BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Usaha perikanan laut mengalami dinamikanya sendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kini usaha perikanan laut menjadi sumber tumpuan harapan pertumbuhan baru bagi ekonomi Indonesia. Bagi nelayan, usaha perikanan laut sebagai mata pencaharian hidup untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Usaha nelayan ini, kini tidak dibiarkan seperti anak tiri yang berada dalam laut, sedangkan negara seperti ibu tiri yang lebih bahagia menikmati keindahan laut. Usaha perikanan nelayan kini tidak lagi diusahakan secara sendiri-sendiri, seperti anak ayam yang kehilangan induknya, tidak lagi dengan bermodalkan alat pancing tradisional, sebuah sampan, dayung, dan layar kecil yang sederhana. Usaha seperti ini tentunya sudah tersisih, terhempas ditepian pantai seperti ikan yang terhempas gelombang laut selatan yang membuat ia tertancap dan menggelepar di atas pasir pantai, sehingga membuat nelayan mengambil pilihan lain sebagai Anak Buah Kapal (ABK), buruh nelayan, atau mengusahakan dirinya dengan modal yang dimiliki menjadi seorang juragan, atau punggawa (pemilik barang). Kenyataan yang demikian ini, akibat dari modernisasi alat tangkap, modal dan jaringan yang dimiliki membuat mereka berada dalam relasi sebagai ABKdan juragan. Oleh kerena keberhasilan atas kerja kerasnya, dan jaringan, ada yang dapat menjadi juragan/punggawa (pemilik barang). Mereka kemudian bekerja sama, baik dalam ikatan keluarga maupun nonkeluarga yang tentunya tidak hanya
1
dalam lingkup desa mereka, tapi sudah melampaui desa mereka. Mereka dapat bekerja sama dengan pemodal lain, coorporat, pemilik modal besar dan tentunya difasilitasi oleh pemerintah yang kini tidak ingin membiarkan mereka terus tenggelam dalam laut. Mereka kemudian menjadikan sistem kerja punggawa-juragan- ABK/sawi sebagai ciri khas sistem kerja yang eksploitatifuntuk memperoleh hasil dari sumber daya laut yang lebih banyak dan bernilai ekonomis yang tinggi, yang bisa jadi mengancam dan meniadakan eksistensi nelayan. Sebab mereka bisa jadi menjadikan laut sebagai tanah kering, dimana pecahan-pecahannya sebagai tanda duka untuk mereka, dan dapat membuat mereka bagai wisatawan bahari yang beresiko dan tanpa kebahagiaan. Ancaman akan eksistensi nelayan yang demikian ini membuat hubungan sosial ekonomi produktif antara mereka tidak selalu harmonis walaupun mereka selalu berupaya untuk hidup dalam keharmonisan. Selalu saja ada riak-riak kecil antara mereka, atau suara mesin yang tersendatsendat hingga mogok atau membuat putus hubungan antara mereka. Mereka seperti ikan yang saling menggigit, tak perduli itu ikan besar atau ikan kecil yang tak perlu digigit. Kondisi demikian ini sangat menyulitkan ABKsebagai nelayan buruh yang tentunya tidak menyikapi gejala ini secara pasif atau serba pasrah. Mereka kemudian secara sembunyi-sembunyi dan terbuka melakukan siasat agar hidup mereka lebih hidup dan tidak terjebak pada kemiskinan destitute. Siasat ini dilakukan dengan gunjingan (Juragan mage, juragan tukang pele, juragan air), ancaman, penipuan, lari atau pindah kerja ke juragan yang lain dan konflik. Namun apa yang dilakukan mereka ini tidak lain, hanya bagai batu yang jatuh
2
ditengah kolam yang hanya dapat menimbulkan gelombang yang tidak terlalu besar mengguncang eksistensi para juragan dan punggawa, tetapi hanya memberi kesiagaan bagi para juragan dan punggawa untuk bersiaga agar tidak jatuh ke dalam air dan melakukan strategi lain terhadap mereka, yang membuat mereka tetap
berada
dalam
kemiskinan
destitute
dan
terus
bergantung
pada
juragan/punggawa, atau pada pilihan lain yang sebenarnya tidak bebas mereka pilih. Melihat siasat ABK seperti yang disebutkan di atas, punggawa-juragan berstrategi dengan memberikan intensif tertentu, membiarkan pelanggaran ringan dilakukan, pengertian, marah, membantu keluarga ABKyang sakit, sekolah dan memenuhi kebutuhan ABKpada batas-batas tertentu ketika tangkapan lagi seret atau jika terjadi musim barat dan di saat bulan terang. Relasi yang demikian ini membuat mereka mau tak mau berada di antara ketidaksukaan dan amarah yang membuat mereka mau tak mau, suka tidak suka berprinsip untukmengutamakan keselamatan, baik keselamatan diri maupun keluarga mereka masing-masing.
B. Studi Literatur Studi terhadap kehidupan nelayan yang dilakukan para antropolog dan para penulis lain, terasa sudah cukup memadai, tidak terkecuali yang menyangkut tentang siasat/strateginelayan dalam berelasi dan dampaknya. Untuk menjelaskan studi tentang siasat/strategi nelayan dan dampaknya yang memungkinkan adanya korban dan resistensi, ada baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan nelayan.
3
Nelayan berasal dari bahasa tamil nallayar dan bahasa sansikritinallayan (Badudu dan Zain dalam Semedi,2003;15), dimanayang menjadi dasar utama dari diri mereka adalah penangkapan ikan, yang kemudian menentukan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. (Semedi,2003;13). Dalam Insiklopedi Indonesia, nelayan didefinisikan sebagai orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti para penebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian (Ismail,2000). Dalam buku Statistik Perikanan yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perikanan, nelayan didefinisikan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air1. Dalam kamus Antropologi, Suyono(1985) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan nelayan adalah orang-orang yang hidup dari usaha menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok. Sedangkan Lampe (1989) mengartikan nelayan adalah mereka yang mempunyai mata pencaharian hidup dengan memanfaatkan sumber laut seperti ikan dan biotik laut lainnya (kecuali rumput laut) yang mengandung nilai ekonomi (dapat dikonsumsi atau dipasarkan), baik secara terus menerus maupun secara musiman, dengan menggunakan sarana berupa perahu dan alat-alat penangkapan. Dari definisi yang disebutkan, nelayan dapat dinyatakan sebagai sekelompok orang yang secara aktif memanfaatkan sumber daya laut secara langsung maupun tak langsung dan secara terus menerus maupun secara musiman 1
Lihat catatan kaki nomor 16 pada P.M. Laksono.”Spektrum Budaya (Kita)”.Yogyakarta;Kepel Press. 2009;66.
4
sebagai mata pencaharian pokok dengan menggunakan teknologi untuk menentukan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Nelayan, dalam melakukan pekerjaannya, mereka selalu berelasi dengan orang lain untuk bekerja sama, namun hubungan yang dijalin ini, efektifitasnya cair sehingga kebahagiaan yang nelayan peroleh tidak terjadi sepanjang tahun sebab adanya ruang eksploitasi yang memberi tanda duka bagi mereka. Mereka dinikmati di atas gelombang, sedangkan jaringan pengeksploitasi berharap gelombangnya lebih besar agar mereka dapat menikmati buih laut yang lebih banyak/indah beserta konco-konco, dan anak istri mereka di tepian pantai. Mereka terjebak dalam hubungan patron-klien. Pujo Semedi (1998, 2003) menunjukan hubungan ini dalam masyarakat nelayan desa Wonokerto Kulon yang menunjukan strategi juragan dan siasat ABK yang baik, dimana ABK menunjukkan dirinya dengan bekerja yang benar dan juragan memberikan imbalan yang baik dan hadiah saat Idhul Fitri, di samping itu kerena ulah juragan yang tidak arif, ABK menyebarkan gosip negatif dan pindah menjadi ABK pada juragan yang lain. Dan jika nahkoda tidak dapat membawa hasil tangkapan yang baik, juragan dapat memecatnya. Munsi Lampe (2006) dalam studinya terhadap nelayan pulau Sembilan menunjukan relasi nelayan, dengan menunjukan hubungan kerja sama antara nelayan yang terlembaga dalam hubungan Ponggawa-Sawi, dimana hubungan ini tidak sendirian tetapi juga melibatkan pihak luar, dalam permodalan dan pemasaran, tidak terkecuali pihak pemerintah, dimana selalu saja ada oknum dalam pelaksanaan kebijakannya diantara sumber daya laut yang berdinamika
5
antara ada dan tiada. Hal ini memungkinkan punggawa berstrategi dengan keinginan memaksimalkan keuntungan demikianpun sawi yang bersiasat dengan kepatuhan dan perlawanan di sisi lain. Punggawa memberi pinjaman kepada nelayan, kemudian membuat ketentuan dan keharusan penjualan seluruh tangkapan nelayan terhadap mereka dengan berhak menentukan harga penjualan tangkapan nelayan. Mereka juga tidak lupa menerapkan pembagian hasil tangkapan yang timpang. Hasil tangkapan yang timpang ini lebih menyolok, jika punggawa merangkap sebagai juragan. Selain itu mereka bersikap tidak jujur dalam pembagian hasil tangkapan terhadap sawi, dan mau menerima kembali sawi yang mau bekerja kembali. Ada juga yang tidak menghitung mesin dalam pembagian hasil tangkapan,dan memberi kerjaan terhadap nelayan di musim paceklik/barat, memberikan bahan konsumsi dan persenan menjelang hari raya, dan jika hasil tangkapan tidak mencukupi diutamakan untuk menutupi biaya operasional dan sisanya untuk nelayan buruh. Sedangkan para sawi-juragan bersiasat dengan kepatuhan mengikuti kemauan punggawa dengan tetap bekerja sesuai kehendak punggawa, lebih intensif melaut walaupun menyebabkan mereka menangis, sakit dan meninggal. Selain itu mereka marah dengan kebijakan punggawa, dan jika mereka rasakan ketidakadilan sudah sangat tidak berkenan, mereka mengundurkan diri dari pekerjaan, melakukan penipuan, bersekongkol, dan berkonflik. Mereka juga menerapkan pola hidup hemat dan menabung, walaupun kebanyakan hidup boros. Junaidi (2007) menunjukan relasi yang timpang, yang memarginalkan nelayan desa Concong Luar yang dilakukan pemerintah dan pemilik modal Cina
6
secara sistimatis, baik secara politis,ekonomi maupun jaringan. Dimana nelayan kemudian menghadapinya dengan melakukan siasat lain yang memungkinkan mereka tetap bertahan. Strategi taoke dengan membuat system pengumpulan hasil yang rapih agar ABK tidak menjual hasil penangkapan ke taoke lain, tetapiABK tetap bersiasat menjual ke taokelain. Adapun strategi lain yang dilakukan oleh taoke dan nelayan adalah hubungan pinjam meminjam, yang mana taoke memberi pinjaman berbunga dan nelayan harus membayar dengan mengansurnya perbulan. Dan kerena termarginalnya nelayan mereka harus bekerja sampingan, berarisan dan berdagang kecil-kecilan. Keadaan ini membuat relasi sosial dan solidaritas nelayan, benar-benar terjebak dalam resistensi dan konflik, seperti yang ditunjukan Budi Siswanto, Hasrul Hanif, dan Sabian Utsman. Budi Siswanto (2008) dan Hasrul Hanif (2006) menunjukan perlawanan nelayan didesa pantai Prigi dengan melakukan esekan secara berlebih sebagai reaksi atas kecurangan juragan, melakukan carukan, dan menghindari TPI yang melakukan pelelangan ikan secara semu kerena harga ikan sudah di atur para pedagang dominan. Mereka lebih memilih menjual langsung kepada pedagang atau bakul yang dapat dipercaya, dalam arti yang memberi harga lebih baik dan ringan tangan untuk membantu nelayan. Selain itu perlawanan dilakukan dengan menambah timbangan untuk diri sendiri, pencurian yang lebih besar, desas-desus, fitnah, gunjingan dan sinisme, juga penipuan dengan berpurapura rajin bekerja ketika diperhatikan juru mudi. Resistensi dengan konflik terbuka dengan kekerasan ditunjukan Sabian Utsman (2007) pada nelayan Sekates, diakibatkan oleh konflik dengan tanpa
7
kekerasan antara nelayan buru, juragan dan penampung (pemodal dan pembeli hasil usaha nelayan tradisional) yang mempermasalahkan setoran nelayan tradisional yang kecil. Adapun Nuriza Dora (2008) menunjukan siasat nelayan dengan perlawanan perampuan desa Percut, Deli Serdang terhadap budaya patriarki dengan menjadi nelayan seperti suaminya akibat dari kemiskinan yang mereka alami kerena disebabkan oleh kebijakan pemerintah, penyalahgunaan wewenang, kuasa para taoke, perkembangan teknologi penangkapan yang menguras sumber daya ikan, dan bertambah banyaknya nelayan. Peran perampuan ini digambarkan juga Kusnadi dan kawan-kawan (2006) yang meneliti peran istri nelayan di desa Pranduan, dan Legung Timur, Madura yang dilakukan atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri disebabkan oleh kesulitan penghasilan suami mereka. Peranmereka sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga dan meningkatkan status sosial di masyarakat, baik melalui usahamandiri yang berskala kecil atau bekerja dengan pihak lain. Peran ini sangat di dukung oleh faktor sosial-budaya, dan sangat ditentukan oleh faktor-faktor pendukung yang ada, seperti kemampuan dan ketrampilan diri, ketersediaan modal usaha dan lain-lain, yang memungkinkan mereka berutang. Walaupun dianggap bukan pekerjaan utama dan kurang penting, pekerjaan mereka memberi dampak pada sikap demokratis dalam rumah tangga nelayan dan tentunya kesejahteraan mereka meskipun sebagian kecil yang bersikap konserfatif menentang pekerjaan mereka.
8
Soenarso (2008) menggambarkan peran perampuan nelayan di pesisir kabupaten Subang dalam pekerjaan produktif dan reproduktif. Pekerjaan produktif perampuan itu menyangkut penjualan ikan, pengolahan ikan, bidak nelayan, dan pengelola keuangan. Peran ini tidak maksimal kerena jebakan gender yang mengakibatkan mereka tidak dapat mengikuti penyuluhan yang menyangkut dengan pelestarian lingkungan dan penggunaan alat tangkap. Adapun pekerjaan reproduktif itu menyangkut pekerjaan di lingkungan rumah. Dari uraian di atas nampak bahwa siasat ABK dan strategi juragan, tidak dapat lepas dari peran keluarga mereka, yang mempunyai keinginan yang sama untuk meningkatkan produktifitas kerja dan pendapatan mereka.
C. Masalah Dengan melihat latar belakang dan studi literatur yang saya lakukan, dan saya tunjukan di depan, maka masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana siasat yang dilakukan para ABK terhadap juragan/punggawa? 2. Bagaimana strategi juragan/punggawauntuk menanggapi siasat para ABK? 3. Bagaimana siasat berelasi ABK dan strategi juragan/punggawa tersebut merefleksikan pemahaman antropologis tentang patron-klien?
9
D.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Agar mengetahui bagaimana siasat yang dilakukan para ABK. 2. Agar mengetahui strategi para juragan/punggawadalam menghadapi siasat yang dilakukan para ABK. 3. Agar dapat memberikan pemahaman antropologis yang lebih reflektif tentang patron-klien berkaitan dengan siasat berelasi ABK dan strategi juragan/punggawa.
E. Kerangka pemikiran Relasi nelayan, akibat dari perkembangan teknologi dan peningkatan pendapatan yang memungkinkan mereka mengalami mobilisasi vertikal yang cukup cepat, membuat mereka berelasi dalam jumlah yang lebih banyak, antara sawi/pendega,-juragan laut-juragan darat/punggawa, apalagi di dorong oleh ekonomi sewa. (Masyuri, 2009; 60,62). Relasi ini menggambarkan peran-peran tertentu antara para sawi-juragan laut-juragan darat/punggawa. Peran ini mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Kriteria untuk seorang Punggawa adalah (a) mampu menyediakan modal untuk biaya pengoperasian pada setiap kegiatan pengumpulan produksi, (b) mampu menanggung biaya-biaya dari keluarga punggawa dan sawi yang ditinggalkan selama operasi pengumpulan produksi, (c) mampu memasarkan hasil pengumpulan produksi, (d) mampu memberikan biayabiaya tertentu kepada punggawa laut dan sawi pada musim paceklik. Sedangkan untuk menjadi juragan memiliki syarat-syarat: (a) memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang memadai, (b) memiliki kejujuran dalam
10
menjalankan tugas dan tangung jawab, (c) memiliki pengetahuan yang mendalam dan luas tentang kenelayanan. Selain itu mempunyai kewajiban yang harus dipatuhi, antara lain: (a) membantu punggawa untuk mencari dan menentukan sawi-sawi yang dapat menjadi anggota kelompok, (b) menetapkan system pembagian kerja para sawi, (c) bertanggung jawab terhadap keselamatan para sawi
dan
setiap
alat
produksi
yang
digunakan
selama
dilokasi
penangkapan/pengumpulan produksi, (d) mengumpulkan semua hasil produksi untuk diserahkan kepada punggawa, (e) membantu papalele dalam menentukan upah untuk sawi, (f) penyalur aspirasi para sawi untuk keluhan-keluhan tertentu dalam kelompok. Untuk sawi, syaratnya adalah harus bekerja rajin dan jujur dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta patuh pada perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh punggawa, mulai dari persiapan pemberangkatan menuju ke lokasi penangkapan sampai kembali ke darat membawa hasil produksi. (Arifin dalam Mukhlis,1985). Kenyataan ini menunjukan relasi nelayan merupakan relasi kelas yang berpola patron-klien. Pola ini menunjukan suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi kepada
11
patron.(Scott dalam Ahimsa-Putra,2007;4). Hubungan patron-klien ini terjadi kerena adanya,(1) persistensi ketidakadilan yang nyata dalam kekayaan, status dan kekuasaan yang diakui dengan kadar legitimasi tertentu, (2) tidak adanya, secara relative (atau runtuhnya), jaminan non-personal yang efektif, seperti hukum public, bagi keamanan fisik, kekayaan dan posisi—yang sering diikuti oleh pertumbuhan pusat-pusat kekuasaan pribadi setempat yang setengah otonom, (3) ketidakmampuan unit kekerabatan ataupun desa tradisional untuk berfungsi sebagai wahana bagi keamanan dan kemajuan pribadi. (Scott,1993;8). Dalam relasi patron-klien ini, Scott, dalam Ahimsa-Putra (2007;4-11) menyatakan hubungan ini tidak didapat begitu saja, tetapi harus diciptakan oleh seorang individu. Apabila seseorang ingin mempunyai relasi tertentu dengan pihak lain maka dia perlu memberikan sesuatu terlebih dahulu, dan jika pihak lain bersedia maka pemberian tersebut akan dibalas. Dan agar hubungan ini berjalan mulus diperlukan beberapa unsur, yaitu pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di pihak lain, entah itu barang atau jasa dan bisa berbagai ragam bentuknya. Kedua adalah hubungan timbal balik, kerena adanya pemberian, pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya. Selain itu hubungan patronase ini didukung dengan norma-norma dalam masyarakat yang memungkinkan klien menawar, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti yang diharapkannya, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi samasekali. Lebih jauh Scott mengemukakan bahwa hubungan patronase mempunyai cirri-ciri tertentu sebagai pembeda dengan hubungan sosial lain. Pertama, yaitu
12
terdapatnya
ketidaksamaan
(inequality)
dalam
pertukaran,
dimana
ia
menunjukkanterdapat ketimpangan pertukaran yang terjadi kerena patron berada dalam posisi pemberi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh si klien beserta keluarganya agar mereka bisa tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri si klien muncul lewat pemberian ini selama pemberian tersebut masih dirasakan mampu memenuhi kebutuhannya yang paling pokok atau masih dia perlukan. Kedua, adanya sifat tatap muka (face-to-face character), yang menunjukan sifat pribadi ada di dalamnya, yang menimbulkan rasa simpati (affection) dan selajutnya membangkitkan rasa saling percaya dan rasa dekat. Dengan rasa saling percaya ini seorang klien dapat mengharapkan bahwa si patron akan membantunya jika dia mengalami kesulitan, jika dia memerlukan modal dan sebagainya. Sebaliknya si patron juga dapat mengharapkan dukungan dari klien apabila pada suatu saat dia memerlukannya. Hal ini menunjukan dalam hubungan yang bersifat instrumental, dimana kedua belah pihak memperhitungkan untung rugi dari hubungan mereka, tidak berarti relasi tersebut netral sama sekali, melainkan ada unsur rasa yang masih terlibat di dalamnya. Dan kerena sifat tatap muka dalam hubungan ini, serta terbatasnya sumber daya si patron membuat jumlah hubungan yang dapat digiatkannya menjadi lebih terbatas pula. Ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility). Hal ini menunjukan relasi patronase tidak hanya dikaitkan dengan sewa menyewa dengan klien, tetapi bisa lebih luas hubungan, dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, dan sekaligus juga merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka.
13
Dalam hubungan patronase, berkenaan dengan ciri pertama di depan, pandangan Scott yang menyamakan dua konsep ketidaksamaan (inequality) dan ketidakseimbangan (imbalance), menurut Ahimsa-Putra harus dibedakan, demikianpun dengan pengertian timpang, sebab Scott menguraikannya hanya di lihat dari satu sudut, yaitu seolah-olah seorang klien selalu merasa bahwa apa yang diberikannya tidak dapat mengimbangi apa yang telah diberikan seorang patron kepadanya, padahal dalam kenyataan seorang klien juga bisa berpendapat bahwa si patron tidak cukup banyak pemberiannya sehingga tidak sesuai dengan apa yang telah dia berikan kepada patron tersebut. Hal ini karena adanya normayang menjadi patokan dalam berelasi dan si klien akan melepaskan diri dari hubungannya dengan patron manakala dia merasa bahwa apa yang dia berikan tidak dibalas dengan sepantasnya oleh patron tersebut. (Lande dalam AhimsaPutra, 2007;8-9). Menurut Ahimsa-Putra, konsep ketidaksamaan perlu dibedakan dengan ketidakseimbangan mengingat hubungan pertukaran yang tidak sama, dalam arti barang atau jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikannya, antara patron dan klien, tetapi bisa saja seimbang menurut pandangan mereka yang terlibat dalam proses pertukaran tersebut. Hal ini, ia kuatkan dengan pandangan Gouldner mengenai keseimbangan yang disebutequivalence, yang terdapat dalam hubungan timbal-balik yang heteromorfis (heterophic reciprocity)yang berarti bahwa apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya, namun sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam faktor, seperti misalnya kebutuhan si
14
penerima pada saat pemberian dilakukan. Semakin tinggi nilai pemberian ini baginya, makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Tentunya dengan norma yang menyatakan bahwa orang seharusnya membantu mereka yang telah menolongnya, dan jangan menyakiti para penolongnya. Keseimbangan ini menurut Foster dalam Ahimsa-Putra (2007;7) dihindari dengan sengaja oleh kedua belah pihak, sebab tercapainya keseimbangan bisa berarti berhentinya kontrak atau hubungan timbalbalik patron-klien maupun hubungan timbal-balik antara orang yang relatifsama statusnya (colleague contracts). Hubungan patron-klien ini juga dapat berhenti kerena terlalu timpangnya pertukaran yang terjadi, yang berakibat salah satu pihak merasa terlalu dirugikan. Di luar dari hubungan yang seimbang dan tidak seimbang yang membuat hubungan patron-klien ini awet, hubungan patron-klien ini juga dinyatakan Scott bahwa orang yang masih terhitung kerabat tidak termasuk di dalamnya, atau orang yang saling tolong menolong dan masih terdapat hubungan kekerabatan antar mereka tidak tercakup disitu, tetapi Ahimsa-Putra menyatakan orang yang masih terhitung kerabat dapat termasuk dalam hubungan patron-klien. Hubungan yang dibangun ini merupakan sistem politik yang merupakan suatu permainan (game) atau pertandingan, yang terdapat individu-individu atau kelompok yang bersaing untuk mendapatkan sesuatu. Dimana tentunya sebuah pertandingan merupakan seperangkat aturan-aturan yang tentunya sangat penting dari sebuah pertandingan, baik yang tertulis ataupun tidak. Yang penting aturanaturan ini disepakati bersama, sebab tanpa adanya kesepakatan mengenai aturan-
15
aturan dari sebuah pertandingan, pertandingan tidak akan dapat dilaksanakan. Dengan demikian, maka sebuah struktur politik juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan-aturan juga, yang digunakan untuk mengatur persaingan atau perebutan hal-hal tertentu dalam kehidupan. (Bailey dalam Ahimsa-Putra, 2007;187). Karena struktur hubungan patron-klien yang demikian ini, yang masuk hingga jaringan kekerabatan membuat tidak semua nelayan dapat ikut memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang sebenarnya tersedia bagi mereka. (Soemardjan, Soedjatmoko, Masyuri, dalam Masyuri,2009;67). Walaupun mereka sudah melibatkan berbagai macam pihak, hubungan kerja sama mereka berlangsung diantara lapisan dan diantara golongan penduduk, baik menurut usia dan jenis kelamin, juga diantara berbagai lapisan yang terlibat di bidang usaha perikanan. Yang dapat diibaratkan sebagai suatu jaring laba-laba yang saling berkaitan dan mempunyai suatu fokus atau tujuan, yakni menjual tangkapan ikan ke pasar atau konsumen untuk pemenuhan kebutuhan hidup. (Mubyarto,dkk, 1984;39). Sehingga sering menimbulkan ketidakpuasan antara nelayan, dan memunculkan sikap suka tidak suka yang memungkinkan mereka melakukan siasat dan strategi dalam berelasi sehingga mereka dapat memperoleh kehidupan sosial ekonomi yang diinginkan. Siasat sebagai suatu konsep mempunyai arti yang kaya, ia tidak tunggal dalam dirinya. Dalam berbagai kamus2, siasat diartikan sebagai kecaman, kritik,
2
Yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta, Balai Pustaka,2005:1060; Eko Endarmoko. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,2006,295,632; Ahmad Warson Munawar. Kamus Al-Munawir Arap-Indonesia Terlengkap. Surabaya.Pustaka Progresif. Edisi kedua,1997:667-678; dan Alan M. Stevens dan A. Ed.
16
teguran, celaan, cara, gaya, langkah, trik, resep, daya, kiat, taktik dan tindakan. Namun keempat kamus tersebut juga mensinonimkan siasat dengan kata rencana, cara berperang dan prosedur yang merupakan pengertian dari kata strategi (strategy). Mengacu pada pengertian awalnya, strategi berarti rencana atau langkah antisipasi terhadap sesuatu yang masih berupa ramalan. Jadi strategi dapat diartikan sebagai rencana atau langkah yang akan diambil oleh seseorang untuk mengantisipasi lawan atau musuh yang masih diramalkan atau dibayangkan, sedangkan siasat adalah taktik atau tindakan yang diambil seseorang berhadapan dengan kekuatan lain (lawan atau musuh) yang sudah ada di hadapannya. (Bujang, 2008;23-24). Siasat merupakan seni yang menjadi milik orang yang lemah atau kalahkerena tidak mempunyai sumber daya yang tidak terlepas dari ruang, tetapi diperhadapkan dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi dengan memanipulasi dan mengalihkan keadaan menjadi kesempatan akibat beban yang dihadapi dengan prosedur yang diperhitungkan walaupun tidak sejalan dengan hukum yang ada.Sedangkan strategi adalah aktifitas status quo mengarahkan kekuasaan dengan sumber daya yang ada, dengan perhitungan objektif yang dapat
Schmidgall-Tenings Comprehensive Indonesian- English Dictionary. Ohio Univwesity Press Published in association With the American Indonesian Chanber of Commerce. 2004:933. Tiga kelompok arti yang diberikan oleh kamus yaitu pertama, siasat berarti kecaman, kritik, teguran, celaan, politik, cara, gaya, lakuh, metode,trik, resep,akal, daya, kiat rahasia. Kata politik yang diartikan dari kata siasat tersebut, oleh kamus besar bahasa Indonesia, diartikan juga sebagai muslihat, taktik, tindakan, kebijakan dan akal untuk mencapai suatu maksud. Sementara dalam kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, kata taktik disamakan dengan akal, daya, kiat, muslihat, rahasia, siasat dan trik. Kamus Indonesia-Inggris mengartikan siasat ke dalam bahasa ingris sebagai politic, taktic (s), kedua, siasat diartikan sebaai cara berperang, cara bekerja, cara melakukan sesuatu, modus operandi, prosedur, tata cara, teknik; dan dari kamus IndonesianEnglish, siasat diartikan sebagai plan (rencana), tact (kebijaksanaan atau keleluasaan); dari kamus Arab-Indonesia, siasat diartikan sebagai administrasi, manajemen, kebijakan. Ketiga, siasat diartikan sebagai periksa, penyelidikan/pemeriksaan yang teliti, cermat, saksama. Lihat Agus Salim Bujang. 2008. Siasat Otonomi Orang Naga di Desa Neglassari Tasikmalaya, Jawa Barat. Yogyakarta;Tesis Pascasarjana Antropologi UGM.
17
terlepas dari ruang sebagai basis untuk berelasi dengan kekuatan yang menyokong mereka sehingga dapat memproduksi, menstabulasi dan menentukan ruang. (Certeau,1988).
F. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di kampung Wuring, salah satu wilayah kelurahan Wolomarang, teluk Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang memfokuskan pada siasat ABK dan strategi juragan yang tentunya tidak lepas dari istri, keluarga dan pihak lain yang tentunya memiliki kontribusi tertentu. Untuk dapat menggambarkan siasat ABK dan strategi juragan, baik secara individu dan kelompok yang berdinamika dalam relasi sosial mereka, saya berusaha mendapatkan data kualitatif dengan melakukan observasi partisipasi dan wawancara dari bulan Pebruari sampai bulan Mei 2011. Observasi partisipasi saya lakukan terhadap kegiatan punggawa- juragan danABK, juga terhadap kegiatan istri dan keluarga mereka. Observasi partisipasi terhadap mereka ini, saya lakukan dengan observasi partisipasi pasif dan observasi partisipasi aktif. Untuk dapat memperoleh data lebih valid saya melakukan wawancara mendalam terhadap informan kunci, seperti punggawa, juragan dan ABK, juga istri mereka yang terjun dalam usaha Lempara malam. Selain itu saya melakukan wawancara terhadap informan biasa yang dapat membantu agar data yang saya peroleh lebih valid. Data ini tentunya saya lengkapi dengan studi pustaka.
18
G.Sistimatika penulisan Tesis ini ditulis secara sistimatis dengan pembagian berdasarkan topik tulisan menjadi lima bab. Masing-masing bab saling terkait dan mendukung. Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, studi literatur, masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistimatika penulisan. Bab II, berisikan gambaran lokasi penelitian, yang diuraikan berdasarkan letak, kondisi alam, sejarah, kondisi sosial ekonomi, dan sarana umum. Bab III, menunjukkan teknologi yang digunakan, dengan pembagian berdasarkan modal dan biaya operasi, cara pengoperasian dan sistem bagi hasilnya. Bab IV, merupakan isi, jawaban atas penelitian yang menunjukkan siasat ABK yang diuraikan berdasarkansiasat produktif dan siasat nonproduktif, juga menguraikan
strategi
juragan
untuk
melipatgandakan
keuntungan
dan
mempertahankan keuntungannya. Sedangkan bab V, berisikan kesimpulan, refleksi teoritis dan saran.
19