BAB I PENDAHULUAN
1.1
Pendahuluan Perbankan
merupkan
lembaga
keuangan
yang
menjadi
pondasi
perekonomian suatu negara. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997,
yang
mengakibatkan
tumbangnya
beberapa
bank
konvensional,
memperlihatkan lemahnya pondasi perekonomian Indonesia saat itu. Namun terdapat kekuatan sistem perbankan yang mampu bertahan dalam terpaan krisis ekonomi tahun 1997, yaitu sistem perbankan syariah. Hal ini menunjukkan eksistensi bank syariah dan menunjukkan bahwa perbankan syariah mampu tumbuh dan berkembang dalam berbagai situasi perkonomian. Perkembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dimulai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada 1 November tahun 1991. Dipicu oleh Undang-undang No. 10 tahun 1998, yang memungkinkan perbankan menjalankan dual banking sistem, beberapa bank konvensional mulai membuka jendela syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional serta kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa perbankan syariah yang memiliki pula Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Dengan telah diberlakukannya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara
1 Selly Seftianti, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2
lebih cepat lagi. Bahkan dalam lima tahun terakhir ini rata-rata pertumbuhan asset perbankan syariah sudah mencapai lebih dari 65% per tahun. Bank pada hakikatnya merupakan lembaga perantara (intermediary) yang menjembatani para penabung dengan investor, karena tabungan hanya bermanfaat bila diinvestasikan, sedangkan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsinya yang bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat mau menyimpan dananya di bank karena mereka percaya bahwa dapat memilih alternatif investasi menarik dan hal inilah yang mendasari kegiatan usaha bank. Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan (kredit), hanya saja terdapat perbedaaan dalam hal imbalan. Penentuan imbalan yang diinginkan dan yang akan diberikan oleh bank syariah kepada nasabahnya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil (loss and profit sharing) bukan berdasarkan bunga bank seperti pada bank konvensional. Namun dalam usaha mendapatkan profit, kegiatan penyaluran dana yang dilakukan bank syariah tidak hanya berdasarkan prinsip bagi hasil. Dalam produk penyaluran dana (financing) terdiri dari prinsip jual beli meliputi murabahah, salam dan istishna. Prinsip bagi hasil meliputi pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Prinsip ujroh meliputi ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik. Esensi sebenarnya dari perbankan syariah adalah pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yaitu pembiayaan mudharabah dan musyarakah, sangat terkait
3
dengan sektor riil melalui kaitan langsung dan pembagian risiko antara investor dengan pengusaha. Ascarya (dalam Afnan Bastian, 2010: 11) mengatakan ‘pembiayaan bagi hasil juga menekankan pengalokasian pembiayaan konsumtif, karena pertumbuhan yang didorong oleh sektor konsumsi tidak baik secara makro ekonomi, sehingga pembiayaan bagi hasil akan memperkuat fondasi ekonomi’. Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sektor riil. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang diberikan didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah dan ijarah). Dalam statistik perbankan syariah bulan November 2011, porsi produk untuk jenis pembiaayaan murabahah mencapai 53,1% persen, sementara proporsi pembiayaan musyarakah sebesar 21,4% persen dan pembiayaan mudharabah sebesar 12,7% persen. Tabel 1.1 Komposisi Pembiayaan yang diberikan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Miliar Rupiah) Akad 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (contract)
(Mei)
Mudharabah
3.124
4.062
5.578
6.205
6.597
8.631
9.077
Musyarakah
1.898
2.335
4.406
7.411
10.412
14.624
15.395
Murabahah
9.487
12.624
16.553
22.486
26.321
37.508
44.188
Sumber : Statistika Perbankan Syariah, Mei 2011 Rendahnya porsi pembiayaan profit and loss sharing pada bank syariah umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besarnya resiko dalam pembiayaan bagi hasil (Muhammad, 2005).
4
Seperti yang disebutkan Muhammad Akhyar Adnan (2005: 164) bahwa praktik mudharabah memiliki beberapa resiko diantaranya mudah mengalami atau rentan terhadap penyimpangan, karena pihak mudharib sering kali tidak melengkapi diri dengan akuntabilitas yang memadai dengan laporan yang auditable, menuntut prasyarat keterbukaan dan kejujuran apalagi dalam konteks mudharabah pihak sohibul mal seakan-akan tidak mempunyai hak intervensi sedikitpun dalam proyek bisnis yang dijalankan pihak mudharib. Selain tingkat resiko pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang sangat tinggi (high risk), bank syariah kurang mengetahui risiko ketidakpastian untung atau rugi ketika pengusaha mengelola mudharabah-nya (pengembaliannya tidak pasti), padahal bank merupakan lembaga bisnis, disamping sebagai lembaga intermediary bank juga harus mengembalikan dana nasabah penabung setiap saat. Walaupun berbagai prosedur telah digunakan oleh pihak bank syariah namun risiko ketidakpastian ini tetap kurang bisa diminimalisir. Heri sudarsono (2005) mengatakan bahwa masalah risiko ketidakpastian ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan prinsip bagi-hasil di bank syariah. Oleh karenanya bank syariah dituntut ekstra hati-hati dalam mengelola pembiayaan mudharabah. Banyak bank yang menyediakan pinjaman modal usaha, salah salah satunya adalah Bank Tabungan Negara (selanjtunya disebut BTN) Syariah. BTN Syariah merupakan Strategic Bussiness Unit (SBU) dari Bank BTN yang menjalankan bisnis dengan prinsip syariah, mulai beroperasi pada tanggal 14 Februari 2005 melalui pembukaan Kantor Cabang Syariah pertama di Jakarta,
5
sampai dengan September 2011 telah dibuka 21 kantor cabang, 3 kantor cabang pembantu syariah, dengan 119 kantor layanan syariah. Salah satu kantor cabang BTN Syariah terletak di Kota Bandung yaitu BTN Syariah Kantor Cabang Bandung, yang merupakan bank negara yang berfungsi menghimpun dana dan menyalurkannya melalui berbagai jenis fasilitas pembiayaan. BTN Syariah Cabang Bandung melakukan kegiatan pembiayaannya pada usaha baik pada pembiayaan konsumtif maupun pembiayaan produktif. Pemberian fasilitas pembiayaan mengalami perkembangan khususnya pada pembiayaan produktif, terbukti dengan meningkatnya penyaluran pembiayaan modal kerja (dengan akad mudharabah) dari tahun 2009 sebesar 32,140 M menjadi 60,668 M pada tahun 2010, lalu sampai September 2011 pembiayaan tersebut sudah mencapai angka 172,570 M. Lalu untuk penyaluran pembiayaan yasa griya (dengan akad musyarakah) merupakan produk baru yang dikeluarkan oleh BTN Syariah Cabang bandung tahun 2010 yang mencapai angka 8,398 M. Dalam perkembangan itu, BTN Syariah Cabang Bandung melakukan usaha-usaha yang berdampak kepada kualitas pembiayaan yang diberikan oleh BTN Syariah Cabang Bandung. Karena dengan semakin besar pembiayaan yang disalurkan, maka semakin besar resiko terjadinya pembiayaan bermasalah, makadari itu perlu penerapan prinsip kehatian-hatian yang yang ketat demi mencegah resiko terjadinya pembiayaan yang bermasalah. Direktur Utama MC Consulting, Wahyu Dwi Agung (2007), menyebutkan bahwa: Pelaksanaan prinsip prudent secara ketat sangat penting dalam mengelola bisnis perbankan syariah. Terlebih, dalam menyalurkan pembiayaan ke
6
masyarakat. Kata dia, bila penyaluran pembiayaan suatu bank syariah tidak dilakukan secara hati-hati, maka akan membahayakan bisnis bank syariah tersebut secara keseluruhan. Karena, pembiayaan merupakan bisnis ini suatu bank, syariah maupun konvensional, untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Kasmir (2001: 90) “faktor-faktor penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah meliputi lembaga keuangan itu sendiri dimana dalam melakukan analisisnya, pihak analisis kurang teliti”, sehingga apa yang seharusnya terjadi, tidak diprediksi sebelumnya. Dapat pula terjadi akibat dari kolusi pihak analisis pembiayaan dengan pihak nasabah sehingga dalam analisisnya dilakukan secara subyektif. Selain lembaga keuangan itu sendiri, pihak nasabah juga mempengaruhi terjadinya pembiayaan bermasalah. Dalam hal ini nasabah
sengaja
untuk
tidak
bermaksud
membayar kewajiban
kepada
bank/lembaga keuangan sehingga pembiayaan yang diberikan macet dan adanya unsur tidak sengaja dimana nasabah mau membayar akan tetapi tidak mampu. Misalnya pembiayaan yang dibiayai mengalami musibah seperti kebakaran, kena hama, kebanjiran dan sebagainya. Sehingga kemampuan untuk membayar kredit tidak ada. Pembiayaan bermasalah memberikan dampak yang kurang baik bagi negara, masyarakat, dan perbankan Indonesia. Likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan bank dalam mengelola pembiayaan yang disalurkan. Untuk itu diperlukan sistem pengendalian intern yang kuat sebagai dasar kegiatan operasional bank yang sehat dan aman dalam manajemen bank. Melalui pengendalian intern dan pengawasan pembiayaan yang baik, perbankan syariah dapat memantau kelancaran pembiayaan yang disalurkan dan
7
mencegah pembiayaan yang bermasalah. Oleh karena itu, diperlukan fungsi pemeriksaaa intern yang memberikan keyakinan bahwa pengawasan pembiayaan yang dilakukan telah berjalan efektif sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku. Lalu bank syariah perlu menerapkan suatu pengendalian internal yang memadai untuk menilai apakah prosedur pembiayaan telah dijalankan sesuai aturan yang berlaku, agar pemberian kedit dapat lebih efektif lagi. Menurut Mulyadi (2002: 167) sistem pengendalian intern pada dasarnya merupakan “struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data, dan mendorong efisiensi, serta mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen”. Unsurunsur dari sistem pengendalian intern adalah struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas, sistem wewenang, praktik yang sehat dan karyawan yang berkualitas. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Boockholdt (1993: 442), “struktur pengendalian intern pada dasarnya terdiri atas berbagai kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan”. Sistem pengendalian intern yang baik sangat diperlukan dalam melakukan aktivitas perbankan, dalam hal ini berfokus pada penyaluran kredit, dimana tolok ukur penyaluran kredit yang tepat kepada masyarakat, menjadi perhatian khusus pihak Bank. Untuk itu diperlukan suatu sistem pengendalian intern yang akan membantu mengendalikan dalam hal struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab secara tegas. Otoritas dan prosedur pencatatan, praktik yang sehat dan karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya.
8
Lalu berdasarkan pengertian dari Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO) dalam Z. Dunil (2005 : 37) memberikan definisi dari pengendalian intern adalah : Internal control is a process, affected by an entity’s board of directors, management and other personal, designed to provide reasonable assurance regarding to the achievement of objectives in the following categories : (1)the effectiveness and efficiency of operations, (2)the reliability of financial reporting and (3)the compliance with applicable law and regulations Menurut Murtanto (2005: 13) ”pengendalian internal dapat membantu entitas mencapai target kinerja dan profitabilitasnya, dan mencegah hilangnya sumber yang dimiliki”. Ini dapat membantu menjamin pelaporan keuangan yang handal. Hal ini dapat juga membantu menjamin bahwa perusahaan mematuhi hukum dan regulasi, menghindari rusaknya reputasi dan akibat lain. Pada pokoknya, pengendalian internal dapat membantu entitas pergi kemanapun yang ingin dituju dan mencegah kelemahan dan hambatan sepanjang proses tersebut. Sistem pengendalian intern merupakan elemen yang sangat penting dalam pengelolaan suatu bank dan merupakan dasar bagi kegiatan operasional bank yang aman, sehat dan dapat berkembang secara wajar. Sistem pengendalian intern dapat membantu pengurus dan pengelola bank menjaga aset bank; menjamin tersajinya pelaporan keuangan, manajerial yang akurat dan dapat dihandalkan; mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya secara ekonomis dan efisien; meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan perundangundangan serta mengurangi risiko terjadinya penyimpangan dan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian. (Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/22/DPNP, 2003) Jika sistem pengendalian intern suatu satuan usaha lemah, maka kemungkinan terjadinya kesalahan, ketidakakuratan ataupun kecurangan dalam perusahaan sangat besar. Kebutuhan akan sistem pengendalian intern adalah suatu hal yang wajar, karena dengan adanya praktik pengendalian intern yang baik
9
merefleksikan adanya praktik manajerial yang baik. “Adanya praktik manajerial yang baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan itu sendiri”. (Iwan Triyuwono dan Roekhuddin, 2000) Untuk menjaga kondisi bank tetap dalam keadaan stabil maka diperlukan kebijakan yang tepat didalam aktivitas pemberian pembiayaan dan juga aktivitas penagihan pembiayaan tersebut kepada nasabah. Suatu pengendalian internal yang dapat menunjang efektivitas sistem pemberian kredit. Dengan terselenggaranya pengendalian internal yang memadai dalam bidang pembiayaan, berarti menunjukkan sikap kehati-hatian dalam bank tersebut. Pengendalian internal adalah suatu sistem yang terdiri dari kebijakan dan prosedur yang diterapkan untuk memastikan bahwa tujuan tertentu suatu usaha dapat dicapai. “Dengan sistem pengendalian intern yang efektif perusahaan dapat terhindar dari malapetaka kerugian besar, karena hal-hal yang sebelumnya tidak pernah disangka bakal terjadi” (Aldrige & Sutojo, 2005: 237). Apabila penerapan pengendalian internal sudah efektif dan sesuai dengan rambu-rambu yang ada, maka pembiayaan bermasalah dapat dikurangi sehingga kesehatan bank lebih stabil, tujuan perusahaan agar tercapai dengan maksimal dan masyarakat pun akan lebih percaya kepada perbankan syariah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembiayaan mudharabah dan musyarakah memiliki resiko yang tinggi dalam penyalurannya. Apabila BTN Syariah Cabang Bandung mengalami peningkatan penyaluran pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang tinggi, berarti pihak bank harus lebih berhatihati lagi dalam melakukan pembiayaan tersebut demi menghindari terjadinya
10
resiko pembiayaan yang bermasalah dengan memperketat pengendalian intern pembiayaan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, terlihat bahwa diperlukan adanya evaluasi dari penerapan pengendalian intern khususnya pada pembiayaan mudaharabah dan musyarakah itu sendiri, agar mencegah resiko terjadinya pembiayaan bermasalah terhadap pembiayaan yang disalurkan BTN Cabang Bandung. Oleh karena itu, dengan adanya evaluasi penerapan pengendalian intern pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang dapat dipandang sebagai suatu dukungan untuk membantu perusahaan (perbankan syariah) dalam mengurangi resiko-resiko yang muncul dan mencegah terjadinya penyelewangan sehingga menghindari pembiayaan bermasalah dan menjaga kesehatan bank. Penelitian sebelumnya, Iwan Triyuwono dan Roekhuddin (2000), mencoba untuk melihat praktik sistem pengendalian intern dan akuntabilitas pada lembaga zakat. Hasilnya menunjukkan bahwa pada lembaga zakat terdapat ketidakkonsistenan antara praktik pengendalian internal dengan akuntabilitasnya. Fenomena ini terjadi dikarenakan ada konsep serta praktik sistem penendalian intern yang lemah, seperti adanya perangkapan tugas antara fungsi pencatatan dan fungsi penyimpanan uang. Namun ditemukan adanya pemahaman akuntabilitas yang unik pada manajemen lembaga zakat. Keunikan tersebut terlihat pada keluasan lingkup akuntabilitas yang ditunjukkan oleh tingkatan-tingkatannya. Tingkatan pertama pada Muzakki, Munfiq, Musaddiq, tingkatan kedua pada Dewan Penasehat, dan yang terakhir, tingkatan ketiga ditujukan pada Tuhan.
11
Pada tingkatan pertama, medianya laporan keuangan dan/atau laporan lainnya yang bersifat kuantitatif (laporan “fisik”). Sedangkan tingkatan kedua medianya dapat berupa pencapaian program-program kualitatif yang ditetapkan oleh regulator, atau laporan tentang ditaati dan dipraktikkannya prinsip-prinsip etika syariah (laporan “fisik” dan “mental”). Pada tingkat ketiga merupakan bentuk akuntabilitas yang sangat abstrak, karena perwujudannya melibatkan dimensi spiritual manajemen, yaitu sifat ihsan, suatu perbuatan baik yang diyakini bahwa perbuatan tersebut senantiasa diawasi oleh Allah SWT secara terus menerus. Namun, ketidakkonsistenan ini menurut pengamatan Iwan Triyuwono dan Roekhuddin (2000), tidak terdapat indikasi kesengajaan, tetapi yang terlihat adalah lemahnya sumber daya manusia dalam menterjemahkan akuntabilitas (baik fisik, mental, dan spiritual) dalam praktik sistem pengendalian intern yang nyata. Penelitian lain oleh Noven Suprayogi (2006) juga membahas aktivitas pengendalian intern yang terdapat pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah. Hasilnya menunjukkan bahwa kontrol atas kepatuhan syariah di BPRS tetap berjalan efektif meskipun mekanisme pengawasan internal syariah oleh Dewan Pengawas Syariah dan internal audit tidak berjalan optimal, karena kontrol atas kepatuhan syariah dilaksanakan atas dasar rasa saling percaya antara Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap manajemen. Dari penelitian-penelitian tersebut terlihat betapa pentingnya untuk mengevaluasi penerapan pengendalian intern di perbankan syariah khususnya pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Sehingga dapat mencegah
12
terjadinya resiko-resiko penyelewengan dan mengurangi pembiayaan yang bermasalah. Dalam penelitian ini digunakan pula pendekatan deskriptif kualitatif karena peneliti dapat memahami dan menjelaskan mengenai apa, mengapa, dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Sehingga, dengan teknik ‘triangulasi dengan teori dan sumber’ yang digunakan dalam pemeriksaan keabsahan datanya, peneliti dapat menyediakan kedalaman pengamatan dengan rinci dan berkesinambungan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
penelitian
di
atas,
maka
penulis
mengidentifikasikan masalah penelitian mengenai evaluasi penerapan pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada perbankan syariah. Masalah ini akan dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : •
Bagaimana prosedur pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang dilaksanakan BTN Syariah Cabang Bandung?
•
Bagaimana pengendalian intern yang diterapkan oleh BTN Syariah Cabang Bandung?
•
Apakah penerapan pengendalian intern pembiayaan di BTN Syariah sudah baik?
13
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian dalam rangka penulisan tesis ini mempunyai maksud dan
tujuan yang hendak dicapai sehingga penelitian ini lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Maksud diadakan penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk menempuh ujian siding di Program Studi Akuntansi. Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1
Mengetahui prosedur pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang dilakukan pada BTN SyariahCabang Bandung
2
Mengetahui penerapan pengendalian intern BTN Syariah Cabang Bandung dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
3
Mengetahui kelayakan pengendalian intern pembiayaan yang diterapkan BTN Syariah Cabang Bandung.
1.4
Kegunaan penelitian Hal penting dari sebuah penelitian adalah kemanfaatan yang dapat
dirasakan atau diterapkan setelah terungkapnya hasil penelitian. Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1.4.1 Kegunaan Praktis Pengendalian
intern
merupakan
suatu
cara
untuk
mengarahkan,
mengawasi, dan mengukur sumber daya suatu organisasi. Ia berperan penting untuk mencegah dan mendeteksi penggelapan (fraud) dan melindungi sumber
14
daya organisasi baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Dengan adanya penerapan pengendalian intern yang baik maka akan mencegah resiko terjadinya penyelewangan dan menjaga harta perusahaan. Khususnya untuk pelaksanaan pembiayaan, dengan adanya pengendalian intern yang efektif akan menghindari resiko terjadinya pembiayaan yang bermasalah. Oleh karena itu, adanya evaluasi penerapan pengendalian intern khususnya pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah, akan mendukung tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada para pengambil kebijakan di BTN Syariah, khususnya di bagian pembiayaan mudharabah dan musyarakah, agar menjaga kualitas pembiayaan melalui evaluasi pengendalian intern. Sehingga dengan adanya evaluasi penerapan pengendalian intern tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk menghindari peningkatan pembiayaan yang bermasalah dan resiko atas penyelewengan yang terjadi.
1.4.2
Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan dalam
hal pegendalian intern pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah serta menjadi literatur bagi mahasiswa dan pihak lain untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama di masa yang akan datang.