MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA SUGENG DJATMIKO ABSTRAK Mediasi merupakan bentuk alternatif penyelessaian sengketa, mediasi telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya keinginan manusia menyelesaikan sengketa secara cepat dan memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa. Filosofi yang terkandung mediasi, bahwa manusia secara lahiriyah tidak menghendaki dirinya bergelimang persengketaan dalam rentang waktu lama. Manusia berusaha menghindar dan keluar dari persengketaan atau tidak mungkin dihilangkan dari realitas kehidupan manusia. Pencarian pola penyelesaian sengketa terus dilakukan dalam rangka memenuhi keinginan fitrahnya untuk hidup damai. Mediasi di dalam peraturan dan perundang-undangan disebutkan secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi sebagaimana disebutkan dalam pasal 246 KUH Dagang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri dengan seseorang tertanggung dengan suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu, Undang-Undang Kehakiman, dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Medasi di Pengadilan, yang menjadi topik permasalahan adalah kapan mediasi dapat dilangsungkan sebagai sarana alternatif penyelesaian sengketa dalam asuransi syariah. Apa keuntungan mediasi dalam penyelesaian sengketa, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi; Dalam menjawab permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian kepustakaan dan lapangan yang bersifat explanatoris. Diperoleh kesimpulan bahwa mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam asuransi syariah berupa kesepakatan antara para pihak yang bersengketa yang didasarkan atas itikad baik dengan mengutamakan penyelesaian di luar pengadilan, melalui kesepakatan dan musyawarah oleh para pihak yang bersengketa. Keberhasilan mediasi tergantung itikad baik para pihak yang bersengketa dan kemampuan mediator dalam melaksanakan mediasinya. Mediasi adalah bukan tujuan tetapi cara mencapai tujuan yaitu berdamainya pihak-pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan dan kedamaian yang antara keduanya sepakat menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Kata Kunci : Mediasi, ADR, Asuransi-Syariah
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial “zoom politicon” diantara sesama manusia saling beriteraksi membutuhkan satu dengan yang lain, dan manusia mempunyai hubungan timbal balik, maka tidak jarang terjadi fenomena sosial berupa sengketa yang muncul akibat adanya kepentingan yang berbeda-beda diantara manusia, dan dapat menjadi sengketa hukum. Timbulnya sengketa maka peranan hukum menjadi sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Arus globalisasi sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dan bangsa utamanya dalam sisi ekonomi dan hukum. Setiap saat realita hukum bersentuhan dengan nilai-nilai baru yang berkembang di dalam dinamika pergerakan mobilitas internasional pada negara-negara lain terkait bidang ekonomi. Meningkatnya intensitas ekonomi dan perdagangan serta investasi bukan hanya menimbulkan berpacunya ekonomi yang semakin tinggi namun meningkatkan intensitas sengketa hukum antar masyarakat yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang beragam. Realita pada negara-negara manapun baik yang berkembang ataupun telah maju lembaga peradilan sebagai suatu sarana penyelesaian sengketa di tengah-tengah masyarakat pencari keadilan menjadi penting dan sangat dibutuhkan. Umumnya para pelaku ekonomi dan bisnis serta investasi melakukan kritik karena lambatnya tahapan proses dalam suatu peradilan, biaya yang mahal, dan berbelit-belit. Apalagi dalam bidang ekonomi dan bisnis yang sangat banyak dan beragam serta membutuhkan penyelesaian sengketa yang cepat,efektif, efesien serta menghasilkan penyelesaian sengketa yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan mengedepankan “win-win solution”. Tony Me Adams mengemukan bahwa : “Law has become a very big American business and that litigation cost may be doing damage to nation company. Artinya bahwa tingginya biaya berperkara dianggap sebagai faktor yang sangat merusak terhadap perekonomian Amerika”.1 Bentuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan memang sudah dikenal sejak dulu oleh masyarakat di dunia pada umumnya dan masyarakat di Indonesia pada khususnya. Akan tetapi penyelesaian melalui pengadilan seringkali juga membawa berbagai konsekuensi yang cukup pelik, sehingga
1
Yahya Harahap., Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa., (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997)., hlm. 155.
3
mempersulit penyelesaian sengketa secara baik.2 Bahwa mahalnya biaya berperkara ikut mempengaruhi kehidupan perekonomian bukan hanya di negara-negara maju akan tetapi juga pada negaranegara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Diantaranya kritikan yang mengemuka yaitu : Penyelesaian sengketa yang lambat, biaya perkara yang mahal, peradilan yang tidak tanggap, putusan pengadilan yang sering tidak menyelesaikan masalah, kemampuan Hakim yang bersifat generalis.3 Waktu bagi seorang pedagang atau pebisnis adalah sangat bernilai dan berharga seiring perkembangan teknologi informasi yang berkembang pesat, pergerakan dunia tidak lagi berlomba dengan waktu yang panjang, tahun atau bulan, tetapi hari, jam, dan menit. Seperti yang dikatakan Willian Irwin Thomson: “Now, with the appearance of micro electronics and genetics engineering, acharge that spells a movement from evolution by natural selection to evolution by cultural intrusión, the rate ofchange shifts to decades, even years”.4 Perubahan dan pergeseran yang cepat dalam era super industrialis sekarang telah mengantar manusia dalam kehidupan dunia tanpa batas yang merupakan salah satu ciri khas perekonomian yang paling menonjol di era globalisasi. Arti pentingya waktu dan biaya bagi pelaku bisnis dan masalah bisnis adalah masalah pembangunan secara menyeluruh karena semakin banyaknya transaksi bisnis akan semakin baik pula perkembangan perekonomian suatu negara. Perdamaian pada dasarnya merupakan salah satu sistem dalam Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang telah ada pada dasar negara Indonesia yaitu Pancasila di mana dalam filosofisnya diisiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat hal ini tersurat juga dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya hukum yang mengatur tentang perdamaian atau mediasi yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tepatnya penjelasan pasal 3 menyatakan bahwa Penyelesaian perkara di luar pengadüan atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap di perbolehkan. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam Bab XII Pasal 58 sampai pasal 61 yang memuat ketentuan diperbolehkannya menyelesaikan sengketa di luar pengadüan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya yang disepakati oleh para pihak seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 2
Ridwan Khairandy., Mencari Solusi Alternatif., Hukum Bisnis Edisi Oktober-November 2002.,
hlm. 4. 3
Suyud Margono, ADR & Arbitrase - Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum., (Bogor Ghalia Indonesia, 2000)., hlm. 34. 4 Ibid., hlm. 143.
4
Keberadaan mediasi dipertegas dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa dalam Pasal 1 angka 10 bahwa Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau bedapendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadüan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Undang-Undang ini merupakan produk hukum yang telah dinanti oleh banyak pihak. Usaha pembentukan Undang-Undang ini dilakukan sejak tahun 1980-an oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang waktu itu mengajukan draft RUU Perdagangan Indonesia, yang salah satu bagiannya mengatur tentang Mediasi.5 Transaksi bisnis tidak bisa terlepas dari kontrak yang dibuat oleh para pihak yang membuatnya dan terlibat di dalamnya. Oleh karenanya, hukum kontrak menjadi sangatlah penting dalam suatu transaksi perdagangan atau yang belakangan ini disebut sebagai transaksi bisnis.Transaksi bisnis yang berkembang di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya didasarkan pada hubungan saling menguntungkan yang memerlukan kepercayaan di antara para pihak. Kontrak bisnis juga didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak untuk melaksanakan kontrak tersebut. Diterimanya lembaga-lembaga alternatif secara baik ini dikarenakan alasan praktis dan kebudayaan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan baik di barat maupun di timur memiliki banyak kelemahan, yaitu memakan waktu yang lama dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat banding atau kasasi, memakan biaya yang tinggi, dan merenggangkan hubungan para pihak yang bersengketa. Di negara-negara berkembang, pengadilan adakalanya dianggap perpanjangan tangan kekuasaan, bahkan di beberapa negara pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap telah memihak yang mendatangkan ketidak-adilan.6 Indonesia memainkan peranan penting dalam pentas era globalisasi dunia, berbagai kerjasama ekonomi telah memasuki lingkup intemasional. Hal ini sudah barang tentu akan membawa dampak baik secara positif maupun negatif. Positifnya, bahwa dengan adanya era globalisasi ini diharapkan akan membawa Indonesia menuju pembaharuan ekonomi lebih baik karena tidak lagi jurang pembatas antara satu Negara dengan yang lain. Pranata alternatif penyelesaian sengketa pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagai konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang 5
Huala Adolf, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase (UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999), BPHN, 2006, hlm. 8. 6 Erman Rajagukguk., Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000)., cet. l.,hlm. 103.
5
bersengketa tersebut, alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa. Sebagai suatu bentuk perjanjian alternatif Penyelesaian Sengketa kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.7 Asuransi sebagai bentuk perjanjian antara dua belah pihak yaitu perusahaan dengan peserta asuransi kini semakin meningkat bukan saja secara konvensional namun juga secara syariah hal ini disebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat akan manfaat asuransi bagi kehidupan mereka dengan berbagai macam cara dan kemudahan- kemudahan yang secara langsung menarik minat masyarakat untuk ikut memanfaakan jasa asuransi. Perusahaan asuransi memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat dikarenakan asuransi merupakan peralihan terhadap resiko kerugian yang diderita oleh peserta asuransi sehingga pada saat mengalami kerugian maka kerugian itu serta merta menjadi tanggungan dari perusahaan asuransi. Masyarakat Indonesia mengenal asuransi setidaknya ada tiga jenis perusahaan asuransi yakni; Perusahaan asuransi kerugian; Perusahaan Asuransi Jiwa; Perusahaan Reasuransi. Sedangkan untuk menjalankan aktifitasnya ditunjang oleh perusahaan penunjang asuransi di Indonesia dikenal lima perusahaan penunjang asuransi yaitu: Perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan konsultan aktuaria dan agen asuransi. Untuk dapat melindungi kepentingan dari masing-masing pihak akan kemungkinan adanya kerugian, kini telah didirikan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan telah beroperasi secara efektif dari tahun 2006. Badan Mediasi Asuransi Indonesia didirikan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor KRP.45.MEKON/07.2006, Gubernur Bank Indonesia Nomor 8/50/KEP.GBI/2006, Menteri Keuangan Nomor 357/KMK.012/2006, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP75/MBU/2006 tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan ditetapkan tanggal 5 Mi 2006. Menurut Michael Noone Mediasi adalah “The common sense idea that the intervention, by invitation ot the parites, ofan experienced, independerá and trustedper son can be expected to help the parties settle their quarrel by negotiating in collaborative rather than adversarial way”. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantara ketiga yakni pihak yang 7
Gunawan Widjaya., Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafíndo Persada, 2003).,Cet.ke-l.,hlm.2.
6
memberi masukan- masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.8 Tujuan Badan Mediasi Asuransi Indonesia adalah merupakan program untuk melindungi pemegang polis asuransi dari kemungkinan tidak dapat dibayarkannya polis asuransi oleh perusahaan asuransi. Tindakan yang dilakukan untuk dapat melindungi pemegang polis asuransi adalah dengan mendorong beroperasinya Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). BMAI adalah lembaga one-stop-service yang mudah diakses oleh semua masyarakat tertanggung atau pemegang polis untuk menyelesaian sengketa klaim tuntutan ganti kerugian atau manfaat dan memberikan solusi yang mudah bagi tertanggung yang tidak mampu untuk menyelesaikan perkara melalui pengadilan atau tidak mampu membayar biaya bantuan hukum.9 Konsep penyelesaian sengketa win-win solution seperti dalam mediasi juga dikenal dan telah dipraktekkan oleh umat Islam Indonesia yang sering disebut dengan sistem hukum Islam. Meskipun tidak disebut dengan mediasi namun pola penyelesaian sengketa yang digunakan menyerupai pola yang digunakan dalam mediasi yaitu ishlah dan hakam. Ishlah dalam ajaran Islam bermakna lebih mengutamakan metode penyelesaian perselisihan atau konflik atau sengketa secara damai dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang menjadi akar permasalahan sengketa tersebut, yaitu masing-masing untuk mengikhlaskan kesalahan masingmasing dan diamalkan secara damai untuk saling memaafkan. Seiring dengan semakin berkembangnya perdagangan atau bisnis antara umat Islam yang kini bukan saja dalam satu negara bahkan sudah ada di seluruh dunia maka secara otomatis pengertian ishlah juga berkembang penggunaannya menjadi secara lúas baik untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan ekonomi-bisnis maupun non-ekonomi-bisnis. ishlah dapat diartikan sama dengan mediasi atau konsiliasi. Hakam mempunyai pengertian yang sama dengan mediasi, hakam biasanya berfungsi untuk menyelesaikan sengketa perkawinan yang disebut dengan syiqaq. Para ahli hukum Islam memberikan pengertian yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa hakam merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam konflik yang terjadi antara yang bersengketa sebagai pihak yang akan menengahi atas menyelesaikan sengketa di antara mereka.10 8
Micheal Noone., Medaition: Esensial Legal Skill., (Cavendish Publishing: Great Britain, 1996)., Cet.ke-l.,hlm. 5. 9 Jimmy Joses Sembiring., Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase)., (Jakarta: Visi Media, 2011)., hlm. 140. 10 Nailul Sukri., Kedudukan Mediasi dan Tahkim Di Indonesia., Sekripsi, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, 1992., hlm. 30.
7
Dengan demikian hakam sama dengan mediator keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk memutus, keduanya merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Ishlah dan hakam dapat dikembangkan untuk menjadi metode penyelesaian berbagai jenis sengketa termasuk diantaranya sengketa perdata dan bisnis. Untuk mengantisipasi dengan semakin tinggi minat masyarakat untuk mengikuti asuransi khususnya asuransi syariah maka di buatlah suatu Badan yang prinsip dan kegiatannya sesuai dengan ketentuan syariah yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang awal mulanya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Kehadiran Basyarnas sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia bukan hanya karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat Islam untuk menjalankan syariat Islam melainkan menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat.11 Tujuan Basyamas sebagai Badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat atau syariah yang timbul dalam hubungan: perdagangan, industri keuangan, jasa, dan lain-lain di kalangan umat Islam. Sesuai dengan peraturan dan prosedur Basyarnas, yurisdiksi atau kewenangan Basyarnas meliputi dua hal yaitu: 1. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa, dan lain-lain di mana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Peraturan Prosedur Basyarnas; 2. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak. Berkenaan dengan yurisdiksi atau kewenangan Basyarnas pada point jasa dan lain-lain, dapat perluas atau dijabarkan salah satunya adalah jasa di bidang asuransi syariah karena animo masyarakat khususnya umat Islam sebagai masyarakat yang mayoritas penduduk Indonesia sudah barang tentu kehadiran lembaga-lembaga syariah yang sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan sangat diharapkan dalam rangka untuk memacu perekonomian dan penyelesaian sengketa-sengketa syariah di Indonesia. Indonesia adalah suatu negara dengan penduduk yang memeluk agama Islam terbanyak di dunia sudah seyogyanya memperhatikan kebutuhan penduduk mayoritas dan potensial supaya dapat menggunakan akses yang seluas-luasnya di bidang ekonomi, perdagangan, bisnis guna mendukung mobilitas dalam transaksitransaksi baik domestik maupun internasional sesuai konsep syariah atau agama 11
Rachmadi Usman., Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan., (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013)., Cet. ke-2., hlm. 332.
8
yang dianut. Berdasarkan uraian di atas maka jasa-jasa keuangan utamanya asuransi syariah akan kian di sukai di Indonesia seiring dengan waktu dengan semakin sadar pentingnya asuransi bagi mereka.Berpijak dari hal tersebut maka Indonesia harus membuat suatu lembaga-lembaga yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya supaya pada saat terjadi permasalahan-permasalahan dalam perdata dan bisnis syariah yang dilakukan oleh umat Islam yang ada di Indonesia dapat diselesaikan sesuai keyakinan agamanya. Sehingga diharapkan waktu dan biaya dapat efektif dan efesian serta murah. Karena dewasa ini bagi para pembisnis utamanya jasa-jasa di bidang perbankan seperti asuransi syariah dalam menyelesaikan sengketa harus dapat dilakukan dengan cepat sehingga mengurangi sengketa yang berkepanjangan apalagi sampai lama belum juga terselesaikan. Dalam sengketa perdata utamanya berkenaan dengan jasa asuransi syariah dengan pemegang polis atau tertanggung; baik Badan hukum dalam hal ini perusahaan asuransi syariah dengan Badan hukum maupun perusahaan asuransi syariah dengan perseorangan diselesaikan melalui cara perdamaian, diharapkan kedua belah pihak yang bersengketa benar-benar dapat berjalan dengan lancar sehingga tidak menimbulkan permusuhan dan dapat menumbuhkan kembali hubungan harmonis yang telah ada supaya hubungan bisnis tetap bisa berjalan di kemudian hari. Sisi lain usaha perdamaian berguna untuk menghindari biaya yang mahal, dan untuk menghindari proses perkara yang berlarut-larut. Penyelesaian sengketa yang lambat pada dunia bisnis akan mengakibatkan biaya tinggi sedangkan dalam prinsip bisnis waktu adalah uang “time is money”. Sehubungan dengan itu penyelesaian sengketa yang efektif dan efesien untuk menghadapi kegiatan bisnis yang “free market and free competition”, harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah “quick and lower in time and money to the parties”. Bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa ada bermacam- macam. Salah satu di antaranya adalah mediasi. Mediasi perlu diperkenalkan kepada para pelaku bisnis di Indonesia lebih mengenal lembaga pengadilan atau lembaga arbitrase saja sebagai cara untuk menyelesaian sengketa, mediasi seharusnya diperkenalkan secara intensif, karena mediasi dapat dijadikan pilihan penyelesaian sengketa. Perumusan Masalah Merujuk pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah penulis kemukakan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan asuransi di Indonesia bila terjadi sengketa antara perusahaan dengan nasabah yang diselesaikan melalui mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa ? 2. Bagaimanakah proses mediasi dan peran mediator dalam penyelesaian sengketa asuransi melalui mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
9
Asuransi Syariah?
Tinjauan Literatur Dalam menguraikan secara jelas tentang kerangka teoritis dan konseptual dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Kerangka Teoritis a. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaiknya proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambanan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara konferehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik. Satu-satunya kelebihan proses non litigasi ini sifat kerahasiannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak dipublikasikan, proses penyelesaian di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).12 b. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak, dan netral dalam membantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.13 c. Mediation is prívate, informal, dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties ti reach an agreemen.14 d. Asuransi merapakan pengikatan untuk memberikan penggantian karena adanya kerugian, kerasakan atau kehilangan keuntungan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga atas suatu peristiwa yang tidak pasti atau didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.15 e. Syariah adalah suatu sistem hukum yang mengikuti pola dalam agama Islam yaitu suatu aturan yang sesuai dengan syariat Islam yaitu Al Qur'an, Al 12
M Yahya Harahap., Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Penyelesaian Sengketa., (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997)., hlm. 280-281. 13 Chrostopher W Moore,1986 14 Bussiness News 6387, Alternative Penyelesaian Sengketa (Mediasi dan Konsiliasi), 12 November 1999, hal 7-8. 15 Op.Cit., hlm. 35.
10
hadits dan ijma para ulama serta qiyas untuk dijadikan dasar dalam melakukan muamalah sesama manusia.16 f. Asuransi Syariah (ta’minm takaful atau tadhamum) dalam fatwa DSN-MUI adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad / perikatan yang sesuai dengan syariah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulmun (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.17 2. Kerangka Konseptual. a. Suatu Perdamaian yang diadakan oleh salah seorang yang berkepentingan, tidak mengikat, orang-orang berkepentingan lainnya, dan tidak dapat dimajukan oleh mereka untuk memperoleh hak-hak dari padanya.18 b. Segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan Hakim dalam tingkat penghabisan.19 c. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.20 d. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.21 e. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perlindungan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.22 f. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mengelola berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.23 g. Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD: Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen (peristiwa 16
Indonesia, Undang-Undang Moner 18 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Himpunan Fatwa Dewan Syarian Nasional, Jakarta : Intermasa, 2003, hlm. 129. 18 Pustaka Yustisia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta: cet. 1 Tahun 2009), pasal 1857 19 Ibid., pasal 1858 20 Ibid., pasal 1338 21 Indonesia, Undang-undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, UU No 30, LN No 138 Tahun 1999, TLN No.3872, pasal 1 ayat 10 22 Indonesia (a), Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Perma Nomor 01 Tahun 2008, psl 1 ayat 7. 23 Ibid., hlm. 3. 17
11
tidak pasti).24 h. Menurut Pasar 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian: “perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung kerena kerugian , kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan”.25 i. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang agama.26
F. Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian eksplanatoris dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu; dengan mempelajari dan menganalisis bahan-bahan kepustakaan yang ada, baik dari literatur maupun peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan yang berkaitan dengan mediasi, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan akurat mengenai hal-hal yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini. Di samping itu juga dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara kepada nara sumber yang menguasai permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, meliputi : 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara kepada para sumber yang ahli dalam bidang mediasi di lembaga Badan Mediasi Asuransi Indonesia, dan Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia, guna mendapatkan informasi tentang permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini. 2. Data Sekunder, yaitu data-data yang diambil dari bahan kepustakaan yang bersumber dari : a. Bahan Hukum Primer, meliputi : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008; b. Bahan Hukum Sekunder, meliputi : Buku-buku, artikel ilmiah, makalah, hasil penelitian dari berbagai tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan. 24 25 26
Indonesia., Kitab Undang-Undang Hukum Dagang., hlm. 34. Indonesia., Undang-undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1992., hlm. 3. Indonesia, Undang-Undang Moner 18 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
12
c. Bahan Hukum Tersier, meliputi : Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari kamus dan buku pegangan. Kemudian dari data tersebut di atas akan diolah dengan menggunakan tahaptahap sebagai berikut : a. Seleksi data, yaitu memilih data yang sesuai dengan pokok bahasan; b. Pengelompokan data sesuai dengan jenisnya serta dihubungkan dengan pokok bahasan agar dapat memperoleh data secara benar. c. Penyusunan data secara sistematis sesuai dengan permasalahan masingmasing; d. Setelah semua data selesai dikumpulkan dan diklasifíkasikan menurut bidangnya masing-masing, kemudian dilakukan análisis data. Analisis data dapat dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara menyajikan dan menguraikan data dalam bentuk kalimat secara rinci dan sistematis, kemudian dilakukan interpretasi data, yaitu mengartikan data mengenai permasalahan yang jelas.27 Berdasarkan uraian di atas, sangatlah tepat apabila penulis menggunakan metode análisis kualitatif, karena dengan digunakannya metode ini penulis akan mendapatkan data sekaligus keterangan yang berhubungan dengan mediasi, yaitu salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
HASIL DAN PEMBAHASAN . HUKUM ISLAM MENGENAI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH Sengketa yang terjadi di kalangan umat manusia adalah suatu realitas. Manusia sebagai khalifah di muka bumi dituntut menyelesaikan sengketa, karena manusia dibekali akal dan wahyu dalam menata kehidupannya, untuk selalu mencari dan menemukan pola penyelesaian sengketa sehingga penegakan keadilan dapat terwujud. Dalam dimensi tatanan hukum, persengketaan terjadi dikarenakan para pihak merasakan hak dan keadilan mereka tidak terpenuhi, sehingga berusaha menuntut hak dan mendapatkan keadilan itu. Para pihak meyakini bahwa mereka memiliki hak, tetapi tidak mendapatkannya. Keadilan merupakan cita-cita semua orang untuk mewujudkannya, namun faktanya keadilan sangat sulit dicapai dan menjadi 27
Ibid., hlm. 32.
13
sesuatu yang asing bagi masyarakat. Akibatnya orang yang semestinya mendapatkan hak, tidak memperolehnya. Keadilan dalam masyarakat akan tegak bila orang mendapatkan hak sesuai dengan ketentuan yang sah dan benar, ketidakadilan dan perampasan hak, merupakan faktor dominan yang menyebabkan hancurnya masyarakat. Keadilan adalah ajaran dalam Islam, dan kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi menegakkan keadilan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa menegakkan keadilan merupakan perintah Allah. Dalam Al-qur’an Allah menegaskan dalam surat al-Nahl ayat 90 yang artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dalam ayat lain Allah juga menegaskan : “Wahai orangorang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Sejalan dengan itu pula Allah memerintahkan : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada mu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” An-Nisa’ : 58.28 Allah menghendaki keadilan ditegakkan dimana pun dan kapan pun, baik terhadap diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Dalam penegakkan keadilan tidak ada diskriminasi antara orang kaya dengan orang miskin, orang lemah dengan orang kuat, orang yang memiliki kekuasaan dengan orang yang tidak memiliki kekuasaan. Keadilan harus berlaku dan ditegakkan sama untuk semua orang. Penegakan keadilan tanpa diskriminasi disebutkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 135 artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”29 28 29
Ibid., hal. 100. Ibid., hal. 100.
14
Penegakan keadilan menurut Hukum Islam dapat dilakukan melalui proses pengadilan maupun di luar proses pengadilan. Pemenuhan hak dan penegakan keadilan melalui pengadilan mengikuti ketentuan formal yang diatur dalam ajaran Islam. Penegakan keadilan melalui mahkamah melibatkan kekuasaan negara dalam menjalankannya. Perhatian Al-Qur’an sangat serius kepada orang yang mendapat kepercayaan menegakkan keadilan, yaitu hakim atau qadhi. Merekalah yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangannya. Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW memberikan panduan moral dan batasan sikap seorang hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, karena kedudukan hakim sangat strategis dalam penegakan hukum. Sikap yang mesti dimiliki seorang hakim (qadhi) adalah takwa, amanah, jujur, ikhlas, berpengetahuan luas dan bertanggung jawab dalam penegakan keadilan. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad SAW menyatakan : “Hakim ada tiga golongan; satu golongan masuk surga dan dua golongan masuk neraka. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang memutuskan perkara karena pengetahuan dan kebenaran serta menghukum dengan apa yang diperintahkan Allah, sedangkan hakim yang masuk negara adalah memutuskan perkara secara tidak adil, padahal ia memiliki pengetahuan, maka ia dimasukkan ke dalam neraka. Demikian juga hakim akan masuk neraka bila mengadili dan memutuskan perkara atas dasar kebodohannya (kejahilan).30 Dalam proses penegakan hukum dan keadilan, Nabi Muhammad telah menunjukkan sikap tegas, tidak dirkriminasi, memperlakukan sama para pihak yang bersengketa, sehingga orang yang lemah dan orang yang kuat memiliki kedudukan sama di mata Nabi Muhammad SAW dalam mendapatkan hak dan keadilan. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad SAW mengatakan : “Jika Fatimah binti Muhammad mencuri pasti akan saya potong tangannya”. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi penegakan hukum dan keadilan dalam Islam. Hakim dalam Islam semata-mata menegakkan hukum Allah, sehingga ia tidak dapat dilakukan intervensi oleh kekuasaan apa pun. Hakim memiliki sikap independen dan mempertanggung jawabkan putusan itu kepada Allah. Hukum Islam menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian atau ishlah. Penyelesaian sengketa melalui proses pembuktian fakta hukum (adjudikasi) dilakukan dengan pengajuan sejumlah alat bukti oleh para pihak dalam menuntut atau mempertahankan haknya dihadapan pengadilan. Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW menyatakan : “alat bukti dibebankan Syekh al-Imam Mohammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, Juzu’ 4, (Mesir : Syarikat Maktabah Mustafa al-Halabi, 1975), hlm. 115. 30
15
kepada penggugat, sedangkan sumpah kepada pihak yang mengingkari.”31 Pengajuan alat-alat bukti ini dimaksudkan untuk membutikan siapa yang berhak dan berwenang terhadap sesuatu dan siapa yang tidak berwenang atau tidak berhak terhadap sesuatu. Melalui alat bukti akan terungkap dengan jelas duduk perkara dan pihak mana yang mendapat hak sesuai dengan hukum Allah. Bukti adalah standar ukur atau norma bagi hakim dalam memutuskan perkara. Siapa yang memiliki bukti yang kuat, maka dialah yang akan memenangkan perkara di pengadilan. Hakim akan memutuskan berdasarkan bukti-bukti kuat yang diajukan para pihak kepadanya. Proses penyelesaian sengketa melalui adjudikasi ternyata tidak mampu menyelami hakikat fakta sebenarnya dari persengketaan para pihak, karena hakim hanya mampu memahami dan memutuskan perkara sebatas alat bukti kuat yang diajukan kepadanya. Keyakinan hakim dan bukti-bukti yang ada, maka ia memutuskan hukum tersebut, padahal hakikatnya yang paling tahu adalah para pihak yang bersengketa. Kenyataan ini disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW : “Sesungguhnya aku seorang manusia dan kamu datang mengadu pertikaian kamu kepadaku. Boleh jadi di antara kamu ada yang lebih pantas / pintar menguraikan hujah daripada yang lain, maka aku memutuskan hukuman sebagaimana yang aku dengar dari keterangan yang kamu berikan. Maka siapa saja yang aku hukum baginya sesuatu dari hak (orang lain), maka janganlah ia mengambilnya karena sesungguhnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka.32 Melalui adjudikasi tidak dapat menjamin kepuasan para pihak yang bersengketa, karena ada pihak yang memiliki keterbatasan dalam pengajuan alat bukti. Al-Qur’an menawarkan proses penyelesaian sengketa melalui pola perdamaian atau ishlah-sulh dihadapan Mahkamah. Ishlah adalah suatu proses penyelesaian sengketa di mana para pihak bersepakat untuk mengakhiri perkara mereka secara damai. Ishlah memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar sengketa mereka dapat diakhiri. Ishlah dilakukan secara sukarela, tidak ada paksaan dan hakim hanya memfasilitasi para pihak agar mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan demi mewujudkan kedamaian. Imam Zakariya menyebutkan ishlah sebagai suatu akad di mana para pihak bersepakat mengakhiri persengketaan, para pihak harus diberitahukan kepada hakim, agar hakim tidak melanjutkan proses penyelesaian sengketa melalui pembuktian fakta adjudikasi. Persetujuan penyelesaian damai 31 32
Abdul Rahim, Op. cit., hlm. 366-367. Ibid., hal. 17.
16
secara ishlah ini akan dibuat penetapan oleh hakim, agar dapat dilaksanakan oleh para pihak. Keberadaan ishlah sebagai upaya damai dalam penyelesaian sengketa telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 114 dan 128 yang artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikanbisikan dari orang yang menyuruh memberikan sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar” (An-Nisa’ : 114). Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimua secara baik dan memelihara dirimu dari nusyuz dan sikap acuh, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan apa yang kamu kerjakan. (an-Nisa’ : 128).33 Umar bin Khattab mewajibkan hakim pada masanya untuk mengajak para pihak melakukan perdamaian atau ishlah, baik pada awal proses perkara diajukan kepadanya, maupun pada masa persidangan yang sedang berjalan di pengadilan. Hakim tidak boleh membiarkan para pihak tidak menempuh upaya damai. Hakim harus proaktif dan mendorong para pihak mewujudkan kesepakatan damai dalam sengketa mereka. Penegasan Khalifah Umar ini diketahui dari surat yang ditulisnya kepada Abu Musa as-‘Asyari, seorang hakim di Kufah. Umar bin Khattab menulis surat yang berisi prinsip pokok beracara di pengadilan. Salah satu prinsip yang dibebankan kepada hakim adalah prinsip ishlah atau damai. Hakim wajib menjalankannya, kecuali yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.34 Umar bin Khattab berpandangan bahwa kewajiban ini harus dilakukan hakim, karena melalui upaya damai keadilan dapat diwujudkan bagi para pihak. Umar bin Khattab sangat menjunjung tinggi pola damai ini diterapkan di pengadilan, karena pengadilan membuat putusan yang tidak mungkin dapat memuaskan keinginan para pihak yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung meninggalkan kesan yang tidak baik antar para pihak dan dendam di antara keduanya. Umar bin Khattab berujar : “kembalilah wahai para pihak yang bertikai untuk berdamai, karena putusan yang dibuat mahkamah (pengadilan) akan meninggalkan kesan dendam.”35 Kesepakatan damai tidak hanya dapat diterapkan di pengadilan, tetapi dapat juga digunakan di luar pengadilan sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. 33
Ibid., hlm. 17. Muhammad Mahmud Arnus, Tarikh al-Qafha fil Islam, (Cairo: Al-Mathba’ah al-Misriyah alHadisah, 1987), hlm. 13. 35 Muhammad Na’im Abd Salam Yasin, Nazhariyat al-Da’wah al-Qism al-sani, (Beirut: Dar alFikr, 1994), hlm. 51. 34
17
Penetapan pola damai dapat dilakukan terhadap seluruh sengketa baik sengketa politik, ekonomi, soal dan hukum. Dalam kasus hukum, banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya, tidak semua perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diselesaikan melalui jalur ishlah. Sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur ishlah adalah perkara yang didalamnya mengandung hak manusia (haq al-‘ibad) dan bukan perkara yang menyangkut hak Allah (haq Allah). Perkara atau sengketa yang dapat diajukan upaya damai adalah perkara yang berkaitan dengan hukum privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga (mu’malah wa ahwal al-syakhsiyah). Sedangkan dalam dimensi hukum publik atau perkara pidana seperti zina, qadhaf, pencurian, minum khamar, tidak dapat dilakukan upaya damai, karena terdapat hak Allah secara murni. 36 Hisyam Ramadan menyebutkan dalam kasus qishas-diyat terdapat celah untuk menerapkan ishlah atau upaya damai, dalam konteks ini, bukan menghapus hukum qishas, tetapi dalam hal ketika hukuman qishas tidak dapat dijalankan karena ahli waris korban memaafkan pelaku pembunuhan, maka ishlah di sini dapat dilakukan termasuk kemampuan pembayaran diyat. Ishlah dapat dilakukan dalam kasus qishas diyat, karena pemaafan yang diberikan ahli waris korban merupakan hak manusia (haq al-adam).37 Penerapan ishlah di luar pengadilan sangat luas cakupannya dan siapa saja boleh untuk melakukannya yang digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa baik untuk kasus keluarga, ekonomi perdagangan, politik, dan muamalah. Jelasnya, ishlah akan menjadi payung keadilan dan kedamaian, karena para pihak mengupayakan jalan keluar terhadap sengketa yang dihadapinya. Keberadaan pihak ketiga amat penting, guna menjembatani para pihak yang bersengketa, para pihak umumnya memerlukan bantuan pihak lain untuk mencari solusi tepat bagi penyelesaian sengketa mereka, untuk melakukan fasilitasi, negosiasi, mediasi atau arbitrase di antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan pola ishlah. Pola ishlah ini dikembangkan dalam alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi (wasatha), arbitrase (tahkim). Pola ini sangat fleksibel, dan memberikan keleluasaan pada para pihak dan pihak ketiga untuk merumuskan alternatif penyelesaian sengketa, sarana mewujudkan kedamaian dan kemaslahatan manusia, karena tidak mendatangkan kerusakan dan kemudaratan.
Fatwa Asuransi Syariah Dengan merujuk pada dasar hukum Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah dikeluarkan fatwa pengembangan produk hukum Asuransi Syariah, keberadaan fatwa tersebut mempunyai fungsi yang 36
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juzu 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), hlm. 295-297. 37 Hisham M. Ramadan, “On Islamic Punishment” dalam Hisham M. Ramadan (ed.)
18
sangat fundamental, terkait upaya pengembangan Asuransi Syariah yaitu : a. Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Pertama: Ketentuan Umum 1) Asuransi syariah (ta'min, takfuI atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pinak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. 2) Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), may'sir (perjudian), riba (bunga), dzhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. 3) Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. 4) Akad tabarru' adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. 5) Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 6) Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Ke dua: Akad dalam Asuransi 1) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau akad tabarru'. 2) Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat(1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru' adalah hibah. 3) Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan: (a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; (b) Cara dan waktu pembayaran premi; (c) Jenis akad tijarah danfatau akad tabarru' serta syaratsyarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Ke tiga: Kedudukan para pihak dalam akad Tijarah dan Tabarru' 1) Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis). 2) Dalam akad tabarrru' (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk ménolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah. Ke empat: Ketentuan dalam akad Tijarah dan Tabarru' 1) Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan reia melepaskan haknya
19
sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya. 2) Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. Ke lima: Jenis Asuransi dan Akadnya 1) Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa. 2) Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah. Ke enam: Premi 1) Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'. 2) Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya. 3) Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta. 4) Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan. Ke tujuh: Klaim 1) Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian. 2) Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan. 3) Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya. 4) Klaim atas akad tabarru' merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad. Ke delapan: Investasi 1) Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. 2) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Ke sembilan: Reasuransi Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Ke sepuluh: Pengelolaan 1) Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah. 2) Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah). 3) Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru' {hibah).
20
b.
Ke sebelas: Ketentuan tambahan 1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badán arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah. 2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Fatwa No.51/DSN-MUI/lll/2006 tentang Mudharabah Musyarakah Asuransi. Pertama: Ketentuan Umum 1) Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah. 2) Peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi. Ke dua: Ketentuan Hukum 1) Mudharabah musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum mudharabah. 2) Mudharabah musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan. Ke tiga: Ketentuan Akad 1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah. 2) Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta. 3) Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio. 4) Perusahaan asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut. 5) Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya: (a) hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi; (b) besaran nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi; (c) syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yangdiakadkan. 6) Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternatif sebagai berikut : Alternatif I a) Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati. b) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi
21
c.
modal atau dana masing-masing. Alternatif II a) Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing. b) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati. 7) Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan. Ke empat: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah 1) Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor). 2) Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor). 3) Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor). Ke lima: Investasi 1) Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. 2) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Ke enam: Ketentuan Penutup 1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Fatwa N0.52/DSN-MUI/III/2006 tentang Wakalah bil ‘Ujrah pada Asuransi Syariah. Pertama: Ketentuan Umum 1) Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah. 2) Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syariah. Ke dua: Ketentuan Hukum 1) Wakalah bil ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta. 2) Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
22
perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee). 3) Wakalah bil ujrah dapaí diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru' (nonsaving). Ke tiga: Ketentuan Akad 1) Akad yang digunakan adalah berupa akad wakalah bil ujrah. 2) Objek wakalah bil ujrah meliputi antara lain: kegiatan administrasi pengelolaan dana, pembayaran klaim, underwriting, pengelolaan portafolio risiko, pemasaran, dan investasi. 3) Dalam akad wakalah bil ujrah, harus disebutkan sekurangkurangnya: (a) hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi; (b) besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi; (c) syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Ke empat: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah 1) Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana. 2) Peserta sebagai ¡ndividu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa). 3) Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru' bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana. 4) Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemegang polis). 5) Akad wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telan diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi. 6) Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad wakalah. Ke lima: Investasi 1) Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. 2) Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru' maupun saving, dapat digunakan akad wakalah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah, atau akad mudharabah musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah musytarakah. Ke enam: Ketentuan Penutup
23
d.
1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badán Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Fatwa N0.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru' pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. Ke satu: Ketentuan Umum 1) Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah. 2) Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syariah. Ke dua: Ketentuan Hukum 1) Akad tabarru' merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. 2) Akad tabarru' pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis. Ke tiga: Ketentuan Akad 1) Akad tabarru' pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antarpeserta, bukan untuk tujuan komersial. 2) Dalam akad tabarru', harus disebutkan sekurang kurangnya: a) Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu. b) Hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru' selaku peserta dalam arti badan/kelompok. c) Ketentuan cara dan waktu pembayaran premi dan klaim. d) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Ke empat: Kedudukan Para Pihak dalam Tabarru' 1) Dalam akad tabarru', peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah. 2) Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru' (mu'amman/mutábarra' lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu'ammin/ mutabarri'). 3) Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi. Ke lima: Pengelolaan 1) Pembukuan dana tabarru' harus terpisah dari dana lainnya. 2) Hasil investasi dari dana tabarru' menjadi hak kolektif peserta dan
24
dibukukan dalam akun tabarru'. 3) Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabah musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah. Ke enam: Surplus Underwriting 1) Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru', maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut : a) Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru'. b) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko. c) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta. 2) Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
e.
Ke tujuh: Defisit Underwriting 1) Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru' (defisit tabarru'), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman). 2) Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru'. Ke delapan: Ketentuan Penutup 1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempumakan sebagaimana mestinya. Fatwa No.53/DSN-MUI/lll/2006 tentang Tabarru' pada Asuransi Syariah Akad Tabarru' pada Asuransi dan Reásuransi Syariah. Pertama: Ketentuan Hukum 1) Akad tabarru' merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. 2) Akad tabarru' pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antarpeserta pemegang polis. 3) Asuransi syariah yang dimaksud pada poin 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi. Ke dua: Ketentuan Akad
25
1) Akad tabarru' pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antarpeserta, bukan untuk tujuan komersial. 2) Dalam akad tabarru', harus disebutkan sekurang- kurangnya : a) Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu. b) Hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru' selaku peserta dalam arti badan/kelompok. c) Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim. d) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Ke tiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru' 1) Dalam akad tabarru', peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah. 2) Peserta secara ¡ndividu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru' (mu'amman/mutabarra' lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu'ammin/ mutabarri'). 3) Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi. Ke empat: Pengelolaan 1) Pembukuan dana Tabarru' harus terpisah dari dana lainnya. 2) Hasil investasi dari dana tabarru' menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru'. 3) Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabah musytarakah, atau memperoleh urjah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah. Ke lima: Surplus Underwriting 1) Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru', maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut : a) Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru'. b) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko. c) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta. 2) Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad. Ke enam: Defisit Underwriting 1) Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru' (defisit
26
f.
tabarru'), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman). 2) Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru'. Ke tujuh: Ketentuan Penutup 1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badán Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempumakan sebagaimana mestinya. Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh). Pertama: Ketentuan Umum 1) Ganti rugi (ta'widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpangdari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. 2) Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. 3) Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 4) Besar ganti rugi (ta' widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau alfurshah al-dha-i'ah). 5) Ganti rugi (ta'widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan ijarah. 6) Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan. Ke dua: Ketentuan Khusus 1) Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di Lembaga Keuangan Syariah dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya. 2) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak. 3) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad. 4) Pihak yang cederá janji bertanggungjawab atas biaya perkara dan
27
biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara. Ke tiga: Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badán Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Pengaturan Asuransi Syariah Dari segi hukum positif, asuransi syariah masih mendasarkan legalisasinya pada Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian yang sebenarnya kürang mengakomodasi asuransi syariah. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNI-MUI) melalui fatwa. Dalam tata hukum nasional, fatwa belum mempunyai kekuataan hukum yang bersifat mengikat. Karenanya agar bersifat mengikat, fatwa DSN-MUI perlu diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku secara formal. Sebagai payung hukum, peraturan yang terkait dengan asuransi syariah sementara ini baru diwujudkan dalam bentuk beberapa Keputusan Menteri Keuangan, yaitu sebagai berikut : 1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan (Pasal 3- 4) terkait dengan perizinan melakukan usaha asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip syariah. 2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam (Pasal 15-18) mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah. 3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 422/ KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah di antaranya tercantum dalam (Pasal 3) tentang pengesahan oleh Dewan Pengawas Syariah bagi perusahaan asuransi atau kantor cabang perusahaan asuransi yang diselenggarakan dengan prinsip-prinsip syariah. (Pasal 30 ayat 3) mengenai laporan operasional yang disertai Pernyataan Dewan Pengawas Syariah.
28
4) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip syariah. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah Keberadaan perusahaan asuransi pada hakikatnya adalah sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian akibat suatu peristiwa yang tidak terduga. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akad perjaniian yang telah disepakati. Karena itu untuk mencapai tujuan tersebut, dalam asuransi syariah dikenal beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. 1) Bekerjasama untuk saling membantu. Lembaga asuransi syariah dijalankan dengan mengedepankan prinsip kerjasama untuk saling membantu. Tanpa adanya prinsip kerjasama, perusahaan asuransi tentu akan mengalami kesulitan untuk memberikan pertolongan secara maksimal kepada pihak yang tertimpa musibah. 2) Saling melindungi dari segala kesusahan. Untuk menghindari terjadinya kesusahan yang berlarut akibat musibah, diperlukan adanya kesadaran masing-masing pihak untuk saling melindungi. Bentuk perlindungan tersebut dapat diberikan oleh perusahaan asuransi, baik ketika yang bersangkutan dalam kondisi sehat maupun sebaliknya. Jaminan mendapatkan perlindungan inilah yang merupakan sebab kebutuhan masyarakat untuk menjadi peserta asuransi. 3) Saling tanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi syariah memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu dan memberikan pertolongan kepada peserta lain yang kebetulan sedang mengalami musibah. Bentuk tanggung jawab tersebut akan semakin nyata, ketika masing-masing terikat kesepakatan yang difasilitasi perusahaan asuransi. Bentuk dan Mekanisme Operasional Asuransi Syariah Perusahaan asuransi berperan sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat melalui penyediaan jasa asuransi syariah untuk memberikan jaminan perlindungan kepada pemakai jasa terhadap kemungkinan timbulnya kerugian akibat suatu peristiwa yang tidak terduga. Perlindungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dana yang selalu siap untuk digunakan ketika yang bersangkutan mengalami musibah. Untuk mendapatkan jaminan perlindungan asuransi, seseorang
29
perlu menghubungi perusahaan yang secara hukum berkompeten menyelenggarakan jasa tersebut. Tindak lanjut dari hubungan antara perusahaan dengan pengguna jasa, akan diikat oleh suatu perjanjian yang berlaku dalam perusahaan asuransi. Menurut Fatwa No.21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru'. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis). Sedangkan dalam akad tabarrru' (hibah), perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah yang diberikan oleh peserta untuk menolong pihak yang terkena musibah. Penerapan akad mudharabah dalam perusahaan asuransi syariah dapat dilihat dalam dua bidang usaha yaitu: (1) Asuransi individu atau Asuransi Jiwa (life insurance) dan (2) Asuransi Umum (general insurance). Perbedaan karakteristik bisnis antara kedua jenis usaha tersebut menyebabkan penerapan akad mudharabah menjadi berbeda meskipun secara prinsip tetap mengikuti kaidah konsep mudharabah di mana para peserta asuransi berkedudukan sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola). Berbeda dengan akad tijarah (mudharabah), akad tabarru' (gratuitous contract) merupakan bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang bersifat nir-laba (not-for profit transaction) sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial atau bisnis tetapi semata-mata untuk tujuan tolong-menolong dalam rangka kebaikan. Karenanya pihak yang meniatkah tabarru' tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan apapun. Implementasi akad tijarah dan tabarru' dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua macam. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru'. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru'. Keberadaan rekening tabarru' menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (gharar) asuransi dari sisi pembayaran klaim. 1) Asuransi Jiwa (Life Insurance) adalah bentuk asuransi yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi takaful. Berbeda dengan kerugian yang bersifat umum, bentuk asuransi ini bersifat individu karena jaminan yang diberikan melekat pada diri seseorang. Pengelolaan dana asuransi jiwa secara umum menggunakan dua
30
sistem pendekatan, yaitu : a) Pengelolaan dana dengan unsur tabungan yang disebut dana investasi. Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Meskipun perusahaan menetapkan jumlah mínimum premi yang bisa dibayarkan, namun pada prinsipnya pembayaran premi tergantung pada kemampuan peserta. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut rekening koran, giro atau membayar secara langsung. Peserta dapat memilih pembayaran, baik bulanan, kuartal, semesteran, maupun tahunan sesuai kemampuani. Melalui sistem ini, setiap premi takaful yang telah diserahkan kepada perusahaan asuransi akan dimasukkan ke dalam dua rekening secara terpisah, yaitu : (1) Rekening khusus tabarru' (Participant Special Account), yaitu rekening yang diniatkan untuk kebaikan apabila ada di antara peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya. (2) Rekening tabungan (Participant Account) yang dimiliki oleh para peserta takaful. Rekening tabungan ini selain dapat diinvestasikan (tijarah) juga dapat didermakan untuk kebaikan (tabarru’). Pada asuransi syariah, secara umum peserta tídak memberikan syarat tertentu yang membatasi tentang cara pengelolaan dana sehingga akad ini dikategorikan sebagai mudharabah mutlaqah. Dalam hubungannya dengan pengguna jasa (peserta), perusahaan asuransi syariah sebagai lembaga intermediasi mempunyai fungsi ganda. Dikatakan demikian, karena dengan pihak perserta perusahaan asuransi berkedudukan sebagai mudharib. Sedangkan dengan instrumen investasi lainnya, perusahaan asuransi berkedudukan sebagai shaibul maal. Dengan demikian idealnya semua dana tabarru' maupun hasil investasinya (apabila dana tabarru' tersebut ikut diinvestasikan) tidak dibagi hasilkan kepada peserta maupun pengelola, namun menjadi rekening khusus tabarru'. Melalui akad tijarah (mudharabah), kumpulan dana yang dibayarkan oleh peserta kepada perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada pembiayaan-pembiayaan yang dibenarkan secara syariah. Pada asuransi jiwa (Life Insurance), paling tidak ada tiga kemungkinan manfaat yang dapat diterima oleh peserta, yaitu : (1) Apabila peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), maka ahli warisnya akan
31
menerima : - Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi. - Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung dari tanggal meninggalnya sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya. Dana untuk tujuan ini diambilkan dari rekening khusus/tabarru' para peserta yang memang disediakan untuk itu. (2) Apabila peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan, maka yang bersangkutan akan menerima : - Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke dalam rekening peserta, ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi. - Kelebihan dari rekening khusus/tabarru' peserta terjadi apabila setelah dikurangi biaya operasional perusahaan. (3) Peserta mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai. Dalam hal ini, peserta yang bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke rekening peserta, ditambah dengan bagi hasil apabila selama menjadi peserta investasinya mendatangkan keuntungan. b) Pengelolaan dana tanpa unsur tabungan yang disebut tabarru'. Dana yang tidak mengandung unsur tabungan akan disímpan pada rekening tabarru' oleh perusahaan dalam suatu rekening khusus. Berbeda dengan unsur tabungan, dana klaim yang diberikan melalui rekening tabarru' sejak awal sudah diniatkan oleh semua peserta asuransi syariah untuk kepentingan tolong menolong yang dikeluarkan apabila: (1) peserta meninggal dunia; (2) perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana). Pada dasarnya, dana tabarru' dimaksudkan untuk tujuan tolong menolong di antara peserta asuransi. Karena itu keberadaan dana melalui rekening-tabarru' idealnya hanya untuk tujüan kemanusiaan. Namun ada yang berpendapat, bahwa dana tabarru' yang terkumpul sedemikian banyak agar menjadi produktif dapat diinvestasikan sebelum peserta yang bersangkutan membutuhkannya. Jika demikian yang terjadi, maka penulis berpendapat bahwa semua akibat hukum yang timbul dari pengelolaan dana tersebut harus menjadi tanggung jawab penyelenggaranya (perusahaan asuransi), sehingga apabila sewaktu-waktu dana tersebut diperhitungkan harus
32
selalu tersedia. 2) Asuransi Umum (General Insurance) adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial untuk mengantisipasi kerugian atas harta benda milik peserta takaful. Klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah hingga menimbulkan kerugian harta benda sesuai dengan perhitungan yang wajar. Untuk kegiatan asuransi umum, mekanisme pengelolaan dananya sama dengan asuransi jiwa tanpa unsur tabungan. Jangka waktu pertanggungan untuk produk-produk asuransi kerugian (misalnya asuransi kebakaran, kendaraan bermotor, kecelakaan diri, dan lain-laín) biasanya berlaku untuk periode satu tahun, maka produk ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving). Akibatnya seluruh premi yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam satu pool/fund untuk dikelola oleh perusahaan. Jika dari total dana ditambah hasil investasi dan dikurangi beban-beban asuransi (komisi agen, premi reasuransi, klaim, dan lain-lain) terjadi surplus, maka surplus dana tersebut akan dibagi hasilkan antara peserta dan perusahaan sesuai nisbah yang sudah ditentukan di awal perjanjian. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana seandainya jika investasi tersebut mengalami kerugian? Tentu peserta asuransi sebagai shahibul maal harus siap menanggung risiko tersebut, kecuali jika kerugiaan itu disebabkan oleh kesalahan dari pihak perusahaan asuransi sebagai muidharib. 3) Perbedaan Asuransi Syariah dengan Konvensional Asuransi konvensional dengan asuransi syariah sebagai lembaga keuangan memiliki perbedaan mendasar dalam hal, yaitu : (1) Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi senantiasa sejalan dengan prinsip syariah. (2) Prinsip akad asuransi syariah adalah tolong menolong (takaful). Artinya nasabah yang satu menolong nasabah lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional berdasarkan akad pertukaran/jual beli (tabaduli) antara nasabah dengan perusahaan. (3) Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan prinsip syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. (4) Pada asuransi syariah, premi yang terkumpul diperlakukan
33
tetap sebagai dana milik nasabah. Dalam hal ini, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan para asuransi konvensional, premi yang telah terkumpul dari nasabah secara otomatis menjadi müik perusahaan. (5) Untuk pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. (6) Keuntungan investasi dibagi dengan prinsip bagi hasil antara nasabah selaku pemilik dana (shahibul maal) dengan perusahaan selaku pengelola (mudharib). Sedangkan keuntungan pada asuransi konvensional sepenuhnya menjadi milik perusahaan terutama jika tidak ada klaim. KESIMPULAN Mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa merupakan hal baru di Indonesia, terutama mediasi pada lembaga peradilan. Secara formal UU No. 30 Tahun 1999 mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sedangkan mediasi di pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI NO. 02 Tahun 2003. Meskipun pengaturan mediasi secara formal baru dilakukan beberapa tahun lalu, bukan berarti pola penerapan semacam mediasi tidak dikenal dalam penyelesaian sengketa masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sebenarnya telah mempraktekkan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediatornya adalah para tokoh adat, ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki wibawa dan kepercayaan, sehingga mereka dapat menyelesaikan sengketa di kalangan masyarakat. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal adanya penyelesaian sengketa mirip mediasi, yaitu ; upaya damai yang harus ditempuh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara. Kehadiran Perma No. 1 tahun 2008 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, ketertiban, kelancaran dalam proses perdamaian para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan yang penting lebih-lebih kaitannya dengan Asuransi Syariah bila terjadi sengketa dua pihak antara pihak pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Sejalan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor :
34
51/DSN-MUI/III/2006 bahwa dimungkinkan bila terjadi sengketa diantara kedua belah pihak terjadi perselisihan diantara pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Untuk itu sebagaimana pada prinsip awal dimana asuransi syariah mengarahkan pesertanya untuk saling menolong dan melindungi satu dengan lainnya. Dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan atau Tabarru’, maka harus disadari bila terjadi sengketa akibat dari tidak dipenuhinya salah satu pihak, jalan yang paling utama dalam penyelesaian sengketa adalah melalui proses mediasi. Disinilah para ulama kontemporer menggali dan menyusun kinerja manajemen asuransi syariah dengan membawa ubsurunsur saling tolong menolong yang menjadi prinsip utamanya dan tumbuhnya semangat keadilan, kerjasama, saling memberi sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat manusia yang diciptakan oleh Allah SWT dengan segala kesempurnaannya.
DAFTAR PUSTAKA Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2010. Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa., (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997)., 1 Ridwan Khairandy., Mencari Solusi Alternatif., Hukum Bisnis Edisi OktoberNovember 2002., Suyud Margono, ADR & Arbitrase - Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum., (Bogor Ghalia Indonesia, 2000)., Huala Adolf, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), BPHN, 2006 Erman Rajagukguk., Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000)., cet. l. Gunawan Widjaya., Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafíndo Persada, 2003).,Cet.ke-l. Micheal Noone., Medaition: Esensial Legal Skill., (Cavendish Publishing: Great Britain, 1996)., Cet.ke-l Jimmy Joses Sembiring., Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase)., (Jakarta: Visi Media, 2011). Nailul Sukri., Kedudukan Mediasi dan Tahkim Di Indonesia., Sekripsi, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, 1992., Rachmadi Usman., Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan., (Bandung:
35
Citra Aditya Bakti, 2013)., Cet. ke-2. Bussiness News 6387, Alternative Penyelesaian Sengketa (Mediasi dan Konsiliasi), 12 November 1999 Indonesia, Undang-Undang Moner 18 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Himpunan Fatwa Dewan Syarian Nasional, Jakarta : Intermasa, 2003 Pustaka Yustisia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta: cet. 1 Tahun 2009) Indonesia, Undang-undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, UU No 30, LN No 138 Tahun 1999, TLN No.3872 Indonesia (a), Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Syekh al-Imam Mohammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, Juzu’ 4, (Mesir : Syarikat Maktabah Mustafa al-Halabi, 1975) Muhammad Mahmud Arnus, Tarikh al-Qafha fil Islam, (Cairo: Al-Mathba’ah alMisriyah al-Hadisah, 1987) Muhammad Na’im Abd Salam Yasin, Nazhariyat al-Da’wah al-Qism al-sani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juzu 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003) Hisham M. Ramadan, “On Islamic Punishment” dalam Hisham M. Ramadan (ed.)