BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul “Diskresi Sebagai Cara Penyelesaian Sengketa dengan
Keterlibatan Investor Asing yang Melakukan Penanaman Modal di Indonesia” mengingat alasan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,1 dalam menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di samping dapat diajukan ke peradilan umum (litigation), juga terbuka kemungkinan diajukan melalui alternatif penyelesaian sengketa
2
atau the alternative dispute resolution (ADR). Sengketa atau
beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik (good faith) dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan negeri.3 Selanjutnya undang-undang di atas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa alternatif adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
1
Undang Undang No. 32 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2
Ibid, Bagian Menimbang. Perlu dikemukakan di sini bahwa ADR di negara maju seperti Skotlandia UK, adalah suatu industri tidak dikelola alakadarnya. Kajian ilmiah mendalam tentang ADR sebagai suatu industry, lihat penelitian individual Dr. Jeferson Kameo SH.LLM yang dilakukan di Glasgow (tahun 2001 sampai-dengan 2005) penelitian tidak dipublikasikan, merujuk R. Fisher and W.Ury, Getting to Yes (Century Business, 1982). 3
Ibid, Pasal 6 Ayat (1).
1
yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigation) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.4 Hal ini menunjukan bahwa penyelesaian sengketa alternatif mengandalkan kata sepakat atau bersifat konsensual. Ada enam cara penyelesaian sengketa alternatif (PSA) sebagaiman dapat dilihat pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas. penyelesaian sengketa alternatif itu dibatasi nomenklaturnya, serta hakikat, dan pengertiannya.5 Hanya saja, dalam pandangan Dr. Jeferson Kameo SH.LLM, merujuk penelitian individual yang dilakukan di Glasgow (tahun 2001 sampai-dengan 2005), konsultasi tidak termasuk dalam bentuk lain atau bentuk alternative dari penyelesaian sengketa (other forms of dispute resolution) yang ada dalam literature Ilmu Hukum. Menurut Dr. Kameo, merujuk kepada penelitian ke penelitian yang bersangkutan,6 berikut ini adalah apa yang disebut sebagai other forms of dispute resolution. Bentuk pertama Negotiation, bentuk kedua yaitu Mediation and Conciliation, bentuk ke tiga yaitu Med-Arb, bentuk keempat yaitu Neutral Expert, bentuk kelima yaitu Excutive Tribunal, bentuk keenam yaitu Summary Jury Trial, bentuk ketujuh Ombudsmen, dan bentuk yang terakhir the other forms of dispute resolution adalah adjudication atau Expert Determination.
4
Ibid, Pasal 1 Angka (10).
5
Undang-undang di atas tidak mendefinisikan bentuk-bentuk penyelesaiaan sengaketa tersebut. Oleh sebab itu Penulis merujuk hasil penelitian dalam membantu mendefinisikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dalam undang-undang di atas tersebut.
6
Lihat Catatan Kaki Ke-2.
2
Adapun pengertian atau makna dari masing-masing nomenklatur cara penyelesaian sengkata tersebut di atas akan diuraikan sebagai berikut : Konsultasi, dimintakan kepada pihak yang dianggap mampu dengan suatu tujuan (1) untuk mencari masukan-masukan menuju forum perundingan; (2) konsultasi tidak untuk mencari keuntungan sepihak; dan (3) konsultasi mencari solusi praktis dalam rangka bermasyarakat dengan pihak lain atau pihak lawan dengan berkomunikasi, musyawarah, memulai perundingan, membuat penawaran, menyikapi sikap-sikap keras.7 Yang hanya asal keras .perlu penulis kemukakan bahwa ada sikap keras yang diharuskan apabila hal itu menyangkut mempertahankan kebenaran. Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negosiasi merupakan saran bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang untuk mengambil keputusan (mediasi) maupun yang berwenang untuk mengambil keputusan (arbitrase).8
7
Sri Harini Dwiyatmi, SH., MS., Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia Bogor, 2006, hlm. 122. Gelar-gelar akademik dalam catatan kaki Penulis karya tulis kesarajanan ini, sengaja Penulis sertakan secara lengkap. Hal ini dimaksudkan untuk suatu pertanggungjawaban bahwa kutipan diambil dari mereka yang benar-benar memunyai kualifikasi akademik dalam bidang tersebut atau tidak. Kualifikasi akademik seseorang ditandai oleh gelar yang disematkan pada namanya. Mengingat gelar telah dicantumkan di catatan kaki maka di dalam daftar kepustakaan tidak lagi dicantumkan gelar akademik.
8
Prof. Dr. Mochamad Basarah SH., MH., Prosedur Alternative Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Genta Publishing 2011, hlm. 113. yang diambil dari pendapat Dr. Suyud Margono SH., MHum., FCIArb., dalam bukunya: ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, hlm. 49.
3
Mediasi9 merupakan suatu penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan yang melibatkan pihak ketiga, atau yang dikenal dengan mediator, untuk membantu para pihak yang bersengketa, untuk mencari penyelesaian sengketa, yang mana mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan selama proses perundingan berlangsung.10 Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (konsiliator11) untuk membantu pihak yang bertikai menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak, konsiliasi hampir menyerupai mediasi, perbedaannya terletak dalam hal bantuan konsiliator yang bersifat pasif atau terbatas pada hal-hal yang bersifat prosedural. Penilaian Ahli adalah upaya para pihak untuk menyelesaiakan perkaranya dengan menunjuk seorang ahli yang independen. Ahli itu yang akan meneliti pokok sengketa, mengajukan pemerikasaan dan pertanyaan kepada kedua belah pihak secara
9
Ketua Makamah Agung Republik Indonesia pernah memperjelas pengaturan secara khusus mengenai mediasi, di Jakarta, pada tanggal 31 juli 2008, yaitu PERMA No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. 10
Prof. Dr. Mochamad Basarah SH., MH., Op. Cit., hlm. 115, yang juga diambil dari pendapat Dr. Suyud Margono SH., MHum., FCIArb., dalam bukunya: ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, hlm. 59.
11
Merujuk kepada hasil penelitian individual Jeferson Kameo Ph.D., konsiliasi sebagai satu dari other forms of dispute resolution digunakan juga konsep mediasi. (mediation and conciliation). Kedua bentuk, dalam hal ini : (1) mediasi; dan (2) konsiliasi sering digunakan secara bersamaan dan dianggap sinonim atau merupakan persamaan kata. Perlu dikemukakan di sini bahwa literature yang menjadi satuan amatan dalam penelitian Dr. Jeferson Kameo tersebut diatas adalah : Street, the Language of Alternative Dispute Resolution [1992] ; Arbitration and Dispute Resolution Law Journal 1 hlm. 144; dirujuk pula, Fuller, “Mediation : It’s Form and Functions [1971] California Law Review 44”.
4
terpisah atau bersama-sama, menjernihkan masalah yang disengketakan, dan pada akhirnya memberikan pendapatnya.12 Disamping undang-undang di atas, undang-undang lain yang mengatur, terlebih mendefinisikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa adalah Undang Undang No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Adapaun bentukbentuk dari penyelesaian yang dikenal oleh UU tersebut adalah (1) perundingan; (2) mediasi; (3) konsiliasi; (4) arbitrase; dan (5) litigasi. Dalam kaitan dengan itu, UndangUndang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam Pasal 136 juga mengatur bentuk; (6) musayawarah untuk mufakat. Koheren dengan ketentuan peaturan perundang-undangan tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga diatur secara tegas bahwa para pihak dapat menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.13 Atau yang dalam literatur ilmu hukum dikenal dengan out of court setlement. Dalam bidang investasi atau penanaman modal, penyelesaian sengketa yang terjadi menurut undang-undang akan diselesaikan melalui beberapa forum yakni, musyawarah untuk mufakat, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa, dan pengadilan.14
12
Merujuk kepada penelitian individual Dr. Kameo sebagaimana telah di kemukakan di atas, maka konsep pranata Penilaian Ahli ini perlu digunakan secara berhati-hati supaya tidak dijumbuhkan dengan neutral expert. 13
Pasal 58, 59 Ayat (1, 2, dan 3), 60, Undang Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
14
Pasal 32, Undang Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
5
Menurut undang-undang tentang Penanaman Modal, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.15 Selanjutnya apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud (pada Ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yang lainnya (non litigation) atau pengadilan (litigation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.16 Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal Dalam Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.17 Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak juga dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak.18 Dalam ranah hukum perdata peluang untuk diselesaikannya sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa juga sangatlah terbuka. Para pihak dengan bebas dapat menentukan lembaga manakah yang akan berwenang menyelesaiakan sengketa.
15
Ibid, Pasal 32 Ayat (1).
16
Ibid, Pasal 32 Ayat (2).
17
Ibid, Pasal 32 Ayat (3).
18
Ibid, Pasal 32 Ayat (4).
6
Menurut Het Herziene Indonesian Reglement (HIR) Pasal 130, maupun atau sui generis Pasal 154 Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBg) medorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian.19 Persoalannya adalah bagaimana apabila ada sengketa atau beda pendapat antara dua pihak atau lebih, dan pihak yang bersengketa itu melibatkan investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia kenyataannya masih perlu dicarikan jalan penyelesaiannya, padahal perbedaan pendapat atau sengketa itu sudah melalui suatu proses yang panjang, yang pantas diasumsikan telah didahului dengan berbagai usaha dan bentuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan semua sarana-sarana di luar pengadilan dan akhirnya masuk ke pengadilan dengan putusan-putusab yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde). Tetapi, justru meskipun semua cara dan melalui pengadilan telah mencapai puncaknya, namun masih saja terdapat sengketa atau perbedaan pendapat yang dipandang masih harus diselesaikan.20 Memang, dalam kaitannya dengan hal itu, hukum sudah paham bahwa pemerikasaan perkara akan diakhiri dengan suatu putusan. Akan tetapi hukum juga paham bahwa dengan dinyatakan putusan pengadilan saja belumlah selesai persoalannya. Dengan kata lain masih saja terbuka sengketa atau beda pendapat meskipun sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde);
19
Menurut Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengendalian Tingkat Pertama menerapakan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR maupun / sui generis 154 RBg) belum lengkap, sehingga perlu disempurnakan. Mahakamah Agung kemudian mengintegrasikan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama (sumber Penelitian Individual Dr. Kameo). 20
Asumsi di atas dapat dibenarkan mengingat prinsip bahwa litigasi adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat the last resort.
7
padahal, putusan itu harus dapat dilaksanakan. Hal ini merupakan sesuatu yang masuk akal (reasonable). Dan dilakukan dengan suatu kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara. Masuk akal, sebab, apabila orang yang dihukum melalui suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, hal ini sama saja dengan dengan masih ada sengketa atau perbedaan pendapat yang perlu diselesaiakan melalui suatu mekanisme atau cara penyelesaian sengketa. Maka hakim (ketua Pengadilan Negeri) karena diskresi
21
akan
memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu dengan meminta diskresi polisi misalnya (alat Negara), agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. Persoalan yang muncul adalah bagaimana apabila ternyata dasar hukum argumen untuk menolak pelakasanaan eksekusi oleh pihak tereksekusi itu ternyata sangat mendasar dan berdasar ? Apakah dengan demikian diskresi dari ketua pengadilan negeri dan pihak kepolisian, militer, serta muspida sebagaimana telah terjadi dalam suatu kasus di Kabupaten Demak bukan lagi suatu diskresi tetapi menjadi perbuatan melawan hukum atau suatu tindak pidana dari alat-alat Negara ?
21
Wewenang ini diatur dalam Pasal 36 Ayat 3 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. “pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita, dipimpin oleh ketua pengadilan”. Yang dimaksud dengan dipimpin yang digarisbawahi tersebut dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.
8
Dalam rangka menjawab rasa keingintahuan sebagaimana telah dikemukakan di atas itulah, maka Penulis kemudian memilih untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul sebagaimana telah dikemukakan di atas. Adapun gambaran singkat yang bersifat pendahuluan22 tentang kasus sengketa investasi mengingat melibatkan pihak asing dan PT. PMA serta penyelesaiannya akan dijelaskan secara ringkas dalam latar belakang permasalahan di bawah ini.
1.2.
Latar Belakang Permasalahan Sengketa sebagaimana dimaksudkan di atas bermula dari kehendak investor
asing Penanam Modal di Indonesia dalam bentuk suatu Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PT. PMA), tepatnya di Demak Jawa Tengah, hendak bekerjasama dengan investor lainnya (investor dalam negeri) di wilayah yang sama. Kerjasama kedua investor tersebut dilakukan melalui “jual-beli”23 antara (unsurunsur dalam PT. PMA investor asing) yang sepakat untuk “menjual” tanah-tanah dan segala sesuatu yang tertanam di atas tanah “milik”nya kepada si investor lokal.24 Untuk lebih formalnya, niat atau kehendak dari unsur dalam PT PMA untuk menjual tanah-tanahnya (kesepakatan) antara unsur investor asing untuk “menjual” 22
Gambaran yang lebih lengkap dan mendetail tentang sengketa investasi sebagaimana dikemukakan di atas dapat dilihat dalam Bab III Tentang hasil penelitian. 23
Jual beli sengaja diberi tanda kutip oleh Penulis, sebab bukan jual beli. Dalam literatur ilmu hukum, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum,disebut dengan “sham sale” (Jeferson Kameo S.H., LLM., Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum , Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga).
24
Pernyataan kehendak untuk menjual sebagaimana dimaksudkan di atas dituangkan dalam suatu akta notariil. Akta itu juga akan menjadi pokok kajian penelitian dan penulisan karya tulis ini.
9
tanah-tanah dan segala sesuatu yang tertanam di atas tanah-tanah (5 bidang tanah HM)nya itu kepada investor lokal kemudian dituangkan dalam suatu akta notaris. Entah apa masalahnya25, si investor lokal yang merasa telah membeli tanah dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas tanah-tanah itu kemudian menggunakan akta-akta kuasa penjualan tanah-tanah serta segala yang tertanam di atasnya menjual tanah-tanah itu kepada dirinya sendiri. Tanah kemudian berhasil dibaliknamakan dari milik unsur dalam investasi dalam PMA kepada si investor lokal, oleh Kantor Pertanahan Demak. Hal menarik yang perlu dikemukakan dalam latar belakang masalah penelitian ini adalah bahwa karena merasa tidak ada kehendak setuju satu dari tiga investor dalam PT. PMA atas penjualan tanah-tanah dan segala sesuatu yang tertanam di atasnya, maka satu dari investor asing yang ada di PT. PMA kemudian menggugat dua investor lainnya dalam PT. PMA tersebut. Pengadilan
Negeri
Semarang
melalui
putusan
No.137/Pdt.G/PN.Smg
menyatakan batal demi hukum Akta yang memuat kehendak pemilik tanah untuk menjual tanah-tanahnya kepada si investor lokal. Artinya, secara hukum, jual-beli atas tanah-tanah dari pemilik tanah, unsur dalam PT PMA kepada investor lokal, dengan demikian harus dianggap tidak pernah ada karena batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum (bahasa Inggris : null and void), secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara
25
Mungkin saja karena ketidaktahuan, ignorence, jika tidak mau dikatakan, suatu kebodohan, dalam memahami hakikat dari suatu jual beli sebagai suatu kontrak.
10
orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau suatu perikatan.26 Apabila hakim tidak melakukan hal itu maka hakim melawan hukum. Mana ada orang yang namanya hakim kok melawana hukum ? tidak ada itu Hal menarik adalah meskipun melalui putusan 137/Pdt.G/PN.Smg “jual-beli” yang bermula dari maksud bekerjasama saja antara PT PMA dengan Investor lokal itu telah dinyatakan batal demi hukum, namun karena sesuatu dan lain hal, si investor PMA yang telah “dimenangkan” dalam putusan 137/Pdt.G/PN.Smg tidak segera meminta kepada Kantor Pertanahan Demak untuk mencoret sertifikat yang telah diterbitkan atas nama investor lokal, tetapi, justru PT PMA mengajukan lagi gugatan kepada investor lokal di PN Semarang dengan nomor perkara 213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008. Akhir dari proses peradilan yang sangat mahal dan panjang tersebut di atas mulai dari perkara nomor 213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008 adalah bahwa pengadilan justru 26
Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D., Pendapat Hukum : Amicus Curiae, hlm 2-7, yang bersangkutan adalah dosen senior dan peneliti. Yang bersangkutan diminta melakukan tugas pengabdian masyarakat dan banyak mengetahui persoalan investasi asing tersebut di atas. Amicus Curiae, Maxim Latin, dalam bahasa Inggris berarti a friend of the court atau sobat terdekat pengadilan, juga abdi Hukum. Istilah itu dipakai untuk mengidentifikasi orang terdekat dari penonton (bystander), yang tanpa kepentingan apapun apa lagi mencari sesuap nasi, dengan keahliannya yang sangat tinggi, memberi saran (suggestion) tentang fakta maupun hukum kepada pengadilan atau mengoreksi kesalahan (lihat penelitian Dr. Jeferson Kameo, tidak dipublikasikan).
11
menguatkan adanya jual-beli hak atas tanah antara unsur-unsur dalam PT PMA dengan investor lokal, sebagaimana telah dikemukanan diatas yang sebelumnya, telah dinyatakan batal demi hukum dalam putusan 137/Pdt.G/PN.Smg. Dengan kata lain, sebagai hasil dari proses peradilan yang telah disebutkan di atas, ada dua putusan pengadilan yang saling bertentangan. Putusan yang pertama mengesahkan jual-beli batal demi hukum, namun putusan belakangan menyatakan bahwa jual-beli sah. Sungguh aneh tetapi nyata, hal yang demikian itu terjadi di dalam negara hukum republik indonesia ini. Sengketa atau perbedaan pendapat memuncak. Banyak eksekuasi gagal dilaksanakan dan akhirnya pada tanggal 20 Februari 2012 ketua PN Demak, karena “diskresinya”,
27
dengan merujuk pada hasil putusan yang dikemukakan di atas,28 pihak
Kepolisian Resor Demak, Brimop, Satpol PP, dan unsur Militer lain di Demak, diminta untuk
membantu
melaksanakan
eksekusi.
Pihak
Kepolisian
Demak
dengan
diskresinya29 yang dimintai bantuan oleh Ketua Pengadilan Negeri Demak, untuk membantu pelaksanaan putusan tersebut, berhasil melaksanakan eksekusi, sebagaimana diberitakan oleh media massa yaitu Koran-koran dan Televisi.
27
Mengenai konsep diskresi; Lihat, Khrisna D. Darumurti, SH., MH., dalam bukunya Kekuasaan Diskresi Pemerintah. 28
Putusan Nomor 468PK/Pdt/2008, Juncto 630K/Pdt/2007, Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg, Juncto 213/Pdt.G/2005/PN.Smg. 29
Pasal 15 Ayat (1) Huruf (i), Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menegaskan bahwa POLRI berwenang memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; wewenang tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat.
12
Persoalan atau legal issue yang melatarbelakangi penelitian ini adalah, pihak kepolisian Resort Demak, sudah barang tentu di bawah pemantauan Polda Jawa Tengah yang dimintai bantuan oleh Ketua Pengadilan Negeri Demak untuk memberikan bantuan
pengamanan
dalam
pelaksanaan
putusan
Pengadilan
No.
213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008, pada saat yang bersamaan juga dimintai bantuannya untuk melayani masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Ayat (1) huruf i yaitu : “melindungi keselamatan harta benda, masyarakat termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Hal ini berarti bahwa pihak Kepolisian Demak harus memenuhi permohonan pihak
pemenang
214/Pdt/2006/PN.Smg
perkara Juncto
diperkara
No.
630K/Pdt/2007
213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto
468PK/Pdt/2008
Juncto yang
disampaikan melalui Pengadilan Negeri Demak yang harus melaksanakan suatu Putusan Pengadilan yang cacat hukum (karena telah dinyatakan batal demi hukum oleh putusan yang berkekuatan hukum tetap; Nomor 137/Pdt.G/PN.Smg) dan pada saat yang bersamaan harus juga memperhatikan permohonan masyarakat (dalam hal ini Investor Asing PT. PMA) yang juga mepunyai harta benda yang harus dilindungi oleh pihak Kepolisian Demak di bawah pemantauan Kapolda Jawa Tengah yang dibenarkan oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yaitu putusan nomor 137/Pdt.G/PN.Smg. Selama ini, di bawah diskresi 2 (dua) Kapolda Jawa Tengah, (1) Alex Bambang dan (2) Edward Aritonang, dengan menggunakan diskresi, tidak pernah ada pengamanan eksekusi atau pelaksanaan Putusan Nomor 213/Pdt.G/2005/PN.Smg
13
Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008. Tetapi setelah datangnya Kapolda 30 setelah Edward Aritonang, putusan pengadilan yang sudah ada “dikubur”, kemudian dibangkitkan oleh Kapolda melalui Kapolres Demak. Apakah hal ini bisa disebut bahwa mereka, para aparat itu menggunakan diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa ? Perlu dikemukakan di sini bahwa sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuuren).31 Artinya dalam melaksanakan tugasnya, pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi juga melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang belum diatur secara tegas oleh undang-undang.32 Tetapi menurut hukum pembentukan suatu norma-norma hukum dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja, tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.33
30
Didiek Sutomo Triwidodo (Jendral Polisi bintang dua).
31
Iskatrinah SH., Mhum., Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang DepHan 2004. 32
Prof, Dr. Phillipus M. Hadjon SH., dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 138.
33
Dr. Marcus Lukman SH., MH., Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Bandung : Universitas Padjajaran, 1996, hlm. 205.
14
Kekuasaan diskresi sebagai kekuasaan pemerintah tersebut berpotensi untuk terjadi tindakan diskresi oleh pemerintah, dalam situasi-kondisi dimana hukum ceteris paribus (semua variable dalam keadaan sama) berlaku, maka asas legalitas yang berlaku dan kekuasaan premerintah dibawah asas legalitas adalah kekuasaan terikat. Adapun dalam situasi kondisi abnormal dimana hukum citeris paribus tidak berlaku, maka demi hukum asas legalitas tidak berlaku dan kekuasaan pemerintah dalam situasi demikian kekuasaan bebas atau diskresi.34 Dalam hal pemerintah menghadapi suatu masalah, tetapi tidak ada aturan yang tertulis, maka karena tuntutan hukum yang selalu tertulis, pemerintah harus melihat asas-asas yang dapat mendukung atau menopang suatu tindakan yang harus dilakukan sebelum terlambat dalam hal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu instruksi hukum yang dapat mendukung atau menopang pemerintah adalah diskresi atau freies ermessen atau dikenal dengan istilah discretionary power. Hal ini sangat dikenal di lingkungan undang-undang Kepolisisan Republik Indonesia. Bahwa freies ermessen atau juga dikenal dengan istilah discretionary power adalah kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugastugas untuk mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga negara;35 selain itu Nata Saputra Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan
kepada
alat
Administrasi,
yaitu
kebebasan
yang
pada
asasnya
34
Hal ini diambil juga dari pendapat Carl Schmitt, lihat Khrisna D. Darumurti, SH., MH., Op. Cit., Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 6-8. 35
Ridwan HR, SH., MHum., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 51.
15
memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum36. Tetapi untuk memperkuat perlindungan hukum maka pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara yang selalu 37
menghendaki efektifitas harus memperhatikan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik; dalam hal ini menurut penulis keputusan tersebut juga bisa dilakukan oleh alat negara.
Diskresi dalam undang-undang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisisan Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.38 Sementara itu, menurut penjelasan Pasal 18 Ayat (1) yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Dengan bersandar kepada freies ermessen, Administrasi Negara dalam hal ini termasuk polisi negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum. Untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak,
36
Nata Saputra SH., Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm. 15.
37
Prof, Dr. Philllipus M. Hadjon SH., dkk, Op. Cit., hlm. 270-278.
38
Pasal 18 Ayat (1), Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
16
Administrasi Negara juga diberikan kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya,39 Beranjak dari pendapat di atas maka menurut Penulis, hal tersebut juga bisa dilakukan oleh Kepolisian, tentunya dengan bersandar kepada diskresi, artinya dalam hal ini pihak Kepolisian memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan menurut hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak, pihak Kepolisian juga diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan hukum secara total (total enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full enforcement) tidak mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang aktual (actual enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi adalah, bahwa diskresi yang menjadi sumber pembaharuan hukum apabila direkam dan dipantau dengan baik dan sistematis.40 Maka dalam hal ini menurut penulis diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa dapat dijadikan penelitian dalam bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigation) dalam kasus PMA seperti yang dikemukakan di atas. Atas dasar undangundang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia paragraf ke39
Prof. Dr. Sukamto Satoto SH., MH., Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik Magister Ilmu Hukum, Universitas Jambi, 2011, hlm. 1.
40
Muladi, SH., Mhum., Kapita Selekte Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponogoro Semarang, 1995, hlm 46-47.
17
9 serta penjelasan umum, menegaskan bahwasanya setiap Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaiannya sendiri.41 Bagaimanakah dikresi atau freies ermessen atau discretionary power tersebut dalam peristiwa sengketa atau kasus yang telah di kemukakan di atas ? Hal inilah yang telah menjadi latar belakang, mengapa Penulis memilih untuk mengadakan penelitian, dan pada akhirnya menulis skripsi kesarjanaan dengan judul sebagaimana dikemukakan di atas.
1.3.
Rumusan Masalah Atas dasar uraian latar belakang permasalahan sebagaimana dikemukakan
diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan penanaman Modal di Indonesia ?
1.4.
Tujuan Penelitian Ingin mengetahui Bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau
perbedaan pendapat dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan penanaman Modal (investasi) di Indonesia 41
Lihat Catatan Kaki 35 dan Paragraf Berikutnya.
18
1.5.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum. Bermaksud mencari dan menetukan
bagaimana kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum yang mengatur diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan Penanaman Modal Indonesia. Adapun satuan amatan dalam penelitian ini adalah sejumlah peraturan perundang-undangan, beberapa keputusan pengadilan dan dokumen terkait adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah sebagai berikut : (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Makamah Agung; (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; (4) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia. (5) Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata (Het Herziene Indonesian Reglement (HIR); dan (6) Kitab Undang Hukum Acara Perdata untuk Luar Wilayah Jawa dan Madura, Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBg). Sedangkan putusan-putusan pengadilan yang juga menjadi satuan amatan dalam penelitian
ini
adalah
sebagai
berikut:
(1)
Putusan
Perkara
Nomor
213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008; (2) Putusan Perkara No. 137/Pdt.G/PN.Smg. (4) PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
19
dan (3) Surat Edaran Mahakamah Agung, No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengendalian Tingkat Pertama. Satuan analisis penelitian ini yaitu bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan Penanaman modal (investasi) di Indonesia.
20