BAB I PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: “Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta,” atas alasan yang dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini; Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hadir dengan mendasarkan diri pada Undang-Undang (UU) No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Adapun wewenang absolut dari PTUN menurut undang-undang adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN.1 Dalam ilmu hukum ada suatu asas2 bahwa selama suatu Keputusan TUN tidak digugat oleh pihak yang berkepentingan dan tidak dibatalkan oleh Hakim, maka putusan itu selalu dianggap sah menurut hukum.3
1
Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2
Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., memberikan definisi asas yaitu bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 34. Pandangan Almarhum Sudikno ini kurang tepat. Sebab, pada dasarnya asas hukum juga mengikat. Perhatikan Buku Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D menemukan bahwa melanggar asas adalah melanggar hukum. Sebab, Mahkamah Agung Republik
1
Berdasarkan pemahaman akan asas tersebut tentunya kehadiran PTUN berfungsi judicial review atas tindakan badan atau pejabat TUN, dalam hal ini, secara khusus, judicial review hanya beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang dinilai bertentangan dengan hukum. Adapun yang dimaksud dengan tindakan Pejabat TUN adalah:4 (1) tindakan mengeluarkan keputusan, yang disebut ketetapan administrasi atau beschikking; (2) Tindakan mengeluarkan peraturan atau regeling dan; (3) Tindakan melakukan perbuatan materiil atau perbuatan wajar. Ketiga tindakan pejabat TUN tersebut yang dapat menjadi
obyek
sengketa PTUN, hanyalah tindakan pejabat TUN yang dalam kategori mengeluarkan keputusan (beschikking). Kaedahnya ini terdapat pada Pasal 1 Angka (10) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yang berbunyi: “sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.”
Indonesia dalam Putusan sengketa TUN No. 213 K/TUN/2007 mengatakan bahwa pejabat TUN terbukti melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu kecermatan dan kehati-hatian. 3
Indroharto, SH. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 27.
4
Prof.Soehino, S.H., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 3.
2
Rumusan pengertian mengenai sengketa TUN yang sama dengan di atas kemudian diikuti oleh beberapa penulis, antara lain ada yang mengatakan bahwa sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dibidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, akibat dikeluarkannya suatu keputusan TUN.5 Sementara itu pengertian mengenai keputusan Badan atau Pejabat TUN adalah: “Keputusan atau Penetapan tertulis, atau yang disamakan dengan itu, yang dikeluarkan atau ditolak dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan TUN”.6 Mengacu pada ketiga definisi keputusan TUN di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi absolut PTUN adalah hanya menyangkut mengadili dan memutus keputusan TUN. Sementara itu, para pihak dalam sengketa itu adalah warga negara atau individual atau badan hukum perdata yang selalu hanya dapat menjadi Penggugat melawan Badan atau Pejabat TUN yang selalu menjadi Tergugat.7 Kemudian, apa yang dimaksud dengan Keputusan TUN oleh undangundang dirumuskan sebagai berikut, yaitu:
5
Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm. 31.
6
Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti , Bandung, hlm. 30. 7
Sehingga, dapat dikatakan bahwa ada suatu asas, yaitu tidak mungkin, atau tidak boleh Badan atau orang perdata menjadi Tergugat. Pelanggaran terhadap hal ini adalah suatu perbuatan melawan hukum yang sangat serius.
3
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”8
Selain pengertian Keputusan TUN sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, ada juga penulis yang mengatakan bahwa, keputusan TUN adalah: “merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN berdasarkan atas: peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final”.9 Akan tetapi di dalam kenyataannya sebagaimana digambarkan dalam skripsi ini, terdapat berbagai fakta, bahwa obyek sengketa pada PTUN adalah keputusan pihak Yayasan Perguruan Tinggi Swasta (privat/partikelir). Demikian pula Tergugat dalam sengketa TUN yang ada, ternyata tidak selalu badan atau pejabat TUN, tetapi justru yang ada adalah Tergugat merupakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta atau orang perdata/privat/partikelir. Artinya, prinsip bahwa PTUN hanya mengadili obyek sengketa sepanjang keputusan merugikan individu dilakukan oleh pejabat TUN (publik), seolah-olah telah disimpangi, dan ini dapat dilihat sebagai menyimpangi kategorisasi privatpublik dalam ilmu hukum. Sehingga orang dapat saja menyoal, bukankah suatu 8
Pasal 1 Angka (9) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
9
Soegijatno Tjakranegara, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 4.
4
Peradilan harus berjalan secara rasional, sejalan dengan logika atau kaedah hukum yang memisahkan antara aspek publik dan aspek privat? Sebagai contoh, sekaligus Putusan10 yang menjadi obyek studi penelitian ini adalah dua Putusan Pengadilan dalam sengketa TUN yaitu Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD. Dalam kedua Putusan Pengadilan TUN tersebut di atas, keputusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta ternyata telah menjadi obyek sengketa PTUN. Menurut tafsir para hakim PTUN, keputusan seperti itu ada yang termasuk dalam kategori keputusan pejabat TUN, namun ada juga hakim yang menyatakan sebaliknya, suatu pertentangan di dalam hukum (conflict within the law) yang tidak boleh terjadi. Keputusan Rektor Universitas Swasta sebagai unsur dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang menjadi obyek sengketa PTUN, lebih jauh menjadi suatu legal issue dengan munculnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sebagaimana diketahui bersama bahwa dengan berlakunya UU No.13 Tahun 2003 maka Karyawan atau Dosen suatu Perguruan Tinggi Swasta seharusnya adalah Buruh atau Pekerja. Artinya, unsur dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah Pengusaha atau Majikan atau, Pemberi Kerja, menurut UU Ketenagakerjaan. 10
Putusan boleh menjadi obyek Penelitian ilmu hukum untuk menemukan kaedah dan prinsip, tetapi hukum tidak boleh diteliti! Pendapat ini tersirat dalam buku Kontrak Sebagi Nama Ilmu Hukum, Loc. Cit., hlm.5. Isi Lengkap kedua Putusan tersebut dapat dilihat dalam LAMPIRAN Skripsi saya ini.
5
Dengan demikian, apabila terjadi sengketa di antara kedua unsur itu, maka sengketa itu adalah sengketa industrial di antara kedua belah pihak dalam hal ini Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta dengan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta. Artinya, Pengadilan yang seharusnya berwenang mengadili atau yang memiliki kompetensi absolut atas perselisihan tersebut, sesuai dengan UU No.2 Tahun 2004 adalah PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dengan perkataan lain, sengketa yang ada itu/dua sengketa yang putusannya menjadi obyek studi penelitian ini seharusnya tunduk pada rezim hukum dan Pengadilan yang sama sekali berbeda dengan rezim hukum PTUN. Permasalahan demikian yang menjadi alasan Penulis untuk meneliti mengenai “Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta”, sebagaimana telah di kemukakan di atas, untuk pada akhirnya menyusun skripsi kesarjanaan ini.
1.2. Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986, yang sudah digantikan oleh UU No. 51 Tahun 2009, PTUN mulai beroperasi 5 tahun, dihitung sejak tahun 1986. Dengan demikian maka kehadiran PTUN dalam sistem hukum positif di Indonesia sudah sejak tahun 1991, dan sudah menghasilkan banyak Putusan. Dalam pengamatan Penulis, Putusan PTUN di daerah-daerah menimbulkan perbedaan.
6
Seperti telah Penulis kemukakan di atas, perbedaan itu dalam arti, tidak sesuai kompetensi yang dimiliki PTUN sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, Putusan yang terjadi di PTUN Semarang. Ternyata PTUN Semarang, menerima menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum perdata. Beda halnya di PTUN Samarinda, Hakim ternyata sebaliknya menyatakan tidak dapat diterima gugatan untuk menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum swasta. Perbedaan Putusan di kedua wilayah kompetensi relatif PTUN tersebut menjadi perbincangan hangat dikalangan sarjana hukum dan akademisi hukum. Bahkan ada yang berpendapat bahwa, hal itu, perbedaan dalam menggunakan kompetensi mengadili tersebut melanggar hukum. Kewenangan PTUN yang hanya ditujukan untuk menyelesaikan sengketa TUN telah diciderai dengan PTUN menerima keputusan badan hukum perdata LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), bagaimana mungkin LSM menjadi Badan Hukum Publik? Misalnya LSM seperti YPTKSW sebagai obyek sengketa PTUN? dan hal itu berarti menempatkan LSM sebagai badan hukum publik. Menurut
Penulis
obyek
sengketa
yang
ada
dalam
Putusan
No:10/G/2010/PTUN-SMD dan Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG adalah seharusnya merupakan Putusan-Putusan yang mengadili keputusan dari Badan Hukum Perdata, bukan mengadili dan memutus keputusan Badan atau Pejabat TUN. Artinya dengan dimasukkannya Keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di dalam satu dari kedua Keputusan Pengadilan di atas dalam kategori 7
keputusan Badan atau Pejabat TUN, maka hal itu adalah suatu penyimpangan. Konsekuensi, apabila ternyata kompetensi absolut PTUN itu salah dan keliru, maka Putusan TUN batal demi hukum (null and void). Umum dipahami, wewenang Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan kenegaraan berasal dari peraturan perundang-undangan11 atau di dalam ilmu hukum sering disebut dengan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel). Kewenangan yang diberikan dalam undang-undang itu kemudian dapat dilakukan dengan tiga cara, antara lain melalui: atribusi, delegasi, dan mandat,12 yang pada dasarnya adalah termasuk kontrak-kontrak (contracts). Sementara itu, ada ahli hukum berpendapat bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam menyelenggarakan pendidikan merupakan suatu delegasi dari Pemerintah. Akibat dari delegasi adalah muncul pemahaman bahwa pendelegasian kewenangan ini berakibat Yayasan Perguruan Tinggi Swasta merupakan Badan atau Pejabat TUN. Konsekuensi selanjutnya adalah keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan demikian juga merupakan Keputusan TUN. Hakim TUN mengikuti logika berpikir yang demikian untuk mengadili sengketa dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang merupakan obyek PTUN.
11
Ridwan, HR, S.H., “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 103.
12
Ibid., hlm. 104.
8
Sehubungan dengan itu,
dipahami badan hukum perdata merupakan
pendelegasian wewenang dari Pemerintah dan menjalankan tugas sebagian Eksekutif,13 akibatnya adalah bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta kemudian menjadi tergolong sebagai eksekutif. Pemahaman seperti ini salah. Diketahui bahwa Pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat dalam suatu Negara dengan tugas-tugas yang beragam dan luas yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah sendiri tetapi juga dilakukan oleh pihak swasta. Partisipasi swasta dalam melaksanakan tugas Pemerintah (eksekutif) tidak serta merta menjadikan swasta tersebut sebagai Badan atau Pejabat TUN. Pemikiran seperti ini didasari oleh suatu teori yang dikemukakan oleh Indroharto, yang terkenal dengan teori melebur. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke dalam tindakan hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah dilakukan). Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin pentingnya adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut.14
13
Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti , Bandung, hlm. 27. Pelimpahan wewenang Eksekutif kepada Lembaga Swasta, misalnya di bidang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, bidang kesehatan dengan pemberian izin kepada Lembaga-Lembaga Swasta untuk mengelola Rumah Sakit Swasta. Pikiran seperti ini telah menciptakan suatu asumsi bahwa Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah badan hukum TUN. Juga, Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah eksekutif! Aneh!
14
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 117.
9
Berbeda dengan pandangan yang baru saja dikemukakan diatas, sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melaksanakan pendidikan bukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah. Akan tetapi, Yayasan Perguruan Tinggi Swasta hanya memeroleh ijin dari Pemerintah untuk
menyelenggarakan
pendidikan.
Pemerintah
melakukan
pembentukan,
pengawasan, dan memberikan pembiayaan. Hal ini, menurut para penulis tersebut, tidak serta merta menjadikan Badan Hukum Swasta tersebut tergolong sebagai badan atau pejabat TUN.15 Tepat bahwa konsekuensi dari teori melebur yang dipakai sebagai dasar sebagaimana dijelaskan diatas, maka Pemerintah hanya melakukan pengawasan yaitu dengan mengeluarkan ijin kepada setiap individual. Itu sebabnya, ada pendapat bahwa keputusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tunduk pada hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan adalah di PHI, suatu Badan Peradilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum di Indonesia. Dalam ilmu hukum, Keputusan TUN adalah suatu perbuatan Pemerintah yang bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu.16 Oleh sebab itu sudah kewajiban Pemerintah untuk turut campur tangan dalam setiap instansi yang melakukan aktifitas pendidikan, termasuk juga Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, 15
Ridwan, HR, S.H., “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 86.
16
Ibid., hlm. 210.
10
dengan ketentuan memberikan perijinan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Implikasi
dari
dikeluarkannya
perijinan
oleh
Pemerintah
atau
Badan/Pejabat TUN adalah secara tidak langsung Negara harus mengawasi tindakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan dapat dipahami juga bahwa perijinan ini merupakan instrumen dari Negara sebagai satu subyek hukum untuk mengendalikan, dalam arti, antara lain, memfasilitasi Warga Negara atau Badan Hukum Perdata yang juga dalam kedudukan yang setara dengan Negara sebagai badan hukum/subyek hukum (parties to contract), supaya tetap dapat melaksanakan aktivitasnya secara berdaya guna dan berhasil guna. Kaitannya dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas itu, dalam Pasal 102 Ayat 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa “dalam
melaksanakan
hubungan
industrial,
Pemerintah
mempunyai
fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan”. Bunyi Pasal di atas menjustifikasi bahwa setelah adanya undang-undang Ketenagakerjaan berarti Pemerintah hanya melakukan pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan, dan tidak serta merta menjadikan Badan Hukum Swasta tergolong sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Di manapun di seluruh dunia, privat itu bukan publik dan publik itu pasti bukan privat.
11
Memerhatikan uraian di atas, maka tampaknya adanya pemahaman yang berbeda-beda diantara ahli hukum bahkan ditumpang-tindihkan mengenai Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Badan TUN. Padahal, majikan suatu Yayasan Partikelir berbeda dengan majikan para Pejabat TUN. Majikan adalah tiap orang atau badan hukum yang mempekerjakan seorang buruh atau lebih di Perusahaan yang diwajibkan memberikan tunjangan.17 UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan persamaan antara pemberi kerja (pengusaha) dengan majikan, akan tetapi memberikan persamaan antara pekerja dengan buruh.18 Hanya saja, di dalam Pasal 1 Angka (4) diuraikan bahwa “pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pemahaman di atas menegaskan bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta juga dengan demikian merupakan pemberi kerja dalam istilah Perburuhan disebut majikan kepada buruh, dalam hal ini Dosen19 dan atau Karyawan. Orang disebut buruh apabila dia telah melakukan hubungan kerja dengan majikan.20 Sementara itu, Dosen di Yayasan Perguruan Tinggi yang berstatus swasta,
17
Abdul Rachmad Budiono, S.H., Hukum Perburuhan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1975, hlm. 4. Bandingkan dengan rumusan pengusaha dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 18
Pasal 1 Angka (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
19
Perlu ditegaskan di sini bahwa secara prinsipil, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Dosen adalah profesional.
12
dimana sistem pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.21 Maka ketika sudah ada hubungan kerja yang berupa suatu perjanjian antara seseorang (Dosen atau Karyawan) dengan Badan Hukum Perdata (Yayasan Perguruan Tinggi Swasta), apabila ada sengketa, sengketa itu merupakan sengketa hubungan industrial. Menurut UU No.2 Tahun 2004, kompetensi absolut untuk hal itu berada di PHI. Artinya, apabila PTUN masih mengklaim kompetensi absolut untuk mengadili sengketa industrial maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan.22 Bukankah hukum sebagai suatu sistem yang sangat sempurna tidak membolehkan hal ini, pertentangan dalam sistem itu sendiri?23 Suatu studi perbandingan antara UU No.2 Tahun 2004 jo. UU No.13 Tahun 2003 dengan Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan
20
Dikutip dari H. Zainal Asikin, SH, S.U., H. Agusfian Wahab, SH., Lalu Husni, SH, M.Hum., Zaeni Asyhadie, SH, M.Hum, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 43.
21
Sahala Aritonang. S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya , Jakarta, 2007, hal. 7. Ia membedakan Guru dan Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan/pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah karena pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian diatur oleh Peraturan Pemerintah dan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). 22
Sebelum disahkannya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, setiap perselisihan hubungan industrial diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan putusannya bersifat final. Kemudian ketika ada pihak tidak memerima putusan tersebut, mereka mengajukan ke PTUN. Hanya saja, yang menjadi obyek sengketa adalah keputusan P4P, bukan keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta misalnya. Namun hal ini merupakan alasan PTUN dapat memutus sengketa Yayasan perguruan Tinggi Swasta. Akan tetapi setelah undang-undang PHI berlaku, maka P4P daerah maupun pusat tidak memiliki kewenangan lagi untuk menyelesaikan Perburuhan begitu juga dengan PTUN. Lembaga-lembaga politik tersebut sudah bubar! 23
Mengenai hal ini dapat dibaca dalam Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Buku: Kontrak Sebagai Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
13
Kedua UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, apakah Yayasan suatu Perguruan Tinggi Swasta merupakan Badan atau Pejabat TUN? Adalah masalah yang penting setelah keberadaan UU No.2 Tahun 2004, yang tidak lagi menghendaki sengketa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta masih saja dimasukkan dalam sengketa kewenangan PTUN. Tetapi anehnya mengapa para penegak hukum (seperti pengacara) tidak mau memahami bahwa sesungguhnya dengan berlakunya UU No.2 Tahun 2004 ada konflik jurisdiksi sepanjang apabila penggugat itu adalah Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta melawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang menurut UU No.13 Tahun 2003, Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah buruh atau pekerja. Kemudian di dalam kepustakaan hubungan industrial, Yayasan/juga dapat digolongkan sebagai pengusaha yang bentuk usahanya adalah Yayasan Perguruan Tinggi atau Universitas Swasta. Ada pendapat bahwa adalah salah jika istilah pengusaha hanya dipahami hanya sebatas para pemilik pabrik atau perusahaanperusahaan, sementara pemilik Yayasan, Lembaga Sosial, Lembaga Pendidikan dan Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan lainnya tidak digolongkan sebagai pengusaha.24 Itulah sebabnya, dengan memerhatikan uraian di atas maka sengketa antara Dosen atau Karyawan dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang terjadi dalam Perguruan Tinggi Swasta, harus dipahami sama halnya dengan sengketa 24
Sahala Aritonang, S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya , Jakarta, 2007, hal. 6.
14
antara
pengusaha/gabungan
pengusaha
dengan
pekerja/buruh
atau
serikat
pekerja/serikat buruh. Artinya kalau ada perselisihan antara buruh dan majikan dalam hal ini Karyawan, Dosen dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta maka yang pertama kali dipertimbangkan adalah Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta itu adalah buruh atau pekerja. Sementara unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah pengusaha atau majikan. Hal ini semakin menjustifikasi kompetensi absolut pada PHI. Dalam kaitan dengan uraian di atas, Pasal 1 Angka (1) jo Pasal 56 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan empat jenis perselisihan yaitu: (1) Perselisihan Hak; (2) Perselisihan Kepentingan; (3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); (4) Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Ada pendapat bahwa, perselisihan Ketenagakerjaan (Perburuhan) dapat dibedakan antara perselisihan hak dengan perselisihan kepentingan”,25 namun demikian, sengketa atau perselisihan antara Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah unsur majikan atau pengusaha. Dengan
mengacu
Pasal
tersebut
di
atas
maka
Putusan
No:
48/G/2009/PTUN-SMG merupakan perselisihan kepentingan dan Putusan Pengadilan
25
Dikutip dari Abdussalam, S.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Restu Agung, Jakarta, 2009, hlm. 129.
15
No:10/G/2010/PTUN-SMD yang juga merupakan perselisihan kepentingan antara buruh dan majikan. Ini menandakan bahwa sudah barang tentu sengketa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta itu harus diselesaikan di PHI. Selama ini sebelum adanya UU No.13 Tahun 2003 jo UU No.2 Tahun 2004, apabila ada sengketa antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan Dosen (sebagai contoh dalam kedua sengketa itu), maka penyelesaian sengketanya adalah di PTUN yang tunduk pada UU No.5 Tahun 1986 dengan perubahan UU No.51 Tahun 2009, tetapi setelah ada undang-undang tersebut sengketa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah merupakan kompetensi absolut PHI. Mencermati juga akan kasus-kasus di atas, yang mana dengan dimasukkan Badan Hukum Swasta sebagai Badan atau Pejabat TUN, yang selalu menjadi Tergugat, sementara, untuk selamanya seharusnya orang atau pihak warga negara/masyarakat/orang akan selalu menjadi pihak Penggugat, ada prinsip yang seolah-olah telah dilanggar. Ada dalil dalam Putusan yang menjadi obyek studi/Penelitian ini bahwa keputusan (beschikking) memiliki sifat norma dalam hal konkret, individual dan final. Sementara keputusan misalnya YPTKSW dan Yayasan/Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS) 17 Agustus 1945 Samarinda, dipertanyakan merupakan keputusan yang final. 16
UU No.2 Tahun 2004 didalamnya diatur bahwa, keputusan PHK adalah suatu putusan yang belum bersifat final, sebabnya yaitu sengketa karena PHK yang kemudian menjadi masalah, masih harus diuji di PHI sebagai the last resort.26 Sehingga dalam hubungan hukum buruh-majikan PKWT misalnya, bukan merupakan suatu beschikking, sebab belum final. Atas dalil di atas kemudian ada pendapat bahwa sengketa yang terjadi yaitu dalam Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD antara Alikuddin Saragih,SH., M.Hum,
yang merupakan Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda melawan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dengan obyek sengketanya adalah Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Nomor : 055/UN.17 /KP/II/2011 tanggal 1 Pebruari 2011 perihal Pemberhentian Sementara sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, dan Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG sengketa yang terjadi antara Dosen Fakultas Psikologi UKSW Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Rektor UKSW saat itu Prof. Kris Herawan Timotius dengan obyek sengketa adalah SK Rektor UKSW No. 158/Rek/5/2009 tentang Pemberhentian Dosen Tetap tidak dapat menjadi obyek sengketa di dalam PTUN. Sesuai dengan unsur Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yakni Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan 26
Pasal 3 ayat 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
17
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka mengacu Pasal tersebut, jabatan Rektor Perguruan Tinggi Swasta bukanlah Pejabat TUN, karena tidak melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PTUN dengan demikian dapat dikatakan tidak memiliki kewenangan (kompetensi absolut) untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan kedua sengketa tersebut di atas. Seharusnya sengketa tersebut masuk dalam kewenangan absolut Pengadilan yang mengadili sengketa hubungan industrial. Bagaimanakah hal ini selanjutnya, perlu ada kepastian. Hal ini menjadi latar belakang penulis memilih menulis permasalahan di atas.
1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, untuk membatasi agar pembahasan masalah tidak terlalu luas maka Penulis membuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa dalam jurisdiksi absolut sebagaimana diatur dalam rezim UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kompetensi absolut PTUN setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003 dalam mengadili sengketa hubungan industrial dimana pihak Yayasan Perguruan
18
Tinggi Swasta berkedudukan sebagai pengusaha atau majikan dan Dosen atau Karyawan Yayasan Peguruan Tinggi Swasta berkedudukan sebagai buruh.
1.5. Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah penelitian hukum. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang kompetensi absolut, baik yang dimiliki oleh PTUN maupun PHI. Satuan amatan penelitian ini adalah: (1) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN; (2) UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sementara itu ada pula beberapa Putusan Pengadilan yang dicermati misalnya Putusan PTUN No: 48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan PTUN No:10/G/2010/PTUN-SMD
berkaitan
dengan
peraturan
perundang-undangan
diantaranya UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan satuan analisa penelitian ini adalah bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam mengadili dan memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003. 19