PELEMBAGAAN MEDIASI SEBAGAI SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA FORMAL DI INDONESIA Suyud Margono, SH, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Advokat, Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Terdaftar, Mediator Ketua Pokja - Lembaga Mediasi HAKI (LemHAKI) Abstract The rapid of development and information has changed various aspects of business conduct and world economy. Then, in increasing the development, The Indonesia economic law should also anticipated new development product, such as international global trading. Most of various business transaction is more complex issued and they need fair trial institutions and participation of society to resolved their dispute through an amicable solution. This paper is an attempt to explain the characteristic of Mediation as part of Alternative Dispute Resolution (ADR) in a new model or concept to our society to resolve their disputei difference beside litigation procedure (court/ judicial system). In the other hand, institutionalization of Mediation in Civil Court System to settle private or business cases as court annexed to mediation is a condition sine qua non. Formalization of Mediation as dispute resolution system is new policy and a trend international community and prior of conduct in reforming Indonesia justice system. Key words : Institutionalization, Mediation, Court Annexed to Mediation, Dispute Resolution System. A. PENDAHULUAN Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/ difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus diselesaikan. Membiarkan sengketa dagang terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efesien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan di samping itu, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat. Kalaupun akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa diantara para pihak yang terlibat, peranan penasihat hukum, konsultan dalam menyelesaikan sengketa itu dihadapkan pada alternatif penyelesaian yang dirasakan paling menguntungkan kepentingan kliennya (Suyud Margono, 2000: 5). Secara Konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain) Penyelesaian sengketa bisnis model tidak direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidak pastian. Cara penyelesaian seperti itu tidak diterima dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak - yang bersengketa. Disamping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui litigasi sistem peradilan (ordinary court), dalam praktek di Indonesia dikenalkan pula model yang relatif baru. Model ini cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama ADR (alternative dispute resolution) yang diantaranya meliputi negosiasi, mediasi, dan arbitrase (Wahyu Nugroho, 1995: 21). Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menutup peluang penyelesaian perkara tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi, penggunaan Mediasi sebagai salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa (ADR) diharapkan efektif sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa (Basuki Resko Wibowo, 1996: 25) di luar pengadilan dengan mempertimbangkan segala bentuk efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa. Pelembagaan Mediasi sebagai salah satu sistem penyelesaian sengketa diluar pengadilan telah dilakukan, disamping itu idealisme Konsep Mediasi digunakan dalam ruang lingkup Perdamaian untuk dilaksanakan satu sistem dalam pengadilan merupakan suatu yang urgen (condito sine quanon) terhadap banyaknya perkara dipengadilan. Disamping itu terciptanya peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan keinginan dari para pencari keadilan dimanapun berada (Pasal 24 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kondisi riil dalam Praktek Peradilan khususnya Pengadilan Negeri setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah perkara, artinya perkara-perkara di Pengadilan Tinggi dan terutama di Mahkamah Agung semakin meningkat pula jumlah perkaranya, peningkatan jumlah perkara secara signifikan tersebut yang masuk tentunya menjadi tugas berat yang harus diselesaikan oleh para penegak peradilan, permasalahan tersebut disebabkan oleh sistem peradilan. Bahwa semua putusan Pengadilan Negeri kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, dapat dimintakan banding dan seterusnya dapat pula dimintakan kasasi bahkan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum (Legal Action) yang terakhir (Pasal 21, 22 dan 23 Undangundang No. 4 Tahun 2004). Sesungguhnya lembaga perdamaian sudah dikenal dan lama dilakukan dalam praktek acara di Pengadilan, namun mekanisme ini tidak didayagunakan oleh Hakim Pengadilan sebelum memutus suatu privat, sehingga penyelesaian damai dipengadilan kurang begitu populer atau tidak dikenal masyarakat khususnya bagi pencari keadilan (Pasal 130 HIR/154 RBg). Pengetahuan masyarakat terhadap pengadilan yaitu sebagai : a. Lembaga pemutus masalah masalah yang menurut hukum tidak dapat diselesaikan melalui cara damai, b. Lembaga legalitas yang memberikan putusan yang bersifat tetap selanjutnya harus dipatuhi oleh Para Pihak yang berperkara, c. Lembaga terkahir tempat Para Pihak yang berperkara mencari keadilan Pada awalnya muncul pola pikir mengapa diperlukan pengintegrasian komponen Mediasi ke dalam Undang-Undang mengenai arbitrase termasuk memasukkan pengintegrasian
penyelesaian perkara secara damai di dalam pengadilan (court annexed to mediation). Pemikiran tersebut dimaksudkan untuk menjadikan Mediasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa baik di dalam atau diluar pengadilan, antara lain : a. Terdapat peran serta masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya sendiri (akses kepada keadilan) b. Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga peradilan, maka akan terjadi proses seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat; c. Sebagai cara meningkatkan daya saing karena terdapat kepastian hukum dan tersedianya sistem penyelesaian sengketa alternatif yang efesien. d. Lembaga Mediasi diharapkan mendorong sosialisasi lembagalembaga penyelesaian sengketa dimasyarakat tersebut guna meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakar. Pelembagaan Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif yang bersifat formalistik tidak cukup dengan dukungan budaya musyawarah/mufakat dari masyarakat, melainkan perlu pengembangan dan pelembagaan meliputi perundang-undangan untuk memberikan landasan hukum, pembentukan assosiasi profesi atau jasa Mediator profesional. Disamping itu,dengan dimasukkannya konsepsi Mediasi dalam bentuk Undang-undang seharusnya tidak bertentangan dengan konsep dasar atau filosofis Mediasi itu sendiri yaitu memberikan otonomi atau kebebasan para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau dispute secara sukarela baik diluar ataupun di lembaga pengadilan. Bentuk dan unsur-unsur pelembagaan dan pendayagunaan Mediasi terletak pada, antara lain : a. Perangkat perundang-undangan; b. Sistematisasi atau aturan main yang jelas dan prosedur pendayagunaan; c. Kebutuhan penyedia jasa profesional; d. Sumberdaya manusia; dan e. Pemasyarakatan. Untuk itu paling tidak terdapat 2 (dua) pertanyaan utama berdasarkan latar belakang tersebut diatas yang menjadi ruang lingkup permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah, model Mediasi sebagai sistem penyelesaian sengketa baik didalam & diluar pengadilan ? b. Efektifkan Perangkat Mediasi baik yang dilakukan dalam pengadilan atau diluar pengadilan ? B. RUANG LINGKUP (ATURAN HUKUM) MEDIASI Konteks penyelesaian sengketa secara damai yang berlaku di Indonesia, sebetulnya telah diatur dibeberapa ketentuan hukum yang terpisah-pisah. Menurut hemat kami perangkat perundang-undangan penyelesaian sengketa damai yang didalamnya terdapat konnsep mediasi, diatur dalam ketentuan sebagai berikut: a. Pasal 3 ayat (1) UU No, 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman b. Pengaturan Perdamaian KUHPerdata c. Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa d. Pasal 130 jo Pasal 131 HIR e. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Damai (Mediasi) di Pengadilan 1. Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2004 Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kekuastuui kehakiman kami kutipkan berikut ini Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 :
“Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undangundang”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penelesaian perkara dilakukan diluar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”. 2. Pengaturan Mediasi (Perdamaian) dalam KUHPerdata Beberapa Ketentuan atau pengaturan perdamaian yang didalamnya terdapat konsep mediasi didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata), antara lain : • Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan : “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara”. • Pasal 1855 KUHPerdata, Menentukan : “Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak situ-satunya dan apa yang dituliskan”. •
Pasal 1858 KUHPerdata, Menentukan : “Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu Hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak dapatkah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah situ pihak dirugikan”.
3. Mediasi Diluar Pengadilan (Perangkat UU No. 30 Tahun 1999) Dasar hukum implementasi Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai bentuk formalisasi alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan telah diupayakan melalui perangkat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dasar pengaturan Mediasi sebagai salah satu bentuk alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan bentuk pelembagaan penyelesaian sengketa alternatif melalui Undang undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara : konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 4. Pasal 130 jo Pasal 131 HIR tentang Penyelesaian Sengketa di Dalam Pengadilan Penyelesaian suatu perkara atau sengketa yang diajukan atau melalui proses gugatan di dalam pengadilan pada proses pemeriksaannya selalu diawali dengan upaya mendamaikan para pihak yang dilakukan oleh Hakim (vide Pasal 130 HIR). Berdasrkan ketentuan Pasal 131 ayat (1) HIR ditentukan yaitu : “Jika kedua beleh pihak datang, akan tetapi mereka tidak dapat diperdamaikan (hal ini harus disebutkan dalam proses verbal persidangan), maka surat dimasukkan oleh mereka itu dibacakan dan seterusnya”.
Apabila upaya mediasi (damai) dari para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) HIR berhasil, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang kemudian diajukan kesidang Pengadilan (acte van dading), dimana para pihak wajib mentaati dan memenuhi isi perjanjian. Perjanjian dibuat dalam suatu penetapan yang memiliki kekuatan sebagai putusan Hakim Yang tidak dapat dimintakan banding (Pasal 130 ayat (3). Dengan tidak dapat dimintakan banding terhadap putusan perdamaian tersebut, maka tentunya juga tidak dapat dimintakan Kasasi, hal ini sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004. Manfaat putusan perdamaian dalam Pengadilan : a. Putusan perdamaian bersumber pada kesepakatan para pihak yang bersengketa, dengan hasil penyelesaian menang-menang (win-win solution) ; b. Putusan perdamaian langsung berkekuatan hukum tetap, maka Dalam suatu pihak yang lalai atau tidak bersedia melaksanakan perjanjian tersebut, maka atas permohonan pihak lainnya putusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan; c. Putusan perdamaian secara tidak langsung membatasi perkara-perkara kasasi.
5. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan Sebagaimana diuraikan diatas bahwa pada Pasal 130 HIR menggunakan istilah perdamaian, yaitu perdamaian antara kedua belah pihak yang berperkara sebagai upaya awal yang dilakukan oleh Hakim sebelum dilakukannya pemeriksaan formil atau pun materiil sampai sebelum putusan pada sidang di pengadilan tingkat pertama. Karena itulah, mediasi dibutuhkan sebagai salah satu cara mencapai Perdamaian diantara Para Pihak yang bersengketa di Pengadilan. Untuk itu Pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008, menentukan yaitu Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. PERMA No. 1 Tahun 2008 untuk proses mediasi atas perkara di Pengadilan memberlakukan secara wajib (compulsory) bagi seluruh perkara Perdata pada tingkat pertama di Indonesia. Dengan demikian Setiap hakim dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi pada setiap sebelum dimulainya pemeriksaan perkara pada sidang pengadilan tingkat pertama. Oleh karenanya apabila prosedur mediasi tidak dilakukan atau dilanggar yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. C. MEDIASI MELALUI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ADR) Dengan landasan hukum dengan UU No. 30 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138) tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bagi pelaksanaan ADR ini, maka memberikan kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yang diharapkan prosedur informal dan efesien. Di lain pihak hal ini memberikan kernudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri dan mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul. Pada umumnya sebagaimana kita temukan dalam praktek atau aktifitas bisnis dapat terlihat dalam setiap perjanjian yang dilakukan terutama dalam bidang perdata khususnya bidang perdagangan/business (Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999),
masyarakat umumnya dihadapkan pada pilihan penyelesaian sengketa secara litigasi/ Pengadilan tetapi sekarang masyarakat dihadapkan atau mendapat pilihan untuk menggunakan sarana atau lembaga ADR sebagai pilihan penyelesaian sengketanya yang mungkin timbul dalam aktifitas bisnis mereka. Pengertian alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase telah diperkenalkan sebagai suatu institusi/lembaga yang dipilih para pihak yang mengikat, apabila timbul beda pendapat atau sengketa. Dengan demikian alternatif penyelesaian sengketa oleh undang-undang bertindak sebagai lembaga independen di luar arbitrase. Dan arbitrase oleh undang-undang mempunyai ketentuan, cara dan syarat-syarat tersendiri untuk pemberlakuan folmalitasnya. Namun kedua-duanya terdapat kesamaan mengenai bentuk sengketa yang dapat diselesaikan, yaitu : a. Sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang perdagangan; dan b. Menurut peraturan perundang-undangan sengketa atau beda pendapat tersebut dapat diajukan dengan upaya “damai” (perdamaian). Bentuk kesepakatan para pihak mengenai penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak terdapat suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian khususnya perjanjian dagang dan diperlukannya Pernyataan dan para pihak, bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999, Para Pihak dapat menggunakan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi ataupun penilaian ahli, diselesaikan dalam suatu pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Ketentuan ini penting sekali karena memberikan keleluasaan para pihak untuk menetapkan aturan main (rule of the games) terhadap penyelesaian konfliknya, meskipun hanya diberikan waktu maksimal 14 hari bagi para pihak untuk menyelesaiakan sengketanya. Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat memperoleh jalan buntu atau tidak dapat diselesaikan dan para pihak belum menuangkan dalam perjanjian meraka, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat tersebut, diselesaikan melalui bantuan atau jasa seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan batasan atau memberikan pengaturan terhadap lembaga penyedia jasa (penasehat ahli, mediator), tetapi hanya memberikan batasan pada lembaga alternatif penyelesaian sengketa Yang menunjuk seorang mediator atau penasehat ahli. Lantas kemana para pihak akan mencari Lembaga penyedia jasa (negosiator, mediator, penilai ahli atau expert appraisal) profesional ditempuh? Pertanyaan ini menjadi penting bagi masyarakat terutama dalam kenyataan praktek. Karena itu paling tidak dalam UU No. 30 Tahun 1999 perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga ADR tersebut Dalam undang-undang disebutkan Lembaga ADR menunjuk mediator atau penasehat ahli. Dimana mediator atau penasehat ahli itu didapat? Di lembaga ADRkah atau mediator, penasehat ahli yang profesional berdiri secara independen. Jangankan lembaga penyedia jasanya sedangkan syarat-syarat, pengangkatan untuk mediator, negosiator, penasehat. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih maupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi
sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha madiasi harus sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat dalam alternatif penyelesaian sengketa ini peran mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 lebih diutamakan (Pasal 6 ayat 4 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan demikian terlihat bahwa pengadilan sebagai peran lembaga judisial tidak dapat dipungkiri lagi kekuatan mengikat yang berkekuatan hukum. Tetapi dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak diatur bagaimana jika kesepakatan atau beda pendapat yang sudah didaftarkan tidak dilaksanakan oleh para pihak sampai batas waktu yang sudah ditentukan. Konteks Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif ADR (Alternative Dispute Resolution) dilembagakan dalam ketentuan Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya diatur dalam 1 (satu) pasal yaitu Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Beberapa bentuk perdamaian (termasuk variasi mediasi) penyelesaian sengketa alternatif tersebut antara lain : a. Negosiasi (Pasal 6 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999) b. Mediasi (Pasal 6 ayat (3) s/d ayat (8) UU No. 30 Tahun 1999) c. Mediasi Arbitrase (Med-Arb) (Pasal 6 ayat (9) UU No. 30 Tahun 1999) Kesepakatan damai hasil negosiasi, mediasi ataupun MediasiArbitrase wajib dilakukan pendafaran karena kesepakatannya merupakan kekuatan mengikat. Bentuk atau format kesepakatan dunai secara tertulis tersebut dituangkan dalam perjanjian perdamaian yang pendaftarannya wajib dilakukan pada Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan damai. Perjanjian perdamaian hasil negosiasi, mediasi ataupun Mediasi Arbitrase disebut bersifat final dan mengikat (final & binding) para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik, apabila kesepakatan damai dibuat dalam akta notaris, Perjanjian Mediasi perdamaian tersebut merupakan akta otentik. D. MEDIASI PADA PENGADILAN atau COURT ANNEXED TO MEDIATION (Perspektif Peraturan Mahkamah Agung/ PERMA No. I Tahun 2008) 1. Lingkup Penyelesaian Mediasi Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung menurut Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 adalah sebagai berikut : a. Memeriksa dan memutuskan permohonan kasasi, permohonan PK (Peninjauan Kembali) dan memeriksa sengketa tentang kewenangan mengadili. b. Memberi pertimbangan hukum kepada Lembaga Tinggi Negara. c. Memberi nasehat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi. d. Menguji secara materiil peraturan perundang-undangan Undang-undang. e. Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan.
Pasal 130 HIR menggunakan istilah perdamaian, yaitu perdamaian antara kedua belah pihak yang berperkara sebagai upaya awal yang dilakukan oleh Hakim. Karena itulah, mediasi dilkukan sebagai salah satu cara memcapai Perdamaian diantara Para Pihak yang bersengkta di Pengadilan. Untuk itu Pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008, menyatakan bahwa “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Pemberlakukan PERMA No.1 Tahun 2008 untuk proses mediasi atas perkara di Pengadilan memberikan ruang lingkup dan Kekuatan pemberlakukan yang bersifat imperatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2), (3) dan (4), yaitu : (1) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini (2) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Bahwa tidak semua perkara perdata yang diajukan penyelesaian pada tingkat pertama dapat diselesaikan melalui mediasi dipengadilan, yang tentunya merupakan perkara/ kasus khusus yang memiliki kompetensi dan lembaga penyelesaian perkara tersendiri antara lain : a. Perkara diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga; b. Perkara diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial; c. Keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; d. Pengawas persaingan Usaha 2. Peran Mediator Peran mediator terhadap pelembagaan mediasi atas sengketa di pengadilan memiliki peran yang penting. Untuk itu dalam PERMA No.1 Tahun 2008 ini memberikan ketegasan peran Mediator. Paling tidak Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa, tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian (Pasal 1 Pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008). Siapakah Meditor yang dimaksud dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, Pada prinsipnya dibagi menjadi 2 bagian : 1) Bersertifikat (Hakim & Non Hakim) 2) Non-Sertifikat (Berlaku bagi Hakim dilingkungan Pengadilan belum ada yang bersertifikat. Selanjutnya Kategori tersebut yang sekarang ini berpraktek dan tentunya sesuai dengan ketentuan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 yaitu : 1) Hakim (Non-Sertifikat Mediator) 2) Hakim (Bersertifikat Mediator) 3) Advokat (Bersertifikat Mediator) 4) Profesi Non Hukum (Bersertifikat Mediator) Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 ditentukan pada asasnya setiap orang yang menjalankan fungsi mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia 2008). Dalam menjalankan fungsinya Mediator wajib
menanti pedoman perilaku Mediator, untuk itu Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku Mediator. 3. Tahapan dan Proses Mediasi a. Tahap Pra - Mediasi Merupakan kewajiban bagi Hakim yang memeriksa perkara dan Kuasa Hukum masingmasing Pihak yang berperkara untuk menempuh mediasi (Pasal 7 ayat 3 s/d ayat 6). Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali Para Pihak mengendaki lain. Para Pihak yang bersengketa wajib Menempuh Mediasi dengan etikad baik, pelanggaran atas etikad baik ini dapat menjadi alasan mundurnya salah satu Pihak dalam Mediasi (Pasal 12 PERMA No. 1 Tahun 2008). Dalam menempuh upaya mediasi para Pihak dapat memilih mediator (Pasal 8 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008) yang artinya Para Pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk memilih Mediator yang menurut dan Pihak-Pihak memiliki kemampuan sebagai Mediator profesional memiliki kemampuan sebagai Pihak Ketiga Netral yang dapat membantu menyelesaikan konflik tersebut, kemampuan yang wajib dimiliki Mediator paling tidak memiliki kompetensi, kompetensi dan karakter (Tony Budidjaja, 12/10/2008: www.hukumonline.com). Namun apabila Pihak-pihak kesulitan menemukan mediator Profesional pada Pengadilan Negari yang bersangkutan, Ketua Pengadilan (melalui kepaniteraan Pengadilan) menyediakan Daftar Mediator (Pasal 8 ayat 2 dan 3 PERMA N0. 1 tahun 2008) yang memuat nama latar belakang pendidikan pendidikan dan pengalaman. Atas penggunaan Jasa Meditor tersebut, terdapat kewajiban membayar honorarium Mediator yang biayanya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara mediator dengan Para Pihak yang bersengketa. Dalam praktek mediator biasanya mendapatkan jaminan pembayaran biaya dari Pihak yang mengusulkan dirinya menjadi Mediator. Sedangkan bagi Mediator Hakim (baik bersertifikat/ non sertifikat), tidak dikenakan biaya. Tentang jumlah Mediator dalam proses mediasi PERMA No. 1 Tahun 2008 tidak menentukan jumlahnya. Dalam Praktek Mediator dibantu dibantu atau didampingi oleh Asisten Mediator. Karena Asisten Mediator kadang bertindak seolah-olah sebagai Mediator, seharusnya Asisten Mediator tersebut haruslah juga Mediator bersertifikat. Disamping itu juga tidak diatur tentang Mediator Pengganti (menurut kami harus Mediator yang bersertifikat), hal ini semata-mata untuk kepentingan Para Pihak yang bersengketa apabila Mediator berhalangan sedangkan waktu mediasi bersifat terbatas. b. Tahap Proses Mediasi Dalam proses mediasi terdapat kewajiban dan tugas mediator antara lain (Pasal 15 PERMA No. 1 Tahun 2008) 1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati 2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. 3) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Dalam melaksanakan kewajibannya dapat meminta Keterlibatan Ahli untuk meminta keterangan (seorang atau lebih) dibidang tertentu, yang dapat membantu menyelesaikan sengketa diantara Para Pihak. Penggunaan ahli dibidang tertentu tersebut harus dengan persetujuan Para Pihak atau Kuasa Hukum, tentunya hal ini terkait dengan biaya yang mesti harus ditanggung Para Pihak yang bersengketa (Pasal 16 PERMA No. 1 Tahun 2008). Dalam Tahapan Proses Mediasi masing-masing Pihak yang berperkara dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, dapat
menyerahkan resume perkara mereka kepada satu sama lain dan kepada mediator. Apabila Para Pihak tidak sepakat (gagal) atas pemilihan mediator, dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masingmasing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk (Pasal 11 ayat (5) PERMA No. 1 Tahun 2008). c. Jangka Waktu Mediasi Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau mediator yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim dan Atas dasar kesepakatan para pihak yang waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. Pelaksanaan Mediasi oleh Hakim Mediator hanya dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama, karena itu pelaksanaan Mediasi merupakan bagian dari penyelesaian sengketa damai di Pengadilan maka merupakan kewajiban bagi tiap-tiap pengadilan Tingkat Pertama untuk menyediakan ruang mediasi sebagai salah satu sarana mediasi (PERMA No. 1 Tahun 2008). Ruang Mediasi penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. Untuk Mediator Profesional nonhakim Pelaksanaan Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak. Tentu saja penggunaan ruang di Pengadilan Tingkat Pertama tersebut tidak dikenakan biaya. Namun jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. d. Hasil Mediasi Dalam proses mediasi terdapat hasil (outcome) yang diharapkan tentunya adalah kesepakatan, sebaliknya tidak terjadi kesepakatan adalah kegagalan. Kegagalan Mediasi dapat disebabkaui oleh para Pihak, namun disamping itu mediator juga memiliki kewenangan untuk menyatakan Mediasi telah Gagal. Apabila hasil Mediasi mencapai kesepakatan, maka dengan bantuan mediator, hasil mediasi tersebut wajib dirumuskan secara tertulis yang dituangkan dalam “kesepakatan perdamaian” yang telah dicapai (mediation agreement) dan kesepakatan tersebut ditandatanggani oleh Para Pihak (Pasal 17 ayat 2 PERMA No. 1 Tahun 2008) dan Mediator. Selanjutnya, walaupun telah terjadi kesepakatan damai, Para Pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim (hakim yang memeriksa & meutus perkara) pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan tentang kesepakatan perdamaian. Para Pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dengan klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 17 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 PERMA No. I Tahun 2008). Apabila hasil mediasi tidak terjadi kesepakatan, segera setelah Hakim (yang memeriksa dan memutus perkara) menerima pemberitahuan kegagalan tersebut, Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Perlu dipahami bahwa kodrat Mediasi (baik di pengadilan atau di luar pengadilan) dilakukan oleh Para Pihak serta peran handal dari mediator
(perodangan/ group) untuk membantu Para Pihak yang bersengketa menyelesaikan sengkatanya dengan hasil mediasi ‘damai’ yang bersifat win-win solution. Seluruh proses mediasi bersifat rahasia, kadang mengenyampingkan persoalan hukum diantara Para Pihak karena Para Pihak menginginkan sengeketa selesai dengan damai. Keterpisahan antara Mediasi dengan Litigasi (Proses beracara di pengadilan Perdata) harus benar-benar diperhatikan, karena dalam praktek kadang terjadi Salah satu Pihak membocorkan dokumentasi dari proses Mediasi. Untuk itu PERMA No. 1 Tahun 2008 memisahkan antara Mediasi dan Pemeriksaan bersifat Litigasi di Pengadilan dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain. 2) Catatan mediator wajib dimusnahkan. 3) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. 4) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi. e. Kesepakatan Di Luar Pengadilan (Out of Court Settlement) Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 telah diintegrasikan pula ADR dalam mediasi di pengadilan dengan ketentuan berbunyi “Para Pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara “mengajukan gugatan”. Pengajuan gugatan harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum Para pihak dengan objek sengketa. Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 1) Sesuai kehendak para pihak; 2) Tidak bertentangan dengan hukum; 3) Tidak merugikan pihak ketiga; 4) Dapat dieksekusi. 5) Dengan iktikad baik. Tentunya mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini berbeda dengan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan versi UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tersebut mekanisme Mediasi hanya sebagai salah satu cara penyelesiaan sengketa alternatif selain itu terdapat mekanisme penyelesaian sengekata lainnya yaitu negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Perbedaan lain walaupun oleh Undang-Undang mediasi berdasarkan UU No. 340 tahun 1999 tersebut telah memiliki kekuatan mengikat (final & binding) namun untuk mendapatkan kekuasan eksekutorial kesepakatan damai tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri. Perbedaan-perbedaan ini menurut pengamatan penulis sebetulnya kedua bentuk mediasi penyelesiaan sengketa diluar pengadilan (baik berdasarkan UU No. 30 tahun 1999 dengan PERMA No. 1 Tahun 2008) mempunyai latar belakang yang suasana kebatinan yang sama yaitu menginginkan penyelesiaan sengketa diluar pengadilan ini menjadi efektif dan memiliki kekuatan eksekutorial bagi Para Pihak. Sebagaimana telah kami uraikan
sebelumnya demikian terlihat jelas Pengadilan memiliki peran judisial dan sebagai pintu kekuatan mengikat yang berkekuatan hukum atas penyelesaian suatau perkara. 4. Perdamaian Di Tingkat Banding, Kasasi & Peninjauan Kembali Sesuai dengan falsafah perdamaian pada hukum acara perdata di Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg., bahwa perdamaian dapat dimungkinkan sebelum adanya putusan hukum, untuk itu PERMA No. 1 Tahun 2008 dalam Pasal 21 ayat (1) menentukan Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan sepanjang perkara itu belum diputus. Pada PERMA sebelumnya (PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan) tidak mengatur upaya Mediasi atau perdamaian pada tingkat banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Prosedur yang harus ditempuh Para Pihak atas kesepakatan damai yaitu wajib menyampaikan kesepakatan damai tersebut secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili selanjutnya Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak Para Pihak untuk menempuh perdamaian. Upaya perdamaian pada tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penyampaian kehendak tertulis Para Pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. Apabila berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajih menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian (Pasal 21 ayat 5 PERMA No. 1 Tahun 2008). Jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan kepengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung. Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. Upaya perdamaian dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak. Jika para pihak menghendaki mediator, maka Ketua Pengadilan Tingkat pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator (Pasal 22 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 2008). Mediator Hakim, tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. Para Pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Akta perdamaian kemudian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara.
E. PENUTUP Peribahasa tiongkok kuno menggambarkan, lebih baik masuk kemulut macan dari pada masuk ke ruang pengadilan. Apa yang dilukiskan dengan ungkapan tersebut, setidaknya masih berlaku sampai sekarang dinegeri tercinta ini. Hukum dan pengadilan terbelenggu pada model konservatif yang kaku yang sudah terlanjur melekat pada sifatnya, sementara roda bisnis melaju dengan cepatnya, dilain pihak pelaku bisnis tidak sabar menanti larinya hukum sebagai lokomotif yang larinya lamban. Hal ini semakin menjadi pengabsahan bahwa pelaku usaha menginginkan penyelesaian sengketa yang cepat yang berkarakteristik informal procedure, confidential and mutual acceptable solutions. Model demikian terdapat dalam penyelesaian secara Mediasi, diluar pengadilan (vide UU No. 30 Tahun 1999) dan terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2008 sebagai sebagai realisasi mediasi di dalam pengadilan sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi yang jauh lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Mediasi sebagai bagian dari salah satu penyelesaian sengketa merupakan proses yang seharusnya fleksibel memberikan ruangan besar kepada para pihak melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan. Perma No 1 Tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diatur lebih detail, apa-apa yang harus dilakukan. Juga memberikan konsekuensi, memberikan sanksi bagi pelanggaran terhadap tata cara yang harus dilakukan yaitu sanksi putusan batal demi hukum. Walaupun disediakan keleluasaan terhadap perkara yang sedang dalam proses mediasi, ini memberikan peluang sekaligus kehati-hatian untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik., misalnya keadaan praktek di pengadilan sekarang ini banyak dikeluhkan para pencari keadilan terjadi semacam permainan dimana terdapat keadaan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi yang akan berhasil pada prinsipnya datang dari kemauan para pihak untuk berpartisipasi, datang untuk bermediasi agar mediasi wajib menjadikan kualitas mediasi tidak menurun. Oleh karenanya, bermediasi tidak menjadi formalitas belaka, karena banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari PERMA No. 1 Tahun 2008. Para Pihak mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari mediasi, atau mereka melihat ada keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi sebelumnya. Sangat mungkin kualitas menurun karena sekarang saja pemahaman masyarakat mengenai mediasi relatif masih kurang baik. Mereka kurang memahami apa itu nature mediasi, dan apa manfaatnya. Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator tapi mereka tidak melihat ada manfaat lebih dari mediasi. DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid Priyatna., Arbitrase & Alternatif penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, penerbit PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta 2002. Chapter V - Volume I dan Annex C - 4 Volume III, Final Report on Diagnoctic Assessment of Legal Development in Indonesia, Prepared by Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro in Coorperation with Mochtar, Karuwin & Komar, March 1997.
Golberg, B Steven et. al. Dispute Resolution, Little Brown and Company, 1985. Harahap, Yahya. M, et. al., Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Margono, Suyud, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta 2000. Nugroho, Wahyu, Penggunaan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis, Newsletter, No. 21 Juni, 1995. Rajagukguk, Erman., Arbitrase dalam Putusan pengadilan., Penerbit Chandra Pratana Jakarta 2001. Riskin, Leonard L., and James E. Westbrook., Dispute Resolution and Lawyer, American Casebooks Series, 2008. Westpublishing, Company. 1987. Ury, William. L., Brett., J.M., and Golberg, S. B. Getting Dispute Resolved, PON Books (1993). Wibowo, Rekso, Basuki., Studi Perbandingan Beberapa Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Tahun XIV, No. 4 Oktober 1996. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138) ARTIKEL “Lembaga Anjuran Untuk Damai di Pengadilan, perlu Dikembangkan”, Kompas, 23 Februari 1995. “Prioritaskan, Pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Kompas, Rabu, 14 Februari 1995. Susanti Adi Nugroho: hasil wawancara yang dipublikasikan oleh www.hukumonline.com dengan judul : Hakim Harus Bisa Menjadi Mediator., Tanggal 2 Oktober 2008. Tony Budidjaja : hasil wawancara yang dipublikasikan oleh www.hukumonline.com dengan judul :Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum., tanggal 12 Oktober 2008