenderungan terbentuknya budaya global yang menghilangkan identitas etnis. Lahir kebudayaan yang tanpa jiwa32 karena didominasi oleh materialisme dan kekuatan modal besar. Akibatnya ialah lahirnya pribadi-pribadi tanpa arah yang hanya mengikuti gelombang-gelombang global yang tanpa bentuk sehingga orang kehilangan identitasnya. Identitas nasional diganti dengan identitas metropoli-tan atau identitas global yang sebenarnya tanpa arah den bentuk atau lebih tepat tanpa jiwa. Memang benar etnisitas dalam era globalisasi mengalami perubahanperubahan yang sangat drastis akibat mobilisasi penduduk dunia yang cepat dan terbuka. Bahkan telah lahir apa yang disebut budaya hybrid33 yaitu percampuran antara berbagai
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
jenis budaya yang bagi perkembangan pribadi eorang anak kecil merupakan suatu masalah. Dapat dibayangkan misalnya dari keluarga hybrid seorang ayah dari Amerika dan seorang ibu dari Indonesia dan anaknya menjadi besar di salah satu negara Eropa Barat. Putera--puteri dari keluar ga ini akan dibesarkan d i dalam kebudayaan hybrid. Apakah benar pribadi hybrid tersebut di dalam negara tanpa batas merupakan pribadi ideal di abad ke-21? Sementara pakar tidak seluruhnya menyetujui pendapat ini karena bagaimanapun juga manusia terikat pada kelompoknya. Nasionalisme merupakan gejala kehidupan modern akan tetap langgeng meskipun akan mempunyai bentuknya yang lain. Di tengah-tengah arus globalisasi ternyata etnisitas masih tetap hidup. Bahkan ada pakar yang mengat akan bahwa gelombang perubahan global akan semakin berar ti apabila tetap menonjolkan nilai-nilai lokal. Inilah apa yang disebut glokalisasi yang member ikan warna t ert ent u d i d alam kehidupan global masa depan. Glokalisasi tidak menentang perubahan global tetapi juga tidak menghilangkan hakikat manusia yang terikat kepada masyarakat etnisnya. Keunikan etnis yang positif akan memberikan warna yang indah di dalam taman kehidupan global yang multietnis. Indonesia merupakan contoh yang sangat indah mengenai lahirnya kebudayaan nasional dari kebhinne-aan budaya etnis. K eberhasilan pend id ikan nasional Indonesia yang multietnis barangkali dapat dijadikan contoh di dalam dunia global yang mengakui eksistensi kebhinnekaan kebudayaan di planet dunia ini. Makna Nilai-nilai Etnis dalam Pembentukan Watak Baik Ralph Linton maupun Leon Vigotsky melihat betapa pentingnya interaksi kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian pesertadidik. Ralph Linton menunjukkan bagaimana terbentuknya basic personality sebagai hasil interaksi dengan nilai-nilai di sekitarnya atau nilai-nilai budaya yang dikenal oleh anak manusia ketika dilahirkan. Leon Vigotsky menunjukkan terdapat lingkaran-lingkaran interaksi antara pribadi dengan lingkungannya
yang semakin meluas atau ‘scape 34 seperti “landscape” yang pertama yang sangat dekat yaitu ingkungan keluarga di mana dia dilahirkan. Budaya lokal sangat mempengaruhi tingkah-laku seorang peserta-didik, kebiasaan, adat--istiadat yang membentuk pribadinya yang pertama. Kemudian pada scape berikutnya peserta-didik mulai menghadapi lingkaran yang semakin tidak kedap (porous). Pada tahap inilah terjadi kemungkinan pembentukan yang lebih luas dari watak atau karakter peserta-didik. Apabila pengaruh dari lust hanya terbatas atau didominasi dan iindoktrinasi oleh budaya lokalnya maka pribadi yang terbentuk memiliki watak etnis yang terbatas. Namun apabila pengaruh lingkungan membuka pintu pikiran (ilmu pengetahuan dan teknologi) serta pintu hati (moral, agama) dengan dunia yang luas maka akan terbentuk watak atau karakter pribadi yang lebih luas dan lebih matang. Inilah yang dapat kita rebut pribadi yang memiliki karakter atau watak yang berbudaya dan berkeadaban. Selanjutnya karena pribadi tersebut hidup di dalam dunia global yang terbuka maka dia dapat diterima di dalam pergaulan antarbangsa, pribadi yang dihor-mati dan saling menghormati di dalam kehidupan masyarakatnya dan masyarakat bangsa yang bermartabat. Masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami berbagai krisis antara lain krisis di dalam kehidupan beragama yang beragam. Timbul gejala-gejala yang apa yang disebut terorisme yaitu sikap kekerasan yang lahir dari fundamentalisme agama. Di dalam kaftan ini Prof. Azra 35 menganjurkan agar supaya pendidikan anti-terorisme diajarkan di dalam lingkungan pendidikan seperti di pesantren. Terorisme lahir karena kurangnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang merupakan ciri dari suatu masyarakat plural dan multikultural seperti di Indonesia. Apabila setiap anggota masyarakat Indonesia mengakui akan kebhinnekaan masyarakat Indonesia maka terorisme yang ber-tujuan memaksakan kehendak kelompoknya atau kepentingan kelompoknya sendiri tidak akan terjadi. Multikulturalisme yang lang-geng hanya dapat ditegakkan apabila sikap toleransi yang melahirkan tars percaya sehingga menghargai Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
77
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
perbedaan dan melihatnya sebagai kekuatan hidup di dalam satu kelompok masyarakat atau bangsa. Salah satu masalah yang perlu mendapatkan prioritas di dalam pendidikan nasional dewasa ini ialah bagaimana membawa peserta-didik keluar dari lingkaran etnis yang kedap, dari sikap primordialisme kepada lahirnya karakter bangsa Indonesia yang menghargai adanya perbedaan. Inilah sikap demokratis yang merupakan tujuan pen-didikan nasional. Alangkah indahnya tujuan tersebut telah dirumus-kan di dalam undang-undang pendidikan pertama Republik Indonesia36 yang menyatakan tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang susila dan demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan tanah air. Desentralisasi pendidikan nasional dewasa ini merupakan suatu modal besar dalam pengakuan terhadap etnisitas dan multikultural bangsa Indonesia tetapi juga memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk ikut melahirkan karakter bangsa dari peserta-didik sebagai anggota masyarakat Indonesia yang multikultural dan bersatu. Pasal 7. Pancasila sebagai Dasar Pembentukan Karakter Apabila kita membicarakan dasar pembentukan karakter bangsa, spat dua masalah pokok yaitu: 1) Hubungan antara kebudayaan dan karakter bangsa 2) Apa yang dimaksudkan dengan karakter bangsa Mengenai hal yang kedua sudah dijelaskan di dalam tulisan ini secara panjang-lebar mengenai apa sebenarnya yang dimasudkan dengan watak bangsa atau karakter bangsa atau identitas bangsa. Mengenai persoalan yang pertama hubungan antara pendidikan budaya dan karakter bangsa hampir tidak disinggung di dalam sarasehan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dalam bulan Januari 2010. Barangkali hal ini dibicarakan di dalam diskusi kelompok. Namun dari para ketiga pemrasaran37 di dalam sarasehan tersebut tidak disinggung juga mengenai apa dasar kebudayaan di dalam pengembangan karakter bangsa. Di dalam pemrasaran-pemrasaran yang telah diberikan dikemukakan perlunya nya “core 78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
values” seperti toleransi, kerjasama dan sebagainya tetapi tidak dinyatakan secara eksplisit di mana nilai-nilai utama (core values) tersebut didasarkan. Mungkin hal ini disebabkan karena dewasa ini orang enggan berbicara mengenai Pancasila. Pancasila dianggap sebagai biang kerok kegagalan Orde Lama clan Orde Baru. 38 Seperti yang telah dijelaskan khususnya dalam era Orde Baru diada-kan program-program nasional seperti P4 untuk seluruh pemimpin baik birokrasi maupun dalam masyarakat diindoktrinasikan mengenai Pancasila. Demikian pula dalam semua jenjang dan jenis pendidikan diberikan program Pendidikan Moral Pancasila serta program--program lainnya yang berkaitan dengan itu. Namun demikian seperti yang kita lihat hasil yang dicapai dalam masyarakat bertentangan dengan apa yang dicita-citakan di dalam program indoktrinasi Panca-sila itu. Memang ada gap yang besar apa yang diindoktrinasikan de-ngan kenyataan hidup di dalam masyarakat. Para pemimpin mem-atokan nilai-nilai luhur Pancasila tetapi tingkahlakunya berten-tangan dengan nilai-nilai Pancasila itu. Nepotisme, korupsi, pengingkaran hak asasi manusia semuanya terjadi dengan bebas bahkan dilakukan oleh para pemimpin sendiri. Dalam keadaan demikian kemudian Pancasila seakan-akan disalahkan sebagai biang kerok dari keruntuhan moral masyarakat bangsa Indonesia. Namun apakah dengan demikian segala sesuatu yang negatif itu terjadi diakibatkan oleh salahnya Pancasila? Marilah kita lihat apa sebenarnya yang telah terjadi pada masa itu. Pancasila merupakan suatu konstruk kebuda-yaan yang telah digali dari milik bangsa Indonesia yang multikultural. Sebagai suatu konstruk budaya haruslah diwujudkan di dalam fakta kebudayaan. Memang benar butir-butir Pancasila tersebut digali dari kebudayaan Nusantara yang bhinneka namun demikian sebagai suatu kesatuan yang utuh masih harus diwujudkan di dalam kehidupan semua suku bangsa di Indonesia ini. Selanjutnya Pancasila merupakan suatu konstruk budaya yang abstrak yang harus diwujudkan di dalam tingkah laku yang nyata sehari-hari. Di sini letak pentingnya para pemimpin dalam masyarakat baik pemimpin
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
dalam birokrasi pemerintahan maupun pemimpin dalam masyarakat harus dapat mewu-judkan nilai-nilai Pancasila itu di dalam kehidupan nyata. Dan hal ini jauh panggang dari api. Para pemimpin mempidatokan nilainilai luhur Pancasila namun di dalam perbuatannya dia sendiri melanggar nilai-nilai luhur tersebut. Maka berlakulah pepatah: Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Di dalam proses pembentukan kepribadian peserta-didik, contoh pemimpin (guru) sangat efektif. Oleh karena peserta-didik melihat kesenjangan antara apa yang dipidatokan atau diajarkan oleh sang pemimpin/guru bertentangan dengan apa yang diperbuat oleh pemimpin/guru maka terjadilah konflik di dalam pembentukan pribadi atau watak peserta-didik itu. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditentukan tentang syarat-syarat profesionalisme guru dan dosen. Salah satu syarat tersebut adalah memenuhi kualifikasi etis selain dari kualifikasi akademik. Kualifikasi etis mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pembentukan watak bangsa. Oleh sebab itu perlu kiranya dijelaskan dengan lebih spesifik apa sebenarnya yang dimaksudkan dengasn kualifikasi etis tersebut. Sebagai seorang guru (pendidik) nasional seorang yang berprofesi guru hendaknya seorang yang Pancasilais di dalam orientasi nilainya dan di dalam tingkah lakunya dalam masyarakat. Seorang pendidik yang tidak Pancasilais tidak mungkin membawa peserta-didiknya mengembangkan watak Pancasila. Demikian pula setiap pemimpin di dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 haruslah seorang Pancasilais. Pancasila sebagai Modal Budaya dan Modal Maya dalam Pembentukan Karakter Bangsa Peserta didik Terbentuknya tingkah-laku yang lahir dari “basic personality” seseorang yang keseluruhannya dapat dikatakan watak bangsa telah dilahirkan dari modal budaya suatu bangsa. Modal budaya suatu bangsa merupakan dasar dari ketahanan nasional suatu bangsa. Suatu bangsa yang tidak mempunyai modal budaya tidak mempunya ketahanan nasional. Bangsa itu tidak akan dapat eksis atau dengan kata lain dapat dengan mullah
dijajah oleh bangsa lain. Modal budaya a dapat merupakan modal sosial yang menggerakkan masyarakat untuk mewujudkan cita-citanya. Kohesi dalam masyarakat hanya dapat terjadi apabila masyarakat tersebut mempunyai modal budaya yang mengikat para anggotanya. Modal budaya bukan hanya dapat bermanfaat di dalam perjuangan suatu bangsa di dalam menghadapi pembangunan tetapi juga di dalam menghadapi krisis atau bahaya dari luar. Bahkan hanya bangsa yang mempunyai modal budaya yang kuat dapat bertahan di dalam berbagai percobaan bahkan di dalam perang melawan invasi kekuatan luar. Revolusi Indonesia telah dapat dimenangkan karena adanya modal budaya dari bangsa Indonesia yang bersatu melawan kekuatan kolonialisme yang di- backup oleh persenjataan modern. Dengan modal budaya bangsa Indonesia dapat membangun masyarakat yang maju karena mem-punyai rasa kesatuan untuk bersama-sama membangun masyarakat yang bersih, bebas dari korupsi dan mementingkan kepentingan rakyat banyak ketimbang kepentingan diri sendiri. Negara hukum, bebas dari korupsi hanya dapat diwujudkan apabila kita mempunyai pemerintah yang baik (good governance) karena tekad dari seluruh ngsa Indonesia untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Di samping modal budaya dapat dikemukakan juga pentingnya modal maya.39 Bangsa Indonesia terkenal dengan kekayaan alam dan tersedianya cukup tenaga manusia. Namun demikian tidak kurang pentingnya juga adanya modal maya yang dimiliki oleh suatu bangsa seperti yang telah dibuktikan di dalam karya bangsa Indonesia. Kekayaan dan keindahan budaya Indonesia yang telah mener ima secar a d amai pengar uh d ar i berbagai kebudayaan dunia seperti budayaan Hindu-Budha, Barat, Islam yang telah diterima secara damai oleh masyarakat Nusantara memerlukan modal maya yang sangat besar. Modal maya tersebut lebih-lebih lagi akan sangat penting di dalam kemajuan teknologi dewasa ini yang diwarnai oleh budayaan maya. Watak Bangsa, Pancasila dan KTSP Seperti yang telah dijelaskan tujuan dari Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
79
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
yang telah dilancarkan oleh pemerintah pusat t angguh mempunyai tujuan yang baik meskipun di dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya dapat terlaksana. KTSP sebenar-a merupakan wadah yang sangat ideal di dalam mewujudkan nilai- nilai Pancasila di dalam kehidupan nyata peserta-didik. Seperti yang telah d ijelaskan Panc asila mer upakan suat u konstruk budaya yang abstrak dan ideal sehingga perlu dijabarkan di dalam kehidupan sehari-hari. dengan adanya KTSP maka berbagai daerah mulai menterjemahkan nilainilai Pancasila mans yang perlu ditekankan dan dikemukakan lebih ke depan tergantung kepada nilai-nilai yang telah ado di dalam masyarakat lokal. Dengan demikian lamakelamaan akan terpupuk lahan kehidupan Pancasila di dalam kehidupan berbagai etnis di Nusantara. Selanjutnya akan lahir watak bangsa Indonesia yang semakin solid dan terarah. Apa yang disebut dengan watak bangsa atau identitas bangsa atau karakter bangsa Indonesia akan semakin kongkrit dan semakin kokoh terbenam di dalam habitus setiap suku bangsa Indonesia. Pasal 8. Nasionalisme Indonesia dan Karakter Bangsa Dalam ilmu politik (political sciences) pengertian bangsa (nation) mengalami perkembangan yang pesat. Prof. Smith dari Londan School of Economics, seorang pakar dalam ilmu politik mengidentifikasi pada tahun 1970/80-an terdapat berbagai pandangan mengenai bangsa (nation). Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut:40 1) Pandangan sosio-kultural seperti yang dikemukakan oleh Ernest Gellner yang menghubungkan bangsa (nation) dan nasionalisme kepada kebutuhan untuk suatu kebudayaan tinggi (high culture) untuk modernisasi dan perkembangan industri. 2) Pandangan sosio-ekonomik seperti yang dikemukakan oleh Nairn, Hechter yang menjabarkan nasionalisme dari ekonomi dunia serta kepentingan sosial ekonomi dari individu. 3) Pandangan politik seperti Anthony Giddens, Michael Mann yang melihat hubungan antara nasionalisme dengan 80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
4)
kekuasaan terutama perang, kelompokelitclan negara-negara modern. Pandangan ideologis seperti yang dikemukakan oleh Kedouri, Kapferer, Mark Jugensmeyer yang melihat nasionalisme sebagai suatu sistem kepercayaan (believe system), suatu bentuk agama sekuler dan menghubungkan lahirnya kekuasaan untuk meng-ubah di dalam lingkup ide dan kepercayaan. Pada dasarnya perbedaanperbedaan tafsiran mengenai bangsa dan nasionalis-me tersebut di atas dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok perenialis dan kelompok modern. Tabel 1: Bangsa Menurut Pandangan Perenialis dan Pandangan Modernis 4.1 Perennialism
Modernism
Cultural community
Political community
Inmemorial
Modern
Rooted
Created
Organic
Mechanical
Seamless
Divided
Quality
Resource
Popular
Elite-construct
Ancesstrally
Communication-based
Dalam perkembangan selanjutnya Anthony Smith mengkaterisasikan di dalam lima visi perkembangan nasionalisme:42 1) Premordialisme: Pandangan ini berupaya menyelami sifat-sifat yang besar untuk pengorbanan bangsa dan nasionalisme. Sifat tersebut dijabarkan dari sifat-sifat atau atribut premordialisme dari fenomena soasial-budaya seperti bahasa, agama, dan hubungan kekeluargaan. Pendekatan premordialisme apakah berdasarkan budaya atau sosiobiologis menunjukkan betapa pentingnya hubungan etnisitas dan kekeluargaan, etnisitas dan teritori yang dapat menimbulkan kekuatan sentimental kelompok. Pandangan ini dapat lita lihat dari karya-karya van den Berghe dan Geertz
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
2)
3)
4)
5)
Grosby. Perenialisme. Pandangan ini menitikberatkan kepada peranan sejarah yang telah menghubungkan suatu etnis. Hal ini misalnya kita lihat dari Horowitz yang menunjukkan pentingnya bahasa sebagai pengikat etnis, demikian pula kekautan mitos dan metafora hubungan kekeluargaan untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Pandangan ni memberikan koreksi terhdapa interpretasi kelompok modernism yang terlalu menekankan kepada kejadian-kejadian incidental. Pandangan perenialis mengingatkan kita mengenai adanya proses kesinambungan dari nasionalisme. Etnosimbolisme. Pandangan ini menitikberatkan kepada arti dari menginterpretasikan kembali simbol-simbol, mitos, memori, nilai-nilai dan tradisi di dalam sejarah etnisnya dalam menghadapi masalah-masalah moderntitas. Dari kelompok ini seperti Amstrong mencoba menginterpretasikan kembali peranan mhos, simbol-simbol, nilai-nilai dan keterikatan nasional dari suatu kelompok. Pandangan ini berupaya menemukan kembali arti mitos dan memori yang mengikat suatu kelompok dalam suatu teritori yang suci, tujuan kolektif ataupun masa-masa emas (golden ages) Modernisme. Pandangan ini menjabarkan bangsa dan nasiona-lisme dari prosesproses modern dewasa ini dengan menunjukkan bagaimana kelompok elitnya memobilisasikan dan mempersatu-kan penduduk di dalam suatu kesatuan untuk menghadapi kondisi modern. Para pakar seperti Anderson, Habsbawn antara lain menunjukkan peranan dari komunikasi serta aktivitas-aktivitas ritual serta simbolisme di dalam mempersatukan masyarakat nasional. Para pakar dalam kelompok ini seperti Mann, Tilly, Giddens. Pandangan ini menunjukkan bagaimana peranan for-matif dari negara, peperangan dan birokrasi Pandangan posmodernisme. Pandangan yang terbaru ini merupa-kan pandangan yang dekonstruktif dari pandangan-
pandangan sebelumnya dan melihat perkembangan bangsa dan nasionalisme di dalam perubahan global. Menurut Smith masalah-masalah nasionalisme dalam era globalisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a) Gerakan penduduk yang sangat cepat karena kemajuan komunikasi modern. Hal tersebut menyebabkan fragmentasi dari identitas nasional dan semakin menyebarnya multi-kulturalisme. b) Pengaruh dari lahirnya feminisme dan masalah gender yang semakin menonjolkan kesetaraan perempuan. c) Perdebatan politik dan normatif mengenai kevrarganegaraan dalam hubungannya dengan kemerdekaan serta hak asasi manusia. Sejalan dengan itu munculnya demokrasi liberal yang sedang mencari bentuknya di berbagai negara. d) Pengaruh dari globalisasi yang melahirkan masalah-masalah supra nasional yang berpengaruh kepada kedaulatan nasional dan identitas nasional. Diskursus mengenai Bangsa (Nation) - Peran Pendidikan Nasionalisme seperti di atas menunjukkan pada kita betapa pen-tingnya masalah tersebut di dalam kehidupan modern dewasa ini. Suatu hal penting yang dapat kita pelajari di dalam perkembangan nasiolionalisme di dunia yang telah dialami oleh negara-negara yang relatif lebih tua ialah mereka melihat peranan pendidikan yang sangat penting di dalam terbentuknya suatu bangsa dan nasionalisme, seperti diketahui negara-negara industri maju telah melaksanakan wajib belajar sejak pertengahan abad ke-19. Mereka melihat kemajuan industri dalam masyarakat telah menimbulkan berbagai gejala baru yang belum dialami oleh bangsa yang manapun seperti masalah tenaga kerja, kelas masyarakat seperti kelas pekerja yang telah menimbulkan prioritas dan materialisme dari Karl Max. Revolusi Perancis telah merontokkan feodalisme di Eropa dan melahirkan demokrasi. Ternyata demokrasi menuntut pencerahan anggota--anggotanya di dalam mewujudkan masyarakat yang mengakui akan hak yang lama semua manusia. Hal tersebut secara mutlak menuntut pendidikan atau
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
81
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
pencerahan dari rakyat. Tidak mengherankan apabila pendidikan dalam bentuk wajib belajar merupakan suatu tuntutan hak asasi manusia sesudah revolusi industri dan revolusi Prancis. Nasionalisme modern lahir sezaman dengan kelahiran pendidikan modern. Lahirnya Nasionalisme Indonesia Kapankah nasionalisme Indonesia lahir? Para politikus seperti Bung Karno atau ahli sejarah seperti Mohammad Yamin melihat nasio-alisme Indonesia telah lahir sejak lahirnya kerajaankerajaan besar dalam sejarah Indonesia seperti zaman Sriwijaya sejak abad ke-7 dan man kerajaan Majapahit sejak abad ke-8. Kemudian nasionalisme Indonesia tersebut dihancurkan oleh kedatangan kolonialisme Barat dan baru muncul kembali pada abad ke-19. Buku Simbolon Menjadi- Indonesia menunjukkan sejarah lahirnya nasionalisme Indonesia demikian pula buku yang dieditori oleh Komaruddin Hidayat Menjadi-Indonesia menunjukkan proses menjadi-Indonesia dengan kedatan-gan Islam. Pendapat Tilaar di dalam bukunya Multikulturalisme beranggapan bahwa Indonesia bukanlah suatu kata benda dalam arti telah terwujud atau mempunyai wujudnya yang nyata. Indonesia menurut Tilaar 43 merupakan suatu kata kerja yang merupakan tugas dari setiap warga Indonesia untuk mewujudkannya dan semakin menyempurnakannya. Menjadi Indonesia merupakan suatu proses yang berkesinambungan berarti ada masa perkembangannya yang positif tetap ada pula masa perkembangannya yang cenderung negatif apabila daya pikatnya dan isinya menghilang atau memudar. Meng-Indonesia merupakan suatu proses berkesinambungan yang mempunyai dasar atau isi. Dasarnya ialah kebudayaan Indonesia yang bhinneka menuju pada suatu visi kesatuan Indonesia yang dibentuk melalui kebudayaan persatuan Indonesia. Disinilah proses pendidikan dalam arti yang luas memegang peranan yang sangat panting dalam memperkuat landasan serta memperjelas visi untuk membentuk kesatuan bangsa Indonesia. Nasionalisme dan Karakter Bangsa Nasionalisme Indonesia dalam pengertian 82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
modern dan postmodern memerlukan landasan yang kuat dan visi yang jelas. Landasannya adalah budaya yang bhinneka dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Dari kebhinnekaan budaya tersebut telah berakar (rooted) dalam nilai-nilai Pancasila yang kemudian dikonstruksikan sebagai kesatuan nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 yang merupakan milik dari seluruh warganegara Indonesia. Milik itu akan terpancar dari keseluruhan tingkahlaku serta pola kehidupan (way of life) dari setiap warganegara Indonesia. Inilah yang dimaksudkan dengan karak-ter bangsa Indonesia. Sebagai kesimpulan, karakter atau watak bangsa Indonesia dapat didefinisikan sebagai berikut. Karakter atau watak bangsa Indonesia adalah suatu konstruksi budaya tentang sikap hidup (cara berpikir dan bertindak) dari setiap individu bangsa Indonesia yang multikultural yang terpancar dari nilainilai budaya/ideology nasional Indonesia, Pancasila, dalam menghadapi perubahan global. Catatan kaki: 1.
Lihat Winarno Surakhmad, “Pendidikan yang Mengindonesiakan,” dalam Pendidikan Nasional. Strategi dan Tragedi, h1m.181-196.
2.
Tim Sosialisasi “Penyemaian Jati Diri Bangsa, Membangun Kembali Karakter angsa, hlm. 58.
3.
Bung Karno, Pancasila sebagai Dasar Negara (cetakan II, 2001).
4.
Lihat Soemarno Soedarsono, Karakter. Mengantar Bangsa Dari Gelap Menuju Terang, Bab 2 “Ke Mana Arah Bangsa Ini?” hlm. 19-82. Lihat juga Membangun Kembali Karakter Bangsa, hlm. 42.
5.
Benedict Anderson, Komunitas-komunitas Terbayang (2002, terjemahan Imagined Communities).
6.
Profesor Soedijarto melanjutkan rumusan ini dalam rangka “... membangun Indonesia menjadi negara modern yang demokrasi berdasarkan Pancasila.” Lihat: Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, hlm. 72
7.
Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century (2005).
8.
Masalah marak di dunia dewasa ini seperti terorisme, merupakan dekadensi moral serta hilangnya toleransi.
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
9.
10.
Lihat hasil Seminar “Reinvensi Keindonesiaan” 8 Juni 2006, Memahami Kelndonesiaan. Watak keindonesiaan yang bersumber pada Pancasila bukan hanya dalam aspek-aspek tertentu dalam kehidupan bersama tetapi dalam totalitas kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kehidupan dalam bidang ekonomi sebagai bagian dari kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia tidak didasarkan pada paham Neoliberal tetapi pada nilai-nilai Pancasila. Lihat: Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (2010). Selanjutnya: Sri-Edi Swasono, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Rakyat (2010). Lihat pula gerakan “Teologi Pembebasan” seperti Gutavo Gutierrez di Amerika Latin. Simak pula Teologi Pembebasan oleh Wahono Nitiprawiro dan Abdurrahman Wahid cs., Islam Liberal & Fundamental. Sebuah Pertarungan Wacana.
11.
Berbagai teori kepribadian modern, lihat Syamsul Yusuf & Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian (2007)
12.
Leslie Stevenson & David L. Haberman, The Theories of Human Nature (1998, terjemahan: Sepuluh Teori Hakikat Manusia).
13.
Lihat studi Jean Piaget mengenai perkembangan pribadi dua anaknya.
14.
Studi terkenal dari Lawrence Kohlberg
15.
Lihat: Luis C. Moll, Vygotsky and Education, him. 287-303 tentang “zone of proximal development (ZPD).”
16.
Kupasan mendalam tentang etnisitas, lihat John Hutchinson & Anthony D. Smith (editors), Ethnicity (1996). Arnold M. Rose, The Roots of Prejudice (1951). H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme (2004).
17. 18. 19.
Lihat Sri-Edi Swasono, op cit. Lihat juga Abdurrahman Wahid Memorial Lecture 11,18 Maret 2010.
20.
Ralph Linton, The Cultural Background of Personality (1945).
21.
Ibid, hlm. 19
22.
Ibid, hlm. 131
23.
Ibid, hlm. 138
24.
Thomas L. Friedman, op cit.
25.
Lihat kritik Prof. Hamid Hasan mengenai Ujian Nasional dalam Soemarno Soedarsono, op cit, h1m.127-131.
26.
Lihat: Howard Gardner, Multiple Intelligences. The Theory in Practice, (1993).
27.
Lihat: H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pendidikan
Nasional (1995). 28.
Lihat: H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional (2005).
29.
Ralph Linton, op cit, hlm. 43.
30.
Istilah glokalisasi (global yang tumbuh dari nilai-nilai lokal) berasal dari Roland Robertson sosiolog Inggris don dipopulerkan antara lain oleh Prof. George Ritzer dari University of Maryland. Lihat: Teori Sosiologi Modern, him. 88. Sumber lain menyatakan pencetus pengertian glokalisasi ialah Akio Morita, mantan pemimpin Sony (lihat Jan Nederveen Piterse, Globalization & Culture, 2004:50)
31.
Tulisan H.A.R. Tilaar, “Pendidikan Tinggi di Indonesia 2010,” DINAMIKA MASYARAKAT, Juni 2009.
32.
George Ritzer, The Globalization of Nothing (2004).
33.
Tulisan J. Pieterse “Globalization as Hybridization” dalam M. Featherstone cs (ed.), Global Modernities (1996).
34.
Pengertian “scape’ pertama kali diluncurkan Appadurai dengan konsep-konsep ethnoscapes, technoscapes, financescapes, mediascapes, ideascapes
35.
MEDIA INDONESIA, 26 Maret 2010. Lihat juga Pikiran Rakyat, 13 April 2010. “Sosialisasi Barisan Tolak Teroris di Cipasung.” Lihat juga pidato ilmiah Dr. Martha Tilaar dalam upacara pengukuhan sebagai Duta HAM untuk Pendidikan dan Pelatihan, 20 Mei 2010. Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah No. 4 Tahun 1950. Para pemrasaran: Prof. Dr. Yahya Muhaimin, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, KH. Syukri Zarkazi.
36.
37.
38.
Lihat pendapat Syafii Maarif dalam Taufik Effendi, Jati Did Bangsa Indonesia Menuju Indonesia Jaya (2008:30).
39.
Gede Raka, “Kebutuhan Mendesak untuk Membangun Modal Maya Masyarakat Indonesia’ dalam Yayasan Jati Did Bangsa, Memahami Keindonesiaan, h1m.18-
40.
Anthony D. Smith, Nationalism and Modernity, hIm. 5.
41.
Ibld, hlm. 23.
42.
Ibld, hlm. 223-225.
43.
H.A.R. Tilaar, Mengindonesia. Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia (2007). Lihat jugs pendapat Ahmad Syafii Maarif “Indonesia: Pets Kebangsaan yang belum Stabil,” MEDIA INDONESIA, 11 April 201
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
83
Agama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa
Daftar Pustaka Alexander, Robin. (2008). Essays on pedagogy. London: Routledge Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI). (2009). Pemikiran tentang pendidikan karakter dalam bingkai utuh sistem pendidikan nasional. Jakarta: ALPTKI Bakti, Andi Faisal. (2006). Nation building (Judul asli: Islam and nation formation in indonesia). Jakarta: Churla Press Denzin, Norman K. & Michael D. Giardina (ed.). (2007). Contesting empire, globalizing dissent. Paradigm Publisher, Boulder Dewantoro, Ki Hadjar. (1977) (cetakan kedua). Karya Ki Hadjar Dewantoro, Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Gardner, Howard. (1993). Multiple intelligences. The theory in practice. New York : BasicBooks Gerakan Jalan Lurus. (2008). Seminar mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Implementasi pasal 33 clan 34 uud. Jakarta, 3 Agustus 2008 Gutierrez, Gustavo. (1999). A thoelogy of liberation. New York : Orbis Books, Maryknoll Hafidzoh, Siti Muyassarotul. (2010). Perempuan di tengah fundamentalisme global. MEDIA INDONESIA, Rabu, 21 April 2010 Karno, Bung. (2001). Pancasila sebagai dasar negara. Jakarta: Gunung Agung Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 Linton, Ralph. (1945). The cultural background of personality. New York: Appleton-CenturyCrofts Maarif, Ahmad Syafii. Indonesia: Peta kebangsaan yang belum stabil. MEDIA INDONESIA, 11 April 2010 Moll, Luis (ed.). (1998). Vygotsky and education. New York: Cambridge University Press Nitiprawiro, Wahono. (2000). Teologi pembebasan. Sejarah, metode, praksis, dan isinya. Yogyakarta: LKiS Rlzvi, Fasal & Bob Lingard. (2010). Globalizing education policy. London : Routledge Rose, Arnold M. (1953). The roots of prejudice. Paris: UNESCO Smith, Anthony D. (1998). Nationalism and modernism. London: Routledge 84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012
Soedarsono, Soemarno. (2009). Karakter. Mengantar bangsa dari gelap me-nuju terang. Jakarta: PT Eka Media Komputindo Stevenson, Leslie & David L. Haberman. (2001). Hakikat manusia. (Judul asli: Ten theories of human nature. 1998). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Sudijarto. (2008). Landasan dan arah pendidikan nasional kita. Jakarta : Buku KOMPAS Surakhmad, Winarno. (2009). Pendidikan nasional, strategi dan tragedi. Jakarta : Penerbit KOMPAS Sutrisno, Muji. (2008). Filsafat kebudayaan. Ichtiar sebuah teks. Jakarta: Hujan Kabisat Swasono, Sri-Edi. (2010). Indonesia dan doktrin kesejahteraan sosial. Jakarta: Perkumpulan Pra Karsa Swasono, Sri-Edi. (2010). Menolak neoliberalisme dan membangun ekonomi rakyat. Yogyakarta: PUSTEP-UGM Syamsudin M. cs. (2009). Pendidikan pancasila. Menempatkan Pancasila dalam konteks keislaman dan keindonesiaan. Yogyakarta: Totalmedia Tilaar, H.A.R. 2004. Multikufturalisme. Jakarta: Grasindo Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia. Etnisitas dan indentitas bangsa indonesia. Jakarta : Rineka Cipta Tilaar, H.A.R. (2009). Kredo pendidikan (My pedagogical credo). Jakarta : Lembaga Manajemen, Univeritas Negeri Tilaar, Martha. (2010). Hak asasi manusia. Kebangkitan nasional, dan perdamaian dunia. Pidato Ilmiah disampaikan dalam upacara pengangkatan sebagai Duta Kehormatan Hak Asasi Manusia, Pendidikan dan Pelatihan, oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, 20 Mei 2010 Tim Sosialisasi Penyelamat Jatidiri Bangsa. (2003). Membangun kembali karakter bangsa. Jakarta: Elex Media Komputindo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Wahid, Abdurrahman cs. (2005). Islam liberal & fundamental. Sebuah pertarungan wacana. Yogyakarta: eLSAQ Press Yayasan Jatidiri Bangsa. (2006). Reinvensi keindoneslaan: Memahami keindonesiaan. Hasil seminar, Reinvensi keindonesiaan. Bandung Yusuf, Syamsu LN & Juntika Nurisha. (2007). Teori Kepribadian. Bandung : Remaja Rosdakarya