12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran baik dari sektor formal maupun sektor non formal, yaitu dengan banyaknya pengusaha kecil atau besar yang mengalami kebangkrutan, dan hampir pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada level stagnasi. Untuk keluar dari permasalahan ini pemerintah kembali meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis dalam berbagai bidang. Dana merupakan salah satu sarana penting dalam rangka pembiayaan. Kalangan perbankan selama ini diandalkan sebagai sebagai satu-satunya sumber dana dimaksud, sehingga keberadaan dana masih dianggap belum memadai. Apalagi dalam era globalisasi ini perdagangan dan jasa saat ini diperlukan bentukbentuk transaksi yang sangat mudah dan cepat khususnya pada bidang yang bergerak dalam bisnis transportasi atau yang berhubungan dengan penyediaan alat-alat perlengkapan dan fasilitas yang diperlukan sebagai modal dalam menggerakkan perusahaan, salah satu sarana yang dipakai dalam transaksi bisnis saat ini adalah leasing. Leasing di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1970-an yang kemudian diatur oleh pemerintah sejak tahun 1974 dalam bentuk keputusan Menteri Keuangan dan peraturan-peraturan lainnya, pada awal kemunculan ini tidak menunjukan sesuatu perkembangan yang berarti namun sejalan dengan
13
perkembangan pembangunan ekonomi dan keinginan masyarakat untuk meningkatkan usaha atau bisnisnya, lembaga pembiayaan leasing merupakan salah satu sarana yang diminati oleh masyarakat khususnya pelaku usaha dalam mengembangkan perusahaannya hal ini dikarenakan adanya kelebihan-kelebihan atau keuntungan dalam lembaga pembiayaan tersebut khususnya leasing dalam bentuk financial lease. Leasing disini adalah lembaga pembiayaan yang menyediakan barang modal bagi lesse (penyewa guna usaha) baik dengan atau tanpa hak opsi untuk membeli barang yang digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa leasing merupakan lembaga pembiayaan yang oleh lessor (pemberi biaya) menyediakan barang-barang modal kepada lesse (penyewa guna usaha), yang mana sehabis masa kontrak obyek dari barang tersebut masih merupakan milik dari pemberi biaya (lessor) sesuai dengan digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu, dalam hal ini juga penyewa guna usaha (lessee) memiliki hak khusus yang disebut dengan hak optie yaitu hak untuk memperpanjang atau membayar nilai sisa barang tersebut. Sehingga leasing dalam hal ini termasuk lembaga pembiayaan khusus untuk barang modal (pinjaman barang yang digunakan sebagai alat untuk memproduksi dan memperlancar usahanya) bukan uang, yang kegiatannya hampir menyerupai bank. Leasing merupakan salah satu jenis pembiayaan yang kebanyakan dari masyarakat Indonesia lebih menguntungkan, karena jenis pembiayaan ini lebih disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan dan atau sesuai dengan
14
permintaan dana yang dimiliki masyarakat dalam mengembangkan bisnisnya, sehingga masyarakat atau pelaku bisnis dapat menjalankan perusahaannya seefektif dan seefisien. Tidak seperti jenis pembiayaan yang dilakukan oleh pihak perbankan, dimana permintaan dana yang diajukan kepadanya tidak dipenuhi secara keseluruhan dan disesuaikan dengan anggunan yang tersedia serta tingkat kemampuan pengembalian, sehingga calon debitur biasanya akan mengajukan permintaan kredit lebih besar dari rencana kebutuhan yang dibuat, sehingga dapat mengakibatkan debitur akan mengalami kekurangan atau sebaliknya akan mengalami kelebihan dana. Faktor-faktor lain yang menyebabkan leasing tumbuh begitu cepat dikarenakan leasing merupakan suatu sistem yang sesuai dengan arah perekonomian masa kini adalah sangat menguntungkan dalam segi manajemen, dan kalau ditinjau dari segi perekonomian nasional, maka leasing telah memperkenalkan suatu metode baru untuk memperoleh capital equipment dan menambah modal kerja. Dalam melakukan hubungan antara pelaku usaha leasing dengan pelaku usaha bisnis lain atau, pelaku usaha leasing dengan masyarakat dibutuhkan suatu adanya perjanjian, perjanjian disini dimaksudkan agar para pihak yang terikat dengan perjanjian memenuhi segala hak dan kewajiban masing-masing yang disepakati dan dituangkan dalam kontrak perjanjian. Hal ini tidak menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga
15
menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan pengusaha, pelaksanaan syarat-syarat tersebut diantaranya menjadi tidak normal, tidak berlaku sebagaimana semestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan, antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan
perjanjian
syarat-syarat
perjanjian
dalam
keadaan
tertentu
menyimpang dari apa yang dikehendaki semula. Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, lalu ia berusaha memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian baku adalah wujud dari kebebasan individu pengusaha menyatakan kehendak dalam menjalankan perusahaannya. Bentuk dari kontrak baku ini juga dapat dilihat dalam perjanjian leasing, biasanya terlebih dahulu sudah disiapkan oleh lessor berupa klausula-klausula, artinya pihak lesse tersebut tinggal membaca dan memahami kemudian menandatanganinya namun tidak
16
tertutup kemungkinan disini pihak lessor maupun lesse dapat mencapai kompromi dalam hal mencapai kesepakatan tentang isi atau klausula dalam kontrak perjanjian, akan tetapi dalam kenyataannya klausula atau isi kontrak tersebut tidak dapat diganti sehingga seakan-akan berlaku sistem: a. Jika konsumen membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan kepadanya, setujuilah perjanjian denagn syarat-syarat baku yang disodorkan oleh pengusaha. Dalam bahasa inggris diungkapkan dengan sebutan “take it” atau. b. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat baku yang ditawarkan itu, janganlah membuat perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan. Dalam bahasa inggris diungkapkan dengan sebutan “leave it”. Oleh karenanya dalam perjanjian leasing ini semua kepentingan dari lessor sudah terlindungi hak-hak dan kewajibannya sedangkan pihak lesse hanya sebagian kecil saja. Seperti dalam perjanjian leasing antara PT. BBL Danatama Finance (Lessor) dengan PO. Putri Jaya/ PT. MM Anugerah (Lessee) mengenai perjanjian leasing yang mana ada beberapa klausul yang merugikan pihak lesse seperti hal berikut ini Apabila lessor dengan alasan yang cukup merasa tidak lagi terjamin kepentingannya maka lessor dapat menghendaki untuk mengambil kembali barang modal dan lesse melepaskan semua hak untuk menuntut ganti rugi yang ditimbulkan karena pengambilan kembali barang modal tersebut dan memberi kuasa kepada lessor untuk menjual atau memindahtangankan barang modal kepada umum atau dibawah tangan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
17
kepada lesse. Hal ini merugikan pihak lesse karena berkaitan dengan penambahan dan perubahan terhadap barang modal seperti barang modal berupa angkutan transportasi (misal: Bus) yang mana barang modal tersebut diperoleh dari pihak ketiga (supplier) hanya berupa chasis kendaraan, artinya barang modal dapat digunakan sepenuhnya jikalau sudah dilengkapi dengan body dan peralatan yang mendukung menjadi sebuah angkutan transportasi yang harga perakitannya mencapai setengah dari harga awal barang modal tanpa tambahan, yang merugikan dalam hal ini adalah jika lesse tidak mampu membayar angsuran maka barang modal dapat ditarik atau diminta baik atau tanpa pemberitahuan kepada pihak lessee dan lessee diwajibkan melunasi atau membayar sebagaian uang sewa. Yang menjadi permasalahan disini ialah disamping pengambilan barang modal dengan atau tanpa pemberitahuan kepada lesse juga mengenai tidak adanya ganti rugi atas perubahan yang dilakukan pihak lesse dalam merakit barang modal tersebut menjadi barang modal yang dapat dipakai menjadi kendaraan transportasi. Dan sebaliknya juga bagaimana perlindungan bagi pihak lessor walaupun diatas kertas perjanjian kepentingannya sudah terlindungi, namun dalam kenyataannya jika pihak lesse menyalahgunakan barang modal tersebut. Dalam pelaksanaan kontrak perjanjian tentang leasing ini bisa terjadi permasalahan-permasalahan diantarannya jika salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap pihak lain baik disebabkan karena keadaan ekonomi atau keadaan yang tidak memungkinkan secara internal dari salah satu pihak atau juga penyalahgunaan dengan maksud kesengajaan untuk merugikan pihak yang
18
lainnya. Yang menjadi permasalahan disini adalah apakah mungkin semua kerugian ditanggung oleh pihak lesse (dalam hal klausul yang merugikan pihak lessee), tentu saja hal tersebut tidak mencerminkan keadilan, bagaimana perlindungan atau kepastian hukum bagi para pihak dalam perjanjian leasing ini, karena selama ini peraturan mengenai sewa guna usaha (Leasing) hanya bersifat administratif. Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas penulis mencoba untuk membuat sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi ini yang akan membahas mengenai Penggunaan azas kebebasan berkontrak dan perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian leasing dan masalah-masalah yang timbul dalam perjanjian leasing sehubungan dengan penggunaan kontrak dalam perjanjian leasing Antara PO. Putri Jaya dan PT. Buana Finance. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah: 1) Bagaimana azas kebebasan berkontrak dalam perjanjian leasing dilaksanakan dan kekuatan mengikat? 2) Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak apabila dari salah satu pihak melakukan wanprestasi dan penyelesaiannya dalam perjanjian leasing? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang: 1) Penggunaan azas kebebasan berkontrak dalam perjanjian leasing baik pelaksanaan dan kekuatan mengikatnya, dan
19
2) Mengenai perlindungan hukum bagi para pihak apabila salah satunya melakukan wanprestasi dan penyelesaiannya dalam perjanjian leasing. D. Landasan Teori Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang yang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal1. Syarat-syarat perjanjian harus dipenuhi apabila kedua belah pihak akan melaksanakan perjanjian karena syarat-syarat ini merupakan syarat pokok untuk sahnya suatu perjanjian yang akan dibuat, apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut tidak sah. Selanjutnya beralih kepada azas kebebasan berkontrak ini erat kaitanya dengan isi, bentuk, dan jenis perjanjian yang dibuat. Menurut azas ini hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dengan siapa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Adapun azas kebebasan berkontrak ini terdapat didalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal tersebut diatas dapat disimpulkan adanya azas kebebasan berkontrak, karena dari perkataan “semua” dapat diartikan bahwa KUHPerdata memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk membuat perjanjian mengenai apa saja, baik yang namanya sudah dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-
1
R Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hlm.1
20
undang, disamping itu kebebasan berkontrak tidak menyalahi baik syarat obyektif maupun syarat subjektif dari syarat sahnya perjanjian. Dengan adanya azas kebebasan berkontrak maka dapat disimpulkan bahwa sistem hukum perjanjian adalah menganut sistem terbuka. Dengan demikiam KUHPerdata memberikan kemungkinan untuk lahirnya perjanjian jenis baru, di luar yang telah disebutkan dalam hukum perjanjian atau buku ke III KUHPerdata. Hal ini dikarenakan perjanjian yang timbul dalam masyarakat mengikuti perkembangan masyarakat tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya sistem terbuka dalam hukum perjanjian maka sifat dari ketentuan hukum perjanjian adalah sebagai hukum pelengkap. Ini berarti bahwa pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkiri apabila para pihak membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian. Namun demikian apabila para pihak tidak membuat ketentuan sendiri atas perjanjian yang mereka adakan, maka mereka tunduk pada ketentuan umum dari hukum perjanjian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan dari hukum perjanjian melengkapi perjanjian yang dibuat secara lengkap. Sehubungan dengan adanya kebebasan berkontrak, didalam masyarakat timbul adanya suatu perjanjian baku, perjanjian ini ada dilatar belakangi karena keadaan sosial ekonomi. Perjanjian baku ini sebagian besar digunakan oleh perusahaan besar hal ini dikarenakan penggunaan perjanjian baku ini dapat memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu. Hondius merumuskan perjanjian baku atau klausul baku sebagai “konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam
21
sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu”2. Sedangkan menurut Undang-undang Perlindungan konsumen Klausul Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Uraian diatas ini menunjukkan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir. Syarat eksonerasi ini adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya seluruh atau terbatas pada ganti rugi. Klausul eksonerasi ini terjadi karena kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau massal. Dengan adanya perjanjian baku atau klausul baku yang diperbolehkan oleh KUHPerdata sebagai akibat dari azas kebebasan berkontrak, pemerintah juga tidak serta merta melupakan hak dari pihak konsumen yaitu dengan mengeluarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1998 mengenai Perlindungan Konsumen, yang dimaksud Perlindungan Konsumen ini menurut pasal 1 ayat 1 UU No.8 Tahun 1998 adalah: “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Sedangkan Konsumen disini menurut pasal 1 ayat 2 adalah: “setiap orang atau pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2
Mariam Darus Badrulzaman. SH, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm.47
22
Pelaksanaan dari suatu perjanjian berkaitan dengan azas itikad baik. Berdasarkan azas ini, suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan : “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam artian yang subyektif dan dalam artian yang obyektif. Itikad baik dalam artian yang subyektif terletak pada lapangan hukum benda, yang berarti bahwa perjajian itu harus dilaksanakan dengan kejujuran. Sehingga dapat dikatakan bahwa itikad baik dalam artian yang subyektif berkaitan erat dengan sikap batin seseorang pada waktu dimulainya suatu hubungan hukum. Sedangkan itikad baik dalam artian obyektif terletak pada lapangan hukum perikatan, karena menyangkut pelaksanaan dari suatu perjanjian. yang dimaksud dengan itikad baik yang obyektif adalah bahwa suatu perjanjian itu harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, jadi itikad baik ini terletak pada tindakan pelaksanaan pada saat melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu hubungan hukum. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan itu ialah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian haruslah berjalan diatas jalur yang benar. Menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH, yang dimaksud dengan kepatutan adalah merupakan keseimbangan-keseimbangan dari kepentingankepentingan anggota-anggota masyarakat dalam suatu tata hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan suatu kepentingan dipenuhi seluruhnya dengan berakibat
23
bahwa kepentingan pihak lain sama sekali diabaikan3. sedangkan menurut R.Setiawan, SH, azas itikad baik berarti bahwa melaksanakan perjanjian menurut kepatutan dan keadilan4. Selanjutnya beralih kepada lembaga pembiayaan leasing, definisi tentang Leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan No: 1169/KMK.013/1991 Leasing atau Leasing Company yang dimaksudkan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara financial lease maupun operating lease yang digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Sedangkan menurut terminologi bahasa Indonesia pengertian leasing dalam bahasa inggris “Lease” arti kata biasa/ umum adalah “menyewakan” sulit untuk diterjemahkan, hal ini dikarenakan dengan menggunakan istilah ini bisa terjadi kekeliruan karena mengandung sifat yang tercampur dengan istilah lain seperti dengan “rent/ rental”, sehingga bisa menimbulkan sumber penafsiran yang berbeda5. Hal ini disebabkan karena leasing merupakan nama kumpulan dari semua perjanjian artinya didalam Leasing terdapat beberapa unsur perjanjian seperti sewa-menyewa, sewa-beli, jual-beli dan hampir mewakili seluruh transaksi perdagangan. Secara umum jenis-jenis leasing dibedakan menjadi dua kelompok utama, namun juga masih terdapat jenis-jenis variatif lainnya dari leasing. Hal yang
3
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1983, hlm.56 R Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm.64 5 Komar Andasasmita, Serba-serbi tentang Leasing, Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 1986, hlm.34 4
24
sangat penting yang perlu diperhatikan dari perbedaan dua jenis utama ini adalah mengenai hak kepemilikan secara hukum, cara pencatatan dalam akuntansi serta mengenai besarnya rental. Dua jenis tersebut adalah: 1) Financial Lease, leasing pada jenis leasing ini berlaku sebagai suatu lembaga keuangan. Lesse yang akan membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis serta spesifikasi dari barang yang dibutuhkan. Lesse juga mengadakan negoisasi langsung dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut. Sedangkan lessor hanya berkepentingan mengenai pemilikan barang tersebut secara hukum. Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lesse. Sebagai imbalan atas jasa penggunaan barang tersebut maka lesse akan membayar secara berkala kepada lessor atas sejumlah uang yang berupa rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama. Jumlah rental ini secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang akan dibayar oleh lessee ditambah faktor bunga serta keuntungan untuk pihak lessor. Pada akhir dari masa lease, lesse mempunyai hak pilih untuk membeli barang tersebut seharga nilai sisanya, mengembalikan barang tersebut kepada lessor atau juga mengadakan perjanjian tahap dua. Financial lease ini merupakan suatu corak leasing yang sering diterapkan, yang mempunyai ciri-ciri : a. Jangka waktu berlakunya leasing cukup panjang.
25
b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus keuntungan yang diharapkan oleh lessor. c. Diberikan hak opsi untuk leesse dalam hal untuk membeli barang diakhir masa leasing. d. Financial lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan. e. Harga sewa yang dibayar per bulan oleh lessee dapat dengan jumlah yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman. f. Biasanya lessee yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi. g. Kontrak leasing tidak dapat dibatalkan sepihak. 2) Operating Lease, pada Operating Lease ini lessor membeli barang dan kemudian menyewakan kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Dalam praktek lessee membayar rental yang besarnya secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor. Di dalam menentukan besarnya rental, lessor tidak memperhitungkan biayabiaya tersebut karena setelah masa lease berakhir diharapkan harga barang tersebut masih cukup tinggi. Di sini secara tidak jelas ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lesse. Setelah masa lease berakhir lessor merundingkan kemungkinan dilakukannya kontrak lease yang baru dengan lessee yang sama atau juga lessor mencari calon lessee yang baru. Dari adanya beberapa kontrak lease ini lessor mengharapkan keuntungannya. Di samping hal tersebut, lessor juga mengharapkan adanya kemungkinan
26
keuntungan dari hasil penjualan barang tersebut setelah masa lease berakhir. Pada operating lease ini biasanya lessor bertanggung jawab mengenai perawatan barang tersebut. Barang-barang yang sering digunakan dalam operating lease ini terutama barang-barang yang mempunyai nilai tinggi seperti alat-alat berat, traktor, mesin-mesin dan sebagainya. Opearating Lease ini mempunyai karakteristik sbb: a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia ekonomis barang tersebut. b. Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan lessor. c. Tidak diberikan hak opsi bagi lesse untuk membeli barang diakhir masa leasing. d. Biasnya dikhususkan untuk barang-barang yang mudah terjual setelah pemakaian. e. Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena umumnya mereka mempunyai keahlian dalam seluk beluk tentang barang barang tersebut. Sebab, dalam operating lease ini jasa pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi merupakan tanggung jawab lessor. f. Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan secara sepihak oleh lesse, dengan mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor.
27
Proses terjadinya Perjanjian Leasing (sewa guna usaha) secara umum dapat dilakukan melalui beberapa tahapan atau proses: 1) Leesse memutuskan macam barang modal yang dikehendaki yang terdapat di supplier. 2) Leesse dan lessor membuat kontrak. 3) Lessor membayar harga barang (harga pasar dan wajar) kepada penjual/supplier, biasanya 100%. 4) Leesse menerima barang dari supplier, pada waktu itu kontrak lease efektif berlaku. 5) Pada waktunya lessee membayar rental (sewa) pada lessor (dapat bulanan, triwulanan, semesteran maupun tahunan tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak). Dilihat dari tahapan atau proses dalam melakukan perjanjian leasing diatas dapat disimpulkan bahwa pada perjanjian leasing pada umumnya, adalah suatu perjanjian riil, yaitu suatu perbuatan telah sah dan mengikat pada detik tercapainya kata sepakat dan penyerahan barang mengenai unsur-unsur pokok, yaitu barang dan harga. Kewajiban yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak lain, sedangkan pihak yang lain adalah membayar “harga sewa”. Jadi barang yang diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai dan dinikmati kegunaanya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. Jadi, istilah menyerahkan suatu benda untuk dipakai tidak berarti hak milik benda
28
beralih kepada pihak lesse (penyewa), namun hanyalah pindah penguasaanya pada suatu waktu tertentu untuk dipakai dan dinikmati pemakaiannya. Setelah semua syarat-syarat telah dipenuhi maka perjanjian leasing dapat dilaksanakan dengan pihak penyewa (lessee) membayar uang sewa dan pihak lessor menyerahkan barang untuk dinikmati pemakaiannya. Setelah terjadinya pembayaran uang dan penerimaan barang maka perjanjian tersebut telah terjadi Setelah perjanjian terlaksana, maka hal itu konsekuensinya menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak baik pemilik sementara (lessee) maupun pihak yang menyewakan (lessor). Hak dan kewajiban itu harus diaksanakan oleh masing-masing pihak sebagai konsekuensi adanya perjanjian. Mengenai harga dan besarnya harga sewa (angsuran) pada dasarnya merupakan konsekuensi kata sepakat dari para pihak yang mengadakan perjanjian leasing, dalam pelaksanaanya mengenai waktu dan angsuran telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak lessor. Mengenai prestasi yang harus diberikan oleh para pihak dalam perjanjian itu disebutkan dalam pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu”. Dengan demikian wujud prestasi itu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, atau bisa dikatakan prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan6. Jadi prestasi inilah yang merupakan obyek perikatan.
6
M. Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm.17
29
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibanya maka pihak tersebut dapat dikatakan wanprestasi. Menurut M. Yahya Harahap S.H. pengertian umum wanprestasi adalah: pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya7. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian ditetapkan batas waktunya tetapi si berhutang akan dianggap lalai dengan lewat batas waktu yang ditentukan, pelaksanaan harus ditagih terlebih dahulu. Mengenai peraturan dalam perjanjian Leasing, siapakah yang akan memikul kerugian? Apabila tejadi peristiwa diluar kesalahan kedua belah pihak, yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian, padahal belum ada peraturan perundang-undangan maupun KUHPerdata untuk mengatur mengenai resiko dalam Leasing, dan mengenai Oleh karena itu yang perlu pertama kali kita ketahui menurut Kartini Mulyadi adalah : “bahwa leasing adalah suatu perjanjian maka pangkal tolaknya adalah Kitab Undangundang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, maka secara konsisten membentuk perjanjian tersebut menurut KUHPerdata tersebut, serta harus menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut sesuai perkembangan interpretasi dan yurisprudensi indonesia dan yurisprudensi badan peradilan tertinggi Belanda secara analogi untuk semua unsur-unsur dalam perjanjian leasing itu, maupun terhadap dampak-dampak di bidang hukum seperti wanprestasi atau cedera janji. Ketentuanketentuan khusus mengenai leasing dalam KUHPerdata tentunya tidak ada, hal mana tidak merupakan halangan, karena kodifikasi tidak memang tidak dapat mencakup semua macam perjanjian perdata. Kesimpulan umum adalah perjanjian leasing menurut hukum indonesia harus berdasarkan : a) Ketentuan-ketentuan dalam kitab KUHPerdata serta peraturan perundangundangan yang berhubungan. b) Peraturan perundang-undangan mengenai leasing yang dikeluarkan oleh pihak berwenang serta c) Yurisprudensi badan peradilan Indonesia dilengkapi dengan yurisprudensi badan peradilan Belanda yang diterapkan secara analogis 8. 7
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986, hlm.60 Komar Andasasmita, Serba-serbi …, op.cit., hlm.447
8
30
Mengenai resiko dalam perjanjian Leasing (sewa guna usaha) Drs.Achmad Anwari dalam bukunya mengatakan: “Resiko yang terjadi pada obyek leasing seluruhnya ada pada Lesse, dan pada umumnya pemeliharaanya pun menjadi kewajiban pihak leesse9. E. Metodologi Penelitian 1. Objek Penelitian. Azas kebebasan berkontrak dan Perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian sewa guna usaha (Leasing) antara PO. Putri Jaya dan PT. Buana Finance. 2. Subjek Penelitian. a. PT. BBL Danatama Finance/ PT. Buana Finance sebagai Lessor. b. PO. Putri Jaya/ PT. MM Anugerah sebagai Lessee 3. Sumber Data. a. Data Primer. Data primer yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah segala data yang diperoleh secara langsung berdasarkan penelitian yaitu perjanjian antara PO. Putri Jaya dan PT Buana Finance. b. Data sekunder. Data sekunder yaitu jenis data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang mempunyai hubungan dengan penelitian, yaitu dengan cara pencatatan dari sumber yang diperoleh dari berbagai edisi, laporan-laporan yang diterbitkan dan pandangan atau
9
Achmad Anwari, Leasing di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm.17
31
pendapat ahli hukum serta data-data yang diterbitkan dari sumber-sumber penunjang lainnya. 4. Metode Pengumpulan Data. a. Interview. Pengumpulan data yang menggunakan wawancara dengan para responden dan pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b. Studi Kepustakaan. Data yang diperoleh dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan-peraturan serta yurisprudensi hukum yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. 5. Metode Pendekatan Metode yang digunakan adalah Yuridis-Empiris, yaitu dengan melihat berdasarkan peraturan perundang-undangan (das sollen) dengan yang terjadi pada lingkungan masyarakat (das sein). 6. Analisis Data Metode pengolahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dengan jalan pengumpulan data-data yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggabungkan dan menghubungkan antara permasalahan dengan datadata yang diperoleh dengan peraturan perundang-undangan dan buku-buku literatur untuk menjelaskan permasalahan sampai pada suatu kesimpulan dan akan dianalisa secara kualitatif, dengan pendekatan yuridis.