BAB II BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG DIKEMBANGKAN DI INDONESIA SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN SENGKETA
E. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional yang Dikenal di Indonesia Dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional pada dasarnya terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu melalui proses : 1. Litigasi (pengadilan) Litigasi atau forum pengadilan adalah forum ”klasik” yang dipilih para pihak. 51 Pengadilan merupakan refleksi dari jurisdiksi judikatif
suatu negara
berdaulat. Segala peristiwa hukum, termasuk sengketa kontrak yang terjadi di dalam wialayah suatu negara, pada prinsipnya berada dibawah jurisdiksi negara itu. Hasil yang akan diperoleh dari proses litigasi hanya 2 (dua) kemungkinan, yaitu menang atau kalah. Dalam membela dan mewakili kepentingan salah satu pihak dalam sengketa bisnis internasional, proses litigasi ini bukan hanya dapat diajukan ke hadapan badan peradilan umum (Pengadilan Negeri) di Indonesia maupun badan peradilan di luar yuridiksi negara Indonesia, melainkan juga sengketa itu dapat diajukan ke hadapan peradilan lainnya, misalnya 52 : a.) Pengadilan Niaga; b.) Pengadilan Tata Usaha Negara; dan
51 52
Huala Adolf. Loc.Cit.Hal 173 Ibid..
Universitas Sumatera Utara
c.) Pengadilan Pajak. Selain itu dalam konteks sengketa bisnis internasional, proses litigasi juga dapat diajukan ke hadapan badan kuasi peradilan di Indonesia (quasi judicial power), seperti misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komite Anti Dumping Indonesia, dan badan-badan kuasi peradilan lainnya. Berbeda dengan proses arbitrase, mediasi, negoisasi, dan konsiliasi yang hanya dapat dilaksanakan prosesnya apabila telah ada kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang terlibat. pilihan terhadap proses litigasi dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu 53 : a.) Para pihak dalam dokumen transaksi telah mengatur choice of forum melalui forum litigasi atau; b.) Hukum positif yang terkait memberikan kewenangan kepada forum litigasi tertentu untuk memeriksa dan memutus perkara yang terkait dengan pokok masalah tertentu, dimana perkara tersebut dapat diajukan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pihak lainnya, maksudnya proses litigasi dapat dijalankan tanpa persetujuan dari pihak lainnya yang terkait dengan sengketa. Hal ini berbeda dengan arbitrase, mediasi, negoisasi, dan konsiliasi dimana kedua proses dan mekanisme ini secara mutlak hanya dapat dilaksanakan apabila telah ada kesepakatan dari pihak mengenai hal ini 54 . Menurut hemat penulis, proses penyelesaian sengketa melalui litigasi (pengadilan) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa dikarenakan porses
53 54
Ibid. Hal 303. Ibid..
Universitas Sumatera Utara
litigasi (Pengadilan) memiliki kelebihan, yakni putusannya dihormati dan wajib dilaksanakan oleh para pihak, terlepas apakah pengadilan telah menerapkan hukum dengan benar atau tidak, putusan pengadilan sifatnya mengikat secara hukum. Para pihak yang tidak menghormati putusannya, hukum dapat memaksanya. 55 Sedangkan segi negatif (kekurangan) dari proses litigasi (pengadilan) menurut penulis adalah banyaknya kritik yang sudah terlanjur disandang. Di Indonesia, forum ini dicap sebagai tempat berkumpulnya “mafia peradilan”. Selain itu proses penyelesaiannya umumnya memakan waktu yang cukup lama, serta putusannya yang mungkin untuk dipublikasikan ke khalayak umum, karena prinsip dari proses litigasi (pengadilan) ini bersifat umum dan terbuka. Hal ini umumnya tidak disukai oleh para pihak yang bersengketa dikarenakan akan merusak reputasi & kredibilitas para pihak (pelaku usaha) yang bersengketa. 2. Negosiasi Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua yang digunakan oleh umat manusia. 56 Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para Pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. 57 Banyak sengketa yang
55
Huala Adolf. Op.Cit.Hal 173 W. Poeggel and E. Oeser., Methods of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law: Achievements and Prospects, (Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991), hal. 514. 57 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Sinar Grafika, 2004), Hal.26 56
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan setiap hari melalui negosiasi tanpa adanya publisitas atau perhatian publik. 58 Pengertian negosiasi, menurut Runtung Sitepu, merupakan salah satu bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif dimana para pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung (adakalanya di dampingi pengacara masing-masing) untuk mencari penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi ke arah kesepakatan atas dasar win-win solution. 59 Negosiasi dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa, apakah itu sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain. Bahkan apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan. 60 Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut : 61 a) Para pihaklah yang memegang palu hakim-nya sendiri; b) Sifatnya rahasia; c) Hukum acara atau formalitas persidangan tidak ada;
58
FV. Garcia Amador., The Changing Law of International Claims, (USA: Occeana, 1984),
hal. 518. 59
Runtung Sitepu., Alternative Disputes Resolution dan Arbitrase, Makalah disampaikan dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Kerjasama DPC IKADIN Medan dengan Fakultas Hukum USU, 2006, hal. 6. 60 FV. Garcia Amador, Op. cit, hal. 159. 61 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2006), Hal.172
Universitas Sumatera Utara
Segi negatif dari forum negosiasi ini adalah sebagai berikut : a) Manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, dimana salah satu pihak kuat sedangkan pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Satu pihak yang terlalu keras dengan pendiriannya dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif. Hal tersebut sering terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa; 62 b) Proses negosiasi lambat dan memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan permasalahan antar negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan dengan ekonomi Internasional. Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi; Pada dasarnya, berhasil atau tidaknya negosiasi dilaksanakan dipengaruhi oleh ketepatan dalam teknik kemampuan untuk menyampaikan posisi yang diinginkan dengan jelas dengan menggunakan berbagai alasan. Hal lainnya adalah kemampuan untuk mematahkan argumentasi pihak lawan, juga dengan menyampaikan alasanalasan yang berlawanan. Dengan tidak adanya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa ini menjadikan negosiasi sebagai tahap pertama dalam penyelesaian sengketa. Apabila dalam proses negosiasi ini menghasilkan suatu keputusan maka hasil kesepakatan
62
Huala Adolf., Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dituliskan dalam dokumen perjanjian, seperti yang tertulis dalam Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa; “Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung (negosiasi) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Oleh karena kesepakatan tertulis hasil negosiasi adalah suatu persetujuan di antara para pihak, maka selayaknya juga jika hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak telah dirugikan. Walau demikian masih terbuka kemungkinan untuk tetap dapat dibatalkan, jika memang dapat dibuktikan telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau paksaan, atau kesepakatan telah diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu. 63 Menurut penulis, bahwa negosiasi ini lebih banyak diwarnai dengan pertimbangan politis daripada pertimbangan atau argumen hukumnya. Namun demikian, dalam proses negosiasi, adakalanya argumen hukum tersebut lebih berfungsi untuk memperkuat kedudukan para pihak. Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya, para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa manakala cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk
63
Gunawan Widjaja, Loc.cit, hal. 88.
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan penyelesaian sengketa tersebut dengan cara lainnya, seperti arbitrase, mediasi, atau konsiliasi. 3. Mediasi Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5) UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. 64 Undang-undang tidak memberikan rumusan defnisi atau pengertian yang jelas dari mediasi maupun mediator. Dari literatur hukum, misalnya dalam Black’s Law Dictionary, Mediasi adalah: “a method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution”. (Mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan perselisihan hukum melalui partisipasi aktif pihak ketiga (mediator) yang bekerja untuk menemukan poin kesepakatan dan membuat orang yang menghadapi konflik menemukan hasil yang baik). 65 Christopher W.Moore, menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi pihak ketiga yang bisa diterima oleh pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Melainkan
64
Ibid. Hal. 90. Black’s Law Dictionary, Bryan A. Garner, Seventh Edition, West Group, 1999 halaman 996. Bandingkan juga definisi mediasi yang diberikan oleh para ahli hukum, seperti misalnya Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H. dalam bukunya “Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Suatu Pengantar, PT Fikahati Aneska, 2002. 65
Universitas Sumatera Utara
bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai
kata
sepakat
yang
diterima
oleh
masing-masing
dalam
suatu
persengketaan. 66 Mediasi, dari pengertian yang diberikan, jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator. Mediator adalah pihak yang ditunjuk oleh salah satu atau kedua pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa, dalam hal ini diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama. Sifatnya hanya rekomendatif atau usulan saja.Dalam hal menyelesaikan suatu sengketa, mediator bebas menentukan bagaimana cara penyelesaian sengketa yang sedang berlangsung dan mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang menguntungkan (win-win). Mediator seharusnya dapat mengetahui sejak awal apabila ada proses pemaksaan, ketidakjujuran atau posisi tawar menawar yang tidak seimbang diantara para pihak. Mediator juga berhak untuk memutuskan proses mediasi apabila telah terbukti menemukan unsur diatas. Mediator harus dapat membedakan kepentingan pribadi. 67 Beberapa hal penting dalam proses mediasi ini, yaitu pertama, penyelesaian perselisihan dilakukan dengan itikad baik (good faith) di antara para pihak dan keinginan sukarela untuk menyelesaikan masalah dengan mengesampingkan
66 67
Runtung Sitepu, Loc. cit, hal. 7. ABA Model Rules of Professional Conduct, Rule 2.2.
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian dengan proses arbitrase atau litigasi di Pengadilan Negeri. Jadi, di sini para pihak berperan aktif untuk mencari solusi atas sengketa yang timbul di antara mereka. Kedua, mediator tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat, tetapi mediator hanya sebagai penengah atau fasilitator di antara para yang
bersengketa
untuk
membantu
para
pihak
guna
mengidentifikasikan
permasalahan yang timbul dan menemukan cara pemecahan yang terbaik. Tidak seperti hakim atau arbiter yang mempunyai kemampuan teknis tertentu dalam menyelesaikan sengketa. Ketiga, hasil kesepakatan yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa akan dituangkan dalam perjanjian, yang mengikat kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka hubungan kerja sama di antara para pihak yang sebelumnya sudah terbina, dapat berjalan kembali. Apabila tidak dapat dicapai kesepakatan, maka para pihak dapat mengajukan penyelesaian masalahnya melalui lembaga arbitrase atau meneruskannya ke dalam proses litigasi. Segi positif dari proses mediasi adalah sebagai berikut: 68 a) Dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan jika membawa sengketa tersebut ke pengadilan atau arbitrase; b) Memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya hak-hak hukumnya saja;
68
Runtung Sitepu., “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, (Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006), hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
c) Memberi kesempatan kepada para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal di dalam menyelesaikan sengketa mereka; d) Memberikan kemampuan kepada para pihak untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya; e) Dapat mengubah hasil yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus; f) Memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya; dan g) Mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang diputuskan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase; Segi negatif dari penyelesaian sengketa dengan cara mediasi adalah mediator dapat saja dalam menjalankan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya. 69 Menurut penulis, hal yang harus diperhatikan dalam proses mediasi, seperti faktor kerahasiaan. Kemungkinan salah satu pihak mempunyai itikad yang tidak baik yang menjadikan proses ini sebagai peluang untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin sebelum akhirnya memutuskan untuk berlitigasi dan mediator yang mempunyai kemungkinan akan keberatan atau tuntutan para pihak apabila dianggap membuka atau membocorkan rahasia. Namun hal ini dapat diantisipasi melalui
69
Huala Adolf, Loc. cit, Hal.34
Universitas Sumatera Utara
semacam perjanjian bahwa sesuai dengan kode etik yang berlaku maka mediator tidak dapat dituntut untuk suatu rahasia yang diberikannya selama proses. 70 4. Konsiliasi Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. komisi ini disebut dengan komisi konsilisi. 71 Konsiliasi menurut Gary Goodpaster, yaitu suatu aliansi dari dua pihak atau lebih yang sepakat untuk bergabung dalam tindakan bersama atau terkoordinasi melawan pihak atau koalisi lain. 72 Konsiliasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan dengan mediasi. Komisi konsilisi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidak mengikat para pihak. 73 Persidangan suatu komisi konsilisi biasanya dimulai dari sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsilisi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsilisi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi usulan ini sifatnya tidaklah 70
Ibid. Huala Adolf, Ibid, hal. 22. 72 Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: ELIPS, 1999), hal. 1. 73 Peter Behrens., Alternative Methods of Disputes Settlement in International Economic Relations, dalam: Ernst-Ulrich Petersman and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Disputes in International and National Economic Law, (Fribourg UP, 1992), hal. 14. 71
Universitas Sumatera Utara
mengikat. Karena diterima atau tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak. 74 Menurut hemat penulis, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini, objektivitas dari konsiliasi dapat terjamin. 5. Arbitrase Arbitrase berasal dari kata Arbitrare (Latin), Arbitrage (Belanda), Arbitration (Inggris), Schiedspruch (Jerman), dan Arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. 75 Dalam Black’s Law Dictionary, arbitration is a process of dispute resolition in which a neutral third partry (arbitrator) renders a dicision after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. 76 Arbitrase adalah suatu institusi hukum di luar pengadilan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Batasan penulis mengenai arbitrase adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para 74
Ibid, hal. 23. Rachmadi Usman., Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal.1. 76 Bismar Nasution., Hukum Acara Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution, Makalah, Disampaikan Pada Pendidikan Khusus Advokat Kerjasa Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dan Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 75
Universitas Sumatera Utara
pihak secara sukarela untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat. Ada 3 (tiga) hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tersebut 77 : 1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian; 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;dan 3. perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (9) UU No. 30 Tahun 1999 dalam hal usahausaha alternatif penyelesaian sengketa melalui ngeosiasi, mediasi dan konsiliasi tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitarse atau Arbitrase Ad-Hoc, yang berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak. Menurut penulis, bahwa persyaratan terpenting dalam penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase adalah kata sepakat atau konsensus dari negara-negara yang bersengketa. Sepakat merupakan refleksi dan konsekuensi logis dari atribut negara yang berdaulat. Kedaulatan suatu negara menyatakan bahwa suatu negara tidak tunduk kepada subjek-subjek hukum internasional lainnya tanpa ada kesepakatan atau kehendak dari negara tersebut. Tanpa kata sepakat dari salah satu negara, badan arbitrase tidak pernah berfungsi. 77
Gunawan Widjaja, Loc.cit, hal. 97-98.
Universitas Sumatera Utara
F. Masalah
Kepastian
Hukum
Dalam
Penyelesaian
Sengketa
Bisnis
Internasional Indonesia Setiap penyelesaian suatu sengketa baik melalui proses litigasi (pengadilan), maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti: negoisasi, mediasi, dan konsiliasi membutuhkan adanya kepastian hukum dari setiap putusan yang dihasilkan. Putusan yang dihasilkan tersebut pada intinya diharapkan dapat menghasilkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah bagi para pihak yang bersengketa. Di sisi lain, putusan tersebut tidak boleh membuat jurang pemisah antara pihak yang memenangkan perkara dengan pihak yang dikalahkan. Dalam transaksi bisnis internasional masalah kepastian hukum ini sangat menentukan dan mempunyai pengaruh secara langsung terhadap kredibilitas dan reputasi para pelaku bisnis transaksi bisnis kedepannya. 1. Kepastian hukum sebagai pertimbangan utama Investor Transaksi bisnis Internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut, dan untuk harapan tersebut, para pihak bersedia menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebut, kontrak harus diikat sebagai sumber kewajiban moral dan juga sebagai sumber kewajiban hukum. yang pelaksanaannya
Universitas Sumatera Utara
wajib ditaati. 78 Sebagai konsekuensinya, hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut. 79 Selain faktor ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. 80 Tetapi kepastian hukum merupakan pertimbangan yang utama oleh pelaku bisnis dalam hal akan melakukan investasi, sebab pengusaha atau Investor sangat membutuhkan ketenangan dalam berinvestasi/berusaha, berharap mendapatkan insentif yang memadai dari pemerintah dimana para pelaku bisnis itu berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk mengembangkan usahanya. Masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi, tidak seluruhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam undang-undang tersebut. Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung oleh substansi hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek dan ditentukan pula aspek kepastian dalam strukrut penegakan hukum. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum setiap
78
Todung Mulya Lubis., ”Infrastruktur dan Kepastian Hukum”, (Kompas: Selasa, 14 Juni
2005). 79
Fred B.G. Tambunan., ”Kekuatan Mengikat Perjanjian dan Batas-Batasnya”, Makalah, (Jakarta: Juli 1998), hal. 1. 80 Sentosa Sembiring., Hukum Investasi, (Bandung: Nuansa Alia, 2007), hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 81 Bila suatu negara ingin menjadi tujuan berinvestasi oleh para pelaku bisnis nasional maupun internasional, maka hukum yang terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian hukum. Menurut hemat penulis, bahwa masalah kepastian hukum dalam transaksi bisnis internasional di Indonesia masih sangat rendah dan sangat mengurangi minat para investor untuk berinvestasi. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dengan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, Badan Usaha Milik Negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap diakibatkan adanya praktek mafia peradilan ataupun ketidakpahaman terhadap substansi kontrak yang berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor asing mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia, Aneka kepastian persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia. Sejumlah kasus diantaranya, termasuk PT. Asuransi Manulife, PT. Prudential Life Assurance, PT. Danareksa Jakarta, PT. Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper, serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi
81
Mahmul Siregar., ”Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27 Nomor 24 Tahun 2008, hal. 60, dan bandingkan dengan Pasal 3 Undan-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.
Universitas Sumatera Utara
komersial yang dibuat berdasarkan perjanjian Internasional. 82
Kondisi ini
menimbulkan dampak besar terhadap tingkat resiko Indonesia di pasar modal Internasional dan atas arus modal langsung. 83 2. Kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing Terhadap
timbulnya
suatu
sengketa
transaksi
bisnis
internasional,
penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi (pengadilan), akan tetapi dampak kegiatan bisnis yang sangat pesat terhadap lembaga hukum berakibat terhadap pengadilan, dimana pengadilan dianggap tidak profesional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen. 84 Akibatnya para investor dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya memilih jalan lain yakni melalui penyelesaian sengketa arbitrase. Banyak faktor yang mendorong para pelaku transaksi bisnis Internasional memilih arbitrase, di antaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national character. 85 Alasan tersebut di atas, selalu menjadi pertimbangan pihak asing melakukan transaksi bisnis di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah kepada aspek kepastian hukum, dan
82
Hikmahanto Juwana., ”Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007, diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-2html, diakses terakhir tanggal 25 September 2008. 83 Ibid. 84 United Kingdom Report, Departement of Trade and Industry, (London: 1996,) hal. 3. 85 Erman Suparman., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi penyempitan nasionalisme. 3. Kepastian hukum dalam kepailitan Salah satu bidang hukum yang terkait dengan bisnis Internasional adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan mejadi salah satu faktor pertimbangan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Secara konvensional hukum kepailitan lebih banyak dibicarakan dalam konteks hukum nasional. Namun dengan adanya transaksi bisnis Internasional, kepastian hukum dalam hukum kepailitan menjadi perhatian masyarakat bisnis Internasional dan dapat mempengaruhi iklim investasi suatu negara. 86 Ketidakpastian Hukum dalam perkara PT. Prudential Life Assurance, dalam menghadapi gugatan dan permohonan pailit yang diajukan Lee Bon Siong (warga negara Malaysia) yang berbuntut dengan pailitnya perusahaan yang tergolong top five tersebut di Indonesia. Namun, kepailitan Prudential tidak berlangsung lama karena Mahkamah Agung, tidak sampai 30 hari membatalkan putusan pengadilan niaga. 87 Berdasarkan perkara tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hukum kepailitan di Indonesia tidak jelas mengatur tentang konsep insolvensi dan tidak mengenal konsep insolvensi test, sehingga sulit dibedakan peristiwa berhenti membayar karena tidak mampu membayar. Peristiwa pertama mengarah kepada terjadinya keadaan
86
Jurnal Hukum Bisnis, Loc. cit, hal. 64. “Sepuluh Perkara Litigasi Komersil Paling Menghebohkan http://www.hukumonline.com, diakses terakhir tanggal 23 September 2008. 87
2004”,
Sumber,
Universitas Sumatera Utara
pailit sedangkan peristiwa kedua lebih mengarah kepada perbuatan cidera janji yang semestinya diselesaikan melalui gugatan perdata biasa. G. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh karena hal tersebut, diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum peradilan yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lostlost) atau “menang-kalah” (win-lost) 88 . Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya
88
Teguh Soedarsono., Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi Makalah mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006.
Universitas Sumatera Utara
adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution 89 . Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR). Bagian dari Alternative Dispute Resolution (ADR) atau disebut juga dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan penerapan ADR di antaranya adalah mediasi, konsiliasi, negosiasi, telah berkembang lama. Misalnya, di Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dibentuk Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau “Minji Chotei Ho” pada tahun 1951. 90 Negara Cina dan Jepang sudah lama mengenal mediasi yang juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina yang
89
Mas Achmad Santosa, & Wiwiek Awiati., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”, Naskah Presentasi, ICEL, (Jakarta: tanpa penerbit dan tanpa tahun), hal. 5. 90 Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988), hal. 492.
Universitas Sumatera Utara
tidak suka pada lembaga Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Pada saat itu sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Pengalaman Jepang setelah Tokugawa, tepatnya pada era Restorasi Meiji tahun 1868 Jepang telah berhubungan dengan dunia Barat, dimana orang-orang Jepang berangkat untuk belajar, misalnya ke Jerman mempelajari perdagangan maritim. Tahun 1895 Jepang menjadi negara Modern dan telah menganut sistem hukum modern. 91 Namun, pada saat sekarang ini Jepang dihadapkan dengan gelombang globalisasi, yang merupakan gelombang ketiga reformasi hukum secara besar-besaran setelah modernisasi Meiji. Globalisasi ekonomi Jepang membuat ”sistem” tradisional menjadi besar dan juga kini membutuhkan sistem baru yang menunjukkan standar global. Aktivitas perdagangan dan bisnis Jepang, baik di dalam dan luar Jepang, telah membuat makin banyak sengketa perdagangan dalam lingkup cross-border. Oleh karena itu, metode penyelesaian sengketa dalam perdagangan harus dikaji sesuai dengan standar global. 92 Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori (conciliatory culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang
91
Dan Fenno Henderson., Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1965), hal. 47. 92 Yasunobu Sato., “The Japanese Model of Dispute Processing”, Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November 2001, Bangkok, hal. 152.
Universitas Sumatera Utara
menekankan
keharmonisan,
yang
pada
gilirannya
mempengaruhi
untuk
mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi. 93 Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. 94 Penerapan ADR di Amerika Serikat yang pada umumnya merujuk kepada alternatif-alternatif adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti negosiasi, mediasi, arbitrase, mini-trial dan summary jury trial, 95 dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi. Legislasi yang dilaksanakan pada tahun 1960 telah menjamin berbagai perlindungan individu dari hak-hak konsumen sampai hak sipil. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak tersebut melalui sistem hukum sudah menjadi beban yang rumit. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif terhadap ajudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan telah menjadi cara hidup bagi
93
Miwa Yamada, “A Perspective On Comparative Study of DisputeSettlement Institutions and Sicioeconomic Development,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,”hal. 19-20. 94 Ibid, hal. 156. 95 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
orang Amerika yang mengupayakan keadilan baik secara sukarela (voluntarily) maupun tidak sukarela (involuntarily). 96 Berdasarkan latar belakang munculnya ADR, baik di Amerika yang didasarkan atas ketidakpuasan (dissatisfaction) masyarakat pada administrasi pengadilan, maupun di negara-negara Asia Timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia yang juga mempunyai kultur yang mendukung ADR tersebut. Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 97 menyebutkan, bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. H. Arbitrase Sebagai Pilihan yang Paling Populer Berbagai macam bentuk penyelesaian sengketa baik melalui proses litigasi (pengadilan), mediasi, negosiasi, maupun konsiliasi tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal pelaksanaannya, baik pengambilan keputusannya maupun pelaksanaan keputusannya. Dari semua proses penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional diatas ternyata forum arbitrase dipandang sebagai forum yang paling 96 97
Ibid, hal. 4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Universitas Sumatera Utara
diminati dan disukai oleh para pihak yang bersengketa. Forum arbitrase ini merupakan ”pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketasengketa diantara kalangan pengusaha dan sesuai kebutuhan atau keinginan mereka. Hal ini dikarenakan arbitrase memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan sistem peradilan formal di pengadilan. 1. Kelebihan arbitrase Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa Internasional. 98 Keunggulan atau keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, antara lain berkenaan dengan: 99 a) Kebebasan, kepercayaan dan keamanan. Arbitrase pada umumnya dipilih oleh pengusaha, pedagang atau investor karena memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada investor. Selain itu, secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga terhadap kemungkinan putusan Hakim yang berat sebelah, melindungi kepentingan pihak lokal dari mereka yang terlibat dalam suatu perkara;
98
Huala Adolf., Loc. cit, hal. 23. Gary Goodpaster et.al, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk, eds, “Arbitrase di Indonesia”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 19-21. 99
Universitas Sumatera Utara
b) Keahlian arbiter (expertise). Pihak yang bersengketa sering memilih arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang besar pada keahlian para arbiter mengenai
permasalahan
yang
dipersengketakan
dibandingkan
dengan
menyerahkan kepada pengadilan umum. Mereka dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suatu panel arbitrase yang memiliki keahlian terhadap suatu pokok permasalahan yang dipersengketakan. Hal tersebut tidak dapat dijamin dalam sistem badan peradilan umum seperti Pengadilan Negeri di Indonesia; c) Proses pengambilan keputusan melalui arbitrase seringkali lebih cepat dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. Hal ini dikarenakan putusan arbitrase diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan. Putusan arbitrase ditetapkan bersifat final dan mengikat; 100 d) Kerahasiaan; Arbitrase berlangsung dalam lingkungan yang bersifat privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase bersifat tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan para pihak akibat penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu hal ini juga dapat melindungi mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibat, seperti kehilangan reputasi, bisnis dan pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya yang dalam proses judikasi publik dapat mengakibatkan sengketa secara terbuka;
100
Proses penyelesaian sengketa di dalam kasus-kasus yang sangat rumit, proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase ternyata tidak lebih cepat dari litigasi di pengadilan. Biayanya terkadang lebih tinggi pula, karena pihak harus membayar arbitrator yang sudah sangat profesional.
Universitas Sumatera Utara
e) Bersifat non precedent. Sistem hukum yang bersifat preseden (precedent) mempunyai pengaruh penting dalam pengambilan keputusan yang mengakibatkan keputusan arbitrase pada umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Para pihak khawatir akan menciptakan preseden yang merugikan yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingannya di masa mendatang. Karena itu untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan putusan arbitrase yang berbeda sebab arbitrase tidak akan memberikan preseden; dan f) Kepekaan arbitrator. Para Hakim dan Arbiter menetapkan ketentuan hukum untuk membantu penyelesaian perkara yang mereka hadapi, namun dalam hal-hal yang relevan, arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan, realitas, dan praktek dagang para pihak. Sebaliknya, pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat publik, seringkali memanfaatkan sengketa privat untuk lebih menonjolkan nilai-nilai masyarakat. Akibatnya di dalam penyelesaian sengketa privat, pertimbangan Hakim lebih mengutamakan kepentingan umum. Kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan. Arbiter pada umumnya menerapkan pola nilai-nilai sebaliknya. Pengusaha asing selain cenderung memilih hukum negaranya sendiri, juga lebih menyukai pilihan forum arbitrase di luar negeri. Pilihan hukum asing dan pilihan forum arbitrase di luar negeri dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hukum dan pengadilan di negera berkembang kurang dapat memberikan rasa aman bagi mereka. Menurut hemat penulis, pengusaha asing khawatir terhadap hukum dan Hakim di negara berkembang, karena bagi pengusaha asing, hukum di negara
Universitas Sumatera Utara
berkembang sulit untuk diketahui dan dipelajari. Disamping itu juga ada ketakutan atau keraguan pada pengadilan atau Hakim yang akan melaksanakan hukum yang kurang diketahui tersebut. Munir Fuady, mengatakan kelebihan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan secara konvensional adalah sebagai berikut : 101 a) Prosedur tidak berbelit-belit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat; b) Biaya lebih murah; c) Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum; d) Hukum terhadap prosedur pembuktian lebih rileks; e) Para pihak dapat memilih hukum mana yang diberlakukan arbitrase; f) Para pihak dapat memilih sendiri arbiternya; g) Dapat memilih arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya; h) Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi; i) Keputusan umumnya final and binding (tanpa harus banding atau kasasi); j)
Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali;
k) Prosedur arbitrase lebih mudah oleh masyarakat luas; dan l) Menutup kemungkinan untuk dilakukan ”forum shopping”. Masyarakat khususnya para pelaku bisnis dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya melalui cara-cara dalam arbitrase adalah karena; adanya 101
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
kebebasan, kepercayaan, kedamaian, wasit atau arbiter memiliki keahlian, lebih cepat dan hemat biaya, bersifat rahasia, adanya kepekatan arbiter atau wasit, bersifat non preseden, pelaksanaan putusannya lebih mudah dilakukan dan bersifat akhir dan mengikat. 2. Kekurangan arbitrase Berkaitan dengan hal-hal diatas, penulis menyimpulkan bahwa terhadap kelebihan dari proses arbitrase tersebut ternyata arbitrase juga memiliki banyak kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya, di antaranya adalah sebagai beikut : a) Arbiter mempunyai kekuasaan yang terbatas dibandingkan dengan hakim di pengadilan. Arbiter tidak dapat menarik pihak ketiga yang tidak secara kontraktual menjadi pihak dalam arbitrase; 102 b) Kualitas putusannya sangat tergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa norma yang cukup untuk menjaga standar mutu putusan arbitrase. Oleh karena itu, sering dikatakan, ”an arbitration is as good as arbitrators”; 103 dan c) Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada dan semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan. 104 Terhadap kelebihan dan kekurangan dalam proses abitrase tersebut di atas, hendaknya para pihak yang bersengketa yang memilih forum arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi
102 103 104
Erman Rajagukguk. Loc.cit, hal 194. Munir Fuady, Op.Cit, hal. 95. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
setiap putusan yang dihasilkan oleh Arbiter dalam keputusannya, baik itu memberatkan ataupun meringankan para pihak yang bersengketa. 3. Kewenangan (Kompetensi atau Yurisdiksi) Arbitrase Dalam sistem Common Law, terdapat beberapa kategori yurisdiksi pengadilan. Jika suatu gugatan berkaitan dengan hak-hak atau kepentingankepentingan semua orang mengenai suatu hal atau benda, pengadilan dapat secara langsung menjalankan kekuasaannya terhadap suatu hal atau benda, meskipun pengadilan mungkin tidak mempunyai yurisdiksi terhadap orang-orang yang kepentingannya terpengaruh. Yurisdiksi pengadilan semacam ini disebut yurisdiksi in rem. 105 Yurisdiksi pengadilan di dalam Hukum Perdata Internasional merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. Yurisdiksi pengadilan di dasarkan pada lokasi atau tempat objek yang terletak di dalam wilayah yang akan diberlakukan yurisdiksi. Jika gugatan yang dimaksudkan untuk meminta tanggung jawab seseorang atau membebankan kewajiban terhadap seseorang, maka pengadilan memberlakukan yurisdiksi in personam dan gugatan tersebut merupakan gugatan in personam. 106
105 106
J.G. Castel, Op. Cit, hal. 59. Ibid. hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada Het Herziene Indonesiche Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal (woonplaats) atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada (werkelijk verbliff). Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Pasal 118 ayat (4) HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih tersebut (Chice of Forum). Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara dimana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan. Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering (RV) 107 mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar 107
Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai pedoman.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim. 108 Uraian di atas memberikan arahan untuk dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan imunitas negara berdaulat dan staf diplomatik. 109 Para pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka dapat menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih Hakim lain. Namun, sedemikian tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan Hakim tidak berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih Hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada Hakim Belanda yang relatif berwenang mengadili perkara itu.110 Hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau 108
Sudargo Gautama, Op. cit, hal. 211. Ibid, hal. 213. 110 Ibid, hal. 233. 109
Universitas Sumatera Utara
menunjuk kepada badan arbitrase lain tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka Hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Misalnya dalam sebuah kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha Amerika Serikat di Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York. Jika terjadi sengketa antara pihak-pihak, kemudian pengusaha Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka seharusnya Hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Para pihak di dalam substansi kontrak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau Badan Arbitrase Syari’ah Nasional, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan tersebut. Pilihan yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan diatur dalam Konvensi New York tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Hasil konvensi tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981. Pengadilan Arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia
Universitas Sumatera Utara
mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi yang terdapat di dalam kontrak yang bersangkutan. Badan-badan peradilan di Indonesia juga negara lainnya yang terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili suatu sengketa dimana para pihak telah menentukan pilihan terhadap arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi mereka. 111 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terkait di dalam perjanjian arbitrase. Pilihan yurisdiksi berperkara juga secara strategis harus diperhitungkan terhadap wilayah hukum dari mana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan yang sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut berada. 112
111
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung, Alumni, 1985), hal. 23. 112 Richardo Simanjuntak, Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, Makalah dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 4 tahun 2003, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara