PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH MENURUT PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh: FITRIYAH 103046228374
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MU’AMALAT (EKONOMI ISLAM ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/ 1429 H
PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH MENURUT PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) Oleh: FITRIYAH NIM: 103046228374
Di Bawah Bimbingan, Pembimbing
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MU’AMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/ 1429 H
PEGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 November 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat Jakarta, 4 November 2008 Disahkan Oleh, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN MUNAQASAH 1. Ketua
: Dr. Euis Amalia, M.Ag (……………….) NIP.150 289 264
2. Sekretaris
: Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (……………….) NIP. 150 318 308
3. Pembimbing I
: Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA (……………….) NIP. 150 222 824
4. Penguji I
: Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (……………….) NIP. 150 318 308
5. Penguji II
: Dr. Hendra Kholid, MA (……………….)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia memerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 November 2008
FITRIYAH
ABSTRAK
Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah NAsional (BASYARNAS) Dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Oleh: Fitriyah
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menimbulkan sengketa
asuransi syariah, mengetahui bagaimana penyelesaian
sengketa asuransi syariah BASYARNAS dan BMAI, mengetahui keunggulan BASYARNAS dan BMAI, serta membandingkan adakah perbedaan antara BASYARNAS dan BMAI dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata atau wawancara pada BASYARNAS dan BMAI. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang menimbulkan sengketa asuransi syariah yaitu disebabkan karena adanya wanprestasi dan kesalahan teknis. Adapun penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI, yaitu apabila terjadi perselisihan antara tertanggung dan penanggung maka BASYARNAS dan BMAI merupakan lembaga yang tepat untuk menyelesaikan sengketa. Karena prosesnya yang cepat, relatif murah dan dijamin kerahasiaannya. Adapun sengketa yang sudah dapat diselesaikan di BASYARNAS hanya ada 10 sengketa mengenai perbankan syariah, sedangkan sengketa asuransi belum ada yang diselesaikan di BASYARNAS. Namun di BMAI sudah ada sengketa asuransi yang dapat diselesaikan kurang lebih kira-kira 16 kasus yang sudah diselesaikan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbi al-alamin, sujud syukur penulis haturkan ke Dzat yang Maha Rahman bagi semesta Alam dan Rahim bagi semua hamba-hamba yang selalu menjalankan perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa cinta dan kasih pada manusia. Washalatu wassalam ‘ala Rasulullah senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad Saw (yang tak pernah lelah untuk selalu membimbing umatnya dengan penuh kasih sayang), kepada keluarganya, sahabatnya serta umatnya sepanjang zaman semoga kita mendapat syafa’atnya di yaumu al-Ba’ats, amin. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapinya dengan ikhtiar dan tawakkal. Alhamdulillah atas Rahmat Allah SWT., serta berkat do’a dan dukungan orang tua, keluarga, sahabat serta teman-teman, segala hambatan dan cobaan dapat penulis hadapi. Karena itulah, dari lubuk hati yang paling alam, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Sebagai rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bpk. Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH., MA., MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. Euis Amalia, M.Ag dan Ah. Azharudin Lathif, M.Ag, MH sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Bpk Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dan senantiasa meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 4. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai informasi dan sumber-sumber skripsi. 5. Bpk Ketut Sendra selaku Sekretaris Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan Ibu Euis Nurhasanah selaku Bendahara BASYARNAS, yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 6. Yang tercinta Ayahanda (Bpk H. Madsuri) dan Ibunda (Ibu Hj. Sa’adiah) yang dengan ikhlas selalu mengajarkan kehidupan. Sebagai seorang anak, penulis belum bisa membalas jasa keduanya kecuali do’a semoga Allah SWT memberikan hati yang sabar serta balasan yang terbaik atas semua amal mereka dan selalu melimpahkan Rahmat dan Inayah-Nya. 7. Kakak tercinta, Muslihah, S.Pd.I yang selalu memberikan nasehat-nasehatnya agar penulis menjadi lebih baik. Kaulah kakak dan sahabat terbaik penulis. Adikadikku tersayang (Lukman, Lisoh & Hakim) yang selalu menjadi motivasi bagi penulis. Semoga kalian lebih baik dari penulis. 8. Orang-orang terdekat penulis, Kakakqu (Aiep) untuk cinta dan kasih sayangnya yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan dukungan serta do’a kepada
penulis. Ella yang telah membantu dan menemani penulis dalam penyusunan skripsi, makasih atas semangat dan motivasinya, “You’re my best friend”. 9. Rekan-rekan penulis Kie Zn, Nylam, Nana, Dini, Ayu, Nuril, Reni, K’anton, K’goday & Teh Na terima kasih atas dukungan dan doanya. Mutie makasih yach atas rentalnya. Serta teman-teman Asuransi Syariah angkatan 2003 terutama Ozy makasih atas bantuannya, Ien, Eri, Bagol, Qorib, Dayat, Lana, dan Maul semoga silaturrahmi kita dapat terus terjalin. Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas semua bantuan dan masukannya kepada penulis. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Lebih dari ucapan terima kasih kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT., semoga senantiasa memberikan sinar terang kepada seluruh hambanya, dan semoga aktivitas penulis selalu diberkahi-Nya serta penulis selalu diberikan hidayah-Nya. Akhir kata penulis skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan, namun semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Jakarta, 04 November 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................
6
D. Kerangka Teori .........................................................................
7
E. Kajian Pustaka ..........................................................................
8
F. Objek Penelitian .......................................................................
9
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan...................................
10
H. Sistematika Penulisan ...............................................................
12
LANDASAN TEORI ....................................................................
14
A. Tinjauan Umum Asuransi .........................................................
14
a. Pengertian Asuransi Syariah................................................
14
b. Dasar Hukum Asuransi Syariah...........................................
17
c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah ...........................................
20
B. Tinjauan Umum Arbitrase.........................................................
23
a. Pengertian Arbitrase Syariah ...............................................
23
b. Dasar Hukum Arbitrase Syariah..........................................
26
c. Macam-Macam Arbitrase....................................................
28
BAB II
d. Syarat-Syarat Menjadi Arbiter.............................................
32
C. Tinjauan Umum Mediasi ..........................................................
35
a. ........................................................................................Penger tian Mediasi ........................................................................
35
b.........................................................................................Landas an Hukum Mediasi ..............................................................
37
c. ........................................................................................SyaratSyarat menjadi Mediator .....................................................
39
d.........................................................................................Tujuan
BAB III
BAB IV
mediasi ...............................................................................
41
GAMBARAN UMUM BASYARNAS DAN BMAI.....................
42
A. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)..................
42
1. Sejarah Berdirinya BASYARNAS ......................................
42
2. Fungsi dan Tujuan BASYARNAS ......................................
46
3. Struktur Organisasi BASYARNAS .....................................
48
B. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ..............................
50
1. Sejarah Berdirinya BMAI ...................................................
50
2. Fungsi dan Tujuan BMAI....................................................
51
3. Struktur Organisasi BMAI ..................................................
52
PENYELESAIAN
SENGKETA
ASURANSI
MENURUT
PERSPEKTIF BASYARNAS DAN BMAI..................................
53
A. Sengketa Asuransi ....................................................................
53
B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Sengketa Asuransi .............. C. Penyelesaian
Sengketa
Asuransi
Menurut
54
Perspektif
BASYARNAS dan BMAI ........................................................
56
D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS dan BMAI................................................................................. E. Keunggulan
BAB V
Penyelesaian
Sengketa
Asuransi
72
pada
BASYARNAS dan BMAI...........................................................
80
PENUTUP.....................................................................................
86
A. ............................................................................................Kesim pulan.........................................................................................
86
B. ............................................................................................Saransaran .........................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
89
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam pengembangan saat ini bidang perekonomian Indonesia banyak sekali tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga perekonomian, lembaga keuangan itu dalam operasionalnya didasarkan pada prinsip syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), BPR – BPR syariah di berbagai daerah tingkat II. 1 Hal itu terbukti dengan berdirinya 4 unit Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega Syariah, Bank Persyarikatan Indonesia. 14 Unit Syariah Bank Umum, yaitu Bank IFI Syariah, Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Bukopin Syariah, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank Internasional Indonesia Syariah, Bank HSBC Amanah Syariah, Bank Niaga Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Lippo Salam, ABN Amru Bank Syariah. 15 Unit Usaha Syariah BPD, yaitu: Bank Jabar Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Sumut Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel Syariah, BPD NTB Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar Syariah, BPD DIY Syariah, BPD Kaltim Syariah, Bank Naga Syariah, (BPD Sumbar), Bank Jatim Syariah, Bank Sulsel Syariah, Bank Jateng Syariah. 6 Bank Kustodian Syariah, yaitu: Deutsche
1
Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 176.
Bank, Kustodian Bank HSBC, Kustodian Bank Niaga Citibank, N.A. Indonesia, Kustodian Bank Bukopin, Standard Chartered Bank.2 Semenjak berdirinya bank – bank syariah barulah kemudian para pakar ekonomi Islam mencoba membuka peluang investasi dalam hal perlindungan aset dan kepemilikan, di samping itu adanya kesadaran dan dukungan masyarakat muslim pada ketentuan ajaran Islam yang bersifat komprehensif, profesional, integral serta kesiapan diri dalam menghadapi tantangan zaman, dengan demikian berkembanglah tuntutan untuk bermuamalah, khususnya di bidang perasuransian syariah. Oleh sebab itu maka lahirlah Asuransi Takaful di Indonesia pada tanggal 24 Februari 1994 dengan akta pendirian PT Syarikat Takaful Indonesia (di singkat dengan TEPATI). Sebagai asuransi syariah yang berkembang di Negara yang mayoritas muslim khususnya di Indonesia, memiliki potensi yang sangat besar mengingat sistem asuransi syariah merupakan sistem asuransi alternatif yang saling menguntungkan, humanis dan universal. PT Syarikat Takaful Indonesia yang telah mendirikan dua anak perusahaan yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak dalam asuransi jiwa dan PT Asuransi Takaful Umum yang bergerak dalam bidang asuransi kerugian. Sebagai pelopor berkembangnya perasuransian yang berlandaskan dengan prinsip syariah seperti dengan berdirinya PT MAA Life Assurance Syariah, PT Tri Pakarta Syariah, PT Bumi Putera Syariah, PT
2
Perbankan Syariah s/d 17 Mei 2008 www.mui.or.id/mui_in/pruduct_2/lks_lbs.php?id=6 pada tanggal 25 Mei 2008
dari
http:
//
BRIngin Life Syariah dan lain sebagainya, sehingga lembaga asuransi syariah telah mampu menjadi sarana yang dapat diandalkan dalam memobilisasi masyarakat. Oleh sebab itu perusahaan tersebut akan berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan jasa asuransi kepada para klien atau costumernya yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan efesiensi dan produktifitas lembaga asuransi syariah di Indonesia. Dengan mencermati keadaan perasuransian syariah yang semakin berkembang tentunya tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute atau differrece) antar pihak yang terlibat di bidang asuransi, secara otomatis setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Membiarkan sengketa di bidang bisnis (khusus perasuransian) terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan ekonomi tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami keterhambatan dan biaya produksi menjadi meningkat. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan asuransi atau pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian, cara penyelesaian seperti ini tidak diterima di dunia bisnis khususnya di bidang perasuransian syariah karena tidak sesuai dengan ketentuan zaman. Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat timbul karena
perbedaan penafsiran mengenai "bagaimana cara" melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang "apa Isi" dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lain. Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud seperti arbitrase, mediasi, negosiasi, dan pengadilan. Namun yang akan penulis bahas yaitu penyelesaian sengketa dengan cara melalui arbitrase dan mediasi. Yang menjadi permasalahan/persoalan adalah, dengan berdirinya Badan Mediasi Asuransi Indonesia sebagai lembaga penyelesaian sengketa khusus di bidang asuransi. Disini antara BASYARNAS dan BMAI memiliki wilayah kerja yang sama dan mengurusi persoalan yang sama, yaitu menyelesaikan sengketa khususnya di bidang asuransi syariah. Permasalahan yang muncul, lembaga mana yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang BASYARNAS lembaga hukum non-litigasi hasil bentukan dari MUI dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di bidang Muamalat dengan didukung fatwa-fatwa MUI sebagai rujukan hukumnya. Namun Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) juga lebih mempunyai wewenang untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) lebih mempunyai kekuatan karena lembaga ini lebih fokus untuk menyelesaikan sengketa di bidang asuransi. Dengan keberadaan lembaga Arbitrase Syariah di Indonesia yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi
Indonesia (BMAI), kiranya dapat memberikan kontribusi di bidang asuransi dalam hal penyelesaian sengketa bagi para pihak yang bersengketa. Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelaah secara mendalam skripsi yang berjudul "Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah
Menurut
Perspektif
Badan
Arbitrase
Syariah
Nasional
(BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Guna fokus dan mendalamnya pembahasan, penelitian ini dibatasi pada penyelesaian sengketa asuransi syariah menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI. Masalah pokok dalam penelitian ini bagaimana penyelesaian sengketa asuransi syariah, masalah pokok tersebut ditelusuri melalui jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dengan melalui arbitrase dan mediasi. Dalam merealisasikan batasan masalah yang dikemukakan di atas maka penulis memberikan perumusan masalah untuk memudahkan pembahasan selanjutnya. Adapun beberapa permasalahan yang akan penulis kemukakan di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Faktor – faktor apa saja yang dapat menimbulkan sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI?
3. Apa keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan BMAI?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini diadakan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor – faktor yang dapat menimbulkan sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI. 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI. 3. Untuk mengetahui keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan BMAI. Sedangkan manfaat penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Bagi Akademisi, untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang Hukum Ekonomi Islam khususnya mengenai Arbitrase dan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa asuransi. 2. Bagi Pemerintah, dengan adanya skripsi ini dapat dijadikan sebagai rujukan atau pertimbangan pemerintah dalam menetapkan Undang-undang tentang penyelesaian sengketa khususnya di bidang asuransi. 3. Bagi Masyarakat, diharapkan menambah informasi tentang keberadaan BASYARNAS dan BMAI sebagai lembaga penyelesaian sengketa asuransi apabila mengalami perselisihan di bidang asuransi.
D. Kerangka Teori Menurut Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan pengadilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.3 R. Subekti, mengatakan bahwa Arbitrase adalah suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit ataupun wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.4 M.N.Purwosutjipto mengartikan perwasitan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa, dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi para kedua belah pihak.5
3
Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditiya, 1992), h. 276. 4 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Alumni, 1979, h. 5. 5 Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Kedua, h.222
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02/2003, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 ayat 6 yaitu: "Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator".6 Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. 7
E. Kajian Pustaka 1. Judul : Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Dalam Penyelesaian Sengketa Di Bidang Asuransi Syariah (2006) Oleh : Maryudi (UIN JAKARTA) Skripsi
ini
hanya
menjelaskan/memaparkan
tentang
arbitrase
khususnya BASYARNAS sebagai lembaga penyelesaian sengketa, serta prosedur penyelesaian sengketa asuransi di BASYARNAS. 2. Judul : Arbitrase Dalam Hukum Positif, Hukum Adat, dan Hukum Islam “Sebuah Analisa Perbandingan” (2006) Oleh : Mukhtar Sedayu Siregar (UIN JAKARTA)
6
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 119 7 Ibid., h. 120
Skripsi ini hanya menjelaskan secara umum tentang arbitrase dan menganalisa sistem arbitrase dalam hukum positif, hukum adat, dan hukum Islam. Penelitian tentang asuransi syariah sudah banyak dibahas, sedangkan penelitian tentang arbitrase dan mediasi belum ada yang membahas. Untuk itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan membahas penelitian tentang penyelesaian sengketa asuransi syariah. Adapun yang ingin penulis bahas dari judul tersebut, yaitu mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan sengketa asuransi syariah pada BASYARNAS dan BMAI, bagaimana penyelesaian sengketa asuransi syariah menurut BASYARNAS dan BMAI, dan apa saja keunggulan BASYARNAS dan BMAI.
F. Objek penelitian Penelitian ini dilakukan pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang berlokasi di gedung ARVA lantai IV, Jl. Cikini raya No.60 Jakarta 10330. Dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang berlokasi di gedung MENARA DUTA, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B.9 Jakarta Selatan.
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang
tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab dari suatu gejala tertentu.8 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menguraikan tentang sifat-sifat dari suatu keadaan dan sekedar memaparkan uraian (data dan informasi) yang berdasarkan pada fakta yang diperoleh dari lapangan. 9 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan
ini
dilakukan
dengan
cara
survey,
tujuan
dari
menggunakan pendekatan survey adalah untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa menyelidiki kenapa gejala-gejala tersebut ada.10 3. Jenis Data dan Sumber Data a. Data Primer, merupakan data yang didapat dari sumber pertama kali baik dari individu atau dari perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian kuesioner, yaitu terdiri atas: 1. Gambaran umum perusahaan 2. Hasil wawancara 3. Observasi.11 b. Data Sekunder, merupakan data yang telah ada yang diperoleh dari buku, majalah, Koran dan sumber tertulis lainnya yang mengandung informasi yang berhubungan dengan penelitian ini.
8
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.22. 9 J. Supranto, Tehnik Riset Pemasaran dan Ramalan Penjualan, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h. 38. 10 Subana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung, Pustaka Setia, 2005, h.25. 11 Ibid., h. 26
4. Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini diperoleh melalui: 1. Penelitian
perpustakaan
(Library
Reseach),
yaitu
dengan
jalan
mengumpulkan data dari buku-buku, majalah, dan artikel yang berhubungan dengan materi skripsi. 2. Penelitian lapangan (Field Reseach), yaitu dengan observasi langsung ke Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat, dengan melalui tiga cara yaitu: a. Observasi, dengan melihat dan mengamati secara langsung kegiatan yang ada di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). b. Wawancara, yakni wawancara bebas yang dilakukan dalam bentuk Tanya jawab dengan pemimpin dan karyawan yang dapat dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini. c. Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk memperoleh data tertulis tentang penyelesaian sengketa asuransi pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).
5. Teknik Analisis dan Interpretasi Data Dalam menganalisis data, akan menggunakan metode deskriptif analisis kualitatif, yakni suatu teknik analisis data di mana terlebih dahulu dipaparkannya semua data yang telah diperoleh kemudian menganalisisnya dengan berpedoman pada sumber-sumber dalam bentuk kalimat-kalimat. Adapun dalam teknik penulisan ini merujuk kepada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007".
H. Sistematika Penulisan Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi V bab yang terdiri dari beberapa sub bab yang pada garis besarnya adalah sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Di dalamnya diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, kajian pustaka, objek penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
Landasan Teori Bab ini membahas pengertian asuransi syariah, dasar hukum asuransi syariah, dan prinsip-prinsip asuransi syariah,
pengertian arbitrase
syariah, dasar hukum arbitrase syariah, macam-macam arbitrase
syariah, syarat-syarat menjadi arbiter, pengertian mediasi, dasar hukum mediasi, syarat-syarat menjadi mediator, dan tujuan mediasi. BAB III
Gambaran Umum Bab ini akan membahas profil Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), mengenai sejarah berdirinya, visi dan misi, dan struktur organisasi.
BAB IV
Penyelesaian Sengketa Asuransi menurut Perspektif BASYARNAS dan BMAI Bab ini membahas mengenai sengketa asuransi, faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya sengketa, penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI, prosedur beracara dalam penyelesaian sengketa asuransi, keunggulan penyelesaian asuransi syariah pada BASYARNAS dan BMAI.
BAB V
Penutup Bab terakhir ini terdiri atas kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan umum asuransi a. Pengertian Asuransi Syariah Asuransi dapat dilihat dari berbagai jenis bahasa dan pengertian serta perbandingannya dalam perspektif Islam. Adapun asuransi ditinjau dari jenis bahasa dan pengertiannya adalah sebagai berikut: Menurut bahasa, kata asuransi berasal dari bahasa inggris adalah "insurance" yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata "pertanggungan".12 Kemudian dalam bahasa Belanda adalah "verzekering" yang berarti tanggungan.13 Menurut ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha Perasuransian Bab I pasal I: " Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan itu tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita 12
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004, h. 57. 13 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta, PT. Intermasa, 1996, h. 1.
14
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. 14 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang di maksud asuransi atau pertanggungan adalah "suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu.15 Sedangkan asuransi dalam perspektif Islam terdapat beberapa istilah, antara lain dikenal dengan istilah Takaful. Menurut etimologi Bahasa Arab, istilah Takaful berasal dari kata Kafala. Dalam ilmu tashrif atau Sharaf, Takaful ini masuk dalam barisan Bina muta'aadi, yaitu Tafaa'ala artinya saling menanggung. Dan ada juga yang menerjemahkan dengan makna saling menjamin.16 Wahbah al-Zuhaily (ahli fiqih kontemporer) mendefinisikan asuransi sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya asuransi itu dibagi menjadi dua, yaitu al-Ta'min al- Ta'awun (asuransi tolong menolong) dan al-Ta'min bi qistTsabit (asuransi dengan pembagian tetap). 14
Ibid., h. 61 Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, h. 59 16 Ibid., 15
Al-Ta'min al-Ta'awun adalah kesepakatan sejumlah orang yang membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemadharatan, seperti kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Sedangkan al-Ta'min bi qist-Tsabit adalah akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. 17 Abbas salim sebagaimana dikutip Ali Hasan mendefinisikan asuransi sebagai suatu keinginan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai subtitusi kerugian-kerugian besar yang belum pasti.18 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, asuransi syariah (Ta'min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang
17
M. Zaidi Abdad, Lembaga perekonomian Ummat di Dunia Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), Cet. Pertama, h. 87-88. 18 M. Ali Hasan, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 61.
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. 19 Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut ta’awun yaitu prinsip saling melindungi dan tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi dalam menghadapi risiko.
b. Dasar hukum asuransi syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu: Sedangkan menurut Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah.20 Pada dasarnya hukum asuransi syariah maupun konvensional di Indonesia, hingga saat ini pada dasarnya dan kenyataannya masih diatur dalam berbagai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia, terutama:21
19
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. Pertama, h. 30 20 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 128. 21 M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Teori, Sistem, Aplikasi dan Pemasaran, Jakarta, Kholam Publishing, 2006, h. 44-45.
a. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Keputusan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian. b. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi. c. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
423/KMK.06/2003 tentang pemeriksaan perasuransian. d. Keputusan
Menteri
424/KMK.06/2003
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan
perusahaan Reasuransi. e. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
425/KMK.06/2003 tentang perizinan dan penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan penunjang usaha asuransi. f. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
426/KMK.06/2003 tentang perizinan usaha dan kelembagaan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. g. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep.4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah. Landasan asuransi dalam Islam sebenarnya bertumpu pada konsep wata'awanu 'alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa)
dan At-ta'min yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang menjamin dan menanggung risiko satu sama lain.22 Landasan asuransi syariah diantaranya: a. Saling tolong – menolong
وَ َ َوَُا ََ اِْ وَاَْى وََ َ َوَُا ََ اِِْ وَاْ ُْوَانِ وَا ُا اَ إِن (2 :ة%&اَ "َِ!ُ اْ َِبِ )ا "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". (Q.S. Al-Maidah (5) : 2) Islam juga mengarahkan kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lainnya. Dalam asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan dalam bentuk premi tabarru' adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang terkumpul b. Saling meridhoi
ْ-َ ًَرَة9ِ َُن2َ ِْ إِ أَن5ِ6َُِْْ ﺏ2َ*ْ8َُْ ﺏ2َْآُُا أَﻡَْا4َ َ َ ءَاﻡَ*ُا-!ِ.َ ا/0!َ!َأ (29 :&ً )ا*?ء8ِ>َُْ ر2ُِْ إِن اَ آَنَ ﺏ2َ?ُ@َُْْ وََ َُُْا أ2ْ*ِ ََاضٍ ﻡ Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. 22
h. 100.
Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Pertama,
dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu". Dalam Islam jika seorang muslim memakan harta orang lain dengan jalan batil maka hukumnya adalah haram. Dana kebajikan yang kelak akan diterima oleh pemegang polis jika ia mengalami kerugian sebelum masa asuransinya berakhir adalah dana yang halal yang dikeluarkan dengan saling meridhoi antara kedua belah pihak yakni pemegang polis dan perusahaan.
c. Prinsip dasar asuransi syariah Asuransi syariah memiliki sembilan macam prinsip dasar, yaitu: tauhid, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, kebenaran, larangan riba, larangan judi dan larangan gharar.23 a. Tauhid Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariat Islam. Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan.
b. Keadilan
23
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004, h. 70
Prinsip ini dalam berasuransi terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi. c. Tolong-menolong Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong-menolong (ta'awun) antara nasabah (anggota). d. Kerja sama Prinsip kerja sama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi islam. Kerja sama dalam asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara nasabah dan perusahaan asuransi. e. Amanah Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilainilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan.
f. Kerelaan
Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru'). g. Larangan riba Riba secara bahasa bermakan ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. h. Larangan maisir Syafi'i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa periodenya, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. i.
Larangan gharar Gharar menurut bahasa adalah al-khida' (penipuan), yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan
B. Tinjauan Umum Arbitrase
1. Pengertian arbitrase syariah Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan". Dalam istilah bahasa Inggris arbitrase disebut "arbitration". Sedangkan pengertian arbitrase secara umum di Indonesia, menurut para pakar hukum adalah sebagai berikut : Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.24 Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilkanakan karena akan ditaati para pihak.25
24 25
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), h.1 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, (Bandung: Alumni, 1979), h. 5
Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalm perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas dari para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.26 Faturrahman Jamil mengatakan bahwa: “pengertian arbitrase dalam bahasa konvensional sekarang ini dipersamakan dengan istilah tahkim dalam hukum Islam yang artinya: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 27 Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal
1 ayat (1) disebutkan
bahwa, arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam (arbitrase syariah) dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja 26
Absul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditiya, 1992), h.276 27 Khairul Wasif, Arbitrase Islam Di Indonesia, (Jakarta: BAMUI, 1994), h. 31
hakkama.28 Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seorang menjadi pencegah suatu sengketa. Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal saat ini, yaitu : "Pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai". Kata sinonim yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter digunakan istilah hakam, yaitu yang menyelesaikan perselisihan. Arbitrase menurut para pakar hukum islam dari empat imam Mahzab mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:29 a. Kelompok Hanafiyah, berpendapat bahwa memisahkan persengketaan atau memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia dengan yang hak dan atau ucapan yang mengikat yang keluar dari yang mempunyai kekuasaan secara umum b. Kelompok
Malikyah,
berpendapat
bahwa
hakikat
qadlha adalah
pemberitaan terhadap hukum syari’I menurut jalur yang pasti (mengikat) atau sikap hukum yang mewajibkan bagi pelaksanaan hukum Islam walaupun dengan ta’dil atau tarjih tindak untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum. c. Kelompok Syafi’I, berpendapat bahwa memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT. Atau 28
Luis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1994), h.146 A Rahmat Rosyadi, Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), cet-1, h. 44 29
menyatakan
hukum
syara’
terhadap
suatu
peristiwa
wajib
melaksanakannya. d. Kelompok Hanabilah, berpendapat bahwa penjelasan dan kewajibannya serta penyelesaiannya antara para pihak. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa arbitrase syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan oleh wasit (hakam) di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau sesudah terjadinya sengketa secara syariah.
2. Dasar Hukum Arbitrase Syariah Dasar hukum yang mengokohkan eksistensi tahkim (arbitrase Islam) terdapat di dalam Al-qur'an, sunnah, dan ijma'. Al-qur'an dan sunnah sebagai sumber hukum yang paling utama memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa di antara para pihak, apakah di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Al-qur'an surat An-Nissa ayat 35 :
َ إِنْ !ُِ!َا/ِْْ أَه-َِ&ً ﻡ2َ>َْ أَهِِْ و-َِ&ً ﻡ2َ> ُاCَ َْﺏD َ&ِ/ِ*ْ8َِ@ُْْ "َِقَ ﺏF ْوَإِن (35 :ًا )ا*?ء8َِF ً&8َِ َُ&َ إِن اَ آَن/َ*ْ8َِ اُ ﺏIDَُ! ً>َGْHِإ Artinya : "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An-Nisaa : 4 : 35)
L ه8 أﺏ- L ه- ﺏM!" - M!" - ا&ام ﺏ-! وه ﺏO! *> P*ن ه2! وﺱ ﺱ& وه8 R اH R إ رﺱل اDأ & و َُ2َUَْ هَُ اR إِن ا: لD وﺱ8 R اH R رﺱل اTD 2Uأﺏ ا ْWُِْ ٍَ أLْ8َ" ِD ََْ@ُْاFْ إِذَا اWَِْﻡY إِن:َََلD َِ؟2َUْْ*َ اَﺏَا2َ ََْD ُْ2ُUِْْ ا8َِوَا َ اََِْ؟-َِ&َ َ]َ ﻡD َا.ََ ه-َ?ْ>َ ﻡَ ا:ََلY .ِ-ْ8َْ!َِ@ْ اGَُ آWِ[ََD ُْ/َ*ْ8َُ ﺏZْ&َ2َUَD ََلY .ُMْ!َِ" :ََلY ْ اَآَُْهُْ؟-َ&َD :ََلY ,َْ?ُِ وَﻡRُ وََُْاMْ!َُ" ْWِ :ََلY (%?* اTٍ )رواMْ!َُ" َُْ اَﺏZَْ4َD :ََِْ وَﺱ8ََ ُRَ اH Artinya: “Yazid (Ibn al-Miqdam bin Syuraih) menceritakan kepada kami, (riwayat) dari Syuraih bin Hani dari ayahnya (Hani), bahwa ketika ia (Hani) menemui Rasulullah SAW banyak orang memanggilnya dengan panggilan Abul Hakam, kemudian Rasul memanggil Hani seraya bersabda: sesungguhnya Hakam itu adalah Allah dan kepadaNyalah dimintakan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abu al-Hakam?” Abu Syuraih menjawab: jika kaumku bersengketa maka mereka mendatangiku untuk meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan putusanku”, kemudian nabi mengomentari jawaban Abu Syuraih : “Alangkah baiknya perbuatanmu ini! Apakah kamu mempunyai anak ?”. Abu Syuraih menjawab: “Ya, saya punya anak yaitu Syuraih, ‘Abdullah, dan Musallam”. Siapa yang paling tua? “. Tanya Nabi. Jawab Abu Syuraih: “Syuraih” kata Rasul: “kalau begitu, engkau adalah Abu Syuraih”. (HR. Al-Nasa’i).30 Adapun dasar hukum yang ketiga adalah Ijma' ulama, yang telah memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa setelah wafat Rasulullah SAW, banyak dilakukan pada masa sahabat 30
Abdurrahman Ibn Syu’aib al-Nasa’I, Juz VIII Bab “Idza Hakamu Rajulan Faqadha Bainahum” (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1138 H), h. 199
dan ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah dan konsensus antara mereka sehingga menjadi Yurisprudensi Hukum Islam dalam beberapa kasus. Keadaan Ijma sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak semua masalah sosial keagamaan tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah secara rinci. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, bahwa tolaklah permusuhan hingga mereka damai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka. Sedangkan dasar hukum arbitrase yang berlaku secara positif dapat dijelaskan bahwa, Alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat umum, yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undangundang No. 32 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu.
3. Macam-macam Arbitrase Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu sebagai berikut : a. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase) Disebut dengan arbitrase ad-hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini
keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc ini pun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Para arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan halhal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.31 Dalam arbitrase ad hoc proses beracara dalam arbitrase ditentukan sendiri oleh para pihak menurut ketentuan yang lazim berlaku, atau jika dikehendaki dapat diikuti proses beracara pengadilan. Pada arbitrase ad hoc para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administrasi dan arbitrase. Namun demikian dalam pelaksanaannya, arbitrase ad hoc ini memiliki kesulitan antara lain kesulitan dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dan arbitrase serta kesulitan dalam merencanakan metodemetode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak. Karena
31
Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 19
ada beberapa kesulitan itu sering kali dipilih bentuk arbitrase kedua yaitu arbitrase institusional. b. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase) Sedikit berbeda dari arbitrase ad-hoc, arbitrase institusional keberadaannya praktis bersifat permanen, dan karenanya juga dikenal dengan nama "permanent arbitral body". Arbitrase institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa terbit dari kalangan dunia usaha hampir dari semua Negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendirisendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukkan diri pada aturan-aturan main dari lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturanperaturan yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut.32 Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen karena sering juga disebut “Permanent Arbitral Body” sebagaimana dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.
32
Ibid., h. 20
Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang dibentuk setelah perselisihan timbul. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai. Arbitrase
institusional,
proses
beracara
dalam
arbitrase
institusional biasanya memutus proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga tersebut. Dalam arbitrase institusional, di samping ketentuan yang berlaku umum tata cara pengangkatan arbiter biasanya sudah ditentukan oleh lembaga tersebut, termasuk perlawanan yang mungkin ditiadakan terhadap arbiter yang ditunjuk. Selain itu bagi arbitrase institusional, proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutuskan proses beracara yang sudah baku menurut lembaga tersebut.
4. Syarat – Syarat Menjadi Arbiter
Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:33 a. Cakap melakukan tindakan hukum; b. Berumur paling rendah 35 tahun; c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun; Dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera, dan pejabat-pejabat lainnya tidak dapat di tunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ketentuan yang mengatur mengenai berakhirnya tugas arbiter dalam bab dapat kita temui dalam bab VIII dari pasal 73 sampai dengan pasal 75 Undang-undang No 30 tahun 1999. Dalam pasal 73 Undang-undang tahun 1999 dikatakan bahwa tugas arbiter berakhir karena:34 a. Putusan mengenai sengketa telah di ambil;
33
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60 34
Ibid., 78
b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah di perpanjang oleh para pihak telah lampau; atau c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali pertunjukan arbiter; Sedangkan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) BASYARNAS pasal 5 dijelaskan syarat-syarat untuk diangkat menjadi arbiter sebagai berikut:35 a. Beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Ahli dalam ilmu, baik murni maupun terapan dan telah mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun dalam bidangnya; c. Memiliki integritas, kredibilitas serta nama baik di masyarakat; d. Menyatakan setuju dan menerima segala ketentuan yang ada dan peraturan prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan Arbitrase Syariah Nasional; e. Mengisi dan menandatangani formulir isian yang disiapkan oleh Badan Pengurus dan siap untuk dilantik sebagai arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional; Berakhirnya masa ke-anggotaan sebagai arbiter, dikarenakan sebagai berikut:36 a. Meninggal dunia
35 36
Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, (Jakarta: BASYARNAS, 2006), h.57 Ibid.,h. 57-58
b. Atas permintaan sendiri c. Menduduki jabatan yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku dilarang untuk menjadi arbiter d. Diberhentikan (dengan alasan karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai arbiter dan/atau melakukan perbuatan yang tercela dipandang dari agama Islam). Seorang arbiter memiliki tugas pokok sebagai berikut:37 a. Memeriksa dan memberi putusan arbitrase dalam jangka waktu yang telah ditentukan
(menurut
pasal
48,
paling
lama
180
hari
sejak
penunjukan/pengangkatannya); b. Bersikap independen dalam menjalankan tugasnya demi mencapai suatu putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang beda pendapat, berselisih paham maupun yang bersengketa; c. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter/majelis arbiter harus terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa (pasal 45 ayat 1); d. Apabila usaha mendamaikan tersebut berhasil, maka arbiter/majelis arbiter membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut;
37
Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, h. 58
Tugas arbiter berakhir sebagaimana diatur dalam pasal 37 UU. No. 30/1999, adalah sebagai berikut:38 a. Apabila putusan mengenai sengketa telah diambil; b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah dilampaui; c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter;
C. Tinjauan Umum Mediasi 1. Pengertian Mediasi Para penulis dan praktisi yang berusaha menjelaskan pengertian mediasi. Tetapi, upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya. Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan
38
Ibid ., h. 58-59
sebuah proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.39 Mediasi adalah forum penyelesaian sengketa yang sekarang sudah juga mulai berkembang. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang netral. Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh mediator.40 Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 02/2003,
pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 6, yaitu: Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Disini disebutkan kata mediator, yang harus mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa yang diterima para pihak. Pengertian mediator, disebutkan dalam pasal 1 butir 5, yaitu: mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.41 Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi dengan
39
Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 119 40 BMAI, Peraturan Badan Mediasi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 7 41 Soemartono, Arbitrase Dan Medias Di Indonesia, h.119
antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.42 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara “pribadi” dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi.
2. Landasan Hukum Mediasi Dasar hukum mediasi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 1999 pasal 1 ayat 10 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
42
Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 120
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.43 Pada tanggal 11 September 2003 yang lalu Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 yang mengatur tentang mediasi. Perma ini dirancang oleh Mahkamah Agung dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), yaitu organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Sejauh ini IICT telah memberikan sumbangsih atas penyelenggaraan penyelesaian sengketa secara efektif melalui upaya untuk mengembangkan pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat yang demokratis, harmonis, menghargai kemajemukan dan kesetaraan serta mengembangkan pola-pola penyelesaian sengketa yang mencerminkan keadilan prosedural dan subtansial. Adapun Badan Mediasi Asuransi Indonesia beroperasi berdasarkan Surat
Keputusan
Bersama:
MENTERI
KOORDINATOR
BIDANG
PEREKONOMIAN (Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006), GUBERNUR BANK
INDONESIA
(Nomor:
8/50/KEP.GBI/2006),
MENTERI
KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006) dan MENTERI NEGARA BADAN
USAHA
MILIK
NEGARA
(Nomor:
KEP-75/MBU/2006)
TENTANG: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan
43
Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 163.
di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Juga berdasarkan pada lampiran III Lembaga Keuangan Non-Bank poin-3, program-3 tentang Perlindungan Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI.44
3. Syarat – Syarat Menjadi Mediator Mengingat
mediator
sangat
menentukan
efektivitas
proses
penyelesaian sengketa, ia harus secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Jika ia berpengalaman tak terbiasa berperkara di pengadilan, hal itu sangat membantu. Tetapi, pengalaman apapun, selain pengalamannya sendiri sebagai mediator, memang kurang relevan. Pengetahuan secara substansi atas permasalahan yang disengketakan tidak mutlak dibutuhkan, yang lebih penting adalah kemampuan menganalisis dan keahlian dalam menciptakan pendekatan pribadi. Dalam PP No.54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yaitu:45 a. Cakap melakukan tindakan hukum; b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
44
BMAI, Peratutan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 64 Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 133 45
c. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima0 tahun; dan d. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Di samping itu, mediator (atau pihak ketiga) harus memenuhi syarat sebagai berikut:46 a. Disetujui oleh para pihak yang bersengketa; b. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; c. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Penyebutan kriteria atau persyaratan sebagai mediator secara terperinci menjadi sangat penting karena dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02/2003 hal itu tidak diatur. Oleh karena itu, kriteria atau persyaratan di atas sangat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pengangkatan mediator dalam berbagai kasus lainnya, tentunya dengan berbagai pertimbangan sesuai dengan kebutuhan. Dalam praktek, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkan berhubungan secara menyenangkan dengan masingmasing pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak 46
Ibid., h. 133-134
menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berpikir masing-masing pihak, serta kesiapannya untuk memahami dengan empati pandangan para pihak. Mediator perlu memahami dan memberikan reaksi positif (meskipun tidak berarti setuju) atas persepsi masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan kepercayaan. Jika para pihak sudah percaya kepada mediator dan proses mediasi, mediator akan lebih mampu membawa mereka ke arah konsensus.47
4. Tujuan Mediasi Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk: a. Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan; b. Melenyapkan kesalahpahaman; c. Menentukan kepentingan yang pokok; d. Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; e. Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak;48
47
Ibid., h. 135 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet-4, h. 156-157 48
BAB III TINJAUAN UMUM BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)
A. Badan Arbitrasee Syariah Nasional (BASYARNAS) 1. Sejarah Berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Di Indonesia lembaga arbitrase telah didirikan pada tanggal 3 Desember 1977 dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Prakarsa pendirian BANI disponsori oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN).49 Seiring dengan kehadiran Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang merupakan konfirmasi dari eksistensi atau legitimasi terhadap badan arbitrase di Indonesia, maka hadir pulalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan salah satu wujud dari arbitrase syariah yang pertama kali didirikan di Indonesia. Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) bermula dari Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang pendiriannya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pada tanggal 5 jumadil awal 1414 H, bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan Akta Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 oktober 49
Suhrawardi K. Lubis, Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 184
1993. Didalam Akta pendirian Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), yang dimaksud dengan yayasan ini bernama: YAYASAN BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA disingkat BAMUI (pasal 1). 50 Instansi ini merupakan badan pekerja yang berada di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kelehirannya menyusul hadirnya Bank Muamalah Indonesia sebagai bank syariah pertama, kemudian disusul dengan Asuransi Syariah yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia. Proses awal berdirinya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), dengan adanya pertemuan pertama dan kedua diruang rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI), masing-masing tanggal 22 April 1992 dan 2 Mei 1992. Kemudian melalui surat keputusan Nomor 392/M.U.I/V/1992 memutuskan untuk mengangkat kelompok kerja pembentukan Lembaga Arbitrase Islam. Kelompok kerja dibagi menjadi dua bagian, yaitu nara sumber terdiri dari: Prof. K.H.Ali Yafie; Prof K.H. Ibrahim, LML; H. Andi Lolo Tonang, S.H.; H. Hartono Mardjono, S.H.; Jimly Asshiddiiqie, S.H., M.A; panitia teknis terdiri dari: Abdul Rahman Saleh, S.H., (koordinator), dengan anggotanya, Dr. Herman Rajagukguk, S.H.; LL.M; Hidayat Achyar, S.H.; Dr. Satria Efendi; M. Zein; Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H.; Yudo Paripurno, S.H.; Drs. H. Syaidu Syahar, S.H.; H.A Z. Umar Purba, S.H.; dan Drs. K.H. Ma’ruf Amin. Sebagai sekretaris adalah H.M. Isa Anshary, M.A dan Drs Ahmada Dimyati.
50
BAMUI, Salinan Aktia Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, (Jakarta: BAMUI, 1999), h. 15
Pada tanggal 29 Desember 1992 Tim Kerja Pembentukan Badan Arbitrase melaporkan hasil kerjanya dan menjadi agenda keputusan TAKERNAS MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) seluruh Indonesia tanggal 24-27 November 1992 di Jakarta. Keputusan tersebut berkaitan dengan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), bahwa : “Sehubungan dengan rencana pendirian lembaga Arbitrase Syariah Rakernah menyarankan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera merealisasikan pembentukannya”. Sebagai realisasi dari keputusan itu, maka pada tanggal 4 Januari 1993 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengelurkan Surat Keputusan Nomor 08/M.U.I/I/1993 tentang panitia persiapan peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Kemudian selama kurang lebih 10 tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjelaskan perannya dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan pengurus
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sudah banyak yang meniggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagai diatur dalam undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut. Maka atas nama keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia No: Kep-09/M.U.I/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menjadi badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat oraganisasi
Majelis Ulama
Indonesia (MUI).51
51
Salinan Akta Pernyataan Keputusan Raapt Dewan Pimpinan MUI tentang Basyarnas No. 15, (Jakarta: BASYARNAS, 29 Januari 2004)
Kemudian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam melainkan menjadi suatu kebutuhan riil adanya praktek perdata secara perdamaian dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu tujuan di dirikan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai
badan permanent yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan jasa dan lain-lain di kalangan umat islam. Menurut H.S. Prodjokusumo, Seketaris Umum Majelis Ulama MUI, menyebutkan bahwa gagasan pembentukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari kontek perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam.52 Oleh karena itu sangat pentingnya keberadaan lembaga Arbitrase seperti Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), karena hampir setiap Negara mendirikan lembaga arbitrase untuk keperluan para pembisnis. Apalagi di zaman era globalisasi ini, frekuensi bisnis sangat padat dan hampir tanpa ada pemisah antar Negara. Dengan demikian, di kemudian hari pasti akan timbul permasalahan bisnis antara para pihak. Hal ini untuk menghindari penyelesaian terlalu lama. Penyelesaian perkara melalui badan Arbitrase dianggap lebih murah, cepat, dan
52
Khirul Wasif, (ed), Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta, BAMUI, 1994), cet, ke-1, h. 129
dapat menjaga kredibilitas perusahaan. Itulah alasannya, mengapa di setiap Negara didirikan badan arbitrase dan keberadaannya sangat dibutuhkan. Terdapat sejumlah alasan, para pembisnis memilih penyelesaian sengketa ke badan arbitrase daripada ke lembaga pengadilan, antara lain di kemukakan oleh Roedijono,53 bahwa daya tarik relatif arbitrase adalah refleksi dari kelemahan-kelemahan litigasi. Prosesnya bilamana secara tepat dilaksanakan, menjanjikan party autonomy yang maksimal, campur tangan yang minimal dari pengadilan dan berkaitan dengan arbitrase internasional, pengakuan dan pelaksanaan putusan peradilan wasit, jadi arbitrase memberikan beberapa keunggulan; pemilihan arbiter oleh para pihak (pemilih ahli yang diinginkan), keterbatasan upaya hukum atas putusan arbiter, kerahasiaan, kenyamanan para pihak, prosedur yang tidak formal dan eksekusi putusan arbiter sebagai vonis. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah beban (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.
2. Fungsi dan Tujuan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Setiap lembaga atau badan pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapainya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan tujuan tersebut maka suatu lembaga atau badan dapat memperkirakan mutu didirikannya badan atau
53
Roedijono, Alternative Dispute Resolution (ADR) (Pilihan Penyelesaian Sengketa), (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1996), h. 5-5.
lembaga tersebut. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai visi dan misi yaitu sebagai berikut: Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya) yang ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diputuskan secara final dengan prinsip perdamaian. Dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Aulawi terdaapt nilai-nilai dan juga konstruktif yaitu:54 1. Kedua belah pihak menyadari sepenuh perlunya penyelesaian sengketa
yang
terhormat dan bertanggung jawab. 2. Secara suka rela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayai. 3. Secara suka rela mereka akan menyelesaikan putusan dari arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter 4. Kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus disepakati 5. Mereka menghargai hak orang lain itu adalah lawannya. 6. Mereka tidak ingin meresa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada orang lain 7. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara atau bermasyarakat sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri
54
Badan Arbitrase Syariah dan Perannya dalam Mendukung Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: BASYARNAS, 2004), h. 16
8. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase itu di dalamnya mengandung makna musyawarah dan perdamaian. Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:55 1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam perdagangan industri, keuangan, jasa dan lain-lain 2. Memenuhi permintaan yang di ajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan pendapat yang mengikat mengenai persoalan yang berkenaan dengan perjanjian tersebut.
3. Struktur Organisasi Penasehat
1. Dr. K.H. Sahal Mahfudh 2. Prof. K.H. Ali Yafie 3. Prof. Dr. H. Said Agil Husein Munawar, M.A. 4. Prof. H. Bismar Siregar, S.H. 5. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H. 6. Prof. Dr. H.M. Tahir Azhary, S.H. 7. Prof. Dr. Umar Shihab 8. Prof. Dr. H. Asmuni Abdurrahman 9. KH. Kholid Fatlulluah, S.H.
55
BASYARNAS, Arbitrase Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Basyarnas, 2006) h.45
10. KH. Ma'ruf Amin 11. Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab 12. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H. 13. Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
Ketua
: H. Yudo Paripurno, S.H.
Wakil Ketua
: H. Abdul Rahman Saleh, S.H. MH.
Wakil Ketua
: H. Hidayat Ahyar, S.H.
Wakil Ketua
: Hj. Fatimah Ahyar, SH.
Sekretaris
: H. Acmad Djauhari, SH. MH.
Wakil Sekretaris
: Drs. Anwar Sanusi Adiwijaya, SH. MM.
Wakil Sekretaris
: Drs. H. Ahmad Dimyati
Bendahara
: Dr. Ir. H. Riyanto Sofyan
Wakil Bendahara
: Drs. H. Mochtar Luthfi, SH.
Wakil Bendahara
: Dra. Euis Nurhasanah
Anggota
: Prof. Dr. Erman Rajagukguk, SH, LLM H.A. Zen Umar Purba, SH, LLM Tgk. H. Ir. Ibrahim Arief, SH, M.Agr. H.M. Isa Anshar, MA. Dra. Hj. Siti Ma'rifat, SH. MM.
Niniek Rustinawati, SH. H.M. Saeful Rahman, SH Mohammad Nur, SH
B. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) 1. Sejarah Berdirinya Badan Mediasi Asuransi Indonesia Badan Mediasi Asuransi Indonesia adalah lembaga independen dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian sengketa klaim (tuntutan ganti rugi atau manfaat) asuransi antara Perusahaan Asuransi dengan Tertanggung atau pemegang polis.56 Pendirian Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) digagas oleh industri asuransi dan semua Asosiasi Perusahaan Perasuransian Indonesia (FAPI) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial
Indonesia
(AAJSI), serta didukung oleh pemerintah. Tujuan pendirian Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) adalah untuk memberikan pelayanan yang lebih profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak tertanggung atau pemegang polis. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) secara resmi didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi pada tanggal 25 September 2006.57
56 57
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 64 Ibid.,
Adapun Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini beroperasi berdasarkan Surat BIDANG
Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINATOR
PEREKONOMIAN
GUBERNUR
BANK
(
Nomor:
INDONESIA
KEP-45/M.EKON/07/2006),
(Nomor:
8/50/KEP.GBI/2006),
MENTERI KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006), dan MENTERI NEGARA
BADAN
USAHA
MILIK
NEGARA
(Nomor:
KEP-
75/MBU/2006) TENTANG : PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. 58
2. Fungsi dan Tujuan Badan Mediasi Asuransi Indonesia Setiap Lembaga atau Badan pasti mempunyai Fungsi dan Tujuan. Begitu juga dengan Badan Mediasi Asuransi Indonesia yang mempunyai Fungsi akan selalu bertindak independen dalam memberikan pelayanan dan sebagai media yang tidak memihak (imparsial) dan penengah perselisihan dan tidak akan bertindak sebagai penasihat hukum baik bagi Anggota, Pemohon atau pihak-pihak lainnya yang mengajukan sengketa kepadanya. Sedangkan tujuan dari Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yaitu untuk memberikan pelayanan yang lebih profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak tertanggung atau pemegang polis.
58
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, h. 64
3. Struktur Organisasi Badan Mediasi Asuransi Indonesia59
KETUA Frans Lamury
59
SEKRETARIS
BENDAHARA
Ketut Sendra
Firdaus Anwar
http: // www.bmai.or.id pada tanggal 01 Juli 2008
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI MENURUT PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)
Sengketa Asuransi Di dalam kamus bahasa Indonesia istilah sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat atau pertengkaran. 60 Dalam bidang usaha asuransi perbedaan pendapat terjadi disini adalah antara penanggung dan tertanggung
yang
disebabkan
adanya
ketimpangan
yang
diharapkan,
kemungkinan itu adalah berupa tejadinya hal yang tidak diinginkan. Oleh karenanya bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan inti permasalahan sekian banyak liku-liku, akan tetapi pada akhirnya intinya akan muncuk ke permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.61 Oleh karena itu paling efektif kalau dapat diselesaikan dengan putusan yang final dan mengikat melalui arbitrase, mediasi, atau alternatif penyelesaian sengketa tertentu. Dengan demikian sengketa tersebut dapat diputuskan, atau 60
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. Ke-10, h.914. H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneka, 2002), Cet. Ke-1, h.1 61
setidak-tidaknya diklarifikasi atau mempersempit persoalan melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat saja diselesaikan dengan melakukan negosiasi langsung oleh para pihak tanpa perlu bantuan pihak ketiga atau diselesaikan secara intern. Permasalahan yang terkadang menimbulkan sengketa antara penanggung dan tertanggung kemungkinan itu adalah berupa terjadi hal yang tidak diinginkan. Seperti dalam hal pembayaran klaim. Klaim yamg diajukan tidak diterima oleh perusahaan asuransi karena ada syarat-syarat yang belum dipenuhi atau ada sebab-sebab tertentu yang menyebabkan tidak diterimanya klaim yang diajukan tetapi tertanggung merasa telah memberikan semua keterangan yang diperlukan. Selain itu sengketa asuransi dapat saja terjadi karena adanya wanprestasi menurut kamus hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.62
Jadi wanprestasi adalah suatu
keadaan dimana salah satu pihak baik tertanggung maupun penanggung tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.
B. Faktor – Faktor Yang Menimbulkan Terjadinya Sengketa Asuransi Ada beberapa hal yang menimbulkan terjadinya sengketa atau perselisihan asuransi diantaranya sebagai berikut:
62
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1991), h.339
1. Tertanggung tidak membaca polis, kontrak asuransi sehingga ini tidak tahu pasti isi perjanjian, tidak paham apa yang dijamin, apa yang tidak dijamin dan apa yang dikecualikan, apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan, berapa besar manfaat asuransi yang di dapat, selain itu salah satu alasan yang sering diberikan tertanggung adalah kontrak asuransi yang cukup panjang dan sering ditulis dengan huruf yang kecil-kecil. 2. Petugas asuransi memberikan penjelasan atau keterangan kurang jelas dan detail, serta kurang rinci mengenai isi dari polis dan klausul-klausul yang dilekatkan, sehingga tertanggung tidak mempunyai informasi yang cukup. 3. Tertanggung sering beranggapan bahwa semua resiko dijamin dan semua kerugian dan ada kerugian yang ditanggung sendiri oleh tertanggung. 4. Perbedaan pendapat melakukan penilaian terhadap besar kecilnya kerugian, kalau perbedaan ini sampai tidak ada titik temunya, maka diserahkan pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) atau kalau terpaksa diselesaikan melalui pengadilan. 5. Perbedaan persepsi dalam menyelesaikan sebab-sebab terjadinya kerugian, terutama bila disinyalir ada moral hazard atau perilaku buruk. Untuk menyelesaikan masalah ini kadang kala harus melalui bantuan pihak berwenang. Dari uraian di atas penulis dapat simpulkan, bahwa sengketa asuransi syariah itu adalah perbedaan pendapat antara tertanggung dan penanggung yang
disebabkan adanya ketimpangan yang diharapkan, kemungkinan itu adalah berupa hal yang tidak diinginkan sehingga terjadi perselisihan. Dan sengketa asuransi syariah tersebut dapat disebabkan karena adanya wanprestasi yang berarti: kelalaian, kealpaan, cidera janji, dan tidak menetapi kewajiban dalam perjanjian. Selain itu sengketa asuransi syariah dapat di sebabkan karena kesalahan teknis seperti: tertanggung tidak membaca polis atau isi dari surat perjanjian, kurang tegasnya petugas dalam memberikan penjelasan isi polis dan klausul-klausul yang dilekatkan pada isi perjanjian, adanya moral hazard (perilaku buruk) dan lain-lain.
C. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) 1. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Pada dasarnya BASYARNAS mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah. Kontribusi BASYARNAS yang sangat penting ini untuk menyelesaikan sengketa asuransi syariah yang terjadi diantaranya para pihak dan pada umumnya setiap perusahaan yang mengeluarkan produk syariah. Sesungguhnya atas dasar prakarsa MUI kelahiran BASYARNAS dimaksudkan untuk membantu menyelesaikan persengketaan yang timbul antara BMI, BPR Syariah, dengan para nasabahnya atau pengguna jasa
Perbankan lainnya. Kehadiran BMI, BPR Syariah, Asuransi Takaful dan Baitul Mal Watammil telah membawa pengaruh yang besar terhadap aktivitas ekonomi umat Islam. Lembaga-lembaga ekonomi ke-Islaman tersebut dalam menjalankan kegiatannya operasionalnya selalu dituntut untuk mengacu kepada hukum Islam. Karena hubungan perekonomiannya berada dalam lingkup Islami. Setelah asuransi syariah mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 1994, ditandai dengan beroperasinya asuransi syariah Takaful yang menjadi dasar beroperasinya pada waktu itu. Sambutan masyarakat terhadap asuransi syariah cukup bagus Takaful dapat mengumpulkan premi dalam jumlah yang signifikan dalam Tahun awal operasinya dan tetap naik setiap tahunnya, masyarakat Islam yang pada awalnya kurang mengenai apa itu asuransi syariah seakan kuat memajukan perekonomian umat.63 Masyarakat Islam yang sudah mempunyai Insurance Minded ini tentu berharap, uang yang dikumpulkan melalui asuransi akan dapat memmbantu saudaranya yang di timpa musibah. Selanjutnya bagian tertentu dari premi yang dikumpulkan dapat diinvestasikan di kalangan umat Islam. Dilihat dari segi prinsip yang ditawarkan, umat Islam juga merasa aman berasuransi dengan asuransi syariah karena terbebas dari riba, gharar, maisir,
63
M. Luthfi Hamidi, Jejak – jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta: Senayan Abidi Publishing, 2003), Cet. Ke-1, h. 255.
dan lain-lain yang membawa kepada dosa.64 Sejak berdirinya Asuransi Syariah Takaful pada tahun 1994 belum pernah terjadi sengketa yang sampai diselesaikan ke BASYARNAS sekalipun ada sengketa diselesaikan secara musyawarah internal, namun hubungan asuransi syariah Takaful dengan para kliennya atau para pihak pengguna jasa asuransi syariah, kemungkinan sewaktu-waktu akan menimbulkan ketidakserasian yang dapat mengakibatkan perselisihan diantara kedua belah pihak yang harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase syariah yaitu BASYARNAS. Setiap sengketa asuransi syariah yang terjadi dapat diselesaikan ke BASYARNAS apabila penyelesaian sengketa asuransi syariah telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian awal atau sudah tertera dalam klausul perjanjian awal asuransi syariah yang menunjuk BASYARNAS tempat dimana sengketa perkara-perkara tersebut diselesaikan dan diputus secara final oleh BASYARNAS bila terjadi sengketa asuransi syariah dan apabila tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah antara perusahaan dan kliennya secara internal.65 Oleh karena itu, sejak berdirinya BASYARNAS sampai sekarang ini, belum ada perkara asuransi syariah yang masuk dan diselesaikan oleh BASYARNAS. Namun hanya ada beberapa perkara yang berkaitan dengan biaya bermasalah dan seluruh putusan yang diputus diterima sebagai putusan 64
Ibid., h. 256. Euis Nurhasanah, Sekretaris Harian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 April 2008. 65
yang final oleh para pihak yang bersengketa dan tidak ada yang menyesal atau banding dari putusan tersebut. Karena pada dasarnya perkara-perkara yang diselesaikan di BASYARNAS selalu dan harus mengutamakan penyelesaian secara damai dan dianjurkan dalam Islam. Karena penyelesaian sengketa asuransi syariah di BASYARNAS merupakan alternatif terakhir, sehingga bila terjadi sengketa asuransi syariah dapat diselesaikan dengan musyawarah, dan apabila dengan jalan musyawarah antara tertanggung dan penanggung tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, maka alternatif terakhir sengketa asuransi syariah tersebut diselesaikan melalui BASYARNAS. Hal inilah yang menutup kemungkinan belum ada sengketa asuransi syariah yang diselesaikan pada BASYARNAS karena perusahaan asuransi syariah dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan musyawarah dan itu sesuai dengan pernyataan klausul-klausul dari setiap perjanjian asuransi bila terjadi sengketa asuransi itu diselesaikan dengan cara musyawarah, dan alternatif terakhir diselesaikan melalui BASYARNAS bila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah. Walaupun demikan BASYARNAS telah mempunyai kontribusi dalam
penyelesaian
sengketa
asuransi
syariah
dengan
memberikan
keuntungan kepada para pihak dibandingkan model penyelesaian sengketa secara konvensional melalui ligitasi sistem peradilan, diantaranya:
1. Mengutif penjelasan umum Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan pranata peradilan, yaitu antara lain: a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. b. Dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil. d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. 2. Menurut Sayyid Sabiq,66 bahwa penghormatan terhadap perjanjian menurut Islam hukumnya wajib, melihat pengaruh yang positif dan perannya yang sangat besar dalam memelihara perdamaian dan melihat urgensinya dalam mengatasi kemusyrikan, menyelesaikan perselisihan dan menciptakan kerukunan.
66
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah II, (Bandung: PT Al-Maa’rif, 1987), h. 173
3. Menurut Prof. Dr. Sudargo Gautama.67 Menyebutkan beberapa alasan yang menjadikan arbitrase demikian popular dalam transaksi yang internasional, antara lain dihindarkannya publisitas, tidak banyak formalitas, bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi, baik untuk pedagangpedagang
bonafide,
ada
jaminan
dari
perkumpulan-perkumpulan
pengusaha lebih murah dan cepat. 4. Menurut Goodpaster, Felix O. Subagio dan Fatma Jatim,68 menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu: a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan. b. Keahlian (expertise). c. Cepat dan Herat biaya. d. Bersifat rahasia. e. Bersifat nonpreseden. f. Kepekaan arbiter. g. Pelaksanaan keputusan, dan h. Kecenderungan yang modern. 5. Menurut Huala Adolf.69 Ada beberapa alasan mengapa pengusaha lebih menyukai forum arbitrase daripada pengadilan antara lain:
67
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase: Seri Hukum Bisnis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 5 68 Ibid., h. 5 69 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. Ke-1, h. 1-3.
a. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak mengikuti formalitasformalitas yang ketat dan kaku. b. Arbitrase relatif lebih murah. c. Putusan arbitrase lebih memuaskan karena ditangani oleh arbitratorarbitrator yang memang dipilih oleh para pihak berdasarkan keahliannya. d. Berproses melalui arbitrase memelihara dan menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa. e. Dari segi kepentingan dan bisnis, arbitrase dipsndang sebagai upaya penyelesaian yang tepat. 5. Menurut Pierre Lalive.70 Dengan menyelesaikan suatu sengketa melalui arbitrase, para pihak diupayakan untuk bisa tetap berhubungan komersial di masa depan. Dengan demikian, melalui penyelesaian cara ini, badan arbitrase mengupayakan agar para pihak tidak bermusuhan, tetapi memelihara hubungan komersial mereka setelah sengketanya diputus. Pendek kata mereka tetap berhubungan dengan baik setelah sengketanya diselesaikan oleh arbitrase. 6. Menurut Euis Nurhasanah, penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah khususnya BASYARNAS mempunyai keuntungan diantaranya yaitu: a. Cepat dan murah 70
Ibid., h. 1-3
b. Tidak ada banding c. Rahasia dan tertutup dengan umum d. Diselesaikan dengan arbiter (wasit) yang pakar dan ahli. Sebagai lembaga arbitrase, kekuatan hukum yang dibuat oleh BASYARNAS punya kekuatan yang mengikat. Setiap salinan putusan dikirimkan ke Pengadilan Negeri untuk menjadi arsip. Hakim Pengadilan Negeri
tidak
boleh
lagi
memeriksa
perkara
yang
sudah
diputus
BASYARNAS. Jika harus ada eksekusi pun BASYARNAS bisa meminta bantuan dari Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi setelah memilki kekuatan hukum tetap 2 bulan. Sejauh ini perhatian terhadap BASYARNAS memang masih minim. Terlihat jelas dari perkara yang masuk. Mungkin kurang sosialisasi sehingga masyarakat kurang mengenal. Padahal menyelesaikan sengketa lewat BASYARNAS lebih singkat dan sederhana, selain prosesnya lebih sesuai dengan nilai Islam keputusan arbitrase tidak boleh dibanding, berbeda bila ke Pengadilan Negeri karena masih ada proses banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali. Bagi perusahaan besar seperti perusahaan-perusahaan asuransi syariah lebih efisien bila menggunakan BASYARNAS. Selain tidak terbuka secara publik, penyelesaiannya sangat singkat dan sederhana. Perusahaan besar selama ini lebih tertarik dengan penyelesaian perselisihan lewat arbitrase ketimbang peradilan.
BASYARNAS memeriksa berdasarkan isi perjanjian. Perselisihan diperiksa oleh hakim Tunggal atau Majelis tergantung pada tingkat kesulitan perkara. Para Arbiter (hakim) pakar dibidangnya. Setiap panel terdiri dari pakar hukum dan Syariat serta praktisi bisnis atau keuangan syariah. Lebih dari 20 (dua puluh) pakar bergabung dalam arbiter. Mereka akan datang sesuai penunjukan dan bidang masalah. Oleh karena itu keberadaan Badan Arbitrase
Syariah
Nasional
sangat
diperlukan
kontribusinya
untuk
menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang terjadi pada perusahaan asuransi syariah bila terjadi sengketa atau perselisihan. 71 Dari uraian di atas penulis dapat simpulkan, walaupun hanya ada belasan perkara yang diperiksa oleh BASYARNAS dan belum adanya sengketa asuransi syariah yang masuk untuk diselesaikan oleh BASYARNAS karena seluruh sengketa dapat diselesaikan sendiri secara musyawarah internal. Walaupun demikian kontribusi BASYARNAS sangat dibutuhkan oleh perusahaan asuransi syariah apabila terjadi sengketa, serta jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri secara musyawarah internal. Karena penyelesaian sengketa pada BASYARNAS mempunyai keuntungan dari pada lembaga peradilan lainnya yaitu: lebih cepat, hemat biaya, tidak ada banding, dan tidak terekspose secara publik sehingga perusahaan asuransi syariah dapat menjaga nama baiknya. Berbeda bila penyelesaian sengketa diselesaikan
71
Hanya Belasan Perkara Yang Masuk ke BASYARNAS Selama 12 Tahun, www.basyarnas.com, h. 2
melalui Peradilan Negeri (PN) karena masih ada proses banding, kasasi, peninjauan kembali, serta terekspose dari publik. Selain itu proses penyelesaiannya sangat lama dan memerlukan biaya yang sangat mahal.
2. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Menurut Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sengketa adalah perselisihan yang timbul sehubungan dengan penolakan tertulis oleh anggota atas klaim asuransi yang diajukan oleh pemohon kepada anggota yang menjadi penanggung berdasarkan perjanjian asuransi, yang diajukan oleh pemohon kepada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat penolakan.72 Mediasi adalah proses penyelesaian sengkata melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh mediator. Sedangkan mediator adalah karyawan tetap Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang berwenang untuk elakukan investigasi dan
72
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h.7
proses mediasi sengketa yang diajukan pemohon kepada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).73 Pemohon adalah nasabah yang mempunyai hubungan dengan anggota atau seseorang yang mempunyai kepentingan untuk menerima manfaat dari perjanjian asuransi termasuk seseorang yang atas dirinya dibuat sebuah perjanjian asuransi atau seseorang yang mempunyai hak untuk menerima manfaat dari suatu klaim asuransi yang timbul karena adanya perjanjian, undang-undang atau subrogasi, atau seorang tertanggung yang disebutkan dalam polis asuransi atau pihak ketiga yang mempunyai hak yang disebutkan dalam perjanjian asuransi untuk mengajikan klaim atas sebuah perjanjian asuransi yang menjamin atau diperluas untuk menjamin pertanggungan terhadap pihak ketiga. Sedangkan anggota adalah perusahaan asuransi dan reasuransi yang terdaftar dan memenuhi syarat-syarat keanggotaan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Pada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ada sengketa yang dapat ditangani dan ada pula sengketa yang dikecualikan yaitu sebagai berikut: Dalam pasal 3 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), sengketa yang dapat ditangani oleh BMAI diantaranya adalah: 1) Semua bentuk keluhan atau keberatan (disebut sebagai snegketa) dari pihak yang mempunyai kepentingan atas suatu jaminan polis asuransi 73
Ibid., h.7
(selanjutnya disebut sebagai pemohon) berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau manfaat asuransi dapat diajukan dan ditangani oleh BMAI, dengan ketentuan: a) Pemohon yang emngajukan adalah pihak yang berkepentingan b) Anggota yang terlibat dalam sengketa harus merupakan pihak yang tunduk pada yurisdiksi BMAI karena masih terdaftar sebagai anggota BMAI. c) Sengketa yang timbul dari permasalahan bekaitan dengan hubungan pemohon dengan anggota. d) Lingkup sengketa yang diajukan harus berada dalam yurisdiksi BMAI sejak BMAI didirikan. e) Anggota tidak dapat menyelesaikan senketa secara langsung dengan pemohon sesuai dengan tuntutan pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disampaikannya keberatan leh pemohon kepada anggota. 2) Jumlah tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak melebihi Rp. 500 juta untuk asuransi kerugian/umum dan Rp. 300 juta untuk asuransi jiwa atau asuransi jaminan sosial. 3) Semua sengketa yang belum pernah diajukan oleh pemohon kepada anggota
sehingga
anggota
belum
mendapat
kesempatan
untuk
menyelesaikannya secara langsung, akan dianggap sebagai keluhan dan
bila diajukan kepada BMAI maka BMAI akan mengembalikannya kepada anggota untuk mendapat pertimbangan lebih dahulu. 4) Lingkup daerah yurisdiksi BMAI hanya mencakup sengketa terhadap aktifitas anggota atau perwakilannya yang melakukan kegiatan usaha dalam wilayah Republik Indonesia.74 Sedangkan dalam pasal 4 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), sengketa yang dikecualikan artinya sengketa yang idak dapat diproses oleh BMAI adalah sebagai berikut: 1) Keputusan yang dibuat atas dasr pertimbangan komersial; 2) Kebijakan harga (pricing) dan kebijakan lainnya, seperti suku premi, biaya, dan kurs valuta asing; 3) Kasus yang sedang dalam proses inevestigasi oleh pihak yang berwajib, termasuk kasus-kasus dengan tuduhan adanya penipuan atau tindak kriminal dan kasus tersebut telah dilaporkan kepada yang berwajib untuk dilakukan investigasi; 4) Sengketa berkaitan dengan permasalahan hubungan antara agen dan atau pialang dengan anggota; 5) Sengketa yang telah lebih dari 6 (enam) bulan sejak anggota memberikan jawaban penolakan final;
74
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, h. 9
6) Sengketa yang telah terjadi sebelum berdirinya BMAI, kecuali bila sengketa tersebut diajukan ke BMAI dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak beroperasinya BMAI; 7) Sengketa yang sebelumnya telah diselesaikan secara langsung antara pemohon dengan anggota; 8) Sengketa yang pernah atau sedang disidangkan di pengadilan. Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri sejak tanggal 12 Mei 2006 dan beroperasi pada tanggal 25 September 2006. Sudah banyak kasus sengketa yang masuk ke BMAI kurang lebih sekitar 80 kasus sengketa asuransi, dan 10 % dari kasus tersebut sudah dapat diselesaikan oleh BMAI. Tetapi tidak dapat disebutkan perusahaan apa saja yang pernah masuk ke BMAI, karena menyangkut nama baik perusahaan. Dalam pasal 27 tentang kerahasiaan pada peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia disebutkan bahwa:75 1) Pemohon dan anggota harus menyimpan semua informasi, dokumen, korespondensi (termasuk email), hal-hal atau permasalahan yang dibahas, proposal dan balasan proposal, keputusan ajudikasi, dan lain-lain, secara keseluruhan
sangat
rahasia;
dan
tidak
akan
membukakan
atau
membocorkan rahasia tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung) kepada pihak yang lain, kecuali diperlukan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan yang berlaku atau perintah pengadilan atau 75
Ibid.,h.17
ketentuan administratif yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah lainnya, atau sebagaimana mestinya untuk melaksanakan perjanjian penyelesaian atau ajudikasi. 2) Sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan yang berlaku, perintah pengadilan atau sebagaimana mestinya untuk melaksanakan suatu perjanjian penyelesaian atau keputusan ajudikasi, semua pihak yang terlibat dalam proses mediasi dan ajudikasi harus menjaga kerahasiaan dan tidak menggunakan untuk tujuan apapun dalam proses-proses persidangan lainnya: a) Fakta bahwa proses mediasi dan ajudikasi akan, sedang atau telah berlangsung b) Hal-hal yang muncul dalam proses mediasi dan ajudikasi c) Pendapat yang dikemukakan atau usulan-usulan atau proposal yang disampaikan untuk penyelesaian sengketa oleh para pihak selama proses mediasi dan ajudikasi. d) Proposal yang diusulkan oleh mediator dan ajudikasi e) Semua bahan yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan selama proses mediasi dan ajudikasi f) Apabila pemohon tidak menerima keputusan yang dibuat oleh majelis ajudikator, kenyataan bahwa majelis ajukator telah membuat keputusan dan substansi dan persyaratan dari keputusan dan pemohon atau pemohon menolak keputusan
g) Semua bahan-bahan, informasi, korespondensi (termasuk email), masalah yang didiskusikan, proposal dan tanggapan yang disampaikan berkaitan dengan proses medisi dan ajudikasi, termasuk dan tidak terbatas pada suatu perjanjian penyelesaian kecuali bila diperlukan untuk pelaksanaan perjanjian penyelesaian tersebut. 3) Kecualikan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau perintah pengadilan, semua bahan, dokumen atau informasi lainnya yang diserahkan untuk keperluan proses mediasi dan ajudikasi bersifat khusus dan tidak dapat dipergunakan sebagai bukti dalam persidangan lainnya atas sengketa yang sama, kecuali bila dokumen tersebut dapat diterima oleh persidangan tersebut. 4) Para pihak tidak dapat meminta anggota majelis ajudikator BMAI (atau karyawan, pejabat atau wakilnya) sebagai saksi, konsultan, arbiter atau ahli dalam suatu persidangan atas sengketa yang sama. 5) Kewajiban pemohon dan anggota untuk menjaga kerahasiaan tidak berkurang dan tetap berlaku secara penuh setelah selesainya proses mediasi dan ajudikasi yang dilakukan BMAI. 6) Anggota menjamin semua pejabat karyawan, wakil-wakil dan atau agenagennya juga mematuhi ketentuan.
Menurut Ketut Sendra selaku sekretaris di BMAI,76 penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi mempunyai banyak keuntungan yaitu sebagai berikut: a) Cepat, tidak memakan waktu yang lama; b) Gratis, maksudnya tidak ada biaya; c) Rahasia dan tidak untuk publik; d) Ditangani oleh mediator yang memang ahli dalam bidang asuransi. Dalam pasal 14 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) jangka waktu penyelesaian sengketa oleh mediator, seorang mediator harus mengupayakan untuk menyelesaikan sengketa dalam jangka waktu yang wajar, dengan mempertimbangkan kompleksitas dari sengketa. Apabila sengketa asuransi dapat diselesaikan melalui mediasi, maka mediator harus mencatat secara tertulis semua persyaratan penyelesaian yang dicapai oleh kedua belah pihak. Tapi sebaliknya apabila sengketa tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, maka mediator akan meminta persetujuan ketua untuk melanjutkan sengketa ke tingkat Ajudikasi sesuia tata cara yang diatur dalam peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia.(BMAI). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, BMAI merupakan tempat penyelesaian sengketa yang mempunyai kontribusi yang sangat penting, terutama untuk penyelesaian sengketa dalam bidang asuransi. Karena
76
Ketut Sendra, Sekretaris Badan Mediasi Asuransi Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 April 20008
proses
mediasi
sangat
tepat
untuk
penyelesaian
sengketa
asuransi
dibandingkan alternatif penyelesaian sengketa lain. Penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai banyak keuntungan selain proses mediasi yang cepat, gratis (tidak ada biaya), mediator yang memang ahli di bidangnya, juga kerahasiaannya terjaga karena bukan untuk publik.
D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Setiap lembaga apapun dalam menjalankan operasionalnya selalu disertai dengan kewenangan dan peraturan prosedur. Demikian juga dengan BASYARNAS dan BMAI sebagai lembaga
Arbitrase dan Mediasi
mempunyai kewenangan dan peraturan juga prosedur yang telah ditetapkan oleh lembaga itu sendiri sebagai hukum acaranya. Untuk mengetahui lebih jauh tentang prosedur BASYARNAS dan BMAI dalam penyelesaian sengketa asuransi yaitu sebagai berikut: 1. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Pengajuan
permohonan
proses
arbitrase
dimulai
dengan
didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register BASYARNAS. Dalam surat permohonan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak, suatu
uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian arbitrasenyadan surat kuasa khusus jika diajukan. Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh BASYARNAS, untuk menentukan apakah BASYARNAS berwenang memeriksa atau memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup dijadikan dasar kewenangan BASYARNAS
untuk
memeriksa
sengketa
yang
diajukan,
maka
BASYARNAS akan menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima yang dituangkan
dalam
sebuah
penetapan
yang
dikeluarkan
leh
ketua
BASYARNAS sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh arbiter majlis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, ketua BASYARNAS segera menetapkan dan menunjuk arbiter Tunggal atau Majlis yang akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter tetap atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaannya memerlukan suatu keahlian khusus. Dengan demikian, susunan arbiter dapat pula dalam bentuk Tunggal atau Majelis. Arbiter yang ditunjuk tadi memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnyadalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Setelah diterimanya jawaban tersebut dari termohon, atas perintah arbiter atau ketua arbiter majelis, salinan dari jawabannya tersebut diserahkan kepada para pihak untuk menghadap dimuka sidang arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa. Pemeriksaan persidangan arbitrase dilakukan di tempat kedudukan BASYARNAS. Kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Sedangkan putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan BASYARNAS. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung arbiter Tunggal atau Majelis harus memberikan perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingannya yang disengketakan. Dalam jawabannya, atau paling lambat pada hari sidang pertama pemeriksaan, termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan. Terhadap bantahan yang diajukan termohon, pemohon dapat mengajukan jawaban yang dibarengi dengan tambahan tuntutan asal hal itu mempunyai hubungan erat langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk dalam yurisdiksi BASYARNAS, baik tuntutan konvensi, rekonvensi, maupun additional claim
akan diperiksa dan diputus oleh arbiter Tunggal atau Majelis terlebih dahulu akan mengusahakan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka arbiter Tunggal atau Majelis akan membuatkan akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka arbiter Tunggal dan Majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal diteruskan para pihak dipersilahkan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan asas arbitrase tertutup.
2. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Mediasi pada umumnya dilakukan melalui suatu proses secara sukarela, atau mungkin didasarkan pada perjanjian atau pelaksanaan kewajiban (Peraturan) atau perintah pengadilan. Untuk proses mediasi di pengadilan, ketentuan dalam pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung (Perma No. 02/2003 mengatakan bahwa: “mediator dan para pihak wajib mengikuti
Prosedur Penyelesaian Sengketa melalui mediasi dalam peraturan Mahkamah Agung ini”.77 Namun demikian, dengan cara apapun pembentukan mediasi dilakukan, apabila mediasi telah diterima, maka seluruh proses melalui harus dilakukan secara sukarela sampai berakhirnya mediasi. Demikian pula, proses mediasi melalui pengadilan atau di luar pengadilan dilakukan secara proses (tertutup). Masalah kerahasiaan proses mediasi di pengadilan secara tegas dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02/2003, pasal 14 ayat (1), yaitu: ”Proses Mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain. ”Tetapi, proses mediasi untuk sengketa publik, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan, dan perburuhan (yang melibatkan kepentingan banyak buruh), terbuka untuk umum. 78
Menurut Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia dalam pasal-3 ada beberapa prosedur penanganan sengketa yaitu sebagai berikut:79 a. Setiap Anggota BMAI tentu telah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan setiap klaim yang diajukan oleh tertanggung baik sesuai
77
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 141 78 Ibid,. 141-145 79 BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h.52-53
dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam polis maupun atas dasar pertimbangan komersial lainnya.
b. Apabila anggota BMAI memutuskan untuk menolak baik sepenuhnya atau sebagian dari klaim yang diajukan tertanggung, maka penolakan tersebut berpotensi untuk berkembang menjadi perselisihan dengan tertanggung. c. Apabila tidak bisa dicapai suatu penyelesaian secara langsung dengan tertanggung, Anggota BMAI harus membuat
penolakan
final
secara
tertulis
kepada
tertanggung dan dalam surat penolakan final tersebut dicantumkan alinea yang menganjurkan tertanggung untuk menghubungi BMAI. d. Anggota BMAI menyampaikan tembusan setiap surat penolakan klaim kepada BMAI disertai dengan ringkasan klaim serta alasan penolakan. Untuk memudahkan, penyampaian ini dapat dilakukan dengan mengisi formulir standar yang telah disiapkan oleh BMAI. e. BMAI akan memberitahukan kepada Anggota apabila tertanggung
mengajukan
permohonan
penyelesaian
sengketa kepada BMAI, maka untuk proses penanganan selanjutnya, Anggota BMAI diminta untuk menyampaikan semua dokumen klaim kepada BMAI termasuk dan tidak terbatas pada: 1. Copy lengkap dari polis (Beserta semua klausul dan endorsemennya, SPPA, korespondense berkaitan dengan akseptasi sampai polis diterbitkan. 2. Bukti – bukti berkaitan dengan jumlah ganti rugi yang diajukan. 3. Formulir klaim, laporan-laporan pihak lain (polisi, adjuster, dokter, dan lain-lain). 4. Bukti – bukti berkaitan dengan alasan penolakan klaim (bila ada). 5. Copy semua koresponden dan tertanggung berkaitan dengan proses penyelesaian klaim termasuk rotulasi atau catatan-catatan rapat antara anggota BMAI dengan tertanggung (Bila ada). f. Mediator akan melakukan analisa atas setiap keluhan yang masuk sehingga dapat dibuat kesimpulan awal dan menentukan arah penyelesaian yang akan ditempuh selanjutnya sesuai dengan peraturan BMAI yang berlaku. g. Apabila dalam kesimpulan awal mediator tidak sependapat dengan penolakan oleh anggota BMAI, mediator segera menghubungi anggota BMAI untuk membahas kasus tersebut (ini dapat dilakukan walaupun
tertanggung belum datang ke BMAI sekalipun). Diskusi langsung ini diharapkan dapat menghasilkan suatu celah penyelesaian yang baik untuk kedua belah pihak yang nantinya bisa ditawarkan kepada tertanggung. h. Bila tidak tercapai kesepahaman antara mediator dengan anggota BMAI, mediator
akan
melakukan
pendekatan
kepada
tertanggung
dan
menjelaskan sebaik-baiknya alasan penolakan oleh anggota BMAI serta tawaran yang dapat diberikan anggota BMAI (Jika ada). i.
Bila tertanggung tidak sepenuhnya dapat menerima alasan penolakan tersebut tetapi tersedia untuk menerima suatu ganti rugi secara kompromi, maka mediator akan melakukan pendekatan kepada anggota BMAI. Bila anggota BMAI setuju maka case closed tetapi bila tidak akan dilanjutkan ketingkat ajudikasi.
j.
Bila tahap penyelesaian secara kompromi melalui mediasi oleh mediator tidak bisa tercapai, kasus klaim akan diputuskan melalui sidang ajudikasi dimana setiap sidang dihadiri oleh 3 orang anggota melalui adjudikasi.
k. Sidang ajudikasi bertujuan untuk membuat suatu keputusan akhir dari sengketa dan keputusan majelis ajudikator baik mendukung atau menolak harus dibuat atas dasar ketidakpastian dan diambil melalui sidang adjudikasi. l.
Setiap kasus yang telah diputuskan melalui sidang ajudikasi tidak dapat direview.
m. Bila keputusan yang diambil sidang adjudikasi adalah menetapkan anggota BMAI untuk membayar maka anggota BMAI harus melakukan pembayaran sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam polis. Ketetapan atau keputusan Majelis Ajudikator akan mengikat bagi anggota BMAI setelah tertanggung menanda-tangani perjanjian penyelesaian. n. Pihak tertanggung tidak wajib menerima ketetapan atau keputusan yang dibuat oleh majelis ajudikator. Dari penelitian di atas dapat penulis simpulkan bahwa BMAI mempunyai prosedur penyelesaian sengketa yang kurang lebih sama dengan BASYARNAS, yaitu mengajukan permohonan dan mengisi formulir kepada BMAI agar sengketa yang dialami dapat terselesaikan dengan cepat.
E. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS dan BMAI 1. Keunggulan penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut:80 1. Kecepatan dalam proses Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan pada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu,
80
Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 12-13.
jangka waktu penyelesaian ditentukan oleh aturan-aturan arbitrase setempat yang dipilih. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 2. Pemeriksaan ahli di bidangnya Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggugjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang, misalnya ahli perbankan, ahli asuransi, ahli pengangkutan udara, dan lain-lain. 3. Sifat konfidensialitas Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan keputusan yang diucapkan dalam sidang tertutup hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa.
Sebagai perbandingan dapat dilihat penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan
bahwa pada umumnya
lembaga arbitrase
mempunyai
keunggulan di banding lembaga peradilan. Keunggulan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. Kerahasiaan sengketa para pihak dijamin; b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakng yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Berdasarkan penelitian penulis mengenai keunggulan penggunaan arbitrase, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi berikut: a. Lebih cepat, karena putusan final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga; b. Dilakukan oleh ahli bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
2. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BMAI Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi sangat dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun belum ada penyelesaian yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung telah mampu mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. Dengan demikian, para pihak dapat memutuskan penyelesaian seperti apa yang dapat mereka terima dari pada mengejar hal-hal yang tidak jelas. Untuk menyelesaikan sengketa memang sulit, namun mediasi dapat memberikan beberapa keunggulan penyelesaian sebagai berikut:81 a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase. b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan pada hak-hak hukumnya. c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
81
Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, h. 139-140
d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi dengan suatu kepastian melalui konsensus. f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase. Dapat penulis simpulkan bahwa mediasi mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan lembaga alternatif penyelesaian sengketa lain, di antaranya: relatif murah, cepat, dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa. Mediasi juga dapat menghasilkan putusan yang lebih baik yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Perbandingan Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Pada BASYARNAS Dan BMAI
NO. KETERANGAN
BASYARNAS
BMAI
1.
Faktor-faktor yang Disebabkan karena tidak Terjadinya menimbulkan
sesuai dengan perjanjian
sengketa
dapat disebabkan karena
sengketa asuransi awal antara tertanggung syariah
dan penanggung.
tertanggung
dan
penanggung
tidak
mematuhi isi kontrak. 2.
Jumlah
sengketa Belum
yang diselesaikan
ada
sudah asuransi
sengketa Sudah
syariah
yang asuransi
diselesaikan.
ada
sengketa
yang
dapat
diselesaikan, kira-kira 16 sengketa asuransi.
3.
Biaya
Relatif
murah,
hanya Tidak ada biaya, karena
untuk biaya operasional semua biaya operasional dan membayar arbiter.
sudah ditanggung oleh AAJI, AAUI dan AAJSI.
4.
Keunggulan
Cepat, relatif murah, dan Cepat, tidak publik.
terekspos
gratis,
dan
untuk kerahasiaannya terjamin.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Faktor-faktor yang dapat
menimbulkan terjadinya sengketa asuransi
diantaranya: a. Perbedaan pendapat antara tertanggung dan penanggung. b. Adanya wanprestasi yang berarti: kelalaian kealpaan, cidera janji dan tidak menepati kewajiban dalam perjanjian. c. Kesalahan teknis seperti: tertanggung tidak membaca polis, atau petugas kurang tegas dalam memberikan penjelasan isi polis dan klausul-klausul yang dicantumkan pada isi perjanjian. d. Adanya moral hazard (perilaku buruk) dan lain-lain. 2. Penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS yaitu jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri secara musyawarah internal oleh pihak perusahaan asuransi. Sedangkan menurut BMAI yaitu apabila tertangung mengalami sengketa dengan perusahaan asuransi dan tidak dapat mencapai penyelesaian atas sengketa tersebut.
3. Keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan BMAI kurang lebih sama saja. Karena keunggulan pada BASYARNAS yaitu menghemat waktu, biaya, tenaga, dilakukan oleh ahli bidangnya, serta kerahasiaannya terjamin. Begitu juga dengan BMAI, relatif murah, lebih cepat artinya tidak memakan waktu yang lama, memiliki mediator yang ahli di bidang asuransi, serta tidak terekspose untuk publik.
B. Saran-saran 1. Sebagai lembaga atau badan hukum, BASYARNAS dan BMAI mempunyai kontribusi dan peranan sangat penting untuk lembaga keuangan, maka dari itu sebaiknya BASYARNAS dan BMAI melakukan terobosan ke berbagai para pihak terutama kepada pihak yang bertransaksi di bidang asuransi ataupun masyarakat luas agar mereka mengetahui keberadaan BASYARNAS dan BMAI baik dari segi fungsi, tugas, kewenangan, dan keuntungan-keuntungan menyelesaikan sengketa yang didapat melalui BASYARNAS dan BMAI, hal ini dapat dilakukan dengan melakukan promosi melalui media massa, media cetak, media elektronik ataupun seminar-seminar. 2. Untuk meningkatkan pelayanan kepada para pihak yang bersengketa sebaiknya BASYARNAS dan BMAI segera memperluas kantor-kantor cabang baik di tingkat propinsi maupun kabupaten.
3. Bagi perputakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk lebih melengkapi buku-buku tentng mediasi dan asuransi agar dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa khususnya Program Studi Asuransi Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim Abdad, M Zaidi, Lembaga perekonomian Ummat di Dunia Islam, Bandung: Angkasa, 2003, Cet. Ke-1. Abdul Kadir, Muhammad, Hukum Asuransi Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Sakti, 2002, Cet. Ke-3. Ali Hasan, AM, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis, Historis, Teoritis, & Praktis, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-1. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Teori, Sistem, Aplikasi dan Pemasaran, (Jakarta: Kholam Publishing, 2006), Cet. Pertama, h. 4445. BAMUI, Salinan Akta Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta: BAMUI, 1999. BMAI, Peraturan Badan Mediasi Indonesia, Jakarta: BMAI, 2006, Cet. Ke-1. Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,2005, Cet. Ke-2. Djauhari, Achmad, Arbitrase Syariah Di Indonesia, Jakarta: BASYARNAS, 2006, Cet. Ke-2. Gautama, Sudargo, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1979. Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 19 Hasan, M Ali, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. http://www.bmai.or.id http://www.hukumonline.com http://www.mui.or.id/mui_in/pruduct_2/lks_lbs.php?id=6
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-3. Lubis, Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, Cet. Ke-2. Muhammad, Abdul Kadir, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia,Jakarta: PT. Intermasa, 1996, Cet. Ke- 2. Roedijono, Alternative Dispute Resolution (ADR) (Pilihan Penyelesaian Sengketa), Makalah Pada Dosen Hukum Perdata Seluruh Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1996. Rosyadi, A. Rahmat, Ngatino, Arbitrase Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Sakti, 2002, Cet. Ke-1. Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah Jilid 11, Bandung: PT Al- Ma'arif, 1987 Saleh, Abdul Rahman, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: BAMUI dan BMI, 1994. Soemartono, Gatot, R.M, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Ke-1. Subana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung, Pustaka Setia, 2005 Subekti, R, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Bira Cipta, 1979. Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Supranto, J. Tehnik Riset Pemasaran dan Ramalan Penjualan, Jakarta, Rineka Cipta, 2000. Syafi'I Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press,2001, Cet. Ke-1. Syakir Sula, Muhammad, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet.Ke-1.
Umar, Husein, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Wasif, Khairul, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, BAMUI, 1994, Cet. Ke-1. Wijaya, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Cet. Ke-2. Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, Cet. Ke-2.
WAWANCARA
Nama
: Ketut Sendra
Jabatan
: Sekretaris
1. Kasus asuransi mengenai apa saja yang ditangani oleh BMAI? Jawab: Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri, kasus yang masuk dan ditangani oleh BMAI kebanyakan mengenai klaim dan asuransi jiwa 2. Apakah kasus yang ditangani oleh BMAI dapat terselesaikan? Jawab: Sudah sekitar 80 kasus sengketa asuransi mengenai klaim dan dan asuransi jiwa yang masuk ke Badan Mediasi Asurani Indonesia (BMAI) dan semuanya dapat terselesaikan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) . 3. Adakah asuransi syariah yang diselesaikan oleh BMAI? Jawab: Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri dan beroperasi, belum pernah ada asuransi syariah yang masuk ke Badan Mediasi Asuransi Indonesia, jadi belum ada kasus asuransi syariah yang terselesaikan di Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). 4. Apa dasar Hukum BMAI? Jawab: Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini beroperasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINASI BIDANG
PEREKONOMIAN (Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006, GUBERNUR BANK INDONESIA (Nomor: 8/50/KEP.GBI/2006), MENTERI KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006) dan MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA (Nomor: KEP-75/MBU/2006) TENTANG: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Juga berdasarkan pada lampiran III Lembaga Keuangan Non- Bank poin-3, program-3 tentang Perlindungan Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI. 5. Apa syarat-syarat menjadi mediator? Jawab: Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:82 f. Cakap melakukan tindakan hukum; g. Berumur paling rendah 35 tahun; h. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; i.
Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;
82
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60
j.
Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun;
6. Berapa lamakah kasus yang ditangani oleh BMAI? Jawab: Dalam menangani kasus sengketa asuransi yang masuk, Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dapat menyelesaikan kasus tersebut memakan waktu yang sangat singkat. 7. Apa perbedaan mediasi dengan arbitrase? Jawab: Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh Mediator. Sedangkan Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". 8. Sudah berapa jauh BMAI mensosialisasikan kepada masyarakat? Jawab: Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sudah mensosialisasikan kepada masyarakat dengan cara mengadakan seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan, membuka cabang di daerah-daerah, melalui internet, dam lain-lain.
WAWANCARA
Nama
: Euis Nurhasanah
Jabatan
: Wakil Bendahara
1. Kasus asuransi mengenai apa saja yang ditangani oleh BASYARNAS? Jawab: Selama Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri, belum ada kasus asuransi syariah yang dapat diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah Nasional karena belum ada kasus asuransi syariah yang masuk ke Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). 2. Apakah kasus yang ditangani oleh BASYARNAS dapat terselesaikan? Jawab: Kasus yang masuk dan ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dapat dan akan terselesaikan. 3. Adakah asuransi konvensional yang diselesaikan oleh BASYARNAS? Jawab: Belum ada kasus sengketa asuransi konvensional yang masuk dan diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). 4. Apa syarat-syarat menjadi arbiter? Jawab: Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:83
83
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60
1. Cakap melakukan tindakan hukum; 2. Berumur paling rendah 35 tahun; 3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; 4. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; 5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun; 5. Apa perbedaan mediasi dengan arbitrase? Jawab: Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Sedangkan Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh Mediator. 6. Seberapa jauh BASYARNAS mensosialisasikan kepada masyarakat? Jawab: Sudah cukup banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan BASYARNAS. Sosialisasi yang dilakukan BASYARNAS yaitu dengan cara mengadakan seminar-seminar, media masa maupun media elektronik. Juga membuka beberapa cabang di daerah-daerah.