MENAKAR KEBERHASILAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA By H.Totok Triwibowo
Pengantar Wacana munculnya pendidikan karakter bangsa dilatarbelakangi oleh kondisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang dirasakan semakin memburuk. Banyaknya kasus korupsi yang tak terselesaikan, tawuran antar kelompok masyarakat, tawuran pelajar, kekerasan, kejahatan seksual, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, seakan selalu mewarnai kehidupan negara kita. Para cendekiawan, akademisi kemudian membahas akar masalah tersebut, sekaligus mencari upaya preventif. Dalam seminar dan saresehan yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010, akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya prefentif melalui jalur pendidikan, yakni dengan memasukkan materi pendidikan karakter bangsa dalam kurikulum pendidikan. Meningkatnya arus globalisasi dengan kemudahan akses teknologi komunikasi dan informasi menyebabkan tidak ada membran, dinding pembatas antarbudaya dan nilai-nilai luhur bangsa dengan budaya luar, yang dikenal sebagai “Trans-Nasional”. Generasi muda, para maniak teknologi informasi dengan mudahnya mengakses nilai-nilai Barat, yang cenderung pada kebebasan, kehidupan yang konsumtif, hedonis, dan memuja kesenangan duniawi. Apalagi media elektronik seperti televisi pun dengan gencarnya memberitakan bermunculannya segelintir artis muda yang menjadi terkenal dan bergelimang kemewahan, setelah menggeluti dunia entertainment yang penuh kebebasan. Sebagian di antaranya hanya dengan menampilkan dirinya melalui youtube. Akhirnya, generasi muda berlombalomba dengan menghalalkan segala cara agar mereka dapat hidup bergelimang kemewahan, dengan meninggalkan segala yang berbau kehidupan ukhrawi. Di sisi yang lain, munculnya gagasan pendirian Negara Islam Indonesia (NII) yang menjadikan pelajar sebagai target, juga dianggap membahayakan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah menyatakan, bahwa bahwa bahaya idiologi NII harus dilawan dengan idiologi pula. Untuk meluruskan pemahaman keliru NII harus dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar khususnya kepada pelajar dan mahasiswa yang selama ini menjadi sasaran utama NII. Karena itulah penangkalan NII harus dilakukan melalui lembaga pendidikan di mana para calon korban tersebut biasa menimba ilmu. Berkaitan dengan penangkalan bahaya NII tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan bahwa pendidikan karakter tidak hanya untuk membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan semata, tetapi secara bersamaan juga bertujuan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa, yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara (kompas.com, 29 April 2011). Berbagai problematika itu akhirnya membuat pemerintah Indonesia mengambil tindakan pencegahan. Setelah berdialektika dalam proses pemikiran panjang, tercipta gagasan mengembalikan mentalitas dan pandangan positif melalui pendidikan karakter. Sebuah pendidikan yang dicitrakan dapat mengembalikan nilai luhur bangsa Indonesia yang hilang. Upaya pendidikan karakter mendapat dukungan dan legalitas hukum. UndangUndang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 1
mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, pendidikan budaya dan karakter bangsa sejalan dengan tujuan, serta visi dan misi pendidikan nasional. Maksud Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Berdasarkan buku pedoman tentang pelaksanaan pendidikan berkarakter yang dikeluarkan oleh Balitbang Kemdiknas, maka pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif . Untuk melaksanakan pendidikan budaya dan karakter bangsa ini, maka Kemendiknas menugaskan Pusat Kurikulum dan Perbukuan untuk menyusun pedoman pelaksanaannya, untuk selanjutnya disosialisasikan, dan diimplementasikan di lembaga sekolah. Untuk sosialisasi, ditunjuklah para widyaiswara dan isntruktur di pusat-pusat pelatihan melatih guru teknis pelaksanaannya dalam pembelajaran. Menurut buku pedoman yang dikeluarkan Balitbang Kemendiknas, setidaknya ada 4 (empat) nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu nilai agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Dari 4 nilai ini kemudian diuraikan lagi menjadi 18 nilai, yaitu (1) religus, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Dalam pelaksanaannya, pendidikan budaya dan karakter bangsa ini tidak dijadikan satu mata pelajaran tersendiri, melainkan diselipkan ke dalam mata pelajaran yang ada, dengan mencari persamaan nilai yang ada. Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya. Selain menyelipkan nilai-nilai tersebut ke dalam materi pelajaran, dilakukan pula praktek-praktek terhadap nilai-nilai tersebut, misalnya dilakukan dengan berdoa di awal dan akhir pelajaran (nilai religius), masuk kelas tepat waktu (disiplin), mengunjungi panti asuhan (peduli sosial), penampilan kesenian (nilai budaya), dan sebagainya. Evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan budaya ini tidak dilakukan melalui tes lisan maupun tertulis, melainkan melalui pemantauan yang dilakukan secara berkelanjutan oleh guru, sehingga diharapkan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa ini dapat berdampak positif terhadap perkembangan perilaku siswa, sebagai generasi muda, generasi penerus bangsa.
2
Analisis Pelaksanaan dan Ketercapaian Sasaran Sebelum kita menganalisis kemungkinan keberhasilan program ini sebagai upaya preventif untuk mencegah dampak buruk arus globalisasi bagi generasi muda, kita akan menganalisis keterlaksanaan program ini di tingkat sekolah. Acapkali, Pusat menggulirkan sebuah program, tetapi di tingkat sekolah, program itu tidak dilaksanakan. Guru tetap melakukan kebiasaan mengajar seperti yang sudah biasa dilakukan. Dalam Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada trend “ganti Menteri ganti kurikulum”. Kurikulum yang lama belum dilaksanakan secara tuntas, sudah muncul kurikulum baru. Setiap menteri memiliki program baru yang diwacanakan. Ketika Mendiknas dijabat Wradiman Joyonegoro muncul istilah link and macth, di zaman Bambang Sudibyo, program barunya ialah program buku BSE, dan pada zaman Menteri Muhammad Nuh, program yang diluncurkan adalah pendidikan budaya dan karakter bangsa. Program baru seperti itu biasanya menjadi proyek pusat, terutama untuk sosialisasi dan penyiapan buku pedoman. Namun, program pusat itu biasanya tidak sampai pada level guru sebagai ujung tombak, sehingga ada anekdot, ketika muncul program baru, guru mengeluh, “Binatang apa lagi nih?” Lalu di tataran guru tidak ada perubahan apapun. Belum lagi, dari proses penyusunan sampai sosialisasinya di sekolah dibutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut penelitian Balitbang Dikbud sendiri, (2001) banyak guru yang tidak profesional atau tidak layak mengajar. Baru 38% guru yang memiliki kelayakan mengajar. Artinya, tidak semua guru siap melakukan perubahan, dengan menyisipkan materi karakter bangsa ini. Jika gurunya tidak siap, maka dari sisi keterlaksanakan pendidikan berkarakter ini pun masih diragukan. Bila pelaksanaannya di tingkat sekolah masih menjadi masalah, tentu kita tidak berharap bahwa program ini akan mendulang sukses, seperti yang direncanakan. Yang menjadi pertanyaan adalah, Seandainya guru mampu menyisipkan materi pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam materi semua pelajaran, mampukah hal itu menjadi upaya preventif untuk mencegah rusaknya moral bangsa? Marilah kita mencoba menganalisis contoh nilai yang dikembangkan di dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa, yakni nilai religius. Deskripsi nilai religius menurut buku pedoman pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa ialah Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Indikator keterlaksanaan di sekolah ialah dilaksanakannya peringatan hari-hari besar keagamaan, memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk beribadah, memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah. Indikator keterlaksanaannya di kelas ialah berdoa sebelum dan sesudah pelajaran, memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah sesuai agama masing-masing. Bila kita mengacu, tingkat religius itu dengan deskripsi dan indikator yang dikemukakan di atas, sesungguhnya dalam kegiatan sekolah hal itu sudah biasa dilaksanakan. Sejak dulu, setiap siswa akan belajar pasti diawali dengan doa, di akhiri dengan doa, dilakukan peringatan hari besar agama, upacara bendera, dan lain-lain, ternyata hal itu tidak dapat melahirkan remaja yang religius. Apalagi di luar sekolah mereka masih bebas mengakses budaya negatif “Trans Nasional”, dan setiap hari disuguhi tayangan televisi yang sama sekali tidak mendidik. Input ajaran yang baik dan buruk, tidak seimbang, sehingga hal itu menyebabkan mereka tidak dapat keluar dari “belenggu” kondisi seperti yang terjadi saat ini. 3
Ke-18 nilai yang dikembangkan dari 4 (empat) nilai pokok, tentu merupakan hal yang positif. Namun, nilai-nilai yang baik itu tidak dapat diwujudkan hanya dengan melakukan apa yang tertera di dalam indikasi keberhasilan (indikator sekolah, dan indikator kelas). Contoh, seorang tidak akan menjadi jujur, hanya karena di sekolah disediakan tempat menemukan barang hilang, disediakan kantin kejujuran, atau lainnya. Sebuah kejujuran timbul dari keyakinan yang sangat kuat di dalam diri, yang berdasarkan keimanan dan ketaqwaan. Jujur dengan indikator seperti di atas, merupakan jujur yang kamulfase belaka. Ketika mereka keluar dari sekolah, dalam kondisi mendesak, terdorong kebutuhan hedonisme, maka kejujuran itu akan lenyap seketika. Seperti yang terjadi di negeri saat ini, para tokoh politikus yang berasal dari agamawan pun terjebak banyak kasus ketidakjujuran atau kecurangan, seperti korupsi. Sebenarnya, dalam upaya menjadikan generasi yang religius, telah terjadi makna bias. Generasi yang religius, biasanya hanya dimaknai dalam lingkup ibadah ritual dan akhlak, tetapi tidak sampai pada makna, religius itu sampai ke tahap taat secara totalitas. Bagaimana mungkin, generasi muda Islam itu sampai kepada pemahaman taat secara totalitas, sebab pemerintah sendiri membatasi, ketaatan sekedar pada ibadah ritual, karena umat Islam sendiri dilarang keras melaksanakan hukum-hukum Allah secara totalitas. Perbedaan cara pandang tentang nilai religius ini, jelas menyebabkan terjadinya “bias” dalam pelaksanaannya. Ajaran Islam telah menggariskan, bahwa ketaatan ialah dengan melaksanakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya. Ketaatan semacam ini dapat dilaksanakan bila seorang siswa, memahami seutuhnya ajaran agama, yang dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Akar Masalah Hilangnya Karakter Umat Melihat analisis terhadap subtansi dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita memang pesimis, bahwa upaya ini akan menelorkan suatu generasi yang memiliki karakter positif, mental yang terintegritas seperti yang diimpikan. Baik dari sisi subtansi maupun pelaksanaan, terdapat banyak kelemahan. Jadi, sebenarnya apa yang menjadi akar masalah dari hilangnya karakter umat ini? Yang pertama harus diluruskan ialah sebenarnya budaya dan karakter bangsa Indonesia yang seperti apa, yang menjadi ciri khas, dan dikehendaki untuk dibumikan dan diwariskan kepada generasi muda? (menurut pemikir pendidikan budaya dan karakter bangsa, tentunya) Apakah karakter asli bangsa Indonesia yang diwariskan dari nenek moyang, atau karakter berdasarkan keyakinan agama masing-masing? Bila mengamati ke-18 nilai yang dikembangkan, maka nilai religius atau keagamaan adalah nilai pertama yang dikembangkan. Seseorang tidak akan berkarakter khas agamanya, kalau bagian yang dikembangkan atau yang dipelajari hanya sebagian dari pengajaran agamanya. Seorang yang beragama Islam, tidak akan begitu saja berkepribadian atau bersyaksiah Islam, hanya dengan melakukan doa menjelang dan usai belajar, atau hanya dengan mengikuti peringatan keagamaan di sekolah. Sekolah akan berkepribadian Islam atau bersyaksiyah Islamiyyah setelah melewati tahapan-tahapan, seperti mempelajari thariqul imam (jalan menuju iman), mempelajari nizamul Islam (peraturan hidup dalam Islam), mempelajari fikih, dan seterusnya sehingga terbentuklah seorang yang beryaksiyah Islamiyah, atau berkepribadian Islam.
4
Selain itu, sebuah karakter atau kepribadian, tidaklah ditentukan oleh tabiat, pakaian, atau nilai-nilai yang hanya menjadi asesoris belaka. Sebuah karakter itu lahir dari sebuah prinsip yang lahir dari cara berpikir dan tingkah laku yang disebut sebagai aqidah, aqidah islamiyah. Aqidah sifatnya mengakar. Bila cara berpikir dan bertingkah laku sudah sesuai dengan aqidah Islam, maka dengan sendirinya ia akan memiliki semua sifat-sifat positif, seperti religius, jujur, disiplin, dan seterusnya. Demikian halnya, bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, atau Budha, akan memiliki karakter sesuai agama mereka, manakala mereka melaksanakan ajaran agama mereka secara sempurna. Dengan demikian, kita dapat menakar, bahwa sebuah kepribadian yang berbasis agama, tidak hanya dapat diindikasikan dengan indikasi kelas dan sekolah, yang sempit hanya dengan melihat indikasi, seperti siswa berdoa di awal dan di akhir pelajaran, atau siswa rajin mengikuti peringatan keagamaan. Kegiatan tersebut telah dilaksanakan sejak zaman dahulu, tetapi juga tifak dapat membentuk bangsa yang berkarakter, yang memiliki mental terintegrasi. Solusi Menurut Islam Untuk menciptakan generasi yang berkarakter, maka kita harus melakukan upaya ini di semua lini, termasuk lini keluarga, sekolah, masyarakat, dan juga pemerintah. Ketiganya harus bersinergi, agar kebiasaan yang ditanamkan terus dapat dilaksanakan. Jika keluarga saja yang baik, maka anak itu bisa berubah dalam pergaulan di lingkungannya. Demikian pula, jika hanya sekolah yang mengupayakan pendidikan berkarakter, maka di luar lingkungan sekolah masih terbuka jerat-jerat dan ranjau-ranjau yang mematikan. Peran keluarga dalam membentuk pribadi islam Keluarga memiliki andil yang besar dalam membentuk syakhsiyah islamiyah (kepribadian islam) jangan sampai orang tua mengalihkan peran mendidik anak ini sepenuhnya kepada sekolah. Orang Tua menjadi penanggung jawab bagi masa depan anakanaknya, maka setiap muslim dewasa (tidak hanya seorang guru) menjalankan fungsi edukasi. Wajib bagi kita semua menegakkan ‘amar ma’ruf nahi munkar untuk mengubah masyarakat menuju kemandirian dan kebangkitan Islam. Mengenalkan islam sebagai sebuah aturan hidup menjadi hal yang penting harus diajarkan orangtua kepada anak karena Islam sebagai sebuah mabda (ideologi), islam tidak terbatas hanya kepada hal spritual tetapi juga mencakup sistem yang mengatur urusan hidup yang disebut nizham atau syariah. Tujuan mengenalkan mabda’ Islam adalah dalam rangka membentuk pola pikir dan pola sikap yang islami (membentuk kepribadian Islam) pada diri anak. Selanjutnya dengan pembentukan ini, anak akan siap mengemban Islam sebagai kaidah berpikir dan kepemimpinan berpikirnya. Oleh karena itu, pengenalan mabda’ Islam kepada anak dilakukan dengan mengenalkan dan menanamkan akidah dan syariah Islam dalam beberapa tahap perkembangan anak yaitu pada tahap Masa mengandung dan melahirkan, Usia dini; masa pembentukan dasar-dasar kepribadian Islam, Usia pra balig; masa pemantapan dan pembiasaan dalam melaksanakan syariah atau aturan hidup, baik ibadah ritual maupun muamalah. Peran negara dalam membentuk pribadi islam Mengapa negara perlu terlibat? menurut Ustadzah Ratih Respatiyani,S.E,Akt yakni negara adalah institusi penerap hukum, karena negara mempunyai tanggung jawab pemeliharaan urusan masyarakat dan negara pemilik kekuatan perubahan secara sistemik. 5
Maka dalam upaya membentuk generasi berkripribadian islam harus menerapkan aturan terbaik, yakni aturan Islam yang berasal dari Allah SWT, Dzat Pencipta & Pengatur Alam Seisinya. Negara haruslah membangun satu sistem pendidikan yang mampu untuk membentuk pribadi yang memiliki karakter islam serta menguasai tsaqafah islam dan ilmu/teknologi. Generasi yang demikian akan mampu diwujudkan oleh Sistem Pendidikan yang berasaskan aqidah islam, Sistem Pendidikan Islam. Langkah-langkah yang dilakukan negara sebagai penyelenggara pendidikan Islam yaitu menyusun kurikulum yang sama bagi seluruh sekolah (negeri/swasta) dengan berlandaskan aqidah Islam, negara melakukan seleksi yang ketat terhadap calon-calon guru (ketiinggian karakter Islam dan kapasitas mengajarnya), menu pendidikan harus ‘Al-fikru lil amal’ (pemikiran diajarkan untuk diamalkan), dan tidak ada pembatasan usia belajar dan lama belajar. Pengajaran Tsaqafah islam yang diberikan kepada anak didik akan menjadikan mereka selalu mampu menyikapi perkembangan lingkungan dengan tetap berpegang pada ajaran Islam. Pendidikan Islam tidak meninggalkan pengajaran sains, teknologi, seni, semua diajarkan dengan tetap memperhatikan kaidah syara’. Sudah saatnya kita kembali ke dalam sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan islam akan terwujud generasi yang siap jadi pemimpin dunia dan membawa kepada keadaan yang lebih baik. Penutup Sudah saatnya bangsa ini berpikir untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian luhur (kepriabdian Islam bagi pemeluknya) melalui sistem pendidikan Islam. Inilah satu-satunya solusi untuk mengatasi berbagai persoalan menyangkut kualitas generasi. Memang, semua itu tidak mudah dilakukan, sebab sistem pendidikan Islam akan sempurna diterapkan dalam wadah negara yang menjalankan aturan Islam secara sempurna. Umat Islam secara keseluruhan harus mencurahkan segenap tenaganya untuk mewujudkan tatanan kehidupan Islam. Itu semua dilakukan demi menyambut seruan Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (TQS. Al Anfaal [8]:24). Wallahu A’lamu. SUMBER Tim Puskurbuk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas. Indra Jati Sidi. 2002. Pengantar Buletin Nadi. LPMP Jawa Barat. www.hizbut tahrir Indonesia.com www.Syabab.com
6