I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang berkembang menjadi krisis multidimensional berkepanjangan, telah menyebabkan terjadinya penurunan produk domestik bruto (PDB) berbagai sektor kecuali sektor pertanian yang tetap mempunyai pertumbuhan positif. Salah satu subsektor dari sektor pertanian yang mampu bertahan dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemulihan ekonomi adalah subsektor perkebunan, karena dalam kondisi krisis pada saat itu subsektor ini masih bisa tumbuh sebesar 0.98 persen dan selama empat tahun sesudah masa krisis mampu tumbuh sebesar 5.02 persen (Saragih, 2006). Perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian
merupakan
subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya antara lain di dalam pendapatan nasional, penerimaan ekspor, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2008 realisasi pencapaian PDB dari subsektor perkebunan mencapai Rp 57.80 trilyun. Dari sisi ekspor pada tahun yang sama penerimaannya mencapai US $ 13.97 milyar (Barani, 2008). Sementara itu pada tahun yang sama jumlah tenaga kerja yang terserap oleh subsektor perkebunan diperkirakan mencapai sekitar 19.70 juta jiwa. Jumlah lapangan kerja tersebut belum termasuk yang bekerja pada industri hilir perkebunan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah tersendiri, karena subsektor perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan
2 dan daerah terpencil, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi dari pedesaan ke perkotaan (Susila et al., 2008). Salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan cukup penting adalah tembakau. Hal ini dapat dilihat dari : (1) luas areal tanam tembakau yang semakin meningkat dari tahun 2005 sampai 2009, (2) jumlah permintaan tembakau dari luar negeri terus mengalami peningkatan yang tercermin dari kenaikan jumlah ekspor tembakau Indonesia, pada tahun 2009 ekspor tembakau memberikan kontribusi sebesar US $140 867, (3) penerimaan dari cukai sebesar Rp 52 trilyun, dan (4) kegiatan on farm serta off farm komoditas tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebesar 28.4 juta jiwa (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Tanam, Produktivitas, Volume dan Nilai Ekspor Tembakau Nasional Tahun 2005-2009 Tahun Luas Areal Produktivitas Volume Ekspor Nilai Ekspor Tanam (ton/hektar) (ton) (1 000 US $) (hektar) 2005 198 212 0.774 53 729 117 433 2006 172 234 0.849 53 729 107 787 2007 198 054 0.832 46 834 124 423 2008 203 627 0.830 50 269 133 196 2009 212 698 0.812 52 340 140 867 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, 2010. Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki peranan yang terbesar terhadap pertembakauan nasional. Hal ini terlihat dari 50 persen tembakau sebagai bahan baku rokok berasal dari Jawa Timur. Selain itu juga terlihat dari 56.6 persen pabrik rokok berada di Jawa Timur dan memberikan kontribusi cukai rokok yang cukup besar yaitu Rp 900 Milyar setiap tahun atau sebesar 75 persen dari besarnya cukai rokok nasional. Di samping itu budidaya tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 27 703 250 orang selama musim panen (Dinas Infokom Jatim, 2009).
3 Tabel 2. Jumlah Produksi Rokok, Kebutuhan, Penyediaan, Kelebihan, dan Kekurangan Tembakau di Jawa Timur Tahun 2002, 2004, dan 2005 Tahun/Keterangan Rokok Tembakau Tembakau (juta batang) Virginia (ton) Rakyat (ton) 2000 Produksi 210 205 Kebutuhan 69 007 125 246 Penyediaan 64 984 110 428 Kelebihan/Kekurangan - 4 023 - 14 818 2004 Produksi 180 500 Kebutuhan 52 298 93 100 Penyediaan 40 158 92 193 Kelebihan/Kekurangan -12 139 -907 2005 Produksi 171 475 Kebutuhan 49 683 88 445 Penyediaan 41 725 88 513 Kelebihan/Kekurangan + 68 -7 957 Sumber : Ditjen Perkebunan, 2006. Sebelum tahun 2005 tembakau yang dibutuhkan oleh pabrik rokok jauh lebih besar daripada ketersediaannya, sehingga menyebabkan terjadinya defisit produksi (Tabel 2). Tetapi pada tahun 2005 jumlah permintaan tembakau lebih kecil dari jumlah penyediaannya, sehingga terjadi over supply (kelebihan penawaran). Kelebihan penawaran ini menyebabkan penurunan harga komoditas tembakau. Nampaknya adanya kampanye anti rokok seperti yang tertuang dalam PP No. 81/ 1999 tentang pengaruh rokok bagi kesehatan, PP No.38 / 2000 yang merupakan penyempurnaan dari PP No. 81/ 1999, serta PP No. 19 / 2003 tentang pembatasan kadar nikotin dalam rokok menyebabkan permintaan rokok turun dan akibatnya bahan baku rokok juga turun. Keadaan ini mendorong Dinas Perkebunan Jawa Timur untuk melakukan kebijakan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kelebihan penawaran. Kebijakan tersebut dinamakan dengan Program Pengembangan Agribinis dengan kegiatan penanganan over supply tembakau rakyat melalui subsidi usahatani komoditas alternatif. Tujuan kebijakan
4 tersebut untuk mengurangi kelebihan produksi tembakau dengan cara mengurangi areal tembakau dan mengganti dengan tanaman lain yang sesuai dengan kondisi lahan petani. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak terjadi penurunan harga tembakau yang terus menerus. Realisasi kegiatan penanganan over supply tembakau rakyat melalui subsidi usahatani komoditas alternatif
pada beberapa kabupaten ditunjukkan
dalam Tabel 3. Upaya kegiatan Penanganan over supply tembakau belum menunjukkan hasil yang nyata. Komoditas tembakau masih tetap menjadi komoditas yang banyak diusahakan oleh petani di Jawa Timur, karena komoditas pengganti tidak dapat memberikan keuntungan yang lebih baik dari komoditas tembakau. Sebagai contoh di Desa Panglebur Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan, penanganan over supply tembakau dilakukan dengan cara mengganti komoditas tersebut dengan jagung lokal. Berdasarkan hasil analisis usahatani, pendapatan yang berasal dari jagung lokal sebesar Rp 2 690 000/Ha sedangkan tembakau mampu memberikan pendapatan sebesar Rp 5 048 025/Ha (Disbun Jawa Timur, 2005). Tabel 3. Realisasi Kegiatan Penanganan Over Supply Tembakau Rakyat Melalui Subsidi Usahatani Komoditas Alternatif di Beberapa Kabupaten Tahun 2006 (hektar) Kabupaten Komoditi Subtitusi Areal Jombang Kapas dan Kedelai 60 Jagung Hibrida 80 Lamongan Jagung Hibrida 75 Tuban Kapas dan Kedelai 55 Jagung Hibrida 75 Probolinggo Kapas dan Kedelai 62.5 Jagung Hibrida 60 Bondowoso Jagung Hibrida 80 Sampang Wijen dan Jagung Lokal 75 Pamekasan Wijen dan Jagung Lokal 75 Sumber : Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2005.
5 Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang penduduknya banyak membudidayakan tanaman tembakau adalah Kabupaten Pamekasan di Pulau Madura. Luas daratan Kabupaten Pamekasan adalah 792.30 Km2, dan 90 persen lahan pertaniannya adalah tadah hujan. Curah hujan di Kabupaten Pamekasan yang rendah sangat sesuai untuk pertumbuhan tembakau. Tembakau Pamekasan yang dibudidayakan oleh rakyat mempunyai kualitas yang spesifik dan sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok kretek sebagai bahan baku utama, khususnya dalam membentuk dan menentukan aroma yang menjadi ciri khas rokok kretek (Santoso, 2001). Oleh karena itu, sebagian besar (86.4%) perkebunan merupakan perkebunan tembakau (Disbun Pamekasan, 2009), sehingga pemerintah daerah mempunyai perhatian yang besar dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani-petani tembakau. Kontribusi komoditas tembakau terhadap perekonomian Kabupaten Pamekasan dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang terserap dan penerimaan dari tembakau.
Pada
tahun 2009
tenaga kerja yang terserap di sektor ini
mencapai 337 000 orang (Disbun Pamekasan, 2009). Dari jumlah tersebut, 304 000 orang adalah petani yang membudidayakan komoditas tembakau. Selain itu, kegiatan pascapanen juga dapat menyerap sekitar 30 000 orang, 1 600 pedagang, 400 perajin tikar dan tali untuk pembungkus tembakau yang sudah diolah,
serta 500 orang perajin tembakau krosok.
Pada tahun yang sama
produksi tembakau mencapai 16 550 ton, dengan harga jual rata-rata Rp 19 350 per kilogram, maka
penerimaan dari tembakau pada tahun bersangkutan di
kabupaten ini mencapai Rp 302. 243 milyar.
6 Walaupun komoditas tembakau memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian wilayah, namun usahatani tembakau menghadapi banyak sekali tantangan atau permasalahan seperti adanya kampanye anti rokok, pengharaman rokok, kenaikan cukai rokok, harga yang rendah pada saat panen, produktivitas yang rendah, dan beragamnya kualitas tembakau yang dihasilkan. Kualitas tembakau yang beragam disebabkan karena tanaman yang diusahakan petani masih heterogen, sistem penangkaran benih belum terstandar, dan perdagangan bibit yang belum dibina (Suwarso et al., 2000). Ketika menjelang musim panen dan terjadi hujan maka produksi dan kualitas tembakau akan mengalami penurunan. Adanya hujan menjelang musim panen merupakan risiko produksi yang harus dihadapi oleh petani, karena peramalan terjadinya musim hujan tidak dapat ditentukan secara tepat pada saat awal tanam. Just and Pope (1979) menyatakan bahwa hampir setiap proses produksi khususnya produksi pertanian, risiko memainkan peranan yang sangat penting dalam keputusan penggunaan input, yang pada akhirnya berpengaruh pada produktivitas. Analisis risiko produksi yang dikembangkan oleh Just and Pope sangat penting untuk kegiatan manajemen risiko produksi, yaitu untuk memutuskan apakah input tertentu yang digunakan dalam usahatani harus ditambah atau dikurangi. Dalam analisis risiko perlu juga dilakukan analisis mengenai perilaku petani dalam menghadapi risiko karena pengetahuan akan perilaku tersebut dapat memberikan dasar pemahaman yang baik tentang permasalahan produktivitas usahatani. Disamping itu mengabaikan keberadaan risiko dan perilaku risiko akan menimbulkan bias terhadap estimasi parameterparameter produksi, dan efisiensi teknis sehingga akan menimbulkan kesalahan
7 penafsiran
terhadap
fenomena
terjadinya
penurunan
produktivitas
(Kumbhakar, 2002). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan
tempat
budidayanya,
tembakau
Pamekasan
dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu tembakau pegunungan, tembakau tegal dan tembakau sawah. Tembakau pegunungan ditanam pada ketinggian 200-300 m dari permukaan air laut (dpl) yang pengairannya tergantung pada hujan. Oleh karena itu tembakau pegunungan ditanam lebih awal yaitu pada akhir musim hujan. Tembakau tegalan mendapatkan air dari siraman yang intensitasnya tergantung pada ketersediaan air dan tenaga kerja, sedangkan tembakau sawah pada umumnya mendapatkan air yang cukup dari irigasi (Rahman et al., 1999). Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Tembakau di Kabupaten Pamekasan Tahun 2001-2008 Tahun Luas Areal Produksi Produktivitas (hektar) (ton) (ton/hektar) 2001 18 837 8 780 0.466 2002 30 020 18 174 0.605 2003 30 150 19 869 0.659 2004 30 254 18 391 0.608 2005 30 568 16 602 0.543 2006 30 818 16 302 0.529 2007 30 818 16 150 0.524 2008 31 367 16 265 0.518 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, 2009. Luasan areal tanam tembakau di Kabupaten Pamekasan dari tahun ke tahun cenderung meningkat (Tabel 4). Namun demikian peningkatan luasan areal ini tidak diikuti dengan kenaikan produktivitas tembakau, bahkan tingkat produktivitasnya terus mengalami penurunan. Walaupun fluktuasi produktivitas rata-rata dari tahun ke tahun relatif kecil, namun bila dilihat keragaman produktivitas antara petani yang satu dengan petani lainnya ternyata relatif besar.
8 Produksi rata-rata pada tahun 2009 adalah 446.28 Kg/Ha dengan ragam sebesar 10 213 Kg/Ha. Nilai ragam yang besar menunjukkan bahwa risiko produksi tembakau relatif tinggi. Dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan
petani,
Gubernur
mengeluarkan surat untuk membentuk program Intensifikasi Tembakau Rakyat, yang dikategorikan dalam tiga sistem,
(1) Intensifikasi Tembakau Rakyat
Swadaya (ITRS) yaitu semua input dan seluruh prosesnya dilakukan oleh rakyat tanpa campur tangan pihak manapun, (2) Intensifikasi Tembakau Rakyat Kemitraan (ITRK) yaitu penanaman tembakau dilakukan setelah memperoleh bantuan modal dan bibit dari pabrik rokok, dan (3) Intensifikasi Tembakau Rakyat Sistem Unit Pelaksanaan Proyek (ITR-UPP)
yaitu penanaman tembakau
dilakukan setelah memperoleh bantuan modal, bibit dan petunjuk teknis dari Dinas Perkebunan. Dalam perkembangannya hanya dua sistem yang bertahan, yaitu ITRS dan ITRK. Sedangkan ITR-UPP hanya bertahan selama dua tahun (Tabel 5). Tabel 5. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tembakau pada Setiap Jenis ITR di Kabupaten Pamekasan Tahun 2000, 2006, dan 2009 Tahun/Jenis ITR Luas Areal Produksi Produktivitas ( hektar) ( ton) (ton/hektar) 2000 Swadaya 14 736 6 616.464 0.449 Kemitraan 3 271 1 779.424 0.544 UPP 380 173.280 0.456 2006 Swadaya 25 093 10 266.757 0.409 Kemitraan 4 705 2 560.520 0.544 2009 Swadaya 26 327 10 478.150 0.398 Kemitraan 5040 2 721.600 0.540 Sumber : Dinas Perkebunan Pamekasan, 2009.
9 Berdasarkan data yang ada, kedua program tersebut menghasilkan tingkat produktivitas yang berbeda. Petani yang menggunakan sistem ITRK memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan sistem lainnya. Diduga bahwa sistem ITRK mampu mereduksi risiko produksi yang dihadapi oleh petani. Kemitraan merupakan konsep yang dapat digunakan untuk memperkuat ekonomi mikro di Indonesia. Urgensi yang besar terhadap kemitraan diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan. Kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan (Daryanto, 2009). Penerapan sistem ITRK, selain memberikan produktivitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya, juga dapat menghasilkan tembakau yang
yang
memiliki kualitas lebih baik, pendapatan petani menjadi lebih tinggi. Hasil ini dapat
dicapai, karena pihak petani dan pabrik rokok bekerja saling
menguntungkan dan meminimalkan risiko produksi dengan pendampingan secara intensif. Petani memiliki lahan dan tenaga pelaksana, sedangkan pabrik rokok meminjamkan modal tanpa bunga dan agunan, serta bibit tembakau yang sesuai dengan kebutuhannya yaitu bibit Sompor atau Jepon Kenek Ex Prancak. Permasalahan penurunan produktivitas tembakau dirasakan oleh hampir keseluruhan petani tembakau di Kabupaten Pamekasan. Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab turunnya produktivitas pertanian adalah terjadinya
10 inefisiensi teknis (Bokusheva and Hockmann, 2004). Banyak studi-studi di negara-negara yang sedang berkembang yang menjelaskan tentang penyebab terjadinya inefisiensi teknis, namun sebagian besar dari penelitian itu tidak mempertimbangkan faktor risiko yang juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas (Villano et al., 2005). Penurunan produktivitas tembakau secara terus menerus harus dilihat dari bagaimana para petani tembakau pada agroekosistem yang berbeda baik yang menggunakan sistem kemitraan maupun swadaya mengalokasikan input yang digunakan dalam usahataninya. Secara teoritis besar-kecilnya alokasi penggunaan input-input dalam usahatani sangat dipengaruhi oleh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi (Ellis, 1988). Dalam usahatani tembakau, risiko produksi merupakan variasi output akibat dari faktor yang sulit untuk diduga seperti ada tidaknya hujan menjelang panen, hama dan penyakit yang biasa menyerang tanaman tembakau (ulat daun Helicoverpa spp, Spodoptera litura F serta kutu Tembakau Myzus persicae), cuaca yang tidak menentu,
dan
penggunaan varietas yang kurang bermutu. Perilaku risiko produksi petani dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu petani yang menyukai risiko (risk taker), petani yang netral terhadap risiko (risk neutral), dan petani yang selalu menghindari risiko (risk averse). Lipton (1968) menyatakan bahwa petani kecil lebih cenderung berperilaku risk averse sebab risiko yang mereka hadapi jika terjadi kegagalan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga, bahkan pada level subsisten. Risiko kegagalan panen antara petani sawah dan tegal diduga berbeda, karena ketersediaan air untuk mengairi tanaman pada saat kemarau yang berbeda. Di samping itu, risiko yang dihadapi
11 petani yang bermitra dan yang tidak bermitra diduga yang terdapat perbedaan, karena adanya jaminan harga dan bimbingan teknis bagi petani yang bermitra. Besar kecilnya risiko ini akan berpengaruh terhadap perilaku petani dalam menghadapi risiko.
Pertanyaan adalah bagaimana perilaku petani berbagai
agroekosistem dan sistem intensifikasi tembakau rakyat dalam menghadapi risiko produksi pada usahatani tembakau ? Perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi akan menjadi dasar bagi petani untuk membuat keputusan mengenai seberapa besar alokasi input-input yang akan digunakan dalam kegiatan usahataninya. Jumlah input yang digunakan oleh petani yang risk averse akan berbeda dengan jumlah input yang dialokasikan oleh petani yang netral terhadap risiko atau risk taker (Ellis.1988). Pertanyaannya adalah bagaimana pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input, efisiensi, produktivitas dan keuntungan ? Penggunaan input oleh petani dalam kegiatan produksi akan berpengaruh terhadap jumlah produksi yang dihasilkan, tingkat produktivitas dan dapat memberikan gambaran mengenai tingkat efisiensi yang dicapai oleh petani (Kumbhakar, 2002). Keengganan petani untuk mengalokasikan input sesuai dengan rekomendasi disebabkan oleh ketakutan terhadap risiko produksi dan selanjutnya dapat menyebabkan petani berproduksi secara tidak efisien (Ellis, 1988). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inefisiensi produksi juga dapat disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya : umur, jumlah anggota
keluarga, pendidikan, kelompok tani, koperasi petani, teknik budidaya, penyuluhan pertanian, pengalaman berusahatani, dan pendapatan non usahatani (Kurkalova et al., 2000 ; Lee dan Kwon, 2004 ; Theingi dan Thanda, 2005 ;
12 Msuya et al., 2005 ; Fabiosa et al., 2004) . Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pertanyaan adalah sampai bagaimana tingkat efisiensi usahatani tembakau yang dicapai oleh petani berbagai
agroekosistem dan sistem
intensifikasi tembakau rakyat? Faktor-faktor apa yang menjadi sumber-sumber terjadinya inefisiensi teknis? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh perilaku risiko produksi petani terhadap alokasi input usahatani tembakau pada agroekosistem pegunungan, sawah, dan tegalan yang menggunakan sistem produksi kemitraan dan swadaya
di Kabupaten Pamekasan. Secara khusus
penelitian bertujuan untuk : 1. Menganalisis perilaku risiko produksi petani tembakau. 2. Menganalisis karakteristik petani berdasarkan perilaku risiko produksi dan dampaknya terhadap alokasi input, efisiensi, produktivitas dan keuntungan. 3. Menganalisis tingkat efisiensi dan sumber-sumber penyebab terjadinya inefisiensi teknis pada usahatani tembakau. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai : (1) sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakankebijakan yang tepat dalam rangka
mendorong peningkatan produktivitas
usahatani tembakau yang terdapat di Kabupaten Pamekasan, (2) informasi bagi petani tentang perilaku risiko produksi mereka dan kegiatan-kegiatan yang bisa mereka lakukan untuk mereduksi inefisiensi teknis sehingga dapat meningkatkan
13 produktivitas tembakau yang mereka usahakan, dan (3) sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya. 1.5. Kebaharuan Penelitian Penelitian tentang tembakau sudah banyak dilakukan terutama pada Tembakau Virginia (Na-oogst) dari berbagai sudut pandang. Begitu juga dengan penelitian yang terkait dengan efisiensi produksi suatu komoditas juga telah banyak diteliti. Sebagian besar
studi tentang efisiensi yang telah dilakukan
menjelaskan tentang tingkat efisiensi yang sudah dicapai oleh petani dan faktorfaktor yang menjadi penyebabnya. Penelitian yang menganalisis fungsi produksi dan besaran risiko secara simultan telah dilakukan Just and Pope (1979), Kumbhakar (1993), Battese et al., (1997), dan lain-lain. Beberapa penelitian tentang perilaku risiko juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Love dan Buccola (1991), Saha et al., (1994),
dan
lain-lain.
Mereka
menganalisis
perilaku
risiko
dengan
mengasumsikan fungsi utilitas secara eksplisit. Model Kumbhakar (2002) dapat menganalisis fungsi produksi, fungsi risiko dan fungsi inefisiensi teknis secara simultan. Model yang dikembangkan juga dapat digunakan untuk menilai perilaku risiko produksi petani. Kebaharuan dari penelitian ini adalah menggunakan model Kumbhakar untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input yang digunakan dalam usahatani tembakau di Kabupaten Pamekasan pada tiga agroekosistem yang berbeda yang menggunakan sistem usahatani kemitraan dan swadaya.